• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Fungsi Paru

3. Hubungan antara Kelembaban Lingkungan Pengolahan dengan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa

6.2. Kejadian Ganggu Fungsi Paru pada Responden

Fungsi paru yang utama adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran pernafasan dan terus ke dalam darah. Salah satu fungsi paru tersebut adalah ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar. Kelainan ventilasi yang termasuk dalam gangguan fungsi paru biasa terjadi adalah gangguan restriksi dan obstruksi (Yunus, 1992).

Dalam Yunus (1992), restriksi adalah keterbatasan pengembangan paru yang ditandai dengan berkurangnya kapasitas volume paru, sedangkan obstruksi adalah perlambatan atau gangguan kecepatan aliran udara yang masuk atau keluar dari dalam paru.

Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan pemeriksaan diagnosis penunjang alat spirometri untuk melihat volume dan kapasitas paru, diperoleh responden yang mengalami gangguan fungsi paru dari 40 responden adanya gangguan sebanyak 7 orang (17,5%) dengan kategori restriksi ringan dan sedang dengan nilai kapasitas vital paksa (KVP/FVC) < 80% , sedangkan 33 orang (82,5%) responden tidak ada gangguan fungsi paru dengan nilai KVP/FVC ≥ 80%.

Menurut Hinshaw et al. (1980) dalam Yunus (1992) hasil pemeriksaan penunjang paru seperti spirometri dan foto toraksbertujuan untuk diagnosa kelainan dari fungsi paru, selain itu juga berguna untuk menilai perkembangan dan

perjalanan penyakit serta deteksi dini penyakit paru tertentu juga untuk menilai prognosis penyakit pada paru-paru.

Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 15 responden (37,5%) mengalami riwayat asma dengan gejala sesak nafas. Menurut Curry (1946) dalam Yunus (1992) fenomena ini disebut dengan hipereaktivitas bronkus. Hipereaktivitas bronkus ini selain terjadi pada penderita asma, ditemukan juga pada penderita fibrosis kistik, bronkiektasi dan penyakit paru obstruksi kronik.

American Thoracic Society (1987) dalam Yunus (1992), asma adalah penyakit yang didasari oleh hipereaktivitas bronkus yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam menjelang dini hari. Sedangkan Menurut Deal et al. (1980) dalam Yunus (1992) pada umumnya diagnosis asma dan penyakit obstruksi kronis dapat mudah ditegakkan oleh karena penderita biasanya mempunyai gejala dan tanda yang khas, dan obstruksi kronik dapat diketahui tanda dan gejala seperti sesak napas, batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/prtikel berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Namun, apabila penderita tidak dalam keadaan hiper responsif jalan nafas, pemeriksaan fisik dan spirometri dapat tidak menunjukan kelainan, sehingga diagnosis sukar ditegakan walaupun secara anamnesis menunjukan asma.

Dari teori tersebut peneliti berkesimpulan, bahwa dari hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa pada 40 responden, didapatkan sebanyak 7 (17,5%) responden mengalami gangguan fungsi paru, dengan diagnosis restriksi sedang sebanyak 5 orang (11,4%) dan restriksi ringan 2 orang (4,5%). Sedangkan dari jumlah total responden tersebut, sebanyak 10 (25%) responden mengalami riwayat penyakit asma. Hal tersebut ada kecenderungan responden yang sedang tidak mengalami rangsangan hipereaktivitas bronkus oleh bahan yang bersifat alergan tidak reaktif atau yang memiliki riwayat penyakit asma tidak menunjukan adanya gangguan fungsi paru, sehingga saat pemeriksaan spirometri kapasitas vital paksa responden ≥ 80%.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Ikhsan (2007), dimana variabel dependen didapatkan prevalensinya sedikit, yaitu didadapatkan pada pekerja pabrik semen sebanyak 18 orang (9,9%) ada kelainan klinis yang ditemukan pada subjek penelitian, dan sebanyak 164 orang (90,1%) pekerja semen ini tanpa kelainan. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kelainan foto toraks, didapatkan pada 9 orang (4,9%) mengalami kelainan foto toraks, sedangkan sebanyak 173 (95,1%) tidak ditemukan kelainan foto toraks.

Menurut Herzog (1980) dalam Yunus (1992) rangsangan yang menimbulkan hipereaktivitas bronkus ini dibedakan atas komponen endogen dan eksogen. Komponen endogen kemungkinan bersifat genetik dan terdapat seumur hidup. Sedangkan , komponen eksogen adalah rangsangan dari luar seperti infeksi, alergan,

mekanis, panas dan bahan-bahan kimia seperti sulfur dioksida, aldehid, ozon, debu partikel dan asap rokok. Sedangkan, hasil pengukuran spirometri tersebut menunjukan bahwa pekerja mengalami gangguan restriksi, yaitu gangguan yang disebabkan karena menurunkan kapasitas vital paru seseorang. Curry (1946) dalam Yunus (1992) gangguan restriksi paru ini menjadi prognosis terjadinya kelainan fibrosis, atelectasis, tumor paru dan pneumonia.

Menurut Warpaji (1994) dalam Yuliani (2010) restriksi yaitu penyempitan saluran paru yang diakibatkan oleh bahan yang bersifat alergi seperti debu, spora, jamur yang mengganggu saluran pernafasan dan kerusakan jaringan paru, gejala-gejalanya antara lain batuk kering, sesak nafas, kelelahan umum, banyak dahak dan lain-lain. Paparan debu mineral seperti batu bara, tembaga dan lainnya diketahui dapat menimbulkan perubahan khas dalam mekanik pernafasan dan volume paru dengan pola restriktif. Sedangkan paparan debu organik seperti jamur, bakteri, sayuran, binatang dapat menimbulkan asma dengan pola kerja obstruktif dengan pola reversible atau obstruktif.

Berdasarkan jenis pekerjaannya yang ada pada lampiran 4, responden yang didiagnosis mengalami gangguan restriksi paru yaitu pada bagian penghancuran sebanyak 2 dari 3 orang, pembakaran sebanyak 4 dari 14 orang dan pembongkaran 1 dari 18 orang.

Pekerja yang mengalami gangguan restriksi paru pada proses penghancuran diprediksikan karena adanya paparan SiO2 dari material batu kapur yang belum melalui tahap pembakaran. Berdasarkan hasil uji laboratotium dari kadar SiO2 pada

batu kapur ditunjukan dalam tabel 5.6. bahwa pada batu kapur yang belum dilakukan pembakaran mengandung SiO2 lebih tinggi dibandingkan dengan batu

kapur yang sudah melalui proses pembakaran. Oleh karena itu, risiko gangguan paru pada responden pekerja dibagian penghancuran memiliki risiko terkena silicosis.

Karena menurut Suma’mur (199 ) silika bebas (SiO2) yang terdapat pada debu dari

bahan material yang mengandung SiO2 dapat terhirup yang dapat menyebabkan penyakit silicosis yang termasuk dalam golongan pneumoconiosis. Penyakit silicosis

ini sering ditemui pada pekerja-pekerja diperusahaan yang menghasilkan batu-batuan yang mengandung silica bebas di dalamnya. Masa inkubasi silicosisi adalah 2-4 tahun, dan sangat tergantung dengan banyaknya debu dan kadar yang terhirup.

Selain itu, hasil pengukuran udara ambien didapatkan kadar PM10 dilokasi pembakaran sampel A sebesar 1.427 µg/m3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 5 ฀C dan kelembaban 71 % serta kecepatan angin 0,9-1,9 m/s dan lokasi pembakaran sampel B sebagai perbandingan didapatkan kadar PM10 sebesar 419 µg/m3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 30 OC dan kelembaban 74% serta kecepatan angin 1,1-1,9 m/s.

Berdasarkan data pengukuran udara ambien lingkungan kerja pengolahan batu kapur tersebut, didapatkan kadar PM10 yang sudah melebihi NAB parameter

PM10 menurut PP No.41 Tahun 1999 yaitu sebesar 150 µg/m3. Hal ini yang

menjadi asumsi peneliti bahwa pekerja yang didiagnosis restriksi paru adalah pekerja yang beraktivitas pada bagian pembakaran, dimana faktor lingkungan yaitu udara ambien dari kadar PM10 sebagai faktor pemicu terjadinya gangguan restriksi paru. Jenis gangguan restriktif ini akan mengarah pada jenis penyakit akibat kerja yaitu golongan penyakit pneumokoniosis.