• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Fungsi Paru

3. Hubungan antara Kelembaban Lingkungan Pengolahan dengan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa

6.3. Hubungan Karakteristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru

6.3.2. Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Setyakusuma (1997) status gizi dapat mempengaruhi daya tahan responden terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang yang mempunyai gizi kurang. Menurut Almeitser (2002) salah satu akibat dari kekurangan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan anti bodi sehingga orang mudah terangsang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu yang masuk dalam tubuh. Kemudian, menurut Karim (2002) dalam Mengkidi (2006) status gizi tenaga kerja erat kaitannya dengan tingkat kesehatan tenaga

kerja maupun produktifitas. Status gizi yang baik akan mempengaruhi produktifitas tenaga kerja yang berarti peningkatan produktifitas perusahaan, maka status gizi memiliki pengaruh terhadap status kesehatan seseorang yang akan mempengaruhi produkstifitasnya, namun terdapat faktor lain selain status gizi yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang.

Pada penelitian ini status gizi diperoleh dari standar indeks masa tubuh (IMT) responden, dimana berat badan dan tinggi badan sebagai indikator perhitungan yang didapatkan dengan melakukan pengukuran langsung. Hasil uji univariat diperoleh bahwa sebanyak 24 orang (54,5%) responden memiliki status gizi normal. Sedangkan dari hasil crosstab dari 7 pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru didapatkan responden yang mengalami gangguan fungsi paru pada kelompok status gizi kurus sebanyak 2 orang (15,4 %), normal sebanyak 4 orang (21,1%) dan status gizi gemuk sebesar 1 orang (12,5%). Kemudian hasil analisis statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,842, maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Oleh karena itu, status gizi tidak menjadi variabel yang signifikan berhubungan, karena rata-rata pekerja memilki status gizi normal. Namun, hal ini dapat menunjukan bahwa kelompok status gizi kurus, normal dan gemuk memiliki risiko untuk terjadinya gangguan restriksi.

Meskipun secara statistik tidak memiliki kemaknaan yang signifikan, namun secara epidemiologi bahwa status gizi dan asupan makanan yang berhubungan

dengan kebutuhan energi seseorang berhubungan terhadap perkembangan anatomi dan fisiologis tubuh khususnya saluran pernafasan, yang kemudian akan mempengarhi kekuatan serta endurans masa otot pernafasan untuk memompa oksigen secara maksimal ke seluruh tubuh, mengontrol laju pernafasan dan terbentuknya juga mekanisme imunologi dalam tubuh untuk pencegahan serangan penyakit paru lainnya.

Faktor risiko dari status gizi terhadap gangguan fungsi paru sejalan dengan teori menurut Sridhar (1999) dalam Budiono (2007) bahwa secara fisiologis seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan kapasitas vital paru yang pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru. Penelitian Benedict (1991) pada seseorang dalam keadaan

starvation yaitu keadaan dimana satu atau beberapa proses keadaan kelaparan karena terus dan terus menunggu kebutuhan sumber dayanya dipenuhi, namun ternyata tubuh mengalami perubahan fisiologis yaitu berupa penurunan resting energy expenditure sebesar 20% dan dapat menurukan konsumsi O2 sebesar 18%.

Penelitian ini sejalan dengan Triatmo dkk (2006) yaitu berdasarkan hasil uji statistik hubungan antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel didapatkan nilai p value sebesar 0,537, bahwa status gizi tidak memiliki hubungan signifikan terhadap timbulnya gangguan fungsi paru. Kemudian sejalan juga dengan penelitian Yuliani (2010) yaitu berdasarkan hasil uji statistik, hubungan antara status gizi dengan kapasitas vital paru pada pekerja tenun didapatkan nilai p value 0,154, ini berarti tidak ada hubungan signifikan antara

status gizi dengan kapasitas vital paru. Selanjutnya sejalan juga dengan penelitian Khumaidah (2009) pada pekerja furniture, hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara status gizi pekerja dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p

value 0,667.

Efek negatif dari penurunan status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga diperkuat dalam penelitian Minesota oleh Keys et al (1950), kapasitas vital paru menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang kembali pada keadaan normal. Penelitian yang lainnya menunjukkan peningkatan risiko kematian pada penyakit tuberkulosis dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat berat.

Hal ini diperkuat dari hasil perhitungan angka kebutuhan gizi (AKG) berdasarkan kebutuhan energi kalori/hari pada responden. Data ini didapatkan dari hasil wawancara terpimpin dengan menggunakan lembar food recall dalam 1x24 jam, kemudian jumlah kalori harian dihitung dengan panduan kalori makan dari

software Nutrisurvei. Hasil uji statistik didapatkan bahwa sebanyak 27 orang (61,4%) responden berstatus kekurangan kebutuhan kalori/hari (<2000 kkalori/hari) dan sebanyak 13 orang (29,6%) berstatus memenuhi kebutuhan kalori/hari (> 2000 kkalori/hari), kemudian dari hasil crosstab antara AKG responden dengan gangguan fungsi paru didapatkan responden berkebutuhan AKG kurang (< 2000 kkalori/hari) sebanyak 5 orang (18,5%) dan responden dengan AKG (≥ 2000 kkalori/hari) sebanyak 2 orang (15,45). Dapat disimpulkan bahwa

status gizi tidak normal dan angka kebutuhan energi kurang memiliki risiko untuk terjadinya gangguan fungsi paru.

Apabila dilihat dari karakteristik pekerja berdasarkan status sosial dan ekonomi pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini berdasarkan hasil wawancara mengenai pengeluaran bulanan didapatkan 50% pekerja mendapatkan upah dari hasil pembakaran batu kapur yang bersifat borongan diatas upah minimum regional Kab. Karawang yaitu sebesar Rp. 1.269.000, dengan upah harian rata-rata mendapat Rp. 75.000, apabila dikali hari aktif bekerja selama 20 hari atau dikurangi hari libur 10 hari maka rata-rata pekerja pengolahan batu kapur setiap bulannya mendapat pemasukan sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulannya. Dapat disimpulkan tingkat ekonomi para pekerja tersebut bisa mencukup kebutuhan sehari-harinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Namun, dari hasil hasil wawancara juga didapatkan, pengeluaran bulanan tersebut tidak hanya untuk kebutuhan primer pada makanan saja, namun memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan keluarganya di daerah asal masing-masing dan pengeluaran pada konsumsi rokok juga oleh pekerja menjadi sebuah prioritas, karena dari proporsi kebiasaan merokok rata-rata 13 batang/hari mencapai 85% dari jumlah responden, sedangkan proporsi kebutuhan energi yang masih belum mencukupi (AKG < 2000 kkalori/hari) sebanayk 67,5% dari jumlah responden, dimana dari AKG tersebut menjadi gambaran pola konsumsi makan sehari-hari.

Dari proporsi antara pengeluaran bulanan yaitu rata-rata diatas UMR, AKG yang rata-rata < 2000 kkalori/hari, serta status gizi sebesar 40% tidak normal ditambah 85% pekerja mengkonsumsi rokok > 10 batang/hari. Maka, sebenarnya para pekerja pengolahan batu kapur ini memiliki tingkat ekonomi yang cukup, namun terdapat faktor sosial lainnya seperti kebisaan merokok, pengeluaran untuk keluarga menjadi faktor berkurangnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari pada pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pekerja bisa mengurangi jumlah konsumsi rokok hariannya dengan menggantinya untuk membeli kebutuhan makanan pokoknya untuk memenuhi kebutuhan energi hariannya dan mulai mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung energi dan kalori tinggi pada kelompok pekerja yang memiliki IMT kurus dan menjaga pola makan dan aktivitas fisik pada pekerja yang memiliki IMT gemuk.

Firman Allah swt. memerintahkan kita untuk menkonsumsi makanan yang halal juga baik (Halalan Thoyyiban), sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Maidah ayat 88 sebagai berikut :

ها ا قتا اًب ط ًااح ها مكق ا م ا لك

مْ م هب ْمت أ لا

͞dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang telah di rizkikan kepada mu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepadaNya͟

Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy (2005) makanan yang halal adalah yang diproses maupun diperoleh atau sumbernya dengan cara yang halal, yaitu tidak

dari hasil curian, korupsi dan mendzlimi orang lain atau apabila hewan potong harus menyebut asma Allah swt. saat dilakukan pemotongan. Selain itu makanan juga harus baik, yaitu cukup bergizi, makanan yang lengkap dan seimbang porsi dengan kebutuhan aktivitas bekerja, tidak mengandung zat-zat membahayakan, alami dan tidak berlebihan.