ABSTRACT
THE PROMINENT ROLE OF INTEGRATED TEAM OF
PRINGSEWU REGENCY TO MAKE RESOLUTION IN THE LAND
CONFLICT OF REGISTER 22 WAY WAYA
By
SERLY YOVICA ANDAYANI
The land conflict is one of a complex and prolonged problems, that need to be solved
optimally. In process of resolving land conflicts sometimes even feared the emergence of new
conflicts that occur between parties in conflict, so it needs an active role of the party who has
the authority in moving towards conflict resolution. According to that statement, the
Integrated Team of Pringsewu Regency took measures as the competent authority in the
conflict resolution process occurs in the Register land of The North Subdistrict Pagelaran of
Pringsewu Regency.
To see how is the prominent role of Integrated Team Pringsewu Regency writer uses the
expected role theory by Hendropuspio has state that to analysis this problem implementation
in making resolution in the land conflict of Registers 22 Way Waya of The North Subdistrict
Pagelaran of Pringsewu Regency. A descriptive qualitative research applied n the analysis,
the approach using primary data and secondary data. The data collection techniques used are
observation, interview and documentation,while in the data analyzing the writer used
facilitating the task force team from the pre to the past conflict. Moreover, several steps have
to be taken in order to resolve the conflict for observing the location of the conflict and
concluding with agencies. As the result, the research shows that the role of the task force
teams, one as the mediator and fasilitator for the parts of the conflict.
ABSTRAK
PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU
DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH
REGISTER 22 WAY WAYA
Oleh
SERLY YOVICA ANDAYANI
Konflik tanah tergolong salah satu permasalahan yang kompleks dan bersifat
berkepanjangan, sehingga diperlukan penyelesaian yang optimal. Dalam proses
penyelesaian konflik tanah terkadang justru dikhawatirkan timbulnya
konflik-konflik baru yang terjadi di antara pihak yang berkonflik-konflik, sehingga perlu adanya
peranan aktif dari pihak yang memiliki wewenang dan otoritas dalam menuju
kearah penyelesaian konflik. Berdasarkan hal tersebut Tim Terpadu Kabupaten
Pringsewu bertindak sebagai pihak yang berwenang dalam proses penyelesaian
konflik tanah Register yang terjadi di Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten
Pringsewu.
Untuk melihat bagaimana peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu Kabupaten
Pringsewu dalam meresolusi konflik di tanah Register 22 Way Waya Kecamatan
Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu penulis menggunakan teori expected role yang dikemukakan oleh Hendropuspio, teori ini menyebutkan bahwa dalam
pelaksanaanya peranan menurut penilaian masyarakat. Untuk menjawab
dokumentasi, sedangkan pada analisis penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Tim Terpadu dalam proses
meresolusi konflik tanah di Register 22 Way Waya adalah sebagai
mediator-fasilitator bagi pihak yang berkonflik, hal ini telah relatif berjalan sesuai dengan
tugasnya berdasarkan Keputusan Bupati No: B/ 126/ KPTS/I.01 / 2012 yaitu pada
tugas point pertama dan kedua; mengidentifikasi penyebab konflik, dan peranan
Tim dalam memfasilitasi mulai dari sebelum, saat dan sesudah terjadi konflik.
Langkah-langkah tindak lanjut yang diambil dalam proses penyelesaian konflik di
antara pihak yang berkonflik adalah dengan melakukan peninjauan ke lokasi dan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara kaya, menyimpan banyak kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, kekayaan tersebut diharapkan dapat
menyejahterakan masyarakatnya, salah satu dari kekayaan yang dimiliki
tersebut adalah tanah. Seperti yang penulis ketahui bahwa tanah merupakan
kebutuhan dasar dari kehidupan manusia, hampir dari semua kegiatan
kehidupan manusia memerlukan tanah. Mengingat begitu pentingnya tanah
bagi kehidupan, maka setiap orang akan berusaha untuk memiliki bahkan
menguasainya. Adanya alasan tersebut maka dapat menimbulkan konflik
mengenai pengelolaan tanah dan usaha untuk menguasai tanah di dalam
masyarakat. Sementara konflik sendiri merupakan proses perubahan sosial
yang tidak dapat dihindari dari masyarakat yang salah satunya adalah konflik
dalam pengelolaan tanah.
Nur Fauzi (2002: 2) menyebutkan bahwa masalah pertanahan perlu mendapat
perhatian yang serius dari semua pihak sebab masalah ini mempunyai
kerawanan sosial akibat tindak kekerasan yang sering ditimbulkan oleh
sumber daya langka yang tidak dapat diperbaharui bukan saja merupakan
faktor produksi utama, melainkan juga simbol status atau bahkan simbol
harga diri.
Mengingat konflik pertanahan tergolong sebagai suatu permasalahan yang
kompleks dan sifatnya berkepanjangan, maka diperlukan penyelesaian yang
optimal. Salah satunya adalah konflik tanah yang terjadi di Kabupaten
Pringsewu Kecamatan Pagelaran Utara tepatnya di kawasan Tanah Register
22 Way Waya. Tanah yang dipersengketakan adalah tanah seluas 175 hektar
yang diklaim oleh sebagaian masyarakat adalah tanah kompensasi. Sementara
masayarakat yang berkonflik adalah masyarakat Pekon Madaraya, Pekon
Sumber Bandung Pagelaran Utara, dan Masyarakat pembeli lahan.
Konflik yang terjadi di Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu itu
bermula dari proses kompensasi (tukar guling) lahan register dengan tanah
marga pada tahun 1999, serta terbitnya Surat Keputusan (SK) Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia (RI) No: 742/MENHUT-II/2009 tentang
Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Lindung Kelompok Way Waya register
22, seluas 175 hektar yang terletak di wilayah Kecamatan Pagelaran sebagai
kawasan hutan tetap dengan fungsinya sebagai hutan lindung.
Salah seorang dari masyarakat yang terlibat dalam konflik ini, yaitu
Dharsono mengaku memiliki lahan di wiliyah Madaray, menurut Dharsono
tanah tersebut sebelumnya adalah wilayah register. Pada tahun 2001 Badan
Panalogi Kehutanan Pusat membuat batas-batas di Register 22 Way Waya
742/MENHUT-II/2009, sehingga tanah miliknya berubah status menjadi
tanah marga.
Masyarakat khususnya petani warga Pekon Madaraya tidak setuju dengan
adanya kompensasi lahan itu dengan anggapan bahwa munculnya SK itu
tidak melalui proses clean and clear. Mereka tidak merasa menikmati lahan hasil tukar guling karena diserahkan ke orang lain yang sejak awal tidak
mengelola lahan tersebut oleh panitia kompensasi.
Keluarnya SK tersebut disinyalir karena adanya akta notaris yang berdasar
pada akta jual beli (AJB) palsu dari tim kompensasi. Warga sendiri merasa
tidak pernah menandatangani AJB. Warga yang tidak mengetahui lahan
resmi yang didapat dari proses jual beli dan masuk lahan marga itu, ditukar
guling dengan lahan di register 22. Selain itu, lahan kompensasi yang seluas
175 hektar sebagian dianggap berasal dari lahan warga yang dimasukkan
untuk memenuhi kuota kompensasi. Hal ini membuat warga menuntut agar
Menteri Kehutanan RI mencabut SK MENHUT Nomor 742 kembali, karena
SK tersebut diduga terjadi penipuan kepada warga.
Pemerintah Kabupaten Pringsewu yang saat itu menunggu tanggapan dari
Kementerian Kehutanan RI terkait surat yang dilayangkan, surat tersebut
dimaksudkan untuk meredistribusikan lahan kompensasi tersebut. Sementara
fakta di lapangan sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan dan
menyebabkan konflik horizontal antar warga yang sama-sama mengklaim
Terjadinya konflik yang dikhawatirkan menjadi kekerasan terkait erat dengan
proses penyelesaian konflik pada awalnya dan hal ini terkait dengan
kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik.
Pencegahan konflik diarahkan untuk menciptakan kondisi yang mendorong
penyelesaian konflik secara dini dan meningkatkan kemampuan pemerintah
dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sebelum berkembang menjadi
kekerasan.
Terkait dengan hal itu sesuai dengan Asas Desentralisasi yaitu Penyerahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengurus
urusan rumah tangganya sendiri, Gubernur Lampung menyerahkan
penyelesaian konflik tanah Register 22 ini sepenuhnya kepada Pemerintah
Kabupaten Pringsewu. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 1 ayat 4 dan 5 menyatakan:
(4) Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Pringsewu sesuai dengan salah satu fungsi Pemerintah
yaitu fungsi regulasi yang menyebutkan bahwa pemerintah mengkondisikan
masyarakat agar menjadi komunitas yang kondusif dan jauh dari pertikaian
Bupati Pringsewu No. B/126/KPTS/1.01/2012 tentang Pembentukan Tim
Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya Kabupaten
Pringsewu, Tim ini dibentuk khusus untuk meresolusi konflik yang telah
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sejauh ini Tim Terpadu sendiri telah melakukan beberapa tindakan dalam
upaya resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya, diawali dengan
memberlakukannya status quo terhadap tanah sengketa. Hal ini dilakukan
guna menghindari konflik horizontal antar masyarakat. Meski dalam status
quo, masyarakat yang masih menggarap lahan di Register 22 Way Waya
masih diperkenankan melanjutkan aktivitasnya, dengan ketentuan tidak
diperkenankan melakukan aktivitas jual beli ataupun mengalihkan status atas
lahan di Register 22 Way Waya. Keputusan ini dilakukan sampai menunggu
hasil keputusan Menteri Kehutanan.
Pada tahapan selanjutnya, Tim Terpadu mulai melakukan identifikasi
kepemilikan lahan, masyarakat yang merasa memiliki lahan dipersilahkan
untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan atas lahan. Warga di sekitar
wilayah tersebut seperti Pekon Giritunggal dan Pekon Margosari diketahui
sudah banyak yang ikut dalam program transmigrasi lokal ke Mesuji,
sehingga secara administrasi mereka tidak berhak lagi menguasai lahan di
tempat tingal semulanya, dengan begitu Tim Terpadu melakukan pendataan
ulang guna menyelesaikan sengketa lahan di kawasan Register 22 Way Waya
secara konfrehensif mengingat masih banyaknya warga yang merasa tidak
Peranan lainnya yang dilakukan Tim Terpadu adalah melakukan sosialisasi
mengenai tapal batas di Register 22 Way Waya, sosialisasi ini selain dihadiri
oleh masyarakat juga dihadiri oleh LSM SERTANI, kelompok dari Ma’mun
(Ketua Kompensasi). Tim Terpadu bersama Dinas Kehutanan dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) melakukan penelusuran dengan turun lapangan
untuk memastikan batas wilayah tanah kawasan dan memastikan patok yang
hilang maupun yang telah berpindah di wilayah Pekon Madaraya guna
mendapat data berupa perbatasan tanah kawasan dan tanah marga yang
sebenarnya. Penelusuran ini dilakukan sesuai dengan dokumen serta bantuan
alat khusus dari Dinas Kehutanan.
Perbedaan pemahaman mengenai status lahan yang beredar di masyarakat,
bahwa lahan yang menjadi sengketa itu sebelumnya adalah lahan register,
dan sebagian masyarakat menyebutkan bahwa sebagai tanah marga mebuat
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang didatangkan oleh
Tim Terpadu ke lapangan memberi catatan bahwa harus diadakannya
koordinasi antara Pemerintah Daerah ke Kementrian Kehutanan untuk
merekonstruksi tapal batas dan identifikasi fisik lahan dengan maksud untuk
memudahkan Tim Terpadu dalam mengidentifikasi antara lahan Register dan
lahan warga.
Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh Tim Terpadu adalah Ketua Tim
Kompensasi (Makmun) dinyatakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)
oleh Polsek Sukoharjo karena telah memalsukan akta jual beli yang dijadikan
sehingga semakin jelas bahwa keluarnya SK 742 itu tidak melalui proses
clean and clear. Hal itu juga didukung oleh pernyataan Kepala Bidang Intag Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bahwa SK 742 hanya menetapkan areal
pengganti sebagai hutan tetap fungsi lindung, yang semestinya untuk
dijadikan lahan kompensasi harus ada SK pelepasan dengan kewenangan dari
Kementrian Kehutanan.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan yang didatangkan
langsung oleh Tim Terpadu pada tanggal 25 Februari 2013 (Radar
Tanggamus, 26 Februari 2013) guna menindaklanjuti adanya penyalahgunaan
wewenang SK Menteri Kehutanan oleh panitia kompensasi, dan menjanjikan
untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Proses penukaran lahan sendiri
menurutnya akan terjadi apabila tersedianya lahan pengganti dari penukaran.
Sementara yang terjadi di Register 22 Waya Waya terkait penukaran lahan
justru menimbulkan konflik antar masyarakat karena lahan kompensasi
sebagian merupakan lahan warga, sehingga harus diidentifikasi secara
mendalam antara lahan register dengan lahan marga.
Melihat dari fenomena yang ada, peneliti merasa tertarik untuk meneliti
bagaimana peranan yang dilakukan secara aktif oleh Tim Khusus Kabupaten
Pringsewu, peniliti mencoba melihat peranan yang dilakukan Lembaga
Pemerintah tersebut dalam kontribusinya sebagai Tim yang dibentuk
langsung Pemkab Pringsewu dalam menanggapi fenomena terjadinya
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah
konflik yang melibatkan kelompok masyarakat diperlukan adanya
penyelesaian dari pihak pemerintah yang berwenang untuk memberikan
solusi terbaik dalam penyelesaiannya. Perumusan masalah yang akan dibahas
melalui penelitian ini adalah : “Bagaimanakah peranan yang dilakukan oleh
Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi konflik di tanah Reister 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui peranan dari Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam
resolusi konflik di tanah Reister 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran.
D. Manfaat Penelitian
1.Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Pemerintahan
dalam mengkaji tentang konflik pengelolaan tanah register di Kabupaten
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi dalam
menyikapi kasus konflik horizontal antar masyarakat khususnya di bidang
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Peranan
1. Definisi Peranan
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).
Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto
1989: 234). Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku
seseorang atau kelompok. Peranan yang melekat pada diri seseorang
harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi
seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan unsur statis
yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat.
Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan
sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam
masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Atas dasar tersebut
Soekanto menyimpulkan bahwa sesuatu peranan mencakup paling
sedikit tiga aspek, yaitu:
b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan jugan dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Menurut Abdulsyani (2007: 94) peranan adalah suatu perbuatan
seseorang atau sekelompok orang dengan cara tertentu dalam usaha
menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang
dimilikinya. Pelaku peranan dikatakan berperan jika telah
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya
dengan masyarakat. Jika seseoarang mempunyai status tertentu dalam
kehidupan masyarakat, maka selanjutnya akan ada kecenderungan akan
timbul suatu harapan-harapan baru.
Sedangkan, Abu Ahmadi (1982: 256) menyebutkan bahwa peranan
dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika
menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Seseorang dapat
memainkan fungsinya dengan menduduki jabatan tertentu.
Pengertian ini dikembangkan oleh paham interaksionis, karena lebih
memperlihatkan konotasi aktif dinamis dari fenomena peranan.
Seseorang dikatakan menjalankan peranannya manakala ia menjalankan
hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status
yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih
Merujuk dari beberapa definisi di atas, maka penulis menyimpulkan
bahwa peranan adalah suatu kegiatan yang di dalamnya meliputi status
atau keberadaan seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan
hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya atau posisinya
dalam suatu kelompok. Jika ditinjau dari sudut organisasi atau
kelembagaan maka dapat disimpulkan bahwa peran adalah suatu
kegiatan yang didalamnya mencakup hak-hak dan kewajiban yang
dilaksanakan oleh sekelompok orang yang memiliki suatu posisi dalam
suatu organisasi atau lembaga.
2. Konsep dan Teori Peranan
Narwoko (2006 : 159) peranan dinilai lebih banyak menunjukkan suatu
proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan
sosialnya. Dalam pembahasan tentang aneka macam peranan yang
melekat pada individu-individu dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat dengan adanya beberapa pertimbangan sehubungan dengan
fungsinya, yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila
struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.
b. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu yang oleh
masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. Mereka
harus telah terlebih dahulu terlatih dan mempunyai pendorong
untuk melaksanakannya.
c. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu
diharapkan oleh masyarakat, oleh karena mungkin
pelaksanaannya memerlukan pengorbanan yang terlalu banyak
dari kepentingan-kepentingan pribadinya.
d. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan
peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan
peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat
betapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.
Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan
tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. (Sarbin &
Allen, 1968 dalam www.freelist.com diakses tanggal 9 februari 2013).
Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku
yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai
dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif
independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut. Sarbin dan Allen (1968) juga menyebutkan bahwa analisis
terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan,
yaitu:
1. Ketentuan peranan, adalah pernyataan formal dan terbuka tentang
perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa
perannya.
2. Gambaran peranan, yaitu suatu gambaran tentang perilaku yang
secara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan
3. Harapan peranan, adalah harapan orang-orang terhadap perilaku
yang ditampilkan seseorang dalam menampilkan peranannya.
Menurut Narwoko peranan dapat membimbing seseorang dalam
berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah:
1. Memberi arahan pada proses sosialisasi;
2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan;
3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat; dan
4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.
Sejalan dengan hal itu untuk melihat peranan dari Tim Terpadu, penulis
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Hendropuspio dalam
Narwoko (2006: 160) dikatakan bahwa peranan sosial dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Peranan yang diharapkan (expencted roles)
Yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secermat-cermatnya dan peranan ini tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang ditentukan.
Perana jenis ini antara lainperanan hakim, peranan protoler, diplomatik, dan sebagainya; dan
2. Peranan yang disesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luwes, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Peranan yang disesuaikan mungkin tidak cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangan yang muncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat.
Menurut penulis terkait permasalahan dalam konflik tanah Register 22
Way Waya teori yang sesuai dan dirasa tepat untuk digunakan dalam
pendekatan resolusi konflik adalah teori yang dikemukakan oleh
pihak yang bertikai dalam hal ini yaitu masyarakat Pekon Madaraya dan
Sumber Bandung. Masyarakat menjadi instrumen penilaian yang utama
dalam konflik ini sebab tugas pokok dan fungsi dari Tim Terpadu
tersebut memang ditujukan untuk pemecahan masalah dan masyarakat
adalah informan yang paling memahami akar permasalahan secara lebih
mendalam, dengan demikian penilaian dari masyarakat merupakan
sebuah peranan yang tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan oleh
Tim Terpadu.
Sedangkan teori yang juga serupa dan memungkinkan untuk digunakan
dalam penelitian ini adalah actual roles, yang lebih menekankan bagaimana peranan itu dijalankan dalam tataran pelaksanaan yang lebih
fleksibel dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada lokasi
penelitian. Namun, penulis merasa bahwa teori actual roles justru berdampak pada lambatnya penyelesaian konflik dikarenakan
pendekatan dalam teori ini lebih mengedepankan fleksibilitas dari
penanganan konflik ini, sedangkan konflik horizontal yang terjadi
sudah tergolong urgent untuk segera diselesaikan mengingat kondisi di lapangan sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan, yang tidak
menutup kemungkinan untuk terjadinya konflik yang lebih serius
seperti anarkisme pihak yang berkonflik. Pendekatan dalam teori actual
roles seperti yang telah dikemukakan juga belum tentu dapat mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang berkonflik karena teori
ini melihat kekurangan yang muncul dalam pelaksanaan resolusi
dengan fakta di lapangan yang penulis ketahui setelah pra riset dari
penelitian ini.
B. Tinjauan Mengenai Pemerintah Daerah
1. Pengertian Pemerintah Daerah
Pengertian Pemerintah adalah Badan Eksekutif mulai dari Kepala
Pemerintahan (Presiden atau Perdana Menteri) beserta pembantunya,
Menteri-menteri dan seterusnya. Pengertian di atas merupakan pengertian
pemerintahan dalam arti sempit. Dalam pelaksanaannya pemerintah tidak
bisa bekerja sendiri, melainkan membutuhkan pihak-pihak lain terutama
dalam pelaksanaan pemerintah di daerah.
