PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (studi di Bantargebang, Kota Bekasi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DURAY ACHMAD NIM : 109044100021
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA
,
(Studi di Bantargebang, Kota Bekasi)Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DURAYACHMAD
NIM:
109044100021PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKTJLTAS SYARIAH DAN HUKTJM
T]MVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016l/I Pembimbirig:
I
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "PENCATATAN PERKAWINAN
DI
KANTOR URUSANAGAMA
(studidi
Bantargebang,Kota
Bekasi)",
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta pada tanggal 4 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum
Keluarga.
Jakarta, T januan2?l5 Mengesahkan
Dekan,
NIP: 19691216 1
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji
il
Dr. Abdul Halim, M.Ag. NrP. 19670608 199403
l
00Arip Purkon, M.A
NIP. 19790427 200312 1002
M. Yasir, S.H, M.H
NIP.
Dr. Isnawati Rais, M.A.
NIP. 19571027 198503 2001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 7Januari 2016
iv ABSTRAK
Duray Achmad. 109044100021. Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (Studi di Bantargebang, Kota Bekasi). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015M, x + 69 Halaman + 12 Halaman Lampiran.
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan yang sah menurut Hukum Perkawinan Indonesia selain sah menurut agama dan kepercayaannya, serta dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu dimana lembaga tersebut yang berwenang adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim dan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk yang non muslim. Sejak disahkannya Undang – Undang Perkawinan (1974) hingga saat ini, masih banyak terdapat hambatan dalam penerapannya yaitu salah satunya pencatatan perkawinan. Banyak terdapat perkawinan yang tidak dicatat karena paradigma pada masyarakat tertentu yang beranggapan bahwa perkawinan sah apabila sudah sesuai dengan hukum kepercayaan mereka masing – masing.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah; Untuk mengetahui permasalahan dalam penegakan hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penulisan Deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan sumber data lapangan atau bahan pustaka sebagai bahan pelengkap. Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis.
Selain itu analisis juga dilakukan berdasarkan kerangka teori Lawrence M. Friedmen dengan metode SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.
Perkawinan yang tidak dicatatkan banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan rumah tangga dan masa depan keluarganya. Akibat hukum bagi perkawinan tidak dicatat, secara yuridis suami/isteri dan anak yang dilahirkannya tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Dampak buruk dari perkawinan tersebut merupakan akibat dari pemahaman yang tidak komprehensif terhadap Hukum Perkawinan dan lemahnya penegakan hukum untuk melindungi para korban. Seyogyanya pemerintah segera mengamandemen semua produk Hukum Perkawinan disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat yang melindungi semua golongan dan kepentingan.
Kata kunci : Problem Pencatatan, Pencatatan Perkawinan.
Pembimbing : M. Yasir S,H, M.H
v
ب س م ا ه ا نمحرل ا میحرل
KATA PENGANTAR
Assalamu’laikum.wr.wb
Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke
hadirat-Nya.Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan
kekuasaan Allah SWT.Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang
Maha Pengasih tanpa pilih kasih, Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya.
Karena anugerah dan karunia yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan
untuk berfikir dan menikmati segala kenikmatan terutama nikmat Islam dan
Iman serta nikmat duniawi yang tak terhingga jumlahnya. Shalawat dan salam
semoga tercurah ke hadirat Qudwah Hasanah Nabi Muhammad SAW, yang
selalu kita nantikan syafa'atnya di hari pembalasan nanti,Amin.
Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk
menunjukan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan
kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini. Dialah motivator sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus
berusaha menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk
selalu berbuat yang terbaik didunia ini semata-mata untuk mencapai
ridha-Nya.
Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa
optimal namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun
vi
kami harapkan. Sebagai suatu karya ilmiah, semoga skipsi ini bisa bermanfaat
bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya dan bagi pihak-pihak
yang terkait dengan masalah ini.
Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini
bukanlah semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari
hamba Allah yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk
kemaslahatan publik, baik secara langsung maupun tidak. Mereka yang
dengan tulus hati meluangkan waktu mesti hanya sekedar menuangkan
aspirasi bagi penulis, tentu tanggung jawab ini akan terasa kian berat, tanpa
kehadiran mereka.
Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini
penulismenyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada :
1. Dr Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal
Syakhsiyyah) Fakultas Syari’ah dan Hukum.
3. Arip Purqon, M.Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal
Syakhsiyyah)Fakultas Syari’ah dan Hukum.
4. M. Yasir S.H, M.H. dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan
besar hati, sabar serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan
vii
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yangtelah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan
studi kepustakaan.
6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang
telahmendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah
membantupemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepala KUA Bantargebang Drs. Muhammad Yusupdan juga Dr. Ah.
AzharuddinLathif, M.Ag, M.H, sertaDr. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. yang
telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, karenadari merekalah
banyak Ilmu mengenai Sosiologi Hukum dan PencatatanPernikahan yang
benar-benar sangat membantu penulis dalam menyelesaikanskripsi ini.
8. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang disetiap nafasnya mengalir
doauntuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan
dunia dandi akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara
moril danmateril semata-mata untuk keberhasilan penulis.
9. Kakakku Anifah Nurlela, Sofyan Haris, A.md., Hudaini Ikhsan, A.md.,
Hafidz Mubarok, S.Pdi dan seluruhkeluarga besar, terima kasih atas do'a
dan motivasinya baik moril dan materiiluntuk keberhasilan studi Penulis.
