• Tidak ada hasil yang ditemukan

373066377 Prosiding KNIT 2016 rampipb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "373066377 Prosiding KNIT 2016 rampipb"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PROSIDING

KONFERENSI NASIONAL INOVASI DAN

TECHNOPRENEURSHIP 2016

“Akselerasi Inovasi: Mendorong Inovasi Berbasis

Teknologi dalam Penciptaan Pasar dan Dampak

Positif di Masyarakat”

Bogor, 19-21 Oktober 2016

Penyunting:

Aji Hermawan

Elisa Anggraeni

Asosiasi Kewirausahaan Teknologi Indonesia

Gedung Galeri Inovasi RAMP-IPB

Jl. Kamper, Komplek F-Technopark IPB,

(4)

ASOSIASI KEWIRAUSAHAAN TEKNOLOGI INDONESIA

PROSIDING

KONFERENSI NASIONAL INOVASI DAN TECHNOPRENEURSHIP 2016

“Akselerasi Inovasi: Mendorong Inovasi Berbasis Teknologi dalam

Penciptaan Pasar dan Dampak Positif di Masyarakat”

ISBN: 978-602-72726-1-3

Redaktur Pelaksana:

Endah Murniwati

Desain Sampul:

Dimas Faiz

Penerbit:

Asosiasi Kewirausahaan Teknologi Indonesia

Alamat Redaksi:

Asosiasi Kewirausahaan Teknologi Indonesia

Gedung Galeri Inovasi RAMP-IPB

Jl. Kamper, Kampus IPB Darmaga

Bogor, Jawa Barat

16680

(5)

KATA PENGANTAR

Konferensi Nasional Inovasi dan Tedhnopreneruship (KNIT) 2016 mengambil tema “Akselerasi Inovasi: Mendorong Inovasi Berbasis Teknologi dalam Penciptaan Pasar dan Dampak Positif di Masyarakat”. Tema ini diambil dengan latar belakang adanya kebutuhan untuk melakukan akselerasi proses inovasi berbasis teknologi sehingga pasar menjadi tumbuh dan dampak positif di masyarakat dapat dirasakan. Keberhasilan perkembangan dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilihat dari dampak positif yang diciptakan di masyarakat. Selayaknya ilmu pengetahuan dan teknologi mampu memberikan solusi yang tepat pada permasalahan-permasalahan nyata yang terjadi di masyarakat. Saat ini terdapat celah di antara sisi penciptaan pengetahuan dan teknologi dan sisi penerapannya di masyarakat. Banyak teknologi yang secara teknis layak dan potensial tetapi tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan (ekonomi, lingkungan, dan sosial) di masyarakat. Proses akselerasi inovasi perlu dilakukan untuk menjembatani dua sisi ini melalui fasilitasi dan pendampingan bagi technoprenur.

Prosiding ini berisikan makalah-makalah yang dipresentasikan dalam KNIT 2016 yang dibagi menjadi dua sub-tema yaitu (1) sub-tema 1: memfasilitasi mahasiswa dan inovator akar rumput melalui kegiatan kurikuler dan ko-kurikuler dan (2) Sub-tema 2: pengembangan usaha berbasis teknologi yang sesuai dengan pasar dan memberikan dampak positif pada masyarakat.

Di sub-tema 1 dibahas tentang pembelajaran active learning dalam kewirausahaan mahasiswa, pengembangan pengajaran untuk teknologi asistif dalam perspektif technopreneurship, wawasan pengembangan teknopreneur di perguruan tinggi, serta pengembangan ekosistem technopreneurship melalui pengembangan local enablers and creative hub model di perguruan tinggi. Di Sub-tema 2. Dibahas tentang pembelajaran dan pengalaman terkait pengembangan produk inovatif dan model bisnisnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengembangkan potensi lokal (ubi, lele, tebu, kerajiinan kreatif) sebagai peluang usaha berbasis teknologi.

KNIT 2016 membuahkan kesepakatan bahwa pengembangan technopreneurship tidak hanya sebatas pada penyediaan alat-alat atau kurikulum untuk peningkatan kapasitas inovasi dan keahlian seseorang namun juga perlu sebuah ekosistem yang sehat sebagai tempat tumbuh kembangnya embrio technopreneur dan inovator akar rumput dan muda. Usaha yang berbasis pada sumberdaya, kearifan dan konteks lokal merupakan faktor penting dalam keberhasilan dan keberlanjutan usaha berbasis teknologi.

Kami mengucapkan terimakasih kepada para nara sumber, pembicara dan para peserta yang telah berpartisipasi aktif dalam KNIT 2016. Semoga KNIT 2016 memberikan energi baru dalam akselerasi inovasi Indonesia. Semoga Allah meridhoi.

Bogor, 20 Oktober 2016

(6)

SAMBUTAN

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam karena atas berkat dan rahmat dari Nya, maka prosiding KNIT 2016 “Akselerasi Inovasi: Mendorong

Inovasi Berbasis Teknologi dalam Penciptaan Pasar dan Dampak Positif di Masyarakat” ini dapat kami terbitkan. Konferensi Nasional Inovasi dan Technopreneurship (KNIT) 2016 merupakan KNIT yang ketiga diselenggarakan oleh Akselerasi Inovasi IPB (sebelumnya RAMP IPB). KNIT pertama diselenggarakan pada 2013 di Bogor sedangkan KNIT kedua diselenggarakan pada 2015 di Jakarta.

KNIT merupakan sebuah wadah bagi para pelaku (universitas, fasilitator, donor, dll) pengembangan technopreneurship di Indonesia dalam (1) pengembangan keilmuan tekait dengan akselerasi inovasi, (2) pengembangan fasilitasi, inisiatif dan program untuk mengakselerasi inovasi dan (3) diseminasi pembelajaran (tantangan dan manfaat). KNIT 2016 ini berada dalam satu rangkaian dengan Forum Inovasi Teknologi 2016, Pameran Teknologi Tepat Guna dan Business Idea Pitch yang dihadiri oleh technopreneur, fasilitator, dosen, mentor, dan praktisi. Pembelajaran yang diperoleh selama KNIT 2016 ini dibukukan dalam prosiding 2016.

Semoga penerbitan Prosiding KNIT 2016 akan terus memacu para penggiat technopreneurship dalam tukar menukar informasi, pengetahuan dan pengalaman yang berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitasi pengembangan usaha berbasis teknologi di Indonesia.

Bogor, 20 Oktober 2016

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR _____________________________________________________ iii SAMBUTAN ____________________________________________________________ iv DAFTAR ISI _____________________________________________________________ v SUBTEMA 1 ____________________________________________________________ 1

Pembelajaran Active Learning dalam Penumbuhan Kewirausahaan

Mahasiswa______________________________________________________ 2 Teknologi Asistif dalam Perspektif Technopreneurship _______________ 14 Wawasan Pengembangan Teknoprener Di Perguruan Tinggi ___________ 22 The Local Enablers: Mengusung Pemberdaya Lokal Berorientasi Global dalam Kerangka Bisnis Sosial _____________________________________ 27 Jatinangor Creative Hub Model: Model Empiris Pentahapan Penciptaan Ekosistem Kreatif Wirausaha Baru _________________________________ 34 SUBTEMA 2 ___________________________________________________________ 42

Analysis of Knowledge Sharing through Donating and Collecting as the Basis of Learning in the Innovation Process in Small and Medium Scale Enterprises/SMEs _______________________________________________ 43 Pengembangan Usaha Teknologi sesuai dengan Pasar dan Memberikan Dampak Positif pada Masyarakat __________________________________ 54 Pengembangan Usaha Inovatif Tepung Pisang Berprebiotik: Sinergitas Universitas Jember dengan Masyarakat Petani Pisang di Kecamatan

Senduro Kabupaten Lumajang ____________________________________ 60 Pengembangan Usaha Biskuit berbasis Tepung Ikan Lele (Claras

(8)
(9)

SUBTEMA 1

(10)

Pembelajaran

Active Learning

dalam

Penumbuhan Kewirausahaan Mahasiswa

(Studi Kasus Mata Kuliah Kewirausahaan di

Departemen Agribisnis)

Burhanuddin1, Nia Rosiana2

1Departemen Agribisnis, FEM-IPB; email: burhanipb@gmail.com 2Departemen Agribisnis, FEM-IPB; email: niarosiana@gmail.com

ABSTRACT

Learning outcome in Entrepreneurship Course is done through active learning. This learning method has a positive impact to lecturer and students. This learning method helps students to be able to communicate with the group in the class, capable of expressing ideas through writing, able to develop ethical values, able to give and receive feedback, reflect on the process of learning, and creative thinking. In this case the lecturer is a facilitator while students have the flexibility to provide opinions in the class. Active learning from each meeting of the course is expected to improve the ability of students in improving soft skills and hard skills in business activities, as well as growth the entrepreneurial spirit in each individual.

Key Words: Active Learning, Entrepreneurship, Students

ABSTRAK

Pencapaian learning outcome Mata Kuliah (MK) Kewirausahaan dilakukan melalui pembelajaran aktif (active learning). Metode pembelajaran ini memiliki dampak yang positif bagi dosen dan mahasiswa. Metode pembelajaran ini membantu mahasiswa untuk mampu berkomunikasi dengan kelompok dalam kelas, mampu mengekspresikan ide-ide melalui tulisan, mampu mengembangkan nilai-nilai etika, mampu memberi dan menerima umpan balik dan merefleksikan proses pembelajaran, dan berfikir kreatif. Dalam hal ini dosen bersifat sebagai fasilitator sedangkan mahasiswa memiliki keleluasaan dalam memberikan pendapat dalam kegiatan perkuliahan dan praktikum. Active learning dari setiap pertemuan MK diharapkan mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meningkatkan softskill dan hardskill dalam kegiatan usaha, serta menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada setiap individu.