Menurut Pasal 1 dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah:
“Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkatnya sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.”
Menurut Harris dalam Nurcholis (2005 : 20) Pemerintahan Daerah adalah:
“unsur (turunan) pemerintahan daerah (localself-governance) yang
Berdasarkan penjelasan tersebut yang menggambarkan kapasitas
pemerintahan daerah maka di dalam pemerintahan daerah, Pemerintah
Daerah bersama perangkatnya menyelenggarakan pemerintahan sesuai
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dengan mengadopsi dan mengakui
supremasi pemerintahan nasional.
2. Wewenang Pemerintah Kabupaten
Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 21
menjelaskan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah memiliki
hal:
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; 2. Memilih Pemimpin Daerah;
3. Mengelola Aparatur Daerah; 4. Mengelola kekayaan Daerah;
5. Memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya yang berada di daerah;
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik Luar Negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional dan agama (pasal 9 ayat 1).
Selanjutnya dalam pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan
urusan yang berskala Kabupaten/Kota meliputi:
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah social; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayaan administrasi umum pemrintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. Urusan wajib lainnya diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Fungsi Pemerintah
Menurut Rasjid menyebutkan beberapa mengenai fungsi dari Pemerintah,
yaitu:
a. Fungsi Regulasi
Yaitu dimana dalam fungsi ini pemerintah mengkondisikan masyarakat agar menjadi komunitas yang kondusif dan jauh dari pertikaian dan kesewenang-wenangan. Pemerintah menjalankan fungsi pengaturan ini dengan dua jalan, yakni dengan peraturan ataua perundang-undangan dan yang kedua adalah mengadakan aparatur pengamanan. Dengan 2 kebijakan ini maka pemerintah dapat memaksimalkan fungsinya dengan baik.
b. Fungsi Pelayanan
Pada fungsi ini pemerintah akan memunculkan keadilan dan kesejahteraan di tengah-tengah rakyat. Dimana seperti yang diketahui bahwa setap warga negara menginginkan sebuah kesejahteraan di dalam kehudupan bernegara.
c. Fungsi Pemberdayaan
Berdasarkan penjelasan mengenai fungsi pemerintah di atas, khususnya
pada fungsi Regulasi atau pengaturan, maka dalam penelitian ini peneliti
mencoba melihat peranan Pemerintah Kabupaten Pringsewu dalam
menjalankan fungsi Regulasinya dengan membentuk Tim Terpadu dalam
upaya resolusi konflik Register 22.
C. Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu
Tim Terpadu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tim yang dibentuk
secara khusus yang bersifat ad hoc oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu dalam upaya Resolusi konflik di tanah Register 22 Way Waya. Sesuai dengan
Keputusan Bupati Pringsewu No. B/126/1.01/2012 tentang Pembentukan Tim
Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya Kabupaten
Pringsewu, Tim ini diketuai oleh Firman Muntako selaku Asisten 1 Bidang
Pemerintahan Kabupaten Pringsewu. Tim Terpadu ini beranggotakan:
1. Asisten Bidang Pemerintahan (Wakil Ketua);
2. Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu (Sekretaris); 6. Staf Ahli Bupati Bidang Pemerintahan;
7. Kepala Bidang Kehutanan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pringsewu;
8. Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsuwe;
9. Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Kabupaten Pringsewu;
12.Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pemangku Hutan Lindung Batu Tegi;
13.Kepala Bagian INTAG Dinas Kehutanan Provinsi Lampung; 14.Kepala Sub Bagian Pertanahan Kabupaten Pringsewu; 15.Kepala Pekon Giri Tunggal;
16.Kepala Pekon Sumber Bandung;
17.Staf Sub Bagian Pertanahan Kabupaten Pringsewu;
18.Ma’mun;
19.Tasirul Himam; 20.Firman (Blentung).
Tugas Tim Khusus yang juga dijelaskan dalam Keputusan Bupati Pringsewu
No. B /126 /1. 01/2012 yaitu :
1. Menginventarisasi, mengidentifikasi masalah-masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu;
2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan Eks Register 22 Way Waya kepada yang berhak;
3. Menetapkan hasil panen lahan garapan bagi penggarap lahan Eks Register 22 Way Waya.
D. Tinjauan Mengenai Konflik
1. Pengertian Konflik
Pengertian konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya
kesenjangan yang terjadi antara kedua belah pihak masyarakat di Desa
Madaraya dan Sumber Bandung, dimana diantara keduanya telah terjadi
perbedaan pendapat mengenai hak kepemilikan tanah atas pengelolaan
tanah kompensasi yang ada di tanah Register 22 Way Waya Kec.
Pagelaran Utara. Peneliti mencoba untuk menjelaskan defenisi konflik
dalam hal yang berkenaan dengan pertentangan antara masyarakat dengan
masyarakat. Sebagaimana konflik yang dikemukakan oleh Ramlan
“Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.”
A Constantino, dan Christina Asickles Merchant dalam buku Ramlan
Surbakti (1992: 8), mengatakan bahwa konflik pada dasarnya adalah
sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau
harapan-harapan yang tidak terealisasi.
Konflik banyak dipersepsi dan diperlakukan sebagai sebuah sumber
bencana. Konflik banyak dipahami sebagai keadaan darurat yang tidak
mengenakkan. Sedapat mungkin dihindari dan dicegah. Berbeda dengan
pandangan tersebut, pendekatan kritis terhadap konflik lebih menempatkan
konflik sebagai suatu relitas sosial dan merupakan bagian yang dibutuhkan dalam proses perubahan sosial. Konflik secara “anatomis” dipahami tidak
hanya memiliki satu warna atau satu dimensi saja. Konflik memiliki
banyak warna atau multidimensi (Dewi 200 : 6).
Dilihat dari pandangan beberapa ahli di atas maka penulis menyimpulkan
bahwa konflik adalah sebuah proses yang terekspresikan di antara dua
pihak atau lebih, dimana masing-masing pihak mempersepsikan adanya
interferensi dari pihak lain yang dinggap menghalangi jalan untuk
mencapai sebuah tujuan. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang
terlibat merasa tidak menemukan adanya kesepakatan. Konflik yang
terjadi pada masyarakat Pekon Sumber Bandung, dan Madaraya
sesungguhnya terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat yang
masyarakat yang sama-sama merasa memiliki hak atas tanah yang dikelola
di Pekon Sumber Bandung. Dari hal tersebut menimbulkan adanya
persaingan diantara kedua belah pihak untuk sama-sama memperjuangkan
hak atas tanah tersebut.
Berawal dari hal tersebut penulis menilai bahwa konflik tidak bisa dilihat
dari hanya satu dimensi, melainkan sebagai kenyataan yang berdimensi
banyak. Dimensi lain dari konflik yang jarang diperhatikan adalah “peluang” sekaligus “energi” bagi proses perubahan sosial. Oleh karena
konflik merupakan energi (sumberdaya), maka ia senantiasa ada selama
yang disebut masyarakat itu ada. Konflik tidak bisa dihilangkan karena
akan bertentangan dengan sifat ilmiahnya, yang bisa dilakukan terhadap
konflik hanya memahami, menghadapi, dan mengelolanya.
