• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Fungsi Paru

3. Hubungan antara Kelembaban Lingkungan Pengolahan dengan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa

6.3. Hubungan Karakteristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru

6.3.3. Hubungan Antara Konsumsi Merokok dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Ikhwan (2009) dalam Yuliani (2010) kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lendir sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas. Gejala tersebut dapat disebabkan karena paparan partikel dan gas pembakaran tembaku tersebut.

Penggunaan tembakau saat ini pada populasi umum maupun pekerja terjadi kecenderungan peningkatan diseluruh dunia juga khususnya di Indonesia, karena menurut berita online yaitu Kompas.com yang diakses pada Mei 2013, pada tahun 2011 sekitar 270 milyar batang konsumsi rokok di Indonesia, angka ini terus meningkat dari tahun 1970 dimana konsumsi rokok masih sekitar 30 miliar batang, hal ini menunjukan terjadi peningkatan 7 kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun.

Kebiasaan merokok ini mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan terutama pada organ paru-paru dan pernafasan. Berbagai penyakit paru timbul akibat rokok antara lain kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10 batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75% disbanding orang yang tidak merokok.

Hasil penelitian uji statistik analisis uji T independen pada responden dengan variabel kategori konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru didapatkan nilai p value sebesar 0,283, maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Apabila nilai p value variabel kebiasaan merokok dibandingkan dengan variabel karakteristik individu yang tidak berhubungan lainnya yaitu status gizi (p=0,504), masa kerja (p=0,932), p

value dari kebisaan merokok lebih kecil dari status gizi dan masa kerja, maka meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan antara variabel kebiasaan merokok terhadap gangguan fungsi paru, mamun secara epidemiologi, proporsi semua pekerja yang terdiagnosis gangguan fungsi paru adalah pekerja yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok.

Berdasarkan pengelompokan variabel jumlah batang rokok/hari persentase pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari sebanyak 34 orang (85%) dan pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok < 10 batang/hari hanya 6 orang (15%). Meskipun hanya 7 orang yang sudah terdiagnosis terkena gangguan fungsi paru, namun sebanyak 27 orang (67,5%) memiliki risiko yang sama untuk terjadinya gangguan fungsi paru.

Selain itu, dari hasil analisis uji crosstab antara variabel usia berisiko yaitu ≥ 40 tahun dengan variabel konsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari didapatkan sebanyak 16 responden (40%) dari total responden yang mengalami gangguan fungsi paru.

Berdasarkan hal itu, asumsi peneliti bahwa prevalensi pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang/hari yang cukup tinggi dan pekerja memiliki risiko lingkungan dari aktivitas pembakaran batu kapur yang berkadar debu tinggi akan memberikan dampak kumulatif terhadap risiko timbulnya gangguan paru, karena partikel dan asap rokok seperti karbon dioksida, nitrogen dioksida, tar dan bahan kimia lainnya akan merangsang sekresi lendir dan melumpuhkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang sebenarnya berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk ke hidung sehingga mekanisme pengeluaran debu paru dapat teganggu.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ikhsan dkk (2007) pada pekerja terpajan debu semen, didapatkan tidak memiliki hubungan yang bermakna antara variabel kebiasaan merokok dengan kelainan faal paru dengan nilai p value

sebesar 0,396. Kemudian sejalan juga dengan penelitian Yuliani (2010) pada pekerja yang mengkonsumsi rokok > 10 batang/hari sebanyak 60% mengalami kelainan paru restriksi, namun dari hasil uji statistik tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada pekerja di industri tenun dengan nilai p value sebesar 0,682. Selain itu juga sejalan dengan penelitian Aviandari dkk (2008) bahwa tidak ada hubungan anatara variabel kebiasaan merokok dengan gangguan obstruksi paru dengan nilai p value sebesar 0,567. Meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan, namun secara teori dari penelitian ini bahwa kebiasaan merokok menjadi faktor risiko untuk terjadinya gangguan pernafasan yaitu fungsi paru, khususnya pada proporsi responden yang memiliki kebiasaan konsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari pada 24 orang (67,5%).

Merokok bukanlah sebagai penyebab utamasuatu penyakit, tetapi dapat memicu terjadinya suatu penyakit. Dalam Komisi Fatwa MUI ke III menetapkan dugaan yang bersifat anni (dugaan/masih umum) merokok untuk golongan yang tidak termasuk pada anak-anak, ibu hamil dan perokok di tempat umum tidak disebut haram, melainkan makruh. Sedangkan sebagaimana Islam melarang perbuatan yang dapat membahayakan diri, salah satunya adalah merokok. Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 195 :

ب ا قْلت ا

...ةكلْ تلا ل ْمك دْأ

…. “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy (2005) atas ayat tersebut, firman Allah swt..” “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” , menyiratkan pada dua hal: pertama, meninggalkan apa yang seharusnya diperintahkan kepada seorang hamba, jika meninggalkannya itu mengandung konsekuensi atau hampir mendekati binasanya badan atau jiwa. Kebinasaan yang termasuk disini adalah melakukan maksiat terhadap Allah swt. dan perbuatan yang dapat merugikan diri secara jasmani maupun rohani, serta berputus asa untuk bertaubat.

Oleh karena itu meninggalkan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri khususnya pada kesehatan jasmani seperti mengkonsumsi rokok lebih baik untuk menghindari konsekuensi yang dapat mengakibatkan kerugian diri di masa yang akan datang.

Pencegahan dapat dilakukan pada pekerja yang memiliki faktor risiko terkena gangguan pernafasan dan paru dengan mengkonsumsi buah maupun sayuran yang mengandung antioksida yang mudah dan murah untuk didapatkan, dari kelompok buah dapat juga mengkonsumsi jeruk, apel dan manggis, dari kelompok sayuran seperti tauge, tomat dan bahan kacang-kacangan seperti kedelai dan makanan olahan seperti tempe dan tahu. Hasil penelitian pada artikel online di Jepang tim studi di pimpin oleh Fumi Hirayana pada 300 pasien sesak nafas dan

340 orang sehat yang mengkonsumsi kedelai, ditemukan hasil bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang mengandung kedelai ada hubungannya dengan membaiknya fungsi paru dan turunnya risiko terkena sesak nafas. selain itu banyak mengkonsumsi air minum akan membantu mengeluarkan racun dan nikotin yang telah terakumulai dalam tubuh.