• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wawasan Pengembangan Teknoprener Di Perguruan Tingg

Dalam dokumen 373066377 Prosiding KNIT 2016 rampipb (Halaman 30-35)

Koesparmadi

Ketua Entrepreneurship Center, Institut Teknologi Indonesia (ITI) dan peneliti pada Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK) Prodi Perencanaan Wilayah & Kota

081311450506/ Bayer203@yahoo.com

ABSTRACT

ITI telah menjalankan kurikulum kewirausahaansejak 2009. Evaluasi kurikulum mengarahkan pada pentingnya memahami aspek tehnik secara tuntas suatu produk. Metode motivasional, perkuliahan konvensional dan pengetahuan manajerial perlu dilengkapi dengan pemahaman yang utuh tentang produk- teknologis. Metode „reverse engineering‟ memberi peluang memahami dimensi sosiologis, dimensi akademis, sekaligus dimensi manajerial suatu produk. Temuan- temuan pada pengalaman tersebut merupakan bahan yang baik untuk kontektualisasi percepatan teknoprener; penelitian, manufaktur, kondisi pasar, dinamika perkembangan teknologi dan pentingnya komunitas teknologi merupakan aspek-aspek yang dibutuhkan dalam mengembangkan teknoprener.

Upaya strategis untuk memaksimumkan sumber daya manusia adalah penggunaan metode yang tepat untuk memberdayakan mahasiswa. Keragaman minat/bakat/pengetahuan/kemampuan mahasiswa harus dapat diakomodasi dalam peluang karya nyata yang beragam. Instructional system design adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk hal tersebut.

PENDAHULUAN

Pengetahuan untuk mahasiswa tehnik tentang teknoprener dan responnya dalam bentuk karya nyata merupakan bahan penggalian yang sangat menjanjikan untuk menemukan teori dan model pembelajaran yang khas. Tulisan ini merupakan wacana yang dikembangkan dalam rangka evaluasi kurikulum Kewirausahaan di ITI (Institut Teknologi Indonesia)–Serpong; perkuliahan telah berlangsung sejak tahun 2009. Dalam konteks Indonesia dan globalisasi, tulisan ini ingin bertitik tolak dari dua hal yaitu hubungan antara pendidikan dengan pembangunan ekonomi dan kondisi belajar-mengajar mahasiswa.

Bagi Indonesia, tidak mudah melakukan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional. Sejarah pendidikan dan kebijakan pendidikan kita masih terus berupaya mengantar menuju masyarakat yang lebih siap sebagai negara industri. Apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah, prakarsa perguruan tinggi untuk proaktif mengembangkan perannya merupakan suatu keharusan. Perguruan tinggi memang harus berjuang total untuk menciptakan dan mengembangkan masyarakat industri. Untuk itu sudah selayaknya sekolah tehnik menempatkan teknoprener bukan hanya sebagai pilihan kurikulum tetapi seharusnya menjadi kewajiban yang diterjemahkan secara terpadu dalam kegiatan akademis. Disisi lain, mahasiswa sebagai sumber daya perlu dipertimbangkan lebih cermat sebagai manusia pembelajar supaya perannya

dapat maksimal untuk menuju masyarakat industri, khususnya sebagai teknoprener.

Pada akhirnya „exercise academic‟ untuk teknoprener perlu dikembangkan pada berbagai dimensi pendidikan dan akan harus terkait intens dengan dunia luar sekolah untuk menyumbangkan pada percepatan kreasi dan inovasi yang lebih nyata. Pengembangan kurikulum perlu dibarengi dengan upaya penciptaan masyarakat yang lebih industrialis atau beriorientasi produktif.

Karya Mahasiswa, Bentuk Kemanfaatan dan Metodologi Pembelajaran

Berdasarkan pengamatan pada hasil karya mahasiswa dan mengikuti proses berkarya dalam teknoprener dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 kategori persepsi mahasiswa terhadap kreasi dan inovasi, yaitu:

1. Penemuan produk baru 2. Pengembangan fungsi produk

3. Penyempurnaan atau penajaman fungsi produk 4. Meniru suatu produk

Membimbing dan menilai berbagai gagasan produk dan karya fisik teknoprener ternyata berujung pada kesimpulan bahwa apapun karya teknoprener, kontekstualisasi karakter/kemampuan/pengetahuan mahasiswa dan kemanfaatan riil bagi masyarakat sangat menentukan nilai pembelajaran. Ternyata inovasi tidak hanya bermakna teknis-teknologi tetapi juga bermakna sosiologis. Apresiasi tinggi tidak hanya untuk suatu „invention‟ tetapi juga untuk produk yang sifatnya sederhana dan sangat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Teknoprener dengan nilai yang tinggi bukan hanya terbatas pada apresiasi tinggi pada aspek teknis-teknologi tetapi juga pada aspek sosiologis. Bagi masyarakat kita yang sangat membutuhkan perubahan luas sampai ditingkat perdesaan, social-entrepreneurship sangat dibutuhkan. Social- entrepreneurship menekankan pada aplikasi produk dan pengorganisasian masyarakat. Untuk itu metodologi belajar-mengajar teknoprener perlu dicari yang dapat mengakomodasi keragaman minat/bakat/kemampuan/pengetahuan mahasiswa.

Aspek manfaat atau bentuk karya yang bermanfaat tak terhingga jumlah dan bentuknya seiring dengan dinamisnya perkembangan teknologi. Kemudahan, kecepatan, kenyamanan, keselamatan dan ketepatan sebagai kriteria dalam keseharian kehidupan telah menjadi pemicu sekaligus hasil dari pengembangan teknologi. Sisi dinamika teknologi memang penting untuk dikenali secara „real

time‟ untuk mencapai nilai manfaat yang tinggi suatu produk teknoprener. Dalam bidang elektronika, yang mana sangat mempengaruhi sebagian besar produk teknoprener telah terjadi perkembangan yang sangat cepat tentang ic (integrated circuit) yang rumit menjadi lebih sederhana dan terkodifikasi. Dikembangkannya micro-control atau micro-processor menyebabkan setiap orang bisa menjadi produsen dengan mengandalkan suatu konsep produk, setiap orang bisa menjadi produsen tanpa harus membuat pabrik segalanya. Artinya perkembangan teknologi pada produk komponen mempunyai dimensi sosiologis. Pengajar atau mentor dituntut untuk mampu memahami perkembangan teknologi supaya bisa lebih cepat membimbing melalui rumusan konseptual produk-produk teknoprener.

Kurikulum teknoprener untuk bisa maksimal berperan dalam masyarakat perlu mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi mahasiswa, kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi. Instructional System Design, Application Based Education, dan metode kontemporer lainnya

barangkali perlu dicoba supaya mahasiswa (dengan karakter/kemampuan/ pengetahuan yang berbeda-beda) dapat berperan secara maksimal sebagai sumber daya. Dimensi teori dan praksis, aspek substansi pengetahuan dan substansi belajar-mengajar akan harus dirangkum dalam kurikulum teknoprener.

Untuk efisiensi dalam konteks kelembagaan, metode pembelajaran yang kompleks tersebut diatas perlu dijalankan secara lintas disiplin dan lintas prodi. Dibutuhkan „grand strategy‟ pada tingkat institut dan tingkat prodi atau disiplin ilmu sehingga kurikulum dan penelitian dapat saling mendukung dalam kerangka teknoprener.

Aspek-aspek Pokok Untuk Percepatan

Pada kenyataannya pengembangan pembelajaran teknoprener tidak cukup hanya dengan pembekalan motivasional dan kanvas bisnis tetapi juga harus mempertimbangkan pada aspek teknis. Percepatan berkarya dalam menentukan

gagasan manfaat produk akan terbantu dengan adanya sikap dasar „empati‟.

Berbagai metode yang diterapkan untuk menemukan gagasan suatu produk secara kreatif pada dasarnya adalah menuntut kemampuan tiap manusia untuk mau-tahu dengan permasalahan yang dihadapi manusia lain sekaligus mencontoh dan menggali model bisnis untuk produk serupa. Metode motivasional dan metode pengembangan bisnis umumnya dipakai untuk hal tersebut.

