• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh : ANNISA FATHMAULIDA

NIM : 109101000005

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013

ABSTRAK

Gangguan fungsi paru dari proses masuk dan keluarnya udara ke dalam paru adalah restriksi dan obstruksi. Gangguan fungsi paru pada umumnya terjadi karena faktor individu dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebanyak 12 dari 45 pekerja pengolahan batu kapur mengalami gangguan paru seperti asma dan bronchitis. Selain itu berdasarkan hasil penelitian pengukuran kadar PM10 ambien di area pengolahan batu kapur, diperoleh kadar PM10 melebihi nilai ambang batas dengan jumlah rata-rata sebesar 514 µg/m3. Kemudian hasil uji laboratorium kadar SiO2 yang melebihi ambang batas OSHA yaitu pada batu kapur sebelum di bakar sebesar 3,46%.

Tujuan penelitian ini diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari-April 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan desain

cross sectional study, jumlah sampel 40 responden dan teknik pengambilan sampel adalah

quota sampling. Data diperoleh dari kuesioner (data responden), pengukuran PM10 dengan SKC-EPAM 5000 dan pengukuran suhu dan kelembaban dengan WBGT Quest. Analisis uji statistik menggunakan uji t-test independen dan Chi-square dengan derajat kepercayaan 95%.

Berdasarkan hasil penelitian, dari 40 responden pekerja batu kapur diperoleh sebanyak 7 orang yang didiagnosis mengalami gangguan fungsi paru. Faktor yang memiliki kemaknaan statistik terhadap gangguan fungsi paru adalah variabel umur (p:0,032). Faktor lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah masa kerja (0,932) dengan rata-rata 10 tahun bekerja; status gizi (0,842) dengan 32% kurus, 47% normal; konsumsi rokok (0,285) dengan rata-rata 15 batang/hari; kadar PM10 ambien (0,783) mean 514 µg/m

3 ; suhu (0,963) mean 32oC dan kelembaban (0,854) mean 79%.

Penelitian ini diharapkan menjadi referensi studi dan kajian bagi beberapa pihak dan

steakholder. Pertama pada pekerja untuk lebih mewaspadai bahaya kesehatan dan keselamatan bekerja. Kedua pada pemilik menghimbau untuk memperhatikan pekerja dari bahaya dan turut mendukung terciptanya lingkungan yang sehat dari aktivitas pengolahan batu kapur. Ketiga kepada UKK Puskesmas setempat melakukan pemantauan kesehatan dan peningkatan pengetahuan akan bahaya pada pekerja, dan pihak pemerintah daerah melakukan pemantauan kualitas udara ambien di sekitar Desa Tamansari sebagai sentra pengolahan batu kapur yang akan memiliki risiko terjadinya gangguan kesehatan pada pekerja dan masyarakat sekitar.

xv+ 140 halaman, 3 bagan, 15 tabel, 7 gambar, 7 lampiran

Kata kunci: gangguan fungsi paru, pekerja batu kapur, faktor lingkungan, faktor individu

(6)

v

Factors Associated with Impaired Lung Function in Limestone Processing Workers In Tamansari Village, Pangkalan, Karawang 2013

Abstract

Pulmonary function impairment of the process of entry and exit of air into the lungs is a restriction and obstruction. Lung problems generally occur due to individual factors and environmental factors. Based on the results of preliminary studies as many as 19 of the 58 workers processing limestone pulmonary disorders such as asthma and bronchitis. Also based on the results of measurements of ambient PM10 levels in limestone processing area, obtained PM10 levels exceed a threshold value with the average number of 514 μg/m . Then the SiO2 content of the laboratory test was also performed on the limestone before it is burned in excess of the OSHA limit of 3.46%.

The purpose of this study knowing what factors are associated with impaired lung function in workers processing limestone. The time study was conducted in January-April 2013. This type of research is a epidemiology study with cross-sectional design, the number of samples of 40 respondents and the sampling technique was quota sampling. Data obtained from the questionnaires (data respondents), PM10 measurements with SKC-5000 EPAM and temperature and humidity measurements with WBGT Quest. Statistical analysis using independent t-test and Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.

The results, from 40 respondents limestone workers earned as much as 7 people in diagnosis malfunction. Factors that have statistical significance for lung function impairment is variable age (p:0.032). Other factors did not reach statistical significance are the tenure variable (0,932) mean 10 years; nutritional status (0,842) in 32% thin,47% normal; cigarette consumption (0,285) mean15/day; ambient PM10 levels (0,783) mean 514 µg/m3; temperature (0,963) mean32oC and humidity (0,854) mean79%.

This study is expected to be a reference for the study and review of some parties and steakholder. First the workers more aware of the dangers to health and safety work. Both of the owners are urged to pay attention to workers from hazards and contribute to the creation of a healthy environment of limestone processing activity. Third to the UKK Puskesmas Tamansari to monitor the health and increased knowledge of the dangers to workers, and government area to monitor ambient air quality around the Castle Village Tamansari as limestone processing centers that have a risk the occurrence of health workers and surrounding communities.

Key Words: pulmonary function impairment, limestone processing workers, environment factors, personal factors

Refferece : 1986-2013

(7)

vi

Alamt Asal : Jl. Tampomas No. 15 D Perum Karang Indah, Karang Pawitan, Karawang.

TTL : Subang, 16 September 1991

Agama : Islam

Golongan Darah : O

Alamat Email : nisanisavem@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan 2007-2009 : SMA Negeri 3 Karawang

2003-2006 : SMP Negeri 1 Karawang

2003 : SDN Negeri Karang Pawitan 1 Karawang PENGALAMAN ORGANISASI DAN PELATIHAN 2009-2010 : Pokja Tobacco Control ISMKMI Wil. II 2010-2012 : Staff Departemen Komunikasi dan Informasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta 2012 : Indonesian Leadership Devlopment Program 2012 oleh

Rektorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia

2012 :Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008, ISO 14001:2004&OHSAS 18001:2007

PENGALAMAN PRAKTEK KERJA

2011-2012 Pengalaman Belajar Lapangan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pondok Jagung Timur , Tangerang Selatan. 2012 : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering 2012 2013 : Kerja Praktek bidang Environment di

(8)

vii

Penyayang serta dorongan yang kuat, akhirnya saya dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “ Faktor- faktor yang Berhubungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun 201 ”. Shalawat serta salam selalu terjunjun kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan ilmu dan pengetahun.

Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas saya ingin mengucapkan terima kasih yang kepada berbagai pihak, antara lain :

1. Ibu Minsarnawati,M.Kes dan bapak Dr.H.Arif Sumantri,M.Kes selalu pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan dan arahan dalam penelitian ini dan menyempatkan waktu di kesibukannya untuk menyempurnakan penulisan skripsi.

2. Ibu Yuli Amran,M.KM, Ibu Dewi Utami,Ph.D., dan Bpk. Ir. Untung Sryanto, M.Sc, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak mengarahkan untuk pengayaan materi dan informasi pada skripsi ini

3. Pihak Puskesmas Pangkalan beserta staff UKK serta Dinas Kesehatan Kab. Karawang yang mengizinkan dan mendukung penelitian ini berjalan.

(9)

viii

kelancaran penyusunan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuan apapun, yaitu Sarah, Fira, Depi, Tanjung, Heni, Lulu, Fahad, Dea, Lilik, Ka Ami, Ka Egi, Vebria, Derie, Nurul, Iva dan lainnya yang tidak disebutkan satu persatu.

6. Terakhir dan terpenting untuk papah yaitu Bpk.Rindu Putra, mamah ayi, nenek Adung dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan dan mencurahkan kasih sayangnya dari jauh dan tidak langsung di setiap waktunya.

7. Especially for alm. Mamah yang sudah mendahului kami sekeluarga, ketidak beradaan beliau menjadi kekuatan dan motivasi terbesar dalam setiap prosesnya.

Semoga bantuan, petunjuk, bimbingan dan pengarahan yang diberikan dari berbagai pihak kepada penulis mendapat balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’la.

Tanggerang Selatan, Juni 2013

(10)

ix

LEMBAR PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

CURRICULUME VITAE iv

LEMBAR PENGESAHAN v

LEMBAR PERSETUJUAN vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI xi

DAFTAR BAGAN xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 6

1.3. Pertanyaan Penelitian 7

1.4. Tujuan 8

1.5. Manfaat 9

1.6. Ruang Lingkup 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi Paru 12

2.2. Gangguan Fungsi Paru 13

(11)

x

2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukuran Kapasitas Paru 22 2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur 24 2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara 27

2.10. Baku Mutu Udara Ambien 37

2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan

Gangguan Fungsi Paru 38

2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi

Konsentrasi Udara Ambien 44

2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan Kerja 47 2.14. Patogenesi Penyakit Berbasis Lingkungan 48

2.15. Kerangka Teori 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep 55

3.2. Hipotesis 59

3.3. Definisi Operasional 61

BAB IV METODELOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 65

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 65

(12)

xi BAB V HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

5.1.1.Desa Tamansari 77

5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 78 5.2. Hasil Analisis Univariat

5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada

Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 82 5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu Pekerja

Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 83 5.2.3. Gambaran Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan

Batu Kapur di Desa Tamansari 86 5.2.4. Gambaran Kandungan SiO2 pada Batu Kapur 88

5.3. Hasil Analis Bivariat

5.3.1.Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap

Gangguan Fungsi Paru 93

5.3.2.Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap

(13)

xii

6.3. Hubungan Karakteristik Individu terhadap 103 6.3.1. Hubungan Usia terhadap Gangguan Fungsi Paru 104 6.3.2. Hubungan Status Gizi terhadap Gangguan Fungsi Paru 108 6.3.3. Hubungan Konsumsi Merokok terhadap Gangguan

Fungsi Paru 114

6.3.4. Hubungan Masa Kerja terhadap Gangguan Fungsi Paru 119 6.4. Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru

6.4.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien 122

6.4.2. Hubungan Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru 129 6.4.3. Hubungan Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru 132 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan 135

7.2. Saran

7.2.1. Saran Bagi Pekerja 138

7.2.2. Saran Bagi Pemilik 139

7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah 140 7.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya 140 DAFTAR PUSTAKA

(14)

xiii

Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru 24

Bagan 2.2. Kerangka Teori 54

(15)
[image:15.595.113.535.69.780.2]

xiv

Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru 23 Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh 43 Tabel 3.1. Definisi Operasional 61 Tabel 4.1. Tabel Perhitungan Sampel 67 Tabel 4.2. Drajat Kapasitas Fungsi Paru 73 Tabel 5.1. Distribusi Gangguan Fungsi Paru

pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur 82 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan 83 Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Individu Pekerja 84 Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien

di Area Pengolahan Batu Kapur 86 Tabel 5.5. Distribusi Rata-rata Kadar Udara Ambien

di Area Pengolahan Batu Kapur 87 Tabel 5.6. Hasil Uji Kadar SiO2 pada Material Batu

Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013. 89 Tabel 5.7. Distribusi Rata-rata dan Analisis Hubungan 91

antara Karakteristik Lingkungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja

Tabel 5.8. Analisis Hubungan antara Karakteristik 92 Individu dengan Gangguan Fungsi Paru

pada Pekerja Batu Kapur Desa Tamansari

Tabel 6.1. Distribusi Responden yang Mengalami 105 Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur

(16)
[image:16.595.112.537.65.486.2]

xv

Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan

Batu Kapur 5

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernapasan 20 Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan 26

Batu Kapur

Gambar 2.3. Teori Simpul 50

Gambar 4.1. SKC EPAM-5000 70

Gambar 4.2. Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik

(17)

1

Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana salah satu kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2008).

(18)

Pada penelitian National Health Interview Survey dalam Aditama (1992) di Amerika Serikat, terdapat 7,5 juta penduduknya mengidap bronkitis kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan 6,5 juta orang menderita asma. Kemudian penelitian di Inggris menemukan bahwa bronkitis kronik pada kaum pria (50-64 tahun) adalah sebesar 17% dari jumlah populasi pria dan pada wanita sekitar 8%. Di Inggris ini bronkitis merupakan penyakit paling banyak menimbulkan hilangnya produktivitas. Salah satu faktor pencetus terjadinya penyakit paru tersebut adalah adanya paparan gas emisi, partikulat seperti silikat ( SiO2) pun zat toksik lain yang terjadi secara akut maupun kronik pada orang yang terpajan yang bersumber dari aktivitas transportasi, paparan asap rokok dan aktifitas industri.

Aktivitas industri tersebut adalah salah satunya industri pengolahan batu kapur. Batu kapur atau limestone, adalah sedimen yang banyak mengandung organisme laut yang telah mati yang berubah menjadi kalsium karbonat (CaCO2). Agar digunakan sebagai bahan baku, batu kapur harus dibakar sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Saat proses pembakaran ini diemisikan gas-gas hasil pembakaran seperti Particulate Matter (PM), Sulfur Dioksida (SO2)

dan Nitrogen Dioksida (NO2) yang menambah beban pencemaran udara

(19)

dapat menimbulkan penyakit paru bila diatas ambang batas 2%. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi paru yang berdampak pada kesehatan pekerja.

Penelitian sebelumnya dalam Rizal (2011) pada pengolahan batu kapur di desa Padabeunghar Kabupaten Sukabumi. Diperoleh konsentrasi PM10 dengan

kadar rata-rata 0,282 mg/m3, sekitar 32% atau 107 responden mengalami gangguan pernafasan. Dari hasil uji regresi logistik ganda menunjukan adanya hubungan antara konsentrasi PM10 udara ambien dengan gangguan saluran

pernafasan. Pada penelitian kegiatan pengolahan batu kapur lainnya oleh Sucipto (2007) di Desa Karangdewa Kabupaten Tegal, hasil pengukuran Total Suspended Particulate (TSP) didaerah pemukiman sekitar pembakaran kapur, rata-rata sebesar 893,25 µg/m3 yang melebihi ambang batas baku mutu Kepala Gubernur Jawa Tengah yaitu 230 µg/m3.

Hal ini juga menguatkan bahwa menurut Fardiaz (1992) terdapat hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel yang berukuran diameter diantara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah, debu dan produk-produk pembakaran dari industri lokal. Salah satunya produk pembakaran tersebut adalah dalam proses pengolahan batu kapur.

(20)

tenaga kerja yang terpapar debu kapur dan asap-asap pembakaran pada konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda. Sedangkan dalam Material Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahaya debu batu kapur yang didalamnya terkandung CaCO3 dan Silica (SiO2) memiliki bahaya

kesehatan apabila terpapar dan terhirup yang dapat menyebabkan peningkatan mukosa di hidung dan sistem jalan nafas kemudian menyebabkan iritasi saluran pernafasan. Paparan yang berlebihan dengan debu dapat menyebabkan hiperkalsemia, silikosis, pneumokiosis dan dari kandungan silica memiliki sifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker (Brentag Canada Inc,2007).

Kemudian dijelaskan dalam Mukono (2003), efek utama pembakaran debu kapur terhadap tenaga kerja berupa gangguan fungsi paru baik bersifat akut dan kronis. Gejala yang bersifat akut misalnya iritasi saluran pernapasan, peningkatan produksi lendir, penyempitan saluran pernapasan, lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir serta kesulitan bernapas. Selain itu dalam EPA (2001) Amerika Serikat juga menyebutkan obstruktif paru ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan paru yang disebut pneumoniosis.

(21)

Akibat adanya gangguan-gangguan kesehatan ini dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pekerja. Apabila kondisi kesehatan pekerja mengalami penurunan, maka dapat berpengaruh pada produktifitas kerja, mangkir jam kerja, biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pekerja dan angka harapan hidup yang menurun bahkan akan menimbulkan tingkat risiko yang lebih berat pada penyakit serangan jantung dan hipertensi, yang menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia.

[image:21.612.179.511.578.700.2]

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kepala bidang Upaya Kesehatan Kerja (UKK) Puskesmas setempat pada bulan Oktober 2012, bahwa kegiatan pembinaan dan balai pengobatan setiap bulan dilakukan secara rutin ke kelompok Lio setempat. Dari data laporan pemeriksaan rutin bulanan tersebut sampai Oktober 2012 sebanyak 12 pekerja di diagnosis menderita asma dan 4 pekerja yang dirujuk ke Puskesmas di diagnosis bronkitis paru dari total 45 pekerja yang terdata di puskesmas, kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan alat pelingung diri (APD) berupa masker dan sejenisnya.

(22)

Selain itu, hasil observasi lapangan menghasilkan pemanfaatan bahan bakar berupa limbah karet dan bahan anorganik lainnya memicu zat-zat pencemaran semakin berbahaya, karena asap dan debu yang dihasilkan berupa asap hitam pekat. Hal ini memberikan gambaran bahwa kegiatan proses pengolahan batu kapur Desa Tamansari Pangkalan ini menjadi perlu untuk dilakukannya penelitian, karena subjek penelitian ini memiliki risiko pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitarnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapangan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, dari hasil pemeriksaan kesehatan dan pengobatan pada 20 orang pekerja didapatkan 10 orang pekerja mengalami keluhan pada pernafasannya. Adapun keluhan yang dirasakan para pekerja adalah batuk berdahak kehitaman dan sesak nafas.

(23)

Kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker dan sejenisnya serta bertempat tinggal berdekatan dengan aktivitas pengolahan.

Penelitian kesehatan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang ini belum ada yang melakukan penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru.Berdasarkan hal itu, maka perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja penambang dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?

2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?

3. Bagaimana gambaran faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10 ambien,

suhu, kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan

(24)

4. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?

5. Apakah ada hubungan antara faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10

ambien, suhu, kelembaban) di wilayah pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?

6. Apakah ada hubungan antara komposisi kimia batu gamping sebagai bahan baku sebelum dan sesudah dibakar dengan kondisi kesehatan pekerja ?

1.4. Tujuan 1.4.1. Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang tahun 2013.

1.4.2. Khusus

1. Diketahuinya gambaran kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Tahun 2013.

(25)

3. Diketahuinya gambaran kondisi meteorologi (kadar ambien PM10, suhu,

kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan

sesudah proses pengolahan batu kapur .

4. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

5. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kadar ambien PM10, suhu dan kelembaban) dengan gangguan fungsi paru pada

pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Peneliti

Menerapkan aplikasi teori dan keterampilan yang telah didapatkan sesuai dengan kompetensi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan Kesehatan Lingkungan untuk diterapkan dalam menganalisis permasalahan kesehatan masyarakat dalam penelitian ini.

(26)

dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan. Dengan begitu pada pekerja yang masih berusia remaja maupun dewasa dapat menjadi motivasi untuk melakukan pencegahan dari penyakit akut maupun kronis yang lebih parah.

1.5.3. Bagi Dinas Kesehatan Kab. Karawang

Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan perencanaan kesehatan ditingkat daerah pada kelompok usaha informal ini, agar usaha batu kapur dapat tetap menjadi sumber pendapatan daerah yang berpotensi besar, namun tetap memperhatikan kearifan local daerah dan risiko penyakit yang timbul pada pekerja atau masyarakat sekitar sebagai upaya penanggulannya dalam melindungi masyarakat dari aktifitas tersebut.

1.5.4. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang

(27)

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di wilayah Kelurahan Tamansari Kecamatan Pangkalan Kab. Karawang pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2013. Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses penambang dan pengolahan batu kapur yang berada di wilayah tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional study. Dalam pengumpulan data primer peneliti menggunakan alat pengukur debu ambien berjenis PM10 yaitu Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) 5000 Primer dan pengukuran suhu, kelembaban oleh WBGT

(28)

12

Fungsi paru yang utama dalam Yunus (2006) adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk pada proses terebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar. Proses respirasi di bagi ke dalam tiga tahap, yaitu:

a. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

b. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.

c. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk di alirkan ke seluruh tubuh.

Depnakertrans 2005 dalam penelitian Rahman (2008), adapun gangguan/kelainan fungi paru biasanya adalah :

a. Gangguan fungsi paru Restriktif b. Gangguan fungsi paru Obstruktif

c. Gangguan fungsi paru campuran (Obstruktif-Restriktif)

(29)

2.2. Gangguan Fungsi Paru

Menurut Pearce. E (1986) dalam Yulaekah (2007) pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lunggrowth). Mulai pada fase anak sampai kira – kira umur 22 – 24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi parumenetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Volume

Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu.

Gangguan fungsi ventilasi paru merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi paru yang utama dalam Lauralee (2001) adalah sebagai berikut:

1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun.

Dalam Lauralee (2001) penyakit paru obstruktif menahun (PPOM,

(30)

karena spasme otot polos di dinding saluran pernafasan tersebut yang diindikasi oleh alergi; kedua, penyumpatan saluran pernafasan oleh sekresi berlebihan mukus yang sangat kental; dan ketiga, penebalan dinding saluran pernapasan akibat peradangan dan edema yang diindikasi oleh histamine.

2. Emfisema

Menurut Lauralee (2001) emfisema didefinisikan sebagai salah satu pelebaran normal dari ruang-ruang udara paru disertai dengan destruksi dari dindingnya. Beberapa ahli memperluas definisi ini memasukkan pelebaran ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai destruksi dari dindingnya. Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara, yang tersering, emfisema timbul akibat pengeluaran enzim-enzim destruktif, misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respons terhadap pajanan berulang dari asap rokok atau bahan kimiawi iritan lainnya.

3. Penyakit Paru Restriktif

(31)

Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga udara dan paru menjadi berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas mengalami gangguan. Dengan demikian penyakit paru restriktif merupakan penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas vital dan kapasitas paru.

4. Bronkitis Kronik

(32)

2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru

Menurut Simpson (1998) dalam Aviandari dkk (2008) penyakit saluran napas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan lamanya pajanan terhadap debu tertentu. Di negara yang sedang berkembang ditemukan masih banyak orang yang bekerja pada sector informal seperti pertanian dan pertambangan non-formal, hal ini membuat problema akibat pajanan debu dilingkungan kerjanya.

Kemudian dalam Loekita dkk (2003) studi epidemiologi secara cross sectional menggambarkan tingginya gejala gangguan saluran napas diantara pekerja yang terpajan langsung dengan debu dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpajan. Gangguan paru non-spesifik akibat iritasi diperkirakan juga banyak berhubungan dengan para pekerja baik di pembakaran, karena intensitas pajanan debu berada disekitar area pabrik maka kemungkinan terjadi perbedaan prevalensi dan tingkat keparahan penyakit saluran pernapasan.

(33)

Menurut Price (1995) pada tahun 1989, kira-kira 142.000 orang meninggal dunia karena kanker paru-paru menduduki peringkat pertama dari urutan kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita di Amerika Serikat. Angka ini terus mencuat ketingkat yang membahayakan dan prevalensinya saat ini kira-kira 25 kali lebih tinggi dibandingkan 25 tahun yang lalu. Insidens penyakit pernapasan kronik, terutama emfisema paru-paru dan bronkitis kronis semakin meningkat dan sekarang merupakan penyebab utama gangguan serta cacat kronik pada pria dan penyakit jantung.

2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru

Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) Kapasitas fungsi paru merupakan kesanggupan atau kemampuan paru untuk atau dalam menampung udara di dalam. Kapasitas paru adalah suatu kombinasi peristiwa-peristiwa sirkulasi paru atau menyatakan dua atau lebih volume paru yaitu volume alun nafas, volume cadangan ekspirasi dan volume residu. Adapun kapasitas paru dapat di bedakan sebagai berikut:

a. Kapasitas total yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paruparu pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang di dapat tergantung dari beberapa hal yaitu kondisi paru, umur, sikap, dan bentuk seseorang.

(34)

Menurut Lauralee (2001) Kapasitas paru dapat di bedakan empat yaitu: a. Kapasitas inspirasi

b. Kapasitas residu fungsional c. Kapasitas vital

d. Kapasitas paru total

Dari klasifikasi atau penggolongan kapasitas paru di atas, maka yang dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas vital paru merupakan pengukuran kemampuan menghirup udara sekuat-kuatnya hingga menghembuskannya dengan maksimal Lauralee (2001).

Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) pengukuran kapasitas vital paru yaitu jumlah terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru setelah inspirasi maksimum. Seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot pernafasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru

2.5. Sistem Pernafasan

2.5.1. Anatomi Saluran Pernafasan

(35)

sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea, tempat lewatnya udara ke paru. Udara dalam keadaan normal masuk ke faring melalui hidung tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika hidung tersumbat.

Setelah faring, laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea, memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun bagi laki-laku. Pada saat pita suara udara mengalir cepat melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi.

(36)
[image:36.612.121.553.42.430.2]

Gambar 2.1. Anatomi sistem pernafasan. Sumber : Lauralee,2001, Hal.413.

2.5.2. Fisiologi Pernafasan

Dalam Lauralee (2001) fungsi paru-paru yang utama adalah untuk proses respirasi, yaitu pengambilan dari udara luar masuk ke dalam saluran nafas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan korbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar.

Adapun Proses respirasi dapat dibagi dalam 3 tahap utama yaitu:

1. Ventilasi adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

(37)

3. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh.

Masuk keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan oleh peristiwa mekanik pernafasan yang dikenal sebagai inspirasi dan ekspirasi. Pada masa inspirasi paru-paru berkembang sedangkan pada masa ekspirasi paru-paru menguncup. Otot terpenting dalam proses insiprasi adalah diafragma, antariga eksternal dan otot leher. Proses inspirasi adalah proses yang aktif karena dalam proses ini terjadi kontraksi otot dan mengeluarkan energi. Sedangkan ekspirasi merupakan proses yang pasif karena dihasilkan akibat relaksasinya otot-otot yang berkontraksi selama inspirasi, yaitu otot abdomen dan antariga internal.

2.6. Patofisiologi Pernafasan

Ada tiga jenis kelainan fisiologis yang menimbulkan insuffiensi pernafasan yaitu (Sanusi, 1986) :

1. Disebabkan oleh ventilasi yang tidak memadai di alveoli 2. Berkurangnya difusi gas melalui membran pernafasan 3. Berkurangnya transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan.

(38)

Kegagalan pernafasan dapat terjadi akibat kelainan paru yang menyebabkan gangguan ventilasi atau aliran darah. Kelainan ventilasi yang biasa terjadi adalah obstruktif dan restriktif. Keadaan fungsi paru ini dapat dinilai atau diukur dengan menggunakan spirometri.

2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukur Kapasitas Paru

Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan. Alat ini terdiri dari tong berisi udara yang terapung pada sebuah wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik atau turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut dikalibrasi ke besarannya perubahan volume dinamik. Adapun klasifikasi volume dinamik sebagai berikut:

1. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume, FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama satu detik pertama

pada penentuan Kapasitas Vital (KV) yaitu volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. Biasanya FEV1 adalah sekitar 80%, yaitu dalam keadan

(39)

2. Maximum volumntary ventilation (MVV) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimum dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal (Ganong, 1998).

[image:39.612.134.550.42.576.2]

Kegunaan pemeriksaan paru lebih dari sekedar untuk pengetahuan akademik. Pengukuran tersebut mendeteksi penyakit paru dengan gangguan pernapasan sebelum bekerja, kemudian secara berkala selama kerja untuk menemukan penyakit secara dini serta menentukan apakah seseorang mempunyai fungsi paru normal, restriksi, obstruksi atau campuran (mixed). Tujuan epidemiologis adalah menilai bahaya di tempat kerja dan mendapatkan standar bahaya tersebut (Lorriane, 1995).

Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru

Nilai Normal KVP >80%, nilai prediksi untuk semua umur Restriksi KVP < 80%; FEV1 > 75%

Obstruksi KVP > 80%; FEV1 < 75%

Restriksi Obstruksi (Mixed)

KVP< 80%; FEV < 75%

(40)

RESTRIKSI NORMAL

RESTRIKSI OBSTRUKSI

OBSTRUKSI

0 80% KVP

Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru

2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

Batu kapur adalah batuan sedimen berjenis khusus yang terbentuk dari kerangka hewan-hewan kecil lautan. Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain. Batuan kapur ini sangat penting artinya sebagai bahan dasar dalam industri. Batuan kapur mempunyai sifat yang istimewa, bila dipanasi akan berubah menjadi kapur yaitu kalsium oksida (CaO) dengan terjadi proses dekarbonisasi (pelepasan gas CO2) (Curtis, 2000).

2.8.1. Proses Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

Menurut Bappedal (2006) dalam Sucipto (2007) sebelum kapur mati (kalsium karbonat) menjadi kalsium oksida (kapus hidup), terlebih dahulu

FEV1

(41)

diawali dengan proses pengolahan batu kapur. Adapun proses pengolahan batu kapur terdiri dari beberapa tahap yaitu :

a. Kegiatan Penambangan

Kegiatan penambangan batu kapur biasanya menggunakan bahan peledak dinamit sederhadan dan peralatan penambangan penambangan lainnya.

b. Kegiatan Pengangkutan dan Penimbunan

Kegiatan ini mengangkut batu kapur dari penambangan menggunakan truk dengan kapasitas angkut 3 ton, kemudian batu kapur ditimbun ke lokasi pembakaran di dalam tungku atau tobong pembakaran.

c. Kegiatan Pembakaran

Kegiatan pembakaram merupakan tahapan dimana batuan kapur dibakar sampai menjadi kapur. Tungku pembakaran bias mencapai 3-5 ton. Bahan bakar yang digunakan biasanya berbeda-beda setiap kelompok, ada yang menggunakan limbah karet, limbah kayu, limbah oil sludge dan sebagainya. Lamanya proses ini bekerja kurang lebih selama 48 jam atau lamanya proses juga dipengaruhi bahan bakar yang digunakan. Kegiatan pembakaran ini menghasilkan debu dan asap yang hitam pekat.

d. Kegiatan Pemadaman

(42)

(bongkahan) maupun bubuk (powder) apabila sudah disiram oleh air yang siap dijual. Bentuk dari CaO tergantung permintaan pasar.

e. Kegiatan Pengayakan dan Finishing Produk Kapur.

[image:42.612.99.546.83.649.2]

Batu kapur yang dipesan dalam bentuk bubuk perlu dilakukan pengayakan terlebih dahulu kemudian di masukan kedalam karung pengemasan dan siap untuk dijual.

Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan Batu Kapur Sumber : Bappedal (2006) dalam Rizal (2010)

Kapur Matang (CaO)

Pengayakan& Finishing Pemadaman Kapur Bahan Bakar:

Ban bekas, Kayu Bekas, Oli bekas,

Solar.

Air

Gas Buang Emisi

Batu Kapur Hail Penambangan sebagai Bahan Baku

(43)

2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara 2.9.1. Gambaran Umum Pencemaran Udara

Menurut Sumantri (2010), udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk bentuk uap H2O dan Karbon Dioksida (CO2). Jumlah

uap air yang terdapat di udara bervariasi dari cuaca dan suhu. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali.

Beberapa gas polutan menurut Fardiaz (1992) seperti Sulfur dioksida (SO2), Hidrogen sulfida (H2S), dan Karbon Monoksida (CO) selalu dibebaskan

ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar diudara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara disebabkan oleh aktivitas manusia.

(44)

atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannnya.

Sedangkan menurut Wardhana (2001) pencemaran udara juga diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.

Selain itu, menurut Suma’mur (1986) pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan oleh karena peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan oleh aktifitas manusia, melalui kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada.

Menurut Soedomo (2001), dilihat secara kimiawi, banyak sekali macam bahan pencemar. Bahan pencemar yang yang menjadi perhatian adalah pencemar utama (major air pollution) yaitu golongan oksida karbon (CO, CO2), Oksida

belerang (SO2 ,SO3), Oksida Nitrogen (N20, NO,NO3), senyawa hasil reaksi foto

kimia, partikel (asap, debu, asbestos, H2S, NH3, H2SO4, HNO3, Hidrokarbon

(CH4, C4H10), unsur radio aktif (Tritium, Radon), energi panas (suhu) dan

kebisingan.

(45)

gas SO2, O3, NO2 dan partikel debu (0,1-10µg. Bahan-bahan tersebut dapat

mempengaruhi fungsi paru yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kelainan paru obstruktif. Berikut ini gambaran pencemaran partikel debu (PM10)

dan asap (SO2, NO2) yang dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan.

2.9.2. Gambaran Pencemaran Partikel Debu (PM 10) dan Asap (SO2, NO2)

terhadap Gangguan Paru.

2.9.2.1. Paparan Debu Partikulat Meter 10 (PM 10).

Menurut Slamet (2000) dalam Khumaidah (2009), debu adalah zat padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan, berukuran 0,1-25 mikron dan termasuk kedalam golongan partikulat. Partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi diudara, misalnya embun, debu, asap, fumes dan fog. Partikulat ini dapat terdiri atas zat organik dan anorganik.

Sedangkan dalam Environmetal Protection Agency (2001) debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM). Suspended particulare metter adalah partikel halus di udara yang terbentuk saat proses pembakaran bahan bakar minyak. Terutama partikulat halus yang disebut PM10. Particulat Matter 10 (PM10) adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan

(46)

paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM10

adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut

Menurut Pudjiastuti (2002) partikel debu dapat menggangu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan kanker paru-paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada : Solubity (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu dan ukuran partikel debu

Kemudian, ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai organ target sebagai berikut:

a. 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas. b. 2-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. c. 1-3 mikron hinggap dipermukaan/ selaput lendir sehingga

menyebabkan vibrosis paru.

d. 0,1-0,5 mikron melayang di permukan alveoli.

Sedangkan dalam Fardiaz (1992) partikel-partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting, yaitu:

(47)

b. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak beraksi) tetapi tinggal di dalam saluran pernafasan dapat menggangagu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya.

c. Partikel-partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul-molekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi atau mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut dapat mencapai dan tertinggal di bagian paru-paru yang sensitif. Karbon merupakan partikel yang umum dengan kemampuan yang baik untuk mengabsorbsi molekul-molekul gas pada permukaannya.

Dalam Pope III et al (2006) partikel PM10 yang berdiameter 10 mikron

memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air. PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika

partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan saluran pernapasan.

Menurut Church dalam Kelly et al. (1998), terjadi hubungan peningkatan gejala asma dari kunjungan rumah sakit dan kematian akibat peningkatan PM10 di

(48)

Hubungan kuat diamati dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan peningkatan konsentrasi PM10 sebesar 1,4% per 10 mg/m dan gangguan pernafasan sebesar

3,4% per 10 mg/m dengan gejala hidung berair, hidung tersumbat, sinusitis, sakit tenggorokan, batuk kering dan berdahak, sesak napas dan dada tidak sakit.

Dalam Pudjiastuti (2002) gejala penyakit ini berupa sakit paru-paru, namun berbeda dengan penyakit TBC paru. Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut:

a. Gangguan estetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran.

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori tumbuhan sehingga jalnnya fotosintesis.

c. Merubah iklim global regional maupun internasional

d. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosial ekonomi di masyarakat

(49)

mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru.

Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk fibrosis.

Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya sehingga hal ini menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular.

(50)

studi yang telah mengamati peningkatan kematian penyakit kardiovaskuler selama terjadinya polusi , asosiasi betwen perubahan harian di PM dan kematian kardiovaskular, rawat inap dan peningkatan risiko mortalitas penyakit

cardiopulmonary pada dewasa yang terkait dengan perbedaan spasial dalam konsentrasi PM ambien.

2.9.2.2. Paparan Sulfur Dioksida (SO2)

Dalam Soedomo (2001) SO2 terbentuk dari fungsi kandungan Sulfur

dalam bahan bakar fosil. Selain itu kandungan sulfur dalam pelumas juga menjadi penyebab emisi SO2.

Reaksi kimia: S2 + O2-  SO2

Udara yang telah tercemar SO2 menyebabkan manusia akan mengalami

gangguan pada sistem pernapasannya. Hal ini karena gas SO2 yang mudah

menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan saluran napas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SO2 tersebut

menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Daya iritasi SO2 pada

setiap orang ternyata tidak sama. Ada orang yang sensitif dan sudah akan mengalami iritasi apabila terkena SO2 berkonsentrasi 1-2 ppm, namun ada

(51)

Gas SO2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak– anak,

orang tua dan orang yang menderita penyakit pernapasan kronis dan penyakit kardiovaskular. Otot saluran pernapasan dapat mengalami kejang (spasme) bila teriritasi oleh SO2 dan spasme akan lebih berat bila konsentrasi SO2 lebih

tinggi sementara suhu udara rendah. Apabila waktu paparan dengan gas SO2

cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang diikuti oleh paralysis cilia (kelumpuhan sistem pernapasan), kerusakan lapisan ephitelium yang pada akhirnya diikuti oleh kematian.

Pajanan jangka pendek terhadap SO2 dapat menyebabkan konstriksi

saluran udara pernapasan pada penderita asma dan individu sensitif lainnya. Sedangkan pajanan kronik dapat menyebabkan penebalan selaput lendir

trachea, mirip dengan bronkhitis kronik.

Penebalan selaput lendir trachea tersebut dapat menyelimuti dan membuat tidak aktifnya getaran atau denyut lapisan rambut getar dari saluran pernapasan atas, yang pada keadaan normal berfungsi mengeluarkan agen

infeksius dan partikel asing. SO2 merupakan senyawa yang cepat bereaksi

dengan jaringan paru dan menimbulkan efek yang sangat luas karena dapat ditransportasikan sampai ke sum-sum tulang dan menimbulkan anemia aplastik.

Pada konsentrasi 6-12 ppm, SO2 mudah diserap oleh selaput lendir

(52)

kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada bronchioli. Spasme ini dapat menjadi lebih hebat pada keadaan dingin. Pada konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan bagian atas dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi

reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan

paralysis cilia dan kerusakan lapisan epithelium. Bila kadar SO2 (6 - 12 ppm)

tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang berulang – ulang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia dan metaplasia

sel-sel epitel. Metaplasia ini dicurigai dapat berubah menjadi kanker.

2.9.2.3. Paparan NO2 terhadap Gangguan Pernafasan

Selain terdapat di alam, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida

(NO2) berasal dari gas-gas yang dihasilkan oleh buangan kendaraan bermotor

dan pusat-pusat tenaga listrik. Tidak seperti carbon dan sulfur, NO tidak terdapat dalam bahan bakar minyak, akan tetapi berasal dari udara dimana terjadi proses pembakaran dari senyawa ini. Pengaruh NO terhadap lingkungan yang utama adalah dalam pembentukan Smog.

(53)

memberikan efek menambah kelemahan terhadap infeksi bakteri paru–paru. NO dapat menyebabkan iritasi pada mata, saluran pernapasan dan pembengkakan pada paru-paru karena waktu paparan yang cukup lama pada konsentrasi 1 ppm. Absorbsi gas NO2 oleh mukosa dapat menyebabkan

peradangan saluran pernapasan bagian atas dan iritasi pada mukosa mata (Soedomo, 2001).

Menurut Sunu (2001), organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru–paru. Paru–paru yang terkontaminasi oleh gas

NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernapas yang dapat

mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernapasan dan dapat menjadi emfisema, bila kondisinya kronis dapat berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat

merupakan sumber karsinogenik.

Sifat bahayanya terletak pada gejala yang tidak segera tampak setelah menghirup sejumlah dosis berbahaya. Gejala kerusakan paru atau pulmonary edema baru muncul setelah 72 jam. Konsentrasi 25 ppm dapat menimbulkan

pulmonary edema setelah 5-48 jam (Irhamkhasani, 2002).

2.10. Baku Mutu Udara Ambien

(54)

pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien (Permen Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Baku Mutu Udara Ambien Nasional, menyatakan bahwa kadar debu partikel 10 mikron di udara yang memenuhi syarat adalah tidak melebihi dari 150 μg/m3. Sedangkan konsentrasi suhu dan kelembaban diatur dalam Kepmenkes RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 lampiran II tentang Persyaratan Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri persyaratan suhu adalah 18-30 oC dan untuk kelembaban adalah 65%-95% di lingkungan industry.

2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Fungsi Paru

Selain dari paparan debu partikel dan asap dari faktor lingkungan, faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kepur, berikut pejelannya :

a. Umur

(55)

paru tetapi rata-rata telah memberikan suatu perubahan yang besar terhadap volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep paru yang elastisitas.

Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru pada kelompok umur 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 20-30 tahun tidak ada hubungan antara paparan debu dengan gangguan fungsi paru.

b. Jenis Kelamin

Menurut Wikipedia, jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender, karena terjadi diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing-masing jenis kelamin. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistic/NCHS (2003) dalam Sucipto (2007) jumlah wanita yang mengalami serangan asma lebih banyak daripada lelaki

Selain itu dalam Sucipto (2007) penyakit paru dapat menjadi perhatian utama bagi perempuan. Jumlah perempuan yang diidentifikasi memiliki penyakit paru-paru meningkat. Lebih banyak perempuan juga meninggal akibat penyakit paru-paru. Ada 3 jenis penyakit paru-paru yang sangat umum pada wanita: asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker paru-paru.

(56)

yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Allergy, Asthma and Immunology, di Anaheim, Calif. Menurut seorang peneliti dari

University of California and the Allergy & Asthma Medical Group and

Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50 tahun ternyata 3 kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit akibat asma.

c. Masa Keja

Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor, badan dan sebagainya (KBBI, 2001). Menurut (Suma’mur, 199 ) masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa pada kelompok kerja 5-10 tahun ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru.

d. Lama Paparan

(57)

Dalam Mengkidi (2006) lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari. Kemudian dalam Suma’mur (1998) menyatakan bahwa salah satu variabel potensial yang dapat

menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar polutan tersebut dalam suatu lingkungan tertentu, selain itu menurut Bannet (1997) dalam Nugraheni (2004) bahwa konsentrasi debu dan lama paparan terhadap polutan berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru.

e. Kebiasaan merokok.

Kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lender sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas menurut Ikhawn (2009) dalam Yuliani (2010). Kemudian, menyebutkan bahwa ada pengaruh antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru, yaitu semakin banyak jumlah batang rokok perhari yang dihisap, maka akan terjadi penurunan fungsi paru yang bersifat restruktif.

(58)

batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75% disbanding orang yang tidak merokok.

f. Status Gizi

Status gizi secara teoritis dapat mempengaruhi daya tahan responden terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang yang mempunyai gizi kurang (Setyakusuma, 1997).

Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT), dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Almatsier, 2002).

Untuk menghitung nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

IMT=

Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara

Berat Badan (Kg)

(59)
[image:59.612.119.549.43.482.2]

berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT)

IMT Kategori

<18,5 Berat badan kurang/kurus

18,5-25 Berat badan normal

≥ 25 Obesitas

Sumber : WHO/FAO (2003) dalam Almatsier (2002)

g. Aktifitas Fisik

(60)

h. Riwayat Penyakit

Dalam Ganong (2002) beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru. Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit, seperti asma, pasca Tb, PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), penyakit sistemik.

2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Konsentrasi Udara Ambien Menurut Achmadi (2011), kejadian penyakit itu dipengaruhi oleh kelompok variabel supra sistem, yaitu iklim, topografi, temporal dan

suprasystem. Variabel ini dengan kata lain juga harus diperhitungkan dalam setiap analisis kejadian penyakit.

Iklim menjadi salah satu peran dalam proses kejadian penyakit. Iklim harus diperhitungkan dalam setiap analisis, baik prediktor antisipatif maupun retrospektif dalam setiap kejadian penyakit.

(61)

a. Temperatur

Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu kawasan industri dapat menimbulkan temperature tinggi. Dengan kata lain, udara dingin akan terperangkap dan titik dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung menahan polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi polutan di kawasan tersebut semakin lama semakin meningkat. Keadan tersebut di permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara sama sekali. Oleh karena itu, udara yang penuh dengan polutan dengan kondisi temperature tinggi akan dapat menimbulkan keadan lingkungan yang kritirs bagi kesehatan.

b. Kecepatan Angin

Kecepatan angin dalam klimatologi adalah kecepatan angina horizontal pada ketinggian 2 meter dari permukaan tanah yang ditanami rumput. Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang kemana-mana dan dapat mencemari udara ke wilayah lain. Alat pengukur kecepatan angin yang umum digunakan adalah anemometer.

c. Arah Angin

(62)

langsung, akan tetapi perputaran bumi pada sumbunya akan menimbulkan gaya yang akan mempengaruhi arah pergerakan angin. Pola arah angin ini akan menentukan kemana arah udara yang membawa sumber polutan bergerak ke suatu tempat.

d. Hujan

Air hujan sebagai pelarut umum cenderung melarutkan bahan polutan yang terdapat dalam udara. Pada musim hujan pembersihan atmosfer lebih efektif karena terjadi pengendapan bahan polutan yang lebih cepat (dengan adanya gaya gravitas) dan terjadi mekanisme pembersihan bahan polutan melalui mekanisme washout atau pencucian secara alami.

e. Kelembaban Udara

(63)

f. Jarak Rumah dengan Sumber Pencemar

Pencemaran udara dipengaruhi oleh iklim dan klimatologi serta topografi, sehingga dapat diduga semakin jauh jarak dengan sumber semakin rendah konsentrasi zat pencemar.

Hasil penelitian Rahman & Suryaman (2009) menyebutkan bahwa hasil TSP dan PM10 menurun jaraknya dari sumber (pengolahan kapur mulai jarak

500 meter sampai 5.000 meter.

2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Menurut Soeripto (1992) penyakit akibat faktor pekerjaan bisa dihindarkan asal saja tenaga kerja mempunyai kemauan dan itikad yang baik untuk mencegahnya. Disini tenaga kerja mempunyai peranan yang penting dalam menghindarkan penyakit akibat kerja. Untuk penyakit akibat kerja yang disebabkan golongan debu, upaya pengendaliannya dapat dilakukan :

a. Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali. b. Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar

debu yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB).

(64)

d. Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja sedemikian rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang. e. Mengadakan pemantauan terhadap lingkungan kerja yaitu

pemantauan terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah kadar debu yang dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas yang diperkenankan

f. Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja agar terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya masker, sarung tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.

g. Penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja secara intensif agar tenaga kerja tetap waspada dalam melaksanakan pekerjaannya.

2.14. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan

Pathogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan dalam suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia. Hubungan interaktif tersebut sebagaimana digambarkan oleh Achmadi (2008) yaitu paradigm kesehatan lingkungan.

(65)

Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk yang merupakan salah satu representativ budaya merupakan salah satu variable kependudukan, yaitu umur, gender, pendidikan, genetik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variable kependudukan dan variable lingkungan. Dengan kata lain pula, gangguan kesehatan merupakan resultant dari hubungan interaktif antara lingkungan dan variable kependudukan.

Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori Simpul oleh Achmadi (2008) pada Gambar 2.2.

(66)
[image:66.612.117.549.40.453.2]

Gambar 2.3. Teori Simpul (Achmadi, 2008).

Simpul-simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu agar tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan mengendalikan sumber penyakit, kita dapat mencegah pada proses kejadian hingga simpul 3,4 atau 5. Adapun uraian simpu-simpul sebagai berikut :

1. Simpul 1 : Sumber Penyakit

Sumber penyakit adalah titik yang mempunyai dan/atau mengadakan agen penyakit serta mengemulsikan atau meng-emisikan agen penyakit. Agent

Manajemen Penyakit Simpul 3: Jumlah Kontak Pemajanan Sehat/ Sakit Simpul 1: Sumber Penyakit (Alamiah/ Antropogenik) Udara Air Vektor penyakit Manusia Lingkungan Strategis/Politik, Iklim, Topografi, Suhu,dll.

(67)

penyakit adalah komponen lingkungan yang menimbulkan gangguan penyakit melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan).

Sumber penyakit dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu : a. Sumber penyakit alamiah, seperti gunung merapi dan proses pembusukan

karena proses alamiah.

b. Sumber penyakit hasil aktivitas manusia, seperti industri, rumah tangga, knalpot kendaraan dan penderita penyakit menular.

c. Sumber penyakit dari reservoir penyakit, seperti Japanese Encephalitis,

virus Dangue dan sebagainya.

2. Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit

Media transmisi tidak memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak mengandung agen penyakit. Mengacu pada gambar skematik komponen lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit pada hakikatnya ada lima komponen lingkungan, yaitu udara ambien, air yang dikonsunsi, tanah/pangan, binatang/vector penyakit dan manusia melalui kontak langsung.

3. Simpul 3 : Perilaku Pemajanan

(68)

Apabila kesulitan mengukur besaran agen penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut dengan biomarker atau tanda biologis pada tubuh.

4. Simpul 4 : Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi hubungan tersebut menghasilkan penyakit pada penduduk. Ada tiga gradasi penderita penyakit, yaitu akut, subklinik dan penderita penyakit kategori samar dan masyarakat sehat yang harus dilindungi. 5. Simpul 5 : Variabel Supra Sistem

Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Iklim termasuk komponen variabel supra sistem. Iklim harus di perhitungkan dalam setiap analisis, baik predictor antisipasi maupun retrospektif dalam kejadian penyakit. Contoh lain yang diperhitungkan juga adalah kebijakan mikro seperti keputusan politik yang dapat ditujukan untuk memengaruhi kondisi lingkungan strategis dalam setiap analisis kejadian penyakit.

2.15. Kerangka Teori

(69)

menyebutkan bahwa faktor lingkungan berupa paparan debu partikel, hasil pembakaran seperti SO2 dan NO2 melalui udara ambien menjadi pencetus

gangguan fungsi paru. Sedangkan menurut Yunus F (1997), Yulaekah (2007), Suma’mur (199 ), Yuliani (2010), Setyakusuma (1997), Dorce (2005), Ganong

(70)

Bagan 2.2. Kerangka Teori

Sumber : Ikhsan, 2002; Rahman dan Suryaman, 2009; Pudjiastuti, 2002; Price&Wilson, 1995; Sunu , 2001; S

Gambar

Tabel 2.1.
Gambar 1.1.
Gambar 1.1.  Kondisi Lingkungan Pengolahan Batu Kapur.
Gambar 2.1. Anatomi sistem pernafasan.
+7

Referensi

Dokumen terkait