• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Bell’s Palsy Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode Desember 2014 – Januari 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Bell’s Palsy Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode Desember 2014 – Januari 2015"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA

KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP BELL’S PALSY

DI DEPARTEMEN BEDAH MULUT FKG USU

PERIODE DESEMBER 2014 – JANUARI 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: HAFIZAH 110600073

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2015

Hafizah

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap Bell’s palsy di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

x + 39 halaman

Bell’s palsy merupakan paralisis nervus fasialis perifer yang bersifat unilateral dengan penyebab yang tidak diketahui (idiopatik), akut dan tidak disertai kelainan neurologi lainnya. Penyebab Bell’s palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan. Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab Bell’s palsy

adalah iskemik saraf, infeksi virus, kongenital, trauma serta tindakan kedokteran gigi juga dilaporkan dapat menyebabkan Bell’s palsy. Gambaran klinis paling sering dijumpai adalah alis mata turun, tidak dapat menutup mata dan jika disahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata memutar ke atas (Bell’s phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Bell’s palsy juga dapat berdampak pada rongga mulut yaitu berkurangnya sekresi saliva yang dapat mengakibatkan meningkatnya resiko karies dan akibat hilangnya kekuatan otot dapat menyebabkan penyakit rongga mulut seperti angular cheilitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap Bell’s palsy di Departemen Bedah Mulut FKG USU. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif dengan populasi seluruh mahasiswa kepaniteran klinik di Departemen

(3)

kurang yaitu 90,74%. Sedangkan sebanyak 9,26% responden termasuk kategori pengetahuan sedang dan sebanyak 0% responden yang berpengetahuan baik.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat oleh peneliti disimpulkan bahwa pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU

termasuk kurang dan perlu ditingkatkan.

(4)

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA

KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP BELL’S PALSY

DI DEPARTEMEN BEDAH MULUT FKG USU PERIODE

DESEMBER 2014 – JANUARI 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: HAFIZAH 110600073

Pembimbing: Isnandar, drg., Sp. BM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 2 Maret 2015

Pembimbing : Tanda Tangan

Isnandar, drg., Sp.BM

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 2 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Hendry Rusdy, drg., M.Kes., Sp. BM

ANGGOTA : 1. Isnandar, drg., Sp.BM

2. Ahyar Riza, drg., Sp.BM

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini selesai disusun dengan sebaik mungkin sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Rasa terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Edy Achyar dan Ibunda Yilza Mardhiah atas segala doa, kasih sayang, semangat, bimbingan dan dukungan yang tiada henti baik secara moril dan materil kepada penulis. Terima kasih kepada kedua adik penulis Hafiz Ardhi dan Natasya Nabilla yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga telah mendapatkan banyak bimbingan, pengarahan, saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp. BM selaku ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Isnandar, drg., Sp. BM selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis baik dalam studi dan penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

3. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan sarana dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Martina Amalia, drg selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

(8)

6. Terkhusus untuk Monica Nindia Pratiwi., S. KG, Tririn Rinanti., S. Ked, M. Insanul Kamil Rery., S. Ked, Lupita Yessica Tarigan., S. Ked dan Fikri Rizki

terima kasih atas semangat, dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan dan proses penulisan skripsi.

7. Terima kasih untuk teman-teman terbaik penulis selama menjalani pendidikan Novita Zein Harahap, Augina Era Pangestika, Lulu Fanty Caroline, Indah Gayatri, Ayesha Adisti Asbi, Ulfa Fitria Angraeni, Elfiza Fetrianis, dan Yunishara Pratiwi.

8. Teman-teman penulisan skripsi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial dan seluruh teman stambuk 2011 atas dukungan, saran dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki mejadikan skripsi ini masih membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat digunakan dan memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, 2 Maret 2015 Penulis

(Hafizah)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN………. ii

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI……… iii

KATA PENGANTAR………. iv

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……… viii

DAFTAR GAMBAR………... ix

DAFTAR LAMPIRAN………... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..……… 1

1.2 Rumusan Masalah……..………... 2

1.3 Tujuan Penelitian……...………... 3

1.4 Manfaat Penelitian………...………. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3.3 Gambaran Klinis………... 10

2.3.4 Diagnosis……….. 12

2.3.5 Diagnosis Bading………..……… 14

2.3.6 Penatalaksanaan……….………... 14

2.3.6 Prognosis……...……….……….. 17

2.3.6 Manifestasi Bell’s palsy pada rongga mulut……….. 17

2.3.7 Kualitas hidup pasien Bell’s palsy………..……….. 18

2.4 Pengetahuan………. 18

2.4.1 Pengertian pengetahuan….………... 18

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan………. 19

(10)

2.4.4 Kriteria tingkat pengetahuan………. 21

2.5 Kerangka Teori……….. 22

2.6 Kerangka Konsep……….. 23

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Rancangan Penelitian……….……… 24

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………..……… 24

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 24

3.3.1 Populasi……….……….………... 24

3.3.2 Sampel………...……….………... 24

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………. 24

3.5 Cara Pengambilan Data………... 25

3.6 Pengolahan dan Analisis Data………. 26

3.7 Aspek pengukuran………... 26

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Responden………. 27

4.2 Pengetahuan Responden terhadap Bell’s palsy……….. 27

BAB 5 PEMBAHASAN………... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan….……… 35

6.2 Saran….……….. 35

DAFTAR PUSTAKA……..………... 37

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. House Brackmann Facial grading system ………... 12 2. Variabel dan definisi operasional………. 25 3. Gambaran responden……… 27 4. Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap Bell’s

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Anatomi saraf perifer………... 4

2. Nervus fasialis……….. 6

3. Arah yang memungkinkan untuk bahan anastesi lokal masuk ke

glandula parotis……… 9

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar riwayat hidup 2. Jadwal kegiatan 3. Hasil perhitungan 4. Kuesioner

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan paralisis saraf fasial unilateral akut yang penyebabnya belum diketahui. Kasus ini dilaporkan pertama kali pada 1798 yang kemudian dideskripsikan pertama kali oleh Sir Charles Bell pada tahun 1821.1

Bell’s palsy merupakan bentuk paralisis pada wajah yang paling umum dan melibatkan nervus fasialis. Nervus fasialis adalah nervus kranial ketujuh yang mempersarafi otot – otot ekspresi wajah, 2/3 bagian ventral dorsum lidah serta sekresi beberapa kelenjar.2

Insidensi Bell’s palsy adalah 23 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya dan dapat menyerang segala usia. Tidak ada perbedaan baik itu pria maupun wanita.