(11)

PENDAHULUAN

Undang-undang nomor 12 tahun 2012 mengamanatkan Pendidikan Tinggi untuk membentuk watak serta peradaban bangsa dan mengembangkan Civitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, dan berdaya saing. Amanah ini diaktualitasasikan melalui pelaksanaan Tridharma, dimana pendidikan merupakan dharma yang bisa diukur dan mudah dipahami masyarakat. Berkaitan dengan dharma pendidikan, perubahan kurikulum dengan memasukan unsur kewirausahaan (entrepreneurship) merupakan salah satu terobosan untuk mengurangi gap kapabilitas antara lulusan Perguruan Tinggi dengan lapangan pekerjaan dan sekaligus merubah mindset lulusan dari job seeker menjadi job creator, sekaligus juga menjawab tantangan pendidikan kedepan yakni link and match.

Esensi dari dharma pendidikan adalah proses belajar mengajar (learning process) yang aktivitasnya melibatkan komponen dosen, mahasiswa, dan lingkungan belajar serta interaksi dari ketiga komponen tersebut. Interaksi yang terjadi merupakan inti dari proses belajar mengajar yang digerakkan oleh metode pembelajaran (learning method) yang digunakan. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat dan efektif dalam proses belajar mengajar akan mampu memunculkan potensi mahasiswa dalam berkarakter sesuai dengan capaian pembelajaran (learning outcome), tidak hanya capaian pembelajaran mata kuliah, tetapi juga capaian pembelajaran pendidikan tinggi.

Maka dari itu, perlu ada perubahan paradigma metode pembelajaran di pendidikan tinggi, dari awalnya berpusat pada dosen berubah ke berpusat ke mahasiswa (student centre learning). Namun, metode pembelajaran yang dikembangkan tetap mengacu pada prinsip pencarian kebenaran ilmiah, menjunjung tinggi hak asasi manusia, pengembangan budaya akademik, pengembangan kreativitas, keselarasan dengan lingkungan, kebebasan berekspresi, dan mengembangkan open system thinking. Penelitian Burhanuddin dan Rosiana (2013) menunjukkan bahwa terbentuk tiga faktor baru yang menggambarkan konsep metode pembelajaran ideal yaitu sinergi kuliah-praktikum, metode berpusat ke mahasiswa, dan kecakapan dosen.

Mata Kuliah (MK) Kewirausahaan merupakan salah satu MK yang diampu oleh Departemen Agribisnis. Disusunnya MK ini untuk mendukung pelaksanaan mandat Departemen Agribisnis yaitu pengembangan ilmu dan wawasan bisnis bidang pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan melalui pendekatan sistem dan kewirausahaan. Adapun jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) MK ini yaitu 3 (2-3). Artinya tiga SKS dengan dua jam perkuliahan dan 3 jam praktikum. Satu jam perkuliahan yaitu selama 100 menit sedangkan satu jam praktikum dilaksanakan selama 120 menit. MK ini didesain untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan kepada mahasiswa tentang perkembangan konsep-konsep kewirausahaan, peranan kreativitas, inovasi, dan berbagai kecerdasan dalam kewirausahaan, serta berbagai hal yang terkait dengan persiapan untuk menjadi wirausaha di sektor agribisnis tropika.

(12)

dampak yang positif bagi dosen dan mahasiswa (Fisher 2010). Dosen bersifat sebagai fasilitator sedangkan mahasiswa berupaya mengembangkan berbagai ide dari topik yang diberikan oleh dosen. Mahasiswa memiliki keleluasaan dalam memberikan pendapat dalam kegiatan perkuliahan dan praktikum. Metode pembelajaran ini kuat diduga menciptakan suasana kelasyang aktifdan lebih partisipatif serta berimplikasi padaperan dosen lebih sebagai fasilitator daripada sebagai narasumber. Metode pembelajaran yang berpusat mahasiswa lebih menekankan pada proses, yakni proses belajar mengajar yang merefleksikan tidak hanya pada prinsip-prinsip kunci dari materi belajar tetapi juga pada proses memahami prinsip-prinsip kunci tersebut.

Dengan demikian, penerapan metode active learning bertujuan untuk mempercepat proses transfer pengetahuan yang mampu mengembangkan ide-ide dan strategi inovatif dengan membuka ruang berfikir seluas-luasnya, serta mempersempit gap ruang teori dengan ruang empiris serta mengembangkan pengetahuan baru yang lebih pragmatis.

METODE ACTIVE LEARNING

Dalam metode active learning, mahasiswa secara aktif menentukan materi belajar yang ingin dipahami, misalnya secara mandiri dan berkelompok mahasiswa mengembangkan keterampilan dalam menilai bukti, bernegosiasi, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Dosen berperan sebagai fasilitator untuk meningkatkan pembelajaran di dalam kelas dan menantang pemikiran mahasiswa melalui cara pandang berbeda. Hal ini karena sebagai fasilitator, dosen dapat melalukan multi-peran, seperti (CCEA 2007): (1) Neutral Facilitator; (2) Devil‟s

advocate; (3) Declared interests; (4) Ally; (5) Official view; (6) Challenger; (7) Provocateur; dan (8) In-role. Dengan demikian, mahasiswa berpartisipasi aktif dan fokus mengajukan pertanyaan dengan mengembangkan berfikir reflektif. Persaingan individu mahasiswa melemah digantikan dengan daya kolaborasi tinggi, karena mahasiswa lebih aktif menghubungkan berbagai pemikiran dengan fenomena yang terjadi disekitarnya.

Menurut taksonomi pembelajaran, active learning mengembangkan nilai-nilai signifikan dalam proses belajar mengajar. Nilai-nilai-nilai ini membentuk pemikiran, sikap dan keterampilan mahasiswa dalam melaksanakan aktivitas di masyarakat. Sikap dan keterampilan yang konsisten pada akhirnya akan membentuk karakter mahasiswa yang mampu berkontribusi pada pembangunan bangsa. Strategi instruksional active learning ditujukan untuk melibatkan mahasiswa dalam (1) berpikir kritis atau kreatif, (2) menyampaikan pendapat dan berdiskusi, (3) mengekspresikan ide-ide melalui tulisan, (4) menjelajahi sikap dan nilai-nilai pribadi, (5) memberi dan menerima umpan balik, dan (6) merefleksikan proses pembelajaran (Eison 2010). Strategi instruksional dirancang tidak hanya pada aktivitas belajar di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Selain itu, tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk kelompok mahasiswa, baik menggunakan ataupun tanpa menggunakan teknologi. Hal ini karena ilmu pengetahuan tidak statis, tetapi terus bergerak melampaui apa yang sudah diketahui dan dipikirkan.

(13)

kolaboratif dan kooperatif bagi penerapan active learning. Misalnya, dalam hal penjadwalan, alokasi waktu, administrasi belajar, dan fasilitas pembelajaran. Hal ini karena mahasiswa mampu secara aktif menentukan dan memilih informasi yang ingin diketahui secara lebih cepat. Penelitian Cotner et al (2013) menemukan kelas active learning mengungguli kelas tradisional, namun lingkungan pembelajaran baru dan teknologi ditingkatkan secara positif.

Active learning melibatkan mahasiswa sebagai pelaku utama. Metode pembelajaran ini akan membantu mahasiswa untuk mampu berkomunikasi dengan kelompok dalam kelas, mampu mengekspresikan ide-ide melalui tulisan, mampu mengembangkan nilai-nilai etika, mampu memberi dan menerima umpan balik dan merefleksikan proses pembelajaran, dan berfikir kreatif. Ciri-ciri orang yang berfikir kreatif menurut Colleman dan Hammer, yaitu: 1) memiliki pengetahuan yang luwes, mampu melahirkan gagasan yang berlainan; 2) memiliki sikap terbuka, selalu mencari, sehingga memiliki minat yang beragam dan luas terhadap hal baru; 3) sikap bebas, selalu ingin berkreasi sendiri, tidak senang hanya mengikuti orang lain saja; 4) percaya diri atas kemampuan yang dimilikinya, kemauan kuat untuk mencoba sesuatu, tidak mudah putus asa dan tidak mau terlibat dengan batasan-batasan yang baku; 5) memperluas asosiasi pikiran/memperkuat daya imajinasi (berpikir bebas tidak ada ikatan); 6) memperbanyak ide alternatif pemecahan masalah; 7) cross fertilize (semakin banyak yang ikut berpikir akan semakin banyak ide yang muncul); 8) divergen (kemampuan untuk melihat perbedaan di antara berbagi data dan peristiwa); 9) bersifat induksi; 10) mendahulukan kuantitas daripada kualitas; 11) crazy idea; dan 12) berani mengambil resiko.

Gambar 1 Kategori Belajar Sumber: Bell dan James (2006)

(14)

dan strategi yang berbeda. Dalam buku active learning yang ditulis oleh Bell dan James (2006), Faculty Development Center, Webster University terdapat beberapa kategori belajar yaitu foundamental knowledge, application, integration, human dimension, caring, dan learning how to learn. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

MK KEWIRAUSAHAAN

Metode pembelajaran yang dilakukan pada MK Kewirausahaan yaitu metode active learning. Metode ini menekankan pembelajaran aktif yang dilakukan secara dua arah oleh mahasiswa dan dosen. Materi yang disampaikan tidak hanya dibaca namun melalui penyampaian yang menarik mahasiswa dapat memberi ide-ide yang berkaitan dengan materi pengajaran. Bruner (1983) dalam Eison (2010) menjelaskan bahwa belajar yang benar melibatkan bagaimana mencari tahu apa yang sudah diketahui agar dapat melampaui apa yang sudah dipikirkan.

MK Kewirausahaan yang dilaksanakan di Departemen Agribisnis mengalami penyesuaian kurikulum dari waktu ke waktu. Materi kuliah yang disampaikan meliputi 14 pokok bahasan yang terdiri atas: 1) kewirausahaan dan tantangan bangsa, 2) evolusi konsep kewirausahaan, 3) self assesment, 4) falsafah dan spirit kewirausahaan, 5) motivasi wirausaha, 6) mengembangkan kreativitas, 7) inovasi dalam kewirausahaan, 8) perspektif kewirausahaan pada individu, 9) kecerdasan wirausaha, 10) intrapreneurship, 11) women and home entrepreneurship, 12) mengembangkan ide berwirausaha, 13) technopreneur dan inspirasi, dan 14) persiapan menjadi wirausaha. Adapun materi praktikum yang disampaikan mengikuti materi kuliah. Dalam hal ini, terdapat perubahan materi praktikum dari semester-semester sebelumnya. Adapun perubahan materi praktikum dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan pokok bahasan dalam praktikum MK Kewirausahaan

NO Pokok Bahasan

2 Personality Plus dan Team Building

Proposal PKM-K: BAB 1. Pendahuluan 3 Spirit Kewirausahaan dan Dream

Book

Proposal PKM-K: BAB 2. Gambaran umum rencana usaha

5 Survei Pasar Proposal PKM-K: BAB 4. Biaya dan jadwal kegiatan

6 Mengembangkan kreativitas Proposal PKM-K: Perbaikan bab 1-4 dan penyiapan lampiran dan presentasi proposal

(15)

NO Pokok Bahasan

Sebelum Perubahan Setelah Perubahan

9 Implementasi Bisnis: Rencana Keuangan

Personality Plus dan Team Building

10 Implementasi Bisnis: Rencana manajemen

Spirit Kewirausahaan 11 Implementasi Bisnis: Women

home entrepreneurship

Peningkatan Nilai Tambah melalui Pemanfaatan Barang Bekas

12 Implementasi Bisnis: Laporan Keuangan

Survei Pasar 13 Implementasi Bisnis:

Technopreneurship

Dream Business

14 Presentasi bisnis Presentasi Dream Business dan Evaluasi Proposal PKM-K

Saat ini, materi proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K) menjadi pokok bahasan dalam MK Kewirausahaan. Setiap kelompok mahasiswa yang terdiri atas 3-5 orang diwajibkan membuat proposal PKM-K dalam kurun waktu tujuh minggu (pertemuan ke-1 hingga ke 7) hingga melakukan upload proposal pada akun resmi Sistem Informasi dan Manajemen Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (SIMLITABMAS). Pada semester sebelumnya, tidak dilakukan pembuatan proposal PKM-K namun melakukan kegiatan implementasi bisnis pada pertemuan ke-8 hingga ke-14. Perubahan pokok bahasan ini merupakan bentuk pengembangan ilmu kewirausahaan yang dapat diaplikasikan secara langsung oleh mahasiswa. Mahasiswa diharapkan menemukan ide bisnis yang kemudian dapat menuangkannya kedalam proposal PKM-K. Proposal yang telah dibuat kemudian di presentasikan untuk memperoleh penilaian kelompok terbaik dari Departemen Agribisnis. Selanjutnya, diharapkan proposal tersebut dapat lolos dan didanai oleh Kemenristek DIKTI.

METODE PEMBELAJARAN DAN PENUMBUHAN WIRAUSAHA

Dalam metode active learning menggunakan beberapa teknik pembelajaran, yaitu berupa tutorial, panel, diskusi kelompok, debat, video presentasi, tanya jawab, proyek presentasi, bedah kasus, paper, dan seminar (Tabel 2).

Tabel 2 Metode Active Learning pada Mata Kuliah Kewirausahaan

NO RANCANGAN METODE PEMBELAJARAN

1 TUTORIAL

1. Penjelasan tentang mata kuliah dan rencana perkuliahan 2. Menjelaskan metode pembelajaran Active Learning 3. Memberikan alamat handout untuk didownload

(16)

NO RANCANGAN METODE PEMBELAJARAN

2 PANEL BERLANJUT

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, secara acak dipilih 5 mahasiswa menjadi panel untuk menjelaskan materi kuliah yang dibagi kedalam 5 bagian secara berlanjut

3. Moderator (mahasiswa) mengatur jalannya diskusi secara aktif supaya sebagian besar mahasiswa dapat berperan serta

4. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 3 DISKUSI KELOMPOK

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, secara acak dipilih 5 mahasiswa menjadi fasilitator kelompok

3. Kelas dibagi kedalam 5 kelompok, fasilitator mahasiswa menjelaskan materi kuliah di setiap kelompok

4. Hasil diskusi kelompok di pleno yang dipimpin moderator (mahasiswa) 5. Moderator (mahasiswa) mengatur jalannya diskusi secara aktif supaya

sebagian besar mahasiswa dapat berperan serta

6. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 4 PANEL PEMBAHAS

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, secara acak dipilih 5 mahasiswa menjadi pembahas

3. 5 mahasiswa membuat materi bahasannya masing-masing dan menyampaikan bahasannya terhadap materi kuliah

4. Diskusi kelas dipimpin moderator (mahasiswa) yang mengatur jalannya diskusi secara aktif supaya sebagian besar mahasiswa dapat berperan serta

5. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 5 VIDEO PRESENTASI

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, secara acak dipilih 5 mahasiswa menjadi video presenter

3. 5 mahasiswa melakukan browsing video terkait materi kuliah dan mempresentasikan di depan kelas

4. Diskusi kelas yang dipimpin moderator (mahasiswa) yang mengatur jalannya diskusi secara aktif supaya sebagian besar mahasiswa dapat berperan serta

5. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 6 DEBAT

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Kelas dibagi kedalam 2 kelompok yang pro dan kontra terkait materi kuliah, kemudian melakukan debat

(17)

NO RANCANGAN METODE PEMBELAJARAN

7 PANEL PRESENTASI

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, secara acak dipilih 5 mahasiswa menjadi panel 3. 5 mahasiswa panel membuat handout sendiri yang mengacu pada materi

kuliah, mempresentasikan dalam kelas

4. Panel dipimpin moderator (mahasiswa) yang mengatur jalannya panel secara aktif supaya sebagian besar mahasiswa dapat berperan serta 5. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 8 KELOMPOK PRESENTASI

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, 5 mahasiswa berkelompok mengajukan diri sebagai presenter

3. Kelompok membuat bahan presentasinya sendiri yang mengacu pada materi kuliah, mempresentasikan dalam kelas dan mengatur jalannya diskusi secara aktif supaya sebagian besar mahasiswa dapat berperan serta

4. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 9 TANYA JAWAB

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Sehari sebelum kuliah, 5 mahasiswa berkelompok mengajukan diri sebagai penjawab

3. Mahasiswa lain membuat maksimal 2 pertanyaan terkait dengan materi kuliah

4. Kelompok penjawab membuat bahan presentasinya sendiri dalam menjawab pertanyaan dan mengatur jalannya tanya jawab secara aktif supaya semua mahasiswa dapat berperan serta

5. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 10 PRESENTASI PROYEK

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Kelas dibagi kedalam 5 kelompok sebagai kelompok proyek

3. Masing-masing kelompok proyek mempresentasikan proyek yang sama

“membangun laboratorium bisnis” menggunakan kaidah-kaidah materi

kuliah

4. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 11 MEMBEDAH KASUS

1. Semua mahasiswa sudah memahami materi kuliah

2. Kelas dibagi kedalam 5 kelompok sebagai kelompok pembedah kasus 3. Masing-masing kelompok membrowsing perusahaan agribisnis dan

mempresentasikan hasil bedahannya menggunakan kaidah-kaidah materi kuliah

4. Refleksi diberikan oleh dosen pada bagian akhir kuliah (20 menit) 12 SEMINAR BISNIS

1. Seluruh mahasiswa membuat makalah, kemudian ditentukan 5 mahasiswa sebagai panel

2. Seminar diorganisasikan oleh mahasiswa

(18)

Selain itu, pelaksanaan seminar sudah ditangani oleh mahasiswa dan adanya prosiding atas prakarsa mahasiswa. Bahkan, pada kelas yang sedang berlangsung, mahasiswa berinisiatif untuk melakukan dokumentasi terhadap setiap metode pembelajaran yang dilaksanakan.