2. Sumber Konflik
Berdasarkan konsep konflik dapatlah dipahami bahwa pengertian konflik
lebih banyak kepada perbedaan dan pertentangan kepentingan. Bagaimana
konflik-konflik tersebut bisa timbul atau sering terjadi, hal yang menjadi
sebuah pertanyaan yang mendasar, karena konflik sudah tentu memiliki
sebab kemunculan seperti pepatah mengatakan tidak ada asap tanpa api, pernyataan tersebut yang kemudian sering dinamakan dengan “sumber
konflik”.
Mark dan Snyder (1981: 75) dalam bukunya “Stabilitas dan Pengelolaan
Konflik”, menyatakan sumber konflik muncul karena kelangkaan posisi
Duverger (2003: 158 ) lebih cenderung melihat “faktor ideologi” sebagai
penyebab konflik. Menurutnya “ideologi politik” yang tumbuh dan
berkembang dalam suatu organisasi dapat menjadi landasan berfikir dan
bergerak suatu organisasi dalam mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya,
ideologi politik dapat menjadi penuntun, pendorong, dan pengendali
perilaku dan tindakan politik suatu bangsa, partai politik, bahkan individu.
Penulis menyimpulkan bahwa sumber atau penyebab konflik dapat terjadi
karena kelangkaan posisi dan semakin banyaknya ideologi yang ada dalam
masyarakat sehingga timbulnya perbedaan asumsi, persepsi dan nilai-nilai
yang ingin diterapkan.
3. Manajemen Konflik
Konflik merupakan unsur yang dibutuhkan untuk mengembangkan
organisasi, jika organisasi ingin terus hidup dan tumbuh, karena konflik itu
sendiri tumbuh dari sebuah kedinamisan manusia dan sulit untuk dihindari
dalam proses kehidupannya. Seni dari manajemen konflik atau seni
memimpin dalam situasi dan kondisi konflik sangatlah penting dan
merupakan tugas yang paling berat dan paling sukar bagi mereka terutama
bagi para pemimpin.
Perlunya dikembangkan seni mengelola konflik atau biasa sering disebut
dengan Manajemen Konflik. Manajemen Konflik ini dilakukan bertujuan agar konflik yang akan, sedang, dan telah terjadi menjadi konflik yang
melainkan justru organisasi mampu mengambil pelajaran atau menemukan
inovasi baru dari adanya konflik tersebut.
Menurut Wirawan (2010:134), Manajemen Konflik dapat dijalankan
dengan cara sebagai berikut :
a. Membuat standar-standar penilaian
b. Menemukan masalah-masalah controversial dan konflik-konflik c. Menganalisa situasi dan mengadakan evaluasi terhadap konflik d. Memiliki tindakan-tindakan yang tepat untuk melakukan koreksi
terhadap penyimpangan dan kesalahan-kesalahan.
Jika sikap yang berbeda, tujuan atau sasaran individu maupun kelompok
yang tidak sama, dan segala macam perbedaanlainnya bisa diperbesar dan
diperkuat sehingga menambah semakin kuatnya ketegangan, dan
pergesekan atau friksi-friksi dan konflik-konflik dengan sendirinya akan
menjadi semakin meruncing. Maka akan menjadi masalah yang cukup
penting bagi pemimpin besar maupun kecil untuk menemukan
teknik-teknik guna merangsang konflik secara interpersonal atau kelompok, atau
bahkan sekaligus mengendalikannya, serta mampu menyelesaikan secara
sistematis tanpa menimbulkan banyak korban dan kesusahan terhadap
pihak lain.
4. Resolusi Konflik
Proses perdamaian merupakan serangkaian tindakan, pertemuan, aktivitas
yang diambil oleh kelompok yang berkonflik dan orang di wilayah yang
terkena imbasnya untuk menuju penyelesaian secara terbuka serta
penerimaan secara sosial, ekonomi, politik dan akar-akar penyebab konflik
memperhitungkan dan menyentuh tujuh elemen: jender, generasi, politik,
militer, ekonomi, budaya, social, nasional, batas-batas kewilayahan dan
sumber daya alam. (Rachmadi, 2003).
Konflik tanah yang terjadi di Register 22 Way Waya juga perlu adanya
resolusi konflik yang optimal, dengan hal itu peranan dari Tim Khusus
yang dibentuk secara khusus untuk meberikan jalan penyelesaian terbaik
atas konflik tersebut. Sepertiya halnya yang di sebutkan oleh Wirawan
(2010: 177) menyatakan, resolusi adalah proses untuk mencapai keluaran
konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik. Metode resolusi
konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk
menghasilkan keluaran konflik.
Metode resolusi konflik bisa dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri
oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (self regulation) atau melalui
intervensi pihak ketiga. Disini dengan adanya Tim Khusus diharapkan
akan adanya keluaran konflik yang berujung penyelesaian yang
memuaskan kedua pihak yang bersengketa dan tetap menjunjung adanya
keadilan. Penulis menyimpulkan bahwa resolusi konflik merupakan suatu
cara pengambilan kesepakatan atau kompromi untuk mencari keputusan
dari konflik yang didasari prinsip win-win solution, dimana kelompok atau
individu yang mengalami konflik dapat menemukan titik terang dalam
penyelesaian konflik yang ada. Pada dasar nya dari definisi tersebut dapat
dilihat bahwa resolusi konflik sangat berperan dalam penyelesaian konflik
a. Model Resolusi
Resolusi terhadap konflik-konflik yang besar tidak akan dapat terjadi
sampai suatu organisasi/kelompok telah berkembang mencapai suatu
titik dimana terdapat kesepakatan yang mendasar di dalam
organisasi/kelompok terjadi dengan pasti. Tentunya dalam hal ini setiap
konflik yang terjadi membutuhkan suatu model resolusi atau
kesepakatan bersama dalam pemecahan konflik tersebut.
Wahyu M.S. (1988:162) dalam buku Harahap Abdul menjelaskan
tentang model-model resolusi konflik, adapun model-model resolusi
tersebut adalah:
1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan :
a. Kami mengalah; b. Kami mendongkol; c. Kami ke luar;
d. Kami membentuk kelompok kami sendiri.
2. Subjugation atau Domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya. Tentu saja cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat. 3. Majority Rule, artimya suara terbanyak yang ditentukan dengan
voting, akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi. Pada hakekatnya majority ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.
4. Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
5. Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti dapat simpulkan bahwa
resolusi konflik adalah upaya yang mengarah kepada tercapainya suatu
kesepakatan untuk mengakhiri sengketa antara pihak-pihak yang sedang
terlibat dalam suatu pertentangan karena adanya perbedaan kepentingan
dan kekuasaan, selain itu adanya beberapa model resolusi yang ada
terdapat cara dan tahapan yang berbeda pula dalam setiap
penyelesaiannya.
Melihat konflik yang ada di Kec. Pagelaran Utara ini menurut penulis
konflik yang terjadi antar masyarkat ini membutuhkan penyelesaian
yang optimal, maka dalam konflik ini model resolusi konflik yang
diharapkan dapat terapkan yaitu model compromise dan integration mengingat model resolusi compromise sendiri merupakan penyelesaian
yang melibatkan pihak - pihak yang berkonflik untuk mencari jalan
tengah dalam penyelesaian konflik yang biasanya dengan dibuatnya
perjanjian damai. Sedangkan model resolusi integration merupakan model penyelesaian yang paling dewasa karena dalam penyelesaian
konflik ini tidak hanya selesai pada perjanjian damai, melainkan
pemyampaian dan mendiskusikan pendapat-pendapat yang
bertentangan, sehingga diharapakan tidak lagi ada dendam antar
masyarakat yang berkonflik dan masyarakat dapat hidup berdampingan
E. Tinjauan tentang Tanah
1. Definisi Tanah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.
Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”
Tanah dalam Pasal di atas ialah permukaan bumi. Makna permukaan
bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap otang atau
badan hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas
permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau
benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan
hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang
berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan
antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat di atasnya.
Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah negara-negara
dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas pelekatan. Asas
pelekatan, yakni bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda/tanaman
yang terdapat di atasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta
merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian,
yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan
bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali ada
2. Sumber Hukum Tanah Indonesia
Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini
yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah
merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik
pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status
tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan
hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan
riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada
masa lampau dan saat ini (Sihombing 2004: 55).
Sumber Hukum Tanah Indonesia (Sihombing 2004: 56) dikelompokkan
menjadi:
a. Hukum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu: 1. Hukum Tanah Adat Masa Lampau 2. Hukum Tanah Adat Masa Kini b. Kebiasaan
c. Tanah-tanah Swapraja d. Tanah Partikelir e. Tanah Negara f. Tanah Garapan
g. Hukum Tanah Belanda h. Hukum Tanah Jepang, dll.
Sedikit penjelasan mengenai pembagian sumber hukum tanah di
Indonesia, Tanah Garapan yaitu status tanah menduduki, mengerjakan
dan atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau
dibangun sendiri atau tidak. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya tidak mengatur
mengenai keberadaan tanah garapan, karena tanah garapan bukanlah
status hak atas tanah. Menurut Sihombing, dalam peraturan
perunadang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini, yaitu
pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pendudukan
tanah tidak sah (onwettige occupatie), sedangkan jenis tanah garapan
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tanah garapan di atas tanah
yang langsung dikuasai oleh negara (vrij landsdomein), tanah garapan di
atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah, dan tanah
garapan di atas tanah negara perorangan atau badan hukum swasta.
3. Konflik Tanah
Menurut Fauzi (2002: 43-45) konflik tanah terfokus pada pincangnya
hak dan kewajiban atas tanah Warga Negara Indonesia. Ada beberapa
hal dasar dalam pembangunan yang menyebabkan ketidakseimbangan
hak dan kewajiban masyarakat dalam pertanahan, yaitu:
a. Perubahan sistem pembangunan kehidupan ekonomi berupa
peningkatan ekspor menjadi pembangunan ekonomi konsumtif.
b. Sikap pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang selalu
memfasilitasi penyediaan tanah bagi pemodal, baik pemodal
c. Dualisme Undang-undang pertanahan, dimana UUPA bertentangan
dengan UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Irigasi, UU Pokok
Transmigrasi dan UU Pokok Kehutanan dan Perkebunan.
d. Pembangunan industri tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah
penduduk.
Seiring dengan itu, Fauzi mengatakan bahwa konflik tanah yang terjadi di
Indonesia pada dasarnya bersifat multi-dimensional. Dilihat dari aspek
pemanfaatan tanah berdasarkan struktur pembangunan, konflik petanahan
muncul hampir di semua sektor, mulai dari kehutanan, pertambangan
industri, perkebunan sampai pariwisata. Dilihat dari level konflik,
kasus/konflik pertanahan muncul baik pada level lokal maupun nasional.
Dilihat dari arah konflik, masalah tersebut dapat melibatkan antara
masyarakat dengan perusahaan, antar warga masyarakat maupun
kombinasi dari ketiganya. Sementara dari segi tempat terjadinya, konflik
pertanahan muncul hampir disetiap wilayah negeri ini.
Menurut Rusmadi Murad (dalam http://anggibuana.wordpress.com
diakses tanggal 15 februari 2013), pengertian sengketa tanah atau dapat
juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu timbulnya sengketa
hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
antara dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan berbeda
terhadap satu atau beberapa obyek Hak Atas Tanah.
Sedangkan Nasikun (1995:18), mengatakan bahwa para penganut
pendekatan konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu
terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan
otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan
mengukuhkan Status Quo dari pola hubungan-hubungan kekuasaan yang
ada dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif
berupa kepentingan untuk mengubah atau merubah Status Quo dari pola
hubungan-hubungan tersebut.
Melihat dari paparan beberapa ahli mengenai konflik tanah diatas maka
penulis menyimpulkan bahwa konflik tanah adalah timbulnya perbedaan
pendapat dari antar masyarakat mengenai pengelolaan atas kepemilikan
atas tanah yang salah satunya dikarenakan adanya dualisme
undang-undang pertanahan yang sama halnya dengan yang terjadi di tanah
Register 22 Way Waya dimana kedua belah pihak yang berkonflik
sama-sama memiliki akta dan sertifikat tanah yang berbeda.
F. Kerangka Pikir
Mengingat konflik tanah Register merupakan salah satu dari permasalahan
yang tergolong kompleks, terutama melibatkan banyak kepentingan, maka
menimbulkan konflik-konflik baru di masa mendatang. Proses penyelesaian
tersebut dapat diupayakan dengan melibatkan pihak ketiga yang memiliki
otoritas dan kewenangan yang mendukung ke arah penyelesaian, sehingga
memungkinkan tumbuhnya pola-pola diskusi antara pihak yang berkonflik
untuk mencapai kesepakatan bersama.
Berkaitan dengan resolusi konflik tersebut, khususnya pada proses resolusi
konflik tanah Register yang melibatkan kepentingan masyarakat banyak,
maka keluarlah Keputusan Bupati Pringsewu No : B /126 / 1. 01 / 2012 yaitu
dibentuknya Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu sebagai Organisasi bentukan
Pemerintah menjadi pihak yang diharapkan dapat mewakili Pemerintah
Kabupaten dalam penyelesaian konflik. Tim Terpadu sendiri memiliki tugas:
1. Menginventarisasi, mengidentifikasi masalah-masalah Tanah Eks
Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu;
2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan
lahan Eks Register 22 Way Waya kepada yang berhak;
3. Menetapkan hasil panen lahan garapan bagi penggarap laha Ekas
Register 22 Way Waya.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis menggunakan teori yang dikemukakan
oleh Hendropuspio yaitu expected roles untuk dijadikan ladasan perbandingan dengan fakta yang ada, dengan alasan mengingat teori ini
menyebutkan bahwa pelaksanaan peranan Tim Terpadu mendapat penilaian
ideal dan menyeluruh dari masyarakat sebagai instrumen penilaian utama dan
dilihat dari tugas pokok dari Tim Terpadu ditujukan untuk pemecahan
sebuah peranan yang tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan oleh Tim
Terpadu. Kemampuan dari Tim Terpadu dapat dilihat melalui penilaian
tersebut dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya dan dapat dilihat
dengan menggunakan keluaran model resolusi yang diterapkan oleh Tim
Terpadu.
Berdasarkan kerangka pikir tersebut maka dapat dibuat bagan kerangka pikir
35 Gambar 1: Bagan Kerangka Pikir
Konflik tanah Register 22 Way Waya
Tugas Tim Khusus dalam Kep. Bupati Pringsewu No : B /126 / 1. 01 / 2012 : 1. Menginventarisasi, mengidentifikasi
masalah-masalah
2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan
3. Menetapkan hasil panen lahan garapan
Proses :
Kemampuan Tim Khusus Penyelesaian Register 22 Way Waya dalam resolusi konflik tanah di tanah Register 22 Kab. Pringsewu
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana
Peranan Tim Terpadu yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu
terhadap konflik yang terjadi di tanah Register 22 Way Waya. sehingga
tergolong kedalam penelitian deskriptif. Penelitian ini tergolong ke dalam
tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
mendskripsikan secara terperinci tentang fenomena sosial tertentu dengan
menggunakan pendekatan deskriptif analisis, sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan
obyek penelitian, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak
sebagimana adanya (Bruce A Chadwick, 1991: 63)
Peneliti tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif karena metode analisis deskriptif kualitatif
yang bertujuan untuk menggambarkan variabel yang akan diteliti. Adapun
variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah peranan, yaitu peranan
yang dilakukan oleh Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan hal yang penting apabila kita melakukan sebuah
penelitian. Melalui fokus penelitian, kita dapat membatasi studi untuk
memandu dan mengarahkan jalannya penelitian, karena adanya fokus
penelitian seorang peneliti akan mudah terjebak oleh melimpahnya volume
data yang diperoleh di lapangan. Selain itu, antara masalah dan fokus
penelitian akan saling terkait, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan
bagi fokus penelitian meskipun fokus dapat berubah dan berkurang
berdasarkan data yang ditemukan di lapangan.
Memfokuskan dan membatasi pengumpulan data dapat dipandang
kemanfaatannya sebagai reduksi data yang diantisipasi. Ini merupakan bentuk
pra analisis yang mengesampingkan variabel-varibel dan yang
memperhatikan lainnya. Dengan adanya pemfokusan, akan menghindari
pengumpulan data yang serampangan dan hadirnya data yang melimpah ruah
(Nazir 1983 : 30).
Dalam penelitian ini yang dijadikan fokus oleh penulis adalah Peranan Tim
Terpadu dalam menyelesaikan konflik dengan menjalankan tugasnya sesuai
dengan Keputusan Bupati No. B/126/KPTS/I.01/2012 yaitu:
1. Mengumpulkan data tentang konflik tanah di Register 22 Way Waya
Kabupaten Pringsewu, mengidentifikasi masalah penyebab terjadinya
konflik di Way Waya. Penulis memfokuskan bagaimana proses
sampai menemukan penyebab masalah yang terjadi di Register 22 Way
Waya;
2. Peranan Tim Terpadu dalam memfasilitasi mulai dari sebelum, saat dan
sesudah terjadi konflik di Register 22 Way Waya di Kabupaten
Pringsewu. Menyelesaikan penyerahan wewenang dari Pemerintah
Daerah kepada Tim Terpadu dalam penyelesaian masalah atau resolusi
konflik terkait perluasan lahan kepada yang berhak karena adanya
kesalahan batas wilayah kompensasi di tanah Register 22 Way Waya;
3. Menetapkan jatah proporsional hasil panen dari lahan garapan bagi
penggarap lahan Eks Register 22 Way Waya.
Selain itu yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah kesesuaian antara
teori expected roles dengan peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu sesuai
dengan tugasnya, yaitu dengan melihat penilaian ideal dan menyeluruh dari
masyarakat sebagai instrumen penilaian yang utama dalam meresolusi
konflik yang terjadi di Kecamatan Pagelaran Utara.
Informasi yang didapat tidak hanya dari masyarakat yang terlibat konflik dan
tokoh masyarakat pekon saja, namun juga informasi diperoleh dari Tim
Terpadu penyelesaian konflik tanah Register 22 Way Waya. Informasi yang
didapat dari masyarakat merupakan bentuk penilaian sesuai yang dikehendaki
oleh masyarakat dalam melihat kemampuan dari Tim Terpadu Penyelesaian
C. Lokasi Penelitian
Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposive atau berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan tujuan penelitian. Purposive adalah penentuan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu
dan dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Pada penelitian ini peneliti memilih
lokasi penelitian di Pekon Sumber Bandung dan Madaraya Kecamatan
Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu. Adapun alasan penentuan lokasi ini
adalah disesuaikan dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui peranan
Tim Terpadu dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya yang
berada di Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu.
D.Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana informasi dapat
diperoleh. Pengambilan informasi dipilih secara purposive sampling yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap berdasarkan penilaian tertentu
mewakili populasi. Informan yang dipilih adalah mereka yang bersedia
memberikan dan memiliki pengalaman atau pernah terlibat dalam proses
penyelesaian.
Informan utama dalam penelitian ini adalah masyarakat dan tokoh-tokoh
masyarakat pekon. Pemilihan informan sendiri dilihat dari mereka yang
penyelesaian konflik dan dianggap mewakili dari pihak masyarakat. Selain
itu, untuk mendukung data yang ada, informan penelitian ini juga berasal dari
Tim Terpadu selaku informan pendukung sebagai penilaian objektif
mengingat Tim Terpadu merupakan objek dari penelitian ini.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari keterangan yang
sesungguhnya terjadi dalam praktek. Untuk mendapatkan data primer,
peneliti melakukan wawancara dengan informan. Sebagai dasar
pertimbangan dalam menentukan informan hal ini adalah mereka yang
terlibat dalam konflik dan mereka yang memilki peranan dalam
membantu proses resolusi konflik tanah register di Kabupaten
Tanggamus. Dalam hal ini, data primer diperoleh dari masyarakat dan
tokoh masyarakat Pekon Madaraya dan Pekon Sumber Bandung, selain
itu data primer juga diperkuat dengan informan pendukung yaitu Tim
Terpadu Penyelesaian masalah tanah Register 22 Way Waya.