Berdasarkan pengamatan pada proses menjalankan teknoprener, upaya percepatannya dapat disiasati melalui hal-hal sebagai berikut:

1. produk yang sudah ada dapat dijadikan referensi untuk inovasi 2. penguasaan fungsi sistemik suatu produk

3. pemahaman komponen dalam tiap fungsi

4. pengembangan fasilitas (workshop) internal secara tematis untuk prototyping

Metode „Reverse Engineering‟ (RE) dapat dicoba untuk mengatasi semua permasalahan tersebut diatas. RE sebagai suatu mata kuliah memungkinkan

terjadinya pemahaman yang „in-line‟ antara teori dan sumber daya komponen atau bahan mentah suatu produk. Pendalaman metode RE tersebut telah membawa kita pada persoalan-persoalan lain yang lebih kompleks; ternyata teknoprener adalah suatu ekosistem. Ekosistem teknoprener meliputi aspek-aspek penelitian, jaringan industri komponen, jaringan produk teknologi, dinamika teknologi dan komunitas teknologi.

Suatu produk dengan kriteria manfaat tertentu akan lebih cepat ditentukan komponennya bila fungsi-fungsi yang terkandung didalamnya dapat dikenali secara tepat pada tahap awal gagasan. Hal ini sangat mengandalkan kemampuan konseptualisasi. Konsep teknologi adalah substansi pada ranah teori atau dengan kata lain informasi dan pengetahuan hasil penelitian akan sangat diandalkan untuk konseptualisasi gagasan teknoprener. Hal yang sebaliknya bisa terjadi pula bahwa penelitian akan dipicu oleh pengembangan fungsi-fungsi suatu produk teknoprener.

Pada umumnya pada proses inkubasi bisnis, suatu gagasan diharapkan sudah terukur secara teknis. Hal ini membutuhkan proses „prototyping‟ yang cepat dan tepat. Untuk kebutuhan ini akan sangat terbantu bila dapat divisualisasikan secara dimensional. Penggunaan perangkat lunak CAD (Computer-Aided Design) biasa digunakan untuk „rapid prototyping‟. Percepatan „prototyping‟ juga makin dijamin oleh perkembangan teknologi 3D-printer karena gambar CAD dapat di- print out langsung menghasilkan „prototype‟ dengan akurasi dimensi cukup tinggi.

Untuk itu pada kasus perkuliahan Kewirausahaan di ITI, terpikirkan untuk secara terintegrasi terdapat perkuliahan lintas disiplin disamping perkuliahan umum. Substansi yang bersifat umum seperti misalnya motivasional, manajemen dan CAD perlu dikombinasikan dengan substansi yang besifat teknis-khusus. Metode belajar- mengajar yang menekankan pada praktek atau experiential learning dengan karakter mahasiswa yang beragamminat/bakat/kemampuan/pengetahuannya juga akan membutuhkan media workshop yang harus mudah diakses. Semua ini membutuhkan proses dan pentahapan dari hal yang sederhana sampai kepada kompleksitas inkubasi bisnis; hal ini membutuhkan „learning curve‟ yang khas. Apa implikasi akademis dan kelembagaan bila ITI memperkuat disiplin dan fasilitas bidang elektronika?

Aspek Rekayasa Sosial

Dalam konteks teknoprener di Indonesia, sejarah kebijakan untuk industri dan sejarah industri menunjukkan belum terciptanya masyarakat industrial. Rentang permasalahannya begitu luas yaitu mulai dari etos industrial yang relatif belum terbentuk pada masyarakat dan angka impor yang tinggi dalam sektor industri. Apa peran teknoprener dalam kondisi ini? Jaminan mendapatkan komponen yang tepat dan ekonomis, jaminan adanya pasar yang tepat untuk skala start-up, kemudahan dan keberlanjutan melakukan inovasi dll merupakan persoalan nyata teknoprener dalam inkubator. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan adanya STP (Science & Technology Park). Dibutuhkan puluhan tahun untuk terciptanya Silicon Valley atau kawasan-kawasan industri yang mengandalkan teknologi. Adakah peluang untuk memperpendek waktu bagi terciptanya STP – STP di Indonesia?

