• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka

2.1 Landasan Teori

2.1.4 Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas . 22

Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebenaran dan menginformasikan kepada publik seluas mungkin tentang temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subyektif tertentu, semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban kemanusian yang lebih baik (Djatmika, 2004:25). Sedangkan Walter Litman, menganggap bahwa kerja jurnalistik (tugas wartawan) hanyalah mengumpulkan fakta yang tampak dipermukaan, yang konkrit (Panuju, 2005:27).

Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan obyek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliputnya (Eriyanto, 2002:31). Menurut filsafat Common Sense Realism, adanya suatu obyek tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu dalam ruang. Suatu obyek mencirikan sebagaimana orang mempersepsikannya. Sesungguhnya, relasi antara realitas empiris dengan fakta yang dibangun oleh seorang jurnalis, sangat tergantung pada kemampuan mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi sederajat makna. Dengan demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat dinamis, tergantung pada persepsi yang dimiliki dan perspektif (sudut pandang) yang dihadirkan, dan satu lagi tergantung pada pencarian atau penemuan fakta (Panuju, 2005:27).

Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan oleh wartawan tentunya melalui konstruksi. Proses konstruksi atas suatu realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2002:VI). Kata penonjolan (Salience) didefinisikan sebagai alat untuk membuat informasi agar lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001:78).

Wartawan sebagai individu, memiliki cara berfikir (Frame of Thingking) yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan yang dipakai dan pengalaman yang dimiliki. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh kebiasaan menggunakan sudut pandang. Setiap individu juga memiliki konteks dalam “membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang dimaksud, misalnya senang – tidak senang, menganggap bagian tertentu penting dari bagian lain, dapat juga konsteks sesuai bidang (sosial, ekonomi, keamanan, agama dan lain-lain), juga konteks masa lalu atau masa depan dan seterusnya (Panuju, 2005:3).

Jadi meskipun wartawan punya ukuran tentang “nilai sebuah berita” (News Value), tetapi wartawan juga punya keterbatasan visi, kepentingan ideologis, dan sudut pandang yang berbeda dan bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa itu baru disebut mempunyai nilai berita, dan karenanya layak diberitakan kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elie atau orang yang terkenal, mempunyai nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat

memancing kesedihan, keharuan, dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai berita (Eriyanto, 2005:104).

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi, maka semakin meningkat pula tingkat harga berita. Hipotesis inilah yang telah melahirkan paradigma 5 W + H (What, Who, When, Where, Why, How) bahwa berita tidak sekedar apa, siapa, kapan melainkan juga mengapa dan bagaimana. “Mengapa” adalah diskripsi tentang jalannya peristiwa. Jadi, semakin mendalam penjelasan atas Why dan How, maka semakin tinggi nilai suatu berita, dan tentu saja semakin mahal harga berita tersebut (Pareno, 2005:3).

Oleh karena itu, untuk mengetahui mengapa suatu berita cenderung seperti itu, atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai dari dipahami dalam pengertian tertentu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental wartawan ketika memahami suatu peristiwa. Menurut Van Dijk, analisa kognisi sosial yang memusatkan perhatian pada struktur mental, proses produksi berita. Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis dan ditafsirkan, ditampilkan dalam suatu model dalam memori.

Menurut Berger dan Luckman, realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konseo, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarar dengan kepentingan-kepentingan.

Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolik dan realitas subyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas obyektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang berbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu, melalui proses internasionalisasi (Bungin, 2001:13).

Wartawan menggunakan model atau skema pemahaman atas suatu peristiwa. Pertama, model ini menentukan bagaimana peristiwa tersebut dilihat. Model ini dlam taraf tertentu menggambarkan posisi wartawan. Wartawan yang berada dalam posisi mahasiswa mempunyai pemahaman dan pandangan yang berbeda dengan wartawan yang telah mempunyai pengalaman. Kedua, model ini secara spesifik menunjukkan opini personal dan emosi yang dibawa tentang mahasiswa, polisi, atau obyek lain. Hasil dari penafsiran dan persepsi ini kemudian dipakai oleh wartawan ketika melihat suatu peristiwa. Tentu saja wartawan yang berbeda dalam hal fokus, titik perhatian dan kemenarikan dibandingkan dengan wartawan lain yang ditentukan diantaranya untuk perbedaan modal yang dimiliki. Disini model adalah prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memproduksi berita (Eriyanto, 2002:268).

2.1.5. Teori Penjagaan Gerbang (Gate Keeper)

Pandangan seleksi berita (selectivity of news) seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak. Setelah itu berita masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi dan bagian mana yang perlu ditambah. Pandangan ini mengandaikan seoah-olah ada realitas yang benar-benar riil yang ada di luar diri wartawan. Realitas yang riil itulah yang akan diseleksi oleh wartawan untuk kemudian dibentuk dalam sebuah berita (Eriyanto, 2002:100).

Semua saluran media massa mempunyai sejumlah gatekeeper. Mereka memainkan peranan dalam beberapa fungsi, mereka ini dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi pesan yang akan disebarkan, merekapun bisa menghentikan sebuah sumber informasi dan tidak membuka “pintu gerbang” (gate) bagi keluarnya informai lain. Bagi Ray Eldon Hiebert, Donald F. Ungurai dan Thomas W. Bohn, gatekeeper bukan bersifat pasif-negatif, tetapi mereka merupakan suatu kekuatan yang kreatif, seperti seorang editor dapat menambahkan pesan dengan mengkombinasikan pesan dari berbagai sumber. Seorang layouter juga bisa menambahkan sesuatu pada gambar atau setting pada media cetak agar kelihatan bagus. Secara umum peran gatekeeeper seiring dihubungkan dengan berita khususnya surat kabar. Editor sering melaksanakan fungsi sebagai gatekeeper ini mereka menentukan apa yang khalayak butuhkan

atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuk pembacanya. Seolah editor menjadi mata audience sebagaimana mereka menyortir melalui peristiwa sehari-hari sebelum dibaca pembacanya.

Ketika seorang editor menekankan berita secara sensasional dan spektakuler dan juga masalah kriminal ia sedang melaksanakan fungsi

gatekeeping (pentapisan informasi) atau dengan kata lain tugas gatekeeperadalah bagaimana dengan seleksi berita yang dilakukannya pembaca menjadi tertarik untuk membacanya. Oleh karena itu editor diharapkan bisa memilih mana berita yang benar-benar dibutuhkan pembaca dan mana yang tidak, sebab dengan batasan ruangan yang disediakan tidak mungkin semua berita disiarkan. Salah satu alasannya ia harus bersaing dengan iklan-iklan yang masuk yang biasanya tidak lebih dari 40%. Jadi bagaimana membuat berita secara singkat, padat dan jelas sehingga memudahkan pembaca memahaminya. Seorang editor bisa menyuruh reporter untuk melengkapi fakta-fakta dalam beritanya misalnya dengan mengadakan wawancara lagi termasuk jika tulisan yang telah disajikan tidak mencerminkan cover both side. Dengan demikian paling tidak gatekeeper

mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) Menyiarkan informasi pada kita; 2) Untuk membatasi informasi yang kita terima dengan mengedit informasi ini sebelum disebarkan ada fakta; 3) Untuk memperluas informasi dengan menambahkan fakta (Nurudin, 2003:111-113).

Dokumen terkait