Bell’s palsy dapat menyerang segala usia. Usia yang menjadi puncak insidensi adalah usia 40 tahun. Orang dengan diabetes serta wanita hamil pada trimester ketiga memiliki resiko Bell’s palsy yang lebih tinggi.3 Insiden Bell’s palsy di Indonesia sulit untuk ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 - 30 tahun.4

Etiologi Bell’s palsy secara pasti belum diketahui atau idiopatik. Namun terdapat beberapa dugaan penyabab Bell’s palsy seperti infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan kongenital.5,6,7 Terdapat pula laporan kasus yang menyatakan pasien Bell’s palsy mengalami paralisis setelah menjalani prosedur kedokteran gigi. Beberapa teori mengemukakan kemungkinan penyebab terjadinya

(15)

penyuntikan anetesi lokal pencabutan gigi, infeksi, operasi glandula parotis, eksisi tumor atau kista, prosedur preprostetik, dan operasi TMJ.5,8,9

Gambaran klinis Bell’s palsy yang paling sering dijumpai alis mata turun, tidak dapat menutup mata, lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi

yang sehat. Gambaran klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen.7 Bell’s palsy bersifat akut, memiliki onset 1 atau 2 hari. Perjalanan penyakit biasanya progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 1 hingga 3 minggu.10

Bell’s palsy memberikan dampak yang besar bagi pasien. Paralisis yang dialami pasien Bell’s palsy mengakibatkan kesulitan dalam menggerakkan otot wajah hingga mengakibatkan wajah pasien terlihat asimetris. Keadaan wajah yang terlihat asimetris menyebabkan pasien menjadi kurang percaya diri.

Selain mengalami paralisis pada sebagian wajah, pasien Bell’s palsy juga dapat mengalami manifestasi pada rongga mulutnya. Pada bagian wajah yang terkena, sudut mulut terlihat turun sehingga terjadi drooling. Pasien Bell’s palsy yang mengalami pengurangan produksi saliva akan mengeluhkan xerostomia. Hilangnya persepsi pengecapan pada lidah juga dapat dialami oleh pasien.6,11

Pasien dengan Bell’s palsy memiliki keterbatasan yang dapat menyulitkan pasien dalam menjaga kesehatan rongga mulut dan juga kesulitan untuk menjalankan prosedur perawatan gigi. Paralisis pada sebagian wajah menyebabkan dibutuhkan modifikasi dalam pelaksanaan prosedur. Sebagai dokter gigi diperlukan pengetahuan

terhadap Bell’s palsy sehingga penanganan pasien dengan Bell’s palsy dapat dilakukan dengan baik sehingga tidak menambah rasa tidak nyaman pada pasien.

(16)

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan mahasiswa kepanitraan klinik terhadap Bell’s palsy di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap

Bell’s palsy di departemen bedah mulut FKG USU?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap Bell’s palsy di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa kepanitraan klinik di departemen bedah mulut FKG USU terhadap Bell’s palsy.

2. Sebagai tambahan pengetahuan terhadap Bell’s palsy bagi mahasiswa kepaniteraan klinik di departemen bedah mulut FKG USU.

3. Sebagai evaluasi pengetahuan terhadap Bell’s palsy bagi mahasiswa kepaniteraan klinik di departemen bedah mulut FKG USU.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saraf Perifer

Neuron merupakan sel struktural dan fungsional pada sistem saraf. Neuron merespon stimulus saraf dan menyalurkan stimulus di sepanjang sel. Badan sel dari neron disebut dengn soma.2 Sebuah neuron terdiri dari (gambar 1):6

a. Badan sel saraf : Merupakan masa sitoplasma yang didalamnya terdapat nukleus. Bagian luar dari badan sel saraf dibatasi oleh membrane plasma.

b. Dendrit : Sel saraf memiliki lima hingga tujuh cabang yang disebut dengan dendrit yang meluas hingga keluar dari badan sel dan menyebar.

c. Axon : Neuron memiliki serabut axon yang berasal axon hillock dari badan saraf. Axon hillock merupakan bagian yang menebal pada badan saraf.

d. Neuron yang bermielin : Diluar sistem saraf pusat, axon dilapisi oleh selubung mielin.

e. Epineurium : Epineurium merupkan bagian terluar yang melapisi saraf

perifer. Epineurium terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang menyuplai darah pada saraf perifer.

f. Serabut saraf

(18)

2.2 Nervus Fasialis

Nervus fasialis merupakan saraf kranial ketujuh dengan tugas utama untuk

mempersarafi otot - otot wajah, persarafan 2/3 bagian ventral dorsum lidah dan sekresi beberapa kelenjar seperti kelenjar lakrimalis, submandibularis, sublingualis,

dan palatina (gambar 2). 2

Nervus fasialis terdiri dari saraf motoris dan sensoris yang lebih dienal dengan nama saraf intermedius.10

Nervus fasialis mengandung 4 jenis serabut, yaitu:2

a. Serabut somato-sensorik yang menghantarkan rasa nyeri,suhu dan sensasi raba dari sebagian kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

b. Serabut visero-sensorik yang bertindak sebagai reseptor rasa pada 2/3 anterior lidah.

