REKAYASA MODEL
PERENCANAAN DAN EVALUASINYA
PADA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
SAPI POTONG DI SUMATERA BARAT
FIRMAN NOER TA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
REKAYASA MODEL PERENCANAAN DAN EVALUASINYA PADA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG
DI SUMATERA BARAT
adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Februari 2008
REKAYASA MODEL
PERENCANAAN DAN EVALUASINYA
PADA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
SAPI POTONG DI SUMATERA BARAT
FIRMAN NOER TA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada:
Ujian Tertutup : Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc
Judul Disertasi : Rekayasa Model Perencanaan dan
Evaluasinya pada Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat
Nama : Firman Noer TA
NIM : F361030071
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev Dr. Ir. Illah Sailah, MS Anggota Anggota
Dr. Ir. Rudy Priyanto Dr. Ir. Sukardi, MM Anggota Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ABSTRACT
FIRMAN NOER TA. The Design of Beef Cattle Agroindustry Development Planning and Its Evaluation Model in West Sumatra. Supervised by MARIMIN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, ILLAH SAILAH, RUDY PRIYANTO and SUKARDI.
Beef cattle agroindustry is considered as one of the potential agroindustries in West Sumatra, because of its high production rate and demand. However, this agroindustry has yet been optimally developed due to the lack of development planning. Therefore, the strategic planning and its evaluation model need to be carried out to develop the beef cattle agroindustry in order to increase the farmer income and to achieve the high quality product that match up the shareholders preferences. The main objective of this research to develop a strategic planning and its evaluation model for development of beef cattle agroindustry in West Sumatra.
The stages conducted in this research consisted of formulating a strategic development for beef cattle agroindustry, designing a planning model of beef cattle agroindustry and evaluating this model. Methods used in the study were External Factor Evaluation Matrix, Internal Factor Evaluation Matrix, Internal External Matrix, Grand Strategy Matrix, SWOT Matrix Analysis, Fuzzy-Analysis Hierarchy Process, forecasting analysis, economic and financial analysis (benefits and costs, BEP, NPV, IRR, PBP and B/C Ratio) and Knowledge Based Management System (KBMS) Evaluation Model with fuzzy if then rule method using AGRIBEST program and the Statistical Analysis System (SAS) Program.
The results show that the development of products and market is the highest priority strategy with appropriate location planning model is in Agam Regency (East Agam). Spicy dried beef is the chosen product with BEP 25.212 kg/year. Based on the raw material availability, production capacity is designed at 5% of BEP at the first year, 10% at the second year and 20% at the third year. By means of theCost of Capital at 12% p.a, DER 40:60, investment on Rp 392.855.300, it can be concluded that development of spicy dried beef is feasible with NPV at Rp 6.177.642.886, IRR at 63,89%, PBP at 0,38 year and B/C ratio at 1.47. Resolution conflict with agreement and conformity of shareholders and profit quotient from ulayat land utilization in ranah
Minang is the best solution in beef cattle agroindustry development planning model in
West Sumatra.
The results of evaluation of KBMS show that the development of commodities and market strategy and location selection of agroindustry development in Agam Regency are suitable. The results also show that the development of spicy dried beef and its source material availability, value and quotient of shareholder, economic impact (direct benefits and indirect benefits) and financial feasibility are high enough. However, spicy dried beef production capacity, conventional bank access and stakeholders commitment through small and middle industry are low. Based on IF THEN RULE of the KBMS Evaluation it was found out that the planning model was needed to increase spicy dried beef production capacity, decrease interest and develop a policy for beef cattle industry.
RINGKASAN
FIRMAN NOER TA. Rekayasa Model Perencanaan dan Evaluasinya pada Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat. Di bawah bimbingan MARIMIN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, ILLAH SAILAH, RUDY PRIYANTO dan SUKARDI.
Pembangunan agroindustri sapi potong selama ini belum menjadi fokus pertimbangan tingkat keputusan atau kebijakan, perkembangannya berjalan sendiri-sendiri dan terpisah dari pembangunan peternakan. Di beberapa daerah produksi ternak sapi potong melimpah dan berlebih dari daerah lainnya, namun belum ada model perencanaan dan evaluasinya di tingkat pengambil kebijakan agar dapat meningkatkan pendapatan peternak dan stakeholder. Hasil ternak sapi potong yang banyak belum optimal diolah menjadi produk industri hilir, sehingga nilai tambahnya belum dapat diperoleh dan memenuhi harapan keinginan berbagai pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk perencanaan pengembangan agroindustri dari hasil ternak sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong yang dikembangkan dari rumusan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.
Model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong dirancang melalui tiga tahapan penting, dimulai menganalisa faktor eksternal dan internal lingkungan usaha pengembangan sapi potong dan merumuskan strategi pengembangan, mendisain perencanaan dari aspek teknis, pembiayaan, penyelesaian (resolusi) konflik, komitmen stakeholder, analisis kelayakan dan terakhir melakukan evaluasi terhadap model perencanaan yang didisain.
Rumusan strategi pengembangan dihasilkan melalui beberapa tahap, yakni (1) tahap penilaian faktor lingkungan internal dan eksternal dari kawasan sentra peternakan (lumbung ternak nagari) sapi potong di Sumatera Barat, kemudian disusun ke dalam Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) dan Matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI); (2) tahap perumusan alternatif strategi didasarkan kepada posisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat di dalam Matriks Internal–eksternal (Matrix IE) dan matriks grand strategy, kemudian dirumuskan dengan menggunakan analisis matriks
SWOT, sedangkan penentuan prioritas strategi menggunakan metoda Fuzzy
-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP).
Evaluasi faktor lingkungan strategis menghasilkan faktor peluang lebih dominan dari faktor ancaman. Begitu juga dengan faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan. Total skor faktor eksternal dan internal menunjukkan posisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berada pada posisi tumbuh dan bina, sehingga alternatif strategi yang paling memungkinkan dikembangkan adalah strategi intensif (strategi pengembangan produk, pengembangan dan penetrasi pasar) atau strategi integratif (strategi integrasi ke belakang, integrasi ke depan, dan integrasi horisontal). Matriks grand strategy menunjukan posisi agroindustri sapi potong Sumatera Barat berada dalam pertumbuhan pasar, sehingga memperkuat pengembangan produk dan pengembangan pasar sebagai strategi alternatif. Penilaian yang dilakukan pakar dalam menentukan prioritas strategi dari beberapa alternatif, ternyata strategi pengembangan produk dan pasar merupakan strategi prioritas dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Hasil evaluasi model
perencanaan strategi berdasarkan sistem pakar (Knowledge Base Management
System, KBMS), strategi pengembangan produk dan pasar cukup sesuai diterapkan
Model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat didisain, dimulai dari studi kelayakan pasar, yaitu kelayakan dari sisi permintaan dan ketersediaan produk hasil sapi potong. Pengolahan data menggunakan metoda prediksi time series dengan software program The Statistical Analysis System (SAS)
for Window v6.12 hasil Stepwise Autoregressive Method (Stepar) terhadap variabel
jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk menunjukkan adanya ketersediaan hasil sapi potong sebagai bahan baku pengembangan agroindustri. Hasil evaluasi model perencanaan terhadap kelayakan pasar dengan sistem pakar (KBMS) menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku untuk agroindustri cukup tinggi dan diprediksi cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.
Pada implementasi model perencanaan hasil evaluasi dengan KBMS terhadap beberapa pilihan alternatif produk agroindustri sapi potong yang sesuai di Sumatera Barat, rangking pertama menunjukkan produk dendeng kering dapat dikembangkan di Sumatera Barat. Produk dendeng kering atau dendeng sapi merupakan produk yang cukup diminati dan cocok dikembangkan di Sumatera Barat berdasarkan hasil evaluasi sistem pakar dengan KBMS. Dendeng kering yang berasal dari daging sapi lebih disukai, kandungan lemaknya lebih rendah dan serat-seratnya sangat lembut dibanding dari jenis ternak besar lainnya. Proses pembuatannya praktis tidak sulit dan banyak dikonsumsi di dalam negeri dan dipasarkan ke luar negeri sebagai komoditi ekspor. Dendeng daging sapi terasa enak karena diberi bumbu sebelum dilakukan proses pengeringan dan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama.
Hasil pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong, Kabupaten Agam memiliki total nilai skor terbobot terbesar dan dinilai cukup tepat sebagai lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Hasil evaluasi dengan sistem pakar, lokasi pengembangan cukup sesuai di Kabupaten Agam. Kabupaten Agam memiliki kawasan sentra produksi peternakan sapi potong yang menjadi lumbung ternak nagari di wilayah Agam bagian Timur. Wilayah tersebut memiliki infrastruktur dan ketersediaan jaringan utilitas, dekat dengan pasar perdagangan yakni Padang dan Sumatera tengah (Sumbar, Riau, Jambi) serta Bukittinggi sebagai kota dan pasar wisata untuk pengembangan bagi industri kecil makanan olahan berbagai produk dari sapi potong. Jaringan transportasi tersedia dan kawasan terletak pada posisi strategis dan persimpangan ke Medan, Batusangkar, Payakumbuh menuju Pekanbaru, dan mengelilingi Kota Bukittinggi menuju Padang.
Hasil evaluasi model perencanaan sistem pakar merekomendasikan perlu peningkatan kapasitas produksi dendeng kering. Dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku, kebutuhan bahan baku daging sapi semula 30.000 kg ditingkatkan menjadi 60.000 kg ditambah dengan bahan tambahan (bumbu), diperoleh kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering sebesar 25.212 kg dengan biaya tetap sebesar Rp. 85.896.468,-, biaya variabel per unit untuk memproduksi dendeng kering adalah Rp. 136.393 per kg dan harga jual BEP sebesar Rp. 139.800,- per kg. Berdasarkan kapasitas produksi BEP kapasitas produksi yang dirancang untuk tahun pertama sebesar 5 persen dari kapasitas BEP, yakni sebesar 26.472 kg. Tahun kedua 10 persen dari kapasitas BEP, sebanyak 27.733 kg dan tahun ketiga sampai tahun ke sepuluh ditingkatkan sebesar 20 persen dari kapasitas BEP, menjadi 30.254 kg per tahun.
konvensional, pemberian kredit modal usaha dapat diberikan dengan pembebanan tingkat suku bunga bank sebesar 12 persen per tahun.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan tanah ulayat hasil verifikasi dapat diselesaikan dengan adanya kesepakatan pembagian saham antara pemilik lahan ulayat dan industri. Hasil analisis pemilihan prioritas penyelesaian (resolusi) konflik ditunjukkan oleh nilai tertinggi pada kesesuaian pembagian saham di dalam kaum. Hasil kesepakatan, kepemilikan saham pemilik tanah ulayat setara dengan nilai Rp. 100.000,- per meter. Dengan lahan atau tanah yang dimiliki pemegang hak ulayat seluas 400 M2, maka nilai saham yang dimiliki sebesar Rp. 40.000.000,- atau 16,97 % dari total modal perusahaan sebesar Rp. 235.713.180,- dan nilai saham pengelola (pihak industri) sebesar 83,03 %. Jumlah pembagian keuntungan dari kepemilikan saham diterima pemilik lahan/tanah ulayat terhitung dimulai pada tahun ke tiga sebesar Rp. 31.050.258,- tahun ke empat diterima pemilik lahan sebesar Rp. 37.017.945,- dan tahun ke lima diterima sebesar Rp. 37.540.661,- Pada tahun ke enam sampai tahun ke sepuluh diterima sebesar Rp. 41.273.945,- per tahun. Secara keseluruhan, selama sepuluh tahun pemilik lahan/tanah ulayat menerima sebesar Rp. 311.978.538,- atau rata-rata per tahun dalam sepuluh tahun diterima sebesar Rp. 31.197.854,- Hasil evaluasi KBMS menunjukkan nilai shareholder dan bagi hasil yang diterima pemilik lahan (tanah ulayat) cukup tinggi.
Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil sangat diperlukan dalam implementasi model pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, karena dari hasil evaluasi terhadap penilaian komitmen dari stakeholder untuk pengembangan usaha kecil ternyata rendah. Berpedoman pada manfaat langsung dan manfaat tidak langsung yang tinggi akan diperoleh dengan pengembangan agroindustri sapi potong, maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan komitmen dalam pengembangan usaha kecil.
Dari hasil evaluasi sistem pakar dalam KBMS dan pengolahan secara agregasi kriteria-pakar ternyata manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dinilai tinggi jika mengembangkan dan membangun agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Manfaat langsung tersebut adalah 1) Kenaikan nilai hasil produksi sapi potong, 2) Meningkatnya mutu produksi, 3) Berkurangnya biaya operasional pemasaran, 4) Meningkatnya kapasitas produksi, 5) Meningkatnya ketersediaan bahan baku, 6) Menambah penyerapan tenaga kerja lokal, 7) Meningkatnya tingkat pendapatan/keuntungan, 8) Peningkatan investasi, dan 9) Peningkatan penggunaan tanah/lahan. Manfaat tidak langsungnya adalah 1) Mendorong tumbuhnya industri-industri lain, 2) Bertambahnya nilai produksi industri-industri-industri-industri lain, 3) Meningkatnya kepercayaan berinvestasi, 4) Peningkatan pemanfaatan produk samping, 5) Peningkatan motivasi berusaha, 6) Mendorong meningkatnya inovasi teknologi, 7) Meningkatnya nilai lahan/tanah di lokasi pengembangan, 8) Mendorong tumbuhnya jumlah stakeholders, dan 9) Menjadikan contoh lokasi pengembangan agroindustri sapi potong, sehingga pembangunan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat secara ekonomi layak untuk dikembangkan.
Pembangunan agroindustri dendeng kering dengan bahan baku daging sapi 60.000 kg, menghasilkan kapasitas BEP sebesar 25.212 kg per tahun, membutuhkan alokasi investasi senilai Rp. 392.855.300,- Dengan kapasitas produksi 5 persen, 10 persen dan 20 persen di atas kapasitas produksi BEP menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp. 6.177.642.886,-; Tingkat kemampulabaan internal (IRR) sebesar 63,89 persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal (PBP) selama 0,38 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,47. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pembangunan agroindustri dendeng kering secara finansial dinyatakan layak dikembangkan.
kemampulabaan internal (IRR) sebesar (14,89) persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal (PBP) selama 8,32 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C
Ratio) sebesar 1,01. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa agroindustri
dendeng kering secara finansial sudah tidak menguntungkan lagi dan tidak layak dikembangkan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim.
Alhamdulillahirrabbil’aalamin. Puji syukur dipersembahkan kehadirat Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Pemilik segala ilmu, Pemberi rahmat dan kasih sayang
yang telah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 sampai Agustus 2007 dengan
Judul Rekayasa Model Perencanaan dan Evaluasinya pada Pengembangan
Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat ini dilaksanakan pada beberapa Kawasan
Sentra Peternakan Sapi Potong di Sumatera Barat.
Rekayasa model perencanaan pengembangan agroindustri yang dihasilkan
berupa sistem penunjang keputusan (SPK) dalam pemrograman AGRIBEST dapat
digunakan untuk berbagai model perencanaan pengembangan agroindustri yang lain
dan disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Model perencanaan pengembangan
agroindustri sapi potong menghasilkan model rumusan strategi pengembangan, model
perencanaan agroindustri dari berbagai aspek pengembangan dan evaluasi model
perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong menggunakan sistem
manajemen berbasis pengetahuan (knowledge base management system - KBMS).
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Marimin, MSc, sebagai Ketua Komisi Pembimbing. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id,
MA.Dev, Dr. Ir. Illah Sailah, MS, Dr. Ir. Rudy Priyanto, dan Dr. Ir. Sukardi, MM,
sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril
serta nasehat, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Gubernur Sumatera Barat dan
Wakil Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan izin tugas belajar dan Kepala
Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Sumatera Barat yang
telah memberikan rekomendasi tugas belajar di sekolah pascasarjana IPB.
Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada para personalia di bawah ini.
1. Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) Sekolah Pascasarjana IPB
yang telah mengarahkan dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan.
2. Penguji luar komisi pada ujian tertutup Dr. Ir. Aref Daryanto, MEc (Direktur
Pascasarjana Magister Manajemen dan Bisnis, IPB. Prof. (Riset) Dr. Ir. Tjeppy D.
Amril Aman, MSc (Depatemen Matematika FMIPA IPB) sebagai penguji luar
komisi pada ujian terbuka.
3. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian,
khususnya angkatan 2003 yang telah memberikan bantuan dan dorongan
semangat dalam menyelesaikan studi.
Do’a yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk
papa H. Mohd. Noer TA (Almarhum) dan mama Hj. Dahniar. Penghargaan dan
terimakasih tidak terhingga disampaikan kepada kakak/abang dan ipar: Hj. Ely Yurnita
dan M. Noh Isa, ST, H. Edy Tiawarman dan Hj. Jasnah Ely, SH, Edy Trisno dan Susi
Susilowati, Edy Zamzami dan Rosmainar, Hj. Ely Yufrida, SE dan H. Hafni Abdullah,
BSc, Adik Yuli Herni, SSos dan Taslim Yulius, SSiT serta istri tercinta Dwi Ramadhani,
ananda Widya Dwifirman, Muhammad Fadly dan Naila Husna atas segala kesabaran,
dorongan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak lepas dari kelemahan dan
kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Semoga disertasi ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat.
Bogor, Februari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 17 Oktober 1965 sebagai
anak ke enam dari tujuh bersaudara dari Bapak H. Mohd. Noer TA (Alm) dan Ibu, Hj.
Dahniar. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri pada SMPP 49 jurusan
IPA di Pekanbaru tahun 1984, penulis diterima di Program Studi Produksi Ternak (S1)
pada Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang. Selama studi di Fakultas
Peternakan tahun 1987 penulis dibantu dengan beasiswa Yayasan Toyota Astra
Jakarta dan lulus pada tahun 1989. Pada tahun 2000 penulis diterima mengikuti
program studi Magister Manajemen Agribisnis (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dengan beasiswa Pemda Sumatera Barat dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2003 penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan pada program doktor
(S3) program studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana IPB dengan
beasiswa Pemda Sumatera Barat.
Setelah tamat sarjana penulis bekerja sebagai sales executive di Widyaloka
Group pada divisi PT. Widya Adimitra, sales supervisor di CV. Wing Komputer dan
marketing manager di CV. Harapan Indah di Pekanbaru. Pada tahun 1998 sampai
sekarang sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Sumatera Barat di Bidang Statistik
dan Pelaporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi
Sumatera Barat dan tahun 2002 di Bidang Produksi dan Sarana Perekonomian
Bappeda Propinsi Sumatera Barat di Padang. Berdasarkan keputusan Gubernur
Sumatera Barat pada bulan Agustus 2003 menjadi mahasiswa tugas belajar pada
program doktor (S3) di Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menikah dengan Dwi Ramadhani pada tahun 1992 dan telah dikaruniai
dua orang putri dan seorang putra. Putri pertama Widya Dwifirman, putra bernama
Muhammad Fadly dan putri kedua Naila Husna.
Selama mengikuti program S3, penulis telah menulis artikel ilmiah yang
berjudul Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat diajukan
ke Jurnal Teknik Industri INOVISI (ISSN: 0216-9673, Akreditasi Dirjen DIKTI No.
26/DIKTI/Kep/2005). Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program
D AFTAR I SI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang .... 1
1.2. Tujuan Penelitian ... 3
1.3. Ruang Lingkup ..... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong ... 5
2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 9
2.3. Model Perencanaan Pengembangan industri ... 13
2.4. Evaluasi Model Perencanaan ... 14
2.5. Penyelesaian (Resolusi) Konflik ... 15
2.6. Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah ... 16
2.7. Sistem Penunjang Keputusan ... 16
2.8. Perkembangan Sistem Berbasis Komputer ... 18
III. LANDASAN TEORITIS ... 21
3.1. Konsep Pengembangan Kawasan ... 21
3.2. Analisis Faktor Lingkungan ... 22
3.3. Analisis SWOT ... 23
3.4. Metoda Fuzzy – AHP ... 23
3.5. Metoda Perbandingan Eksponensial ... 28
3.6. Metoda Faktor Peringkat ... 29
3.7. Metoda Prediksi ... 30
3.8. Analisis Titik Impas ... 31
3.9. Metoda Fuzzy- Semi Numerik... 32
3.10. Metoda Fuzzy - Non Numerik ... 33
3.11. Konsep Penyelesaian Konflik ... 34
3.12. Konsep Evaluasi Model Perencanaan ... 36
3.13. Metoda Kelayakan Ekonomi ... 37
3.14. Metoda Kelayakan Finansial ... 38
IV. METODA PENELITIAN ... 40
4.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ... 40
4.2. Tahapan Penelitian ... 42
4.3. Metoda Pengumpulan Data ... 42
4.4. Metoda Pengolahan dan Analisa Data ... 43
4.5. Metoda Penyusunan Model Perencanaan dan Evaluasi ... 44
4.6. Perancangan Implementasi Model Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 46
V. ANALISIS SISTEM ... 47
5.1. Pendekatan Sistem ... 47
Halaman
5.3. Formulasi Permasalahan ... 49
5.4. Identifikasi Sistem ... 49
5.5. Diagram Sebab-Akibat ... 49
5.6. Diagram Input-Output ... 52
VI. PERMODELAN SISTEM PERENCANAAN ... 54 6.1. Susunan Model Perencanaan ... 54
6.2. Sistem Manajemen Basis data... 54
6.3. Sistem manajemen Basis Model... 63
6.4. Sistem Manajemen Basis Pengetahuan... 73
6.5. Sistem Manajemen Dialog... 74
VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL ... 75
7.1. Pengambilan Keputusan ... 75
7.2. Identifikasi Model Pengembangan Agroindustri ... 75
7.3. Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 77
7.4. Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 81
7.5. Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 104
VIII. MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG ... 108
8.1. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Sumatera Barat ... 108
8.2. Model Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 113
8.3. Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri ... 126