10.Teman-teman seperjuangan, khususnya Izhar Helmi S.Sy, Yusuf Fadli
S.Sy, Ahdi Maulana S.Sy, Agus S.ESy dan teman-teman di Fakultas
Syariah dan Hukum angkatan 2009 teman seperjuanganku yang selalu ada
viii
Sukatani, Sukabumi. dimanapun kalian berada, Aku akan merindukan
kalianselalu.
11.Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak
yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa
menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya
balasan atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan
dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 28 Mei 2015
ix DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Massalah, Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Kerangka Teori ... 10
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 13
F. Review Studi Terdahulu ... 15
G. SistematikaPenulisan ... 16
BAB II PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 18
A. Pengertian Perkawinan ... 18
B. Tinjauan Hukum Sahnya Perkawinan ... 27
C. Pencatatan Perkawinan ... 31
BAB III PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BANTARGEBANG 39 A. Letak Geografis ... 39
B. Profil Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang ... 41
C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang ... 45
BAB IV PROBLEM PENCATATAN PERKAWINAN ... 48
A. Realitas Pencatatan Perkawinan ... 48
B. Tata Cara dan Prosedur Perkawinan ... 51
C. Upaya Penanggulangan Penertiban Pencatatan Perkawinan ... 56
D. Analisis Dengan Teori Lawrence M. Friedman ... 59
BAB V PENUTUP ... 64
A. Kesimpulan ... 64
x
DAFTAR PUSTAKA ... 67
LAMPIRAN – LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Data dan Wawancara 2. Surat Keterangan Penelitian
3. Data Kependudukan Berdasarkan Agama Kec. Bantargebang 4. Data Kependudukan Berdasarkan Pendidikan Kec. Bantargebang 5. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang 6. Data Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama Kec.
Bantargebang
7. Data Wawancara Staff dan Penghulu Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sebuah ikatan perjanjian antara pihak pria
dengan pihak wanita sehingga harus ada suatu aturan yang mengatur dengan
erat terkait peristiwa perkawinan tersebut. Perkawinan dalam bahasa Arab
disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wathi‟, dan al-dammu wal jam‟u,
atau ibarat „an al-wath‟ wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan
akad.1
Berdasarkan perspektif hukum normatif, Perkawinan merupakan suatu
peristiwa hukum, dengan adanya perkawinan maka harus terdapat suatu
aparatur negara dan undang – undang yang menjamin dengan jelas terhadap
suatu pelanggaran yang terjadi suatu saat kelak akibat peristiwa hukum
tersebut. Perkawinan dapat dikaitkan dengan kata perikatan. Soebekti
berpendapat bahwa perikatan merupakan kata abstrak dari sesuatu yang tidak
dapat dilihat tetapi dapat dibayangkan dalam Pikiran.2
Sayid Sabiq mengungkapkan bahwa ikatan antara suami istri adalah
ikatan yang paling suci dan paling kokoh, dan tidak ada suatu dalil yang jelas
menunjukan sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari Allah itu
1
Wahbah Zuhaily, al Fiqh Islami wa Adilatuhu, Juz VII, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), h. 29.
2
2
sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri mitsaqan
ghalidzan (perjanjian kokoh).3
Merujuk pada uraian diatas bahwa perkawinan tidak dapat dikatakan
dalam berbentuk wujud, oleh karena itu peristiwa perkawinan perlu diawasi
dan dipublikasikan. Perikatan merupakan suatu bentuk yang disebabkan oleh
kedua belah pihak dalam perjanjiannya yang mengikuti dari ketentuan undang – undang.4
Keabsahan perkawinan itu ditandai dengan adanya suatu peristiwa
perkawinan yang syarat dan rukunnya telah terpenuhi berdasarkan hukum
Islam. Namun dengan seiring perkembangan zaman, dengan adanya undang –
undang yang mengatur tentang perkawinan maka bukannya hanya sah secara
syarat dan ketentuan hukum Islam saja tetapi juga sah secara hukum positif
yaitu mengikuti ketentuan secara administratif yang telah diatur undang –
undang mengenai perkawinan tersebut.
Dapat dilihat dengan adanya ketentuan tersebut yang diberikan oleh
negara kepada masyarakatnya bahwa perkawinan ini dianggap sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya jaminan tersebut diharapkan
kehidupan yang teratur dan tentram serta meminimalisir tindak pelanggaran
terkait suatu perikatan yang disebut perkawinan. Merujuk pada pengertian
tersebut diatas, maka dalam hal penertiban administrasi negara, pencatatan
3
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Libanon, Beirut, 1991) Juz ke-2, h. 206.
4
3
perkawinan menjadi suatu yang sangat penting untuk menuju modernisasi dari
hukum perkawinan.
Berdasarkan sumber pokok hukum Islam, tidak aturan yang mengatur
secara kongkrit mengenai adanya pencatatan perkawinan, tetapi seirring
perkembangan zaman masyarakat memandang pentingnya akan hal itu
sehingga diatur perundang – undangan tentang perkawinan. Pencatatan
perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh
Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik yang dilaksanakan oleh masyarakat yang
tidak berdasarkan hukum Islam.5 Pencatatan tersebut dilakukan dalam upaya
menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam penertiban pencatatan
perkawinan, masih terdapat berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi
dalam penerapannya sesuai perundang - undangan. Terkait dengan hal
berkeluarga, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap berbagai
masalah yang ada melalui perundang – undangan. Diantara perundang –
undangan tersebut yang berkaitan langsung dengan keluarga adalah UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
telah berlaku kurang lebih 40 tahun pelaksanaannya masih banyak kendala,
diantaranya tentang pencatatan perkawinan bagi tiap – tiap warga negara yang
hendak melaksanakan perkawinan.
5
4
Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa pencatatan
perkawinan belum dipandang sesuatu yang penting yang membutuhkan alat
bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.6 Atas dasar pengetahuan yang
melekat pada masyarakat bahwa dalam agama tidak terdapat perintah untuk
mencatatkan perkawinan kepada lembaga negara untuk syarat keabsahannya
itu sendiri.
Berdasarkan aturan perkawinan pada pasal 1 Undang - Undang No. 1
tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang
sakral, bukan lagi permasalahan hubungan antar manusia yang diikatkan
dalam sebuah perjanjian. Apabila diperhatikan dari pasal tersebut maka
perkawinan dapat diuraikan bahwa bukan saja ikatan jasmani melainkan batin
dan silaturahmi antar kedua pihak, yang bertujuan agar ikatan perkawinan
tersebut dapat bahagia dan menyambung kedua keluarga.7
Melihat pada teori hukum perkawinan bahwa perkawinan merupakan
suatu peristiwa hukum yang dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, serta
akan mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum.8 Merujuk
pada aturan yang telah diberikan pemerintah maka perkawinan di Indonesia
haruslah dicatatkan sebagaimana diatur dalam Undang - undang No. 1 tahun
1974. Sejak berlakunya undang – undang tersebut maka pemerintah
6
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 121.
7 Mohd. Idris Ramulyo, Asas – Asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.
38.
8
5
mengharapkan akan tidak adanya lagi perkawinan yang hanya sah secara
agama. Hal ini mempertegas bahwa selain hukum agama maka hukum negara
juga harus dijadikan syarat keabsahan dalam ikatan perkawinan tersebut.
Merujuk pada aturan pemerintah tentang perkawinan maka
perakawinan yang tidak dicatatkan akan dianggap tidak sah, perkawinan yang
sah haruslah dicatatkan di Kantor Urusan Agama untuk yang beragama islam.
Pencatatan tersebut dilakukan oleh PegawaiPencatat Nikah yang diberikan
mandat oleh negara untuk mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat
sahnya, yang diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 dan Peraturan Menteri
Agama No. 3 dan 4 tahun 1975. Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga
dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak
dan rujuk.
Syarat administratif perkawinan diberikan kepada Pegawai Pencatat
Nikah oleh kedua calon mempelai, dimana pendaftaran nikah telah diajukan
sebelumnya oleh kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam undang – undang
perkawinan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama.
Diketahui bahwa pelaksanaan perkawinan itu didahului kegiatan –
kegiatan, baik yang dilakukan calon mempelai maupun pegawai pencatat
nikah. Calon mempelai atau orang tuanya memberitahukan hendak
6
pegawai meneliti syarat – syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak adanya
halangan menurut undang – undang.9
Setelah syarat telah terpenuhi dan tidak adanya halangan menurut
undang – undang maka perkawinan dapat dilangsungkan setelah administrasi
di KUA diselesaikan. Pelaksanaan perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari
kerja sejak pendaftaran dan syarat terpenuhi.
Namun sebagaimana undang – undang mengatur tentang syarat
tersebut, Undang - Undang perkawinan tidak mengatur perihal tentang
rukunnya dalam perkawinan. Amir Syarifuddin berpendapat bahwa mungkin
Undang – Undang perkawinan menempatkan akad perkawinan itu
sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata.10
Pada perkembangan zaman saat ini, masyarakat tidak memperhatikan
tentang hal tersebut. Mengatur atau tidaknya undang – undang terkait rukun,
masyarakat lebih cenderung berpikir akan keabsahan perkawinan. Syarat yang
diberikan negara untuk perkawinan sebagai syarat administratif saja sudah
membuat sibuk masyarakat dalam pemenuhan syarat pencatatan perkawinan
agar dianggap sah secara hukum agama maupun hukum negara.
Administrasi dalam hal ini pencatatan perkawinan diberlakukan
hampir di setiap negara muslim di dunia, meskipun berbeda satu sama lain
9
Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 131.
10
7
penekanannya.11 Hal ini menunjukan bahwa semua negara muslim di dunia
sepakat bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang harus
dicatatkan dan dijamin oleh sebuah undang – undang. Dengan adanya undang – undang perkawinan yang menjamin masyarakat untuk melangsungkan
perkawinan, maka ketertiban masyarakat dalam hal ini perkawinan akan saling
menguntungkan antara negara dan masyarakat.
Khoiruddin Nasution berpendapat bahwa Aturan pencatatan
perkawinan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ; pertama, kelompok negara
yang mengharuskan pencatatan disertai sanksi pelanggaran. Kedua, kelompok
negara yang menjadikan pencatatan sebagai syarat administrasi saja namun
tidak memberlakukan sanksi ataupun denda. Ketiga, kelompok negara yang
mengharuskan pencatatan namun mengakui perkawinan yang tidak
dicatatkan.12
Saat ini di Indonesia sejak berlakunya undang – undang perkawinan,
setiap perkawinan harus dicatatkan. Kewajiban pencatatan itu diberikan oleh
negara agar tidak terjadinya pelanggaran – pelanggaran terhadap wanita dan
anak yang dihasilkan dari perkawinan, hal ini selaras dengan prinsip hukum perdata “win win solutions” yang mengedepankan kepuasan diantara pihak.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud mengkaji dan meneliti
lebih dalam mengenai permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan serta
11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 182.
12
8
sikap pihak terkait dalam usaha pelaksanaan perundang – undangan tentang
perkawinan, bertujuan unntuk mengetahui perihal fenomena perkawinan yang
tidak dicatatkan. Berdasarkan uraian dari hasil kajian dan penelitian diatas,
maka penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “ PENCATATAN
PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (studi di
Bantargebang, Kota Bekasi)“. Wilayah Bantargebang dipilih karena merupakan wilayah industri dan pengolahan sampah serta banyaknya
penduduk urbanisasi yang bertujuan untuk pemenuhan perkonomian tidak
melengkapi syarat–syarat kependudukannya, sehingga pada daerah
Bantargebang terjadi permasalahan yang timbul akibat kurang tertibnya
administrasi negara yang didapat oleh instansi untuk menerapkan aturan
tentang pencatatan perkawinan. Dengan harapan skripsi ini dapat bermanfaat
dan memberikan sedikit penjelasan tentang fenomena yang terjadi.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam pembahasan tentang latar belakang masalah dapat dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu kebutuhan dalam pelaksanaan
penertiban dalam hal administrasi negara. Terkait dengan hal tersebut,
pada daerah Bantargebang terjadi permasalahan yang timbul akibat kurang
tertibnya administrasi negara. Penyebab akan hal tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
9
b. Kurangnya perhatian dari pihak pemerintah setempat terkait dengan
hal pendataan penduduk.
c. Permasalahan ketertiban pendataan penduduk dapat mempengaruhi
efektifitas dalam hal optimalisasi pelaksanaan ketertiban pencatatan
perkawinan.
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan
meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi
ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi
pembahasan hanya dalam ruang lingkup pencatatan perkawinan. Dalam
administrasi pencatatan perkawinan, penulis melihat problem yang terjadi
dalam pencatatan perkawinan di wilayah Bantargebang dan menganalisis
dengan analisa SWOT.
3. Rumusan Masalah
Menurut Undang – Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
bahwa perkawinan yang sah harus dicatatkan di depan Pegawai Pencatat
Nikah dari Kantor Urusan Agama setempat. Kenyataan yang ada bahwa di
wilayah Bantargebang terdapat banyak praktek perkawinan yang tidak
dicatatkan.
Rumusan tersebut ditulis penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
1) Berapakah jumlah praktek perkawinan tidak dicatat
10
3) Bagaimana sikap pihak – pihak terkait dalam upaya penertiban
pencatatan perkawinan
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Dari permasalahan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui jumlah praktik perkawinan tidak dicatat serta penyebab
terjadinya praktek tersebut.
2. Untuk mengetahui rumusan yang tepat dalam upaya penertiban pencatatan
perkawinan.
Manfaat dan tujuan penelitian adalah hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan acuan dan memperjelas kepada masyarakat luas, khususnya
kepada orang dan lembaga yang terkait dalam hal pengaturan pencatatan
perkawinan di Indonesia.
D. Kerangka Teori
Untuk membahas data yang diperoleh dari lapangan atas pertanyaan
penelitian di atas akan digunakan analisis SWOT (strength, weakness,
opportunities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di
Indonesia, khususnya penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.
Persepektif yang digunakan sebagai alat analisis adalah teori tiga elemen
sistem hukum (three elemen law system) yang di gagas oleh Lawrence M.
Friedman. Berikut akan dibahas secara singkat teori tersebut serta dibahas juga
11
Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system)
Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system) yang di
gagas oleh Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa ada tiga elemen sistem
hukum yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu Legal structure, legal
substance, dan legal culture.13 Ketiga komponen tersebut membentuk satu
kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut
dengan sistem.
Friedman berpendapat bahwa komponen struktur (Legal structure )
adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme,
berkaitan dengan lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, penyidikan,
dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan
menegakkan hukum.14
Komponen kedua adalah substansi (legal substance), yaitu aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut.
Atau dapat dikatakan sebagai suatu hasil nyata, produk yang dihasilkan, yang
diterbitkan oleh sistem hukum tersebut. Elemen substansi meliputi
peraturan-peraturan sesungguhnya, norma dan pola perilaku dari orang-orang di dalam
sistem tersebut. Pada intinya legal substance adalah mencakup aturan-aturan
13
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 6.
14
12
hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.15.
Komponen ketiga adalah budaya hukum (legal culture), yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Termasuk makna budaya hukum adalah opini-opini,
kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan bertindak baik penegak hukum maupun
masyarakat. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan
hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is
inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).16
Permasalahan budaya hukum tidak hanya dapat ditangani dalam satu
lembaga saja, tetapi perlu penanganan secara simultan dan antar departemen,
serta diupayakan secara bersama-sama dengan seluruh aparat penegak hukum,
masyarakat, asosiasi profesi, lembaga pendidikan hukum, dan warga
masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks Indonesia, peranan tokoh
masyarakat, para ulama, pendidik, tokoh agama, sangat penting dalam
memantapkan budaya hukum.
Efektif tidaknya penegakan hukum, termasuk penegakan hukum
perkawinan di Indonesia terkait erat dengan efektif tidaknya ketiga unsur
hukum tersebut. Apabila ketiga unsur tersebut berjalan tidak efektif, maka
supremasi hukum dan keadilan akan sulit terealisasikan, yang mengakibatkan
15
Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 25.
13
kepercayaan warga terhadap law enforcement menjadi luntur dan masyarakat
masuk dalam suasana bad trust society, bahkan masuk dalam kualifikasi worst
trust society.17
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan a. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data
sekunder dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif18, dan metode hukum
empiris dengan meneliti secara nyata terhadap Kantor Urusan Agama Kec.
Bantargebang dan tokoh - tokoh masyarakat wilayah Bantargebang.
Metode kualitatif dalam penelitian ini lebih menekankan kepada peneliti
untuk memperhatikan pada prosesi, peneliti sebagai instrumen pokok
pengumpulan dan analisis data sehingga peneliti terlibat langsung dalam
kerja lapangan.
b. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai
literatur kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul
berbentuk kata – kata bukan angka.
c. Data Penelitian
17
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Hukum di Indonesia,(Jakarta: Ghalia Indonesia: 2002), h. 9.