c. Serabut visero-motorik (parasimpatik) yang berasal dari nucleus salivarius superior. Serabut saraf ini mempersarafi kelenjar lakrimal, rongga hidung, kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual.

d. Serabut somato-mototrik yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

Nukleus motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik berjalan dari arah sudut pontoserebral dan muncul di depan nervus vestibulokoklearis.12

Saraf intermedius terletak pada bagian diantara nervus fasialis dan nervus vestibulokoklearis. Nervus intermedius, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis

berjalan bersama memasuki akustikus internus. Di dalam meatus internus, nervus fasalis dan intermedius berpisah dengan nervus vestibulokoklearis.12

(19)

Gambar 2. Nevus fasialis2

Nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu:12

a. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi muskulus aurikularis anterior dan superior, venter frontalis muskulus oksipitofrontalis, muskulus orbikularis okuli dan muskulus corrugator supercilii.

b. Ramus zigomatikus muncul dari pinggir anterior glandula dan

mempersarafi muskulus orbikularis okuli.

c. Ramus bukalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah duktus

parotideus dan mempersarafi muskulus buksinator dan otot – otot bibir atas serta nares.

(20)

e. Ramus servikalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan di leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus platysma. Saraf ini

dapat menyilang pinggir bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus depressor anguli oris.

2.3 Bell’s palsy

2.3.1 Pengertian Bell’s palsy

Bell’s palsy merupakan bentuk kelumpuhan wajah yang paling umum terjadi yang disebabkan oleh inflamasi pada saraf fasialis. Adanya inflamasi menyebabkan saraf membengkak dan mencegah saraf melewati sinyal antara otak dan otot-otot wajah.13

Bell’s palsy didefinisikan sebagai paralisis nervus fasialis perifer yang bersifat unilateral dengan penyebab yang tidak diketahui (idiopatik), akut dan tidak disertai kelainan neurologi lainnya.13

2.3.2 Etilogi

Penyebab Bell’s palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan. Pada masa lalu, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagai satu-satunya penyebab Bell’s palsy. Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab

Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan kongenital.5,6,7

Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum dapat menyebabkan

kompresi, iskemi, dan demielinasi axon serta terganggunya pasokan darah pada saraf dianggap dapat menyebabkan Bell’s palsy.5

(21)

berjalan melalui akson sensoris dan menetap di sel ganglion. Sehingga pada saat terjadi stress, virus akan mengalami reaktivasi dan merusak selubung mielin. 6,7

Paralisis wajah yang dibawa sejak lahir atau terjadi secara kongenital sangat jarang ditemukan. Penyebab utamanya adalah trauma pada saat kelahiran misalnya

pada riwayat persalinan yang sulit.6

Beberapa literatur juga melaporkan tindakan kedokteran gigi dapat menyebabkan Bell’s palsy. Tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan

Bell’s palsy, yaitu:5,14,15

a. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi, dimana terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bell’s palsy) yang umumnya bersifat sementara. Paralisis dapat terjadi secara segera ataupun lambat, berdasarkan waktu penyuntikan hingga onset dari gejala.

Paralisis yang terjadi secara segera muncul dalam hitungan menit setelah penyuntikan dan akan sembuh dalam waktu 3 jam ataupun kurang. Paralisis dapat muncul akibat anestesi pada cabang nervus fasialis yang diakibatkan anatomi saraf yang abnormal seperti kelainan kongenital seperti gagalnya kelenjar parotis untuk menutupi/membalut nervus fasialis dan cabangnya sehingga meningkatkan kemungkinan untuk terpapar bahan anastesi lokal secara langsung.

Paralisis yang terjadi secara lambat terjadi beberapa jam hingga beberapa hari setelah dari penyuntikan anestesi. Terdapat tiga hipotesis yang dikemukakan untuk menjelaskan bagaimana paralisis dapat terjadi, pertama bahan anestesi lokal ataupun sisanya merangsang plexus simpatis yang berhubungan dengan arteri karotis eksterna

(gambar 3). Dari arteri karotis eksterna, serabut dari plexus tersebut berlanjut ke arteri stylomastoid hingga masuk ke kelenjar parotis. Ransangan dari cabang stylomastoid

simpatis menyebabkan reflesks spasme yang terlambat dari vasa nervorum nervus fasialis yang mengakibatkan iskemik neuritis dan oedema sekunder.

(22)

Gambar 3. Arah yang memungkinkan untuk bahan anatesi lokal

masuk ke glandula parotis

Hipotesis kedua adalah tindakan mekanis dari jarum penyuntikan anestesi dapat menimbulkan rangsanan pada plexus simpatis yang berhubungan dengan arteri karotis eksterna. Dan hipotesis terakhir adalah reaktivasi dari virus yang laten akibat dari trauma prosedur anestesi lokal.

b. Adanya sumber infeksi di daerah mulut seperti radang parotis.

c. Trauma pada saat operasi sendi temporo mandibular, terjadi trauma pada bagian kondilus mandibular akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis pada bagian atas.

d. Trauma ketika dilakukan penyingkiran tumor glandula parotis yang dikarenakan dari terputusnya nervus fasialis dimana terjadi gangguan pada pleksus saraf fasialis bagian bawah.

(23)

2.3.3 Gambaran Klinis

Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher ataupun

mata. Rasa nyeri biasaya muncul setelah beberapa hari dan dapat mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri muncul setelah beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan menetap.16 Temuan klinis paling sering dijumpai adalah alis mata turun, tidak dapat menutup mata dan jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata memutar ke atas (Bell’s phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat (gambar 4). Gejala lain Bell’s palsy adalah rasa kebas pada sisi wajah yang terkena, terutama pada bagian dahi, mastoid area, dan sudut mandibula. Rongga mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi saliva dan perubahan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia sebagian pada nervus trigeminal serta hiperakusis.16,17

Gambar 4. Gambaran klinis Bell’s palsy.6

Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi lesinya (gambar 5):2

(24)

sensasi pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup pada sisi yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus

(gambar 5: nomor 4).

b. Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan

gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis (gambar 5: nomor 3).

c. Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan dalam kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di belakang telinga (gambar 5: nomor 2).

(25)

Gambar 5. Lokasi lesi Bell’s palsy.2

Derajat keparahan paralisis wajah dapat dinilai dengan sistem grading. Selain untuk menentukan derajat keparahan, sistem grading juga digunakan untuk menilai

progresivitas paralisis fasialis dan untuk membandingkan hasil dari pengobatan yang dilakukan. Sistem grading yang dapat digunakan adalah sistem grading yang dikembangkan oleh House dan Brackmann.6,18

Tabel 1. House Brackmann Facial grading system6

Grade Deskripsi Karakteristik

I Normal Gerakan wajah normal, tidak ada synkinesis

(26)

berfungsi normal, sedikit asimetri

III Sedang Kelemahan wajah jelas terlihat, mata menutup dengan baik, asimetri, Bell’s phenomenon

muncul

IV Sedang Kelemahan wajah jelas terlihat, terlihat synkinesis, dahi tidak dapat digerakkan

V Berat Kelumpuhan wajah yang sangat jelas, tidak dapat menutup mata

VI Total Kelumpuhan wajah secara keseluruhan, tidak ada gerakan

2.3.4 Diagnosis

Langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis Bell’s palsy adalah anamnesis dan pemeriksaan klinis. Anamnesis lengkap dilakukan mencakup onset,

durasi, perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri serta gejala lain yang menyertai, penting untuk ditanyakan guna membedakan dengan penyakit paralisis saraf lainnya.

Bell’s palsy ditandai dengan kelumpuhan yang sering terjadi unilateral atau hanya pada satu sisi wajah dengan onset mendadak dalam 1-2 hari dan maksimal dalam 3 minggu kurang.10

Pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang serupa dan kemungkinan penyebab lain. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini akan ditemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tes yang dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan beberapa hal berikut:6

a. Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator

(27)

c. Meminta pasien untuk menyeringai untuk menguji kemampuan otot untuk tertarik pada sudut mulut

d. Menguji pengecapan

e. Pasien diminta untuk meniupkan udara, menahan udara didalam mulut dan

bersiul

Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang terkena.21

Pada umumnya pasien tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium, namun pasien yang mengeluhkan paralisis yang persisten tanpa perbaikan yang signifikan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti:9

a. Computed tomography (CT) atau MRI diindikasikan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan keadaan setelah 1 bulan mengalami paralisis wajah, hilangnya pendengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada anggota gerak atau gangguan sensorik.

b. Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

c. Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala keterlibatan

penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah lebih dari 4 minggu.

2.3.5 Diagnosis Banding

Terdapat beberapa penyakit yang juga memiliki gejala paralisis fasialis yang menyerupai dengan Bell’s palsy, namun juga memiliki gejala yang dapat dijadikan pembeda. Penyakit – penyakit tersebut adalah:19,20,21

(28)

Penyakit ini juga dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yang bersifat unilateral ataupun bilateral, namun yang paling sering adalah bilateral.

b. Ramsay Hunt Syndrome

Merupakan komplikasi dari herpes zoster. Pasien dengan penyakit ini memiliki

prodromal nyeri. Paralisis pada nervus fasialis yang bersifat unilateral juga ditemukan, namun juga dapat melibatkan nervus vestibulokoklearis sehingga menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.

c. Otitis media

Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga dan demam.

d. Sarcoidosis

Pasien dengan penyakit ini juga mengalami paralisis pada nervus fasialis, namun bersifat bilateral, disertai juga dengan demam, pembesaran kelenjar limfe hilus, parotis dan kadang hiperkalsemia.

2.3.6 Penatalaksanaan

Pada beberapa evaluasi ditemukan bahwa 71% dari pasien yang tidak mendapatkan perawatan mengalami perbaikan secara sempurna dan 84% mengalami perbaikan fungsi yang mendekati normal. Namun 20-30% pasien tidak mengalami kesembuhan sehingga diperlukan perawatan.22

Penatalaksanaan Bell’s palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya yang belum jelas. Secara umum diyakini pengobatan Bell’s palsy dapat dilakukan dengan menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan.6,7

(29)

mg) adalah 1 mg per kg berat badan per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.23

Penggunaan anti virus pada pasien Bell’s palsy didasari oleh dugaan virus Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi dari virus

tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus yang paling sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan dilakukan kombinasi pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan anti virus masih diragukan, sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi tersebut disimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus dibandingkan placebo pada pengobatan

Bell’s palsy. Studi lain juga menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon dan asiklovir.23,24

Pada pasien Bell’s palsy yang etiologinya diduga akibat dari komplikasi penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, perlu dilakukan kontrol terhadap kadar gula darah. Pasien yang kadar gula darahnya terkontrol memiliki prognosis yang lebih baik.25

Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan terapi panas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan untuk diberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada pasien

Bell’s palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur. Akupuntur dan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi perawatan Bell’s palsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk melihat efisiensinya.10

Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy diajukan untuk dilakuakn karena hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi patologis

akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan dapat mengurangi oedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan fossa tengah dan lebih dibaik dilakuakan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan serabut saraf tidak dapat diperbaiki.6

(30)

perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau transposisi saraf. Sedangkan manajemen sekunder bertujuan untuk mengembalikan fungsi wajah atau perbaikan

estetis wajah.6,26

Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan primer

adalah neurorrhaphy dan graft neurorrhaphy. Direct neurorraphy diindikasikan pada laserasi benda tajam yang melibatkan nervus fasial. Prosedur ini diharapkan dapat memberikan pengembalian fungsi nervus fasial dengan baik. Prosedur graft neurorrhaphy mirip dengan perbaikan saraf langsung, yang membedakan adalah dibutuhkannya anastomosis tambahan untuk setiap cabang saraf yang dirawat. Donor yang umumnya digunakan untuk prosedur graft neurorrhaphy adalah great auricular nerve, sural nerve, dan antebrachial cutaneous nerve.6,26

Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada pembedahan dianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan dan hanya membutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari pembedahan dengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat kembali sudut mulut yang turun.6,26

Selain terapi yang telah diuraikan diatas, perlindungan pada mata dan otot wajah juga perlu dilakukan. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Perlindungan dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas pada saat tidur, kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan

bawah).7

2.3.7 Prognosis

(31)

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsy komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,

gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus yang memiliki

hasil CT Scan dengan kontras jelas.7,10

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.7

2.3.8 Manifestasi Bell’s palsy pada Rongga Mulut

Bell’s palsy dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan rongga mulut. Kerusakan pada saraf dapat menyebabkan produksi saliva menjadi berkurang. Pasien dengan produksi saliva yang berkurang dapat mengalami peningkatan resiko karies. Akibat peningkatan resiko karies pada pasien, maka dokter gigi dapat membuat pertimbangan strategi seperti aplikasi fluoride varnish dan atau peresepan terapi fluoride yang dapat dilakukan di rumah.9,28

Pasien dapat mengalami angular cheilitis sebagai akibat kehilangan kekuatan otot dan drooling yang berat. Kehilangan kekuatan otot dapat mengakibatkan pasien kehilangan kemampuan untuk mengunyah makanan. Makanan dapat terperangkap dalam vestibulum pipi karena keterbatasan otot buksinator yang pada normalnya berfungsi menggerakkan makanan pada dataran oklusal. Hal ini dapat meningkatkan akumulasi biofilm.29

Dokter gigi perlu menekankan pentingnya menyikat gigi dua kali sehari dan penggunaan dental floss pada pasien dengan Bell’s palsy. Dapat dilakukan pula pemberian obat kumur. Jika pemakaian dental floss dirasa sulit digunakan, dapat digunakan sikat interdental. Pasien juga perlu berkumur setelah makan untuk membersihkan sisa makanan yang terperangkap dalam vestibulum.28

(32)

kering dan air mata yang berlebihan merupakan hal yang normal pada pasien Bell’s palsy. Mata kering dapat diberikan obat tetes mata untuk melembabkan mata.28

2.2.9 Kualitas hidup pasien Bell’s palsy

Kelumpuhan pada wajah yang dialami pasien Bell’s palsy dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari sehingga akan memengaruhi kualitas hidup. Pada penelitian yang dilakukan Kahn (2001) melaporkan bahwa pasien facial palsy mendapat pengaruh kualitas hidup akibat facial palsy yang dialaminya. Beberapa hal yang sangat signifikan dilaporkan setelah mengalami facial palsy adalah pasien cenderung bersikap berbeda pada lingkungannya, diperlakukan berbeda oleh lingkungan, membatasi diri dari aktivitas sosial dan kesulitan untuk makan. Kelumpuhan pada satu sisi wajah mengakibatkan wajah pasien akan terlihat asimetris dan menyebabkan rasa malu pada diri pasien sehingga pasien cenderung menarik diri dari lingkungannya.30

2.4 Pengetahuan

2.4.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan indra penglihatan.31

(33)

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pegetahuan

Faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan manusia dibedakan menjadi

dua, yaitu:32

a. Faktor Internal

1. Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam pembangunan, pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima informasi yang pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan seseorang dapat memberikan seseorang pengalaman dan pengetahuan baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

3. Umur

Pertamabahan umur akan menyebabkan terjadinya perubahan aspek fisik dan psikologis. Semakin bertambah umur seseorang maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.

b. Faktor Eksternal 1. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan suau kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang dan kelompok.

2. Sosial Budaya

(34)

2.4.3 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang cukup didalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan,

yaitu:32

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebahai mengingat suatu materi yang tealah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat meninterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang tealah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untutk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian didasarkan dengan suatu kriteria yang ada.

2.4.4 Kriteria Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan menggunakan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:33

(35)
(36)
(37)

2.5 Kerangka Konsep

Bell’s palsy

1. Definisi Bell’s palsy

2. Etiologi

3. Gambaran klinis 4. Diagnosis

5. Diagnosis banding 6. Penatalaksanaan 7. Manifestasi Bell’s palsy

pada rongga mulut

(38)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Jenis Rancangan Penelitian

Jenis peneilitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tingkat pengetahuan mahasiswa kepanitraan klinik di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU.

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada bulan Desember 2014 – Januari 2015.

3.3Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa kepanitraan klinik di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU periode Desember 2014 – Januari 2015.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total sampling, dimana sampel merupakan seluruh mahasiswa kepanitraan klinik di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU periode Desember 2014 – Januari 2015.

3.4 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

(39)

Tabel 2. Variabel dan definisi operasional

No. Variabel Definisi Operasional

1. Pengetahuan Pengetahuan responden tentang definisi

Bell’s palsy, etiologi Bell’s palsy, gambaran klinis Bell’s palsy, diagnosis

Bell’s palsy, diagnosis banding Bell’s palsy, penatalaksanaan Bell’s palsy dan manifesatasi Bell’s palsy pada rongga mulut.

2. Mahasiswa kepaniteraan klinik Mahasiswa yang telah menyelesaikan program pendidikan sarjana dokter gigi di FKG USU dan masih menjalani kepaniteraan klinik di departemen Bedah Mulut.

3. Tingkat pengetahuan makasiswa kepaniteraan klinik

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik yang diukur melalui 17 pertanyaan. Jawaban yang benar diberi nilai 1, sedangkan jawaban yang salah diberi nilai 0. Nilai dari semua pertanyaan dijumlahkan dan dikatergorikan.

3.5Cara Pengambilan Data

(40)

3.6Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi. Analisis data dilakukan

dengan menggunakan Microsoft Excel dan Microsoft Word yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

3.7Aspek Pengukuran

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepanitraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap Bell’s palsy diukur melalui 17 pertanyaan. Pertanyaan yang dijawab dengan benar bernilai 1 sedangkan jawaban salah bernilai 0. Nilai tertinggi yang akan didapatkan dari 17 pertanyaan adalah 17. Jumlah skor setiap responden diukur dengan rumus:34

Keterangan : P = Presentasi nilai F = Jumah jawaban benar N = Jumlah pertanyaan

Nilai kemudian akan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu baik, cukup dan buruk. Pengelompokan kategori didasarkan presentasi nilai jawaban responden, yang diambil dari skal kualitatif Arikunto (2006) :33

a. Baik : Responden mampu menjawab dengan benar 76 – 100% dari seluruh pertanyaan.

b. Cukup : Responden mampu menjawab dengan benar 56 - 75% dari seluruh pertanyaan.

c. Kurang : Responden mampu menjawab dengan benar <56% dari seluruh pertanyaan.

(41)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Responden

Responden dari penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedan Mulut dan Maksilofasial selama bulan Desember 2014 yang

bersedia ikut dalam penelitian. Pada penelitian ini didapatkan jumlah responden sebanyak 50 orang. Responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 14,81% dan

berjenis kelamin perempuan sebanyak 85,19%.

Tabel 3. Karakteristik responden mahasiswa kepaniteraan klinik

Jenis Kelamin Jumlah Presentase

Laki-laki 8 14,81%

Perempuan 46 85,19%

Total 54 100%

4.2 Pengetahuan Responden terhadap Bell’s palsy

Pengetahuan responden terhadap Bell’s palsy termasuk dalam kategori baik (76% – 100%) dalam tindakan kedokteran gigi yang dapat menyebabkan terjadinya

Bell’s palsy. Pengetahuan resonden temasuk dalam katergori cukup (56% - 75%) dalam definisi Bell’s palsy dan penyakit rongga mulut yang dapat terjadi pada pasien

(42)

palsy, perawatan farmakologi Bell’s palsy, obat yang digunakan untuk perawatan farmakologis Bell’s palsy, dosis pemberian obat untuk perawatan farmakologis Bell’s palsy dan usaha yang dilakukan selama perawatan kedokteran gigi pada pasien Bell’s palsy. (Tabel 4)

Tabel 4. Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap Bell’s palsy

Pengetahuan Responden

Tahu Tidak Tahu

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

Definisi Bell’s palsy 35 64,81% 19 35,19%

(43)

Gambaran klinis pada pasien Bell’s palsy

32 59,26% 22 40,74%

Bell’s palsy dapat sembuh tanpa gigi pada pasien Bell’s palsy

(44)

Hasil penelitian terhadap pengetahuan Bell’s palsy didapatkan presentasi tertinggi pada kategori kurang yaitu 90,74%, sedangkan berpengetahuan cukup

sebesar 9,26% dan berpengatahuan baik 0%. (Tabel 5)

Tabel 5. Kategori pengetahuan responden terhadap Bell’s palsy

Kategori Jumlah Presentase

Baik 0 0%

Cukup 5 9,26%

Kurang 49 90,74%

Total 54 100%

(45)

BAB 5 PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap pengetahuan tentang Bell’s palsy yang dilakukan pada 54 orang responden di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial didapatkan hasil 64,81% responden mengetahui definisi dari Bell’s palsy yaitu adalah paralisis nervus VII perifer yang bersifat unilateral dengan penyebab yang tidak diketahui (idiopatik)12. Sebanyak 31,48% responden mengetahui jenis saraf yang terlibat pada

Bell’s palsy. Bell’s palsy melibatkan saraf kranial ketujuh yaitu nervus fasial yang bersifat campuran (mixed nerve).2 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap definisi Bell’s palsy tergolong cukup sedangkan jenis saraf yang terlibat tergolong kurang.

Etiologi terjadinya Bell’s palsy masih menjadi perdebatan dan belum diketahui secara pasti (idiopatik). Terdapat beberapa etiologi yang diduga sebagai penyebab Bell’s palsy seperti paparan dingin, iskemik saraf, infeksi virus, kongenital dan trauma.5,6 Pengetahuan responden terhadap etilogi Bell’s palsy tergolong kurang, yaitu hanya 41,30% responden mengetahui infeksi virus merupakan salah satu etiologi dari Bell’s palsy. Hal ini dapat disebabkan karena responden secara umum hanya mengetahui paparan dingin sebagai etiologi Bell’s palsy. Selain dari etiologi yang telah disebutkan sebelumnya, tindakan kedokteran gigi juga dilaporkan dapat menjadi etiologi terjadinya Bell’s palsy yaitu komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi, adanya sumber infeksi, trauma pada saat operasi

(46)

Gambaran klinis Bell’s palsy akan terlihat jelas pada satu sisi wajah yang terkena. Gambaran yang paling umum terlihat adalah alis mata turun, tidak

tampaknya lipatan nasolabial, mulut tertarik ke sisi yang sehat, kesulitan menutup mata dan jika diusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata memutar ke

atas (Bell’s phenomenon).16,17 Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 50% responden mengetahui gambaran klinis dari Bell’s palsy.

Gejala klinis Bell’s palsy juga dapat berbeda sesuai dengan lokasi lesinya. Dari Netter’s head and neck anatomy for dentistry (2007) terdapat empat lokasi lesi yang akan menimbulkan gejala klinis yang berbeda. Salah satu gejala klinis yang muncul adalah kehilangan pendengaran sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis. Gejala klinis ini akan muncul jika lokasi lesi berada di interkranial dan atau meatus akustikus internus.2 Dari keseluruhan responden, hanya 40,74% responden yang mengetahui lokasi lesi jika gejala klinis ini muncul pada pasien Bells palsy.

Berdasarkan House Brackmann facial grading system, terdapat enam klasifikasi penilaian derajat keparahan Bell’s palsy, selain itu juga digunakan untuk menilai dan membandingkan hasil pengobatan. Klasifikasi terdiri dari grade 1 hingga grade 6 yang dideskripsikan sebagai keadaan normal, ringan, sedang, berat dan total.6

Bell’s phenomenon diklasifikasikan pada grade 3 yang merupakan keadaan sedang. Sebanyak 42,59% reponden mengetahui klasifikasi Bell’s phenomenon pada House Brackmann facial grading system. Hal ini dapat disebabkan karena responden yang menjawab salah tidak mengetahui adanya sistem klasifikasi tersebut.

Menurut Gerg dkk (2012), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk melakukan diagnosa Bell’s palsy adalah Computed Tomography scan (CT scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan laboratorium.7 Pada penelitian didapatkan hanya 24,07% responden yang mengetahui pemeriksaan penunjang untuk diagnose Bell’s palsy. Hal ini menunjukkan pengetahuan responden masih tergolong kurang.

(47)

Ramsay Hunt syndrome, otitis media dan sarcoidosis adalah penyakit yang menjadi diagnosis banding dari Bell’s palsy.17 Hasil penelitian menunjukkan hanya 7,41% responden yang mengetahui diagnosis banding dari Bell’s palsy. Hasil ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap diagnosis banding Bell’s pasly

masih tergolong kurang. Hal ini dapat disebabkan karena responden kurang mengetahui penyakit lain dengan gambaran klinis yang mirip dengan Bell’s palsy.

Selain dapat menimbulkan gejala klinis pada wajah, Bell’s palsy juga dapat bermanifestasi pada rongga mulut. Salah satu gambaran klinis pada rongga mulut pasien Bell’s palsy adalah berkurangnya sekresi saliva.9,27 Hanya sebanyak 22,22% responden mengetahui gambaran klinis pada rongga mulut pasien Bell’s palsy. Rendahnya presentase ini dapat disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan jika Bell’s palsy juga dapat menunjukkan gejala klinis pada rongga mulut.

Akibat dari gambaran klinis yang terjadi pada pasien Bell’s palsy, penyakit pada rongga mulut dapat muncul. Berkurangnya sekresi saliva dapat menyebabkan peningkatan resiko karies. Hilangnya kekuatan otot dapat menyebabkan drooling pada pasien yang akan menyebabkan terjadinya angular cheilitis.27 Pada penelitian didapatkan 59,26% responden mengetahui penyakit rongga mulut yang dapat terjadi pada pasien Bell’s palsy. Hasil ini menunjukkan responden tergolong memiliki pengetahuan cukup.

Hasil penelitian terhadap pengetahuan responden terhadap bisa atau tidaknya

Bell’s palsy sembuh tanpa dilakukan perawatan adalah sebesar 37,04% yang menjawab dapat sembuh dan 62,96% menjawab tidak dapat sembuh. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap Bell’s palsy dapat sembuh tanpa dilakukan perawatan tergolong kurang.

Dari Balaji(2013), perawatan yang dapat dilakukan pada pasien Bell’s palsy

(48)

responden hanya mengetahui bahwa perawatan Bell’s palsy adalah farmakologis dan non farmakologis.

Menurut Gronseth dan Paduga (2012) perawatan secara farmakologis pada pasien Bell’s palsy dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dan antivirus.23 Pemberian kedua obat ini didasarkan kepada etiologi yang diduga sebagai penyebab

Bell’s palsy. Sebesar 37,04% responden mengetahui perawatan farmakologis yang diberikan pada pasien Bell’s palsy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap pengobatan farmakologis pada Bell’s palsy adalah kurang.

Penggunaan kortikosteroid pada Bell’s palsy dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan saraf di kanalis fasialis yang sempit. Kortikosteroid yang biasanya digunakan adalah prednisolon yang dapat mulai diberikan dalam 72 jam dari onset.16 Pada penelitian didapatkan 27,78% responden mengetahui bahwa kortikosteroid yang dipilih adalah prednisolon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap pilihan obat yang diberikan pada pasien Bell’s palsy adalah kurang.

Pemberian prednisolone pada pasien Bell’s palsy dilakukan dengan dosis sebanyak 1 mg/kg BB/ hari dengan dosis maksimal 70mg/ hari.23 Hasil penelitian menunjukkan 20,37% responden mengetahui dosis pemberian prednisolon. Berdasarkan presentase tersebut, pengetahuan responden tergolong kurang terhadap dosis pemberian obat pada pasien Bell’s palsy.

Dari Bricker dkk (2002), otot sekitar mata yang terkena dampak Bell’s palsy

akan mengalami kesulitan untuk menutup kelopak mata pada sisi yang terkena. Selama pelaksaan tindakan dental harus dilakukan perlindungan pada mata yang tidak

dapat menutup dengan sempurna, seperti penggunaan kacamata pelindung pada pasien.27 Seluruh responden pada penelitian ini tidak mengetahui usaha yang dapat dilakukan selama perawatan dental pada pasien Bell’s palsy.

(49)
(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut FKG USU terhadap Bell’s palsy adalah sebanyak 0% berpengetahuan baik, 9,26% berpengetahuan cukup dan sebesar 90,74% dengan kategori pengetahuan kurang.

2. Tingkat pengetahuan responden yang termasuk kategori baik (76% - 100%) meliputi tindakan kedokteran gigi yang dapat menyebabkan terjadinya Bell’s palsy.

3. Tingkat pengetahuan responden yang termasuk kategori cukup (56% - 75%) meliputi definisi Bell’s palsy dan penyakit rongga mulut yang dapat terjadi pada pasien Bell’s palsy.

4. Tingkat pengetahuan responden yang termasuk kategori kurang (0 - 55%) meliputi jenis saraf yang terlibat pada Bell’s palsy, etiologi Bell’s palsy, gambaran klinis Bell’s pasly, House Brackman Facial Grading System, pemeriksaan tambahan diagnosis Bell’s pasly, dampak Bell’s palsy pada rongga mulut, kemungkinan sembuh

Bell’s palsy tanpa perawatan, jenis penatalaksanaan Bell’s palsy, perawatan farmakologi Bell’s palsy, obat yang digunakan untuk perawatan farmakologis Bell’s palsy, dosis pemberian obat untuk perawatan farmakologis Bell’s palsy dan usaha yang dilakukan selama perawatan kedokteran gigi pada pasien Bell’s palsy.

6.2 Saran

(51)

2. Diharapkan kepada mahasiswa kepaniteraan klinik untuk dapat mengaktualisasikan pengetahuan tentang Bell’s palsy.

3. Diharapkan kepada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara untuk dapat mengevaluasi pembelajaran tentang Bell’s palsy.

(52)

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC. Current therapy in neurologic disease.

Philadelphia : Mosby Inc, 2006: 207-8.

2. Norton NS. Netter’s head and neck anatomy for dentistry. Philadelphia: Elsevier, 2007: 97-8, 210.

3. Marson AG, Salinas R. Bell’s palsy. West J Med 2000; 173(4): 266-68. 4. Silva A. Bell’s palsy (Case report). <annsilva.wordpress.com/2010

/04/04/bell’s-palsy-case-report/> (4 April 2010).

5. Victor M, Ropper AH, Adam RD. Adam and Victor’s principles of neurology. 7th ed. Pennsylvania : McGraw-Hill Professional, 2000: 705-8.

6. Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 2nd Ed. India: Elvisier India, 2013: 694-704.

7. Gerg KN, Gupta K, Singh S, Chaudhary S. Bell’s palsy: Aetiology, classification, differential diagnosis and treatment consideration : A review. J Dentofacial Sciences 2012; 1(1): 1-2.

8. Malamed SF. Handbook of local anesthesia. 5th Ed. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2004: 289-91.

9. Delong L, Burkhart NW. General and oral pathology. Colombia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 253-4.

10.Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy, diagnosis dan tata laksana di pelayanan

primer. J Indo Med Assoc 2012; 62(1): 34.

11.Anonymous. Bell’s palsy: Topic overview. <http://www.webmd.com/brain

/tc/bells-palsy-topic-overview> (5 September 2014).

12.Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6th Ed. Alih bahasa: Liliana Sugiharto. Jakarta: EGC, 2006: 722-24.

(53)

14.Crean SJ, Powis A. Neurological complication of local anesthetics in dentistry. Dent Update 1999; 26: 344-49

15.Tzermpos FH, Cocos A, Kleftogiannis M, Zarakas M, et al. Transient delayed facial nerve palsy after inferior alveolar nerve block anesthesia. America

Dental Society of Anesthesiology 2012; 59: 22-27.

16.Hauser SL. Harrison’s neurology in clinical medicine. Pennsylvania: The Mc Graw Hill, 2006: 343-45.

17.Wolfson AB, Hendey GW, Ling LJ, Rosen CL. Harwood-Nuss’ Clinical practice of emergency medicine. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott William & Walkins, 2005: 617-18

18.Axelsson S. Bell’s palsy – Medical treatment and influence of prognostic factors. Sweden: Faculty of Medical Lund University, 2013: 21-25

19.Sweeney C. Gilden D. Ramsay Hunt syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001; 71(2): 149–154.

20.Yonamine FK, Tuma J, Claudia M, Soares M, et al. Facial paralysis associated with acute otitis media. <http://www.scielo.br/scielo.php?pid =S003472992009000200011&script=sci_arttext& tlng=en> (6 September 2014).

21.Scully C. Medical problems in dentistry. 6th Ed. Churchill Livingstone Elsevier, 2010: 322-24.

22.Gilden DH. Bell’s palsy. The New England Journal of Medicine 2004; 315: 1323-31.

23.Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and antiviral for Bell’s palsy. America Academy of Neurology 2012; 79: 1-5.

24.Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, et al. Bell’s palsy and herpes simplex viral DNA from fluid and muscle. Ann Intern Med 1996; 124(1):27-30.

(54)

26.Mehta RP. Surgical treatment of facial paralysis. Clinical Experimental Otorhinolaryngology 2009; 2(1): 1-5.

27.Taylor DC. Bell’s palsy practice essentials. <emedicine.medscape.com/article /1146903-overview> (11 September 2014)

28.Bricker SL, Decker BC, Sanglais R, Miller CS. Oral diagnosis, oral medicine, and treatment planning. Canada: Pmph USA, 2002: 350-1.

29.Kandray DP. Treating patients with Bell’s palsy. <http://www.dimensionsof dentalhygiene.com/print.aspx?id=18483> (5 September 2014).

30.Kahn, JB., et al. Validation of a patient-graded instrument for facial nerves palsy: The FaCE scale. The Laryngoscope 2001; 111(3): 387-398.

31.Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010: 26-29 32.Sjamsuri SA. Pengantar teori pengetahuan. Jakarta : Depdikbud. Dirjen Dikti,

1989: 15

33.Arikunto, Suharsimi. Prosedur penelitian : Suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2006: 27

Gambar

Gambar 1. Anatomi saraf perifer10
Gambar 2. Nevus fasialis2
Gambar 3. Arah yang memungkinkan untuk bahan anatesi lokal
Gambar 4. Gambaran klinis Bell’s palsy.6
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU dalam hal definisi antibiotik,

Dari hasil penelitian, terlihat bahwa perubahan tekanan darah dan denyut nadi sangat berhubungan dengan pencabutan gigi yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma yang terjadi pada jaringan lunak wajah dan trauma yang terjadi pada bagian jaringan keras wajah. 8

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma yang terjadi pada jaringan lunak wajah dan trauma yang terjadi pada bagian jaringan keras wajah.. Apa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU tentang cara penanganan dental

Untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang tindakan pada saat perawatan dental pada pasien

Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dalam penyelesaian

Pengetahuan tentang fase penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi oleh mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG USU termasuk baik,