Atas dasar itulah maka peneliti menetapkan sebanyak 12 orang informan
sebagai sumber informasi guna mengumpulkan data dalam penelitian ini,
yang menjadi informan terdiri dari 8 orang masyarakat sebagai informan
Tabel 1. Data Informan
No Nama Informan Jabatan Waktu Wawancara
1 A. Khusaeri Mayarakat Pekon Sumber Bandung dan
pernah menjabat
sebagai Kepala Pekon Sumberbandung 6 Sobirin Masyarakat
sekaligus Carig
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa data yang diperoleh dari
studi kepustakaan dan telaah dokumen, yang didapat secara tertulis dari
Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, pemberitaan di surat kabar,
serta arsip-arsip pengaduan yang disampaikan kepada Tim Terpadu,
arsip-arsip pekon yang berkaitan dengan penelitian ini.
Berikut merupakan daftar arsip-arsip atau dokumen yang berkaitan
dengan penelitian ini:
Tabel 2: Arsip- arsip yang berkaitan dengan penelitian
No Arsip – arsip Substansi 1 SK Menteri Kehutanan No:
742/ MENHUT-II/2009
Berisi mengenai penetapan 175 hektar yang berada di kawasan
Berisi mengenai pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian tanah eks Register 22 Way waya
3 Surat dari Kementrian Kehutanan No: 230/ VII- KUH/ 2013
Berisi mengenai tanggapan atas lahan tukar menukar kawasan hutan seluas 175 hektar (yang dikompensasikan)
4 Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu No 12 tahun 2012
Berisi mengenai pembentukan Kecamatan Pagelaran Utara 5 Profil Desa Perisi mengenai informasi
keadaan Pekon Sumber Bandung 6 Berita Acara hasil pekerjaan
pembuatan batas kawasan hutan lindung
Berisi mengenai hasil pekerjaan pembuatan batas kawasan hutan lindung reguster 22 yang berasal dari areal pengganti kawasan hutan.
7 Surat dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung No: 522/ 1276/ III.16/ 2008
Berisi mengenai Evaluasi pemanfaatan kawasan hutan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Observasi
Teknik ini digunakan untuk mengamati objek penelitian langsung serta
meninjau lokasi yang menjadi objek penelitian, dalam teknik atau kegiatan
ini dilakukan juga kegiatan pencatatan tentang hasil pengamatan,
gejala-gejala bagaimana peranan Tim Terpadu dalam resolusi konflik tanah
Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu. Peneliti melakukan
pengamatan secara langsung dan melakukan pencatatan data atau
informasi secara sistematis terhadap objek penelitian.
2. Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data melalui percakapan
langsung dengan informan. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan
diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya
pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi (Sugiyono, 2003 : 157).
Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab langsung antara
pewawancara dan informan dengan menggunakan alat yang dinamakan
panduan wawancara (Interview Guide) yang berdasarkan pada daftar
pertanyaan diajukan kepada Tim Terpadu, Tokoh Masyarakat dan
dengan maksud untuk mendapat kejelasan mengenai peranan Tim Terpadu
Kabupaten Pringsewu dalam membantu menyelesaikan permasalahan
pengelolaan tanah Register di Kabupaten Pringsewu.
3. Studi Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan mengkaji dan mempelajari informasi
dari data yang diperoleh dari berbagai literatur yang mendukung
penelitian.
F. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Tahap Editing
Yaitu cara yang digunakan untuk meneliti kembali data yang telah
diperoleh di lapangan baik yang melalui wawancara maupun dokumentasi
guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Tehnik editing data dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara menyalin ulang hasil dari wawancara
dengan informan yang berupa data mentah yang berkaitan dengan peranan
dari Tim Terpadu dalam meresolusi konflik ke dalam bentuk tulisan dan
2. Tahap Interpretasi
Yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil penelitian untuk
dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang
diperoleh dengan data lain. Adapun proses interpretasi atas hasil penelitian
dalam skripsi ini berupa menghubungkan hasil akhir dari wawancara
terhadap informan dengan tinjauan pustaka yang ada pada bab 2 dalam
skripsi ini.
G. Teknik Analisis Data
Analisa data betujuan untuk menyedehanakan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan. Analisa data dalam penelitian ini
dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa data dengan cara
memaparkan, mengelola, menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian
dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang
diteliti. Untuk mengolah dan mendeskripsikan data agar lebih bermakna dan
mudah dipahami maka digunakan prosedur analisa data yang dikembangkan
oleh Miles dan Huberman (1992), adapun prosedur analisa datanya sebagai
berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
merupakan suatu bentuk analisa data yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi dengan
cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat
ditarik dan diverifikasikan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam hal
ini, adalah dimana data yang berhasil didapatkan, baik berupa hasil
wawancara maupun dokumentasi yang kemudian diklasifikasikan dan
dikelompokkan sedemikian rupa sehingga semakin mempertajam dan
memperjelas serta mendukung penelitian.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan usaha menampilkan sekumpulan informasi
yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan. Kecenderungan kognitifnya, akan
menyederhanakan informasi yang komplek ke dalam bentuk yang
disederhanakan dan diseleksi atau konfigurasi yang mudah dipahami.
3. Menarik Kesimpulan
Dari singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya. Langkah-langkah yang dilakukan adalah
pemahaman-pemahaman yang telah ditampilkan kemudian didukung oleh data yang
memperkuat kebenarannya berkaitan dengan pokok permasalahan
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Terbentuknya Kecamatan Pagelaran Utara
Kecamatan Pagelaran Utara merupakan Kecamatan yang baru terbentuk pada
tanggal 30 Agustus tahun 2012. Kecamatan ini terbentuk berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor : 12 tahun 2012 tentang Pembentukan
Kecamatan Pagelaran Utara di Kabupaten Pringsewu. Berlandaskan Peraturan
Daerah ini maka dibentuk Kecamatan Pagelaran Utara di wilayah Kabupaten
Pringsewu. Kecamatan Pagelaran Utara sendiri berasal dari sebagian wilayah
Kecamatan Pagelaran yang terdiri atas cakupan wilayah:
1. Pekon Fajar Baru; 2. Pekon Kamilin; 3. Pekon Neglasari; 4. Pekon Mulia; 5. Pekon Margosari; 6. Pekon Giri Tunggal; 7. Pekon Sumber Bandung; 8. Pekon Madaraya;
9. Pekon Way Kunyir; dan 10.Pekon Gunung Raya.
Kecamatan Pagelaran Utara mempunyai batas-batas wilayah:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah;