• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMBERIAN PARCEL KEPADA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMBERIAN PARCEL KEPADA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PEMBERIAN PARCEL KEPADA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG mengeluarkan surat edaran kepada para pejabat Negara, baik pusat maupun daerah untuk tidak menerima parcel. Segala perbuatan yang berkaitan dengan pemberian parcel sebagai suap termasuk juga tindak pidana korupsi, perbuatan penyuapan selalu berkenaan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan keuangan negara atau perekonomian negara yang merupakan tindak pidana korupsi. Permasalahan yang yang dibahas dalam penellitian ini adalah. Apakah pemberian parcel kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai salah satubentuk gratifikasi menurut Undang-Undang Tipikor dan bagaimanakah sanksi pidanapelaku pemberi parcel sebagai bentuk gratifikasi menurutUndang-Undang Tipikor.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.

(2)

yang bersifat imperatif-kumulatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung (Lampung) 13 Maret 1990 sebagai anak Kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Doan Irawan dan Nida Husgiantina.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Swasta Tunas Harapan, Bandar Lampung tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Menengah Pertama Negri 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas Negri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008.

(8)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim

Sujud syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya Kupersembahkan Skripsi ini untuk :

Ayah dan Ibu yang telah membesarkan dan mendidik dengan segenap

cinta, kasih sayang, pengorbanan dan senantiasa mendoakan untuk

keberhasilan dan Keselamatanku

Kakak dan adikku yang selalu menyayangi dan mengisi hari-hariku,

dan

Seluruh teman-temanku yang sudah seperti keluarga yang selalu

(9)

MOTO

Sesungguhnya di samping kesulitan itu ada kemudahan, maka

apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan

kerjakanlah pekerjaan lain,

Dan hanya kepada Tuhanmu sajalah kamu berharap.

(S. Alam Nasyrah ayat 6-8)

Kita terlahir sebagai pemenang , dan kita mati sebagai juara yang

dikenang

(anonim)

“Kesombongan lebih merugikan daripada kelaparan, kehausan,

dan kedinginan”

(10)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdullilahirobbil ‘alamin, segala puji hanya kepada Allah SWT, Tuhan

seluruh alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Baginda Muhammad Rosululloh SAW, yang telah memberikan teladan dalam setiap kehidupan, juga kepada keluarga, sahabat, dan penerus-penerus risalahnya yang mulia.

Skripsi yang berjudul “Analisis Pemberian Parcel Kepada Pegawai Negeri Sipil Sebagai Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung. Banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih, bantuan, nasihat, serta saran-saran yang membangun dalam penyelesaian slripsi ini, karena itu dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga nilainya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(11)

3. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Pertama, atas bimbingan, arahan dan nasehatnya.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Kedua, atas bimbingan, arahan dan nasehatnya.

5. Ibu Firganefi, S.H., M.H., sebagai Dosen Penguji Pertama, terimakasih atas saran, arahan dan nasehatnya.

6. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., sebagai Dosen Penguji Kedua, terimakasih atas saran, arahan dan nasehatnya.

7. Ibu Upik Hamdah., S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama menjalani studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Hukum.

9. Seluruh jajaran Dosen di Fakultas Hukum Unila, seluruh staf Tata Usaha dan pegawai di Fakultas Hukum.

10.Karyawan-karyawan di Fakultas Hukum Unila , Mbak Yani, Bang Rian, Bang Andre, Pak Herman dan semuanya, terima kasih atas bantuannya.

11.Karyawan-karyawan di Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum, Mbak Sri, Mbak Yanti, Babe dan semuanya, terima kasih atas bantuannya.

12.Seluruh warga Fakultas Hukum Unila, Iyay Apri, Iyay Jek beserta Tante, Emak beserta Bapak, Sari , Ibu, Kang Bob, Cici dan semuanya, terima kasih atas perjalanan menuju sarjana yang berkesan ini .

(12)

untuk kalian berdua. Kalian selalu mengajarkan kesabaran kepadaku, mengajarkan arti perjuangan tanpa melupakan Sang Pencipta, terima kasih atas tetesan keringat yang kalian curahkan, saya janji akan jadi anak yang selalu membanggakan papa mama dan berguna buat orang banyak.

14.Saudara Kandungku, Venti Irdiantina dan Dinda Pertiwi. Terima kasih atas semangat, tawa, canda, tangis, dan pertengkaran kecil yang membuatku bersyukur memiliki kalian.

15.Sahabat - sahabatku Pasukan Lima Jari, Ditto, Byon, Fajrin, Inoe, Yuki, Angga, Rey, Abi, Soraya, Amel, Mang Deo, Candra dan teman-teman lainya yang telah menemani hari-hari penulis selama menyelesaikan studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

16.Buat warga Smile More, Bernan, Langgir, Papin, Do, Bang Yuris, Beta Ipan, Nanda Pakde, Bang Ivan, Raka, Rudi Elus, Bang Ando, Teteh, Uti, Tia, Mang Ade, Adek Iyong, Mamak Acan, Walid Enal, Cahyadi, Ari, Bagus, Mas Didit, Jon Pleh, Denny Gulet, terima kasih buat semuanya manis pahit telah kita lalui bersama, tanpa kalian semua saya bukan apa-apa.

17.Buat warga Black Rose, Defri Kepug, Kenen, Redi, Uyung, Lek Tri Gagak, Hilman thanks buat semuanya.

18.Buat Sahabat Soyak, David, Tyo, Minak Cinglung, Yasir, Dimas Sob, Kory, Alek, Darmen, Dicky, Adit Tida, Lindra, Topan, Akew, Jiwa, Angga, Aldo, Faisal terima kasih atas semua kisah soyak kalian yang selalu buat semangat hidup ini .

(13)

20.Buat sahabat-sahabat yang udah duluan di panggil Allah SWT, Mas Dandy Sule, Yogi Yopenk, Rahmat Mamat, Bang Kemal semua kalian semua tenang dan dapat tempat yang paling nyaman disana sampai berjumpa di surga.

Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah diberikan dan tetap menanamkan semangat untuk berbuat baik dalam diri kita, semoga karya kecil yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Akhirnya, penulis meminta maaf jika ada kesalahan dan kepada Allah SWT penulis mohon ampun.

Bandar Lampung, 2015 Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Linkup Penelitian... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teori dan Konseptial ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ... 15

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi ... 21

C. Pengertian Penyuapan ... 25

D. Gratifikasi ... 28

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 37

B. Jenis dan Sumber Data ... 37

C. Penentuan Naraumber ... 39

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

E. Analisis Data ... 40

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ………. .. 42

B. Pemberian Parcel Kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) Sebagai Salah Satu Bentuk Gratifikasi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ... 43

(15)

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 63 B. Saran ... 64

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin meluas. Gejala pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meluas inilah yang menimbulkan kerisauan dan keprihatinan bangsa Indonesia, karena kondisi seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional.

Secara umum, tindak pidana korupsi secara material diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor).Dalam undang-undang tersebut tidak tercantum secara jelas rumusan mengenai pengertian korupsi itu sendiri. Namun dapat disimpulkan dalam Pasal 2 bahwa tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

(17)

2

suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera.

Suatu kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya unsur merugikan keuangan negara. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap tidak ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi. Tidak semua suap-menyuap adalah kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja, misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif.

(18)

3

(sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Suap dalam sistem hukum di Indonesia juga dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan suap sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Dalam Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan

yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.

(19)

4

penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Sebagai contoh, pada bulan Oktober 2014 sebanyak 35 parsel lebaran yang diserahkan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi kepada KPK. KPK memperkirakan parsel-parsel tersebut bernilai Rp 10,7juta. Menurut Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono, dari 35 parsel yang diserahkan ke KPK, 15 di antaranya disita untuk negara. Isi dari parsel parsel tersebut bermacam-macam. Berupa kain, keramik, tea set, coffe maker, jam dinding, dan hiasan garuda warna emas. Semua parsel tersebut yang berisi makanan dan minuman dikarenakan khawatir kadaluarsa, langsung diserahkan ke pihak yang membutuhkan. KPK mengapresiasi tindakan yang dilakukan Hendrar karena bisa menjadi contoh yang baik bagi kepala daerah yang lain. Peraturan tentang laporan dugaan gratifikasi oleh penyelenggara negara ini diatur dalam Pasal 12B ayat (1) Undang-UndangNo 20 tahun 2001. Dalam pasal tersebut dijelaskan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas. Pasal lain yaitu Pasal 12C ayat (1) Undang-Undang No 20 tahun 2001 bahwa gratifikasi yang diterima penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap jika yang bersangkutan melapor ke KPK.1

Berdasarkan uraian di atas, apakah segala perbuatan yang berkaitan dengan pemberian parcel sebagai suap termasuk juga tindak pidana korupsi, perbuatan penyuapan selalu berkenaan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan keuangan negara atau perekonomian negara maka secara sosiologis dan yuridis tindak pidana penyuapan (Omkoping) adalah merupakan

1

(20)

5

tindak pidana korupsi. Dengan berbagai ketentuan-ketentuan mengenai penyuapan yang merupakan tindak pidana korupsi, terdapat masalah-masalah yang belum dikaji secara khusus dan perlu adanya penelitian untuk mengetahui informasi dalam memahami permasalahan yang muncul. Diantaranya masalah ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam hukum pidana untuk memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul “Analisis Pemberian Parcel Kepada Pegawai Negeri Sipil Sebagai Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

a. Apakah pemberian parcel kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai salah satu bentuk gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999?

b. Bagaimanakah sanksi pidana pelaku pemberi parcel sebagai bentuk gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999?

2. Ruang Lingkup

(21)

6

Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum acara pidana khususnya sistem pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dari judul penelitian itu sendiri. Adapun tujuan yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pemberian parcel kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai salah satu bentuk gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

b. Untuk mengetahui sanksi pidana pelaku pemberi parcel sebagai bentuk gratifikasi menurut Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut pengaturan mengenai pemberian parcel kepada PNS menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

b. Kegunaan Praktis

(22)

7

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti. 2

Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan dalam masyarakat Indonesia. Bahkan korupsi merupakan masalah yang dihadapi seluruh bangsa di dunia terutama bagi negara-negara berkembang. Namun korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merusak tatanan ekonomi, kehidupan masyarakat, dan kesejahteraan bangsa. Sehingga secara hubungan internasional sering dibicarakan dalam forum-forum resmi karena korupsi sudah menjadi semacam tindak pidana yang luar biasa.

Pengertian korupsi menurut Sudarto, bahwa Korupsi disamping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk, juga disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.3 Artinya korupsi selalu dipautkan dengan adanya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara atau terganggunya perekonomian negara yang akibatnya adalah akan memperkaya diri sendiri, orang lain atau kelompok.

2

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. 2010, hlm. 125. 3

(23)

8

Tindak pidana korupsi tidak lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara yang luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektivitas hukum dan undang-undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut. Seseorang yang terlibat dalam perbuatan korupsi atau suap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.

Suap (bribery) bermula dari kata briberie (Perancis) yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (gelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna alms (sedekah), blackmail atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup).

(24)

9

peraturan perundang-undangan telah melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah.

Definisi suap menerima gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan dari penjelasan Pasal 12B Ayat (1) dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang masih dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan (concursus idealis).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar seseorang berlawanan dengan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.

b. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si penerima melawan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.

(25)

10

a. Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid).

(26)

11

Untuk seseorang dapat dipidana, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan, baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku. Pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan. Asal legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga mengendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan.4Menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat :5

1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi.

3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Untuk menjatuhkan pidana terhadap suatu perbuatan ialah perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Disamping itu, juga harus ada keyakinan hakim bahwa perbuatan tersebut betul-betul dilakukan oleh orang yang bersalah.

4

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, 2002, hlm. 62-63.

5

(27)

12

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.6 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.7 b. Pemberian adalah suatu proses atau cara perbuatan memberi atau memberikan

sesuatu kepada orang lain.8

c. Parsel adalah merupakan sebuah pemberian yang berupa bingkisan atau paket yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk yang menarik untuk diberikan kepada seseorang, yang dalam hal ini adalah penyelenggara negara.9

d. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

6

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung. 1986, hlm 132 7

Moeljatno 2000.Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Bandung, hlm. 1. 8

Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1998, hlm. 1322 9

http://www.kejati-jatim.go.id/index.php, diakses 24 Desember 2013 21.15. 10

(28)

13

e. Gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan si pemberi.11

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi, dan gratifikasi secara umum.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

11

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,Praktik dan

(29)

14

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai sanksi pidana tindak pidana gratifikasi yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.12 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan

strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.13Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.14

Beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa

paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan

alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya.

12

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002, hlm. 71.

13

PAF Lamintang, Delik-delik khusus, Sinar Baru ,Bandung,1984, hlm 185. 14

(31)

16

Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.15 Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.16

Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :

1) Melawan hukum, 2) Merugikan masyarakat,

15

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 2000, hlm. 54 16

(32)

17

3) Dilarang oleh aturan pidana,

4) Pelakunya diancam dengan pidana.17

Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.18 Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada strafbaarfeit, adapun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsure perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.

17

(33)

18

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :

a. Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

1) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 2) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; 3) Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku. 1) Memenuhi rumusan undang-undang

2) Sifat melawan hukum; 3) Kualitas si pelaku;

4) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

(34)

19

3. Jenis Tindak Pidana

Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan

adalah “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak

ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran

adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian.19

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan

percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

19

(35)

20

b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.

f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), sistem penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud

„mengambil barang‟ tanpa mempersoalkan akibat tertent dari pengambilan barang

(36)

21

Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yang

dirumuskan sebagai perbuatan yang „mengakibatkan matinya‟ orang lain.

Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu/peri keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang.

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau

Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata

Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio

turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie.20

Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau

20

(37)

22

ucapan yang menghina atau memfitnah,21 sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.22

Andi Hamzah menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:

1) Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandingkan dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.

2) Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi. 3) Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien. 4) Modernisasi.23

Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

21

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 9. 22

Kamus Besar Bahasa Indonesia: Op, Cit., hlm. 462. 23

(38)

23

Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1) Pasal 2 Ayat (1) :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.”

2) Pasal 3 :

“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

(39)

24

suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.

2) Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.

3) Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.

(40)

25

juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.

5) Dapat merugikan keuangan Negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.

C. Pengertian Penyuapan

Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu:

1) Menerima hadiah atau janji;

2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; 3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

(41)

26

(sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap (delik suap aktif) dan yang menerima suap (delik suap pasif) adalah subyek tindak pidana korupsi dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut. Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping (suap aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena selama ini delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap.

(42)

27

mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut Pasal ini. Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan perbuatan (concursus idealis).

Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut:

a. Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid).

(43)

28

rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara) sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam Pasal ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.

Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan. Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggung jawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.

D. Gratifikasi

1. Pengertian Gratifikasi

Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

(44)

29

1) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

2) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau piidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

(45)

30

Dari penjelasan Pasal 12B Ayat (1) ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya.

2) Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi grastifikasi menurut Pasal 12 B ini. 3) Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12 B Ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c.

(46)

31

Suap adalah apabila penerima disyaratkan melakukan tindakan hukum yang tidak benar atau disyaratkan mencegah tindakan hukum yang benar. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang bersifat mutlak, tidak mengandung syarat apapun. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuapan dan gratifikasi mempunyai titik persamaan diberikan kepada pemegang kekuasaan. Sisi perbedaannya, melihat kepada tujuan dari si pemberi. Bila tujuan tersebut,masih umum sekedar menarik simpati atau terindikasi karena faktor jabatan dan kedudukan berarti tergolong gratifikasi. Apabila tujuan yang ingin dicapai tertentu dan dalam persoalan khusus, maka ini yang disebut dengan penyuapan. Meskipun keduanya diharamkan, tentunya tingkat keharaman dan hukuman yang diterima berbeda.

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi tidak dianggap suap jika penerima melaporkan ke KPK. Hal ini diatur didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib melakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima.

(47)

32

3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan penetuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 12 C Ayat (2) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 dan Pasal 16 UU No. 30 tahun 2002, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai berikut :

1) Penerima gratifikasi wajib melaporkan dokumen penerimaannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima;

2) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi;

3) Formulir sebagaimana dimaksud dalam angka (2), sekurang-kurangnya memuat :

a) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; b) Jabatan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara;

c) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; d) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan e) Nilai gratifikasi yang diterima.

(48)

33

menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);

3) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;

4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.

2. Subyek Gratifikasi

Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah:

1) Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi:

a) Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian; b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang

Hukum Pidana;

c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau

(49)

34

2) Penyelenggara Negara

Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi:

a) pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c) Menteri;

d) Gubernur; e) Hakim;

f) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.

3. Obyek Gratifikasi

(50)

35

maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Selain itu terdapat juga kasus-kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi yaitu:

1) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif.

2) Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/ kelulusan, Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada pelaku.

3) Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah.

4) Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. 5) Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan.

6) Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal.

(51)

36

9) Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.

(52)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis empiris.

a. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini.

b. Pendekatan Yuridis Empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan.21

B. Jenis Dan Sumber Data

Penelitian ini penulis pertama-tama memerlukan data-data atau keterangan-keterangan yang terkait dengan permasalahan pada penelitian. Sedangkan data yang dipergunakan penelitian ini berasal dari :

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research). Data ini diperoleh dengan cara mempelari, membaca, mengutif,

21

(53)

38

literatur-literatur, atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian ini. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) Bahan Hukum ,yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer ini terdiri dari : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majalah, suratkabar, media cetak, dan media elektronik. b. Data Primer

(54)

39

observasi dan wawancara secara langsung mengenai permasalahan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber atau informan dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, karena itu orang yang dijadikan narasumber atau informan sebaiknya yang memenuhi kriteria. Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan teknik purposive sampling, artinya dengan memilih narasumber yang benar-benar mengetahui permasalahan yang dibahas. Adapun Narasumber dalam penelitian ini sebagai berikut :

1) Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 2 Orang 2) Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri :

1) Studi Pustaka

(55)

40

2) Studi Dokumen

Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut. 3) Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

(56)

41

(57)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian parsel kepada Pegawai Negeri Sipil bukan merupakan bentuk gratifikasi apabila pemberian itu di berikan tanpa maksud dan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari pejabat negara yang menerima parsel tersebut. Kedua, pemberian parsel kepada Pegawai Negeri Sipil yang di kategorikan sebagai bentuk gratifikasi berupa suap karena si pemberi parcel berharap adanya imbalan dari pejabat negara yang menerima parcel tersebut. Jika pemberian tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mempengaruhi penyelenggara negara agar berbuat menyimpang dari tugas dan kewajibannya yang seharusnya, maka hal tersebut merupakan suatu gratifikasi yang dilarang. Selain itu dengan adanya pemberian parcel tersebut, dapat diperoleh suatu kesempatan untuk melakukan kegiatan memperkaya diri sendiri ataupun korporasi dengan cara melawan hukum.

(58)

64

penerima parcel terbukti melakukan perbuatan gratifikasi dalam hal ini merupakan tindak pidana. Gratifikasi yang dimaksud Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 baru dianggap sebagai tindak pidana, dalam hal ini dipersamakan dengan suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sanksi dijatuhkan dengan menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus secara bersamaan, disebut dengan penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif-kumulatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan secara serentak.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian di atas, maka penulis mencoba menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Masalah rumusanTindak Pidana menerima Gratifikasi dalam Pasal 12B, yang mengatakan bahwa, ”pemberian terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap” , kata dianggap disini kurang tepat, karena tindak pidana tersebut sebenarnya sudah merupakan suap, jadi penulis menyarankan rumusannya kini boleh diperbaiki kembali.

(59)

65

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad,2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina cipta, Bandung.

Bassar,Sudradjat, 1986, Tindak-tindak pidana tertentu, Remadja Karya, Bandung. Chazawi.Adami.2001. Pelajaran Hukum Pidana. Rajagrafinda Persada. Jakarta Hamzah, Andi,1984, Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Handayaningrat, Soewarno, 1999, Administrasi Pemerintahan Dalam

Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta.

Lamintang, PAF, 1984,Delik-delik khusus, Sinar Baru ,Bandung.

Mamuji, Sri,et al., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta.

Mulyadi.Lilik. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bhakti.Bandung. ____________, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,

Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung.

Projdikoro, Wirjono, 1981. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2010. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press.Jakarta. Sudarto,1996, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Waluyo, Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan , Sinar Grafika, Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun

(61)

Referensi

Dokumen terkait

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Tipe 5 adalah strategi fokus nilai terbaik (best-value focus) yang menawarkan produk atau jasa kepada sejumlah kecil konsumen dengan nilai harga terbaik yang

Karena menggunakan konverter Cȕk dan konverter boost bertingkat, maka akan didapat rasio tegangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konverter Cȕk dan konverter boost yang

Walaupun penari yang dipilih tidak semua berasal dari daerah yang sama, namun penata berusaha semaksimal mungkin untuk tetap melanjutkan dan menggarap koreografi

Dalam film ini ada beberapa adegan yang di iringi dengan musik atau biasa disebut dengan soundtrack, menurut anda apakah sudah cocok dengan adegan yang diperankan. Jawaban

Mahasiswa yang memberi pertolongan juga melaporkan bahwa merasa dirinya lebih baik (misalnya lebih sabar, tidak egois, dan dapat diandalkan). Menurut riset melakukan

a) Proposal ini dibuat adalah untuk mendapatkan pertimbangan serta dukungan dari Pemerintah Aceh, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen untuk mengembangkan

Keterlibatan) mendorong cost effectiveness , dalam membantu Manjemen melakukan pengelolaan aktivitas ( activity management ) untuk menghasilkan pengurangan biaya