Seperti yang terjadi pada STP yang dianggap berhasil di dunia, faktor

„milieu‟ adalah sangat mendasar bagi masyarakat inovatif. Milieu atau „lingkungan

mental‟ yang sesuai dengan dunia industri yang serba cepat, tepat dan kreatif adalah faktor-faktor yang dapat diciptakan melalui unit-unit komunitas. Produk- produk teknoprener dapat berfungsi sebagai perubah masyarakat dalam unit komunitas.

Suatu tema produk tertentu akan mempunyai jaringan yang khas dan terpola; suatu rangkaian fungsi yang khas mulai dari gagasan sampai dengan pemasok bahan baku dan jaringan pasar. Tema dalam teknoprener mempunyai makna peluang terciptanya suatu satuan komunitas teknologi tertentu.

Untuk mempercepat terjadinya ekosistem teknoprener dengan skala yang

„sustainable‟ (seimbang antara pasar dan produksi serta adanya inovasi yang berkelanjutan), dibutuhkan adanya tema-tema besar supaya terjadi jaringan dan rangkaian sumber daya yang masif dan efisien. Melalui tema-tema tertentu, perguruan tinggi dapat memanfaatkan secara maksimal sumber daya di dalam maupun di luar kampus untuk perubahan kearah masyarakat industri. Tema besar akan menciptakan jaringan komunitas teknologi yang luas, cepat dan nyata-karya, sekaligus menciptakan keberagaman substansi teknologi. Misalnya penanganan sampah elektronik akan merupakan suatu tema besar bagi masyarakat kita. Persoalan ini memerlukan penelitian dan percobaan-percobaan secara cermat pada teknologi bahan, pada mekanisasi penghancuran bahan, pada aspek jaringan sosial pengguna produk dan pengolah sampah, pada kebijakan pemerintah dsb.

Teknoprener dan upaya percepatannya bagi sekolah tehnik memang menawarkan peluang pengembangan kurikulum yang dinamis seiring dengan perkembangan teknologi. Hendaknya dapat ditemukan teori, model dan arah pembelajaran teknoprener yang khas Indonesia, yang karakter masyarakat dan

karakter dunia industrinya dapat dikatakan belum „industrial minded‟, yang mempunyai peluang sebagai pasar yang sangat potensial dan sedang

mengupayakan „self sustained‟ dalam segala bidang. Semoga perguruan tinggi dapat menjalankan peran sebagai penggerak ekonomi nasional melalui peluang percepatan dalam teknoprener.

KESIMPULAN

Peran perguruan tinggi dalam percepatan teknoprener adalah berusaha mengembangkan fungsi sosialnya dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Penelitian; mendukung karya dan produk-produk yang dibutuhkan masyarakat 2. Mengembangkan peran mahasiswa dalam konteks produksi – teknologi; baik

dalam bidang akademis maupun praksis

3. Jaringan kemitraan dengan manufaktur; mengikuti perkembangan iptek dan berperan dalam dunia nyata

4. Pembentukan komunitas khusus; memotori terbentuknya „cluster‟ (kelompok

dalam masyarakat) dengan tema-tema teknologi

Sumber bacaan:

Foundations of a Reverse Engineering Methodology, Jeremy Barrett Guillory, BSME, Thesis, Master of Science in Engineering, The University of Texas at Austin, 2011

Innovation in Indonesia, Assessment of the National Innovation System and Approach for Improvement, Kai Mertins (Editor), PERISKOP – Fraunhofer IRB Verlag, 2002

Pendidikan Antisipatoris, Mochtar Buchori, Penerbit Kanisius, 2001

Principle of Instructional Design, Robert M Gagne, Leslie J Briggs, Walter W Wager, Harcourt Brace College Publishers, 1992

Technopoles of The World, The making of twenty-first-century industrial complexes, Manuel Castells and Peter Hall, Routledge, 1994, London –

The Local Enablers: Mengusung Pemberdaya

Dalam dokumen 373066377 Prosiding KNIT 2016 rampipb (Halaman 30-35)