18
14
Jenis data dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Data Primer : yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil
wawancara terhadap pihak – pihak yang terkait dan yang berkaitan
langsung dengan penelitian di wilayah Bantargebang.
2. Data Sekunder : yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang
meliputi buku perundang – undangan perkawinan, buku tentang
perkawinan dan data – data yang berkaitan.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode penelitian
lapangan (field research) yaitu pengumpulan data dengan cara langsung ke
lapangan melakukan observasi, wawancara dan dokumenter melalui teknik
pengumpulan data dan sebagai berikut :
1. Observasi : yaitu pengamatan secara langsung yang dilakukan peneliti
guna mendapatkan gambaran umum tentang permasalahan pencatatan
perkawinan di wilayah Bantar Gebang.
2. Wawancara : yaitu proses Tanya jawab dalam penelitian langsung
secara lisan dengan masyarakat setempat dan pihak – pihak terkait dan
mendapatkan informasi secara langsung dari Kantor Urusan Agama
15
3. Dokumenter : metode ini digunakan untuk mencari dan
mengungkapkan data yang diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara.19
e. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan, atau mudah
difahami dan diinformasikan kepada orang lain. Data yang telah terkumpul
kemudian dianalisa. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
deskriptif-kualitatif, yaitu data yang ada akan dianalisis kemudian
dipaparkan sedetail mungkinsecara deskriptif.
Analisis data, Secara garis besar akan ditempuh cara
peng-organisasian data melalui pengumpulan catatan lapangan, komentar
peneliti, dokumen, laporan, dan sebagainya untuk dideskripsikan sesuai
kontek masalah, diinterpretasi untuk memperoleh pengertian baru sebagai
bahan temuan. Di samping itu, diakhir pembahasan akan dilakukan
analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau
analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan
terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di Indonesia dalam
kontek penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.
F. Review Studi Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada
kaitannya dengan pencatatan perkawinan, antara lain adalah :
19
16
Isti Astuti Savitri, dalam subtansinya yaitu Efektifitas Pencatatan
Perkawinan pada KUA Kecamatan Bekasi Utara. Perbedaan yang terdapat
yaitu tidak hanya mengenai sejauh apa efektifitas yang terjadi dalam
pelaksanaan pencatatan tetapi juga meneliti penyebab yang menjadi kendala
penertiban pencatatan perkawinan.
Nur Fauzi, dalam substansinya yaitu Kesadaran Hukum Masyarakat
Kelurahan Cipedak kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan.
Perbedaan yang terdapat yaitu Penelitian tidak hanya dilakukan pada
Masyarakat dan sebatas pemahaman masyarakat tetapi juga pada pihak yang
berkaitan dengan pelaksanaan pencatatan perkawinan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini berisikan lima bab yang terdiri dari
beberapa subbab yang ada pada masing – masing babnya. Sistematika ini
merupakan uraian secara singkat pada masing – masing babnya, bertujuan
agar dapat dengan mudah memahami hubungan antar bab yang memiliki
keterkaitan.
Bab I berisikan Pendahuluan dengan uraian yang berisikan latar belakang masalah pada kajian skripsi ini, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, merumuskan permasalahan serta menunjukan maksud dan tujuan
penelitian, dan mengungkapkan metodologi penelitian yang digunakan
sebagai kerangka yang sistematis dengan diakhiri sistematika penulisan.
17
kajian teori ini akan dipaparkan mengenai teori yang terkait dengan pencatatan
perkawinan menurut perundang - undangan Indonesia, pengertian perkawinan,
pengertian pencatatan perkawinan dan pencatatan perkawinan sebagai syarat
sahnya.
Bab III berisikan Penelitian di Lapangan dalam bab ini terdiri jenis dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, metode pengolahan data dan analisis data tentang variable – variable yang mendukung penyelesaian masalah, subjek penelitian, metode
pengumpulan data, sumber data, pengolahan dan analisis data yang berfungsi
untuk memperoleh gambaran serta tujuan tentang permasalahan dari objek
penelitian ini.
Bab IV berisikan Hasil Penelitian dan Analisis Data dalam bab ini akan diuraikan yang berisi paparan data serta analisis data yang telah
diperoleh dari lapangan. Pada bab ini akan disajikan data – data hasil
wawancara dan dokumentasi yang menjawab masalah – masalah yang telah
dirumuskan kemudian dilanjutkan dengan proses analisis data melalui proses
edit data, klasifikasi dan kesimpulan yang ada pada bab selanjutnya.
Bab V Penutup dalam bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat. Selain itu juga terdapat saran –
18 BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut
arti majazi atau arti hukum adalah akad atau perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.1 Pengertian perkawinan dalam hal ini bisa ditinjau dari dua sudut
pandang yaitu menurut Hukum Islam2 dan menurut Undang – Undang
Perkawinan yaitu Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam.
a. Menurut Hukum Islam
Definisi kata “nikah” dalam kamus besar bahasa indonesia
mengandung pengertian perjanjian antara laki – laki dan perempuan
untuk bersuami istri (dengan resmi),3 Sedangkan Perkawinan dalam
bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wath‟u, dan
adh-dammu dan al jam‟u. Al-wath‟u yang bermakna menggauli, bersetubuh
atau bersenggama. Adh-dammu yang bermakna mengumpulkan,
1 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974
dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 1.
2
Beberapa pengertian tentang perkawinan dalam hukum islam yang dijelaskan oleh ahli hukum Islam yang tersebar dalam beberap literatur.
3
19
menyatukan dan memeluk. Al-jam‟u yang bermakna mengumpulkan,
menyatukan dan menyusun.4
Perkawinan secara definisi menurut para ulama fiqh, antara lain
sebagai berikut:
a) Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa perkawinan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah (laki-laki memiliki
perempuan seutuhnya) dengan sengaja.
b) Ulama Syafi‟iyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang mmenjamin kepemilikan dengan menggunakan lafadz nikah atau
tazwij yang menyimpan arti memiliki keturunan.
c) Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan
(seksual) semata.
d) Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij untuk mendapatkan
kepuasan.5
Beragam pendapat yang dikemukakan mengenai arti perkawinan
menurut hukum Islam diantara ahli hukum Islam. Tetapi perbedaan
pendapat ini sebenarnya bukan perbedaan yang prinsip. Perbedaan itu
hanya terdapat pada keinginan perumus untuk memasukan unsur – unsur
4
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 43.
5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 45
20
yang sebanyak – banyaknya dalam perumusan perkawinan antara pihak
satu dengan yang lain. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang
perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang
dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh
pendapat, yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian antara
seorang laki – laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
sakinah mawaddah warahmah dan disertai dengan adanya perjanjian yang
sangat kuat(mitsaqan ghalidzan).6 Sebagaimana Firman Allah SWT Q.S.
Ar-Ruum/30:21:
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “ (QS. Ar-Ruum/30:21)
Secara etimologi, perkawinan berarti persetubuhan. Ada pula yang
mengartikannya perjanjian (al-„Aqdu). Secara terminologi perkawinan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk memperoleh
kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja untuk
mendapatkan sebuah pengakuan agar tidak ada penilaian negatif akan
perempuan yang melakukan perkawinan dengan adanya pencatatan.7
6
Al-Quran surat Ar-Ruum ayat 21
7
21
Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang
sesuai dengan ketetapan syariah, bukan hanya sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh kedua orang yang saling membuat akad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.8
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan merupakan
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.9 Pernikahan merupakan
pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang
dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum, agama, negara,
dan hukum adat.
b. Menurut Undang – Undang Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang sangat
luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan
itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban
untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan lain sebagainya.
Menurut pendapat para sarjana hukum, perkawinan adalah :
1. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamodjojo, Mengemukakan “ perkawinan adalah hubungan antara seorang pria
dan wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara
8 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga……,h. 12.
9
22
dan mendapatkan bukti autentik agar perkawinan tersebut dianggap
sah oleh negara”.
2. R. Soebekti, mengemukakan “perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa “perkawinan adalah
suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi
syarat yang termasuk dalam peraturan –peraturan tersebut”.10
Untuk memahami secara mendalam tentang hakikat perkawinan
maka harus dipahami secara menyeluruh ketentuan tentang perkawinan.
Ketentuan tersebut berdasarkan pada pasal 1 Undang – Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan bahwa : “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.11
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menegaskan bahwa “perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan)
untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah”.12
10
Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta : Isik, 2002), cet. Ke-4, h. 53-54.
11
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Depag RI, 2001), h. 13.
12
23
Nikah merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang. Suatu yang haram bagi seseorang, kemudian berubah menjadi
halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan sangat besar, luas
dan beragam. Pernikahan juga merupakan suatu saran awal untuk
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit – unit
keluarga baik dan berkualitas maka bisa dipastikan masyarakat yang
diwujudkan akan kokoh dan baik.
Apabila dilihat dari sifatnya yang menjangkau sangat luas,
pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah
bangsa. Dalam konteks ini pemerintah menjadi berkepentingan dalam
mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan
tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dalam Undang - Undang No. 1
tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah
tentang perkawinan kepada warga negaranya.
Demikian pula bahwa setiap perkawinan diharapkan dapat
membentuk keluarga yang kekal, artinya tidak mengalami perceraian.13
Untuk mencapai tujuan yang luhur dari setiap perkawinan tersebut maka di
dalam Undang – undang Perkawinan ditetapkan adanya prinsip – prinsip
atau asas – asas mengenai perkawinan yang sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan zaman.14
13
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 1.
14
24
Asas – asas atau prinsip – prinsip yang terkandung di dalam
Undang – undang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing – masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama.
Dalam undang – undang ini dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut masing – masing agama dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap – tiap perkawinan sah
menurut perundang – undangan yang berlaku.
c. Monogami
Undang – undang ini menganut asas monogami. Namun apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkan seorang suami untuk beristri lebih
dari satu orang maka harus mengikuti peraturan – peraturan yang
berlaku mengenai hal itu dan syaratnya terpenuhi dan diputuskan oleh
pengadilan.
d. Pendewasaan usia perkawinan
Undang – undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri harus
telah mencapai jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar
25
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
perundang – undangan mengatur lebih rinci tentang batasan umur
untuk calon mempelai pasangan perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria
dan 16 tahun untuk wanita.
e. Mempersukar perceraian
Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal serta sejahtera, maka perundang – undangan mengatur
pelaksanaannya yang harus dilakukan dihadapan sidang pengadilan.
f. Kedudukan suami istri seimbang
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama oleh suami istri.15
g. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudah dalam mengetahui setiap
manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan dan
untuk tujuan ketertiban administrasi suatu bangsa.16
Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami istri
dalam Undang – Undang Perkawinan tidak berbeda jauh dari hukum
Islam. Pasal 30 Undang – Undang Perkawinan menjelaskan bahwa suami
15
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h.1-4.
16
26
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat. Masing – masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu
rumah tangga (pasal 31 ayat 1-3 UU No.1/1974). Suami istri harus
mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami istri bersama
(pasal 32). Suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
memberikan bantuan lahir batin pada satu sama lain (pasal 33). Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah
tangga sebaik – baiknya.
Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan kehidupan
rumah tangga yang damai dan tentram.17 Selain itu ada pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan perkawinan dala Islam selain untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus unntuk membentuk
keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan
hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinahan agar tercipta
17
27
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman
keluarga dan masyarakat.18
Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia
diciptakan Allah SWT. Dari hal ini dapat dipahami bahwa sudah menjadi
fitrah manusia untuk berpasang – pasangan sehingga Allah menetapkan
jalan yang sah untuk itu, yaitu melalui pranata yang dinamakan
perkawinan.19
B. Tinjauan Hukum Sahnya Perkawinan
Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat –
syarat yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat
dari sudut pandang hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan di
Indonesia yaitu UUP dan KHI yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam untuk sahnya perkawinan adalah setelah
terpenuhi syarat dan rukunnya yang telah diatur dalam agama Islam.20
Yang dimaksud syarat ialah suatu yang harus ada dalam (sebelum)
perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau
salah satu syarat dari perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu
18
Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 26.
19
Luthfi Sukalam, Kawin Kontrak dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), h. 1
20
28
tidak sah. Sedangkan yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan
adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu
rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan.
Beberapa syarat sah sebelum perkawinan dilangsungkan adalah
sebagai berikut:
a). Perkawinan yang dilakukan tidak bertentangan dengan larangan yang
terkandung dalam ketentuan Al Quran surat Al Baqarah ayat 221
(perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki – laki Islam boleh
menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).21
b). Adanya calon pengantin laki – laki dan calon perempuan yang
keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut
hukum perkawinan Islam akan berbeda dengan menurut perundang –
undangan di Indonesia.
c). Adanya persetujuan bebas antara kedua calon mempelai, jadi tidak
boleh dipaksakan.
d). Adanya wali nikah (untuk calon mempelai perempuan) yang memenuhi
syarat yaitu; laki – laki beragam Islam, dewasa, berakal sehat dan
berlaku adil.
e). Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa dan adil.
f). Membayar mahar (mas kawin) calon suami kepada calon istri berdasar
QS. An-Nisa’ ayat 25.
g). Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (Kehendak dan Penerimaan)
21
29
Adapun yang termasuk rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a). Adanya pihak – pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, pihak – pihak tersebut adalah mempelai laki – laki dan perempuan. Kedua
mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu agar perkawinan yang
dilaksanakan menjadi sah hukumnya.
b). Adanya wali, perwalian dalam istilah fiqh disebut dengan penguasaan
atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh
agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan
demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali
dalam perkawinan adalah rukun dalam artian wali harus ada terutama
bagi orang – orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status
perkawinan dianggap tidak sah.22
c). Adanya dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun
perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap
tidak sah. Keharusan ini dimaksudkan untuk menjaga keabsahan
perkawinan apabila terjadi permasalahan tuduhan orang lain terhadap
pasangan suami istri tersebut maka keduanya dapat menuntut saksi
tentang perkawinan tersebut.
d). Adanya akad nikah. Akad nikah adalah perkataan yang diucapkan
oleh calon suami atau calon istri. Ijab adalah pernyataan dari pihak
22
30
calon istri yang biasanya dilakukan oleh wali, yang maksudnya
bersedia untuk dinikahkan dengan calon suaminya. Qabul adalah
pernyataan atau jawaban dari pihak calon suami bahwa ia menerima
kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.
2. Menurut Undang – Undang Perkawinan
Setelah disahkan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan lalu dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun
1975 sebagai pelaksanaan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974. Dalam
pasal 2 Undang – Undang Perkawinan tersebut disebutkan :
1). Perkawinan adalah sah apabila, menurut hukum masing – masing
agamnya dan kepercayaanya itu.
2). Tiap – tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang –
undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Perkawinan
tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pasal Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975. Pasal – pasal yang berkaitan dengan tata cara
perkawinan dan pencatatannya, antara lain pasal 10, 11, 12 dan 13. Pasal
10 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tata cara perkawinan:
(2) “Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”
(3) “Dengan mengindahkan Tata cara perkawinan dilakukan menurut
hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan
31
Mempertegas Undang – Undang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah tersebut di atas, berkaitan dengan hal itu diuraikan dalam KHI yaitu; pasal 4 disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang –
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pencatatan perkawinan
untuk menjamin ketertiban dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
(pasal 5 dan 6), akta nikah dan itsbat nikah (pasal 7). Rukun perkawinan
adalah; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul
(pasal 14 sampai pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak (pasal 30 sampai pasal 38). Larangan
perkawinan karena beberapa sebab (pasal 39 – 44).23
C. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan pada dasarnya syari’at islam tidak mewajibkan
terhadap setiap akad pernikahan, namun apabila dilihat dari segi manfaatnya
pencatatan sangat diperlukan. Jika dibuka kembali kitab – kitab fiqh klasik,
maka tidak akan ditemuka adaya kewajiban pasangan suami istri untuk
mencatatkan perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat islam
terdahulu, perkawinan dianggap sah apabila sudah memenuhi syarat dan
rukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara muamalah yang dengan tegas Al qur’an memerintahkan untuk mencatatkan.24
23
Undang – Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Sinarsindo Utama
24
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Sinar
32
Pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang autentik
agar seseorang mendapat kepastian hukum, karena apabila dilihat dari segi
manfaatnya maka hal ini sejalan dengan prinsip pencatatan yang terkandung
dalam surat al-Baqarah ayat 282, sebagaimana Firman Allah SWT :
…..