Metode pembelajaran active learning telah memberikan dampak positif bagi dosen dan mahasiswa, antara lain:

1. Mahasiswa memperkaya materi kuliah dengan mengembangkan handout 2. Mahasiswa aktif mencari materi kuliah melalui berbagai sumber dan

membiasakan berdiskusi antar mahasiswa

3. Mahasiswa merencanakan sendiri materi kuliah yang ingin diketahui dan dipahami

4. Dosen dan mahasiswa terus-menerus melakukan updating materi kuliah

5. Kegiatan dalam perkuliahan sangat kondusif bagi terjadinya transfer pengetahuan dan berbagi pemahaman

6. Mahasiswa menikmati suasana akademis dengan membuka ruang berfikir seluas-luasnya

7. Mahasiswa memahami materi kuliah dengan meningkatkan kepekaan terhadap perubahan lingkungan bisnis terkini dan mengolahnya kembali untuk di-share kepada masyarakat melalui tulisan dan forum seminar

Dengan demikian, metode pembelajaran active learning telah membantu mahasiswa dalam menyerap dan memahami materi perkuliahan

.

Mahasiswa dituntut untuk bergerak lebih cepat mencari bahasan dari berbagai sumber atau referensi. Hal ini memacu mahasiswa untuk lebih aktif dalam mencapai penguasaan materi. Mahasiswa secara kreatif melakukan presentasi menarik yang membuat mahasiswa antusias dan tidak jenuh dalam proses pembelajaran.Ini berati mahasiswa telah mempelajari dan memahami materi dengan pola pikirnya sendiri.

Metode active learning ini membuat mahasiswa menjadi lebih terbuka dan mandiri dengan melakukan persiapan sebelum mengikuti perkuliahan yang sebelumnya jarang dilakukan dan antusias mengikuti perkuliahan (lihat inbox, pengakuan mahasiswa). Suasana kelas yang menyenangkan membuat pikiran mahasiswa bergerak lebih bebas dan mengkomunikasikan tanpa sungkan. Oleh karena itu, banyak pikiran-pikiran baru berkembang selama perkuliahan dan membuat mahasiswa dan dosen harus terus-menerus mengikuti isu-isu terkini.

Melalui metode pembelajaran active learning, keterbukaan dan kemandirian yang terbentuk dalam diri mahasiswa mempercepat penguasaan mahasiswa terhadap kompetensi dasar dari MK Kewirausahaan. Kompetensi dasar yang dimaksud adalah:

1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan perkembangan kewirausahaan dalam pembangunan bangsa

2. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengembangkan berbagai konsep kewirausahaan

3. Mahasiswa mampu menemukenali karakter wirausaha dalam dirinya dan orang lain

4. Mahasiswa mampu menerapkan falsafah dan spirit wirausaha

5. Mahasiswa mampu memotivasi diri dan orang lain menjadi wirausaha

6. Mahasiswa menjelaskan menjelaskan dan menerapkan kreativitas dalam kewirausahaan

(19)

9. Mahasiswa mampu menjabarkan dan mengembangkan berbagai kecerdasan yang dibutuhkan dalam kewirausahaan

10.Mahasiswa mampu menguraikan dan menerapkan prinsip intrapeneurship 11.Mahasiswa mampu menjabarkan faktor utama yang menentukan Womendan

homeentrepreneurship

12.Mahasiswa mampu merancang ide-ide wirausaha

13.Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dan peran technopreneur

14.Mahasiswa mampu menjelaskan dan menganalisis berbagai hal yang perlu dipersiapkan untuk menjadi wirausaha

Keempat belas kompetensi dasar diatas, menciptakan mahasiswa yang berani berkompetisi pada era kreatif, dimana kreativitas dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan terhadap inovasi sangat mutlak jika bersaing dalam dunia yang berubah dengan cepat dan tidak diramalkan ini. Wirausaha (entrepreneur) diartikan sebagai seorang inovator dan penggerak pembangunan. Wirausaha adalah individu yang memiliki pengendalian tertentu terhadap alat-alat produksi dan menghasilkan lebih banyak daripada yang dapat dikonsumsinya atau dijual atau ditukarkan agar memperoleh pendapatan (McClelland 1961). Wirausaha adalah pencipta kekayaan melalui inovasi, pusat pertumbuhan pekerjaan dan ekonomi, dan pembagian kekayaan yang bergantung pada kerja keras dan pengambilan resiko (Bygrave 2004).

Dengan demikian, mahasiswa yang memiliki kompetensi wirausaha berperilaku kompetitif yang mendorong pasar, bukan hanya menciptakan pasar baru, tetapi menciptakan inovasi baru ke dalam pasar, sekaligus sebagai kontribusi nyata dari tumbuhnya wirausaha baru sebagai agen pembangunan (Davidsson 2003 dan Kirzner 1973). Selain itu, melalui inovasi, perubahan terjadi dan eksistensi wirausaha semakin kuat. Schumpeter pada tahun 1911 menyampaikan gagasannya tentang siapa itu wirausaha, yakni: (1) wirausaha yang mengenalkan produk baru dan kualitas baru dari suatu produk, (2) wirausaha yang mengenalkan metode baru berproduksi yang lebih komersial, baik berdasarkan pengalaman maupun hasil kajian ilmiah dari suatu penelitian (3) wirausaha yang membuka pasar baru, baik dalam negeri ataupun di negara yang sebelumnya belum ada pasar (4) wirausaha yang menggali sumber pasokan bahan baku baru bagi industri setengah jadi atau industri akhir, dan (5) wirausaha yang menjalankan organisasi baru dari industri apapun.

KESIMPULAN

Penerapan metode active learning telah menambah kecepatan transformasi pengetahuan dalam memahami kewirausahaan. Menjadi wirausaha baru yang dibentuk dari proses belajar mengajar mampu membentuk karakter sarjana sebagai penggerak pembangunan bangsa melalui kreativitas dan inovasi. Metode active learning telah membuat mahasiswa dan dosen lebih peka dan terbuka serta mandiri dalam berbagi pemahaman serta membuka ruang berfikir seluas-luasnya. Metode pembelajaran memungkinkan untuk menemukenali dan mengembangkan alat-alat atau cara baru yang inovatif melalui kreativitas terus menerus yang berdampak pada tumbuhnya entrepreneur: knowledge entrepreneur, entrepreneurial education intrapreneur, social entrepreneur, dan political entrepreneur di masa depan.

(20)

sebagai wirausaha, dan memberikan iklim kewirausahaan yang kondusif dalam proses belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Bell D, James T. 2006. Active Learning Handbook. Faculty Development Center: Webster University.

Burhanuddin, Rosiana N. 2013. Metode belajar kewirausahaan di Institut Pertanian Bogor. Prosiding 2:215-234. isbn: 978-979-19423-8-6.

Bygrave W D. 2004. The Portable MBA in Entrepreneurship: Third Edition/edited by William D. Bygrave, Andrew Zacharakis. Ed. 3 – New Jersey: John Willey & Sons Inc.

[CCEA] Council for the Curriculum, Examinations and Assessment. 2007. Active Learning and Teaching Methods. Northern Ireland Curriculum: A PMB Publication.

Cotner S, Loper J, Walker JD, Brooks DC. 2013. “It‟s not you, it‟s the room” are the high-tech, active learning classrooms worth it? Journal of College Science Teaching 42(6):82-88.

Davidsson P. 2003. The Domain of Entrepreneurship Research: Some Suggestions. in Jerome A. Katz and Dean Shepherd (eds.), Cognitive Approaches to Entrepreneurship Research, Advances in Entrepreneurship, Firm Emergence and Growth 6, pp. 315–372.

Eison J. 2010. Using Active Learning Instructional Strategies to Create Excitement and Enhance Learning. Department of Adult, Career & Higher Education: University of South Florida.

Fisher K. 2010. Technology-enabled active learning environments: an appraisal. CELE Exchange 2010/7. issn: 2072-7925.

Kirzner I M. 1973. Competition and Entrepreneurship. Chicago: University of Chicago Press.

McClelland D C. 1961. The Achieving Society. D. Van Nostrand. Place of Publication: Princeton, NJ. Publication.

Prince M. 2004. Does active learning work? a review of the research. Journal of Engineering Education 93(3), 223-231.

(21)

XX INBOXXX

PENGAKUAN TERHADAP METODE PEMBELAJARAN ACTIVE LEARNING:

a. Astria Mutiasari (H34120071):

Membantu mahasiswa dalam menyerap dan memahami materi perkuliahan. Mahasiswa dituntut untuk bergerak lebih cepat mencari bahasan dari berbagai sumber/referensi. Hal itu akan memacu mahasiswa untuk lebih aktif dalam mencapai penguasaan materi. Adanya partisipasi dari audiens dalam sesi tanya jawab membuat metode pembelajaran ini lebih efektif dan dapat memperluas wawasan mahasiswa. Disamping itu, review dari dosen di akhir jam perkuliahan, membuat metode ini lebih terarah dan mencapai tujuan perkuliahan yang efektif.

b. Sugandi (H34120014):

Metodenya berjalan sangat baik, mahasiswa jadi lebih aktif lagi.

c. Rininta Suci Lestari (H34120063):

Metode aktif learning selama ini sangat menarik sekali karena adanya metode yang kreatif selama presentasi yang membuat mahasiswa antusias dan tidak jenuh dalam proses pembelajaran. Apalagi adanya dokumentasi saat presentasi sehingga mahasiswa yang semula tidak bertanya akan antusias bertanya.

d. Ferdiansya Dwi Sastra (H34134062):

Mahasiswa dituntut untuk dapat mempelajari dan memahami dengan pola pikirnya sendiri kemudian dipresentasikan kepada teman-temannya, mahasiswa menjadi lebih aktif.

e. Ni Luh Putu Oktariana Mastra (H34134019):

Mahasiswa menjadi mengerti mengenai materi yang akan disampaikan, karena harus mempersiapkannya terlebih dahulu. Mahasiswa tidak sungkan bertanya dan berpendapat.

f. Priscilla Siregar (H34120143):

Mahasiswa berperan aktif saat pembelajaran, mahasiswa tidak bosan dengan metode pembelajaran yang tiap minggunya berbeda.

g. Jusni Erina Purba (H34134070):

Metode pembelajaran menyenangkan, membuat mahasiswa belajar lebih mandiri dan tidak sungkan untuk bertanya.

h. Nintya Putri Wardani (H34134061):

Mahasiswa menjadi lebih mandiri dan terbiasa melakukan presentasi.

(22)

Teknologi Asistif dalam Perspektif

Technopreneurship

Yuyus Suherman

Departemen Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia

081321490939/fax.(022)2000021/yuyus@upi.edu

ABSTRACT

Assistive technology, an important study in the context of special education. Focus studies on philosophical values, functional, and appropriate technology. Developed through need assessment, design validation, ergonomic and disabilities-compensatory. Through the partnership, students are encouraged to develop a assistive technologies series of commercial, without sacrificing the values kompensatory. Technopreneurship perspectives provide an opportunity for students and faculty to strengthen the lectures become more functional. Technopreuneurship through the perspective of assistive technology products become more valuable, because in addition to meeting the needs of compensatory, as well as commercial products standard.

Keywords: Assistive technology, technopreneurship, disabilities-compensatory

ABSTRAK

Technology Asistif, merupakan kajian penting dalam konteks pendidikan khusus. Fokus kajiannya pada nilai-nilai filosofis, fungsional, dan teknologi tepat guna. Dikembangkan melalui need assessment, validasi disain, ergonomis dan kompensatoris disabilitas. Melalui kemitraan, mahasiswa didorong mengembangkan teknologi asistif seri komersial, tanpa mengorbankan nilai-nilai kompensatorisnya. Perspektif technopreneurship memberi kesempatan kepada mahasiswa dan dosen untuk memperkuat perkuliahan menjadi lebih fungsional. Melalui perspektif technopreuneurship produk teknologi asistif menjadi bernilai lebih, karena selain memenuhi kebutuhan kompensatoris, sekaligus berstandar produk komersial.

Kata Kunci: Teknologi asistif, technopreneurship, kompensatoris disabilitas

LATAR BELAKANG

(23)

dimaknai sebagai metode untuk mengolah sesuatu agar menjadi efisien, sehingga dapat menghasilkan produk lebih berkualitas. Dasar penciptaan teknologi adalah kebutuhan pasar, solusi atas permasalahan, aplikasi berbagai bidang keilmuan, perbaikan efektivitas dan efisiensi produksi, serta modernisasi (Santosa 1997). Teknologi memiliki potensi untuk berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik, termasuk bagi individu disabilitas (Wehmeyer et al 2008 dalam Alnahdi 2014).

Dalam konteks membantu individu disabilitas ini, kajian teknologinya dikembangkan pada assistive technology, yaitu teknologi yang mengacu pada setiap produk, perangkat, atau peralatan, apakah diperoleh secara komersial, dimodifikasi atau disesuaikan, yang digunakan untuk mempertahankan, meningkatkan, atau memperbaiki kemampuan fungsional individu disabilitas, berkaitan dengan activity of daily living termasuk aktivitas belajarnya (Johnston et al 2007 dalam Alnahdi 2014).

McCulloch (2004) mengemukakan untuk semua siswa, teknologi membuat segalanya lebih mudah. Untuk siswa disabilitas, teknologi membuat hal-hal menjadi mungkin. Teknologi asistif ini mencakup yang "low tech” sampai yang "high-tech". Dalam kaitannya dengan aktivitas belajar, teknologi asistif dikembangkan dalam perspektif Universal Design for Learning (Wehmeyer 2006 dalam Alnahdi 2014). Salah satu yang mendapat perhatian peneliti dan akademisi adalah intervensi digital (Theng 2015) yang berfungsi meningkatkan kualitas kehidupan dan berpotensi mencapai populasi lebih besar serta penghematan (Langrial et al 2012).

Sherwood (2005), mengemukakan untuk menciptakan produk teknologi inovatif, diperlukan hal yang lebih kaya dan mendalam, diperlukan pendekatan dan kajian multidisipliner. Berkenaan dengan hal tersebut , untuk meningkatkan kreativitas mahasiswa yang mengikuti perkuliahan teknologi asistif pada Departemen Pendidikan khusus, FIP UPI Bandung, inovasi perkuliahan terus dikaji melalui kajian disain, ergonomik dan perspektif technopreneurship, termasuk kajian kebutuhan kompensatoris sebagai intinya. Melalui perspektif technopreneurship, diharapkan produk teknologi asistif memiliki nilai tambah. Produk inovatifnya selain memenuhi kebutuhan kompensatoris, juga memiliki nilai komersial yang membuka jalan ke arah wirausaha (Suherman 2010)

Dari perspektif disain pengembangan teknologi asistif merupakan proses pengubahan makna, melalui proses panjang dengan mengeksploitasi kemampuan perencanaan. Karena itu, unsur manusia menjadi sangat dominan, baik dalam pelaksanaan maupun perencanaannya (Palgunadi 2007). Sedangkan kajian ergonomi memberi warna tersendiri, berperan dalam menganalisis, meneliti, memperkirakan, menentukan, merencanakan, dan membuat produk berdasarkan asas pemenuhan berbagai fungsi hubungan yang selaras antara produk yang direncanakan dengan manusia sebagai penggunanya. Dikenal sebagai hubungan manusia dan mesin. Selain itu, ia mempertimbangkan berbagai hal berkaitan dengan dampak produk secara fisik dan psikologis terhadap pengguna dan lingkungannya.

(24)

proses mendengar, berbahasa dan berbicara. Hambatan neuromotor, ditunjukan dengan ketidakmampuan mengendalikan fungsi motorik dan keseimbangan, kesulitan mengendalikan gerakan spontan, mobilitas, kelemahan otot dan atropi, pengurangan kekuatan tonus otot dan kejang.

Akibat hambatan di area learning, socio-emotional, communication, dan neuromotor, individu disabilitas memiliki resiko tinggi terhadap kegagalan dalam mengembangkan potensinya. Keempat area fungsi hambatan tersebut tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan aktivitas belajar berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap pemberikan perhatian pada tugas pembelajaran, mengorganisasikan pekerjaan, mengikuti pengarahan, mengelola waktu dan mengajukan pertanyaan. Hambatan pada disabilitas dapat terjadi apabila seluruh atau sebagian interaksi individu disabiltas dan lingkungan tidak berlangsung positif.

Adapun kebutuhan sosio-emotional berkaitan dengan proses belajar keterampilan hidup, termasuk bagaimana menangani diri sendiri, menjalin hubunggan dengan orang lain serta bekerja efektif. Dalam kaitannya dengan diri, pembelajaran sosio-emosional membantu mengenali emosi dan belajar bagaimana mengelola perasaan itu. Dalam konteks interaksi dengan orang lain, pembelajaran sosio-emosional membantu mengembangkan simpati dan empati, kerja sama dan mempertahankan hubungan positif.

Berikutnya hambatan perkembangan komunikasi, membutuhkan komunikasi yang tepat, sehingga proses pembelajaran dapat lebih efektif. Ada tiga pendekatan komunikasi alternatif bagi individu dengan hambatan komunikasi yang disebabkan hambatan pendengaran, yaitu: secara oral, manual (isyarat), dan gabungan keduanya (komunikasi total). Sedangkan hambatan neuromotor membutuhkan pengembangan aktivitas motorik. Hal ini dimaksudkan untuk melatih pengendalian gerakan spontan, meningkatkan kemampuan mobilitas, melatih keseimbangan, meningkatkan kekuatan otot, mencegah atropi dan kejang.

Teknologi asistif ini di menarik dikaji, mengingat secara emfiris, dipasaran tersedia banyak pilihan, baik yang sejak awal disediakan untuk individu disabilitas, maupun yang tidak diperuntukan bagi penyandang disabilitas. Disisi lain banyaknya pilihan tersebut menuntut kompetensi khusus, agar pilihannya tepat guna. Hal ini penting karena individu disabilitas dalam melakukan aktivitas motor, sosial, edukasi dan budaya tidak terlepas dari barrier. Banyak penyandang disabilitas tidak mampu menggunakan perangkat biasa, yang memang tidak didisain untuk mereka (Santrock 2007). Pemilihan teknologi asistif dengan mempertimbangkan fungsi kompensatoris, dan didasarkan atas need assesment dapat meningkatkan kepercayaan diri dan semangat hidup individu disabilitas. Sebaliknya, jika pemilihannya tidak mempertimbangkan fungsi kompensatoris, selain tidak efektif juga akan menambah persoalan. Karena itu, teknologi asistif yang berkembang di masyarakat memerlukan kajian terus menerus.

Berdasarkan sintesis riset yang telah dilakukan, dan setelah melalui penguatan technopreuneurship, disimpulkan diperlukan perluasan konteks kajian, yang semula pada tataran teknologi adaptif diperluas kajiannnya pada teknologi asistif. Hal ini didasarkan atas kebutuhan lebih luas dari sekedar pemenuhan kompensatoris disabilitas, yakni agar mampu mengeksplorasi dan meningkatkan nilai-nilai komersialnya. Berdasarkan perspektif teknopreuneurship, mata kuliah yang awalnya bernama teknologi adaptif berganti menjadi teknologi asistif. Luasnya kajian teknologi asistif membuka perpektif technopreneurship.

(25)

Gambar 1 Unsur yang Membangun Tenologi Asistif

Sebagai pengampu mata kuliah teknologi asistif, penulis terus melakukan riset berkaitan dengan teknologi asistif ini, melalui berbagai skim, seperti penelitian hibah kompetitif DIPA UPI, Hibah Kompetisi Program Unggulan (2008-2009). Model jejaring kemitraan dikembangkan melalui penelitian Hibah Strategi Nasional Bath-1 DP2M DIKTI (2009). Sementara itu dari aspek kurikulum dan pendekatan perkuliahan dikaji melalui penelitiah Hibang Bersaing DP2M DIKTI (2008, 2009 dan 2010). Sedangkan untuk memberi penguatan konten, dikembangkan melalui Technopreneurship Course Development Program salah satu program yang diluncurkan Recognition and Mentoring Program, IPB (2010).

Teknologi asistif ini, dikaji oleh semua mahasiswa jenjang S1 Departemen Pendidikan Khusus. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kajian mata kuliah lainnya, semuanya saling terkait sebagai rangkaian kompetensi guru pendidikan khusus yang harus dimiliki. Secara khusus materi teknologi asistif terbagi dalam materi konseptual, kontekstual dan aplikatif. Perkuliahan teknologi asistif, tergolong perkuliahan praktikum, dilakukan melalui pendekatan sandwich, setelah tahap teori, ada kesempatan praktek, dikaji kembali secara teoretis. Strategi perkuliahannya menggunakan Introduction, Connection, Application, Reflection dan Extension. Dosen menjelaskan tema dan tujuan pembelajaran. Mahasiswa mendiskusikan topik perkuliahan dan implikasinya, serta menyimpulkan aspek esensial dalam jurnal refleksi. Berikutnya mahasiswa dianjurkan membaca informasi tambahan dan selanjutnya mengaplikasikan konsep dan konteks teknologi asistif yang dikajinya.

Selain di jenjang S1, topik teknologi asistif ini juga dikaji di S2 prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS UPI, termasuk di universitas lain, meskipun tidak dalam matakuliah tersendiri, tapi topik ini telah menjadi kajian khusus berkaitan dengan tugas akhir mahasiswa. Hal ini didasarkan atas banyaknya hasil riset berkaitan dengan teknologi terapan, hanya aplikasinya membutuhkan konteks, seperti konteks kebutuhan kompensatoris disabilitas.

(26)

Perspektif Teknopreuneurship dan Problematikanya

Dengan keyakinan teknopreneurship dapat diajarkan, maka perguruan tinggi memiliki potensi sebagai supplier berbagai teknologi. Technopreuneur university merupakan konsekuensi dari paradigma baru peran universitas dalam konteks hubungan dengan industri yang terus berevolusi dari teaching university, research university menuju technopreneur university. Disadari untuk mencapai hal tersebut diperlukan persyaratan, salah satunya bagaimana menumbuhkan technopreneurship dalam budaya akademik, mengembangkan perkuliahan dalam perspektif technopreneurship, termasuk kegiatan ko-kurikulernya.

Terbatasnya lapangan kerja juga menuntut perguruan tinggi mengarahkan mahasiswa untuk menjadi job creator. Berkenaan dengan hal tersebut, permasalahannya adalah bagaimana mengembangkan matakuliah teknologi asistif dalam perspektif technopreneurship, atau jika scope sequence, bagaimana hal itu dikembangkan. Disisi lain program ko-kurikuler technopreneurship juga mendesak dikembangkan. Technopreneurship merupakan dukungan dalam menciptakan inovasi agar berdampak kepada masyarakat. Hal ini penting untuk mempercepat proses penciptaan ide inovatif atau solusi teknologi menjadi aplikasi terapan. Perkembangan bisnis teknologi diawali dari ide kreatif yang mampu dikembangkan, sehingga memiliki nilai jual. Penggagas ide dan pencipta produk teknologi tersebut disebut technopreneur. Karena mereka mampu menggabungkan ilmu pengetahuan melalui kreasi produk yang diciptakan dengan kemampuan kewirausahaan melalui penjualan produknya di pasar (Suherman 2010)

Skenario karena mereka bekerja dengan individu disabilitas sebagai pengguna akhir untuk membuat solusi teknologi yang akan memungkinkan mereka untuk hidup lebih mandiri. Mahasiswa selain belajar secara konseptual, juga belajar aspek keterampilan teknis serta kerja sama tim, tanggung jawab, termasuk komunikasi interpersonal. Goldberg & Pearlman (2013). Tujuan studi ini adalah belajar tentang proses yang mengoptimalkan hasil, melalui studi artikel, peer-review tentang pengembangan produk, serta membantu individu mencapai potensi optimal dan hidup yang memuaskan dan kehidupan yang berharga (Raskind 2000).

Penelitian dan komersialisasi adalah kunci technopreneurship. Komersialisasi merupakan pemindahan hasil penelitian ke pasar dengan cara menguntungkan. Technopreneurship dituntut menjamin teknologi berfungsi sesuai kebutuhan kompensatoris disabilitas dan memiliki nilai jual. Perspektif technopreuneurship pada dunia pendidikan khusus cukup menarik dan menantang. Mengingat, pada prakteknya pendidikan khusus selalu mempertimbangkan 4 komponen utama, yaitu: Physical Environment, Teaching Procedures, Teaching Content/Materials dan Use of Adaptive Equipment. Dalam konteks use of adaptive equipment, kita dapat menelusuri peran technologi asistif.

Perkuliahan diawali dengan kajian kasus, dianalisis esensi kebutuhan kompensatoris disabilitasnya melalui needs assesment. Diilanjutkan dengan kajian bahan dan produk teknologi asistif yang ada. Berdasakan needs assesment ditetapkan disain teknologi asistif yang memenuhi kebutuhan kompensatoris disabilitas. Melalui validasi disain, ergonomi dan perspektif technopreneurship, dibuat pra-produksi dilanjutkan dengan produksi teknologi asistif yang paling mungkin berdasarkan pertimbangan ketersediaan waktu, anggaran dan nilai komersialnya (Suherman 2010)

(27)

hasil. Tanggapan mahasiswa terhadap isu technopreneurship cukup baik, ditunjukan dengan meningkatnya motivasi mewujudkan ide menjadi produk berstandar, juga dengan testimoni yang mengatakan perkuliahan ini menambah wawasan dan memberikan tantangan. Perkuliahan ini memotivasi mahasiswa untuk berpartisipasi dalam intenshive student technopreneurship program di RAMP-IPB dan kegiatan sejenisnya. Perkuliahan ini juga menghasilkan buku manual, modul ektension, booklet produk karya kreatif mahasiswa yang memuat nama, kode, deskripsi, fungsi, penggunaan dan spesifikasinya.

Orang tua dan lembaga pendidikan merupakan konsumen potensial produk teknologi asistif. Dilihat dari jejaring kemitraan, dukungan lembaga internal dan eksternal sangat positif. Di sisi lain perkuliahan teknologi asistif

selalu menghasilkan produk kreatif yang membutuhkan produksi lebih lanjut, sehingga bernilai komersial dan memberi income generating bagi senmua.

Dengan perspektif technopreneurship kualitas produk dan jaringan kemitraan terus dikembangkan. Beberapa langkah strategis dilakukan, seperti dengan mengembangkan efektivitas program melalui penguatan jejaring alumni departemen pendidikan khusus yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka adalah sumber daya eksternal mitra yang handal dan sebagai laboratorium pengkajian teknologi asistif sekaligus merupakan pasar potensial. Berdasarkan pemikiran ini diperlukan kesepakatan untuk bermitra dalam kajian sekaligus dalam pemasaran produksi.

Secara internal, UPI diharapkan mensuport dengan menjamin adanya dana produksi untuk seri produk komersial. Perspektif technopreneurship berhasil meningkatkan kualitas proses dan produk teknologi asistif. Dari aspek penyiapan guru pendidikan khusus, perkuliahan ini memberi kesempatan kepada mahasiswa dan dosen untuk memperkuat tujuan perkuliahan praktikum dan membangkitkan kewirausahaan. Perkuliahan teknologi asistif dalam perspektif technopreneurship ini, tidak lepas dari hambatan. Hambatan ini berkaitan dengan padatnya jadwal perkuliahan, dan sempitnya waktu produksi, sehingga produknya belum optimal.

Dari sisi teknis produksi masih terkendala mitra bengkel produksi yang memiliki aktivitas padat, sehingga proses produksi tidak bisa dipercepat. Kontrol kualitas juga belum optimal, proses uji produk belum terpantau, sehingga persoalan yang muncul tidak dapat segera diketahui, dan baru muncul setelah diproduksi, padahal banyak hal yang dapat diatasi pada saat proses. Hambatan lainnya berkaitan dengan teknisi yang menguasai teknologi berkaitan dengan idenya, termasuk tingginya biaya produksi, sehingga banyak ide yang di batalkan meskipun secara teknis memungkinkan diwujudkan.

(28)

Upaya mengatasi kendala waktu produksi dan uji produk akhir, mahasiswa diberi kesempatan penambahan waktu, sebagai batas toleransi. Sedangkan untuk mengatasi kontrol kualitas proses produksi, dilakukan monitoring melalui teknik sampling, dan pertimbangan urgensi produk teknologi yang akan diselesaikan. Untuk hal yang berkaitan dengan keahlian khusus diupayakan melalui dosen tamu ahli meskipun ini juga masih terkendala, karena minimnya anggaran. Upaya lainnya adalah dengan evaluasi bersama tim multidisipliner yang memiliki keahlian khusus untuk memberi penilaian dari pespektif keahliannya masing masing. Gambar 2 menunjukkan contoh technologi asistif karya mahasiswa.

Gambar 2 Teknologi Asistif Produk Mahasiswa

PENUTUP

Perspektif technopreneurship menjadikan teknologi asistif lebih menarik dan menantang. Aspek esensial yang penting dipelajari, serta prinsip dan prosedurnya terus dikembangkan. Demikian juga hakikat ergonomi, dan hakikat disain produk, aspek esensial yang dikajinya, termasuk aplikasinya dalam konteks pengembangan teknologi asistif. Perspektif technopreneurship memberi wawasan invensi, dan inovasi lebih luas. Strategi komersialisasi produk inovatif, hak kekayaan intelektual termasuk strategi kemitraan dalam pengembangan teknologi asistif juga merupakan kajian penting. Tulisan ini merupakan salah satu wujud pertanggung jawaban akademik penulis baik sebagai dosen pengampu matakuliah teknologi asistif maupun berkaitan dengan riset-riset selama ini.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Alnahdi G. 2014. Assistive Technology in Special Education and The Universal Design for Learning, The Turkish Online Journal of Educational Technology, April 2014, volume 13 issue 2

Goldberg & Pearlman. 2013. NCIIA‟s 17th Annual Conference• March 22-23, Washington, DC

McCulloch L M. 2004. Assistive Technology, A.Special Education Guide to Assistive Technology, Montana: Montana Office of Public Instruction Division of Special Educ

Palgunadi B. 2007. Disain Produk, Disain, Disainer, dan Proyek Disain, Bandung: Penerbit ITB

Raskind M. 2000. Assistive Technology for Children with Learning Difficulties, California: Schwab Foundation for Learning

Suherman Y. 2010. Laporan Technopreneurship Course Development, RAMP-IPB, Pengembangan Perkuliahan Teknologi Adaptif Melalui Penguatan Technopreneurship, Bandung: Jurusan PLB

Santrock J W. 2007. Educational Psychology. Psikologi Pendidikan, Alih Bahasa Try Wibowo B.S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sherwood D. 2005. Smart Things to Know About Innovation & Creativity, Cerdas yang Perlu Diketahui Tentang Inovasi dan Kreativitas, Alih Bahasa Marianto. S. Jakarta: Elek Media Komputindo

Santosa I. 1997. Interaksi Manusia dan Komputer, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Smith, David J. 1988. Inclusion, School for All Student. Sekolah Ramah Untuk Semua. Alih Bahasa Denis dkk. Bandung: Nuansa

(30)

Wawasan Pengembangan Teknoprener Di

Perguruan Tinggi

Koesparmadi

Ketua Entrepreneurship Center, Institut Teknologi Indonesia (ITI) dan peneliti pada Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK) Prodi Perencanaan Wilayah & Kota

081311450506/ Bayer203@yahoo.com

ABSTRACT

ITI telah menjalankan kurikulum kewirausahaansejak 2009. Evaluasi kurikulum mengarahkan pada pentingnya memahami aspek tehnik secara tuntas suatu produk. Metode motivasional, perkuliahan konvensional dan pengetahuan manajerial perlu dilengkapi dengan pemahaman yang utuh tentang produk-teknologis. Metode „reverse engineering‟ memberi peluang memahami dimensi sosiologis, dimensi akademis, sekaligus dimensi manajerial suatu produk. Temuan-temuan pada pengalaman tersebut merupakan bahan yang baik untuk kontektualisasi percepatan teknoprener; penelitian, manufaktur, kondisi pasar, dinamika perkembangan teknologi dan pentingnya komunitas teknologi merupakan aspek-aspek yang dibutuhkan dalam mengembangkan teknoprener.

Upaya strategis untuk memaksimumkan sumber daya manusia adalah penggunaan metode yang tepat untuk memberdayakan mahasiswa. Keragaman minat/bakat/pengetahuan/kemampuan mahasiswa harus dapat diakomodasi dalam peluang karya nyata yang beragam. Instructional system design adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk hal tersebut.

PENDAHULUAN

Pengetahuan untuk mahasiswa tehnik tentang teknoprener dan responnya dalam bentuk karya nyata merupakan bahan penggalian yang sangat menjanjikan untuk menemukan teori dan model pembelajaran yang khas. Tulisan ini merupakan wacana yang dikembangkan dalam rangka evaluasi kurikulum Kewirausahaan di ITI (Institut Teknologi Indonesia)–Serpong; perkuliahan telah berlangsung sejak tahun 2009. Dalam konteks Indonesia dan globalisasi, tulisan ini ingin bertitik tolak dari dua hal yaitu hubungan antara pendidikan dengan pembangunan ekonomi dan kondisi belajar-mengajar mahasiswa.

(31)

dapat maksimal untuk menuju masyarakat industri, khususnya sebagai teknoprener.

Pada akhirnya „exercise academic‟ untuk teknoprener perlu dikembangkan pada berbagai dimensi pendidikan dan akan harus terkait intens dengan dunia luar sekolah untuk menyumbangkan pada percepatan kreasi dan inovasi yang lebih nyata. Pengembangan kurikulum perlu dibarengi dengan upaya penciptaan masyarakat yang lebih industrialis atau beriorientasi produktif.

Karya Mahasiswa, Bentuk Kemanfaatan dan Metodologi Pembelajaran

Berdasarkan pengamatan pada hasil karya mahasiswa dan mengikuti proses berkarya dalam teknoprener dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 kategori persepsi mahasiswa terhadap kreasi dan inovasi, yaitu:

1. Penemuan produk baru 2. Pengembangan fungsi produk

3. Penyempurnaan atau penajaman fungsi produk 4. Meniru suatu produk

Membimbing dan menilai berbagai gagasan produk dan karya fisik teknoprener ternyata berujung pada kesimpulan bahwa apapun karya teknoprener, kontekstualisasi karakter/kemampuan/pengetahuan mahasiswa dan kemanfaatan riil bagi masyarakat sangat menentukan nilai pembelajaran. Ternyata inovasi tidak hanya bermakna teknis-teknologi tetapi juga bermakna sosiologis. Apresiasi tinggi tidak hanya untuk suatu „invention‟ tetapi juga untuk produk yang sifatnya sederhana dan sangat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Teknoprener dengan nilai yang tinggi bukan hanya terbatas pada apresiasi tinggi pada aspek teknis-teknologi tetapi juga pada aspek sosiologis. Bagi masyarakat kita yang sangat membutuhkan perubahan luas sampai ditingkat perdesaan, social-entrepreneurship sangat dibutuhkan. Social-entrepreneurship menekankan pada aplikasi produk dan pengorganisasian masyarakat. Untuk itu metodologi belajar-mengajar teknoprener perlu dicari yang dapat mengakomodasi keragaman minat/bakat/kemampuan/pengetahuan mahasiswa.

Aspek manfaat atau bentuk karya yang bermanfaat tak terhingga jumlah dan bentuknya seiring dengan dinamisnya perkembangan teknologi. Kemudahan, kecepatan, kenyamanan, keselamatan dan ketepatan sebagai kriteria dalam keseharian kehidupan telah menjadi pemicu sekaligus hasil dari pengembangan teknologi. Sisi dinamika teknologi memang penting untuk dikenali secara „real

time‟ untuk mencapai nilai manfaat yang tinggi suatu produk teknoprener. Dalam bidang elektronika, yang mana sangat mempengaruhi sebagian besar produk teknoprener telah terjadi perkembangan yang sangat cepat tentang ic (integrated circuit) yang rumit menjadi lebih sederhana dan terkodifikasi. Dikembangkannya micro-control atau micro-processor menyebabkan setiap orang bisa menjadi produsen dengan mengandalkan suatu konsep produk, setiap orang bisa menjadi produsen tanpa harus membuat pabrik segalanya. Artinya perkembangan teknologi pada produk komponen mempunyai dimensi sosiologis. Pengajar atau mentor dituntut untuk mampu memahami perkembangan teknologi supaya bisa lebih cepat membimbing melalui rumusan konseptual produk-produk teknoprener.

(32)

barangkali perlu dicoba supaya mahasiswa (dengan karakter/kemampuan/ pengetahuan yang berbeda-beda) dapat berperan secara maksimal sebagai sumber daya. Dimensi teori dan praksis, aspek substansi pengetahuan dan substansi belajar-mengajar akan harus dirangkum dalam kurikulum teknoprener.

Untuk efisiensi dalam konteks kelembagaan, metode pembelajaran yang kompleks tersebut diatas perlu dijalankan secara lintas disiplin dan lintas prodi. Dibutuhkan „grand strategy‟ pada tingkat institut dan tingkat prodi atau disiplin ilmu sehingga kurikulum dan penelitian dapat saling mendukung dalam kerangka teknoprener.

Aspek-aspek Pokok Untuk Percepatan

Pada kenyataannya pengembangan pembelajaran teknoprener tidak cukup hanya dengan pembekalan motivasional dan kanvas bisnis tetapi juga harus mempertimbangkan pada aspek teknis. Percepatan berkarya dalam menentukan

gagasan manfaat produk akan terbantu dengan adanya sikap dasar „empati‟.

Berbagai metode yang diterapkan untuk menemukan gagasan suatu produk secara kreatif pada dasarnya adalah menuntut kemampuan tiap manusia untuk mau-tahu dengan permasalahan yang dihadapi manusia lain sekaligus mencontoh dan menggali model bisnis untuk produk serupa. Metode motivasional dan metode pengembangan bisnis umumnya dipakai untuk hal tersebut.

Berdasarkan pengamatan pada proses menjalankan teknoprener, upaya percepatannya dapat disiasati melalui hal-hal sebagai berikut:

1. produk yang sudah ada dapat dijadikan referensi untuk inovasi 2. penguasaan fungsi sistemik suatu produk

3. pemahaman komponen dalam tiap fungsi

4. pengembangan fasilitas (workshop) internal secara tematis untuk prototyping

Metode „Reverse Engineering‟ (RE) dapat dicoba untuk mengatasi semua permasalahan tersebut diatas. RE sebagai suatu mata kuliah memungkinkan

terjadinya pemahaman yang „in-line‟ antara teori dan sumber daya komponen atau bahan mentah suatu produk. Pendalaman metode RE tersebut telah membawa kita pada persoalan-persoalan lain yang lebih kompleks; ternyata teknoprener adalah suatu ekosistem. Ekosistem teknoprener meliputi aspek-aspek penelitian, jaringan industri komponen, jaringan produk teknologi, dinamika teknologi dan komunitas teknologi.

Suatu produk dengan kriteria manfaat tertentu akan lebih cepat ditentukan komponennya bila fungsi-fungsi yang terkandung didalamnya dapat dikenali secara tepat pada tahap awal gagasan. Hal ini sangat mengandalkan kemampuan konseptualisasi. Konsep teknologi adalah substansi pada ranah teori atau dengan kata lain informasi dan pengetahuan hasil penelitian akan sangat diandalkan untuk konseptualisasi gagasan teknoprener. Hal yang sebaliknya bisa terjadi pula bahwa penelitian akan dipicu oleh pengembangan fungsi-fungsi suatu produk teknoprener.

(33)

Untuk itu pada kasus perkuliahan Kewirausahaan di ITI, terpikirkan untuk secara terintegrasi terdapat perkuliahan lintas disiplin disamping perkuliahan umum. Substansi yang bersifat umum seperti misalnya motivasional, manajemen dan CAD perlu dikombinasikan dengan substansi yang besifat teknis-khusus. Metode belajar-mengajar yang menekankan pada praktek atau experiential learning dengan karakter mahasiswa yang beragamminat/bakat/kemampuan/pengetahuannya juga akan membutuhkan media workshop yang harus mudah diakses. Semua ini membutuhkan proses dan pentahapan dari hal yang sederhana sampai kepada kompleksitas inkubasi bisnis; hal ini membutuhkan „learning curve‟ yang khas. Apa implikasi akademis dan kelembagaan bila ITI memperkuat disiplin dan fasilitas bidang elektronika?

Aspek Rekayasa Sosial

Dalam konteks teknoprener di Indonesia, sejarah kebijakan untuk industri dan sejarah industri menunjukkan belum terciptanya masyarakat industrial. Rentang permasalahannya begitu luas yaitu mulai dari etos industrial yang relatif belum terbentuk pada masyarakat dan angka impor yang tinggi dalam sektor industri. Apa peran teknoprener dalam kondisi ini? Jaminan mendapatkan komponen yang tepat dan ekonomis, jaminan adanya pasar yang tepat untuk skala start-up, kemudahan dan keberlanjutan melakukan inovasi dll merupakan persoalan nyata teknoprener dalam inkubator. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan adanya STP (Science & Technology Park). Dibutuhkan puluhan tahun untuk terciptanya Silicon Valley atau kawasan-kawasan industri yang mengandalkan teknologi. Adakah peluang untuk memperpendek waktu bagi terciptanya STP – STP di Indonesia?

Seperti yang terjadi pada STP yang dianggap berhasil di dunia, faktor

„milieu‟ adalah sangat mendasar bagi masyarakat inovatif. Milieu atau „lingkungan

mental‟ yang sesuai dengan dunia industri yang serba cepat, tepat dan kreatif adalah faktor-faktor yang dapat diciptakan melalui unit-unit komunitas. Produk-produk teknoprener dapat berfungsi sebagai perubah masyarakat dalam unit komunitas.

Suatu tema produk tertentu akan mempunyai jaringan yang khas dan terpola; suatu rangkaian fungsi yang khas mulai dari gagasan sampai dengan pemasok bahan baku dan jaringan pasar. Tema dalam teknoprener mempunyai makna peluang terciptanya suatu satuan komunitas teknologi tertentu.

Untuk mempercepat terjadinya ekosistem teknoprener dengan skala yang

„sustainable‟ (seimbang antara pasar dan produksi serta adanya inovasi yang berkelanjutan), dibutuhkan adanya tema-tema besar supaya terjadi jaringan dan rangkaian sumber daya yang masif dan efisien. Melalui tema-tema tertentu, perguruan tinggi dapat memanfaatkan secara maksimal sumber daya di dalam maupun di luar kampus untuk perubahan kearah masyarakat industri. Tema besar akan menciptakan jaringan komunitas teknologi yang luas, cepat dan nyata-karya, sekaligus menciptakan keberagaman substansi teknologi. Misalnya penanganan sampah elektronik akan merupakan suatu tema besar bagi masyarakat kita. Persoalan ini memerlukan penelitian dan percobaan-percobaan secara cermat pada teknologi bahan, pada mekanisasi penghancuran bahan, pada aspek jaringan sosial pengguna produk dan pengolah sampah, pada kebijakan pemerintah dsb.

(34)

karakter dunia industrinya dapat dikatakan belum „industrial minded‟, yang mempunyai peluang sebagai pasar yang sangat potensial dan sedang

mengupayakan „self sustained‟ dalam segala bidang. Semoga perguruan tinggi dapat menjalankan peran sebagai penggerak ekonomi nasional melalui peluang percepatan dalam teknoprener.

KESIMPULAN

Peran perguruan tinggi dalam percepatan teknoprener adalah berusaha mengembangkan fungsi sosialnya dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Penelitian; mendukung karya dan produk-produk yang dibutuhkan masyarakat 2. Mengembangkan peran mahasiswa dalam konteks produksi – teknologi; baik

dalam bidang akademis maupun praksis

3. Jaringan kemitraan dengan manufaktur; mengikuti perkembangan iptek dan berperan dalam dunia nyata

4. Pembentukan komunitas khusus; memotori terbentuknya „cluster‟ (kelompok

dalam masyarakat) dengan tema-tema teknologi

Sumber bacaan:

Foundations of a Reverse Engineering Methodology, Jeremy Barrett Guillory, BSME, Thesis, Master of Science in Engineering, The University of Texas at Austin, 2011

Innovation in Indonesia, Assessment of the National Innovation System and Approach for Improvement, Kai Mertins (Editor), PERISKOP – Fraunhofer IRB Verlag, 2002

Pendidikan Antisipatoris, Mochtar Buchori, Penerbit Kanisius, 2001

Principle of Instructional Design, Robert M Gagne, Leslie J Briggs, Walter W Wager, Harcourt Brace College Publishers, 1992

Technopoles of The World, The making of twenty-first-century industrial complexes, Manuel Castells and Peter Hall, Routledge, 1994, London –

Gambar

Gambar 1 Kategori Belajar Sumber: Bell dan James (2006)
Gambar 1 Unsur yang Membangun Tenologi Asistif
Gambar 2 Teknologi Asistif Produk Mahasiswa
Gambar 1 Konsep The Local Enablers
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar- kan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Debt to equity ratio yang tinggi menunjukkan bahwa tidak adanya efisiensi kinerja dari perusahaan dalam mengoptimalkan modal sendiri untuk menjamin seluruh hutang

Adapun judul dari Laporan Akhir ini adalah “ Perencanaan Jembatan Rangka Baja Air Pedado Kelurahan Kramasan Kecamatan Kertapati!. Palembang Provinsi Sumatera

Menurut hasil penelitian dan pembahasan perhitungan uji anava satu jalan dengan sel tak sama dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran Think Pair Share, model

Hal ini sejalan dengan penelitian dari Che-Ahmad, Shaharim, & Abdullah (2017), Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat interaksi guru-siswa, kesesuaian lingkungan

(2) Setiap tenaga kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, organisasi profesi di bidang kesehatan dan

3) yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;.. 4) data kualifikasi yang diisikan benar, dan jika dikemudian hari

Elemen ekuitas merek yang akan diukur adalah kesadaran merek (Brand Awareness), asosiasi merek (Brand Association), persepsi kualitas merek (Perceived Quality).. dan