PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN ORGANISASI TERHADAP KINERJA PETUGAS P2P DALAM PROGRAM DBD
DI DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2009
TESIS
Oleh:
ANDA SYAHPUTRA 0570112004/AKK
SEKOLAH PASCA SARJANA
ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Pada tahun 2006 terjadi kejadian luar biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 4,72%. Di Kota Lhokseumawe terdapat 250 kasus dengan CFR 2.4 % dan tahun
2007 terdapat 251 kasus dengan CFR 1,6 %. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah
penderita sebanyak 500 kasus dengan CFR 0,6 %.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu
(pendidikan, pelatihan dan masa kerja) dan karateristik organisasi (sumber daya,
kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja P2P program DBD di Kota Lhokseumawe
tahun 2009. Jenis penelitian studi deskriptif analitik dengan disain cross sectional.
Populasi adalah seluruh petugas P2P Program DBD dengan sampel seluruh populasi
sebanyak 31 orang. Analisis data menggunakan uji regresi berganda pada = 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel karakteristik
individu (pendidikan dan pelatihan) serta karakteristik organisasi (kepemimpinan dan
imbalan) berpengaruh terhadap kinerja petugas P2P program DBD di Kota
Lhokseumawe (p < 0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 36,2 %. Variabel imbalan paling dominan memiliki pengaruh terhadap kinerja petugas P2P
program DBD di Kota Lhokseumawe dengan koefisien β = 0,559.
Disarankan kepada kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe supaya
melalui bimbingan teknis dan pelatihan serta melakukan evaluasi penilaian kinerja
petugas puskesmas. Pada pemerintah Kota Lhokseumawe perlu kebijakan penyetaraan
pemberian insentif atau kesejahteraan kepada petugas P2P DBD.
Kata kunci : Karakteristik, Kinerja, DBD
ABSTRACT
In 2006, an outbreaks of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) occured in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) with Case Fatality Rate (CFR) of 4.72%. In the City of Lhokseumawe itself, there were 250 cases of DHF with CFR of 2.5%. In 2007 there were 251 cases with CFR of 1.6% and in 2008, the cases increased to 500 with CFR of 0.6%.
The purpose of this survey with cross‐sectional design was to analyze the influence of individuals’s characterictics (education, training, and length of service) and characteristics of organization (resources, leadership, and reward) on the performance of health centre staff which managed DHF program in the City of Lhokseumawe in 2009. The population of this study were 31 health centre staff which managed DHF program and all of them were selected to be samples for this study. The data obtained were analyzed through multiple regression test at α = 0.05
The result of the study showed that statistically the variables of individual’s characteristics (education and training) and the variables of characteristics of organization (leadership and reward) had an influence on the performance of health centre staff which managed DHF program in the City of Lhokseumawe (p > 0.05). The reward was the most dominant variable which had influence on the performance of health centre staff with β = 0.486
health program planning of the DHF program, to recommend a training and evaluate the performance of the health centre. The government of Lhokseumawe needs to make a policy to equalize the insentive or welfare provision for health centre staff which managed DHF program.
Key words : Characteristic, Performance, DHF
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat serta
karuniaNYa sehingga dengan izinnya maka penulis dapat menyelesaikanTesis ini
dengan judul “ Pengaruh Karakteristik Individu dan Organisasi Terhadap Kinerja Petugas P2P Dalam Program DBD Di Dinas Kesehatan kota Lhokseumawe Tahun 2009 “.
Tesis ini sudah tentu banyak pihak yang telah ikut memberikan bantuan, baik
secara langsung maupun tidak langsung, untuk semua itu penulis menyampaikan
terima kasih kepada :
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang
dijabat oleh dr. Ria Masniari Lubis, MSi atas kesempatan menjadi mahasiswa
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Drs. Surya Utama,
MS dan Sekretaris Progam Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ida Yustina, MSi yang telah
membimbing kami dan memberikan masukan serta saran dalam penyelesaian tesis
ini.
Secara khusus kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. Drs. Kintoko Rochadi, MKM dan Ir. Zuraidah Nasution, M. Kes sebagai
memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal
hingga penulisan tesis selesai.
Kepala Dinas Kesehatan Lhokseumawe Saifuddin Saleh, SH yang telah
memberikan izin untuk pelaksanaan penelitian ini.
Seluruh para dosen pengajar dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat minat studi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan.
Teristimewa buat istri tersayang Sri Nova Indria yang penuh pengertian,
kesabaran, pengorbanan dan doa serta rasa cinta yang dalam setia menunggu,
memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini
serta seorang putri tersayang Kheyza Andaresta.
Seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, 19 September 2009
RIWAYAT HIDUP
Anda Syahputra lahir pada tanggal 25 Desember 1978 di Cunda, anak
pertama dengan jumlah 5 (lima) bersaudara dari pasangan Ayahanda M. Nurdin,
SKM, MM dan Ibunda Hj. Nuraina Lubis. Tempat tinggal di Jln. Stasion No. 39 Keude
Cunda. Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah
Dasar Negeri 1 Cunda selesai tahun 1991, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Cunda selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Lhokseumawe selesai
Tahun 1997, Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara selesai
Tahun 2000, Universita Syiah Kuala Fakultas Kedokteran Program studi Ilmu
Keperawatan Banda Aceh Tahun 2002 selesai Tahun 2005.
Penulis menikah pada 26 Juni 2008 dengan Sri Nova Indria dan telah
dikaruniai seorang putri Kheyza Andaresta.
Bekerja sebagai Paramedis di Rumkit Kesrem 01.07.01 Tingkat 4 Kota
Lhokseumawe dari tahun 2000 sampai tahun 2002, Honorer di Puskesmas
Monggeudong dari tahun 2001 sampai tahun 2002. Pegawai Negeri Sipil di Akademi
Kesehatan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara tahun 2006 sampai sekarang.
Tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di S‐2 Program Studi S2
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Hipotesis ... 6
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
2.1. Demam Berdarah Dengue ... 8
2.2. Program Pencegahan Penyakit DBD ... 9
2.3. Organisasi ... 11
2.4. Kinerja ... 12
2.4.1. Hub Kinerja Terhadap Karakteristik Individu... 13
2.4.2. Hub Kinerja Terhadap Karakteristik Organisasi... 15
2.5. Metode Penilaian Kinerja ... 18
2.6. Manfaat Penilaian Kinerja ... 29
2.7 Tupoksi Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit ... 31
2.8 Kerangka Konsep ... 34
BAB 3... METODE PENELITIAN ... 36
3.1. Jenis Penelitian ... 36
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36
3.2.1. Lokasi Penelitian... 36
3.2.2. Waktu Penelitian ... 36
3.3. Populasi dan Sampel ... 37
3.3.1. Populasi ... 37
3.3.2. Sampel ... 37
3.4.1.Data Primer ... 37
3.4.2. Data Sekunder ... 39
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 39
3.5.1. Variabel Penelitian ... 39
3.5.2. Definisi Operasional ... 39
3.6. Metode Pengukuran ... 41
3.7. Metode Analisis Data ... 42
3.7.1. Analisis Univariat ... 42
3.7.2. Analisis Bivariat ... 42
3.7.3. Analisis Multivariat ... 43
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... . 44
4.1 Gambaran umum lokasi Penelitian ... ... 44
4.2... Analisis Univariat ... 45
4.2.1. Karakteristik Individu ... ... 45
4.2.2. Karakteristik Organisasi ... 48
4.2.3. Kinerja petugas P2P Program DBD ... ... 53
4.3 Analisis Bivariat ... 55
4.3.2. Hubungan Karakterisitk Organisasi Dengan Kinerja Petugas
P2P DBD... 57
4.4. Analisis Multivariat... 58
BAB 5. PEMBAHASAN ... 60
5.1. Kinerja Petugas P2P DBD... 60
5.2. Pengaruh Karakteristik individu Terhadap Inerja Petugas P2P DBD ... 60
5.2.1. Pengaruh Pendidikan Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD ... 60
5.2.2. Pengaruh Masa Kerja Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD ... 62
5.2.3. Pengaruh Pelatihan Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD ... 63
5.3. Pengaruh Karakterisitk Organisasi Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD... 65
5.3.1. Pengaruh Sumber Daya Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD... 65
5.3.2. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD... 66
5.3.3. Pengaruh Imbalan Terhadap Kinerja Petugas P2P DBD ... 69
5.4. Kinerja Petugas P2P DBD... 72
5.5 Keterbatasan Penelitian ... 76
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
6.1. Kesimpulan ... 77
6.2. Saran... 78
DAFTAR PUSTAKA KUESIONER PENELITIAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen... 41
3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen... 42
4.1. Distribusi Frekuensi Reaponden Menurut Pendidikan Responden
45
4.2. Distrbusi Frekuensi Responden Menurut Masa Kerja Responden 46
4.3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Indikator Pelatihan... 46
4.4. Distribusi Frekuensi responden Menurut Pelatihan ...
47
4.5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Indikator Sumber Daya 48
4.6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut variabel Sumber Daya 49
4.7. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Indikator Kepemimpinan 50
4.8. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Variabel Kepemimpinan 51
4.9. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Indikator Imbalan ... 51
4.10. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Variabel Imbalan ...
52
4.11. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Indikator Kinerja
Petugas P2P Program DBD... 53
4.14. Hubungan Karakteristik Organisasi Dengan Kinerja Petugas P2P DBD 58 4.15. Hasil Uji linier berganda... 59
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuisioner penelitian ... 81
2. Hasil Uji Reliabilitas ……….. 86
3. Tabel Frekuensi ……….. 92
4. Hasil Uji Chi‐Square ... 100
5. Hasil Uji Regresi Logistik ... 106
ABSTRAK
Pada tahun 2006 terjadi kejadian luar biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 4,72%. Di Kota Lhokseumawe terdapat 250 kasus dengan CFR 2.4 % dan tahun
2007 terdapat 251 kasus dengan CFR 1,6 %. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah
penderita sebanyak 500 kasus dengan CFR 0,6 %.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu
(pendidikan, pelatihan dan masa kerja) dan karateristik organisasi (sumber daya,
kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja P2P program DBD di Kota Lhokseumawe
tahun 2009. Jenis penelitian studi deskriptif analitik dengan disain cross sectional.
Populasi adalah seluruh petugas P2P Program DBD dengan sampel seluruh populasi
sebanyak 31 orang. Analisis data menggunakan uji regresi berganda pada = 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel karakteristik
individu (pendidikan dan pelatihan) serta karakteristik organisasi (kepemimpinan dan
imbalan) berpengaruh terhadap kinerja petugas P2P program DBD di Kota
Lhokseumawe (p < 0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 36,2 %. Variabel imbalan paling dominan memiliki pengaruh terhadap kinerja petugas P2P
program DBD di Kota Lhokseumawe dengan koefisien β = 0,559.
Disarankan kepada kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe supaya
melalui bimbingan teknis dan pelatihan serta melakukan evaluasi penilaian kinerja
petugas puskesmas. Pada pemerintah Kota Lhokseumawe perlu kebijakan penyetaraan
pemberian insentif atau kesejahteraan kepada petugas P2P DBD.
Kata kunci : Karakteristik, Kinerja, DBD
ABSTRACT
In 2006, an outbreaks of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) occured in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) with Case Fatality Rate (CFR) of 4.72%. In the City of Lhokseumawe itself, there were 250 cases of DHF with CFR of 2.5%. In 2007 there were 251 cases with CFR of 1.6% and in 2008, the cases increased to 500 with CFR of 0.6%.
The purpose of this survey with cross‐sectional design was to analyze the influence of individuals’s characterictics (education, training, and length of service) and characteristics of organization (resources, leadership, and reward) on the performance of health centre staff which managed DHF program in the City of Lhokseumawe in 2009. The population of this study were 31 health centre staff which managed DHF program and all of them were selected to be samples for this study. The data obtained were analyzed through multiple regression test at α = 0.05
The result of the study showed that statistically the variables of individual’s characteristics (education and training) and the variables of characteristics of organization (leadership and reward) had an influence on the performance of health centre staff which managed DHF program in the City of Lhokseumawe (p > 0.05). The reward was the most dominant variable which had influence on the performance of health centre staff with β = 0.486
health program planning of the DHF program, to recommend a training and evaluate the performance of the health centre. The government of Lhokseumawe needs to make a policy to equalize the insentive or welfare provision for health centre staff which managed DHF program.
Key words : Characteristic, Performance, DHF
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional adalah
masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam
lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata dalam wilayah kesatuan Negara RI yang kuat. Gambaran masyarakat di masa
depan tersebut dapat dicapai dengan landasan visi, “Masyarakat yang Mandiri untuk
Hidup Sehat” dalam mencapai INDONESIA SEHAT 2010. Perilaku masyarakat
Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah bersifat proaktif untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mecegah risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman
penyakit, berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat, serta mampu
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu (Depkes, 2004).
Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut dilakukan
upaya-upaya kesehatan. Salah satu upaya-upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan yang optimal adalah program pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini masih
menjadi program pemerintah, di antaranya adalah program pemberantasan penyakit
Bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit DBD, menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD (Depkes RI, 2003).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular
yang disebabkan oleh virus dengue ditularkan dari seseorang kepada orang lain melalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti. DBD telah muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat internasional pada abad 21, menurut WHO (2000) antara tahun 1975‐1995 terdeteksi di
102 negara dari lima wilayah WHO, yaitu 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7
negara di Asia Tenggara, 4 negara di Timur Tengah dan 29 negara di Pasifik Barat
(Depkes RI, 2003).
Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Manila (Philipina) pada tahun 1953
dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Menurut Perkiraan Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control and Prevention), Amerika Serikat setiap tahun di seluruh dunia terjadi 50 juta – 100 juta kasus DBD (Depkes RI, 2000).
Kasus DBD di Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. DBD
pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 tetapi konfirmasi virologis baru
diperoleh pada tahun 1972. Sejak itu penyakit DBD menyebar ke berbagai daerah di
seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat. Baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan
secara sporadik selalu terjadi KLB.
KLB terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Insidens Rate (IR) 35,19 per
meningkat. Pada tahun 2000 IR 15,99 per 100.000 penduduk, tahun 2001 IR 21,66 per
100.000 penduduk, tahun 2002 IR 19,24 per 100.000 penduduk, tahun 2003 IR 23,87 per
100.000 penduduk.
Dalam periode Januari ‐ April 2004, tejadi letusan KLB di 188 kabupaten/kota
dari 12 propinsi dengan jumlah kasus 53.719 kasus dan 590 orang meninggal dengan
CFR 1,1%.
Adapun 12 provinsi yang terjadi letusan KLB adalah Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, NTB dan NTT (Depkes RI, 2004).
Pada tahun 2006 terjadi kejadian luar biasa (KLB) di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dengan CFR sebesar 4,72%. Khususnya di Kota Lhokseumawe
terdapat 250 kasus dengan CFR 2,4% sedangkan tahun 2007 terdapat 251 kasus dengan
CFR 1,6%, di tahun 2008 terdapat peningkatan jumlah kasus 500 dengan CFR 0,6%
(Profil Kesehatan Kota Lhokseumawe, 2008).
Target pelayanan akan dicapai menuju paradigma Indonesia Sehat 2010
melalui program pencegahan dan pemberantasan penyakit (P2P) salah satunya adalah
pencegahan dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan
sasaran sebesar 80% baik di rumah sakit maupun di puskesmas.
Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan
upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta
terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat menggunakan hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat
menitikberatkan pada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat
kesehatan yang optimal tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan
(Depkes, RI 2004).
Salah satu fungsi puskesmas adalah memberikan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan
yang diberikan puskesmas meliputi pelayanan pengobatan, upaya pencegahan,
peningkatan kesehatan dan pemulihan kesehatan (Depkes RI, 2004).
Fenomena menunjukkan beberapa permasalahan yang terjadi dalam
pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD di puskesmas. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sukmayeni (2008) di Propinsi Sumatera Barat khususnya di Kota Padang
memperlihatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian DBD cukup tingggi serta
adanya ledakan kasus DBD (KLB) pada tahun 2004. Angka Incidence Rate (IR) dan Case
Fatality Rate (CFR) penyakit DBD dalam tiga tahun terakhir ini terus meningkat yaitu IR 81,74 % dan CFR 1,57 % pertahun.
Berdasarkan penelitian Sukmayeni (2008) menunjukkan bahwa pengetahuan
tentang pelaksanaan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dari petugas kesehatan masih
kurang dan masih banyak petugas yang belum mengikuti pelatihan pemberantasan
penyakit Demam Berdarah Dengue. Motivasi petugas juga masih rendah dalam
pelaksanaan Pemantauan Jentik Berkala. Dalam pengelolaan program PJB puskesmas di
Kota Padang, belum dilaksanakan perencanaan dengan baik, koordinasi yang lemah dan
belum lengkapnya pencatatan dan pelaporan.
Berdasarkan hasil observasi sementara diketahui bahwa pelaksanaan
penyuluhan dan pemantauan jentik berkala yang kurang pada masyarakat dikarenakan
sumber daya petugas pelaksana memiliki basic pendidikan yang bukan berasal dari
kesehatan lingkungan melainkan dari perawat, bidan dan lainnya sehingga pelaksanaan
dan penyampaian informasi kurang maksimal. kebanyakan petugas berjenis kelamin
perempuan sehingga jarang untuk turun kelapangan dikarenakan jarak tempuh yang
jauh ke lokasi wilayah endemis DBD, serta pelaksanaan foging yang tidak tepat sasaran.
Ketidak hadiran dan kurangnya keaktifan petugas P2P program DBD untuk turun
kelapangan dalam melaksanakan kegiatan PSN, sehingga kegiatan PSN menjadi tidak
berkesinambungan. Dari uraian diatas terlihat bahwa salah satu masalah dalam upaya
penanggulangan DBD adalah lemahnya kinerja petugas kesehatan, khususnya petugas
P2P program DBD. Gibson (1989) berpendapat bahwa faktor‐faktor yang mempengaruhi
kinerja antara lain: karakteristik individu dan karakteristik organisasi.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui
hubungan karakteristik individu dan karakteristik organisasi terhadap kinerja staff
pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe.
1.2. Permasalahan
Kejadian DBD masih tinggi di Kota Lhokseumawe bahkan sampai terjadi KLB,
masalah ini sudah ditanggulangi namun setiap tahun masih saja terjadi peningkatan
kasus DBD maka di asumsikan bahwa karakteristik individu dan organisasi dalam
pencegahan serta penanggulangan penyakit DBD belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Permasalahan penelitian adalah: bagaimana hubungan karakteristik individu
kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja staff pengelola P2P program DBD di Kota
Lhokseumawe tahun 2009.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu (pendidikan, pelatihan dan
masa kerja) dan karakteristik organisasi (sumber daya, kepemimpinan dan imbalan)
terhadap kinerja staff pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe tahun 2009.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh individu (pendidikan, pelatihan dan masa kerja) dan
karakteristik organisasi (sumber daya, kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja
staff pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe tahun 2009.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe khususnya
bagian P2P&L dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan pencegahan dan
penanggulangan penyakit DBD di unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas.
2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga P2P program DBD di puskesmas dalam
melakukan peningkatan mutu pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.
3. Sebagai sarana perbandingan bagi peneliti dalam mengembangkan pengetahuan
tentang kebijakan dalam meningkatkan mutu pencegahan dan penanggulangan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi
mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2‐7 hari,
manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis,
perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji
tourniquet (Rumple Leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/ l, hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati
(hepatomegali).
DBD salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, maka
sesuai dengan undang‐undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta
peraturan menteri kesehatan No. 560 tahun 1989 bahwa setiap penderita termasuk
tersangka DBD harus segera dilaporkan selambat‐lambatnya dalam waktu 24 jam oleh
unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter
praktek dan lain‐lain). Untuk membatasi penularan penyakit yang cenderung meluas,
mencegah kejadian luar biasa (KLB) serta menekan angka kesakitan dan kematian maka
pemerintah juga melaksanakan pemberantasan vektor dengan menggunakan insektisida
(fogging fokus) di desa/kelurahan yang ditemukan adanya penderita (Depkes RI, 2005).
Diperkirakan bahwa terdapat sekurang‐kurangnya seratus juta kasus Demam
inap di rumah sakit. Angka kematian yang disebabkan oleh DBD rata‐rata sekitar 5%
dengan catatan kematian sejumlah 25.000 terjadi tiap tahunnya (Depkes RI, 2003).
2.2. Program Pencegahan Penyakit DBD
Setiap puskesmas dengan penuh tanggung jawab harus melaksanakan
pencatatan pelaporan sesuai dengan system yang berlaku dengan bimbingan petugas
tingkat kabupaten, melaksanakan tindakan sesuai dengan arahan yang diberikan dalam
alternative tindakan berdasarkan hasil pemantauan. (Depkes RI, 1998)
Berdasarkan uraian tugas jabatan struktural bidang pencegahan dan
pemberantasan penyakit yaitu memimpin seksi pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular dalam pelaksanaan kegiatan teknis dan administrasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk mendukung melancarkan tugas pokok bidang
pencegahan dan pemberantasan penyakit meliputi : membuat rencana kerja
berdasarkan peraturan perundang‐undangan untuk pedoman pelaksanaan kegiatan,
membuat laporan pelaksanaan tugas secara tertulis kepada atasan sebagai bahan untuk
penyusunan program selanjutnya (DKK NAD, 2008).
Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah laporan segera
(paling lambat dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan diagnosis) tentang
adanya penderita termasuk tersangka DBD agar segera dapat dilakukan tindakan atau
langkah-langkah penanggulangan seperlunya.
Alur pelaporan Demam Berdarah Dengue yaitu : (Depkes RI, 2005).
a. Pelaporan Rutin
2. Pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan
Propinsi.
4. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit Arbovirus,
Ditjen P2M&PL).
b. Pelaporan dalam Situasi Kejadian Luar Biasa
1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
2. Pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan
Propinsi.
4. Pelaporan dari dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit Arbovirus,
Ditjen P2M&PL).
c. Umpan Balik
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan
memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan
serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing-masing tingkat
administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan minimal dua kali dalam setahun.
Penilaian kinerja program pencegahan penyakit DBD
indikator kinerja :
1)Jumlah penderita DBD yang ditangani sesuai standar ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ X 100%
2)Jumlah tersangka DBD yang ditangani sesuai kriteria ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ X 100%
Jumlah tersangka DBD dalam kurun waktu yang sama
2.3. Organisasi
Menurut Malayu (2005) organisasi adalah suatu system perserikatan formal,
berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok orang yang bekerjasama dalam
mencapai tujuan tertentu. Organisasi hanya merupakan alat dan wadah saja.
Menurut March & Siman dalam Malayu (2005) organisasi adalah system yang
kompleks yang terdiri dari unsur psikologis, sosiologis, teknologis dan ekonomi yang
dalam dirinya sendiri membutuhkan penyelidikan yang insentif. Organisasi terdiri dari :
a. Pengaturan yang berorientasi sasaran, orang-orang dengan tujuannya.
b. Orang-orang berinteraksi dalam kelompok.
c. Orang dengan menggunakan pengetahuan dan teknik.
d. Interaksi kegiatan yang terstruktur serta orang-orang bekerja sama dalam
hubungan-hubungan yang berpola (struktur system)
2.4. Kinerja
Menurut Payaman (2005) kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas
Berdasarkan pendapat Sedarmayanti (2004) kinerja adalah hasil kerja
seseorang yang dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat diukur,
tercapainya tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena upaya pelaku yang terdapat
pada organisasi tersebut.
Menurut Ilyas (2001) kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik
kualitas maupun kuantitas dalam suatu organisasi. Dalam organisasi pelayanan
kesehatan, sangatlah penting untuk memiliki instrumen penilaian kinerja yang efektif
bagi tenaga kerja profesional. Proses evaluasi kinerja bagi profesional menjadi bagian
terpenting dalam upaya manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi yang efektif.
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja personel maka
perlu dilakukan pengkajian terhadap beberapa teori kinerja. Secara teoritis ada 3 (tiga)
kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu variabel
individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut
mempengaruhi perilaku kinerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel.
Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas‐tugas
pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.
2.4.1. Hubungan Kinerja Terhadap Karakteristik Individu
Menurut Rivai (2003) perilaku individu adalah sebagai suatu fungsi dari
interaksi antara individu dengan lingkungannya. Individu membawa tatanan dalam
organisasi berupa kemampuan, kepercayaan, pribadi, penghargaan, kebutuhan dan
Sementara itu, karakteristik individu akan di bawa memasuki suatu lingkungan
baru yaitu organisasi atau lainnya. Organisasi juga mempunyai karakteristik dan
merupakan suatu lingkungan bagi individu. Selanjutnya karakteristik individu
berinteraksi dengan karakteristik organisasi yang akan mewujudkan perilaku individu
dalam organisasi.
Menurut Payaman (2005) kompensasi individu adalah kemampuan dan
keterampilan melakukan kerja yang dipengaruhi oleh pendidikan, akumulasi pelatihan
dan pengalaman kerja.
a. Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari investasi sumber daya manusia (Human
Investment). Semakin lama waktu yang digunakan seseorang untuk pendidikan
semakin tinggi kemampuan atau kompetensinya melakukan pekerjaan dan dengan
demikian semakin tinggi kinerjanya.
Sedangkan menurut Sedarmayanti (2004) pendidikan merupakan upaya
untuk menambah pengetahuan dan keterampilan bekerja sehingga dengan demikian
dapat meningkatkan produktivitas kerja dan tercermin dalam imbalan yang diterima.
b. Pelatihan
Pelatihan adalah salah satu bentuk peningkaan produktivitas kerja yang
dapat dilakukan di dalam maupun di luar instansi. Pelatihan yang dilakukan di luar
instansi umumnya bersifat khusus, lokakarya atau pendidikan formal dengan maksud
Peningkatan secara horizontal berarti memperluas aspek atau jenis pekerjaan
yang diketahui. Sedangkan peningkatan secara vertikal berarti memperdalam
pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu.
Menurut Umar (2002) program pelatihan ditujukan untuk memperbaiki
penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu untuk
kebutuhan sekarang, sedangkan pengembangan bertujuan untuk menyiapkan
pegawainya untuk memangku jabatan tertentu dimasa yang akan datang.
Pengembangan bersifat lebih luas karena menyangkut banyak aspek seperti
peningkatan dalam keilmuan, pengetahuan, kemampuan, sikap dan kepribadian.
Program pelatihan dan pengembangan bertujuan antara lain untuk menutupi gap
antara kecakapan pegawai dan peminatan jabatan. Selain untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas kerja pegawai dalam mencapai sasaran kerja.
c. Masa Kerja
Menurut Rivai (2003) masa kerja yang lebih lama menunjukkan pengalaman
yang lebih dari seseorang dibandingkan dengan rekan kerjanya yang lain
Pengalaman kerja pada awal melaksanakan tugas tidak banyak memerlukan
bimbingan tetapi bila sifat kepribadiannya buruk atau intelegensinya rendah maka
semakin lama akan semakin kurang berhasil guna dan berdaya guna dalam bekerja
(Sedarmayanti, 2004).
Menurut Payaman (2005) pengalaman kerja dapat memperdalam dan
memperluas kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang
sama, semakin terampil dan semakin cepat menyelesaikan pekerjaan tersebut
2.4.2. Hubungan Kinerja Terhadap Karakteristik Organisasi
Menurut Timple dalam Mangkunegara (2006) faktor‐faktor kinerja terdiri dari
faktor individu dengan faktor lingkungan kerja organisasi. Faktor lingkungan kerja
organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor
organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai,
target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja yang efektif, hubungan kerja yang
harmonis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang memadai merupakan pemicu
(pemotivator) bagi dirinya dalam berprestasi di organisasinya.
Menurut Gibson (1989) variabel organisasi berefek tidak langsung terhadap
perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub variabel
sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
Sedangkan menurut Kopelman dalam Ilyas (2001) mengemukakan bahwa sub
variabel imbalan akan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada
akhirnya secara langsung akan meningkatkan kinerja individu.
a. Sumber Daya
Menurut Rosidah, dkk (2003) organisasi dipengaruhi oleh sumber daya yang
terdiri dari sumber daya manusia dan sumber daya non manusia atau disebut jasa
dengan sumber daya alam (natural resource) seperti modal, mesin, teknologi,
material dan lain-lain. Kedua kategori sumber daya tersebut sama-sama penting, akan
tetapi sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor dominan karena memilki akal,
adalah satu-satunya sumber daya yang sangat menentukan organisasi dalam
melakukan aktivitas untuk mencapai tujuan.
Sedangkan kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) adalah prestasi kerja atau
hasil kerja (out put) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan
periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengna tanggung jawab
yang diberikan kepadanya.
Menurut Ilyas (2001) untuk menilai kualitas kerja SDM maka perlu
dilakukan penilaian kerja dengan cara membandingkan hasil karya yang dilakukan
personel dengan standar prestasi kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Bila dari
hasil penilaian ini ternyata personel yang bersangkutan masih jauh atau belum dapat
mencapai tolak ukur yang ditetapkan, maka salah satu penyebabnya adalah belum
sepenuhnya personel tersebut melaksanakan disiplin kerja, menunda-nunda pekerjaan
sehingga target penyelesaian pekerjaan tidak pernah tercapai.
b. Kepemimpinan dalam Organisasi
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang
yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku
orang lain, terutama bawahannya untuk berfikir dan bertindak sedemikian rupa
sehingga melalui perilaku yang positif akan memberikan manfaat dalam pencapaian
tujuan organisasi.
Menurut Rivai (2003) kepemimpinan seseorang sangat besar peranannya
tanggung jawab terhadap hasilnya adalah salah satu tugas seorang pimpinan.
Pengambilan keputuasan dalam tinjauan perilaku dapat mencerminkan karakter bagi
seorang pemimpin. Pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi
dengan memperoleh informasi seakurat mungkin, sehingga permasalahan dapat
dituntaskan.
c. Imbalan.
Pemberian imbalan atau kompensasi merupakan masalah yang sangat
penting karena mengingat setiap pekerja dalam organisasi mempunyai pengharapan
atas sesuatu dari organisasi sebagai penghargaan atas jerih payahnya selama bekerja.
Menurut Basyah,dkk (2006) kompensasi selain berbentuk upah (gaji) dapat
juga berupa fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan atau bentuk lain yang dapat di
nilai dengan uang.
Masalah pengelolaan kompensasi bukan hanya penting karena merupakan
dorongan utama seseorang untuk menjadi karyawan, tetapi juga karena kompensasi
yang diberikan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap semangat dan
kegairahan kerja para personil organisasi.
Menurut Ilyas (2001) pemberian kompensasi dapat diperoleh dari penilaian
kinerja sehingga dapat menentukan peringkat pemberian kompensasi untuk personel
yang bersangkutan apakah tinggi, rendah atau rata-rata saja. Tingkat kompensasi
yang dibayarkan dapat didasarkan pada status kemampuan dan tanggung jawab
personel yang bersangkutan.
Menurut Ilyas (2001) penilaian kinerja dapat dibedakan atas beberapa metode meliputi
:
a. Penilaian Teknik Essai Menyeluruh
Pada metode ini penilai menuliskan deskripsi tentang kelebihan dan
kekurangan seseorang personel yang meliputi prestasi, kerjasama dan pengetahuan
personel tentang pekerjaannya.
Dalam penilaian secara menyeluruh atas hasil kerja bawahan keuntungan
cara ini adalah dapat dilakukannya analisis secara mendalam, tetapi teknik ini
memakan waktu banyak dan sangat tergantung kepada penilai.
b. Metode Penggunaan Daftar Periksa
Dalam melakukan penilaian kerja seorang personel, kita dapat menggunakan
daftar periksa (checklist) yang telah disediakan sebelumnya. Daftar ini berisi
komponen yang dikerjakan seorang personel yang dapat diberi bobot ya atau tidak,
selesai atau belum atau dengan bobot persentase penyelesaian pekerjaan yang
bersangkutan. Biasanya komponen tingkah laku dalam pekerjaan yang dinilai disusun
dalam pertanyaan singkat.
c. Metode Penilaian Komparasi
Penialaian yang didasarkan perbandingan ini dilakukan dengan cara
membandingkan hasil pelaksanaan pekerjaan seorang personel dengan personel lain
yang melakukan pekerjaan sejenis. Penggunaan metode ini dianggap cukup sederhana
dan tidak memerlukan analisis yang sulit. Dengan membandingkan hasil pelaksanaan
pekerjaan seperti ini akan mudah menentukan personel mana yang terbaik prestasinya
kriteria pemberian tingkat kompensasi, pemberian tanggung jawab yang lebih tinggi
dan sebagainya.
d. Metode Penilaian Langsung
Melakukan penilaian kinerja tidak hanya dapat dilakukan di atas kertas
berdasarkan catatan atau laporan yang ada. Tetapi dapat pula melihat langsung
pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Petugas yang melakukan penilaian ke lapangan ini adalah orang yang
mengetahui apa yang harus dilihat dan dinilai. Kemudian hasil penilaian disampaikan
kepada pejabat yang berwenang. Sewaktu melakukan penilaian di lapangan si penilai
dapat saja langsung memberitahukan kepada personel yang dinilai kekurangan atau
kelemahan yang dilakukan yang bersangkutan dalam melakukan pekerjaan.
Menurut Rivai (2005) metode penilaian kinerja adalah sebagai berikut:
A. Metode Penilaian Subjektif
Penilaian kinerja subjektif dapat dilakukan dengan bermacam‐macam metode atau
teknik. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam sistem penilaian kinerja subjektif
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Alphabetical/Numerial rating
Dalam metode ini, penilai diminta untuk merating/memberi peringkat
karyawan‐karyawan dengan menggunakan angka yang mempunyai bobot yang berbeda.
Faktor yang dinilai antara lain:
a. Kualitas dan kuantitas pekerjaan
b. Pengetahuan tentang pekerjaan
Skala peringkat misalnya dengan menggunakan angka 1 sampai 5, atau A sampai E
yang menunjukan perbedaan antara kinerja yang lebih baik dan yang lebih buruk.
Kelebihan dari metode ini adalah mudah dimengerti dan digunakan. Sementara itu,
kekurangannya adalah terkena bias dan terjadinya central tendency.
2. Forced Choice Rating Index
Pada metode ini penilai diminta untuk membuat kata sifat atau ungkapan‐
ungkapan yang dapat memberikan gambaran tentang kinerja karyawan yang dinilai.
Dalam hal ini, penilai hanya memilih salah satu dari dua pernyataan yang dianggap
sesuai atau mendekati kinerja karyawan yang dinilai.
Kelebihan dari metode ini adalah di samping cukup mudah untuk dipahami dan
digunakan, juga dapat mengurangi masalah central tendency yang terlalu lemah atau terlalu tegas. Kelemahan dari metode ini adalah sulit untuk membuat indikator dari
standar kinerja.
3. Personality Trait Rating
Metode ini terdiri dari lima atau enam poin kualitas personal dan karakteristik
kepribadian seperti: keyakinan diri (confidence), antusiasisme (enthusiasm), kedewasaan (maturity), (steadiness under preasure), intiative dan lain‐lain. Penilain diminta untuk memilih salah satu angka yang menggambarkan kepribadian seseorang
tersebut.
4. Ghrapic Rating Scale
Metode ini menggunakan skala grafik yang memberikan gambaran mulai dari
kinerja tertinggi sampai terendah. Penilaian diminta memberikan tanda pada grafik
Metode ini disamping mudah dipahami dan digunakan juga dapat menghindari
penempatan karyawan pada katagori yang spesifik(baik atau bagus). Namun rater bias,
dan central tendency masih mungkin terjadi. Disamping itu, sulit untuk menginterpretasikan skala tersebut.
5. Force Distribution
Metode ini dapat menghindari masalah‐masalah seperti central tendency yang terlalu longgar atau terlalu ketat, namun kinerja kelompok mungkin tidak sesuai dengan
pola normal. Selain itu metode ini sulit diterapkan jika jumlah karyawan yang akan
dinilai terlalu sedikit.
6. Rangking
Metode ini adalah metode yang paling sederhana. Penilaian hanya
mengurutkan karyawan berdasarkan peringkat atau rangking mulai dari yang
mempunyai kinerja yang baik sampai pada kinerja yang paling jelek.
Metode ini selain mudah digunakan juga memaksa penilai untuk membedakan
antara tingkat‐tingkat kinerja karyawan yang berbeda. Akan tetapi kelompok yang ada
mungkin tidak dapat memenuhi distribusi yang diatur, misalnya karyawan yang berada
dibawah atau diatas rata‐ rata.
7. Paired Comparisons
Metode ini, penilai diminta untuk membandingkan seorang karyawan dengan
karyawan lainnya, kemudian dinilai apakah kinerjanya lebih tinggi atau lebih rendah dari
karyawan lain. Dengan menggunakan metode ini, penilai dituntut untuk
Namun demikian metode ini tidak memungkinkan perbandingan yang mudah
antara kelompok‐kelompok pekerja yng berbeda. Disamping itu, metode ini tidak dapat
memberikan umpan balik yang jelas kepada karyawan untuk meningkatkan kinerja
dimasa yang akan datang. Dan kelemahan lain adalah penilai merasa enggan membuat
perbandingan diantara para karyawan.
B. Metode Penilaian Objektif
Penilaian kinerja objektif dapat dilakukan dengan bermacam‐macam metode atau
teknik. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam sistem penilaian kinerja objektif
adalah sebagai berikut:
1. Free Written Report
Free written report disebut juga sebagai metode esai atau metode karangan. Penilai memberikan pendapat tentang kinerja masing‐masing karyawan dalam bentuk
tulisan atau karangan yang menunjukan kriteria yang dianggap sesuai atau cocok
dengan karyawan yang dinilai. Penilai harus memberikan komentar tentang kinerja
masa lalu karyawan dan peningkatan atau target baru untuk masa yang akan datang.
Keuntungan dari metode ini adalah dapat menghasilkan pendapat yang berguna
bagi kinerja saat ini dan potensi dimasa yang akan datang. Namun dengan metode ini
perbandingan antara individu mungkin sulit dihasilkan.
2. Controlled Written Report
Metode ini mirip dengan metode free written report, namun lebih terarah karena adanya heading dalam dokumen penilaian yang mengarahkan komentar penilai.
Metode ini menuntut penilai untuk memikirkan dengan seksama kinerja seorang
3. Critical Incident Technique
Dalam hal ini penilai diminta untuk mencatat kedua sisi kinerja , baik yang
positif maupun yang negatif dari karyawan. Melalui metode ini, penilai dituntut untuk
berpikir secara seksama mengenai kinerja tiap karyawan.
Metode ini membutuhkan pengawasan secara dekat yang kadang berlebihan
dan dapat menimbulkan kebencian karyawan serta pengunduran semangat kerja.
4. Result Oriented Scheme
Metode ini berorientasi pada hasil yang ingin dicapai yang lebih menekankan
kinerja dari pada kepribadian. Dalam melakukan penilaian, terdapat kemungkinan kecil
untuk dipengaruhi oleh sudut pandang subjek dari penilai. Disamping dapat mendorong
diskusiterbuka dalam memformulasikan saran‐saran, juga memberikan umpan balik
terhadap peningkatan kinerja dimasa yang akan datang.
5. Self Appraisal
Metode ini melibatkan karyawan dalam proses penilaian tentang kinerja
masing‐ masing. Metode ini dapat mendorong karyawan untuk memikirkan masalah
pekerjaan dan kinerja sehingga dapat memberikan umpan balik yang positif terhadap
peningkatan dimasa yang akan datang.
6. Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS)
Walaupun belum digunakan secara luas, metode ini memiliki kelebihan yang
mengakarakterisasi skala penilaian konvensional alfabetis/numerik. BARS membutuhkan
formulir penilaian yang secara khusus dirancang bagi tiap kelompok pekerjaan.
C. Metode Penilaian Kinerja Yang Berorientasi Masa Lalu
Metode penilaian kinerja berorientasi masa lalu (past oriented evaluation
methods) dilakukan berdasarkan kinerja masa lalu.
Keuntungan dari metode ini adalah dapat dijadikan umpan balik (feed back) yang dapat mengarahkan usaha untuk peningkatan kinerja.
Dalam praktiknya, sebagaimana diuraikan diatas ada beberapa metode untuk
mengevaluasi kinerja diwaktu yang lalu, dan hampir semua teknik tersebut merupakan
suatu upaya untuk meminimalkan berbagai masalah tertentu yang dijumpai dalam
pendekatan‐pendekatan ini. Dengan mengevaluasi prestasi kerja kinerja di masa lalu,
karyawan dapat memperoleh umpan balik dari upaya –upaya mereka. Umpan balik ini
selanjutnya bisa mengarahkan kepada perbaikan‐perbaikan prestasi. Teknik‐teknik
penilaian ini adalah sebagai berikut:
1. Skala Peringkat (Rating Scale)
Meskipun metode ini sering dianggap sebagai metode yang subjektif, namun
metode ini paling banyak digunakan dalam menilai/mengevaluasi kinerja karyawan.
Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian
pr estasi, dimana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan
dengan hasil kerja karyawan dalam skala‐skala tertentu, mulai dari yang paling rendah
sampai yang paling tinggi.
Penilaian berdasarkan metode ini biasanya menggunakan sejumlah pertanyaan
dengan menggunakan kalimat : Berilah jawaban pertanyaan berikut dengan cara
memberi tanda (√) pada kolom yang tersedia.
Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka ragam
tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu memilih kata atau
pertanyaan yang menggambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan.
Keuntungan dari checklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan standarisasi. Kelemahannya
meliputi kepekaan pada penyimpangan penilai (terutama hello effect) yang lebih mengedepankan kriteria‐kriteria pribadi karyawan dalam menentukan kriteria‐kriteria
hasil kerja, kesalahan menafsirkan meteri‐meteri checklist, Kerugian metode ini tidak memungkinkan penilai untuk memberikan nilai yang berbeda. Sebagai contoh,
karyawan yang dengan senang hati bekerja lembur mendapatkan nilai yang sama
seperti karyaan yang bekerja lembur dengan setengah hati.
3. Metode Dengan Pilihan Terarah (Forced Choice Methode)
Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi
subjektivitas dalam penilaian.
Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan
menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksakan suatu pilihan
antara pernyataan‐pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama.
Metode in imengharuskan penilai untuk memilih pernyataan yang paling sesuai dengan
pasangan pernyataan tentang karyawan yang dinilai.
Metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan yang dibuat
penilai atas perilaku karyawan yang sangat kritis, seperti sangat baik atau sangat jelek
dalam melaksanakan pekerjaan.
Pernyataan‐pernyataan diatas disebut sebagai insiden kritis dan biasanya
dicatat oleh atasan selama masa penilaian untuk setiap karyaan yang amat berguna
dalam memberikan umpan balik karyawan yang bersangkutan. Kejadian yang dicatat
meliputi penjelasan ringkas dari apa yang terjadi.
5. Metode Catatan Prestasi
Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan
penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya
penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan pekerjaan. Informasi ini secara khusus digunakan untuk
menghasilkan detail laporan tahunan tentang kontribusi seorang profesional selama
satu tahun. Selanjutnya, laporan akan digunakan oleh atasan untuk menetukan
kenaikan dan promosi untuk memberikan saran‐saran tentang hasil kerjanya dimasa
yang akan datang. Penafsiran atas materi‐materi mungkin subjektif dan biasanya terjadi
penyimpangan, karena hanya memberikan sesuatu yang baik saja terhadap apapun
yang dilakukan karyawan.
6. Skala Peringkat Dikaitkan Dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale= BARS)
Metode ini merupaka suatu cara penilaian prestasi kerja karyawan untuk satu
kurun waktu tertentu dimasa lalu dengan mengaitkan skala peringkat prestasi kerja
subjektifitas dalam penilaian. Deskripsi prestasi kerja, yang baik maupun yang kurang
memuaskan, dibuat oleh pekerja sendiri, rekan sekerja dan atasan langsung masing‐
masing.
7. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode)
Disini penilai turun kelapangan bersama‐sama dengan ahli dari SDM. Spesialis
SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal prestasi karyawannya, lalu
mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.
Hasil penilaian dikirim ke penyelia dan dibawa kelapangan untuk keperluan
review, perubahan, persetujuan dan pembahasan dengan pihak karyawan yang dinilai.
Telah dimaklumi bahwa penilaian yang seobjektif mungkin dalam mengukur prestasi
kerja karyawan perlu diusahakan. Berarti subjektifitas penilai harus dihilangkan paling
sedikit dikurangi hingga seminimal mungkin.
8. Test Dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation)
Karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan, penilaian prestasi dapat
didasarkan pada test pengetahuan dan keterampilan, berupa test tertulis dan peragaan,
syaratnya test itu harus valid (sahih) dan reliabel (dapat dipercaya).
Untuk jenis‐jenis pekerjaan tertentu penilaian dapat berupa test dan observasi.
Artinya karyawan dinilai, diuji kemampuannya baik melalui ujian tertulis yang
menyangkut berbagai hal seperti, tingkat pengetahuan tentang prosedur dan
mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian taktik yang
langsung diamati oleh penilai.
Metode in mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan
karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Perbandingan demikian
dipandang bermanfaat untuk manajemen sumber daya manusia dengan lebih rasional
dan efektif, khususnya dalam kenaikan gaji, promosi dan pemberian berbagai bentuk
imbalan kepada karyawan.
2.6. Manfaat Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2005) manfaat penilaian kinerja bagi semua pihak adalah agar
mereka mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. Pihak‐paihak yang
berkepentingan adalah : orang yang dinilai (petugas), penilai (pimpinan) dan tempat
bekerja (puskesmas).
a. Manfaat bagi petugas yang dinilai
Bagi petugas yang dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja adalah :
1. Meningkatkan motivasi
2. Meningkatkan kepuasan kerja
3. Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan mereka
4. Umpan balik dari kinerja lalu yang akurat dan konstruktif
5. Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan menjadi lebih besar
6. Pengembangan perencanaan untuk meningkatkan kinerja dengan membangun
kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal mungkin
7. Adanya kesempatan untuk berkomunikasi keatas
8. Kesempatan untuk mendiskusikan masalah pekerjaan dan bagaimana untuk
b. Manfaat bagi penilai (Pimpinan)
Manfaat pelaksanaan penilaian kinerja adalah :
1. Peningkatan kepuasan kerja
2. Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasi kecendrungan kinerja
petugas untuk perbaikan manajemen selanjutnya.
3. Sebagai media untuk mengurangi kesenjangan antara sasaran individu dengan
sasaran kelompok atau sasaran departemen SDM.
4. Bias mengidentifikasikan kesempatan untuk rotasi atau perubahan tugas.
5. Kesempatan untuk menjelaskan tujuan dan prioritas penilai dengan
memberikan pandangan yang lebih baik terhadap bagaimana mereka dapat
memberikan kontribusi yang lebih besar kepada puskesmas.
6. Kesempatan bagi pimpinan untuk menjelaskan kepada petugas apa yang ya
petugas dapat mengukur dirinya, menempatkan dirinya dan berjaya sesuai
dengan harapan dari pimpinan.
c. Manfaaat bagi puskesmas
Manfaat penilaian bagi puskesmas adalah :
1. Meningkatkan kualitas komunikasi.
2. Meningkatkan motivasi petugas secara keseluruhan.
3. Meningkatkan keharmonisan hubungan dalam pencapaian tujuan puskesmas.
4. Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan oleh
5. Mengenali lebih jelas pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan.
6. Petugas yang potensial dan memungkinkan untuk menjadi pemimpin atau
sedikitnya yang dapat dipromosikan, menjadi lebih mudah terlihat, dan
memungkinkan peningkatan tanggung jawab secara kuat.
2.7. Tugas Pokok dan Fungsi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
a. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
1. Membantu kepala Dinas di bidang tugasnya.
2. Menyusun Program kerja di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit.
3. Menyelenggarakan penyusunan pedoman teknis bidang Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit.
4. Menyelenggarakan upaya pencegahan penyakit/imunisasi.
5. Menyelenggarakan upaya pemberantasan vektor dan Pemberantasan Penyakit
yang Bersumber Binatang.
6. Menyelenggarakan upaya pengamatan Penyakit dan Pemberantasan Penyakit
Menular Langsung.
7. Menyelenggarakan monitoring dan evaluasi program Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit.
8. Menginventaris dan menganalisa permasalahan bidang Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit dan merumuskan langkah-langkah serta saran
9. Melaksanakan tugas lain yang diberikan kepala dinas.
10. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada kepala dinas.
b. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Seksi Pencegahan Penyakit
1. Membantu kepala bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit di bidang
tugasnya.
2. Menyusun program kerja seksi Pencegahan Penyakit.
3. Melaksanakan pedoman teknis seksi Pencegahan Penyakit.
4. Melaksanakan bimbingan teknis pelaksanaan imunisasi.
5. Melaksanakan monitoring dan penyususnan laporan hasil evaluasi pelaksanaan
program pencegahan penyakit.
6. Melaksanakan penyajian hasil kegiatan program.
7. Melaksanakan tugas lain yang diberikan kepala bidang Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit.
8. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada kepala bidang Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit.
c. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Menular
1. Membantu kepala bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit di bidang
tugasnya.
2. Menyusun program kerja seksi Pemberantasan Penyakit Menular.
3. Melaksanakan pedoman teknis Penyakit Menular Bersumber Binatang dan
Penyakit Menular Langsung.
4. Melaksanakan pemantauan dan pengamatan penyakit serta usaha
5. Melaksanakan pemantauan dan pengamatan wabah serta usaha
penanggulanganya.
6. Melaksanakan pedoman bimbingan teknis pelaksanaan program.
Pemberantasan Penyakit yang Bersumber dari Binatang dan Penyakit Menular
Langsung.
7. Melaksanakan monitoring dan pelaporan hasil evaluasi pelaksanaan Program
Pemberantasan Penyakit Menular.
8. Melaksanakan tugas lain yang diberikan kepala bidang Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit.
9. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada kepala bidang Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit.
d. Tugas Pokok dan Fungsi Petugas P2P Program DBD di Dinas Kesehatan
1. Pendataan kasus DBD
2. Penyemprotan 2 siklus DBD selama 1 minggu.
3. Membuat laporan kasus DBD
4. Melaporkan kasus DBD kepada Kepala Bagian
5. Membuat pertanggung jawaban administrasi kasus DBD
e. Tugas Pokok dan Fungsi Petugas P2P Program DBD di Puskesmas/UPTD
1. Pelacakan kasus
2. Pelaporan kasus DBD Ke Dinas Kesehatan
3. Penyuluhan
4. Advokasi kepala desa
6. Melaksanakan pemeriksaan jentik (Aedes Aegypti) 7. PSN
8. Melaksanakan kegiatan gotong royong bersama masyarakat setempat
9. Pemberian bubuk abate
10. Mendampingi petugas penyemprotan dari Dinas Kesehatan bila ada kasus
11. Pelaporan kejadian kasus kembali ke Dinas Kesehatan (Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe, 2009).
2.8.Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori menurut Gibson (1989) peneliti merasa dalam
organisasi pelayanan kesehatan, sangatlah penting untuk memiliki instrumen penilaian
kinerja yang efektif bagi tenaga kerja profesional. Proses evaluasi kinerja bagi
profesional menjadi bagian terpenting dalam upaya manajemen untuk meningkatkan
kinerja organisasi yang efektif. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
(determinan) kinerja personel maka perlu dilakukan pengkajian terhadap beberapa teori
kinerja. Secara teoritis ada 3 (tiga) kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja
dan kinerja yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis maka
peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Karakteristik Individu
- Pendidikan - Pelatihan
- Masa Kerja
Karakteristik Organisasi
- Sumber daya - Kepemimpinan - Imbalan
[image:53.612.112.334.106.191.2]
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif analitik dengan disain
Cross Sectional.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Lhokseumawe yang terdiri dari 1 Dinas