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah25 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS. Al-Baqarah / 02:282).
Pada firman Allah SWT. yang disebutkan diatas memerintahkan untuk mencatatkan secara tertulis pada setiap bentuk urusan mu’amalah, seperti jual
beli, hutang piutang dan sebagainya. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa
alat bukti tertulis statusnya lebih adil dan menguatkan persaksian serta
menghindarkan dari keraguan. Dari rujukan dasar hukum tersebut maka
apabila dilihat dari illatnya yaitu memiliki persamaan yang kuat antara akad nikah dan akad mu’amalah mengenai adanya mudharat apabila tidak adanya
pencatatan sebagai alat bukti yang yang menunjukan keabsahan akda tersebut
seperti yang terdapat pada hadits berikut :
ْب ّ حم ا ثّح ا ق ّ تعْا سحْا ْب ي ج ّ ْي جْا فس ي ْب ا ّْي ع ا ثّح
ا ْ م
ب ْب ك ْا ّْع ا ثّح ّ ْجعْا
اق ّ ّْخْا ّيعس ّب ْ ع يب ْ ع ْض ّ
ي ْا ا ت
25Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
33
{
ْم ضْعب م ْ إف غ ب ىتح
تك ف
ىً سم ج ى إ ْيّب ْمتْياّت اذإ ا مآ ي ا ا ي اي
اًضْعب
}
ام ْتخس اقف
ا ْق
(IBNUMAJAH - 2356) : Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Yusuf Al Jubairi dan Jamil bin Al Hasan Al Atiki keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwan Al Ijli berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin An Nadlrah dari Bapaknya dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata ketika dia membaca ayat ini: ' Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang untuk waktu tertentu, hendaklah kalian menuliskannya, hingga ayat: ' Akan tetapi jika sebagian kalian percaya kepada sebagian yang lain', ia mengatakan, "Ayat ini menghapus ayat yang sebelumnya."
. Sehingga qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum dari akibat yang
ditimbulkan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan
menjadi wajib hukumnya, sebagaimana yang telah diwajibkan dalam perkara akad mu’amalah.
Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan individu yang lain atau dalam hal mu’amalah, Islam pada ayat
Al-Baqarah di atas tersebut memerintahkan kepada para pemeluknya untuk
mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kelupaan tentang sesuatu dengan jalan
mencatatkan.
Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti saat ini menuntut
untuk adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain dalam masalah
pencatatan perkawinan. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian,
34
mengingat jumlah manusia ssudah sangat banyak dan permasalahhan hidup
pun semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan
pasangannya mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama
bila terjadi sengketa mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan
kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya
hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari
tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami istri.26
Perkembangan zaman dan dinamika yang terus berubah, terjadi banyak
sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan menjadi
kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, akta dan surat – surat dijadikan
sebagai bukti autentik dikarenakan saksi hidup tidak bisa lagi diandalkan
karena bisa hilang dengan sebab kematian serta manusia juga dapat
mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti
yang abadi yang disebut dengan akta.27
Pencatatan perkawinan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
pejabat negara terhadap setiap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai
pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan
suatu akad perkawinan atara calon mempelai suami dan istri.28 Perkawinan
yang secara normatif harus dicatatkan itu adalah sudah merupakan
26
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 30.
27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 120.
28
35
”Kesepakatan nasional” yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum
untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian dan perlindungan
hukum.
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pejabat negara yang diangkat
sebagai Petugas Pencatat Nikah yang diberikan mandat oleh negara untuk
mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya, yang diatur
pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo. Peraturan
Menteri Agama No. 11 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 tahun 1975.
Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga dimaksudkan dalam UU No. 32
tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
K. Wantjik Saleh berpendapat tentang perbuatan pencatatan, bahwa “
tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa
perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata – mata hanya bersifat
administratif. Sehingga sahnya perkawinan bukan ditentukan dengan
pencatatan tetapi pencatatan sebagai syarat administratif. Sedangkan sahnya
perkawinan, undang - undang perkawinan dengan tegas menyatakan pada
pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing –masing agama dan kepercayaannya”.29
Yang dimaksud dengan hukum masing – masing agama dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang – undangan yang berlaku
29
36
bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak tidak ditentukan lain dalam undang – undang ini.30
Pada pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa
untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
Pasal 6 ayat 2 juga menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.31
Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh mempelai
sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti autentik tentang
keabsahan pernikahan itu baik secara hukum agama maupun negara. Dengan
bukti autentik tersebut, maka akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan
itu mendapat jaminan hukum oleh negara karena mereka dapat membuktikan
pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh
hak – haknya sebagai ahli waris dan lain sebagainya.32
Dengan memperhatikan tata cara dan ketentuan perkawinan menurut
hukum agamanya masing – masing, maka perkawinan haruslah dilaksanakan
dihadapan pegawai pencatat nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat
setelah perkawinan dilaksanakan, kedua mempelai menanda tangani akta
perkawinan yang telah dipersiapkan oleh pegawai pencatat nikah. Dengan
selesainya penanda tanganan tersebut, perkawinan telah dicatat dengan resmi
30
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, (Serang: Saudara Serang, 1995), h. 27.
31
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), h. 15.
32
37
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian kedua mempelai diberikan
kutipan akta nikah sebagai bukti autentik bahwa benar mereka melakukan
perkawinan dengan resmi dan sah.33
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang penting, sebagaimana
peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain. Untuk membuktikan adanya
perkawinan yang sah tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya
peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan