• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH

PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Samudra Kevin P 130200550

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 8

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH

PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982

Samudra Kevin P

*

** Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H

*** Abdul Rahman, S.H., M.H

Praktek penangkapan ikan secara illegal merupakan tindak kriminal lintas negara yang terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara-negara dikawasan lainnya. Selain meruikan secara ekonomi, sosial, dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa. Adapun permasalahan dalam penelitian ini pengaturan hukum nasional terhadap penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan indonesia dalam perspektif Hukum internasional. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982.

Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.

Pengaturan hukum nasional terhadap penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang ketentuan hukum penenggelaman kapal asing. Dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia dalam perspektif Hukum internasional terhadap penenggelaman kapal asing ilegal diyakini tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral, regional, dan multilateral Indonesia dengan negara lain. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982, penegakan hukum di laut merupakan langkah atau tindakan serta upaya dalam rangka memelihara dan mengawasi ditaatinya ketentuan-ketentuan hukum baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku di laut yurisdiksi nasional Indonesia.

Kata Kunci : Penegakan Hukum, Kapal Asing, Pencurian Ikan.1

1 Samudra Kevin P, Mahasiswa FH. USU *

** Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H, Dosen FH USU

*** Abdul Rahman, S.H., M.H, Dosen FH USU

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuha Yang Maha Esa atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehinggga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripisi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982” Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan di dalam penulisan, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum., selaku Wakil Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

6. Bapak Abdul Rahman SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu dan tenaga buat penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan tenaga buat penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa kedua orang tua ayahanda Aga Putra dan ibunda Susi Andrian dan Saudara-Saudari saya Chiquita vidya , Gilang Cempaka , Farah Millenia , Muhammad Bintang, Tryan Widjanarko, Iqbal Tawakal yang telah memberikan dukungan dan bantuan moril sehingga terselesaikannya skripsi ini.

10. Untuk teman-teman Nurul Nurdiningrum, Ufa Antia, Aditya Nanda, Maher Syalal, Abdul Haris, Audi Enzo, Rahmanuel Siahaan, Acha Rouyas, Erastus Manurung, Sandro Simangungsong, Fadli Hadi, Raka Rambe, Nando Simanjuntak, Albert Lumbantoruan, Hadyan Fahmi, Christ Imanuel, Daniel Lumbangaol, Daniel Sihite, Dimas Pratama, Josep Banjarnahor, Kriselia Tobing, Muhammad Iqbal, Kadzimi Sembiring, Bung Randy, Asril Gunawan, Maichael Sinambela, Tria Noverisa, Nanda Mandry, Mira Yusuf, BMC 94 dan Senior FH USU Serta untuk teman-teman angkatan 013 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu

(7)

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis seraya minta maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, November 2018 Penulis,

Samudra Kevin P

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II PENGATURAN HUKUM NASIONAL TERHADAP PENENGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA A. Wilayah Perairan Indonesia ... 21

B. Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982 ... 29

C. Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia ... 33

(9)

BAB III DAMPAK PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia ... 42 B. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan

Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam

Perspektif Hukum Internasional ... 51 C. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan

Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam

Perspektif Hukum Nasional ... 54 BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING

YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI

WILAYAH PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982

A. Hak Negara Pantai Menurut UNCLOS 1982 ... 58 B. Penegakan hukum terhadap Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan

Indonesia Berdasarkan Hukum Nasional ... 64 C. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan

Indonesia Berdasarkan Unclos 1982 ... 73 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai negara kesatuan merupakan suatu konsekuensi atas kondisi geografis Indonesia dengan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan memiliki wilayah laut yang sangat luas, sekitar 2/3 (dua pertiga) wilayah Indonesia berupa lautan. Dengan cakupan wilayah laut yang begitu luasnya, maka Indonesia pun diakui secara Internasional sebagai negara kepulauan yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982 yang memberikan kewenangan dan memperluas wilayah laut Indonesia dengan segala ketetapan yang mengikutinya.2

Laut yang sangat luas dan garis pantai yang panjang membuat Indonesia menyimpan hasil laut yang berlimpah. Kekayaan laut NKRI sangat besar dan beraneka ragam, baik berupa sumber daya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk farmasi bioteknologi); sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, biji besi, bauksit dan mineral lainnya); energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.3

2 Ayu Efritadew, Penenggelaman Kapal Illegal Fishing Di Wilayah Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Selat, Volume. 4 Nomor. 2 Mei 2017, hlm 261.

3 Sri Puryono, Mengelola Laut Untuk Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016, hlm 5.

(11)

Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dibagi menjadi zona dimana negara memiliki kedaulatan penuh didalamnya dan zona dimana negara hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Zona Maritim dibagi menjadi Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi. Wilayah perairan meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. Sedangkan Wilayah Yurisdiksi meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen sedangkan pada Zona Tambahan negara hanya mempunyai Yurisdiksi tertentu, pada ZEE dan Landas Kontinen hanya tempat berdaulat.

Dalam Zona dimana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh negara dapat menerapkan aturan hukum nasionalnya sama seperti yang ditetapkan diwilayah daratnya kepada orang, benda, ataupun peristiwa yang terjadi di Zona tersebut.4

Praktek penangkapan ikan secara illegal merupakan tindak kriminal lintas negara yang terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara-negara dikawasan lainnya. Selain merugikan secara ekonomi, sosial, dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa.5

Kegiatan Illegal fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga. Tindakan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin serta mengeksploitasi kekayaan

4 Ibid

5 Haryanto, Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Pelaku Illegal Fishing Oleh Pemerintah Indonesia Dalam Persfektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal Law Reform, Volume 13, Nomor 1, Tahun 2017, hlm 71

(12)

alam di dalamnya adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state). Salah satu upaya penanggulangan untuk memberantas praktik illegal fishing, Presiden telah memerintahkan agar petugas pengawas di lapangan untuk bertindak tegas, jika perlu dengan menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Tindakan tersebut merupakan salah satu upaya negara untuk mengamankan kekayaan alam dan lautIndonesia, yang merupakan amanat UUD 1945 sebagaimana dijabarkan dalam Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.6

Maraknya kasus illegal fishing yang terjadi di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia di ZEEI sangat merugikan bangsa Indonesia.

Berdasarkan data audit BPK 2012 menemukan potensi pendapatan Negara hilang mencapai Rp.300 triliun/tahun akibat illegal fishing yang dilakukan oleh kapal- kapal ikan berbendera asing dengan menggunakan peralatan-peralatan modern.

Illegal fishing merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi, Untuk

itu, pemerintah menyatakan perang terhadap illegal fishing.7

Akibat pencurian ikan ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp.101 triliun per tahunnya. Selain hilangnya daya saing nelayan Indonesia, illegal fishing juga telah menimbulkan kerugian negara di antaranya tidak tercatatnya ekspor dari hasil penangkapan ikan di teritorial Indonesia dan matinya

6 Ibid

7 Ketut Darmika, Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Oleh Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Dalam Perspektif Undang-Undang Ri Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015hlm 486-487

(13)

aktivitas di pelabuhan hingga pasar lelang karena praktik pemindahan muatan di tengah laut (transhipment) selama ini.8

Maraknya pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal berbendera asing di wilayah perairan Indonesia tentu sangat merugikan para nelayan yang nyatanya didominasi oleh nelayan-nelayan skala kecil, menjadi kalah bersaing, dan berpotensi mendesak mata pencaharian masyarakat nelayan kecil. Kerugian lain yang tidak dapat dinilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, citra negatif bangsa Indonesia di kalangan dunia internasional karena dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanan dengan baik.9

Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 dan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dipandang belum mampu sepenuhnya mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan.10 Gatot Supramono berpendapat bahwa kelemahan undang-undang tersebut meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek menajemen pengelolaan, aspek birokrasi, dan aspek hukum.11

Salah satu bentuk penegakan hukum di bidang perikanan yaitu penenggelaman kapal berbendera asing yang melakukan tindak pidana perikanan

8 Teddy Nurcahyawan, Penegakan Hukum Dan Penenggelaman Kapal Asing (Studi Kasus Tindak Pidana Pelaku Illegal Fishing), Era Hukum. Volume 2, No. 1, Juni 2017, hlm 344- 345

9 Ibid., hlm 345

10 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm 40

11 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pudana di Bidang Perikanan, Jakarta, Rineka Cipta, 2011, hlm 8.

(14)

di perairan Indonesia, Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pada penjelasan Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan dinyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing. Misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.12

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982.

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum nasional terhadap penengelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia?

2. Apakah dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia dalam perspektif Hukum internasional?

12 Ibid

(15)

3. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982?

J. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan utama penulisan, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum nasional terhadap penengelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia.

2. Untuk mengetahui dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan indonesia dalam perspektif Hukum internasional.

3. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982.

2. Manfaat Penulisan

Di dalam penulisan ini sangat diharapkan adanya kegunaan karena nilai suatu penulisan ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penulisan.

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penulisan ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

1.Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya.

(16)

2.Diharapkan hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penulisan sejenis dimasa yang akan datang.

K. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik secara fisik maupun online terkait dengan judul Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982, tidak ditemukan namun ada beberapa judul terkait dengan penenggelam kapal pencuri ikan di perairan Indonesia, antara lain:

Belardo Prasetya Mega Jaya. Fakultas Hukum Universitas Lampung (2016), dengan judul penelitian Tindakan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Illega L Fishing Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional dan hukum nasional.

2. Prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan llegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Jessie Asley. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2018), dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Terhadap Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Illegal Fishing Di Indonesia Oleh Kementerian Kelautan Dan

(17)

Perikanan Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Internasional. Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Pengaturan mengenai pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing dalam perspektif hukum nasional.

2. Pengaturan mengenai pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing dalam perspektif hukum internasional.

3. Tinjauan yuridis terhadap kebijakan penenggelaman kapal asing illegal fishing oleh kementerian kelautan dan perikanan Indonesia sebagai bentuk dari penegakan hukum dalam perspektif hukum nasional dan internasional.

Nurul Efridha. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2015), dengan judul penelitian Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Nelayan Asing Di Wilayah Laut Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Laut Internasional. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Yurisdiksi negara pantai diatas wilayah laut berdasarkan Ketentuan hukum laut internasional.

2. Yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan oleh nelayan asing di wilayah laut Indonesia.

3. Upaya Indonesia dalam menangani masalah pencurian ikan di wilayah laut Indonesia.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.

(18)

L. Tinjauan Pustaka 1. Kapal Asing

Pasal 1 angka 39 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kapal asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia.13 Berkaitan dengan hak lintas kapal asing, banyak yang berpikiran bahwa kapal asing tidak boleh melintasi wilayah perairan nasional, akan tetapi pada daratan berlaku kedaulatan penuh sedangkan di kawasan laut berbeda. Kedaulatan penuh (sovereignty) wilayah perairan hanya berada pada pada laut territorial (12 mil laut dari garis pangkal) sedangkan di luar itu (zona tambahan, ZEE dan landas kontinen) berlaku hak berdaulat (sovereign right) yaitu hak untuk mengelola dan memanfaatkan, bukan memiliki secara

penuh.

Hak dan kewajiban kapal asing pada alur laut kepulauan, berikut adalah hak negara kepulauan menurut UNCLOS 1982, yaitu: Negara kepulauan berhak menentukan alur laut kepulauannya untuk digunakan sebagai rute pelayaran, Negara kepulauan berhak untuk menentukan traffic separation schemes untuk keselamatan pelayaran dan negara kepulauan berhak untuk mengadopsi peraturan Perundang-Undangan terkait dengan alur laut kepulauan. Adapun kewajiban dari negara kepulauan, adalah: Negara kepulauan berkewajiban menyediakan jalur pelayaran sebagai konsekuensi dari pembuatan peraturan mengenai hak lintas alur laut kepulauan, Negara kepulauan berkewajiban untuk tidak menghalang halangi lintas alur laut kepulauan, negara kepulauan berkewajiban mempublikasikan

13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 angka 39

(19)

setiap bahaya pelayaran dan penerbangan kepada semua kapal dan pesawat udara yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan dan Negara kepulauan berkewajiban untuk tidak menangguhkan lintas alur laut kepulauan.14

Ketentuan Pasal 53 dan 54 UNCLOS 1982, hak dan kewajiban bagi kapal- kapal yang melakukan lintasan tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan oleh negara bersangkutan. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa semua kapal dan pesawat udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur- alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian hak ini juga dapat dinikmati oleh kapal-kapal perang maupun pesawat-pesawat udara militer. Mengenai hal ini, ketentuan yang dapat di pakai adalah ketentuan- ketentuan dari Pasal 39 dan 40. Mengenai kewajiban kapal yang terdapat dalam Pasal 54 yang merujuk pada Pasal 39, 40, 42 dan 44 memberikan perincian tentang rangkaian kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan pesawat udara, yang dibedakan antara lain:

a. Kewajiban-kewajiban yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara;

b. Kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi kapal-kapal; dan c. Kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh pesawat udara15

Pada waktu melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, setiap kapal maupun pesawat udara diwajibkan untuk:

a. Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat;

14Nadya Khaeriyah Yusran, Tinjauan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Kapal Asing Melakukan Lintas Di Alur Laut Kepulauan Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2017, hlm 64

15 Ibid., hlm 66

(20)

b. Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional seperti tercantum dalam Piagam PBB

c. Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain dari transit secara terus- menerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal, kecuali karena force majeur atau karena kesulitan;

d. Memenuhi ketentuan lain dari bagian ini yang relevan.

Khusus bagi kapal-kapal, pada waktu melakukan hak lintas alur laut kepulauan, ketentuan-ketentuan dibawah ini harus dipatuhi, yaitu:

a. Memenuhi aturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang keselamatan di laut termasuk peraturan internasional tentang pencegahan tubrukan di laut;

b. Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal.16

2. Pencurian Ikan oleh kapal asing

Salah satu bentuk ancaman yang nyata terhadap pencurian kekayaan alam Indonesia adalah tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal erikanan berbendera asing. Pengoperasian kapal-kapal pencuri ikan asing ini jelas melanggar hukum, terutama hukum pidana internasional karena kapal ikan illegal

16 Ibid.

(21)

tersebut telah memasuki atau melanggar wilayah dan melakukan pelanggaran hukum dari sebuah negara berdaulat tanpa memperdulikan aturan Hukumnya dan kedaulatannya.17

Illegal fishing merupakan bagian dari isu Non Traditional Security atau

disingkat NTS (Keamanan Non Tradisional). Menurut pemikiran tradisionalis, pemahaman mengenai keamanan hanya berkaitan dengan militer dan tidak menerima adanya perluasan konsep keamanan. Prespektif tradisional menyatakan bahwa kebijakan keamanan keamanan terdiri dari penggunaan pasukan bersenjata- militer dan polisi- untuk membebaskan negara dan rakyat dari berbagai ancaman. Dalam hal ini, keamanan selalu terkait dengan isu kedaulatan, dan pertahanan teritori negara.18 Ancaman dalam kajian keamanan non tradisional menirut Terrif, et al. memiliki empat karakteristik umum. Pertama, sebagian besar dari masalah ini tidak bersifat state-centred, tetapi lebih berdasarkan kepada faktor atau aktor non negara. Kedua, ancaman keamanan tidak memiliki satu wilayah geografis tertentu. Ketiga, keamanan tersebut tidak diselesaikan hanya dengan mengandalkan kebijakan keamanan tradisional. Keempat, sasaran ancaman individu dan negara.19 Illegal fishing bukanlah ancaman berdimensi penyerangan akan tetapi skalanya pada pelanggaran kedaulatan oleh non state actor. Perlu diketahui NTS di masyarakat internasional cenderung sangat

17Haryanto., Op.Cit., hlm 78

18 Sezer Ozcan, “Securitization Of Energy Through The Lenses Of Copenhagen School”, Orlando International Conference, West East Institute, Orlando, hal. 4. Diakses dari:

http://www.westeastinstitute.com/wp-content/uploads/2013/04/ORL13-155-Sezer-Ozcan-Full- Paper.pdf, pada tanggal 31 Oktober 2017

19 Metrini Geopani, “Analisi kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil tertular indonesia (ditinjau dari proses sekuritisasi dan lingkungan hidup)”, 2008, Tesis Universitas Indonesia Program Studi Kajian Ilmu Lingkungan, hal 9. diakses dari:

http://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=120836&lokasi=lokal#horizontalTab2, pada tanggal 31 Oktober 2018

(22)

menekankan keamanan manusia. "Manusia" di sini tidak hanya mengacu pada manusia pada umumnya, tetapi juga mencakup individu.

Illegal fishing adalah dalam definisi internasional, kejahatan perikanan

tidak hanya pencurian ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing), dan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing). Negara yang belum melaporkan status perikananannya dengan jelas, bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan. Tindakan yang tepat dilakukan sekarang ini adalah melaporkan sesuai data yang akurat sehingga dunia internasional dapat membantu Indonesia melalui tindakan yang tepat.

3. Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982.

Republik Indonesia telah memproklamasikan zona ekonomi eksklusif Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 melalui suatu Pengumuman Pemerintah, tanpa menunggu terbentuknya konvensi secara resmi. Tindakan ini membawa konsekuensi hukum yaitu diperlukannya pengaturan yang dapat melindungi kepentingan nasional Indonesia sendiri. Kemudian Pengumuman Pemerintah ini diikuti dengan pembentukan undang-undang yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 20

Laut territorial laut yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi perikanannya, dimana potensi di bidang penangkapan mencapai 6,4 juta ton per tahun, potensi perikanan umumnya sebesar 305.650 ton per tahun serta potensi

20Ida Kurnia, Penerapan Unclos 1982 Dalam Ketentuan Perundang-Undangan Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Prioris, Volume 2, Nomor 1, September 2008, hlm 45

(23)

kelautan kurang dari 4 miliar USD/tahun.21 Dalam UNCLOS 1982 juga ditentukan lebar Zona Ekonomi Eksklusif. Adapun lebar Zona Ekonomi Eksklusif diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi sebagai berikut : The exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth ofthe territorial sea is measured. Dengan terjemahan sebagai berikut : Pasal 57 : zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. 22

Di dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti telah disebutkan di atas bahwa ZEEI diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983. Yang dimaksudkan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah berbunyi sebagai berikut : ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Rumusan Pasal 2 yang mengandung batasan sekaligus lebar serta perairan Indonesia, yang berarti bahwa wilayah mana yang termasuk ke dalam kedaulatan negara Indonesia dan wilayah mana yang tidak termasuk ke dalam kedaulatan negara Indonesia atau di wilayah mana negara Indonesia hanya memiliki hak-hak berdaulat saja, yaitu suatu rezim di mana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat atas sumber daya alam hayati.23

21Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 2

22 Ida Kurnia., Op.Cit., hlm 46

23 Ibid.

(24)

Dengan telah diratifikasinya konvensi PBB tentang UNCLOS 1982, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982, maka Indonesia sebagai negara kepulauan harus mampu menampung kepentingan internasional yang berkaitan dengan kedaulatan maupun hak berdaulat. Hal ini mengakibatkan di laut disamping berlaku hukum nasional juga berlaku hukum internasional. Kedua aturan ini, yaitu UNCLOS 1982 dan aturan hukum nasional yang berkaitan dengan pengaturan zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menunjukkan adanya persamaan persepsi dan justru dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 memperkuat penerapan hukum nasional dalam lingkup internasional. 24

M. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder.25

2. Sifat penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala- gejala lainnya.26 Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.27

24 Ibid., hlm 47-48

25 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta,Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 118.

26 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian hukum, Surakarta, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2010, hlm 20

27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007, hlm. 10.

(25)

3. Data penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terbagi atas:

a. Bahan hukum primer yaitu berbagai bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

3) Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF).

4) International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing).

5) Statuta Mahkamah Internasional.

6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

8) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Tentang : Pengesahan United Nations Convention On. The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).

9) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

10) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

11) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional Indonesia

12) Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

13) Undang-Undang Nomorr 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

14) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

(26)

15) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

16) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.

17) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.

18) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan.

19) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per/18/Men/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.13/Men/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.

20) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang Pemberian Kewenangan SIPI dan SIKPI Untuk Kapal Perikanan Berukuran Di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage Sampai Dengan 60 (Enam Puluh) Gross Tonnage Kepada Gubernur.

21) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN- KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.

22) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016.

(27)

23) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut.

24) Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut

b. Bahan-bahan hukum sekunder, adalah juga seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Namun, berbeda dengan bahanbahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang sekunder ini, secara formal tidak dapat dikatakan sebagai hukum positif.28 Bahan-bahan hukum sekunder dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, antara lain berupa; Buku-buku literatur. Tulisan-tulisan ilmiah berupa jurnal, makalah, maupun artikel- artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Tulisan-tulisan ilmiah berupa jurnal, skripsi, tesis, makalah, maupun artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier yaitu berbagai bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, serta ensiklopedia.

4. Teknik pengumpulan data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap peraturan

28 Soetanyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013, hlm 68-69

(28)

perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan para ahli hukum, putusan-putusan hakim yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

5. Analisis data

Penelitan ini merupakan penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Bahan hukum yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya semua bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dimaksud. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan ini.

N. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam penulisan, dan pengembangan terhadap isi skripsi ini, maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang diorganisirkan ke dalam bab demi bab sebagai berikut

Bab I, Pendahuluan, bab ini merupakan awal latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

(29)

Bab II, Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia, yang berisikan Wilayah Perairan Indonesia. Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982.

Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia.

Bab III, Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional, bab ini berisikan Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Nasional.

Bab IV, Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982, bab ini berisikan Hak Negara Pantai Menurut UNCLOS 1982. Penegakan hukum terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan Hukum Nasional. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan Unclos 1982.

(30)

Bab V, Kesimpulan dan Saran, merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini.

Pada bagian ini, dikemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu mengerjakan skripsi ini mulai dari awal hingga pada akhirnya.

(31)

BAB II

PENGATURAN HUKUM NASIONAL TERHADAP PENENGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN

DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

D. Wilayah Perairan Indonesia

Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan dimasukkan kedalam UNCLOS III Tahun 1982, utamanya pada Pasal 46. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan” berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan pengertian “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian beratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.29

Perairan Indonesia yang meliputi laut territorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan laut, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen Indonesia, baik permukaan lautnya, daerah perairannya, maupun derah dasar laut dan tanah dibawahnya memiliki manfaat atau fungsi yang sangat besar. 30

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan pada Pasal 3 ayat:

(1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.

29 Maskun .http://www.negarahukum.com/hukum/konsepsi-negara-epulauan.html,diakses tanggal 28 Oktober 2018

30 Abdul Muthalib Tahar, Zona-zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Lampung, Universitas Lampung, 2011, hlm. 5-6.

(32)

(2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

(3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

(4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantaipantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.31

Secara geografis sebagai negara Kepulauan, Negara Republik Indonesia terletak di sekitar khatulistiwa antara 94°45' BT-141°01' BT dan dari 06° 08' LU- 11°05' LS, sedangkan secara spasial, wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan dari utara ke selatan 1.888 km². 65%

dari seluruh wilayah Indonesia ditutupi oleh laut dengan luas total perairan laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 , terdiri dari 3,1 juta km² wilayah laut kedaulatan (0,3 juta KM2 Perairan Teritorial, dan 2,8 juta km2 Perairan Nusantara) dan 2,7 km² laut ZEE berdasarkan UNCLOS 1982. Oleh sebab itu keberadaan suatu lembaga yang menjalankan fungsi Keamanan dan Keselamatan di wilayah laut Indonesia adalah hal yang mutlak demi tegaknya Kedaulatan dan Hukum serta

31Lusy K. F. R. Gerungan, Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016, hlm 7

(33)

terpeliharanya segala aspek kelautan dan pemanfaatannya demi kepentingan nasional.32

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia telah memperkuat kedudukan dan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara.11 Berdasarkan data yang dimiliki terdapat 17.508 pulau dan yang telah terinventarisir sejumlah 7. 353 pulau yang bernama dan 10.155 pulau yang belum bernama yang tersebar di seluruh NKRI. Dari antara 7.353 pulau yang bernama tersebut, terdapat 67 pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan 10 di antaranya perlu mendapat perhatian khusus, karena terletak di perbatasan terluar yang langsung berbatasan dengan negara tetangga.33

Pengaturan dalam Bab IV UNCLOS 1982 dimulai dengan penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain”. Maksud dari Pasal 46 butir (a) tersebut adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini dikarenakan, dalam Pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu

32 Ibid

33 Ibid

(34)

merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, Pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.34

Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia , dimana tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ini merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut, terutama yang menyangkut keadaan ekonomi dalam pengeloloahan , pengawasan dan pelestarianya. Sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.35

Perairan nusantara (archipelagic waters) adalah perairan yang berada di antara pulaupulau dengan batas luarnya adalah garis pangkal kepulauan (Pasal 49 UNCLOS 1982). Indonesia mempunyai kedaulatan penuh atas wilayah laut, dasar laut dan subsoil, serta udara di atasnya berikut sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dengan kewajiban untuk menjamin terselenggaranya hak lintas damai (Pasal 52 UNCLOS 1982) dan hak lintas pada alur-alur laut kepulauan Indonesia (Pasal 53 UNCLOS 1982), serta menghormati hak-hak penangkapan ikan tradisional, hak-hak yang terbit dari perjanjian-perjanjian yang telah ada dan hak- hak atas kabel dan pipa dasar laut yang telah ada (Pasal 51 UNCLOS 1982).36

34 Abdul Muthalib Tahar., Loc.Cit

35 P. Joko Subagyo , Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta , 2005, hlm 63

36Tommy Hendra Purwaka, Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Mimbar Hukum Volume 26, Nomor 3, Oktober 2014, hlm 360

(35)

Kawasan laut Indonesia sangat luas, mencapai 3.273.810 km2,anugerah ini sangat menguntungkan bagi Indonesia, sebab di wilayah laut Indonesia terkandung berbagai macam sumber daya kelautan, mulai dari berbagai macam jenis ikan seperti pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang hingga terumbu karang berkembang biak dengan baik di perairan Indonesia sebagai tempat tinggal ikan yang dimiliki Indonesia sekitar 574 spesies jenis karang dari 605 total jenis terumbu karang yang diketahui dunia.37

Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut, dasar laut, subsoil, dan udara di atasnya berikut sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjamin terselenggaranya hak lintas damai baik melalui alur-alur kepulauan maupun alur- alur tradisional untuk pelayaran internasional (Pasal 49, 52 dan 53 UNCLOS 1982). Zona tambahan (contiguous zone): Pasal 48 UNCLOS 1982 memberi peluang kepada negara kepulauan untuk mendeklarasikan zona tambahan selebar 24 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan atau 12 mil laut diukur dari batas luar laut teritorial, namun demikian Indonesia belum memanfaatkan peluang tersebut.38

Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) adalah perairan laut selebar 200 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan atau 188 mil laut diukur dari batas luar laut teritorial (Pasal 55 jo. Pasal 57 UNCLOS 1982). Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,

37 Ni Wayan Purnama Sari. “Metode Baru Sebagai Usaha Untuk Merehabilitasi Terumbu Karang di Indonesia Secara Cepat”, Majalah Ilmiah Oseana, No. 1, vol. XL, (2015), hlm. 27.

38 Tommy Hendra Purwaka., Loc.Cit.

(36)

konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati, yang terkandung di perairan, dasar laut, dan subsoil, pendirian bangunan laut, penelitian ilmiah kelautan, dan perlindungan lingkungan laut (Pasal 56 UNCLOS 1982). Perairan ZEE berstatus laut lepas, demikian juga status udara diatasnya. Di wilayah tersebut berlaku kebebasan bagi pelayaran dan penerbangan. Ketentuan- ketentuan hukum mengenai ZEE diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1980 tentang ZEE Indonesia dan Bab V UNCLOS 1982. Landas kontinen (continental shelf) adalah wilayah dasar laut termasuk subsoil yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan pulau-pulau Indonesia. Bila kelanjutan alamiah tersebut bersifat landai, maka batas terluar landas kontinen ditandai dengan adanya continental slope. Bila kelanjutan alamiah bersifat curam secara mendadak tidak jauh dari

letak garis pangkal kepulauan, maka batas terluar landas kontinen berimpit dengan batas luar ZEE, yaitu 200 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan. Ketentuan hukum landas kontinen tersebut diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia dan Bab VI UNCLOS 1982.39

Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dapat dibagi menjadi zona yang di mana negara memiliki kedaulatan penuh di dalamnya dan zona di mana negara hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Zona maritim di mana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut teritorial (territorial sea). Dengan demikian batas terluar dari zona laut di mana suatu negara mempunyai kedaulatan penuh adalah batas terluar dari laut

39 Ibid

(37)

teritorialnya yakni berdasarkan UNCLOS 1982 tidak boleh melebihi 12 mil laut diukurdari garis pangkalnya. Sedangkan zona maritim di mana negara pantai mempunyai yurisdiksi yang terbatas adalah zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landasan kontinen (continental shelf). Di luar dari zona-zona ini, yakni di laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international sea bed area) tidak ada satu negara pun yang dapat mengklain kedaulatan ataupun yurisdiksi di atasnya.40

Negara lain memang masih bisa menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, perairan pedalaman, ataupun perairan kepulauan dari suatu negara namun itu harus dilakukan dengan seizin dari negara pantai dan tunduk pada aturan hukum nasional negara pantai tersebut dan UNCLOS 1982. Hal yang berbeda terjadi di ZEE dan Zona tambahan di mana yuridiksi suatu negara terbatas karena dalam UNCLOS 1982, negara pantai hanya diakui memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi terbatas sesuai yang telah ditetapkan dalam UNCLOS 1982. Dalam ZEE negara mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi mengenai eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, atau kegiatan lain yang berkaitan dengan eksploitasi ZEE seperti pemanfaatan arus air dan angin untuk menghasilkan energi, serta mencakup kegiatan pemakaian dan pembuatan pulau buatan, instalasi dan bangunan, atau kegiatan riset ilmiah kelautan, dan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam zona tambahan negara pantai dapat mengklaim melalui peraturan perundang-undanganya

40 Gerald Alditya Bunga, Pembentukan Undang Undang Tentang Zona Tambahan Sebagai Langkah Perlindungan Wilayah Laut Indonesia, Jurnal Selat, Mei VOl. 2 No. 2 Edisi 4, 2014, hlm 263

(38)

yurisdiksi legislatif dan yurisdiksi penegakan hukum di wilayah tersebut.

Yurisdiksi legislatif merupakan yurisdiksi suatu negara untuk membuat atau menetapkan suatu peraturan perundang-undangan mengenai suatu obyek atau perma-salahan yang belum terdapat aturan yang mengatur mengenainya dalam hukum nasionalnya.41

Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.42 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia,43 Sedangkan Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.44 Adapun perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.45

Ketentuan Pasal 7 ini menentukan bahwa di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.46Di mana perairan pedalaman terdiri atas : (a) laut pedalaman, yaitu bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah; dan

41 Ibid., hlm 264

42 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Pasal 3 ayat (1)

43 Ibid, ayat (2)

44 Ibid, ayat (3)

45 Ibid, ayat (4)

46 Ibid, Pasal 7 ayat (1

(39)

(b) perairan darat, yaitu segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.47

E. Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi : Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti

adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi.48

Kedaulatan merupakan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara dalam batas wilayahnya, yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedaulatan Negara dibatasi oleh wilayah negara itu dan berlaku dalam batas-batas wilayahnya. Negara dikatakan sebagai subjek hukum internasional

47Ibid, Pasal 7 ayat (2,3, dan 4)

48 Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (unclos 1982) di Indonesia, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun Anggaran 2008, hlm 46-47

(40)

apabila memiliki batas-batas wilayah tertentu sebagai satu kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya. 49

UNCLOS dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Dalam Pasal 69 ayat (4) undang-undang tersebut disebutkan bahwa:

“...penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Ketentuan ini memungkinkan penerapan sanksi pidana berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia dengan “bukti permulaan yang cukup” melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Yurisdiksi Indonesia melakukan penenggelaman kapal asing illegal fishing di teritorial perairan Indonesia dibutuhkan guna meminimalisir illegal fishing secara besarbesaran, mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan baik itu dalam menjaga ekosistem laut Indonesia dan peluang bagi nelayan Indonesia dalam memanfaatkan ikan-ikan untuk memajukan perekonomian negara, serta dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Jika ditinjau dari UNCLOS, Negara lain harus mentaati peraturan perundang-undangan yang dibuat negara pantai sepanjang itu tidak bertentangan dengan konvensi dan Hukum Internasional.50

49 Kadek Rina Purnamasari, Yurisdiksi Indonesia Dalam Penerapan Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing Berdasarkan United Nations Convention On The Law Of The Sea, Artikel Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2017, hlm 4

50Ibid., hlm 4-5

(41)

Sebagai konsekuensi dari penarikan garis pangkal kepulauan, timbul persoalan mengenai perairan laut yang terletak pada sisi dalamnya. Pasal 49 UNCLOS ayat (1) dan (2) menyatakan kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai, Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas perairan kepulauan , juga dasar laut dan tanah dibawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, perairan kepulauan merupakan perairan yang berada atau terletak pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan. Pasal 50 UNCLOS mengatur tentang penetapan batas perairan pedalaman. Ditegaskan bahwa di dalam perairan kepulaunnya , negarakepulauan dapat menarik garis-garis penutup (closing lines) untuk tujuan penetapan batas-batas perairan pedalaman.51

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara dilaut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati dilaut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Sampai dengan sekitar tahun 1970-an keempat Konvensi tersebut masih dianggap cukup memadai untuk mengatur segala kegiatan manusia dilaut. Tuntutan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Konvensi-konvensi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan didasar laut, dan menurunnya persediaan sumberdaya hayati dilaut. Di samping itu,

51 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia, Bandung, Yrma Widya, 2014,hlm 136

(42)

pesatnya teknologi perkapalan juga merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan Konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidak memadai lagi.52

Salah satu ketentuan baru yang dihasilkan oleh Konfrensi Hukum Laut Ketiga adalah pengakuan masyarakat internasional tentang pengaturan khusus bagi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Diluar laut teritorialnya, dalam suatu jalur/zona yang berbatasan dengannya yang disebut jalur/zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter.53

Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3) pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara

pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya

52 Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasiona, Bandung, Alumni, 2003, hlm 170.

53 Ibid. hlm 174 & 175.

(43)

untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.54

Berkenaan dengan yurisdiksi dalam penegakan hukum atas wilayah teritorial dikenal adanya dua asas yaitu asas teritorial subyektif dan asas teritorial obyektif. Dalam asas teritorial subyektif negara-negara menjalankan yurisdiksi agar dapat menuntut dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dimulai dalam wilayah mereka, tetapi diselesaikan di wilayah negara lain. Asas ini didasarkan pada Genewa Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency (1929) dan Genewa Convention for the Suppression of the Illicit Drug Traffic (1936).

Sedangkan pada asas teritorial obyektif, beberapa negara melaksanakan yurisdiksi teritorial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dimulai di negara lain.55

F. Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia

Perairan Kepulauan adalah zona maritim yang tidak dimiliki oleh semua negara pantai, namun hanya dimiliki oleh negara-negara pantai yang dapat digolongkan sebagai negara kepulauan. Pasal 49 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan adalah perairan yang dilingkupi oleh Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base line) tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai.56 Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan penuh di dalam wilayah perairan kepulauannya, ruang udara diatasnya, dalam dasar laut di

54 Usmawadi Amir, Penegakan Hukum Iuu Fishing Menurut Unclos 1982, (Studi Kasus:

Volga Case) Jurnal Opinio Juris, Vol. 12 Januari-April 2013, hlm 72-73

55 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 2009.

56 Pasal 49 UNCLOS 1982

(44)

bawahnya, di bawah tanah dan juga atas kekayaan yang terkandung di dalamnya.57

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Wilayah perairan tersebut menjadi wilayah yang berada di bawah Kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Oleh karena itu Indonesia mempunyai wewenang penuh terhadap wilayah tersebut dan dapat menetapkan hukum dalam wilayah kedaulatannya.58

Lebih lanjut, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Zona Maritim dibagi menjadi Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi. Wilayah perairan meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. Sedangkan Wilayah Yurisdiksi meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen sedangkan pada Zona Tambahan negara hanya mempunyai Yurisdiksi tertentu, pada ZEE dan Landas Kontinen hanya tempat berdaulat. Dalam Zona dimana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh negara dapat menerapkan aturan hukum nasionalnya sama seperti yang ditetapkan diwilayah daratnya kepada orang, benda, ataupun peristiwa yang terjadi di Zona tersebut. Mengacu pada pasal 5 ayat (3) Undang- Undang 32 tahun 2014 tentang kelautan yaitu kedaulatan Indonesia sebagaimana pada ayat (2) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, konvensi

57Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011, hlm 30

58 Budiyono, Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut, Bandar Lampung,Justice Publisher, 2014, hlm 84

Referensi

Dokumen terkait

Keberadaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konsep pembagian kekuasaan pada prinsipnya berperan sebagai lembaga negara

Maka dapat disimpulkan bahwa nilai moral dalam cerita rakyat Tan Nunggal dan Bujang Nadi Dare Nandong adalah nilai moral yang tidak patut dicontoh karena memiliki nilai moral

Produksi dan distribusi benih merupakan hal utama dalam konsep sistem perbenihan. Teknologi benih merupakan komponen dari suatu sistem perbenihan. Sistem perbenihan

indah dan yang tampak buruk tak selalu buruk” mungkin kata-kata yang tertulis itu cocok untuk direnungi, pertemuan pertama bukanlah tolak ukur untuk

yang harus di imani oleh seorang muslim adalah Allah SWT, para Malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul Nya, hari akhir, qadha dan qadar Nya. Kata Iman adalah bentuk masdar

pada tahap awal yang di lakukan ketika akan membuat sebuah film documenter adalah mempelajari isu atau permasalahan yang ingin kita angkat dengan cara meriset,

embatan dibuat dengan mengurangi gigi pada dua sisi gigi yang hilang atau satu sisi gigi yang hilang dengan pola preparasi ditentukan oleh lokasi gigi dan bahan jembatan yang

Analisis stilistik yang dapat diketengahkan daripada kata tersebut ialah terlihat gaya bahasa yang ringkas dan lembut kerana terdapat huruf ل. Penggunaan bahasa yang ringkas tidak