• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982

DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

E. Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi : Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti

adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi.48

Kedaulatan merupakan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara dalam batas wilayahnya, yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedaulatan Negara dibatasi oleh wilayah negara itu dan berlaku dalam batas-batas wilayahnya. Negara dikatakan sebagai subjek hukum internasional

47Ibid, Pasal 7 ayat (2,3, dan 4)

48 Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (unclos 1982) di Indonesia, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun Anggaran 2008, hlm 46-47

apabila memiliki batas-batas wilayah tertentu sebagai satu kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya. 49

UNCLOS dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Dalam Pasal 69 ayat (4) undang-undang tersebut disebutkan bahwa:

“...penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Ketentuan ini memungkinkan penerapan sanksi pidana berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia dengan “bukti permulaan yang cukup” melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Yurisdiksi Indonesia melakukan penenggelaman kapal asing illegal fishing di teritorial perairan Indonesia dibutuhkan guna meminimalisir illegal fishing secara besarbesaran, mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan baik itu dalam menjaga ekosistem laut Indonesia dan peluang bagi nelayan Indonesia dalam memanfaatkan ikan-ikan untuk memajukan perekonomian negara, serta dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Jika ditinjau dari UNCLOS, Negara lain harus mentaati peraturan perundang-undangan yang dibuat negara pantai sepanjang itu tidak bertentangan dengan konvensi dan Hukum Internasional.50

49 Kadek Rina Purnamasari, Yurisdiksi Indonesia Dalam Penerapan Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing Berdasarkan United Nations Convention On The Law Of The Sea, Artikel Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2017, hlm 4

50Ibid., hlm 4-5

Sebagai konsekuensi dari penarikan garis pangkal kepulauan, timbul persoalan mengenai perairan laut yang terletak pada sisi dalamnya. Pasal 49 UNCLOS ayat (1) dan (2) menyatakan kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai, Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas perairan kepulauan , juga dasar laut dan tanah dibawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, perairan kepulauan merupakan perairan yang berada atau terletak pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan. Pasal 50 UNCLOS mengatur tentang penetapan batas perairan pedalaman. Ditegaskan bahwa di dalam perairan kepulaunnya , negarakepulauan dapat menarik garis-garis penutup (closing lines) untuk tujuan penetapan batas-batas perairan pedalaman.51

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara dilaut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati dilaut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Sampai dengan sekitar tahun 1970-an keempat Konvensi tersebut masih dianggap cukup memadai untuk mengatur segala kegiatan manusia dilaut. Tuntutan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Konvensi-konvensi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan didasar laut, dan menurunnya persediaan sumberdaya hayati dilaut. Di samping itu,

51 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia, Bandung, Yrma Widya, 2014,hlm 136

pesatnya teknologi perkapalan juga merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan Konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidak memadai lagi.52

Salah satu ketentuan baru yang dihasilkan oleh Konfrensi Hukum Laut Ketiga adalah pengakuan masyarakat internasional tentang pengaturan khusus bagi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Diluar laut teritorialnya, dalam suatu jalur/zona yang berbatasan dengannya yang disebut jalur/zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter.53

Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3) pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara

pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya

52 Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasiona, Bandung, Alumni, 2003, hlm 170.

53 Ibid. hlm 174 & 175.

untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.54

Berkenaan dengan yurisdiksi dalam penegakan hukum atas wilayah teritorial dikenal adanya dua asas yaitu asas teritorial subyektif dan asas teritorial obyektif. Dalam asas teritorial subyektif negara-negara menjalankan yurisdiksi agar dapat menuntut dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dimulai dalam wilayah mereka, tetapi diselesaikan di wilayah negara lain. Asas ini didasarkan pada Genewa Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency (1929) dan Genewa Convention for the Suppression of the Illicit Drug Traffic (1936).

Sedangkan pada asas teritorial obyektif, beberapa negara melaksanakan yurisdiksi teritorial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dimulai di negara lain.55

F. Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang