• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH REGISTER 22 WAY WAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH REGISTER 22 WAY WAYA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE PROMINENT ROLE OF INTEGRATED TEAM OF

PRINGSEWU REGENCY TO MAKE RESOLUTION IN THE LAND

CONFLICT OF REGISTER 22 WAY WAYA

By

SERLY YOVICA ANDAYANI

The land conflict is one of a complex and prolonged problems, that need to be solved

optimally. In process of resolving land conflicts sometimes even feared the emergence of new

conflicts that occur between parties in conflict, so it needs an active role of the party who has

the authority in moving towards conflict resolution. According to that statement, the

Integrated Team of Pringsewu Regency took measures as the competent authority in the

conflict resolution process occurs in the Register land of The North Subdistrict Pagelaran of

Pringsewu Regency.

To see how is the prominent role of Integrated Team Pringsewu Regency writer uses the

expected role theory by Hendropuspio has state that to analysis this problem implementation

in making resolution in the land conflict of Registers 22 Way Waya of The North Subdistrict

Pagelaran of Pringsewu Regency. A descriptive qualitative research applied n the analysis,

the approach using primary data and secondary data. The data collection techniques used are

observation, interview and documentation,while in the data analyzing the writer used

(2)

facilitating the task force team from the pre to the past conflict. Moreover, several steps have

to be taken in order to resolve the conflict for observing the location of the conflict and

concluding with agencies. As the result, the research shows that the role of the task force

teams, one as the mediator and fasilitator for the parts of the conflict.

(3)

ABSTRAK

PERANAN TIM TERPADU KABUPATEN PRINGSEWU

DALAM MERESOLUSI KONFLIK TANAH

REGISTER 22 WAY WAYA

Oleh

SERLY YOVICA ANDAYANI

Konflik tanah tergolong salah satu permasalahan yang kompleks dan bersifat

berkepanjangan, sehingga diperlukan penyelesaian yang optimal. Dalam proses

penyelesaian konflik tanah terkadang justru dikhawatirkan timbulnya

konflik-konflik baru yang terjadi di antara pihak yang berkonflik-konflik, sehingga perlu adanya

peranan aktif dari pihak yang memiliki wewenang dan otoritas dalam menuju

kearah penyelesaian konflik. Berdasarkan hal tersebut Tim Terpadu Kabupaten

Pringsewu bertindak sebagai pihak yang berwenang dalam proses penyelesaian

konflik tanah Register yang terjadi di Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten

Pringsewu.

Untuk melihat bagaimana peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu Kabupaten

Pringsewu dalam meresolusi konflik di tanah Register 22 Way Waya Kecamatan

Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu penulis menggunakan teori expected role yang dikemukakan oleh Hendropuspio, teori ini menyebutkan bahwa dalam

pelaksanaanya peranan menurut penilaian masyarakat. Untuk menjawab

(4)

dokumentasi, sedangkan pada analisis penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Tim Terpadu dalam proses

meresolusi konflik tanah di Register 22 Way Waya adalah sebagai

mediator-fasilitator bagi pihak yang berkonflik, hal ini telah relatif berjalan sesuai dengan

tugasnya berdasarkan Keputusan Bupati No: B/ 126/ KPTS/I.01 / 2012 yaitu pada

tugas point pertama dan kedua; mengidentifikasi penyebab konflik, dan peranan

Tim dalam memfasilitasi mulai dari sebelum, saat dan sesudah terjadi konflik.

Langkah-langkah tindak lanjut yang diambil dalam proses penyelesaian konflik di

antara pihak yang berkonflik adalah dengan melakukan peninjauan ke lokasi dan

melakukan koordinasi dengan instansi terkait.

(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara kaya, menyimpan banyak kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya, kekayaan tersebut diharapkan dapat

menyejahterakan masyarakatnya, salah satu dari kekayaan yang dimiliki

tersebut adalah tanah. Seperti yang penulis ketahui bahwa tanah merupakan

kebutuhan dasar dari kehidupan manusia, hampir dari semua kegiatan

kehidupan manusia memerlukan tanah. Mengingat begitu pentingnya tanah

bagi kehidupan, maka setiap orang akan berusaha untuk memiliki bahkan

menguasainya. Adanya alasan tersebut maka dapat menimbulkan konflik

mengenai pengelolaan tanah dan usaha untuk menguasai tanah di dalam

masyarakat. Sementara konflik sendiri merupakan proses perubahan sosial

yang tidak dapat dihindari dari masyarakat yang salah satunya adalah konflik

dalam pengelolaan tanah.

Nur Fauzi (2002: 2) menyebutkan bahwa masalah pertanahan perlu mendapat

perhatian yang serius dari semua pihak sebab masalah ini mempunyai

kerawanan sosial akibat tindak kekerasan yang sering ditimbulkan oleh

(6)

sumber daya langka yang tidak dapat diperbaharui bukan saja merupakan

faktor produksi utama, melainkan juga simbol status atau bahkan simbol

harga diri.

Mengingat konflik pertanahan tergolong sebagai suatu permasalahan yang

kompleks dan sifatnya berkepanjangan, maka diperlukan penyelesaian yang

optimal. Salah satunya adalah konflik tanah yang terjadi di Kabupaten

Pringsewu Kecamatan Pagelaran Utara tepatnya di kawasan Tanah Register

22 Way Waya. Tanah yang dipersengketakan adalah tanah seluas 175 hektar

yang diklaim oleh sebagaian masyarakat adalah tanah kompensasi. Sementara

masayarakat yang berkonflik adalah masyarakat Pekon Madaraya, Pekon

Sumber Bandung Pagelaran Utara, dan Masyarakat pembeli lahan.

Konflik yang terjadi di Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu itu

bermula dari proses kompensasi (tukar guling) lahan register dengan tanah

marga pada tahun 1999, serta terbitnya Surat Keputusan (SK) Kementerian

Kehutanan Republik Indonesia (RI) No: 742/MENHUT-II/2009 tentang

Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Lindung Kelompok Way Waya register

22, seluas 175 hektar yang terletak di wilayah Kecamatan Pagelaran sebagai

kawasan hutan tetap dengan fungsinya sebagai hutan lindung.

Salah seorang dari masyarakat yang terlibat dalam konflik ini, yaitu

Dharsono mengaku memiliki lahan di wiliyah Madaray, menurut Dharsono

tanah tersebut sebelumnya adalah wilayah register. Pada tahun 2001 Badan

Panalogi Kehutanan Pusat membuat batas-batas di Register 22 Way Waya

(7)

742/MENHUT-II/2009, sehingga tanah miliknya berubah status menjadi

tanah marga.

Masyarakat khususnya petani warga Pekon Madaraya tidak setuju dengan

adanya kompensasi lahan itu dengan anggapan bahwa munculnya SK itu

tidak melalui proses clean and clear. Mereka tidak merasa menikmati lahan hasil tukar guling karena diserahkan ke orang lain yang sejak awal tidak

mengelola lahan tersebut oleh panitia kompensasi.

Keluarnya SK tersebut disinyalir karena adanya akta notaris yang berdasar

pada akta jual beli (AJB) palsu dari tim kompensasi. Warga sendiri merasa

tidak pernah menandatangani AJB. Warga yang tidak mengetahui lahan

resmi yang didapat dari proses jual beli dan masuk lahan marga itu, ditukar

guling dengan lahan di register 22. Selain itu, lahan kompensasi yang seluas

175 hektar sebagian dianggap berasal dari lahan warga yang dimasukkan

untuk memenuhi kuota kompensasi. Hal ini membuat warga menuntut agar

Menteri Kehutanan RI mencabut SK MENHUT Nomor 742 kembali, karena

SK tersebut diduga terjadi penipuan kepada warga.

Pemerintah Kabupaten Pringsewu yang saat itu menunggu tanggapan dari

Kementerian Kehutanan RI terkait surat yang dilayangkan, surat tersebut

dimaksudkan untuk meredistribusikan lahan kompensasi tersebut. Sementara

fakta di lapangan sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan dan

menyebabkan konflik horizontal antar warga yang sama-sama mengklaim

(8)

Terjadinya konflik yang dikhawatirkan menjadi kekerasan terkait erat dengan

proses penyelesaian konflik pada awalnya dan hal ini terkait dengan

kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik.

Pencegahan konflik diarahkan untuk menciptakan kondisi yang mendorong

penyelesaian konflik secara dini dan meningkatkan kemampuan pemerintah

dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sebelum berkembang menjadi

kekerasan.

Terkait dengan hal itu sesuai dengan Asas Desentralisasi yaitu Penyerahan

kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengurus

urusan rumah tangganya sendiri, Gubernur Lampung menyerahkan

penyelesaian konflik tanah Register 22 ini sepenuhnya kepada Pemerintah

Kabupaten Pringsewu. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 1 ayat 4 dan 5 menyatakan:

(4) Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Pringsewu sesuai dengan salah satu fungsi Pemerintah

yaitu fungsi regulasi yang menyebutkan bahwa pemerintah mengkondisikan

masyarakat agar menjadi komunitas yang kondusif dan jauh dari pertikaian

(9)

Bupati Pringsewu No. B/126/KPTS/1.01/2012 tentang Pembentukan Tim

Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya Kabupaten

Pringsewu, Tim ini dibentuk khusus untuk meresolusi konflik yang telah

terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Sejauh ini Tim Terpadu sendiri telah melakukan beberapa tindakan dalam

upaya resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya, diawali dengan

memberlakukannya status quo terhadap tanah sengketa. Hal ini dilakukan

guna menghindari konflik horizontal antar masyarakat. Meski dalam status

quo, masyarakat yang masih menggarap lahan di Register 22 Way Waya

masih diperkenankan melanjutkan aktivitasnya, dengan ketentuan tidak

diperkenankan melakukan aktivitas jual beli ataupun mengalihkan status atas

lahan di Register 22 Way Waya. Keputusan ini dilakukan sampai menunggu

hasil keputusan Menteri Kehutanan.

Pada tahapan selanjutnya, Tim Terpadu mulai melakukan identifikasi

kepemilikan lahan, masyarakat yang merasa memiliki lahan dipersilahkan

untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan atas lahan. Warga di sekitar

wilayah tersebut seperti Pekon Giritunggal dan Pekon Margosari diketahui

sudah banyak yang ikut dalam program transmigrasi lokal ke Mesuji,

sehingga secara administrasi mereka tidak berhak lagi menguasai lahan di

tempat tingal semulanya, dengan begitu Tim Terpadu melakukan pendataan

ulang guna menyelesaikan sengketa lahan di kawasan Register 22 Way Waya

secara konfrehensif mengingat masih banyaknya warga yang merasa tidak

(10)

Peranan lainnya yang dilakukan Tim Terpadu adalah melakukan sosialisasi

mengenai tapal batas di Register 22 Way Waya, sosialisasi ini selain dihadiri

oleh masyarakat juga dihadiri oleh LSM SERTANI, kelompok dari Ma’mun

(Ketua Kompensasi). Tim Terpadu bersama Dinas Kehutanan dan Badan

Pertanahan Nasional (BPN) melakukan penelusuran dengan turun lapangan

untuk memastikan batas wilayah tanah kawasan dan memastikan patok yang

hilang maupun yang telah berpindah di wilayah Pekon Madaraya guna

mendapat data berupa perbatasan tanah kawasan dan tanah marga yang

sebenarnya. Penelusuran ini dilakukan sesuai dengan dokumen serta bantuan

alat khusus dari Dinas Kehutanan.

Perbedaan pemahaman mengenai status lahan yang beredar di masyarakat,

bahwa lahan yang menjadi sengketa itu sebelumnya adalah lahan register,

dan sebagian masyarakat menyebutkan bahwa sebagai tanah marga mebuat

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang didatangkan oleh

Tim Terpadu ke lapangan memberi catatan bahwa harus diadakannya

koordinasi antara Pemerintah Daerah ke Kementrian Kehutanan untuk

merekonstruksi tapal batas dan identifikasi fisik lahan dengan maksud untuk

memudahkan Tim Terpadu dalam mengidentifikasi antara lahan Register dan

lahan warga.

Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh Tim Terpadu adalah Ketua Tim

Kompensasi (Makmun) dinyatakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)

oleh Polsek Sukoharjo karena telah memalsukan akta jual beli yang dijadikan

(11)

sehingga semakin jelas bahwa keluarnya SK 742 itu tidak melalui proses

clean and clear. Hal itu juga didukung oleh pernyataan Kepala Bidang Intag Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bahwa SK 742 hanya menetapkan areal

pengganti sebagai hutan tetap fungsi lindung, yang semestinya untuk

dijadikan lahan kompensasi harus ada SK pelepasan dengan kewenangan dari

Kementrian Kehutanan.

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan yang didatangkan

langsung oleh Tim Terpadu pada tanggal 25 Februari 2013 (Radar

Tanggamus, 26 Februari 2013) guna menindaklanjuti adanya penyalahgunaan

wewenang SK Menteri Kehutanan oleh panitia kompensasi, dan menjanjikan

untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Proses penukaran lahan sendiri

menurutnya akan terjadi apabila tersedianya lahan pengganti dari penukaran.

Sementara yang terjadi di Register 22 Waya Waya terkait penukaran lahan

justru menimbulkan konflik antar masyarakat karena lahan kompensasi

sebagian merupakan lahan warga, sehingga harus diidentifikasi secara

mendalam antara lahan register dengan lahan marga.

Melihat dari fenomena yang ada, peneliti merasa tertarik untuk meneliti

bagaimana peranan yang dilakukan secara aktif oleh Tim Khusus Kabupaten

Pringsewu, peniliti mencoba melihat peranan yang dilakukan Lembaga

Pemerintah tersebut dalam kontribusinya sebagai Tim yang dibentuk

langsung Pemkab Pringsewu dalam menanggapi fenomena terjadinya

(12)

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah

konflik yang melibatkan kelompok masyarakat diperlukan adanya

penyelesaian dari pihak pemerintah yang berwenang untuk memberikan

solusi terbaik dalam penyelesaiannya. Perumusan masalah yang akan dibahas

melalui penelitian ini adalah : “Bagaimanakah peranan yang dilakukan oleh

Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi konflik di tanah Reister 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui peranan dari Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam

resolusi konflik di tanah Reister 22 Way Waya Kecamatan Pagelaran.

D. Manfaat Penelitian

1.Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Pemerintahan

dalam mengkaji tentang konflik pengelolaan tanah register di Kabupaten

(13)

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi dalam

menyikapi kasus konflik horizontal antar masyarakat khususnya di bidang

(14)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Peranan

1. Definisi Peranan

Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).

Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai

dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto

1989: 234). Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku

seseorang atau kelompok. Peranan yang melekat pada diri seseorang

harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi

seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan unsur statis

yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat.

Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan

sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam

masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Atas dasar tersebut

Soekanto menyimpulkan bahwa sesuatu peranan mencakup paling

sedikit tiga aspek, yaitu:

(15)

b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peranan jugan dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Menurut Abdulsyani (2007: 94) peranan adalah suatu perbuatan

seseorang atau sekelompok orang dengan cara tertentu dalam usaha

menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang

dimilikinya. Pelaku peranan dikatakan berperan jika telah

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya

dengan masyarakat. Jika seseoarang mempunyai status tertentu dalam

kehidupan masyarakat, maka selanjutnya akan ada kecenderungan akan

timbul suatu harapan-harapan baru.

Sedangkan, Abu Ahmadi (1982: 256) menyebutkan bahwa peranan

dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika

menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Seseorang dapat

memainkan fungsinya dengan menduduki jabatan tertentu.

Pengertian ini dikembangkan oleh paham interaksionis, karena lebih

memperlihatkan konotasi aktif dinamis dari fenomena peranan.

Seseorang dikatakan menjalankan peranannya manakala ia menjalankan

hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status

yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih

(16)

Merujuk dari beberapa definisi di atas, maka penulis menyimpulkan

bahwa peranan adalah suatu kegiatan yang di dalamnya meliputi status

atau keberadaan seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan

hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya atau posisinya

dalam suatu kelompok. Jika ditinjau dari sudut organisasi atau

kelembagaan maka dapat disimpulkan bahwa peran adalah suatu

kegiatan yang didalamnya mencakup hak-hak dan kewajiban yang

dilaksanakan oleh sekelompok orang yang memiliki suatu posisi dalam

suatu organisasi atau lembaga.

2. Konsep dan Teori Peranan

Narwoko (2006 : 159) peranan dinilai lebih banyak menunjukkan suatu

proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan

sosialnya. Dalam pembahasan tentang aneka macam peranan yang

melekat pada individu-individu dan kelompok-kelompok dalam

masyarakat dengan adanya beberapa pertimbangan sehubungan dengan

fungsinya, yaitu sebagai berikut:

a. Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila

struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.

b. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu yang oleh

masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. Mereka

harus telah terlebih dahulu terlatih dan mempunyai pendorong

untuk melaksanakannya.

c. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu

(17)

diharapkan oleh masyarakat, oleh karena mungkin

pelaksanaannya memerlukan pengorbanan yang terlalu banyak

dari kepentingan-kepentingan pribadinya.

d. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan

peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan

peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat

betapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.

Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan

tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. (Sarbin &

Allen, 1968 dalam www.freelist.com diakses tanggal 9 februari 2013).

Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku

yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai

dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif

independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut. Sarbin dan Allen (1968) juga menyebutkan bahwa analisis

terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan,

yaitu:

1. Ketentuan peranan, adalah pernyataan formal dan terbuka tentang

perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa

perannya.

2. Gambaran peranan, yaitu suatu gambaran tentang perilaku yang

secara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan

(18)

3. Harapan peranan, adalah harapan orang-orang terhadap perilaku

yang ditampilkan seseorang dalam menampilkan peranannya.

Menurut Narwoko peranan dapat membimbing seseorang dalam

berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah:

1. Memberi arahan pada proses sosialisasi;

2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan;

3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat; dan

4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.

Sejalan dengan hal itu untuk melihat peranan dari Tim Terpadu, penulis

menggunakan teori yang dikemukakan oleh Hendropuspio dalam

Narwoko (2006: 160) dikatakan bahwa peranan sosial dibedakan

menjadi dua, yaitu:

1. Peranan yang diharapkan (expencted roles)

Yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secermat-cermatnya dan peranan ini tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang ditentukan.

Perana jenis ini antara lainperanan hakim, peranan protoler, diplomatik, dan sebagainya; dan

2. Peranan yang disesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luwes, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Peranan yang disesuaikan mungkin tidak cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangan yang muncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat.

Menurut penulis terkait permasalahan dalam konflik tanah Register 22

Way Waya teori yang sesuai dan dirasa tepat untuk digunakan dalam

pendekatan resolusi konflik adalah teori yang dikemukakan oleh

(19)

pihak yang bertikai dalam hal ini yaitu masyarakat Pekon Madaraya dan

Sumber Bandung. Masyarakat menjadi instrumen penilaian yang utama

dalam konflik ini sebab tugas pokok dan fungsi dari Tim Terpadu

tersebut memang ditujukan untuk pemecahan masalah dan masyarakat

adalah informan yang paling memahami akar permasalahan secara lebih

mendalam, dengan demikian penilaian dari masyarakat merupakan

sebuah peranan yang tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan oleh

Tim Terpadu.

Sedangkan teori yang juga serupa dan memungkinkan untuk digunakan

dalam penelitian ini adalah actual roles, yang lebih menekankan bagaimana peranan itu dijalankan dalam tataran pelaksanaan yang lebih

fleksibel dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada lokasi

penelitian. Namun, penulis merasa bahwa teori actual roles justru berdampak pada lambatnya penyelesaian konflik dikarenakan

pendekatan dalam teori ini lebih mengedepankan fleksibilitas dari

penanganan konflik ini, sedangkan konflik horizontal yang terjadi

sudah tergolong urgent untuk segera diselesaikan mengingat kondisi di lapangan sudah terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan, yang tidak

menutup kemungkinan untuk terjadinya konflik yang lebih serius

seperti anarkisme pihak yang berkonflik. Pendekatan dalam teori actual

roles seperti yang telah dikemukakan juga belum tentu dapat mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang berkonflik karena teori

ini melihat kekurangan yang muncul dalam pelaksanaan resolusi

(20)

dengan fakta di lapangan yang penulis ketahui setelah pra riset dari

penelitian ini.

B. Tinjauan Mengenai Pemerintah Daerah

1. Pengertian Pemerintah Daerah

Pengertian Pemerintah adalah Badan Eksekutif mulai dari Kepala

Pemerintahan (Presiden atau Perdana Menteri) beserta pembantunya,

Menteri-menteri dan seterusnya. Pengertian di atas merupakan pengertian

pemerintahan dalam arti sempit. Dalam pelaksanaannya pemerintah tidak

bisa bekerja sendiri, melainkan membutuhkan pihak-pihak lain terutama

dalam pelaksanaan pemerintah di daerah.

Menurut Pasal 1 dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah:

“Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkatnya sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.”

Menurut Harris dalam Nurcholis (2005 : 20) Pemerintahan Daerah adalah:

“unsur (turunan) pemerintahan daerah (localself-governance) yang

(21)

Berdasarkan penjelasan tersebut yang menggambarkan kapasitas

pemerintahan daerah maka di dalam pemerintahan daerah, Pemerintah

Daerah bersama perangkatnya menyelenggarakan pemerintahan sesuai

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dengan mengadopsi dan mengakui

supremasi pemerintahan nasional.

2. Wewenang Pemerintah Kabupaten

Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 21

menjelaskan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah memiliki

hal:

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; 2. Memilih Pemimpin Daerah;

3. Mengelola Aparatur Daerah; 4. Mengelola kekayaan Daerah;

5. Memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya yang berada di daerah;

7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;

8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Daerah mempunyai kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan

kecuali kewenangan dalam bidang politik Luar Negeri, pertahanan,

keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional dan agama (pasal 9 ayat 1).

Selanjutnya dalam pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa urusan wajib yang

menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan

urusan yang berskala Kabupaten/Kota meliputi:

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

(22)

5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah social; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan;

12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayaan administrasi umum pemrintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

16. Urusan wajib lainnya diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

3. Fungsi Pemerintah

Menurut Rasjid menyebutkan beberapa mengenai fungsi dari Pemerintah,

yaitu:

a. Fungsi Regulasi

Yaitu dimana dalam fungsi ini pemerintah mengkondisikan masyarakat agar menjadi komunitas yang kondusif dan jauh dari pertikaian dan kesewenang-wenangan. Pemerintah menjalankan fungsi pengaturan ini dengan dua jalan, yakni dengan peraturan ataua perundang-undangan dan yang kedua adalah mengadakan aparatur pengamanan. Dengan 2 kebijakan ini maka pemerintah dapat memaksimalkan fungsinya dengan baik.

b. Fungsi Pelayanan

Pada fungsi ini pemerintah akan memunculkan keadilan dan kesejahteraan di tengah-tengah rakyat. Dimana seperti yang diketahui bahwa setap warga negara menginginkan sebuah kesejahteraan di dalam kehudupan bernegara.

c. Fungsi Pemberdayaan

(23)

Berdasarkan penjelasan mengenai fungsi pemerintah di atas, khususnya

pada fungsi Regulasi atau pengaturan, maka dalam penelitian ini peneliti

mencoba melihat peranan Pemerintah Kabupaten Pringsewu dalam

menjalankan fungsi Regulasinya dengan membentuk Tim Terpadu dalam

upaya resolusi konflik Register 22.

C. Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu

Tim Terpadu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tim yang dibentuk

secara khusus yang bersifat ad hoc oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu dalam upaya Resolusi konflik di tanah Register 22 Way Waya. Sesuai dengan

Keputusan Bupati Pringsewu No. B/126/1.01/2012 tentang Pembentukan Tim

Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya Kabupaten

Pringsewu, Tim ini diketuai oleh Firman Muntako selaku Asisten 1 Bidang

Pemerintahan Kabupaten Pringsewu. Tim Terpadu ini beranggotakan:

1. Asisten Bidang Pemerintahan (Wakil Ketua);

2. Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu (Sekretaris); 6. Staf Ahli Bupati Bidang Pemerintahan;

7. Kepala Bidang Kehutanan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pringsewu;

8. Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsuwe;

9. Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Kabupaten Pringsewu;

(24)

12.Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pemangku Hutan Lindung Batu Tegi;

13.Kepala Bagian INTAG Dinas Kehutanan Provinsi Lampung; 14.Kepala Sub Bagian Pertanahan Kabupaten Pringsewu; 15.Kepala Pekon Giri Tunggal;

16.Kepala Pekon Sumber Bandung;

17.Staf Sub Bagian Pertanahan Kabupaten Pringsewu;

18.Ma’mun;

19.Tasirul Himam; 20.Firman (Blentung).

Tugas Tim Khusus yang juga dijelaskan dalam Keputusan Bupati Pringsewu

No. B /126 /1. 01/2012 yaitu :

1. Menginventarisasi, mengidentifikasi masalah-masalah Tanah Eks Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu;

2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan Eks Register 22 Way Waya kepada yang berhak;

3. Menetapkan hasil panen lahan garapan bagi penggarap lahan Eks Register 22 Way Waya.

D. Tinjauan Mengenai Konflik

1. Pengertian Konflik

Pengertian konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya

kesenjangan yang terjadi antara kedua belah pihak masyarakat di Desa

Madaraya dan Sumber Bandung, dimana diantara keduanya telah terjadi

perbedaan pendapat mengenai hak kepemilikan tanah atas pengelolaan

tanah kompensasi yang ada di tanah Register 22 Way Waya Kec.

Pagelaran Utara. Peneliti mencoba untuk menjelaskan defenisi konflik

dalam hal yang berkenaan dengan pertentangan antara masyarakat dengan

masyarakat. Sebagaimana konflik yang dikemukakan oleh Ramlan

(25)

“Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.”

A Constantino, dan Christina Asickles Merchant dalam buku Ramlan

Surbakti (1992: 8), mengatakan bahwa konflik pada dasarnya adalah

sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau

harapan-harapan yang tidak terealisasi.

Konflik banyak dipersepsi dan diperlakukan sebagai sebuah sumber

bencana. Konflik banyak dipahami sebagai keadaan darurat yang tidak

mengenakkan. Sedapat mungkin dihindari dan dicegah. Berbeda dengan

pandangan tersebut, pendekatan kritis terhadap konflik lebih menempatkan

konflik sebagai suatu relitas sosial dan merupakan bagian yang dibutuhkan dalam proses perubahan sosial. Konflik secara “anatomis” dipahami tidak

hanya memiliki satu warna atau satu dimensi saja. Konflik memiliki

banyak warna atau multidimensi (Dewi 200 : 6).

Dilihat dari pandangan beberapa ahli di atas maka penulis menyimpulkan

bahwa konflik adalah sebuah proses yang terekspresikan di antara dua

pihak atau lebih, dimana masing-masing pihak mempersepsikan adanya

interferensi dari pihak lain yang dinggap menghalangi jalan untuk

mencapai sebuah tujuan. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang

terlibat merasa tidak menemukan adanya kesepakatan. Konflik yang

terjadi pada masyarakat Pekon Sumber Bandung, dan Madaraya

sesungguhnya terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat yang

(26)

masyarakat yang sama-sama merasa memiliki hak atas tanah yang dikelola

di Pekon Sumber Bandung. Dari hal tersebut menimbulkan adanya

persaingan diantara kedua belah pihak untuk sama-sama memperjuangkan

hak atas tanah tersebut.

Berawal dari hal tersebut penulis menilai bahwa konflik tidak bisa dilihat

dari hanya satu dimensi, melainkan sebagai kenyataan yang berdimensi

banyak. Dimensi lain dari konflik yang jarang diperhatikan adalah “peluang” sekaligus “energi” bagi proses perubahan sosial. Oleh karena

konflik merupakan energi (sumberdaya), maka ia senantiasa ada selama

yang disebut masyarakat itu ada. Konflik tidak bisa dihilangkan karena

akan bertentangan dengan sifat ilmiahnya, yang bisa dilakukan terhadap

konflik hanya memahami, menghadapi, dan mengelolanya.

2. Sumber Konflik

Berdasarkan konsep konflik dapatlah dipahami bahwa pengertian konflik

lebih banyak kepada perbedaan dan pertentangan kepentingan. Bagaimana

konflik-konflik tersebut bisa timbul atau sering terjadi, hal yang menjadi

sebuah pertanyaan yang mendasar, karena konflik sudah tentu memiliki

sebab kemunculan seperti pepatah mengatakan tidak ada asap tanpa api, pernyataan tersebut yang kemudian sering dinamakan dengan “sumber

konflik”.

Mark dan Snyder (1981: 75) dalam bukunya “Stabilitas dan Pengelolaan

Konflik”, menyatakan sumber konflik muncul karena kelangkaan posisi

(27)

Duverger (2003: 158 ) lebih cenderung melihat “faktor ideologi” sebagai

penyebab konflik. Menurutnya “ideologi politik” yang tumbuh dan

berkembang dalam suatu organisasi dapat menjadi landasan berfikir dan

bergerak suatu organisasi dalam mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya,

ideologi politik dapat menjadi penuntun, pendorong, dan pengendali

perilaku dan tindakan politik suatu bangsa, partai politik, bahkan individu.

Penulis menyimpulkan bahwa sumber atau penyebab konflik dapat terjadi

karena kelangkaan posisi dan semakin banyaknya ideologi yang ada dalam

masyarakat sehingga timbulnya perbedaan asumsi, persepsi dan nilai-nilai

yang ingin diterapkan.

3. Manajemen Konflik

Konflik merupakan unsur yang dibutuhkan untuk mengembangkan

organisasi, jika organisasi ingin terus hidup dan tumbuh, karena konflik itu

sendiri tumbuh dari sebuah kedinamisan manusia dan sulit untuk dihindari

dalam proses kehidupannya. Seni dari manajemen konflik atau seni

memimpin dalam situasi dan kondisi konflik sangatlah penting dan

merupakan tugas yang paling berat dan paling sukar bagi mereka terutama

bagi para pemimpin.

Perlunya dikembangkan seni mengelola konflik atau biasa sering disebut

dengan Manajemen Konflik. Manajemen Konflik ini dilakukan bertujuan agar konflik yang akan, sedang, dan telah terjadi menjadi konflik yang

(28)

melainkan justru organisasi mampu mengambil pelajaran atau menemukan

inovasi baru dari adanya konflik tersebut.

Menurut Wirawan (2010:134), Manajemen Konflik dapat dijalankan

dengan cara sebagai berikut :

a. Membuat standar-standar penilaian

b. Menemukan masalah-masalah controversial dan konflik-konflik c. Menganalisa situasi dan mengadakan evaluasi terhadap konflik d. Memiliki tindakan-tindakan yang tepat untuk melakukan koreksi

terhadap penyimpangan dan kesalahan-kesalahan.

Jika sikap yang berbeda, tujuan atau sasaran individu maupun kelompok

yang tidak sama, dan segala macam perbedaanlainnya bisa diperbesar dan

diperkuat sehingga menambah semakin kuatnya ketegangan, dan

pergesekan atau friksi-friksi dan konflik-konflik dengan sendirinya akan

menjadi semakin meruncing. Maka akan menjadi masalah yang cukup

penting bagi pemimpin besar maupun kecil untuk menemukan

teknik-teknik guna merangsang konflik secara interpersonal atau kelompok, atau

bahkan sekaligus mengendalikannya, serta mampu menyelesaikan secara

sistematis tanpa menimbulkan banyak korban dan kesusahan terhadap

pihak lain.

4. Resolusi Konflik

Proses perdamaian merupakan serangkaian tindakan, pertemuan, aktivitas

yang diambil oleh kelompok yang berkonflik dan orang di wilayah yang

terkena imbasnya untuk menuju penyelesaian secara terbuka serta

penerimaan secara sosial, ekonomi, politik dan akar-akar penyebab konflik

(29)

memperhitungkan dan menyentuh tujuh elemen: jender, generasi, politik,

militer, ekonomi, budaya, social, nasional, batas-batas kewilayahan dan

sumber daya alam. (Rachmadi, 2003).

Konflik tanah yang terjadi di Register 22 Way Waya juga perlu adanya

resolusi konflik yang optimal, dengan hal itu peranan dari Tim Khusus

yang dibentuk secara khusus untuk meberikan jalan penyelesaian terbaik

atas konflik tersebut. Sepertiya halnya yang di sebutkan oleh Wirawan

(2010: 177) menyatakan, resolusi adalah proses untuk mencapai keluaran

konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik. Metode resolusi

konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk

menghasilkan keluaran konflik.

Metode resolusi konflik bisa dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri

oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (self regulation) atau melalui

intervensi pihak ketiga. Disini dengan adanya Tim Khusus diharapkan

akan adanya keluaran konflik yang berujung penyelesaian yang

memuaskan kedua pihak yang bersengketa dan tetap menjunjung adanya

keadilan. Penulis menyimpulkan bahwa resolusi konflik merupakan suatu

cara pengambilan kesepakatan atau kompromi untuk mencari keputusan

dari konflik yang didasari prinsip win-win solution, dimana kelompok atau

individu yang mengalami konflik dapat menemukan titik terang dalam

penyelesaian konflik yang ada. Pada dasar nya dari definisi tersebut dapat

dilihat bahwa resolusi konflik sangat berperan dalam penyelesaian konflik

(30)

a. Model Resolusi

Resolusi terhadap konflik-konflik yang besar tidak akan dapat terjadi

sampai suatu organisasi/kelompok telah berkembang mencapai suatu

titik dimana terdapat kesepakatan yang mendasar di dalam

organisasi/kelompok terjadi dengan pasti. Tentunya dalam hal ini setiap

konflik yang terjadi membutuhkan suatu model resolusi atau

kesepakatan bersama dalam pemecahan konflik tersebut.

Wahyu M.S. (1988:162) dalam buku Harahap Abdul menjelaskan

tentang model-model resolusi konflik, adapun model-model resolusi

tersebut adalah:

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan :

a. Kami mengalah; b. Kami mendongkol; c. Kami ke luar;

d. Kami membentuk kelompok kami sendiri.

2. Subjugation atau Domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya. Tentu saja cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat. 3. Majority Rule, artimya suara terbanyak yang ditentukan dengan

voting, akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi. Pada hakekatnya majority ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.

4. Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.

5. Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah

(31)

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti dapat simpulkan bahwa

resolusi konflik adalah upaya yang mengarah kepada tercapainya suatu

kesepakatan untuk mengakhiri sengketa antara pihak-pihak yang sedang

terlibat dalam suatu pertentangan karena adanya perbedaan kepentingan

dan kekuasaan, selain itu adanya beberapa model resolusi yang ada

terdapat cara dan tahapan yang berbeda pula dalam setiap

penyelesaiannya.

Melihat konflik yang ada di Kec. Pagelaran Utara ini menurut penulis

konflik yang terjadi antar masyarkat ini membutuhkan penyelesaian

yang optimal, maka dalam konflik ini model resolusi konflik yang

diharapkan dapat terapkan yaitu model compromise dan integration mengingat model resolusi compromise sendiri merupakan penyelesaian

yang melibatkan pihak - pihak yang berkonflik untuk mencari jalan

tengah dalam penyelesaian konflik yang biasanya dengan dibuatnya

perjanjian damai. Sedangkan model resolusi integration merupakan model penyelesaian yang paling dewasa karena dalam penyelesaian

konflik ini tidak hanya selesai pada perjanjian damai, melainkan

pemyampaian dan mendiskusikan pendapat-pendapat yang

bertentangan, sehingga diharapakan tidak lagi ada dendam antar

masyarakat yang berkonflik dan masyarakat dapat hidup berdampingan

(32)

E. Tinjauan tentang Tanah

1. Definisi Tanah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai

tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.

Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam

Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Tanah dalam Pasal di atas ialah permukaan bumi. Makna permukaan

bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap otang atau

badan hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas

permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau

benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan

hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang

berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan

antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat di atasnya.

Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah negara-negara

dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas pelekatan. Asas

pelekatan, yakni bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda/tanaman

yang terdapat di atasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta

merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian,

yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan

bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali ada

(33)

2. Sumber Hukum Tanah Indonesia

Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini

yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah

merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik

pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status

tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan

Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan

hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan

riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan

pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada

masa lampau dan saat ini (Sihombing 2004: 55).

Sumber Hukum Tanah Indonesia (Sihombing 2004: 56) dikelompokkan

menjadi:

a. Hukum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu: 1. Hukum Tanah Adat Masa Lampau 2. Hukum Tanah Adat Masa Kini b. Kebiasaan

c. Tanah-tanah Swapraja d. Tanah Partikelir e. Tanah Negara f. Tanah Garapan

g. Hukum Tanah Belanda h. Hukum Tanah Jepang, dll.

Sedikit penjelasan mengenai pembagian sumber hukum tanah di

Indonesia, Tanah Garapan yaitu status tanah menduduki, mengerjakan

dan atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau

(34)

dibangun sendiri atau tidak. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun

1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya tidak mengatur

mengenai keberadaan tanah garapan, karena tanah garapan bukanlah

status hak atas tanah. Menurut Sihombing, dalam peraturan

perunadang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini, yaitu

pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan pendudukan

tanah tidak sah (onwettige occupatie), sedangkan jenis tanah garapan

dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tanah garapan di atas tanah

yang langsung dikuasai oleh negara (vrij landsdomein), tanah garapan di

atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah, dan tanah

garapan di atas tanah negara perorangan atau badan hukum swasta.

3. Konflik Tanah

Menurut Fauzi (2002: 43-45) konflik tanah terfokus pada pincangnya

hak dan kewajiban atas tanah Warga Negara Indonesia. Ada beberapa

hal dasar dalam pembangunan yang menyebabkan ketidakseimbangan

hak dan kewajiban masyarakat dalam pertanahan, yaitu:

a. Perubahan sistem pembangunan kehidupan ekonomi berupa

peningkatan ekspor menjadi pembangunan ekonomi konsumtif.

b. Sikap pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang selalu

memfasilitasi penyediaan tanah bagi pemodal, baik pemodal

(35)

c. Dualisme Undang-undang pertanahan, dimana UUPA bertentangan

dengan UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Irigasi, UU Pokok

Transmigrasi dan UU Pokok Kehutanan dan Perkebunan.

d. Pembangunan industri tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah

penduduk.

Seiring dengan itu, Fauzi mengatakan bahwa konflik tanah yang terjadi di

Indonesia pada dasarnya bersifat multi-dimensional. Dilihat dari aspek

pemanfaatan tanah berdasarkan struktur pembangunan, konflik petanahan

muncul hampir di semua sektor, mulai dari kehutanan, pertambangan

industri, perkebunan sampai pariwisata. Dilihat dari level konflik,

kasus/konflik pertanahan muncul baik pada level lokal maupun nasional.

Dilihat dari arah konflik, masalah tersebut dapat melibatkan antara

masyarakat dengan perusahaan, antar warga masyarakat maupun

kombinasi dari ketiganya. Sementara dari segi tempat terjadinya, konflik

pertanahan muncul hampir disetiap wilayah negeri ini.

Menurut Rusmadi Murad (dalam http://anggibuana.wordpress.com

diakses tanggal 15 februari 2013), pengertian sengketa tanah atau dapat

juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu timbulnya sengketa

hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan)

yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik

terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan

dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan

(36)

antara dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan berbeda

terhadap satu atau beberapa obyek Hak Atas Tanah.

Sedangkan Nasikun (1995:18), mengatakan bahwa para penganut

pendekatan konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu

terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan

otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan

mengukuhkan Status Quo dari pola hubungan-hubungan kekuasaan yang

ada dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif

berupa kepentingan untuk mengubah atau merubah Status Quo dari pola

hubungan-hubungan tersebut.

Melihat dari paparan beberapa ahli mengenai konflik tanah diatas maka

penulis menyimpulkan bahwa konflik tanah adalah timbulnya perbedaan

pendapat dari antar masyarakat mengenai pengelolaan atas kepemilikan

atas tanah yang salah satunya dikarenakan adanya dualisme

undang-undang pertanahan yang sama halnya dengan yang terjadi di tanah

Register 22 Way Waya dimana kedua belah pihak yang berkonflik

sama-sama memiliki akta dan sertifikat tanah yang berbeda.

F. Kerangka Pikir

Mengingat konflik tanah Register merupakan salah satu dari permasalahan

yang tergolong kompleks, terutama melibatkan banyak kepentingan, maka

(37)

menimbulkan konflik-konflik baru di masa mendatang. Proses penyelesaian

tersebut dapat diupayakan dengan melibatkan pihak ketiga yang memiliki

otoritas dan kewenangan yang mendukung ke arah penyelesaian, sehingga

memungkinkan tumbuhnya pola-pola diskusi antara pihak yang berkonflik

untuk mencapai kesepakatan bersama.

Berkaitan dengan resolusi konflik tersebut, khususnya pada proses resolusi

konflik tanah Register yang melibatkan kepentingan masyarakat banyak,

maka keluarlah Keputusan Bupati Pringsewu No : B /126 / 1. 01 / 2012 yaitu

dibentuknya Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu sebagai Organisasi bentukan

Pemerintah menjadi pihak yang diharapkan dapat mewakili Pemerintah

Kabupaten dalam penyelesaian konflik. Tim Terpadu sendiri memiliki tugas:

1. Menginventarisasi, mengidentifikasi masalah-masalah Tanah Eks

Register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu;

2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan

lahan Eks Register 22 Way Waya kepada yang berhak;

3. Menetapkan hasil panen lahan garapan bagi penggarap laha Ekas

Register 22 Way Waya.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis menggunakan teori yang dikemukakan

oleh Hendropuspio yaitu expected roles untuk dijadikan ladasan perbandingan dengan fakta yang ada, dengan alasan mengingat teori ini

menyebutkan bahwa pelaksanaan peranan Tim Terpadu mendapat penilaian

ideal dan menyeluruh dari masyarakat sebagai instrumen penilaian utama dan

dilihat dari tugas pokok dari Tim Terpadu ditujukan untuk pemecahan

(38)

sebuah peranan yang tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan oleh Tim

Terpadu. Kemampuan dari Tim Terpadu dapat dilihat melalui penilaian

tersebut dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya dan dapat dilihat

dengan menggunakan keluaran model resolusi yang diterapkan oleh Tim

Terpadu.

Berdasarkan kerangka pikir tersebut maka dapat dibuat bagan kerangka pikir

(39)

35 Gambar 1: Bagan Kerangka Pikir

Konflik tanah Register 22 Way Waya

Tugas Tim Khusus dalam Kep. Bupati Pringsewu No : B /126 / 1. 01 / 2012 : 1. Menginventarisasi, mengidentifikasi

masalah-masalah

2. Memfasilitasi dan menyelesaikan redistribusi dan menetapkan luasan lahan

3. Menetapkan hasil panen lahan garapan

Proses :

Kemampuan Tim Khusus Penyelesaian Register 22 Way Waya dalam resolusi konflik tanah di tanah Register 22 Kab. Pringsewu

(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana

Peranan Tim Terpadu yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Pringsewu

terhadap konflik yang terjadi di tanah Register 22 Way Waya. sehingga

tergolong kedalam penelitian deskriptif. Penelitian ini tergolong ke dalam

tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

mendskripsikan secara terperinci tentang fenomena sosial tertentu dengan

menggunakan pendekatan deskriptif analisis, sebagai prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan

obyek penelitian, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak

sebagimana adanya (Bruce A Chadwick, 1991: 63)

Peneliti tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan metode

penelitian deskriptif kualitatif karena metode analisis deskriptif kualitatif

yang bertujuan untuk menggambarkan variabel yang akan diteliti. Adapun

variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah peranan, yaitu peranan

yang dilakukan oleh Tim Terpadu Kabupaten Pringsewu dalam meresolusi

(41)

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan hal yang penting apabila kita melakukan sebuah

penelitian. Melalui fokus penelitian, kita dapat membatasi studi untuk

memandu dan mengarahkan jalannya penelitian, karena adanya fokus

penelitian seorang peneliti akan mudah terjebak oleh melimpahnya volume

data yang diperoleh di lapangan. Selain itu, antara masalah dan fokus

penelitian akan saling terkait, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan

bagi fokus penelitian meskipun fokus dapat berubah dan berkurang

berdasarkan data yang ditemukan di lapangan.

Memfokuskan dan membatasi pengumpulan data dapat dipandang

kemanfaatannya sebagai reduksi data yang diantisipasi. Ini merupakan bentuk

pra analisis yang mengesampingkan variabel-varibel dan yang

memperhatikan lainnya. Dengan adanya pemfokusan, akan menghindari

pengumpulan data yang serampangan dan hadirnya data yang melimpah ruah

(Nazir 1983 : 30).

Dalam penelitian ini yang dijadikan fokus oleh penulis adalah Peranan Tim

Terpadu dalam menyelesaikan konflik dengan menjalankan tugasnya sesuai

dengan Keputusan Bupati No. B/126/KPTS/I.01/2012 yaitu:

1. Mengumpulkan data tentang konflik tanah di Register 22 Way Waya

Kabupaten Pringsewu, mengidentifikasi masalah penyebab terjadinya

konflik di Way Waya. Penulis memfokuskan bagaimana proses

(42)

sampai menemukan penyebab masalah yang terjadi di Register 22 Way

Waya;

2. Peranan Tim Terpadu dalam memfasilitasi mulai dari sebelum, saat dan

sesudah terjadi konflik di Register 22 Way Waya di Kabupaten

Pringsewu. Menyelesaikan penyerahan wewenang dari Pemerintah

Daerah kepada Tim Terpadu dalam penyelesaian masalah atau resolusi

konflik terkait perluasan lahan kepada yang berhak karena adanya

kesalahan batas wilayah kompensasi di tanah Register 22 Way Waya;

3. Menetapkan jatah proporsional hasil panen dari lahan garapan bagi

penggarap lahan Eks Register 22 Way Waya.

Selain itu yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah kesesuaian antara

teori expected roles dengan peranan yang dilakukan oleh Tim Terpadu sesuai

dengan tugasnya, yaitu dengan melihat penilaian ideal dan menyeluruh dari

masyarakat sebagai instrumen penilaian yang utama dalam meresolusi

konflik yang terjadi di Kecamatan Pagelaran Utara.

Informasi yang didapat tidak hanya dari masyarakat yang terlibat konflik dan

tokoh masyarakat pekon saja, namun juga informasi diperoleh dari Tim

Terpadu penyelesaian konflik tanah Register 22 Way Waya. Informasi yang

didapat dari masyarakat merupakan bentuk penilaian sesuai yang dikehendaki

oleh masyarakat dalam melihat kemampuan dari Tim Terpadu Penyelesaian

(43)

C. Lokasi Penelitian

Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposive atau berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan tujuan penelitian. Purposive adalah penentuan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu

dan dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Pada penelitian ini peneliti memilih

lokasi penelitian di Pekon Sumber Bandung dan Madaraya Kecamatan

Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu. Adapun alasan penentuan lokasi ini

adalah disesuaikan dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui peranan

Tim Terpadu dalam resolusi konflik tanah Register 22 Way Waya yang

berada di Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu.

D.Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana informasi dapat

diperoleh. Pengambilan informasi dipilih secara purposive sampling yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap berdasarkan penilaian tertentu

mewakili populasi. Informan yang dipilih adalah mereka yang bersedia

memberikan dan memiliki pengalaman atau pernah terlibat dalam proses

penyelesaian.

Informan utama dalam penelitian ini adalah masyarakat dan tokoh-tokoh

masyarakat pekon. Pemilihan informan sendiri dilihat dari mereka yang

(44)

penyelesaian konflik dan dianggap mewakili dari pihak masyarakat. Selain

itu, untuk mendukung data yang ada, informan penelitian ini juga berasal dari

Tim Terpadu selaku informan pendukung sebagai penilaian objektif

mengingat Tim Terpadu merupakan objek dari penelitian ini.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari keterangan yang

sesungguhnya terjadi dalam praktek. Untuk mendapatkan data primer,

peneliti melakukan wawancara dengan informan. Sebagai dasar

pertimbangan dalam menentukan informan hal ini adalah mereka yang

terlibat dalam konflik dan mereka yang memilki peranan dalam

membantu proses resolusi konflik tanah register di Kabupaten

Tanggamus. Dalam hal ini, data primer diperoleh dari masyarakat dan

tokoh masyarakat Pekon Madaraya dan Pekon Sumber Bandung, selain

itu data primer juga diperkuat dengan informan pendukung yaitu Tim

Terpadu Penyelesaian masalah tanah Register 22 Way Waya.

Atas dasar itulah maka peneliti menetapkan sebanyak 12 orang informan

sebagai sumber informasi guna mengumpulkan data dalam penelitian ini,

yang menjadi informan terdiri dari 8 orang masyarakat sebagai informan

(45)

Tabel 1. Data Informan

No Nama Informan Jabatan Waktu Wawancara

1 A. Khusaeri Mayarakat Pekon Sumber Bandung dan

pernah menjabat

sebagai Kepala Pekon Sumberbandung 6 Sobirin Masyarakat

sekaligus Carig

(46)

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa data yang diperoleh dari

studi kepustakaan dan telaah dokumen, yang didapat secara tertulis dari

Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, pemberitaan di surat kabar,

serta arsip-arsip pengaduan yang disampaikan kepada Tim Terpadu,

arsip-arsip pekon yang berkaitan dengan penelitian ini.

Berikut merupakan daftar arsip-arsip atau dokumen yang berkaitan

dengan penelitian ini:

Tabel 2: Arsip- arsip yang berkaitan dengan penelitian

No Arsip – arsip Substansi 1 SK Menteri Kehutanan No:

742/ MENHUT-II/2009

Berisi mengenai penetapan 175 hektar yang berada di kawasan

Berisi mengenai pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian tanah eks Register 22 Way waya

3 Surat dari Kementrian Kehutanan No: 230/ VII- KUH/ 2013

Berisi mengenai tanggapan atas lahan tukar menukar kawasan hutan seluas 175 hektar (yang dikompensasikan)

4 Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu No 12 tahun 2012

Berisi mengenai pembentukan Kecamatan Pagelaran Utara 5 Profil Desa Perisi mengenai informasi

keadaan Pekon Sumber Bandung 6 Berita Acara hasil pekerjaan

pembuatan batas kawasan hutan lindung

Berisi mengenai hasil pekerjaan pembuatan batas kawasan hutan lindung reguster 22 yang berasal dari areal pengganti kawasan hutan.

7 Surat dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung No: 522/ 1276/ III.16/ 2008

Berisi mengenai Evaluasi pemanfaatan kawasan hutan.

(47)

E. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Teknik ini digunakan untuk mengamati objek penelitian langsung serta

meninjau lokasi yang menjadi objek penelitian, dalam teknik atau kegiatan

ini dilakukan juga kegiatan pencatatan tentang hasil pengamatan,

gejala-gejala bagaimana peranan Tim Terpadu dalam resolusi konflik tanah

Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu. Peneliti melakukan

pengamatan secara langsung dan melakukan pencatatan data atau

informasi secara sistematis terhadap objek penelitian.

2. Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data melalui percakapan

langsung dengan informan. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan

diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya

pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi (Sugiyono, 2003 : 157).

Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab langsung antara

pewawancara dan informan dengan menggunakan alat yang dinamakan

panduan wawancara (Interview Guide) yang berdasarkan pada daftar

pertanyaan diajukan kepada Tim Terpadu, Tokoh Masyarakat dan

(48)

dengan maksud untuk mendapat kejelasan mengenai peranan Tim Terpadu

Kabupaten Pringsewu dalam membantu menyelesaikan permasalahan

pengelolaan tanah Register di Kabupaten Pringsewu.

3. Studi Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan mengkaji dan mempelajari informasi

dari data yang diperoleh dari berbagai literatur yang mendukung

penelitian.

F. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

1. Tahap Editing

Yaitu cara yang digunakan untuk meneliti kembali data yang telah

diperoleh di lapangan baik yang melalui wawancara maupun dokumentasi

guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Tehnik editing data dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara menyalin ulang hasil dari wawancara

dengan informan yang berupa data mentah yang berkaitan dengan peranan

dari Tim Terpadu dalam meresolusi konflik ke dalam bentuk tulisan dan

(49)

2. Tahap Interpretasi

Yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil penelitian untuk

dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang

diperoleh dengan data lain. Adapun proses interpretasi atas hasil penelitian

dalam skripsi ini berupa menghubungkan hasil akhir dari wawancara

terhadap informan dengan tinjauan pustaka yang ada pada bab 2 dalam

skripsi ini.

G. Teknik Analisis Data

Analisa data betujuan untuk menyedehanakan data ke dalam bentuk yang

lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan. Analisa data dalam penelitian ini

dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa data dengan cara

memaparkan, mengelola, menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian

dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang

diteliti. Untuk mengolah dan mendeskripsikan data agar lebih bermakna dan

mudah dipahami maka digunakan prosedur analisa data yang dikembangkan

oleh Miles dan Huberman (1992), adapun prosedur analisa datanya sebagai

berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang

(50)

merupakan suatu bentuk analisa data yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi dengan

cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat

ditarik dan diverifikasikan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam hal

ini, adalah dimana data yang berhasil didapatkan, baik berupa hasil

wawancara maupun dokumentasi yang kemudian diklasifikasikan dan

dikelompokkan sedemikian rupa sehingga semakin mempertajam dan

memperjelas serta mendukung penelitian.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan usaha menampilkan sekumpulan informasi

yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan

dan pengambilan tindakan. Kecenderungan kognitifnya, akan

menyederhanakan informasi yang komplek ke dalam bentuk yang

disederhanakan dan diseleksi atau konfigurasi yang mudah dipahami.

3. Menarik Kesimpulan

Dari singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji

kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan

validitasnya. Langkah-langkah yang dilakukan adalah

pemahaman-pemahaman yang telah ditampilkan kemudian didukung oleh data yang

memperkuat kebenarannya berkaitan dengan pokok permasalahan

(51)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Terbentuknya Kecamatan Pagelaran Utara

Kecamatan Pagelaran Utara merupakan Kecamatan yang baru terbentuk pada

tanggal 30 Agustus tahun 2012. Kecamatan ini terbentuk berdasarkan Peraturan

Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor : 12 tahun 2012 tentang Pembentukan

Kecamatan Pagelaran Utara di Kabupaten Pringsewu. Berlandaskan Peraturan

Daerah ini maka dibentuk Kecamatan Pagelaran Utara di wilayah Kabupaten

Pringsewu. Kecamatan Pagelaran Utara sendiri berasal dari sebagian wilayah

Kecamatan Pagelaran yang terdiri atas cakupan wilayah:

1. Pekon Fajar Baru; 2. Pekon Kamilin; 3. Pekon Neglasari; 4. Pekon Mulia; 5. Pekon Margosari; 6. Pekon Giri Tunggal; 7. Pekon Sumber Bandung; 8. Pekon Madaraya;

9. Pekon Way Kunyir; dan 10.Pekon Gunung Raya.

Kecamatan Pagelaran Utara mempunyai batas-batas wilayah:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah;

Gambar

Gambar 1: Bagan Kerangka Pikir
Tabel 2: Arsip- arsip yang berkaitan dengan penelitian
Tabel 3: Daftar nama Kepala Pekon Sumber Bandung
Tabel 4: Luas wilayah Pekon
+2

Referensi

Dokumen terkait

Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2013 yang menyatakan bahwa penyebab gizi buruk di Jawa Timur 40% karena pola asuh.Tingkat pengetahuan gizi seseorang

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi dengan judul

Sebelum menjadi warga binaan panti, bagaimana tipe rumah saudara/i.. Terbuat

Dividend Payout Ratio , Debt to Equity Ratio berpengaruh negatif signifikan terhadap Dividend Payout Ratio, dan Current Ratio berpengaruh negatif tidak signifikan

Pada saat film cerita masuk ke Hindia Belanda dengan menampilkan aktor serta serangkaian cerita menarik yang mampu membawa penonton ke dunia impian, maka hal tersebut

 Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya yang berhubungan dengan pendirian sebuah lingga yang merupakan lambang dari Dewa Siwa diatas sebuah bukir di

Sebagai hasil yang dapat disimpulkan penulis dalam tesis ini adalah kepercayaan terhadap wujud-wujud supranatural di Desa Bontobuddung merupakan kepercayaan lokal

program pendidikan yang diterapkan dalam aktivitas sehari-hari melalui pembiasaan dan penanaman nilai-nilai Islami yang dapat diberikan dalam setiap kesempatan