8.4. Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 150
IX. RANCANGAN IMPLEMENTASI MODEL ... 155
9.1. Implementasi Model Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 155
9.2. Implementasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong ... 164
9.3. Pemanfaatan Tanah Ulayat ... 166
9.4. Komitmen Stakeholder, Kelayakan Ekonomi dan Finansial ... 167
9.5. Implementasi Model Pemrograman AGRIBEST ... 170
9.6. Aplikasi Pemrograman AGRIBEST ... 172
X. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173
10.1. Kesimpulan ... 173
10.2. Saran ... 174
DAFTAR PUSTAKA ... 176
DAFTAR ISTILAH ... 188
D AFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Komparasi beberapa model perencanaan pengembangan industri/
agroindustri ... 76
2. Permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi di Sumatera Barat ... 82
3. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat ... 83
4. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat ... 84
5. Hasil verifikasi model prediksi permintaan total produk daging sapi di Sumatera Barat ... 85
6. Hasil verifikasi pengolahan metoda perbandingan eksponensial pemilihan produk agroindustri sapi potong ... 88
7. Hasil verifikasi metoda faktor peringkat (factor-rating method) pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ... 90
8. Biaya variabel produksi dendeng kering ... 93
9. Hasil verifikasi kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering ... 94
10. Proyeksi perencanaan kapasitas produksi dendeng kering ... 95
11. Hasil verifikasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 96
12. Hasil verifikasi model komitmen stakeholder pengembangan agroindustri sapi potong ... 101
13. Hasil verifikasi model kelayakan ekonomi (manfaat dan biaya) terhadap pengembangan agroindustri sapi potong ... 102
14. Input parameter evaluasi KBMS model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 105
15. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 106
16. Hasil verifikasi evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 107
Halaman
18. Pengeluaran, pemasukan dan pemotongan sapi di Sumatera Barat
Tahun 2001-2006 ... 110
19. Produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat Tahun 1989-2005 ... 111
20. Penilaian faktor eksternal pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 115
21. Penilaian faktor internal pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 116
22. Ringkasan analisis faktor-faktor strategis pengembangan agroindustri di Sumatera Barat ... 117
23. Proyeksi ketersediaan daging sapi Sumatera Barat ... 127
24. Produk-produk agroindustri daging sapi dan hasil samping ... 129
25. Produk-produk agroindustri kulit sapi ... 130
26. Syarat mutu dendeng sapi menurut Standar Perdagangan (SP)-148-1982 ... 132
27. Lokasi pengembangan peternakan sapi potong di Sumatera Barat ... 136
28. Status tanah wilayah rencana pengembangan agroindustri sapi potong di Agam bagian Timur, Kabupaten Agam Sumatera Barat ... 138
29. Perencanaan kapasitas produksi pengembangan agroindustri dendeng kering ... 139
30. Perkiraan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 140
31. Prioritas resolusi konflik stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 142
32. Hasil verifikasi model pembagian keuntungan shareholder agroindustri dendeng kering ... 144
33. Hasil model komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong ... 145
34. Kriteria kelayakan analisa manfaat dan biaya ... 147
36. Penilaian pakar terhadap manfaat langsung pengembangan agroindustri
sapi potong di Sumatera Barat ... 148
Halaman
37. Penilaian pakar terhadap manfaat tidak langsung pengembangan
agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 148
38. Parameter penilaian evaluasi model perencanaan pengembangan
agroindustri sapi potong ... 151
39. Penilaian model perencanaan pengembangan agroindustri sapi
potong ... 152
40. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan
agroindustri sapi potong ... 153
41. Hasil evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri
D AFTAR GAM BAR
No. Teks Halaman
1. Pohon industri sapi potong ... 11
2. Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy ... 19
3. Hubungan antara pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi ... 21
4. Triangular fuzzy number (TFN) A = (α1, α2, α3) ... 25
5. Tahapan-tahapan AHP ... 27
6. Tingkatan hirarki AHP ... 28
7. Hirarki prioritas penyelesaian konflik ... 35
8. Proses evaluasi dan pengendalian ... 36
9. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ... 41
10. Diagram implementasi model pengembangan agroindustri sapi potong ... 46
11. Diagram sebab-akibat sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 50
12. Diagram input output sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 52
13. Diagram alir perumusan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong ... 64
14. Diagram alir model prediksi permintaan pasar dan ketersediaan produk ... 65
15. Diagram alir model pemilihan produk agroindustri sapi potong ... 66
16. Diagram alir model perencanaan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ... 66
17. Diagram alir model perencanaan kapasitas produksi ... 67
18. Diagram alir model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 68
Halaman
20. Diagram alir model resolusi konflik stakeholders ... 70
21. Diagram alir model penilaian komitmen stakeholders ... 71
22. Diagram alir model kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial ... 72
23. Diagram alir evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 73
24. Susunan sistem model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 74
25. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 79
26. Hirarki strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 80
27. Hasil analisis prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 98
28. Hirarki resolusi konflik stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 99
29. Peningkatan populasi dan pemotongan sapi di Sumatera Barat ... 108
30. Peningkatan produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat ... 112
31. Posisi agroindustri sapi potong Sumatera Barat ... 119
32. Penilaian matriks Grand Strategy ... 120
33. Matriks SWOT agroindustri sapi potong Sumatera Barat ... 121
34. Proses pembuatan dendeng kering ... 133
35. Peta lokasi pengembangan peternakan sapi potong Sumatera Barat ... 134
36. Tiga tahapan model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong ... 155
Halaman
38. Rancangan implementasi model perencanaan
pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ... 164
39. Rancangan implementasi komitmen stakeholders, kelayakan
ekonomi dan kelayakan finansial ... 168
D AFTAR LAM PI RAN
No. Teks Halaman
1. Prosedur perolehan dan pengolahan data penelitian ... 194
2. Evaluasi faktor internal dan eksternal ... 199
3. Prediksi pemrograman SAS permintaan, produksi dan ketersediaan
daging sapi di Sumatera Barat Tahun 1993 – 2028 ... 205
4. Kebutuhan bahan baku dan bahan tambahan, biaya tetap dan biaya variabel, kebutuhan biaya investasi produksi
dendeng kering ... 209
5. Parameter sistem pakar, deskripsi keputusan evaluasi
dan skenario rule base ... 215
6. Aplikasi pemrograman AGRIBEST ... 223
7. Daftar informan, pakar dan responden ... 228
8. Potensi potensi kawasan peternakan (Lumbung ternak nagari)
sapi potong di Sumatera Barat ... 235
9. Panduan operasional (Manual) sistem penunjang keputusan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Komoditi peternakan memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Salah
satu komoditi peternakan itu adalah sapi potong. Populasi sapi potong hampir tersebar
diseluruh Indonesia, bahkan di beberapa daerah komoditi sapi potong dijadikan
sebagai komoditi unggulan dan hasilnya sebagian diolah menjadi produk agroindustri
sapi potong.
Hasil sapi potong terutama berupa daging digunakan untuk kebutuhan
konsumsi. Pada tahun 2005 kebutuhan daging di dalam negeri sebesar 2.113.200 ton,
sekitar 463.800 ton atau 21,95% dipenuhi oleh daging sapi. Besarnya permintaan
konsumsi daging sapi sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti perubahan
struktural atau keputusan dari suatu institusi, kebijakan adopsi teknologi, preferensi
konsumen, harga eceran, jumlah konsumsi, populasi penduduk, pendapatan per
kapita, sistem produksi sapi potong, harga sapi, harga daging dan harga produk
substitusi, serta faktor kesehatan (genetik dan penyakit) sapi (Chavas, 1983; Pang et
al., 1997; Priyanti et al., 1998; Pang et al., 1999; Bruce et al., 1999; Ilham, 2001;
Grzybowski, 2002).
Pekembangan industri pengolah hasil (agroindustri) sapi potong sangat
ditentukan oleh ketersediaan dari jumlah populasi sapi. Keputusan investasi seringkali
dipengaruhi oleh ketersediaan populasi sapi dan pendistribusiannya (Foster dan Burt,
1992). Berdasarkan data statistik, populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2005
berjumlah 10.679.504 ekor. Jumlah tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2003 populasi sapi potong berjumlah 10.504.128 ekor dan tahun 2004
berjumlah 10.532.889 ekor dengan tingkat kenaikan populasi sebesar 0,83% per
tahun (Dirjen Peternakan, 2006). Daerah-daerah yang potensial memiliki ketersediaan
jumlah sapi potong adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam,
Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara
Barat dan Sumatera Barat.
Pemotongan sapi di Indonesia baru dimanfaatkan sebagai penghasil daging
dan beberapa hasil samping. Hasil sapi potong sebagai komoditi ekspor masih berupa
bahan baku dan belum diolah menjadi produk hilir, sehingga nilai tambahnya belum
dapat diperoleh di dalam negeri (Wasito, 2001). Hal ini terlihat dari ekspor produk dan
hasil ternak berupa daging, kulit, tulang dan tanduk. Volume ekspor daging sapi
US $ 1.155,10 per ton. Ekspor tulang dan tanduk sebesar 327,1 ton mempunyai nilai
US $ 320.400 atau US $ 979,52 per ton, sedangkan kulit yang diekspor pada tahun
yang sama sebesar 75.663.200 lembar dengan nilai US $ 97.733.600 atau setara
dengan US $ 1,29 per lembar (Dirjen Peternakan, 2006). Padahal hasil sapi potong
bila diolah dapat menjadi produk yang bernilai jual tinggi dan bernilai komersial baik di
pasar domestik maupun ekspor dengan mengembangkan agroindustri sapi potong di
dalam negeri dengan memperhatikan persyaratan standar dan sertifikasi mutu,
aturan-aturan yang berlaku, harmonisasi perdagangan internasional, kesehatan, kondisi
ekonomi atau faktor sosial budaya dan sistem peternakan yang memperhatikan
agroekologi dan produk organik (Darmawan, 2001; Barcos, 2001; Figueiredo, 2002;
Kumm, 2002).
Berdasarkan statistik peternakan, daerah pemasok tulang pada tahun 2002
sampai 2004 adalah Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan
Banten. Daerah pemasok kulit terbesar dari tahun 2002 sampai 2006 adalah Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara,
sedangkan di Sumatera hanya Bengkulu sebagai daerah pemasok kulit. Hal tersebut
terlihat dari jumlah pengeluaran kulit dari Bengkulu pada tahun 2002 sebesar 6.000
lembar (Dirjen Peternakan, 2006), sedangkan daerah yang membutuhkan kulit
tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Banten, dan Maluku
Utara. Di Sumatera hanya Riau dan Bengkulu yang membutuhkan kulit. Pemasukan
kulit ke Riau pada tahun 2005 dan 2006 sebesar 384.000 lembar, sedangkan
pemasukan kulit ke Bengkulu pada tahun 2004 sebesar 328.000 lembar.
Sumatera Barat sebagai salah satu sentra sapi potong untuk wilayah Indonesia
Bagian Barat. Pengembangan sapi potong di Sumatera Barat cukup berhasil, namun
perkembangan industri pengolahan hasil atau agroindustri sapi potong belum
terencana dengan baik. Populasi sapi potong di Sumatera Barat terkonsentrasi pada
lumbung-lumbung ternak nagari di beberapa kabupaten dan kota. Keberhasilan
perkembangan sapi potong tersebut tidak terlepas dari berbagai program
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain program pengembangan
kawasan sentra produksi. Setelah desentralisasi dan kembalinya sistem pemerintahan
nagari, program pengembangan sapi potong dilanjutkan ke dalam program
pengembangan kawasan peternakan, pengembangan kawasan agropolitan, dan
pengembangan lumbung ternak nagari.
Agroindustri sapi potong di Sumatera Barat belum berkembang. Terlihat dari
cenderung meningkat, namun hasilnya baru dikonsumsi sekitar 70,30 persen, bahkan
daging sapi maupun sapi hidup didistribusikan ke propinsi tetangga, seperti ke Riau,
Jambi dan Sumatera Utara, hanya sebagian kecil hasil sapi potong dijadikan produk
olahan makanan. Hal tersebut disebabkan karena pengembangan agroindustri sapi
potong belum terencana secara sistematis dan belum mampu menarik investor karena
terkait dengan konflik sosial, terutama dalam memanfaatkan tanah ulayat.
Usaha pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat baru
dilakukan melalui promosi oleh beberapa daerah saja berupa informasi profil industri
pengolahan daging dan sapi potong, info investasi pertanian dalam proyek-proyek
investasi dan profil usaha beberapa produk hasil sapi potong melalui situs web
(http://www.kabupaten-agam.go.id [10-02-2007]; http://www.disnaksumbar. org
[29-08-2007]; http://kpt-bukittinggi.go.id [31-08-2007]). Oleh karena itu, dengan kembalinya
sistem pemerintahan nagari dan pemberlakuan desentralisasi, memberi kewenangan
dan peluang bagi Sumatera Barat mengembangkan potensi hasil sapi potong melalui
strategi dan perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong yang sistematis,
berkeadilan dan dapat memenuhi permintaan pasar serta bernilai jual tinggi.
Upaya pengembangan agroindustri sapi potong tidak terlepas dari berbagai
permasalahan yang dihadapi untuk diselesaikan dan diformulasikan ke dalam
perencanaan, seperti 1) ketersediaan bahan baku (kontinuitas, mutu, adopsi teknologi,
penyediaan, permintaan dan harga), 2) perencanaan lokasi pengembangan, 3)
ketersediaan sarana dan prasarana, 4) manajemen sumber daya manusia, 5)
investasi/permodalan, 6) konflik dalam pemanfaatan tanah/lahan, 7) keterbatasan data
dan studi kelayakan yang kurang dan belum optimal, 8) kebijakan pemerintah belum
berorientasi pada segmen pasar, kemauan dan kebutuhan masyarakat, serta faktor
pertimbangan sosial budaya masyarakat (Gumbira-Sa’id dan Burhanuddin, 1996;
Gumbira-Sa’id dan Intan, 1996; Priyanto et al., 1997; Priyanto et al., 1999; Bruce et
al., 1999; Saragih, 2000; Wasito, 2001; Nasution, 2002; Yusdja dan Iqbal, 2002).
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun rekayasa model
perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi potong di
Sumatera Barat. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan rumusan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong.
2. Mendapatkan rancang bangun model perencanaan dan evaluasinya dalam
tahap pengambilan keputusan, sehingga memberikan alternatif penyelesaian
dalam pengambilan keputusan bagi pemanfaat dan stakeholders.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian untuk mencapai tujuan mendapatkan rancang
bangun model perencanaan dan evaluasinya pada pengembangan agroindustri sapi
potong, dibatasi oleh beberapa elemen berikut.
1. Kawasan sentra peternakan atau lumbung ternak nagari yang berorientasi
pengembangan kawasan agroindustri sapi potong.
2. Strategi pengembangan agroindustri sapi potong yang dihasilkan berdasarkan
pada pengembangan pembangunan lumbung ternak nagari.
3. Sistem perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong dimulai dengan
mengkaji ulang dasar-dasar perencanaan, mengukur prestasi yang dicapai dan
mengambil tindakan korektif yang perlu untuk sistem perencanaan dan evaluasi.
4. Beberapa elemen yang dikaji, adalah a) faktor-faktor strategis untuk merumuskan
strategi pengembangan agroindustri sapi potong, b) kelayakan pasar, c)
perencanaan kapasitas produksi, d) prediksi sumber pembiayaan, e) model
penyelesaian konflik, penilaian komitmen stakeholders, f) kelayakan ekonomi,
yakni dampak manfaat dan biaya yang ditimbulkan serta kelayakan finansial, g)
evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri yang telah dirancang.
5. Bahasan perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong yang dikaji
mendalam hanya aspek/keluaran model yang prioritasnya tertinggi.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat menambah ilmu dan berguna dalam operasional:
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah propinsi dan kabupaten
kota dalam menyusun strategi pengembangan agroindustri sapi potong di
Sumatera Barat.
2. Menjadikan alat bantu dalam pengambilan keputusan bagi investor, perantau dan
peternak dalam pengembangan sapi potong dan agroindustrinya.
3. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu sistem dan aplikasinya
dalam sistem intelijen, penunjang keputusan dan strategi pengembangan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong
Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut
Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai
potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan
sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan
dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan
prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang
pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas
administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip
tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah
populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas
sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia. Populasi ternak sapi
ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya
dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat
hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan
usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia.
Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut.
1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah
ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di
wilayah yang relatif miskin, dimana tambahan pendapatan dari sektor lain belum
terbuka.
2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta
sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya
produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu
dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan.
3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang
perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat
memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan
per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah
penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang
dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk
Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau
kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan
peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan
agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan
pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan,
dan kawasan mandiri.
1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang
ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah
memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau
sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula).
Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan
sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada
pelayanan, pengaturan dan pengawasan.
2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru
setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan.
Wilayah telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan
kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan
masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha
yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok dalam bentuk
usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-unit pelayanan,
unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama
seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.
3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan
yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas.
Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok
lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA
(Kelompok Usaha Bersama Agribisnis), dan dapat dikembangkan beberapa KUBA
dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang
ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan
populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit
pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada
kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan
mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan.
Dalam pengembangan peternakan sapi potong terdapat beberapa aspek
dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis
produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil industri
sapi potong. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model
kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang (Santosa, 2000).
Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam
aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum
dan peralatan kebersihan (Sugeng, 2001). Bangunan penunjang dalam aspek teknis
antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan
hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan
untuk menangani berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan
pengobatan sapi, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.
Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana
pendukung pengembangan kawasan pengembangan sapi potong adalah 1) sarana
produksi, yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk
pengamanan budi daya antara lain tersedianya poskeswan dan pos inseminasi buatan
(IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya
rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4) untuk
pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5) untuk
pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan (permodalan), penyuluh,
koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan pasar dan 6) untuk prasarana
pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan, listrik dan air.
Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting
diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen
beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun penggemukan
sapi (Sarwono dan Arianto, 2001), begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang
berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam
usaha peternakan sapi potong (Hendratno dan Hendratno, 1991; Jamarun, 1991).
Menurut Dinas Peternakan Sumbar (2000a), peternak sapi di Sumatera Barat
umumnya mengusahakan ternak sapi potong melalui usaha sapi bibit (bakalan) dan
usaha penggemukan. Usaha peternakan umumnya hampir merata di seluruh
kabupaten dan kota, namun lebih terkonsentrasi pada kawasan sentra peternakan
yang disebut Lumbung Ternak Nagari. Pembangunan lumbung ternak nagari
ditetapkan atas empat kebijakan pokok (Dinas Peternakan Sumbar, 2002a) sebagai
1. Pengembangan peternakan dilaksanakan pada kawasan sentra produksi
peternakan,
2. Pengembangan usaha kecil menengah, terutama pada akses permodalan dan
pasar melalui peran pemerintah sebagai fasilitator,
3. Pendekatan pelayanan publik oleh pemerintah harus menyediakan sarana dan
sumber daya manusia sesuai kewenangannya,
4. Penyerahan kewenangan kepada kabupaten/kota menyangkut aspek a)
perizinan penanaman modal dalam negeri, b) kesehatan penyakit hewan menular,
c) pengaturan pasokan dan permintaan, dan d) pelarangan dan pemusnahan
bahan-bahan asal ternak yang masuk secara illegal.
Salah satu kawasan sentra produksi (KSP) di Sumatera Barat, yaitu
Kabupaten Agam mengembangkan KSP dengan mengintegrasikan pengembangan
budi daya tanaman pangan dengan peternakan (Madarisa, 2000). Pengembangan
agribisnis sapi potong di Kabupaten Agam Sumatera Barat diperlukan strategi
ekspansi dalam investasi dan memperkuat kelompok peternak sapi (Noer-TA, 2002).
Strategi ekspansi dalam investasi yaitu pengembangan investasi dimana modal usaha
yang ditanam dimanfaatkan untuk tujuan usaha peternakan yang produktif dengan
pelaku atau kelembagaan yang berperan dalam ekspansi investasi tersebut adalah
lembaga keuangan. Strategi memperkuat kelompok peternak sapi dilakukan agar
usaha peternakan yang berbadan hukum dengan pelaku atau aktor yang berperan
pengusaha swasta yang perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif.
Promosi kawasan sebagai sentra sapi bibit dan sapi potong perlu dilakukan sesuai
dengan karakteristik agar dapat menarik investor atau peran perantau untuk
berinvestasi di kampung halaman. Kerjasama dengan investor atau pengusaha
swasta diperlukan dalam mengembangkan agribisnis sapi potong melalui pola
kemitraan.
Peningkatan jumlah hasil ternak sapi potong dalam pengembangan
peternakan seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas dari produk yang
dihasilkannya. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB,
2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk
yang berkualitas, seperti kualitas dari daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah
kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot
karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997; 1999) bobot karkas segar merupakan
Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang
diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang
diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta
serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen.
Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena
kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air
daging.
Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut
Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi
dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan
sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu
lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan teknologi
Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang
rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000).
Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk
mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan).
Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran
bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi
mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi bila dibandingkan dengan
hasil ternak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001).
2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong
Menurut Austin (1981), agroindustri adalah perusahaan yang mengolah
bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan
pengawetan malalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan
distribusi. Pendistribusian bertujuan untuk memindahkan dan memasarkan
(ekspor/impor) dari produk agroindustri yang dihasilkan. Pengembangan agroindustri
yang pesat saat ini adalah untuk mempercepat memaksimalkan produksi hasil
pertanian, meningkatkan mutu produk, dan mengamankan hasil pertanian
(Gumbira-Sa’id dan Intan, 1996), sedangkan peningkatan ekspor dari ternak dan hasil ternak
Indonesia yang terjadi belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena penerapan
keamanan maksimum terhadap beberapa penyakit ternak dan Harmonized System
dan Standard International Trade Classification (HS dan SITC) dari hasil ternak
Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk
samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi
rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan berbagai
produk yang bermanfaat dapat makanan dan tidak bisa dimakan, seperti disajikan
dalam pohon industri pada Gambar 1.
Daging sapi dapat diolah menjadi daging lumat atau daging cincang, daging
potong, diekstrak dan diawetkan menghasilkan berbagai jenis produk. Pengawetan
daging dapat dilakukan dengan cara pendinginan (chilling), perawatan (curing),
pengasapan (smoking), pengeringan (drying), pengalengan (canning), pembekuan
(freezing), dan irradiasi (irradiation) (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info
[12-02-2008]).
Daging sapi lumat melalui proses curing dapat dijadikan bahan makanan,
seperti bistik, sosis, corned, bakso, steak, nugget dan dikeringkan dapat menjadi abon
dan dendeng giling. Daging sapi juga dapat diekstrak menjadi esense daging. Daging
potongan melalui proses curing dapat diolah menjadi rendang, rawon, empal, sate,
semur, sop dan daging curing, dan jika disayat tipis kemudian dikeringkan dapat
menjadi dendeng sayat atau dendeng kering. Daging lumat setelah melalui proses
curing, penyinaran irradiasi kemudian dikalengkan dapat menjadi daging corned,
sedangkan melalui proses pengawetan dengan pengasapan dapat menjadi daging
asap. Daging sapi juga dapat tahan lama apabila dibekukan menjadi daging beku
(Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Astawan, 2004; Murtidjo, 2005;
www.Halalguide.info [12-02-2008]).
Daging, kulit dan bagian edible-offal (termasuk jeroan) dapat menghasilkan
bahan makanan. Diantara produk olahan makanan hasil sapi potong adalah rendang.
Rendang merupakan salah satu bahan makanan Indonesia yang berasal dari
Sumatera Barat. Saat ini rendang diprediksi telah berkembang menjadi menu
makanan internasional di manca negara, seperti Malaysia, Eropa, Amerika Serikat dan
Australia dan sangat strategis dikembangkan menjadi produk ekspor. Bahkan
Malaysia telah mengekspor atas nama produk “Rendang Padang” (Uska, 2004).
Rendang merupakan produk makanan olahan semi basah yang mengandung protein,
mineral dan vitamin yang tinggi, tahan lama disimpan dan sangat populer di Indonesia,
Gambar 1. Pohon industri sapi potong (Judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; www.ristek.go.id, 2000; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [12-02-2008])
Sa pi Pot ong
Produk Ut am a
Produk sam ping
Lim bah
Daging
Jeroan
Perawat an (cur ing)
Lidah Ot ak Darah Tanduk Tulang
I si Rum en Kot oran
Ek st rak (ex t ract)
Daging bek u
Pelum at an (pulver ize)
Sosis Corned Bakso Nugget Abon Rendang Sat e Daging kering
Kulit lapis Esense daging
Daging asap Dendeng
Em pal
Dendeng giling
Mak anan k er ing Mak anan basah Pak an
Kulit aw et Kulit sam ak berbulu
Kulit Jangat
Kulit perkam en
Mak anan Mak anan Tepung darah
Hiasan uk iran fat s oils
Gelat in Tepung t ulang Ekst rak k alsium
Pupuk / kom pos
Kulit kalf Kulit split
Kulit pot ongan
Kulit berat
Wet blue
Kulit afk ir Kap lam pu Wayang k ulit Drum Rebana
Kulit sol Harm es Ban m esin
Tas Sepat u Jaket I kat pinggang Dom pet Pendinginan (chilling)
Pengasapan (sm oking) Pem bekuan (fr eezing)
Penger ingan (drying)
I r radiasi (irradiat ion)
Pengalengan (canning) Daging lum at
Dendeng ragi Dendeng sayat / ker ing
Sem ur Sop Rawon
St eak/ beef- st eak
Lem ak Kulit
Rendang merupakan makanan siap saji, dapat lebih lama disimpan dan sangat
steril bila dikemas dalam aluminium foil (Irawati, 2005). Rendang kemasan aluminium
foil dapat disimpan selama satu setengah tahun melalui proses iradiasi atau
penyinaran sinar gamma. Agar rendang dapat tahan lama dalam penyimpanan,
proses penyinaran dilakukan di ruangan bersuhu minus 18oC selama dua malam,
kemudian ditutup dalam dry-ice dan diselimuti aluminium foil selama 12 jam dalam
suhu minus 79 oC.
Produk olahan lain dari daging sapi dari Sumatera Barat yang telah diekspor
adalah dendeng kering. Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging yang
dikelompokkan sebagai daging curing dan merupakan produk bahan pangan semi
basah dari Indonesia yang ditambah gula, garam dan rempah-rempah kemudian
dijemur sampai kering (Margono et al., 2000; Hasbullah, 2001). Curing merupakan
proses yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam
dapur dan pengendalian aktivitas air. Prinsip pembuatan dendeng adalah substitusi air
daging dengan bumbu pengawet. Untuk memperpanjang daya simpan, sebagian air
bahan harus dihilangkan, misalnya melalui proses pengeringan (Purnomo, 1997).
Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak, tetapi yang paling banyak
dijumpai adalah dendeng sapi (Harris dan Karmas, 1989).
Jeroan sapi dapat diolah menjadi berbagai bakan makanan kering dan
makanan basah. Jeroan sapi diolah dapat dijadikan pakan sebagai bahan makanan
bagi ternak (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005).
Produk samping sapi potong berupa kulit dapat diolah menjadi kulit samak
berbulu, kulit samak, kulit jangat dan gelatin. Kulit samak diolah melalui proses
pengawetan dapat menjadi kulit awet dan kulit perkamen. Kulit awet dapat dijadikan
sebagai kulit split, kulit kalf untuk kulit lapis bahan pembuatan tas, sepatu, ikat
pinggang dan dompet, kulit potongan, wet blue, kulit afkir dan kulit berat untuk kulit sol,
harmes dan ban mesin. Kulit perkamen dapat dijadikan kap lampu, wayang kulit dan
rebana. Kulit jangat dapat diolah menjadi kerupuk kulit (Judoamidjojo, 1980; Wahyono
dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005).
Produk samping berupa tulang dan tanduk sapi dapat diolah menjadi tepung
tulang, ekstrak kalsium, gelatin dan bahan hiasan dan ukiran. Lemak sapi dapat
dijadikan fats dan oils. Darahnya dikeringkan dan dihaluskan dapat menjadi tepung
darah dan lidah dan otaknya diolah menjadi bahan makanan, sedangkan limbah sapi
potong berupa isi rumen dan kotoran dapat diolah menjadi kompos dan sebagai pupuk
2.3. Model Perencanaan Pengembangan Industri
Perencanaan secara umum menurut Kunarjo (2002) adalah suatu proses
penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang
yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Seiring dengan meningkatnya
permintaan pasar domestik hasil ternak sapi potong perlu dilakukan perencanaan
dalam penyiapan keputusan pengembangan agroindustri untuk masa yang akan
datang, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan mengurangi
ketergantungan terhadap impor (Gumbira-Sa’id, 2000).
Beberapa model perencanaan dan kelayakan pengembangan industri atau
agroindustri secara agregat yang diidentifikasi, dikelompokkan ke dalam berbagai
aspek, yaitu: 1) seleksi produk yang akan dikembangkan sesuai dengan permintaan
pasar, 2) aspek pasar, 3) aspek teknis, yaitu penentuan lokasi, kapasitas produksi,
dan perencanaan bahan baku, dan 4) aspek keuangan. Selain masalah teknis adalah
kondisi pasar, pasokan bahan baku, biaya investasi, pertimbangan sisi kelayakan
lingkungan dan sosial serta aspek lainnya seharusnya sudah ada, yaitu aspek
legalitas/izin usaha, aspek tenaga kerja atau sumber daya manusia dan manajemen,
aspek kelayakan ekonomis dan investasi, aspek pembiayaan serta dapat dilengkapi
dengan penyelesaian (resolusi) konflik (Dekopin, 1999; Saragih, 2000; Sutojo, 2002;
Yusdja dan Iqbal, 2002; Haming dan Basalamah, 2003; Umar, 2003; Unido, 1978;
Clifton dan Fyffe, 1977; Austin, 1981; FAO, 1972; Husnan dan Suwarsono, 2000;
Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, 2002 dan Sulistyadi, 2005).
Kelayakan ekonomis dikaji untuk mendapatkan manfaat dan biaya terhadap
perekonomian secara keseluruhannya. Manfaat (benefits) diklasifikasikan ke dalam
direct benefits (manfaat langsung), indirect benefits (manfaat tidak langsung), dan
intangible benefits (manfaat tidak kentara). Manfaat langsung, seperti kenaikan nilai
hasil produksi dengan meningkatnya jumlah produksi atau meningkatnya mutu produk
atau terjadinya penurunan biaya. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang
ditimbulkan secara tidak langsung yang merupakan multiplier effects dari
pembangunan agroindustri, sedangkan manfaat tidak kentara adalah manfaat yang
sukar diukur dengan uang, misalnya manfaat dalam perbaikan lingkungan hidup,
berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, sedangkan biaya
diklasifikasikan menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung
merupakan semua pengeluaran langsung untuk keperluan pengembangan
pembangunan agroindustri, seperti biaya investasi, biaya operasi, dan biaya
terjadinya polusi udara, bising, dan perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat
dalam pembangunan agroindustri (Nitisemito dan Burhan, 1995).
Aspek kelayakan keuangan (finansial) meliputi sumber dan kebutuhan dana
investasi, aliran kas, nilai bersih saat ini (Net Present Value) yang merupakan selisih
antara capital inflow yang didiskonto pada tingkat bunga minimum atau pada tingkat
cost of capital perusahaan dikurangi dengan nilai investasi. Tingkat pengembalian
modal (Internal Rate Return-IRR) merupakan tingkat suku bunga yang akan
disamakan terhadap present value cash inflow dengan jumlah investasi dari
pembangunan yang sedang dinilai. Tahun kembali modal (Pay Back Period-PBP)
merupakan penentuan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan initial
investmen dari pembangunan agroindustri berdasarkan penggunaan cash inflow, dan
nisbah biaya dan manfaat (Benefit Cost Ratio) (Gray et al. 1992; Haming dan
Basalamah, 2003; Simarmata, 1984 dan Sutojo, 2002).
2.4. Evaluasi Model Perencanaan
Evaluasi dan pengendalian merupakan tahapan terakhir dalam suatu model
perencanaan yang dibangun. Menurut Nitisemito dan Burhan (1995) evaluasi dan
studi kelayakan dari suatu gagasan/model dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk mengambil keputusan suatu model diteruskan (diterima) atau
ditolak (diperbaiki). Evaluasi dapat dilaksanakan sebelum, pada saat atau setelah
selesainya suatu program, proyek atau kegiatan.
Sistem pakar dapat diterapkan dalam mengevaluasi suatu model perencanaan
di bidang pertanian, industri, dan sebagainya yang bersifat cukup kompleks, tidak
memiliki algoritma yang jelas dan membutuhkan kemampuan pakar untuk mencari
sistematika penyelesaian secara evolutif. Penerapan sistem pakar dapat dilakukan
dalam ruang lingkup permasalahan yang bersifat 1) analitik, yaitu penyelesaian
masalah yang didasarkan atas kumpulan fakta (data) termasuk interpretasi dan
diagnostik, yaitu menjalankan fungsi diagnosa komponen, telaah situasi dan
identifikasi, 2) sintesis, yaitu pemecahan masalah yang dibatasi oleh sejumlah kendala
dan pembatas, namun dalam interpretasinya menghasilkan rekomendasi yang telah
digariskan sebelumnya, dan 3) integratif, yaitu penyelesaian masalah yang
memadukan pendakatan analisis dengan sistem (Marimin, 2005).
Komponen basis pengetahuan dalam sistem pakar selain dapat
direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga
representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknis berbasis
kaidah/aturan (rule base) yaitu teknik pengembangan yang menggunakan
pernyataan-pernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan. Kaidah produksi
digunakan untuk pengetahuan prosedural yang distrukturisasi ke dalam bentuk: Jika,
suatu keadaan tertentu [kondisi], maka keadaan lain dapat terjadi [aksi] dengan tingkat
kepastian (certainty factor) tertentu [CF] dengan nilai positif dan benar, agar pengguna
tidak dapat memberikan nilai negatif dari suatu parameter saat pelacakan. Nilai CF
ditentukan dengan pernyataan yang benilai benar, yaitu nilai CF lebih besar sama
dengan 0,2. Jika pernyataan IF dari kaidah dikombinasikan dengan fungsi AND, maka
nilai CF adalah nilai terkecil. Jika dikombinasikan dengan fungsi OR, maka nilai CF
adalah yang terbesar (Kristanto, 2004; Arhami, 2005). Pengetahuan para pakar
direpresentasikan dalam bentuk program komputer menggunakan rule base
berdasarkan kriteria if, then dan else.
2.5. Penyelesaian (Resolusi) Konflik
Pengembangan suatu industri pada daerah dan kawasan tertentu dapat
memicu terjadinya permasalahan yang akhirnya menimbulkan konflik antar
stakeholder. Salah satu penyelesaian permasalahan tersebut adalah melakukan
stakeholder dialogue. Stakeholder dialogue digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan dan mengatasi konflik melalui kompromi dan dilakukan dengan cara
dialog dari pihak yang saling berperkara.
Beberapa bentuk kesepakatan telah dicapai melalui pendekatan multy atribute
utility dari persoalan perbedaan yang berakibat terjadinya konflik dari pihak yang
berkepentingan (Tell, 1976; Sulistyad