• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pemasaran kayu hutan rakyat di kecamatan leuwisadeng, cigudeg, dan jasinga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pemasaran kayu hutan rakyat di kecamatan leuwisadeng, cigudeg, dan jasinga"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMASARAN KAYU HUTAN RAKYAT DI

KECAMATAN LEUWISADENG, CIGUDEG, DAN JASINGA

MAULIDA OKTAVIARINI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Maulida Oktaviarini

(4)

ABSTRAK

MAULIDA OKTAVIARINI. Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga. Dibimbing oleh HANDIAN PURWAWANGSA.

Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif yang berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pengelolaan kayu dan kebutuhan kayu. Pembangunan hutan rakyat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat serta meningkatkan produktivitas lahan. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga menunjukkan terdapat beberapa pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu hutan rakyat diantaranya adalah petani hutan rakyat, pedagang pengumpul, dan industri penggergajian. Dari ketiga pelaku pemasaran tersebut, terbentuk empat saluran pemasaran yang dikelompokkan berdasarkan pelaku pemasaran dan jarak sarad rata-rata. Saluran yang paling efisien diantara keempat saluran tersebut adalah saluran II dengan persentase farmer’s share sebesar 46.93% dan rasio K/B sebesar 5.45. Jenis tanaman yang paling disukai oleh petani dan konsumen adalah jenis sengon hal ini dikarenakan sengon memiliki umur panen yang singkat, mudah tumbuh, dan pembudidayaannya mudah. Konsumen menyukai jenis tanaman ini karena harga sengon yang terjangkau, kayu tidak mudah keropos, dan banyak tersedia di pasaran.

Kata kunci: hutan rakyat, pemasaran, farmer’s share

ABSTRACT

MAULIDA OKTAVIARINI. The Analysis of Private Timber Marketing in Sub-district Leuwisadeng, Cigudeg, and Jasinga. Supervised by HANDIAN PURWAWANGSA.

The private forest is one of alternatives that played an important role in fulfillment of a need raw materials management industry wood and the needs of wood. Development of private forest can improve the people and land revenue increase productivity. Research conducted in sub-district Leuwisadeng, Cigudeg, and Jasinga shows that there are some marketing actors involved in marketing wood of the private forest of them are farmers, traders, and sawmill industries. The marketing of the three actors formed four marketing channels are grouped based marketing actors and average skidding distance. Channels that most efficient among fourth the channels is a channels II with the percentage of farmer’s share as 46.93 % and the ratio of K/B by 5.45. Types of plants most favored by farmers and consumers is the type of sengon it because sengon having a short, the age of harvest readily grows, and easy cultivation. The consumer likes kind of plant is because sengon have reachable prices, sengon not easily bad condition wood and widely available in market.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

ANALISIS PEMASARAN KAYU HUTAN RAKYAT DI

KECAMATAN LEUWISADENG, CIGUDEG, DAN JASINGA

MAULIDA OKTAVIARINI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga

Nama : Maulida Oktaviarini NIM : E14100060

Disetujui oleh

Handian Purwawangsa, SHut, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc Forst Trop Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah pemasasaran kayu hutan rakyat, dengan judul Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Handian Purwawangsa, SHut, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, arahan, pembelajaran, dan waktu kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang terlibat dalam pengumpulan data dalam skripsi ini baik data primer maupun data sekunder. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dan bantuan rekan-rekan Manajemen Hutan 47 Fakultas Kehutanan IPB.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Jenis dan Sumber Data 3

Pengumpulan Data 3

Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Responden 5

Petani Hutan Rakyat 5

Pedagang Pengumpul Kayu Hutan Rakyat 12

Industri Penggergajian 13

Analisis Saluran Pemasaran 16

Analisis Marjin Pemasaran 19

Analisis Efisiensi Pemasaran dan Farmer's Share 21

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 25

(10)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok umur 5

2 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal 6

3 Karakteristik petani responden berdasarkan status usaha hutan rakyat 7

4 Karakteristik petani responden berdasarkan kelas pendapatan per bulan 7

5 Rekapitulasi asal pendapatan petani hutan rakyat 8

6 Luas minimal, maksimal, dan rata-rata hutan rakyat pada masing-masing kecamatan lokasi penelitian 8

7 Persentase bentuk penjualan kayu oleh responden petani hutan rakyat 9

8 Persentase sistem penjualan kayu hutan rakyat oleh petani responden 10

9 Persentase sistem penebangan yang digunakan oleh petani responden 10

10Target dan kapasitas produksi industri penggergajian responden 14

11Marjin dan farmer’s share masing-masing saluran pemasaran 19

DAFTAR GAMBAR

1 Tegakan hutan rakyat (a) sengon di Leuwisadeng (b) kayu afrika di Cigudeg (c) sengon di Jasinga 8

2 Bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh petani responden (a) pohon berdiri (b) kayu bulat (c) kayu gergajian (balken) 9

3 Tanaman trubusan yang kerap dimanfaatkan sebagai tanaman regenerasi oleh petani 12

4 Proses penggergajian kayu bulat menjadi kayu pertukangan 15

5 Produk-produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian (a) kayu pertukangan (b) kulit kayu (c) serbuk gergajian 16

6 Saluran pemasaran kayu hutan rakyat di lokasi penelitian 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik usaha hutan rakyat petani responden 25

2 Karanteristik responden pedagang pengumpul 27

3 Karanteristik usaha pedagang pengumpul 27

4 Karakteristik responden industri penggergajian (sawmill) 28

5 Karakteristik usaha industri penggergajian (sawmill) 28

6 Karakteristik produk industri penggergajian (sawmill) 29

7 Rincian saluran pemasaran I 32

8 Rincian saluran pemasaran II 33

9 Rincian saluran pemasaran III 34

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut Departemen Kehutanan (2007), salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh industri perkayuan Indonesia adalah berkurangnya pasokan bahan baku kayu dari hutan alam. Hutan alam yang ada saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan bahan baku kayu sehingga dibutuhkan pasokan bahan baku kayu dari sumber lain selain hutan alam. Pembangunan dan penyempurnaan tata usaha kayu hutan rakyat menjadi salah satu solusinya.

Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0.25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Usaha hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat (Kementerian Kehutanan 2012).

Fungsi lain dari hutan rakyat selain sebagai salah satu alternatif yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pengelolaan kayu adalah meningkatkan pendapatan masyarakat serta meningkatkan produktivitas lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan dan buah-buahan. Tidak hanya itu, hutan rakyat juga memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting dari fungsi ekonomi dan sosialnya yaitu memperbaiki peresapan air ke dalam tanah, menciptakan iklim mikro, perbaikan lingkungan, dan perlindungan sumber air.

Sifat dari hasil produksi hutan rakyat (kayu rakyat) di antaranya volume atau jumlahnya yang relatif kecil, letaknya yang bertebaran pada kondisi topografi yang sulit, jauh dari konsumen/pabrik dan industri kayu lainnya, kualitas kayu yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kualitas yang diharapkan oleh konsumen dan waktu panen yang tidak menentu (Sugiharto dalam Rosnawati 2004). Letaknya yang bertebaran pada kondisi topografi yang sulit dan jauh dari konsumen/pabrik dan industri kayu lainnya memungkinkan adanya keterlibatan pelaku lain dalam pengusahaan hutan rakyat yaitu pedagang pengumpul (tengkulak) yang berperan menghubungkan petani dengan konsumen kayu rakyat. Kurangnya informasi petani mengenai pasar membuat pedagang pengumpul menjadi pihak yang memiliki peran penting dalam penentuan harga kayu. Hal ini mengakibatkan kerugian di pihak petani sehingga petani mendapatkan keuntungan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pelaku pemasaran yang lainnya.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis kayu apa yang banyak diminati oleh pasar?

(12)

2

3. Bagaimana pembagian keuntungan (sharing profit) yang didapatkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran kayu hutan rakyat?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi jenis kayu yang banyak diminati oleh pasar.

2. Mengidentifikasi saluran pemasaran yang terjadi pada pengusahaan kayu hutan rakyat dan menentukan saluran pemasaran yang paling efisien.

3. Mengidentifikasi pembagian keuntungan (sharing profit) pada pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran kayu hutan rakyat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah maupun lembaga ekonomi yang berkaitan dengan pemasaran kayu rakyat dalam menentukan jenis pohon yang harus ditanam apabila melakukan kegiatan reboisasi serta memberikan informasi kepada petani hutan rakyat mengenai strategi-strategi pemasaran maupun upaya pengelolaan hutan rakyat yang baik dan benar untuk meningkatkan produktivitas dan mendapatkan keuntungan yang merata dengan pelaku dalam rantai pemasaran lainnya.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Jasinga, Cigudeg, dan Leuwisadeng. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2014 sampai Juli 2014.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Alat tulis

2. Papan jalan 3. Kuesioner 4. Kalkulator 5. Kamera digital

(13)

3

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara secara langsung pada lembaga pemasaran terkait seperti petani hutan rakyat, pedagang pengumpul, dan pemilik industri penggergajian (sawmill). Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang berasal dari buku, skripsi, data yang berasal dari internet dan instansi terkait.

Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan wawancara terhadap petani yang memiliki hutan rakyat serta pelaku pemasaran lainnya yang juga meliputi pedagang pengumpul dan pemilik industri penggergajian (sawmill). Penentuan responden petani hutan rakyat dilakukan secara snowball sampling, sedangkan pada industri penggergajian (sawmill) dipilih secara purposive sampling dengan pertimbangan keterwakilan jumlah mesin penggergajian. Untuk penentuan responden pedagang pengumpul dilakukan dengan teknik convenience sampling. Jumlah responden petani hutan rakyat berjumlah 30 orang dengan pembagian sebanyak 10 orang pada setiap kecamatan. Jumlah responden pelaku pemasaran lainnya sebanyak 10 orang yaitu pedagang pengumpul sebanyak 4 orang dan pemilik industri penggergajian (sawmill) sebanyak 6 orang dengan pembagian sebanyak 2 industri pada setiap kecamatan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif guna menjawab semua tujuan yang diinginkan.

a. Analisis saluran pemasaran

Saluran pemasaran dapat dianalisis dengan melakukan pengamatan terhadap pelaku pemasaran yang ada. Setiap pelaku pemasaran akan membentuk saluran pemasaran yang berbeda, yang akan mempengaruhi besarnya bagian harga yang diterima oleh setiap pelaku. Menurut Febriani (2013), beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam memilih saluran pemasaran yaitu:

1. Pertimbangan pasar yang meliputi konsumen akhir dengan melihat pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, volume pesanan, dan kebiasaan pembeli.

2. Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar, berat, tingkat kerusakan, dan sifat teknis barang untuk memenuhi pesanan atau pasar.

3. Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi sumber permodalan, pengawasan, penyaluran, pelayanan, dan pengalaman penjualan.

(14)

4

b. Analisis marjin

Marjin pemasaran dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Besarnya marjin pemasaran pada dasarnya juga merupakan penjumlahan dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran. Secara matematis dirumuskan :

Mi = Psi - Pbi Mi = ci + πi Keterangan :

Mi = marjin pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3) Psi = harga penjualan lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3) Pbi = harga pembelian lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3) Ci = biaya pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3) πi = keuntungan pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp/m3) c. Analisis efisiensi pemasaran dan farmer’s share

Efisiensi pemasaran dapat diketahui dari rasio K/B (keuntungan terhadap biaya-biaya pemasaran) pada masing-masing lembaga pemasaran. Rasio K/B (keuntungan terhadap biaya-biaya pemasaran) dirumuskan :

asio euntungan ia a πi

i

Besar kecilnya rasio K/B (keuntungan terhadap biaya-biaya pemasaran) belum tentu dapat menggambarkan efisiensi pemasaran, sehingga indikator lain yang digunakan adalah memperbandingkan bagian harga yang diterima oleh petani (farmer’s share).

Farmer’s share merupakan bagian pendapatan yang diterima petani dari kegiatan pemasaran. Analisis farmer’s share digunakan untuk membandingkan persentase dari harga yang dibayar konsumen terhadap harga yang diterima petani (Limbong et al. 1985 dalam Febriani 2013). Semakin tinggi harga yang diterima konsumen dari lembaga pemasaran (pedagang), maka persentase yang diterima oleh petani semakin sedikit. Hal ini dikarenakan adanya hubungan negatif antara marjin pemasaran dengan bagian yang diterima petani. Secara matematis farmer’s

share dihitung sebagai berikut :

s f

r

Keterangan :

Fs = persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf = harga di tingkat petani

(15)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Pelaku pemasaran kayu hutan rakyat yang menjadi responden dalam penelitian ini meliputi petani hutan rakyat, pedagang pengumpul, dan pemilik industri penggergajian (sawmill) yang ada di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga. Berikut uraian karakteristik dari masing-masing pelaku pemasaran yang terkait.

Petani Hutan Rakyat

Kelompok Umur

Responden petani dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga yang memiliki hutan rakyat dengan luas minimal 0.25 hektar. Jumlah responden petani sebanyak 30 orang yang terbagi sebanyak 10 orang pada setiap kecamatan. Karakteristik dari petani hutan rakyat ini mencakup usia, tingkat pendidikan, status usaha hutan rakyat, pendapatan, dan luas hutan rakyat yang dimiliki.

Tabel 1 Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok umur

Kecamatan Kelompok umur (tahun) Jumlah

(orang)

21–30 31–40 41–50 51–60 > 60

Leuwisadeng 0 1 6 3 0 10

Cigudeg 1 4 3 2 0 10

Jasinga 1 1 3 4 1 10

Jumlah (orang) 2 6 12 9 1 30

Persentase (%) 6.67 20.00 40.00 30.00 3.33 100

Sumber: data primer

(16)

6

oleh pemikiran masyarakat yang sering menganggap bahwa dengan bertani hutan rakyat tidak akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan formal sebagian besar petani hutan rakyat masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah responden yang hanya mengenyam pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) yang mencapai 86.67% dan responden yang tidak bersekolah sebesar 3.33%. Tingkat pendidikan formal petani responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal

Kecamatan Tingkat pendidikan Jumlah

(orang)

Rendahnya tingkat pendidikan di kalangan petani hutan rakyat bisa disebabkan oleh banyaknya responden yang berusia di atas 40 tahun, hal ini disebabkan saat para responden masih muda (pada usia sekolah) tingkat pendidikan SD sudah dianggap tinggi dan cukup sehingga banyak dari mereka yang tidak melanjutkan pendidikan. Faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya tingkat pendidikan formal petani hutan rakyat adalah faktor ekonomi dan faktor jarak tempuh sekolah yang jauh dari tempat tinggal petani.

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dapat mempengaruhi keberhasilan suatu usaha yang dijalankan serta berpengaruh dalam pengambilan keputusan (Meryani 2008). Rendahnya tingkat pendidikan serta keterbatasan keterampilan yang dimiliki petani hutan rakyat inilah yang menjadi salah satu penghambat bagi petani untuk mendapatkan pekerjaan lain pada saat ini, sehingga menjadi petani hutan rakyat dianggap sebagai alternatif yang tepat untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Berdasarkan pengamatan dilapang, responden dengan tingkat pendidikan SD dan tidak bersekolah lebih cenderung mendapatkan harga jual kayu yang lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tingkat pendidikannya SLTP ataupun SLTA. Hal ini dikarenakan responden dengan tingkat pendidikan rendah cenderung kurang memahami perkembangan pasar. Kurangnya pengetahuan para petani inilah yang biasanya dijadikan kesempatan oleh para pedagang pengumpul untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan harga normal.

Status Usaha Hutan Rakyat

(17)

7 pedagang, dan pemilik gilingan padi. Hal ini menandakan bahwa bertani hutan rakyat masih dianggap sebagai salah satu mata pencaharian favorit yang mudah dilakukan dengan ketrampilan yang minimal dan dapat diandalkan oleh responden untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Status usaha petani responden tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik petani responden berdasarkan status usaha hutan rakyat

Kecamatan Status usaha Jumlah (orang)

Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan

Responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai mata pencaharian utama, lebih intensif dalam melakukan pemeliharaan tanamannya, berbeda dengan responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai pekerjaan sampingan. Responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai pekerjaan sampingan cenderung kurang intensif dalam pemeliharaan tanaman, selain itu biasanya responden yang menjadikan bertani kayu hutan rakyat sebagai pekerjaan sampingan lebih memutuskan untuk melakukan pemeliharaan tanamannya dengan membayar buruh harian sehingga pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan petani hutan rakyat yang pekerjaan utamanya adalah bertani dan melakukan pemeliharaan dengan memanfaatkan tenaga sendiri dan dilakukan secara intensif setiap hari.

Pendapatan

Sebagian besar pendapatan petani responden setiap bulannya masih tergolong rendah dan di bawah UMK Kabupaten maupun Kota Bogor. Pendapatan petani dari hutan rakyat baik itu hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu memiliki konstribusi sebesar 17.97% dari penghasilan total petani setiap bulannya. Persentase pendapatan petani berdasarkan kelas pendapatan dan rekapitulasi asal pendapatannya dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4 Karakteristik petani responden berdasarkan kelas pendapatan per bulan

Kecamatan Pendapatan (Rp) Jumlah (orang)

(18)

8

Tabel 5 Rekapitulasi asal pendapatan petani hutan rakyat

Kecamatan Asal pendapatan Jumlah (%)

Non hutan rakyat (%) Hutan rakyat (%)

Leuwisadeng 88.90 11.10 100

Cigudeg 85.89 14.11 100

Jasinga 71.29 28.71 100

Rata-rata (%) 82.03 17.97 100

Sumber: data primer

Luas Rata-Rata Hutan Rakyat

Setiap lokasi penelitian memiliki luasan hutan rakyat yang berbeda-beda. Luas minimal, maksimal, dan rata-rata hutan rakyat pada masing-masing kecamatan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Luas minimal, maksimal, dan rata-rata hutan rakyat pada masing-masing kecamatan lokasi penelitian

Kecamatan Luas minimal (ha) Luas maksimal (ha) Luas rata-rata hutan rakyat (ha)

Leuwisadeng 0.30 1 0.54

Cigudeg 0.45 2 0.85

Jasinga 0.50 4 1.60

Total (ha) 1.25 7 2.99

Sumber: data primer

Tabel 6 menunjukkan bahwa Kecamatan Jasinga merupakan kecamatan dengan luas rata-rata hutan rakyat terluas yaitu 1.60 hektar dan menyusul Kecamatan Cigudeg dan Leuwisadeng. Gambar 1 menunjukkan tegakan hutan rakyat di lokasi penelitian.

(a) (b) (c)

Gambar 1 Tegakan hutan rakyat (a) sengon di Leuwisadeng (b) kayu afrika di Cigudeg (c) sengon di Jasinga

Bentuk Penjualan Kayu

(19)

9 responden yang diwawancarai, menjual kayu dalam bentuk balken lebih menguntungkan dibandingkan dengan menjual kayu dalam bentuk kayu bulat saja. Bentuk penjualan kayu oleh petani responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Persentase bentuk penjualan kayu oleh responden petani hutan rakyat

Kecamatan Bentuk penjualan kayu Jumlah

(orang)

Pohon berdiri Kayu bulat Kombinasi

Leuwisadeng 9 1 0 10

Cigudeg 9 0 1 10

Jasinga 10 0 0 10

Jumlah (orang) 28 1 1 30

Persentase (%) 93.33 3.33 3.33 100

Sumber: data primer

Banyaknya petani yang menjual kayu hutan rakyatnya dalam bentuk pohon berdiri membuat hasil penjualan kayu kurang maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa faktor penghambat seperti kurangnya modal yang dimiliki petani untuk menjual pohon dalam bentuk kayu bulat, sedikitnya pohon yang akan ditebang pada setiap tahunnya, serta kurangnya informasi dan akses petani terhadap pasar. Gambar 2 menunjukkan bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh petani responden di lokasi penelitian.

(a) (b) (c)

Gambar 2 Bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh petani responden (a) pohon berdiri (b) kayu bulat (c) kayu gergajian (balken)

Sistem Penjualan Kayu dan Sistem Penebangan

(20)

10

(dipilih) pada setiap tahun (walaupun tidak dalam kondisi butuh). Sistem penjualan per pohon biasanya digunakan oleh petani responden yang menggunakan sistem penebangan tebang pilih, namun ada juga petani responden yang menjual kayunya dengan sistem penjualan kubikasi walaupun menggunakan sistem penebangan tebang pilih. Untuk petani responden yang menggunakan sistem penebangan tebang habis (umur pohon 2–6 tahun), biasanya sistem penjualan yang dilakukan adalah borongan yaitu menjual kayu per kebun yang petani miliki selain pohon buah dan karet. Berikut disajikan persentase sistem penjualan kayu dan sistem penebangan yang digunakan oleh petani responden.

Tabel 8 Persentase sistem penjualan kayu hutan rakyat oleh petani responden

Kecamatan Sistem penjualan kayu Jumlah (orang)

Per pohon Borongan Kubikasi

Leuwisadeng 9 0 1 10

Tabel 9 Persentase sistem penebangan yang digunakan oleh petani responden

Kecamatan Sistem penebangan Jumlah (orang)

Tebang habis Tebang pilih

Leuwisadeng 0 10 10

Sebagian besar petani responden pada penelitian ini menerapkan pola penanaman secara agroforestri, selain jenis tanaman kayu, petani juga sering menyelipkan tanaman non kayu seperti cabai, pisang, tomat, dan bambu. Tanaman pertanian ini dijadikan tanaman sela yang hasilnya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

(21)

11 sehingga buah yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik, sedangkan di Kecamatan Cigudeg, petani tidak memiliki jenis tanaman yang menonjol tetapi di kecamatan ini petani lebih suka menanam tanaman yang dapat diambil hasilnya selain kayu dari pohon itu sendiri seperti mangga, durian, jengkol, dan petai.

Secara keseluruhan, jenis yang paling banyak ditanam oleh petani adalah jenis sengon. Menurut Hadi dan Napitupulu (2012), sengon merupakan pilihan tepat karena memiliki umur panen yang singkat serta karakter kayu yang ringan dan indah warnanya. Selain itu, cukup banyak kelebihan, mulai dari pembudidayaannya yang mudah, mudah tumbuh, mudah diusahakan, dan harga jualnya pun cukup menggiurkan.

Menurut pengakuan responden, sengon merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan mudah untuk dibudidayakan sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk dapat memanennya. Petani biasanya mulai menjual pohon sengonnya pada umur 2–6 tahun dengan diameter di atas 20 cm. Selain itu, tidak ada perlakuan khusus oleh petani pada sengon sehingga biaya yang dikeluarkan oleh petani tidak besar. Adapun kendala yang ditemui petani dalam bertani hutan rakyat adalah kurangnya informasi pasar jika petani ingin menjual langsung hasil hutannya kepada industri penggergajian, keterbatasan modal sehingga kebun kurang mendapatkan perawatan, musim yang tidak menentu sehingga pendapatan petani dari buah susah diprediksi, penyakit pada pohon, serta hama seperti rayap, ulat tenggerek (pada sengon), ulat daun (pada kayu afrika), dan serangan dari tikus, babi, dan monyet.

Hutan rakyat yang saat ini dimiliki oleh petani sebagian besar adalah tanah milik yang merupakan warisan keluarga sehingga hanya sebagian petani saja yang melakukan kegiatan pengolahan tanah, selebihnya hanya meneruskan kebun yang sudah ada dari orang tua mereka. Rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan pengolahan tanah adalah Rp1 000/m2, namun karena 76.67% petani menempatkan bertani hutan rakyat sebagai pekerjaan utama maka petani lebih memilih untuk menggarap sendiri kebunnya dibantu oleh anggota keluarga. Begitu pula untuk kegiatan penanaman, penyiangan, dan pemupukan.

Kegiatan penyiangan biasanya dilakukan 4 bulan sekali, untuk responden yang tidak menggarap sendiri hutannya, biasanya lebih memilih untuk mempekerjakan buruh harian dengan upah Rp40 000 sampai Rp60 000 per hari. Kegiatan pemupukan dilakukan hanya saat tanaman berusia 1–2 tahun, pupuk yang digunakan adalah pupuk organik (kotoran hewan) dan ada juga pupuk sintetis. Harga pupuk yang dikeluarkan oleh petani mulai dari Rp3 000 sampai Rp7 000 per kg. Beberapa petani juga melakukan penyemprotan pada tumbuhan bawah dengan tujuan mengurangi laju pertumbuhan tumbuhan bawah agar tidak sering melakukan penyiangan dengan harga pestisida Rp50 000–Rp70 000 per liter.

(22)

12

penjarangan, petani tidak pernah menetapkan jangka waktu tertentu, hal ini dikarenakan kedua kegiatan ini dilakukan secara kondisional. Kayu hasil penjarangan biasanya dimanfaatkan sendiri oleh petani sebagai bahan bakar. Berikut gambar yang menunjukkan regenerasi tanaman yang disebut dengan tanaman trubusan.

Gambar 3 Tanaman trubusan yang kerap dimanfaatkan sebagai tanaman regenerasi oleh petani

Selama dilakukannya penelitian, tidak ditemukan kelompok tani yang melakukan kegiatan yang intensif secara rutin dilakukan bersama-sama. Kelompok tani yang ada hanyalah sebatas komunitas petani hutan yang biasanya melakukan pertemuan hanya saat ada kegiatan “hajatan” di kampung. Oleh karena itu, tidak ada kontrol yang baik terhadap kegiatan yang dilakukan petani sehingga masih banyak petani yang tidak paham pasar dan pengelolaan hutan yang benar.

Salah satu kasus unik ditemui di Jasinga. Salah satu petani hutan rakyat di sana juga berprofesi sebagai pedagang pengumpul dan semua petani di sana menjual kayu rakyatnya pada pedagang tersebut sehingga pedagang pengumpul bisa dengan seenaknya memainkan harga beli kayu petani karena dia tidak pernah mau berbagi kondisi pasar terkini. Terlebih, antara 1 petani dan petani lainnya tidak pernah berdiskusi mengenai harga jual kayu sehingga harga yang didapakan oleh petani masih di bawah harga rata-rata pasar. Hardjanto (2000) menyatakan karena jumlah petani hutan rakyat yang banyak dan masing-masing hanya memiliki sumber daya terbatas, tidak membentuk usaha bersama, tidak menguasai informasi pasar dan sebagainya, maka petani memiliki posisi tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga lainnya.

Pedagang Pengumpul Kayu Hutan Rakyat

(23)

13 Jenis kayu yang diperjualbelikan oleh pedagang pengumpul meliputi semua jenis yang ada seperti sengon, kecapi, durian, manggis, nangka, kayu afrika, akasia, dan masih banyak jenis lainnya. Diantara jenis-jenis kayu tersebut, jenis yang paling tinggi permintaannya adalah jenis sengon. Hal ini dikarenakan harga kayu sengon yang terjangkau, kayu tidak mudah keropos, dan jenis sengon merupakan jenis yang banyak tersedia di pasaran, mudah tumbuh, mudah diusahakan, dan harga jualnya pun cukup menggiurkan.

Pedagang pengumpul biasanya melakukan pembelian dengan sistem per pohon ataupun borongan dan sistem penjualan berdasarkan kubikasi dengan sebelumnya kayu dibentuk ke dalam kayu bulat dan balken. Sasaran penjualan dari pedagang pengumpul ini adalah industri penggergajian, toko bangunan, dan pabrik. Daerah pemasaran pun masih di sekitar daerah Bogor, namun untuk pedagang pengumpul yang memasarkan kayunya ke pabrik dan toko bangunan, biasanya akan bekerjasama dengan pemiliki sawmill dan daerah pemasarannya hingga daerah Tangerang, Banten, Bekasi, dan Jakarta.

Kapasitas pembelian kayu yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berkisar antara 10–30 m3 kayu per bulan. Beberapa hal yang mempengaruhi volume penjualan kayu adalah, penawaran kayu hutan rakyat dari petani, permintaan konsumen, modal, serta kondisi cuaca. Untuk modal, biasanya sebelum melakukan transaksi jual beli dengan petani, pedagang pengumpul akan meminjam dulu modal kepada pemilik sawmill.

Harga beli kayu hutan rakyat oleh pedagang pengumpul bervariasi, untuk jenis putihan biasanya petani mendapatkan harga Rp350 000–Rp500 000 per m3, sedangkan untuk jenis kayu merahan biasanya harga hingga 2 kali lipat berkisar Rp700 000–Rp1 000 000 per m3. Hal ini dikarenakan, kayu jenis merahan memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan kayu jenis putihan. Selain itu, kayu jenis merahan memiliki stuktur kayu yang keras sehingga biaya operasional yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan dengan mengolah kayu putihan. Kayu yang termasuk kayu putihan adalah sengon, muncang, karet, kayu afrika, jabon, dan mahoni, sedangkan yang tergolong kayu merahan adalah kecapi, duren, jengkol, manggis, nangka, dan jenis pohon buah lainnya. Beberapa hal yang mempengaruhi harga beli kayu oleh pedagang pengumpul kepada petani adalah jenis, ukuran, biaya operasional yang dibutuhkan, lokasi, bentuk, dan kualitas kayu.

Pedagang pengumpul biasanya membeli kayu pada petani dengan harga yang didasarkan pada volume taksiran pedagang pengumpul. Namun pada kenyataannya, taksiran volume yang dijadikan dasar dalam penentuan harga pembelian kayu pada petani oleh pedagang pengumpul tersebut seringkali under-estimate ketika sampai di industri penggergajian, sehingga keuntungan yang didapatkan oleh pedagang pengumpul akan jauh lebih besar dibandingkan dengan perhitungan yang seharusnya.

Industri Penggergajian

(24)

14

penggergajian ini bermacam-macam seperti palet, papan, balok, kaso, galar, dan racuk. Dari keenam industri penggergajian ini, hanya 1 industri yang memproduksi palet, selebihnya hanya memproduksi kayu pertukangan. Tiga diantara 6 responden yang diwawancarai mengenai industri penggergajian ini adalah pemilik langsung industri penggergajian dan selebihnya adalah pegawai (orang kepercayaan) industri penggergajian.

Responden di tingkat industri penggergajian memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani dan pedagang pengumpul (Lampiran 2). Selain itu, 50% dari responden industri penggergajian memiliki umur 20–40 tahun. Hal ini sangat berbeda dengan para responden petani yang didominasi oleh responden berusia di atas 40 tahun.

Tabel 10 Kapasitas dan realisasi produksi industri penggergajian responden

Nama Kapasitas produksi

Menurut Ratnaningrum (2009), kapasitas produksi merupakan kemampuan suatu pabrik atau industri untuk memproduksi atau mengolah suatu barang (input) menjadi barang yang baru (output). Tinggi rendahnya kapasitas produksi mencirikan besar kecilnya industri tersebut.

Tabel 10 menunjukkan bahwa industri penggergajian yang ada di lokasi penelitian memiliki realisasi produksi rata-rata 250 m3/bulan atau 3 000 m3/tahun. Realisasi produksi saat ini sangat jauh dari kapasitas produksi yang mencapai 554 m3/bulan. Jauhnya selisih antara kapasitas dengan realisasi produksi diakui oleh para responden diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu ketersediaan bahan baku kayu rakyat, kondisi pemerintahan, kondisi pasar, dan masuknya kayu dari luar daerah Bogor sehingga realisasi produksi masih under capacity. Menurut para responden, saat kondisi pemerintahan sedang sibuk dengan urusan politik maupun pemilihan umum seperti pada tahun ini, maka pesanan kayu pertukangan akan semakin menurun.

(25)

15 tergolong sebagai industri sedang, sedangkan keempat industri penggergajian lainnya tergolong penggegajian kecil.

Gambar 4 menunjukkan proses penggergajian kayu bulat menjadi kayu pertukangan berbagai ukuran di industri penggergajian. Untuk mengoperasikan 1 alat bandsaw dibutuhkan minimal 2 operator. Dalam mengoperasikan bandsaw, operator seharusnya dilengkapi dengan alat perlindungan diri (APD) yang lengkap, tapi hal ini tidak ditemui di industri penggergajian yang menjadi responden penelitian. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai operator bandsaw

merupakan pekerjaan yang memiliki resiko kerja tinggi.

Gambar 4 Proses penggergajian kayu bulat menjadi kayu pertukangan Industri penggergajian biasanya bekerja sama dengan pedagang pengumpul untuk menyediakan pasokan bahan baku. Dalam hal ini, pedagang pengumpul berperan sebagai perantara antara petani dengan industri. Terkadang industri membeli langsung bahan baku dari petani namun hal ini jarang dilakukan karena dianggap membuang-buang waktu dan menambah pekerjaan industri sehingga mereka lebih memilih untuk membeli kayu pada tengkulak dalam bentuk kayu bulat. Ini dianggap lebih efisien karena industri bisa fokus dengan pekerjaan di industri penggergajian tanpa harus turun langsung ke lapangan untuk mencari bahan baku. Oleh karena itu, industri tidak segan untuk meminjamkan uang kepada pedagang pengumpul sebagai modal untuk membeli kayu petani dan biaya operasional. Bahan baku kayu rakyat di tingkat industri tidak hanya berasal dari daerah Bogor, beberapa industri juga mengambil bahan baku dari daerah lain seperti Banten, Ciamis, Tasik, dan Palembang.

Produk yang dihasilkan oleh tiap-tiap responden industri penggergajian dapat dilihat pada Lampiran 6. Kayu pertukangan yang dihasilkan oleh industri penggergajian di lokasi penelitian ini dipasarkan ke berbagai daerah seperti Jabodetabek, Karawang, Sukabumi, Tangerang, Purwokerto, Surabaya, dan Pasuruan. Sasaran pemasarannya adalah pabrik, toko material, proyek bangunan, dan perorangan. Biaya penjualan yang dikeluarkan oleh industri penggergajian belum termasuk biaya pengangkutan dari industri menuju konsumen. Menurut pengakuan responden, dalam melakukan kegiatan pengangkutan menuju konsumen tidak jarang harus berurusan dengan pihak berwajib walaupun surat-surat yang mereka miliki telah lengkap. Pungutan yang diminta oleh polisi maupun DLLAJ itu pun beragam, mulai dari Rp5 000–Rp10 000 untuk pick up

(26)

16

Perbedaan harga jual kayu pertukangan di tingkat industri dengan ukuran dan jenis yang sama dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada lampiran tersebut dapat dilihat bahwa ada industri yang menjual kayunya dengan harga yang sangat murah dan ada yang menjual dengan harga yang sangat mahal dan selebihnya hampir sama. Faktor yang menyebabkan perbedaan harga jual ini adalah tingkat pengolahan yang intensif, kemampuan membaca peluang dan kondisi pasar, serta banyaknya rekan kerja dan jangkauan pemasaran. Gambar 5 menunjukkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian.

(a) (b) (c)

Gambar 5 Produk-produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian (a) kayu pertukangan (b) kulit kayu (c) serbuk gergajian

Produk yang dihasilkan oleh industri penggergajian dapat berupa kayu pertukangan, kulit kayu, dan serbuk gergajian. Kulit kayu biasanya dijual per pick up dengan harga Rp120 000–Rp350 000, konsumen dari kulit kayu ini adalah pabrik yang memproduksi batu bata, begitu pula dengan serbuk gergajian. Untuk kayu diameter kecil, rata-rata rendemen yang dihasilkan adalah 70% sedangkan untuk kayu berukuran besar rendemen yang dihasilkan dapat mencapai 90%. Sisa dari rendemen inilah yang nantinya berupa kulit kayu dan serbuk gergajian. Jadi bisa dikatakan bahwa tidak ada bagian yang terbuang dalam pengelolaan kayu rakyat ini.

Analisis Saluran Pemasaran

Analisis saluran pemasaran digunakan untuk mengetahui aliran barang dari produsen ke konsumen, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemindahan kayu hutan rakyat dari produsen (petani) hingga ke konsumen di ketiga kecamatan lokasi penelitian. Menurut Kotler dan Armstrong (2008), saluran pemasaran (saluran distribusi) merupakan sekelompok organisasi yang saling tergantung yang membantu membuat produk atau jasa tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen atau pengguna bisnis.

(27)

17 a) Saluran non tingkat (Zero-level-channel) atau dinamakan sebagai saluran pemasaran langsung, adalah saluran di mana produsen atau pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen.

b) Saluran 1 tingkat (One-level-channel) adalah saluran yang menggunakan perantara.

c) Saluran 2 tingkat (Two-level-channel) mencakup 2 perantara. d) Saluran 3 tingkat (Three-level-channel) mencakup 3 perantara.

Saluran pemasaran dapat berbentuk secara sederhana dan dapat pula rumit sekali. Hal demikian tergantung dari macam komoditi lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem pasar yang lain (Soekartawi 2002).

Saluran pemasaran kayu hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga dari petani ke industri penggergajian (sawmill) hanyalah pedagang pengumpul. Saluran pemasaran yang terdapat di lokasi penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6 Saluran pemasaran kayu hutan rakyat di lokasi penelitian

Gambar 6 menginformasikan bahwa saluran pemasaran kayu hutan rakyat mempunyai 2 saluran, yaitu dari petani hutan rakyat menuju pedagang pengumpul kemudian ke industri sawmill (93.33%) dan dari petani hutan rakyat langsung menuju industri sawmill (6.67%). Dilihat dari jarak penyaradan kayu rakyat dari tunggak menuju TPn, saluran pemasaran di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu jarak dekat dan jauh. Dikatakan jarak dekat apabila penyaradan dari tunggak menuju TPn berjarak kurang dari 500 meter. Namun apabila lebih dari itu, maka dikelompokkan sebagai jarak jauh.

Saluran I (Petani – Industri Penggergajian (jauh))

Pada saluran I, petani hutan rakyat menjual secara langsung kayu hasil panennya kepada industri sawmill dengan jarak penyaradan yang tergolong jauh. Pada penelitian yang dilakukan, responden yang melakukan saluran pemasaran seperti saluran I hanya ada 1 orang (3.33%). Pada saluran ini, responden menjual kayu rakyatnya dalam bentuk balken (kayu gergajian) yang berukuran 10 cm x 20 cm x 2.8 m dengan harga sebesar Rp40 000 per balken. Pada saluran ini, biaya penebangan, penyaradan dan pemuatan, serta pengangkutan ke industri penggergajian ditanggung oleh petani. Dikarenakan pada saluran ini petani

Petani

Pedagang Pengumpul

Industri Sawmill

(28)

18

menjual kayunya dalam bentuk balken yang memiliki ukuran pasti, maka industri penggergajian biasanya akan membentuk kayu ini menjadi papan dengan ukuran 2 cm x 20 cm x 2.8 m. Hal ini dikarenakan, papan memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kayu pertukangan lainnya. Namun dalam pengerjaannya, tidak boleh ada kesalahan pada pemotongan kayu di industri penggergajian. Karena jika salah, jumlah papan yang dihasilkan akan tidak sesuai dengan perhitungan yang seharusnya.

Pada prinsipnya, jual beli kayu dalam bentuk balken lebih menguntungkan baik untuk petani maupun untuk industri penggergajian. Bagi petani, menjual kayu dalam bentuk balken mampu meningkatkan harga jual kayu dibandingkan dengan biasanya dan bagi industri penggergajian, membeli kayu dalam bentuk balken lebih menguntungkan karena akan mendapatkan volume kayu yang pasti, meningkatkan produktivitas penggergajian, serta dapat meminimalkan biaya operasional.

Saluran II (Petani – Industri Penggergajian (dekat))

Tidak berbeda jauh dengan saluran I, pada saluran pemasaran II petani menjual kayunya secara langsung kepada industri sawmill. Saluran ini merupakan saluran non tingkat (zero level channel) atau saluran pemasaran tanpa melalui perantara seperti halnya saluran pemasaran I. Hanya saja yang membedakan di antara kedua saluran pemasaran ini adalah jarak sarad pada saluran pemasaran II ini tergolong dekat dan petani menjual kayunya dalam bentuk kayu bulat. Terdapat 1 orang responden (3.33%) yang melakukan saluran pemasaran seperti ini. Hal ini dikarenakan responden memiliki pekerjaan utama sebagai dagang tani (bertani sekaligus menjadi pedagang pengumpul), sehingga disamping sebagai petani, pekerjaan utama responden ini adalah pedagang pengumpul kayu. Dalam saluran ini, kegiatan penebangan, penyaradan dan pemuatan, serta pengangkutan seluruh biayanya ditanggung sendiri oleh petani.

Bagi responden yang berprofesi sebagai dagang tani, menjual kayu dalam bentuk kayu bulat bukanlah hal yang sulit karena petani telah memiliki akses yang mudah, baik dalam penyediaan tenaga buruh harian maupun akses pasar. Menjual kayu dalam bentuk kayu bulat jelas lebih menguntungkan, terlebih jika hutan yang dimiliki memiliki tingkat aksesibilitas yang mudah seperti yang terjadi pada saluran pemasaran II, sehingga biaya operasional untuk pengangkutan serta penyaradan dan pemuatan dapat diminimalkan. Bagi industri penggergajian, membeli kayu dalam bentuk kayu bulat memang membutuhkan biaya operasional yang lebih besar jika dibandingkan dengan membeli balken, namun keuntungan lain yang didapatkan dengan membeli kayu bulat adalah kayu pertukangan (racuk) yang sering dianggap sebagai kayu sisa, serbuk kayu, dan kulit kayu.

Saluran III (Petani – Pedagang Pengumpul - Industri Penggergajian (jauh))

(29)

19 penjualan kayu yang dilakukan oleh petani adalah pohon berdiri. Karena pohon dan TPn jauh maka harga yang diterima petani tergolong rendah.

Pada saluran ini, biasanya pengumpul kayu menjual kayu dari petani kepada industri penggergajian berupa kayu bulat. Dengan jarak penyaradan yang jauh, maka untuk biaya operasional penyaradan dan pemuatan dibedakan, hal inilah yang menyebabkan biaya operasionalnya tinggi. Karena pemasaran kayu hanya terbatas dalam 1 kecamatan maka biaya pengangkutan pun tidak begitu besar.

Saluran IV (Petani – Pedagang Pengumpul – Industri Penggergajian (dekat))

Sama halnya dengan saluran pemasaran III, saluran pemasaran IV merupakan saluran 1 tingkat. Yang membedakan di antara kedua saluran ini hanyalah jarak penyaradan kayu. Dikarenakan jarak penyaradan kayu dari tunggak menuju ke TPn dekat maka buruh harian yang bekerja sebagai tenaga sarad juga merangkap pekerjaannya sebagai buruh muat kayu. Selain itu, yang membedakan dari saluran III dan IV ini adalah harga jual kayu yang didapatkan oleh petani. Petani di saluran IV mendapatkan harga jual kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan saluran III. Oleh karena itu, aksesibilitas kayu dan bentuk penjualan kayu merupakan faktor yang berpengaruh penting terhadap harga jual kayu.

Analisis Marjin Pemasaran

Analisis marjin pemasaran merupakan salah satu indikator untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan setiap lembaga dalam suatu saluran pemasaran mulai dari tingkat petani sampai ke konsumen. Menurut Ratnaningrum (2009), marjin pemasaran merupakan perbedaan harga yang diterima oleh produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Nilai marjin pemasaran dibentuk oleh keuntungan pemasaran yang diperoleh dan biaya pemasaran yang dikeluarkan. Besar kecilnya biaya, keuntungan, dan marjin pemasaran produk dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Marjin dan farmer’s share masing-masing saluran pemasaran

Saluran pemasaran

Petani Pedagang pengumpul Industri penggergajian

Total

(30)

20

operasional, pembelian kayu, dan penjualan kayu pada setiap industri cenderung sama sehingga marjin yang didapatkan oleh industri pada kedua saluran ini sama. Menurut Nurtjahjadi (1997), faktor yang mempengaruhi besar kecilnya marjin pemasaran adalah perubahan biaya pemasaran, keuntungan dari perantara, harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima petani produsen, sifat barang yang diperdagangkan dan tingkat pengolahan barang.

Pada saluran III, besarnya marjin yang diterima oleh pedagang pengumpul disebabkan oleh besarnya keuntungan yang didapatkan oleh pedagang pengumpul. Jauhnya aksesibilitas kayu rakyat milik petani menjadi alasan para pedagang pengumpul untuk mendapatkan kayu rakyat dengan harga murah, padahal jika dibandingkan dengan biaya operasional pada kayu yang aksesibilitasnya mudah hanya selisih 3.20% namun keuntungan yang didapakan selisih 9.51%. Rincian nilai biaya pemasaran selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.

Biaya pemasaran merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan dan penyampaian barang, mulai dari tingkat produsen hingga konsumen. Pada penelitian ini, biaya pemasaran terdiri dari biaya penebangan, penyaradan, pemuatan, pengangkutan, upah tenaga kerja penggergajian, konsumsi, tali rafia dan listrik, serta biaya pembuatan SKSHH.

Kegiatan penebangan serta penyaradan dan pemuatan merupakan kegiatan yang membutuhkan biaya besar dibandingkan dengan biaya pemasaran lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam seluruh saluran pemasaran yang ada dilakukan oleh pedagang pengumpul ataupun petani (juga berprofesi sebagai pedagang pengumpul). Untuk kegiatan penebangan yang menggunakan chainsaw, pedagang pengumpul biasanya tidak memiliki chainsaw sendiri hal ini dikarenakan kurangnya modal yang dimiliki oleh pedagang pengumpul sehingga alternatif yang mudah adalah menyewa chainsaw beserta operator dan bahan bakarnya. Harga sewa chainsaw dalam sehari berkisar Rp300 000 hingga Rp350 000 dengan produktivitas rata-rata chainsaw adalah 5 m3/alat.

Kegiatan lain yang membutuhkan biaya yang besar adalah penyaradan dan pemuatan. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia karena tidak memungkinkan dilakukan dengan tenaga mesin. Selain karena volume kayu yang terlalu kecil, keberadaan hutan rakyat di tengah-tengah pemukiman masyarakat membuat tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan tersebut. Selain fungsi ekologi seperti ketersediaan air dan udara, fungsi sosial dari hutan rakyat memegang peranan penting bagi masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencahariaan dan tidak terkecuali bagi para masyarakat sekitar hutan yang bekerja sebagai buruh harian. Karena dikerjakan dengan tenaga manusia, biaya operasional penyaradan dan pemuatan menjadi mahal. Terlebih untuk hutan yang jauh dengan tepi jalan, biasanya buruh sarad dan muat dibedakan sehingga biaya operasional lebih mahal.

(31)

21

Analisis Efisiensi Pemasaran dan Farmer’s Share

Efisiensi saluran pemasaran dapat dilihat berdasarkan marjin pemasaran, nilai farmer’s share, dan biaya pemasaran. Saluran yang efisien adalah saluran pemasaran yang dapat memperoleh keuntungan yang besar dengan pengorbanan biaya yang kecil. Menurut Soekartawi (2002), beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi pemasaran, yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan kompetisi pasar.

Lampiran 11 menunjukkan bahwa besarnya rasio K/B (keuntungan terhadap biaya pemasaran) pada pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian berkisar antara 5.26 sampai 34.06. Nilai total rasio K/B 5.26 berarti setiap Rp1 biaya yang dikeluarkan akan memperoleh keuntungan Rp5.26. Di tingkat pedagang pengumpul, rasio K/B pada saluran III (1.05) lebih besar daripada saluran IV (0.62), hal ini menandakan bahwa keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul saluran III lebih besar dibandingkan dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan. Sedangkan di tingkat industri penggergajian, rasio K/B terbesar berada di saluran I (3.26). Hal ini dikarenakan pada saluran I industri penggergajian mengambil bahan baku dari petani berupa balken sehingga biaya operasional yang dikeluarkan tidak sebesar pada saluran pemasaran lainnya. Jika dibandingkan dengan total rasio K/B, saluran yang memiliki total rasio K/B tertinggi adalah saluran IV sehingga jika hanya dilihat dari analisis rasio K/B, saluran IV merupakan saluran yang paling efektif. Namun besar kecilnya rasio K/B (keuntungan terhadap biaya-biaya pemasaran) belum tentu dapat menggambarkan efisiensi pemasaran, sehingga indikator lain yang digunakan adalah memperbandingkan bagian harga yang diterima oleh petani (farmer’s

share).

Farmer’s share menggambarkan tingginya harga yang didapat di tingkat petani, sehingga saluran yang paling menguntungkan bagi petani adalah saluran yang memiliki farmer’s share paling tinggi. Farmer’s share memiliki hubungan negatif dengan marjin pemasaran, artinya semakin besar marjin pemasaran maka bagian yang diterima oleh petani semakin kecil.

Saluran pemasaran yang memiliki nilai farmer’s share tertinggi di lokasi penelitian adalah saluran I (69.57%). Namun jika farmer’s share yang dibandingkan adalah farmer’s share yang telah dikurangi dengan biaya operasional yang dikeluarkan oleh petani (lihat Lampiran 8), saluran II merupakan saluran pemasaran yang paling efisien. Hal ini dikarenakan kayu pada saluran I memiliki aksesibilitas yang sulit dan mengakibatkan bertambahnya biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh petani sehingga harga bersih yang diterima oleh petani juga menjadi lebih kecil.

(32)

22

pinggir jalan relatif dekat dan mudah, maka biaya operasional penyaradan dan pemuatan juga relatif lebih murah.

Saluran pemasaran akan lebih efisien apabila petani melakukan penjualan kayu dalam bentuk kayu gergajian (balken) secara langsung ke industri penggergajian dengan aksesibilitas kayu yang mudah. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan harga jual kayu rakyat adalah dengan membentuk organisasi petani berupa kelompok tani maupun koperasi yang mampu menjadi wadah untuk menyalurkan kayu rakyat secara langsung dari petani ke konsumen sehingga harga jual kayu dapat lebih maksimal. Selain itu, koperasi ini hendaknya dapat memberikan pinjaman kepada petani dengan jaminan pohon yang dimiliki petani jika sewaktu-waktu petani membutuhkan uang sehingga petani tidak menjual kayu pada umur pohon yang kurang dan membuat harga jual kayu di bawah rata-rata. Peran pemerintah khususnya lembaga penyuluh kehutanan juga sangat diperlukan untuk dapat mengadakan pelatihan dan penyuluhan mengenai pelatihan organisasi, pelatihan mengenai jaringan pemasaran dan informasi pasar, serta pembinaan dan pendampingan organisasi. Dengan adanya informasi pasar yang jelas, petani dapat mengetahui besarnya harga jual kayu yang sesungguhnya sehingga petani dapat membadingkan sistem penjualan manakah yang lebih menguntungkan petani, menjual kepada pedagang pengumpul atau langsung kepada industri penggergajian.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Pelaku pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian terdiri dari petani hutan rakyat, pedagang pengumpul, dan industri penggergajian (sawmill).

2. Jenis kayu yang banyak diminati oleh pasar dan petani adalah jenis sengon. Sengon merupakan jenis tanaman yang memiliki umur panen yang singkat, mudah tumbuh, pembudidayaannya mudah, dan memiliki harga jual yang menggiurkan. Menurut konsumen pasar, harga sengon relatif terjangkau, kayu tidak mudah keropos, dan banyak tersedia di pasaran.

3. Berdasarkan pelakunya, saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian terdiri dari 2 saluran. Jika dikelompokkan lagi berdasarkan jarak sarad rata-rata kayu rakyat, saluran yang terbentuk menjadi 4 saluran. Diantara keempat saluran ini, saluran yang paling efisien adalah saluran pemasaran II. Pada saluran ini, petani menjual langsung kayu hutan rakyat ke industri penggergajian dalam bentuk kayu bulat sehingga memiliki nilai jual kayu yang lebih tinggi. Saluran II memiliki farmer’s share sebesar 46.93% dengan rasio K/B sebesar 5.45.

(33)

23 memperoleh keuntungan terbesar adalah pedagang pengumpul sebesar 41.10% (saluran III).

Saran

Sebaiknya petani menjual kayu hutan rakyat langsung kepada industri penggergajian dengan bentuk kayu gergajian (balken) yang sistem penjualan dan perhitungannya berdasarkan kubikasi kayu seperti pada saluran I. Petani hendaknya mampu membentuk organisasi seperti kelompok tani maupun koperasi yang mampu menjadi wadah untuk menyalurkan kayu rakyat secara langsung dari petani ke konsumen sehingga harga jual kayu dapat lebih maksimal. Untuk itu, diperlukan peran lembaga penyuluh kehutanan untuk memberikan pelatihan dan penyuluhan mengenai pelatihan organisasi, pelatihan mengenai jaringan pemasaran dan informasi pasar, serta pembinaan dan pendampingan organisasi sehingga petani mendapatkan informasi pasar yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka

Bogor Regency in Figures 2014 [Internet]. [diunduh 2014 September 26]. Tersedia pada: http://bogorkab.bps.go.id/publikasi/kabupaten-bogor-dalam-angka-2014.

Departemen Kehutanan. 2007. Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia In-House Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Bogor. 2012. Monografi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Bogor 2012. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Bogor.

Djajapertjuanda S dan Djamhuri E. 2013. Hutan dan Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Press.

Febriani. 2013. Sistem pemasaran dan nilai tambah produk olahan ubi jalar (Ipomoea batatas l.) di Desa Cikarawang dan Desa Petir, Kecamatan Damaga, Kecamatan Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hadi AQ dan Napitupulu RM. 2012. 10 Tanaman Investasi Pendulang Rupiah.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Dalam Suharjito (penyunting). Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor (ID): Program Penelitian dan Pengenbangan Kehutanan Masyarakat (P3KM).

Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011 [Internet].

[diunduh 2014 September 16]. Tersedia pada:

(34)

24

Kotler P dan Armstrong G. 2008. Prinsip-prinsip Pemasaran Jilid 2 Edisi 12. Bob Sabran, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari:

Principles of Marketing, Twelfth Edition.

Meryani N. 2008. Analisis usahatani dan tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nurtjahjadi. 1997. Analisis ekonomi pengelolaan hutan rakyat ke arah pemanfaatan hutan secara ganda di Wilayah Krui, Lampung Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ratnaningrum A. 2009. Studi distribusi keuntungan dalam pemasaran kayu rakyat (Kasus di Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Tanggeung, Wilayah Cianjur Selatan Kecamatan Cianjur) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rosnawati E. 2004. Karakteristik pemasaran kayu hasil hutan rakyat di Cianjur Selatan (Kasus di Kecamatan Cibinong dan Sindangbarang) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(35)

25 Lampiran 1 Karakteristik usaha hutan rakyat petani responden

Kecamatan Nama Aspek

Jenis kayu Sistem penebangan Bentuk penjualan Sistem penjualan Tujuan penjualan

Jasinga Hasan KA, S, Kr Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Memed KA, S, Kr Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Sukardi Kr, S Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Eman S, Mgs, R, P, N, Kr, Kcp, C, Psp Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Murdi Kr, Mgs, A, S, C, Kdg Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Israk Kr, S, Mgs, N, D Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Uci Kr, S Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Marsupi S, KA Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Suwadi S, Jkl, Kr, Mgs, D, N Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Arsani S, Mgs, R, D Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Cigudeg Sardi KA, S, K, D, N, Mga, Kw Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Enti S, D, N Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Sariah S, N, D, KA Tebang pilih Kayu bulat dan balken Kubikasi Industri sawmill

Siti Muslihat KA, S, Mgs, D, N, Mga Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Abdul Majid S, N, D, Mga, P, KA, Kr Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Aos P, Jkl, D, KA, S Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Iyoh D, Mga, P, S Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Ikom S, KA, D, N, P, Jkl, Mga Tebang habis Pohon berdiri Borongan Pedagang pengumpul

Nunung Mlj, Mga, P, S, KA Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Wulan KA, Mga, D, Mgs Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Leuwisadeng Ahyar KA, S Tebang pilih Kayu bulat Kubikasi Industri sawmill

(36)

26

Sanusi Mgs, Pl, D, S, KA Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Udin S, KA, M, D, Mgs, N, P Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Saaman S, Mgs, D, KA, C Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Sukri Mgs, J, S Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Aslam KA, Mgs, P, M, D, N Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Tatang Mgs, S, J, KA, M, D, P, N Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Ma'inan Mgs, D, Pl, S, M, KA, P, N, C Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Daha S, Mgs, D, N, KA, M, J, P Tebang pilih Pohon berdiri Per pohon Pedagang pengumpul

Sumber: data primer Keterangan jenis pohon:

KA = Kayu Afrika R = Rambutan

S = Sengon Kcp = Kecapi

K = Kopi Psp = Puspa

Mgs = Manggis A = Alpukat

N = Nangka Kdg = Kedondong

D = Durian Mga = Mangga

J = Jabon Kw = Kweni

Pl = Pala Kr = Karet

P = Petai Jkl = Jengkol

M = Mahoni Mlj = Mlinjo

(37)

27 Lampiran 2 Karakteristik responden pedagang pengumpul

Nama Umur (Tahun) Status Pendidikan terakhir Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Pendapatan per bulan Jumlah keluarga

Arsani 55 Asli SMP Dagang tani Pemilik warung 3 7

Obung 32 Asli SD Pedagang kayu Petani hutan rakyat 3 4

Daud 61 Asli SMP Pemilik sawmill Petani hutan rakyat 3 4

Ahyar 48 Pendatang SD Dagang tani kayu Dagang tani bambu 3 4

Sumber: data primer

Keterangan pendapatan: 1: < Rp 2 242 240; 2: Rp 2 242 240–Rp 2 352 350; 3: > Rp 2 352 350

Lampiran 3 Karakteristik usaha pedagang pengumpul

Nama Jenis yang

diperjualbelikan

Bentuk

pembelian Bentuk penjualan Sasaran penjualan Daerah pemasaran

Realisasi pembelian kayu

Arsani S, Kcp, D, KA, Mgs, N

Per pohon dan borongan

Kayu bulat dan

balken Industri Sawmill Jasinga 20 m3/bln

Obung N, S, KA, D, Mgs, Aks Per pohon Kayu bulat

Pabrik, Industri sawmill, toko bangunan

Tangerang, Banten, Bogor,

Bekasi, Jasinga, Jakarta 10 m3/bln

Daud Kcp, N, Mgs, KA, S

Per pohon dan

borongan Kayu bulat Industri Sawmill Jasinga 30 m3/bln

Ahyar Semua jenis

Per pohon dan borongan

Kayu bulat dan

balken Industri Sawmill Leuwisadeng 10 m3/bln

(38)

28

Lampiran 4 Karakteristik responden industri penggergajian (sawmill)

Kecamatan Nama Umur

(Tahun) Status Agama

Pendidikan

terakhir Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan

Pendapatan per bulan

Jumlah keluarga

Leuwisadeng Lucky 40 Asli Islam SLTA Pemilik sawmill usaha perikanan,peternakan 3 8

Leuwisadeng Pahru 28 Asli Islam SLTA Pegawai sawmill - 2 2

Cigudeg Deri 22 Asli Islam SLTP Pemilik sawmill - 3 3

Cigudeg Fatah Yasin 45 Pendatang Islam Diploma Pegawai sawmill - 3 4

Jasinga Endang 53 Asli Islam SLTA Pegawai sawmill Petani Hutan Rakyat 1 2

Jasinga Daud 61 Asli Islam SLTP Pemilik sawmill Petani Hutan Rakyat 3 4

Sumber: data primer

Keterangan pendapatan: 1: < Rp 2 242 240; 2: Rp 2 242 240–Rp 2 352 350; 3: > Rp 2 352 350

Lampiran 5 Karakteristik usaha industri penggergajian (sawmill)

Nama responden Nama pemilik Tahun berdiri Daerah pemasaran

Lucky Lucky 2012 Jabodetabek

Pahru - 2004 Jabodetabek

Deri Deri 2013 Karawang, Sukabumi

Fatah Yasin Nur Sayuti 2004 Jakarta, Tangerang, Surabaya, Pasuruan, Bogor

Endang Asep 2010 Purwokerto, Bogor

Daud Daud 2010 Jakarta, Bogor

(39)

29 Lampiran 6 Karakteristik produk industri penggergajian (sawmill)

Kecamatan

Nama

responden Nama pemilik Nama perusahaan Jenis produk Spesifikasi Ukuran Harga jual (Rp/m³)

Leuwisadeng

Lucky Lucky Iwung Jaya Papan Kayu putihan 2 cm x 20 cm x 4 m 1 300 000

Balok Kayu putihan 6 cm x 12 cm x 4 m 1 150 000

Kaso Kayu putihan 4 cm x 6 cm x 4 m 700 000

Galar Kayu putihan 5 cm x 10 cm x 4 m 1 150 000

Racuk Kayu putihan 2 cm x 5 cm x 4 m 6000 00

Kulit Kayu campuran per pick up 350 000

Serbuk - per karung 1 200

Pahru - CV. Sinar Lestari Papan Kayu putihan 2 cm x 20 cm x 3 m 1 000 000

Kaso Kayu putihan 4 cm x 6 cm x 4 m 800 000

Racuk Kayu putihan 2 cm x 5 cm x 4 m 600 000

Kulit Kayu campuran per pick up 150 000–300 000

Serbuk - per karung 2 000–5 000

Jasinga

Endang Asep - Papan Cor Kayu putihan 1.5cm x 16 cm x 3 m 973 000

Papan Kayu putihan 2 cm x 20 cm x 3 m 1 260 000

Balok Kayu putihan 6 cm x 12 cm x 4 m 1 750 000

Kaso Kayu putihan 4 cm x 6 cm x 4 m 735 000

Galar Kayu putihan 5 cm x 10 cm x 4 m 1 000 000

Racuk Kayu putihan 2 cm x 5 cm x 4 m 900 000

Kulit Kayu campuran per pick up 140 000

Kayu karet per pick up 250 000

Serbuk - per karung 1 000

(40)

30

Kayu putihan 996 000

Balok Kayu merahan 6 cm x 12 cm x 3 m 1 645 000

Kayu putihan 1 175 000

Kaso Kayu putihan 4 cm x 6 cm x 3 m 750 000

Galar Kayu merahan 5 cm x 10 cm x 3 m 1 340 000

Kayu putihan 804 000

Racuk Kayu putihan 2 cm x 5 cm x 2 m 1 000 000

Kayu putihan 2 cm x 10 cm x 2 m 1 250 000

Palet Kayu putihan 4 cm x 8 cm x 1.2 m 1 200 000

Kayu putihan 5 cm x 10 cm x 1.2 m 1 200 000

Kayu putihan 2 cm x 10 cm x 1.2 m 1 200 000

Kayu putihan 7 cm x 7 cm x 1.2 m 1 200 000

Kulit Kayu campuran per pick up 150 000

Serbuk - per karung 1 000

Rental Kayu putihan per m³ 125 000

Kayu merahan per m³ 160 000

Cigudeg

Fatah

Yasin Nur Sayuti PD. Cahaya Rimba Papan cor Kayu merahan 1.5cm x 16 cm x 4 m 2 100 000

Balok Kayu Putihan 8 cm x 12 cm x 4 m 2 000 000

Kayu Putihan 6 cm x 12 cm x 4 m 2 000 000

Kayu Putihan 5 cm x 10 cm x 4 m 2 000 000

Kaso Kayu Putihan 5 cm x 7 cm x 4 m 1 350 000

Kayu Putihan 4 cm x 6 cm x 4 m 1 350 000

Racuk Lokal 2 cm x 5 cm x 4 m 600 000

Super 2.5 cm x 5 cm x 4 m 1 800 000

(41)

31

BS Kayu Putihan 2 cm x 10 cm x 4 m 400 000

Kulit Kayu campuran per pick up 125 000

Serbuk - per karung 2 000

Rental Kayu Putihan per m³ 150 000

Deri Deri

PD. Putra Jaya

Mandiri Papan Kayu Putihan 2 cm x 5 cm x 2.8 m 321 300

Kayu Putihan 2 cm x 10 cm x 2.8 m 268 500

Kayu Putihan 2 cm x 16 cm x 2.8 m 504 000

Kayu Putihan 2 cm x 18 cm x 2.8 m 950 000

Kayu Putihan 2 cm x 20 cm x 2.8 m 1 023 500

Kaso Kayu Putihan 6 cm x 12 cm x 2.8 m 900 000

Kayu Putihan 5 cm x 10 cm x 2.8 m 684 000

Kayu Putihan 10 cm x 10 cm x 2.8 m 684 000

Kayu Putihan 5 cm x 7 cm x 2.8 m 714 000

Kayu Putihan 4 cm x 6 cm x 2.8 m 592 000

Kayu Putihan 3 cm x 4 cm x 2.8 m 447 000

Kulit Kayu campuran per pick up 120 000

Serbuk - per karung 2 000

Gambar

Tabel 1  Karakteristik petani responden berdasarkan kelompok umur
Tabel 2  Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal
Tabel 3  Karakteristik petani responden berdasarkan status usaha hutan rakyat
Gambar 1  Tegakan hutan rakyat (a) sengon di Leuwisadeng (b) kayu afrika di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap kinerja, motivasi berpengaruh terhadap kinerja, budaya organisasi

• Perkembangan komputer dibidang hiburan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, banyak hal yang dapat dibuat sebagai hiburan dengan menggunakan teknologi komputer

Oleh karena itu, guru menyarankan agar penelitian pengembangan ini benar-benar dilakukan dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik maupun materi pembelajaran yang

“Layanan serta informasi yang kami dibagikan sudah cepat, hanya tetapi terjadi kendala tergantung pada daerah yang menerima serta keadaan jaringan yang stabil, tetapi jika

Aplikasi pembelajaran menggunakan komputer berbasis multimedia ini merupakan program aplikasi yang dapat digunakan sebagai alat bantu belajar mata kuliah organisasi dan

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun.. 2005 Nomor 137, Tambahan kmbaran Negara

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry dapat diartikan sebagai kecemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan saudara

Pembiayaan kecelakan kerja ditanggung seluruhnya oleh perusahaan apabila masih dalam hubungan kerja, karena kecelakaan dan penyakit yang timbul dalam hubungan kerja