• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP DURASI

PERILAKU HARIAN BEKANTAN DI PT INDEXIM UTAMA,

KALIMANTAN TENGAH

BIAS BERLIO PRADYATMA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

BIAS BERLIO PRADYATMA. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Durasi Perilaku Harian Bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh DONES RINALDI dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Keberadaan bekantan (Nasalis larvatus) sebagai jenis dilindungi di kawasan hutan produksi perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya konservasi jenis dan eksploitasi dalam pengelolaan kawasan hutan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan meliputi perilaku makan, istirahat, dan berpindah merupakan informasi yang dibutuhkan untuk mengindentifikasi komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan bekantan. Durasi perilaku makan bekantan dipengaruhi oleh diameter jenis Shorea sp, Heritiera sp, Falcataria moluccana, dan Dryobalanops spp. Durasi perilaku istirahat bekantan dipengaruhi oleh diameter jenis pohon Shorea sp dan Ficus gibbosa. Durasi perilaku berpindah bekantan dipengaruhi oleh diameter jenis pohon Elateriospermum tapos dan Pterospermum javanicum. Semakin besar diameter jenis pohon tersebut akan semakin lama alokasi waktu bekantan untuk melakukan perilaku makan, istirahat, atau berpindah.

Kata kunci : bekantan, perilaku harian, PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah

ABSTRACT

BIAS BERLIO PRADYATMA. Environmental Factors Influence to Daily Behavior of Proboscis Monkey in PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah. Supervised by DONES RINALDI and AGUS PRIYONO KARTONO.

Existence of Proboscis monkey (Nasalis larvatus) as an endangered species in a forest production area becomes an important issue due to the balance of species conservation effort and the exploitation aspect of the area management. The knowledge of environmental factors influence on the daily behavior duration of proboscis monkey which are ingestive, rest, and locomotive behavior is needed to identify the significant factors to the life of proboscis monkey. The duration of ingestive behavior is significantly influenced by the diameter of Shorea sp, Heritiera sp, Falcataria moluccana, and Dryobalanops spp. The duration of rest behavior is significantly influenced by the diameter of Shorea sp and Ficus gibbosa. The duration of locomotive behavior significantly influenced by Elateriospermum tapos and Pterospermum javanica. Time allocation for ingestive, rest, and locomotive behavior are directly proportional to the diameter of the influencing tree species.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP DURASI

PERILAKU HARIAN BEKANTAN DI PT INDEXIM UTAMA,

KALIMANTAN TENGAH

BIAS BERLIO PRADYATMA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur atas berkah dan rahmat Allah SWT sehingga laporan hasil penelitian berjudul “Pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan di PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah” ini berhasil disusun. Terima kasih kepada Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF dan Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam proses perencanaan hingga penyusunan laporan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada Bapak Agus Sadmoko atas pendampingan dan bantuan serta rekan-rekan PT Indexim Utama yang telah memberikan kesempatan dengan segala kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan program studi.

Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada keluarga penulis, Tika, Bapak Basuki, Kontri, Netral, saudara M. Nugraha, keluarga Tangkaran, keluarga besar Himakova dan DKSHE, FORCI Development, serta seluruh rekan-rekan yang telah mendukung penulis dalam masa pendidikan. Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengelolaan perusahaan terutama dalam aspek konservasi jenis bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1787) dan pengelolaan habitatnya serta pengembangan dalam ilmu pengetahuan.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Metode Pengumpulan Data 2

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5

Ukuran Kelompok Bekantan 6

Komponen Habitat 6

Pola Perilaku Harian 9

Pengaruh Lingkungan terhadap Durasi Perilaku 11

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(10)

DAFTAR GAMBAR

1 Peta sebaran kelompok bekantan di Sub DAS Luang di dalam

kawasan PT Indexim Utama 3

2 Sub DAS Luang di dalam kawasan PT Indexim Utama 5

3 Perilaku makan bekantan di tumbuhan kelapa 7

4 Diagram proporsi penggunaan waktu berdasarkan jarak dari tepi

sungai 8

5 (a) Bekantan betina dewasa dengan anakan dalam asuhannya, (b)

anakan bekantan 10

6 Perilaku bekantan (a) makan, (b) istirahat, (c) berpindah secara

quadrupedal, (d) mengamati perahu yang melintas 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel ringkasan model durasi perilaku makan 19

2 Tabel anova model durasi perilaku makan 19

3 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku makan 19 4 Tabel ringkasan model durasi perilaku istirahat 20

5 Tabel anova model durasi perilaku istirahat 20

6 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku makan 20 7 Tabel ringkasan model durasi perilaku berpindah 21

8 Tabel anova model durasi perilaku berpindah 21

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan Kalimantan merupakan bagian dari ekosistem hutan tropis Indonesia dengan kondisi yang relatif baik jika dibandingkan dengan kondisi hutan di pulau-pulau besar lainnya saat ini. Potensi hasil hutan kayu yang tinggi di Kalimantan membuat jenis komoditi ini menjadi sumber penghasilan utama dalam pengelolaan hutan alam hingga saat ini. Hak Pengusahaan Hutan oleh PT Indexim Utama merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan alam sebagai penghasil kayu yang terletak di kelompok hutan Sungai Mea dan Sungai Luang, Kalimantan Tengah (Purnamasari 2012).

Letak areal pengusahaan hutan oleh PT Indexim Utama meliputi daerah aliran sungai yang merupakan habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1787). Hal ini perlu menjadi perhatian karena pengusahaan hutan yang dilakukan dengan memanen kayu memiliki pengaruh negatif terhadap aspek ekologis. Bismark (2009) menyatakan bahwa laju pemanfaatan hutan saat ini menimbulkan kekhawatiran pada penurunan populasi satwa karena pemanfaatan hasil hutan kayu berdampak pada penurunan jumlah dan luasan habitat serta juga keragaman jenis satwa.

Bekantan merupakan primata endemik Kalimantan yang tergolong dalam Famili Cercophiticidae, Sub Famili Colobinae, Genus Nasalis, dan Species Nasalis larvatus (Napier dan Napier 1967). Perlindungan bekantan di Indonesia diawali pada tahun 1931 (Lembaran Negara 1931 No. 26 jis 1932 No. 28 dan 1935 No. 513) dan telah ditetapkan sebagai primata yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999. Status konservasi bekantan secara internasional digolongkan sebagai Endangered species dalam IUCN serta termasuk dalam Appendix I CITES. Status Endangered didefinisikan sebagai status konservasi jenis yang terancam kepunahan berdasarkan kondisi populasinya di alam (Vie et al. 2008), sedangkan Apendix I merupakan status bagi satwa yang terancam kepunahan sehingga kegiatan pertukaran dan perdagangan satwa di luar usaha pengembangbiakkan untuk kebutuhan komersial membutuhkan pertimbangan secara ilmiah dan perizinan dari Negara yang bersangkutan (CITES 1979).

Keberadaan bekantan dan pengelolaan hutan di areal kerja PT Indexim Utama merupakan dua hal yang harus dapat berjalan seimbang untuk menjamin kelestarian keduanya. Bekantan sebagai salah satu komponen penting ekosistem dalam kawasan hutan berpotensi menjadi indikator kunci konservasi kawasan, khususnya pada ekosistem riparian yang menjadi habitatnya. Hal ini didasari oleh kebutuhan bekantan akan ekosistem riparian. Informasi mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku dan pola perilaku harian bekantan penting untuk diketahui karena dapat mencerminkan kesesuaian komponen habitat terhadap perilakunya.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Informasi pengaruh faktor lingkungan terhadap durasi perilaku harian bekantan bermanfaat dalam menduga areal yang berpotensi sebagai habitat bagi bekantan. Komponen lingkungan yang mempengaruhi perilaku harian bekantan penting untuk diperhatikan guna menjamin kelestarian populasi dan habitat bekantan, ekosistem riparian, dan kawasan lindung sempadan sungai.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 di Sub DAS Luang di dalam Kawasan PT. Indexim Utama yang terletak di Kecamatan Purai, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kegiatan lapangan meliputi studi pendahuluan dan habituasi kelompok bekantan terhadap keberadaan peneliti, pengamatan di lapangan, dan pengolahan data sementara serta koreksi kelengkapan data.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Binokuler

2. Kamera SLR dengan lensa 70-300mm 3. Pita Ukur

4. Hagameter dan tongkat ukur (walking stick) 5. Perahu

6. Termometer kering-basah (Thermometer dry-wet) 7. Alat pengukur waktu (Stopwatch dan Jam)

8. Peta kerja 9. GPS 10. Komputer 11. Plastik bening

Metode Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi parameter perilaku dan parameter lingkungan, yaitu :

1. Perilaku bekantan.

2. Waktu dan durasi terjadinya perilaku. 3. Jenis pohon tempat terjadinya perilaku. 4. Diameter pohon tempat terjadinya perilaku.

(13)

3 7. Suhu udara lingkungan.

8. Kondisi cuaca.

9. Keberadaan kompetitor dan predator dengan mencantumkan nama jenis dan jumlah individu.

Penentuan individu sampel

Pengamatan dilakukan dengan metode focal animal sampling untuk menghindari potensi bias dalam pengamatan. Individu yang diamati merupakan anggota dari kelompok satu yang berada di bagian hulu. Kelompok tersebut menempati bagian sungai yang dipisahkan oleh jembatan dan berjarak sekitar satu jam dengan menggunakan perahu (klotok) terhadap kelompok lainnya yang berada di bagian hilir. Pertimbangan pemilihan kelompok ini didasari oleh keberadaannya yang relatif berjauhan dengan kelompok lainnya. Peta sebaran kelompok bekantan di Sub DAS Luang di dalam kawasan PT Indexim Utama disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta sebaran kelompok bekantan di Sub DAS Luang di dalam kawasan PT Indexim Utama

Kriteria individu yang dijadikan sampel pengamatan adalah bekantan betina dewasa karena karakter pergerakan harian kelompok dipimpin oleh individu betina dewasa (Bismark 2009). Menurut Bennet dan Sebastian (1988), parameter penciri tingkat pertumbuhan dan jenis kelamin bekantan adalah sebagai berikut :

a. Jantan Dewasa : Tubuh mencapai ukuran maksimal dan terdapat rambut lebih panjang (Mane) di sepanjang punggung.

b. Jantan Setengah Dewasa : Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa, hidung belum berkembang sempurna, tidak terdapat mane di punggung.

Kelompok 1 Kelompok 2

(14)

4

c. Betina Dewasa : Tubuh telah mencapai ukuran maksimal. d. Betina Setengah Dewasa : Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa.

e. Remaja : Warna rambut dan muka menyerupai

dewasa, ukuran tubuh belum mencapai ¾ ukuran tubuh dewasa.

d. Bayi : Ukuran tubuh kecil dengan warna rambut cokelat gelap atau kehitaman.

Data dikumpulkan melalui pengamatan individu sampel pengamatan dan diulang pada hari berikutnya untuk menghindari fenomena pseudo-replication dan confounding. Pseudo-replication adalah potensi bias yang terjadi dalam persepsi pengamat saat perilaku individu yang diamati sebenarnya dilatarbelakangi oleh perilaku yang dilakukan oleh mayoritas individu dalam kelompok, sedangkan confounding adalah potensi bias yang terjadi saat perilaku individu sebenarnya dilatarbelakangi oleh motivasi internal (Dawkins 2007).

Pengamatan perilaku

Perilaku bekantan diamati dengan metode continuous scan sampling. Waktu dimulai dan berakhirnya setiap perilaku dicatat untuk memperoleh durasi dan waktu terjadinya perilaku, serta mengetahui seluruh perilaku yang dilakukan oleh satu individu tanpa dibatasi interval waktu pengamatan. Informasi mengenai durasi berperan sebagai indikator kontribusi setiap parameter lingkungan dalam mendukung terjadinya suatu perilaku.

Pengamatan parameter lingkungan

Parameter lingkungan yang dicatat meliputi jenis, diameter, dan tinggi posisi bekantan pada pohon tempat terjadinya perilaku, jarak posisi terjadinya perilaku dari tepi sungai, suhu udara, kondisi cuaca, serta keberadaan predator dan kompetitor. Pencatatan parameter lingkungan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Pencatatan dapat dilakukan di luar waktu pengamatan perilaku dengan terlebih dahulu melakukan penandaan dan dokumentasi pohon melalui foto.

Analisis Data

Pengaruh lingkungan terhadap durasi perilaku dilakukan dengan analisis regresi linear menggunakan program SPSS versi 18. Peubah lingkungan dianalisis sebagai peubah bebas yang akan digunakan untuk meramalkan durasi perilaku bekantan sebagai peubah terikat. Proses analisis dilakukan dengan metode stepwise.

Analisis regresi linear merupakan analisis interdependensi yang melibatkan peubah terikat dan peubah bebas dalam persamaan matematik (Simamora 2005, Soemartini 2008). Analisis ini berfungsi untuk mengukur kekuatan hubungan, mengetahui pengaruh, dan memprediksi pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat (Nurjannah 2008).

(15)

5 dengan metode stepwise diawali dengan memasukkan satu peubah dalam model dan diikuti dengan penyusupan peubah-peubah lain ke dalam model tersebut (Hanum 2011). Pemilihan peubah yang diikutsertakan dalam model didasari pada korelasi parsial peubah bebas terhadap peubah terikat (Hanum 2011).

Y = β0+ β1X1+ β2X2 + β3X3

Keterangan :

Y : Durasi perilaku

β0, β1, β2, β3 : Koefisien regresi

X1, X2, X3 : Peubah lingkungan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan Sub DAS Luang yang terletak di dalam Kawasan IUPHHK-HA PT Indexim Utama. Perusahaan ini bekerja di daerah kelompok hutan Sungai Mea – Sungai Luang, Kecamatan Purai, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Areal IUPHHK-HA ini dibatasi oleh areal PT Austral Byna dan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) di sebelah Utara, areal PT Kusuma di sebelah Timur, areal PT Sindo Lumber di sebelah Barat, dan areal Hutan Lindung Lampeong di sebelah Selatan.

Daerah riparian Sub DAS Luang didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan alam. Selain itu ditemukan pula areal kebun dan permukiman yang telah ditinggalkan. Aliran Sungai Luang juga digunakan sebagai sarana transportasi oleh masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat umumnya menggunakan perahu dengan mesin (klotok) untuk memenuhi kebutuhan yang diperoleh dari hutan seperti berburu, menangkap ikan, dan pengambilan hasil hutan lainnya.

Areal sempadan sungai di dalam kawasan IUPHHK diperuntukkan sebagai kawasan lindung dengan lebar 100 m dari masing-masing tepi sungai. Potensi gangguan bagi populasi bekantan di kawasan ini antara lain kehadiran masyarakat di dalam hutan dan pengaruh aktifitas pembalakan kayu di kawasan produksi. Kondisi umum Sub DAS Luang disajikan pada Gambar 2.

(16)

6

Ukuran Kelompok Bekantan

Kelompok bekantan yang diamati terdiri atas 12 individu, yaitu 1 jantan dewasa, 3 betina dewasa dengan 3 anakan, dan 5 remaja. Yeager (1990) menyatakan bahwa pada dasarnya bekantan hidup dalam tipe kelompok one-male group yaitu kelompok yang dipimpin oleh satu individu jantan dewasa atau dapat pula dalam tipe all-male group yaitu kelompok yang terdiri atas individu-individu jantan yang telah berpisah dari kelompok natal setelah mencapai usia setengah dewasa. Berdasarkan pengamatan, terdapat waktu tertentu saat kelompok-kelompok bekantan di Sub DAS Luang bergabung menjadi kelompok-kelompok besar multi-male group yaitu kelompok yang terdiri atas individu-individu jantan dan betina dengan jumlah anggota lebih dari 30 individu. Belum diketahui secara pasti mengenai latar belakang dinamika kelompok bekantan di kawasan tersebut. Kawabe dan Mano (1972) menyatakan hal serupa bahwa kelompok bekantan merupakan kelompok multi-male group, sedangkan Kern (1964), MacDonald (1982), dan Salter et al. (1985) menyatakan bahwa struktur kelompok bekantan cenderung fleksibel, individu maupun kelompok kecil dapat berpisah dan kembali bersatu dengan kelompok besarnya.

Komponen Habitat

Interaksi komponen biotik dan abiotik dalam habitat membentuk ekosistem yang menyediakan kebutuhan satwa. Komponen lingkungan yang termasuk dalam habitat bekantan mencakup komposisi dan struktur vegetasi sebagai sumber pakan dan tempat perlindungan, sumber air (Alikodra et al. 1990), serta penggunaan lahan termasuk faktor-faktor pengganggu di dalamnya (Alikodra 1997). Spesifikasi dalam pemilihan lingkungan yang menyangkut komponen abiotik khususnya terlihat pada perilaku istirahat bekantan.

Vegetasi

Kebutuhan pakan dan tempat perlindungan mencakup cover dan shelter bagi bekantan sebagai satwa folivorous disediakan oleh vegetasi (Purba 2009). Peran vegetasi terhadap kehidupan bekantan juga meliputi pengendalian kondisi suhu lingkungan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman saat bekantan melakukan perilaku makan (Warsono 2002) dan istirahat (Prayogo 2006).

Sebagian besar jenis tutupan lahan pada lokasi penelitian berupa hutan alam dan sebagian lainnya berupa ladang serta kebun. Berdasarkan pengamatan, bekantan menggunakan areal hutan alam untuk beraktivitas, namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat, bekantan kadang juga terlihat melintas di sekitar ladang maupun kebun. Bekantan menghabiskan sebagian besar waktunya di atas pohon di tepi sungai untuk beraktivitas maupun tidur. Bekantan terlihat pula berada di atas tanah pada waktu tertentu serta terlihat menggunakan vegetasi yang tumbuh di tebing di tepi sungai untuk tidur.

(17)

7 catechu), rambutan hutan (Nephellium lapaceum), semeneung (Canarium sp), sengon (Falcataria moluccana), dan tinuk (Dryobalanops spp), sedangkan jenis tumbuhan lainnya yang teramati adalah kelapa (Cocos nucifera) dan pinang (Areca catechu). Bekantan terlihat menggunakan jenis-jenis vegetasi tersebut untuk melakukan aktifitas utamanya, yaitu makan, istirahat, dan berpindah. Penggunaan tumbuhan kelapa sebagai sumber pakan oleh bekantan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Perilaku makan bekantan di tumbuhan kelapa

Jenis pohon yang digunakan dengan durasi tertinggi berturut-turut yaitu binuang dan ara dengan persentase durasi masing-masing 28.11% dan 23.38%. Ketiga perilaku utama bekantan meliputi makan, istirahat, dan berpindah ditemukan terjadi pada kedua jenis pohon tersebut. Jenis pohon yang digunakan dengan durasi terpendek yaitu durian yang hanya digunakan untuk beristirahat dengan persentase durasi sebesar 0.30%, kandui yang hanya digunakan untuk berpindah dengan persentase durasi sebesar 0.61%, dan arang yang juga digunakan untuk beristirahat dengan persentase durasi sebesar 0.76%.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ciri fisik vegetasi yang digunakan oleh bekantan memiliki diameter berkisar antara 5 cm hingga 90 cm. Perilaku makan dan berpindah yang teramati dilakukan pada vegetasi dengan diameter 5 cm hingga 90 cm, sedangkan perilaku istirahat dilakukan pada vegetasi dengan diameter 30 cm hingga 90 cm. Perbedaan ketinggian posisi bekantan dari atas tanah dalam melakukan perilakunya juga ditemukan pada pengamatan. Perilaku makan dan berpindah teramati dilakukan pada ketinggian 3 m hingga 30 m, sedangkan perilaku istirahat dilakukan pada ketinggian 8 m hingga 30 m.

Jarak dari tepi sungai

(18)

8

Bekantan memulai dan mengakhiri aktifitas hariannya di tepi sungai, sesuai dengan pernyataan Kartono et al. (2008) bahwa pergerakan harian bekantan dipengaruhi oleh kebiasaan untuk kembali ke areal semula setiap sore hari. Berdasarkan pengamatan, perilaku bekantan berlangsung di sekitar sungai dengan jarak 1 m hingga 45 m dari tepi sungai. Bekantan melakukan perilaku makan dan berpindah pada daerah dengan jarak 1 m hingga 45 m dari tepi sungai, sedangkan perilaku istirahat dilakukan pada daerah yang lebih sempit dengan jarak 1 m hingga 25 m dari tepi sungai. Proporsi penggunaan waktu bekantan berdasarkan jarak dari tepi sungai disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram proporsi penggunaan waktu berdasarkan jarak dari tepi sungai

Wilayah jelajah bekantan yang teramati dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya. Menurut Bismark (2009), perjalanan harian bekantan dapat mencapai jarak 400 m dari tepi sungai. Temuan ini menjadi dasar untuk membangun hipotesis baru bahwa kebutuhan pakan bekantan terpenuhi dengan baik. Luas wilayah jelajah merupakan fungsi dari produktivitas dan distribusi sumberdaya pakan (Harestad dan Bunnel 1979) yang akan menurun seiring meningkatnya ketersediaan pakan (Hulbert et al. 1996). Rinaldi (1992) dan Kartono et al. (2008) juga menyatakan bahwa perbedaan ukuran dan kestabilan wilayah jelajah bervariasi menurut sumber dan jenis pakan meliputi kualitas dan kuantitasnya, topografi yang berkaitan dengan struktur habitat dan halangan untuk berpindah, struktur sosial yang meliputi kepadatan populasi dan ukuran kelompok serta sistem perkembangbiakkan, dan keberadaan predator.

Suhu udara lingkungan

Suhu udara lingkungan merupakan faktor abiotik yang berpengaruh terutama pada pemilihan habitat bekantan (Keverne 1987). Bekantan perlu menjaga suhu tubuhnya dengan meminimalisir keluarnya panas tubuh ke lingkungan. Suhu udara lingkungan pada pengamatan berkisar antara 16.50oC hingga 31.50oC. Perilaku makan teramati pada suhu 23.50oC hingga 31.50oC, perilaku istirahat teramati pada suhu 23.50oC hingga 27.65oC, sedangkan perilaku berpindah teramati pada suhu 16.15oC hingga 31.50oC.

(19)

9

Kondisi cuaca

Dinamika curah hujan dan panjang hari (photoperiods) mempengaruhi pemilihan habitat oleh bekantan (Keverne 1987). Suradijono (2004) juga menyatakan bahwa kondisi cuaca mempengaruhi aktivitas makan bekantan. Saat cuaca mendung aktivitas makan akan dilakukan pada siang atau sore hari setelah cuaca terang, sedangkan pada kondisi cerah aktivitas makan tinggi pada pagi hari (Alikodra 1990). Berdasarkan rataannya, durasi perilaku bekantan pada cuaca cerah sebesar 8.23 menit, sedangkan pada cuaca mendung sebesar 4.33 menit. Kondisi cuaca selama pengamatan meliputi cerah dan mendung. Kondisi cuaca cerah terjadi selama 80% waktu pengamatan, kondisi cuaca mendung terjadi selama 20% waktu pengamatan, sedangkan cuaca hujan umumnya terjadi pada malam hari.

Kompetitor dan predator

Bekantan merupakan primata yang sangat sensitif. Perlindungan kelompok bekantan dilakukan oleh jantan dewasa saat terdapat ancaman (Kawabe dan Mano 1972) dengan perilaku agonistik seperti teriakan dan perilaku agresif (Strier 2011). Jantan dewasa dalam kelompok akan menghadapi sumber gangguan saat anggota kelompoknya berpindah ke tempat yang lebih aman (Kawabe dan Mano 1972).

Timbulnya kompetisi umumnya didorong oleh keterbatasan makanan (Strier 2011) serta dapat pula disebabkan oleh keterbatasan ruang karena kepadatan individu yang tinggi (Ciani 1986). Berdasarkan penelitian Kawabe dan Mano (1972), jenis primata yang dijumpai di habitat bekantan di darerah mangrove yaitu lutung (Presbytis cristata) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), sedangkan jenis primata yang dijumpai di habitat bekantan di hutan dataran rendah yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata), orangutan (Pongo pigmaeus), beruk (Macaca nemestrina), lutung banggat (Presbytis hosei), lutung merah (Presbytis rubicunda).

Monyet ekor panjang merupakan primata yang berpotensi sebagai kompetitor bekantan di lokasi penelitian karena sering terlihat berada di dekat kelompok bekantan. Hubungan bekantan dengan monyet ekor panjang berlangsung secara simpatrik. Monyet ekor panjang selalu ditemukan pada pohon yang berbeda dengan bekantan saat kedua kelompok tersebut berdekatan. Temuan serupa juga diungkapkan oleh Alikodra et al. (1990) bahwa interaksi tersebut tidak menyebabkan terjadinya kompetisi antar dua jenis tersebut.

Pola penggunaan ruang dalam habitat juga dipengaruhi oleh keberadaan predator. Satwa yang diketahui merupakan predator bekantan menurut Atmoko et al. (2007) yaitu buaya siam (Crocodylus siamensis), ular sanca (Phyton reticulatus), dan ular kobra (Ophiophagus hannah). Jenis lainnya yang juga merupakan predator bekantan adalah macan dahan Neofelis nebulosa (Matsuda et al. 2008) dan buaya sumpit atau senyulong Tomistoma schlegelii (Galdikas 1985). Jenis yang merupakan predator bekantan tidak ditemukan dalam pengamatan.

Pola Perilaku Harian

(20)

aktivitas-10

aktivitas tertentu. Aktifitas utama yang menyusun perilaku harian bekantan terdiri dari aktifitas makan, istirahat, dan berpindah.

Berdasarkan pengamatan, perilaku sosial dilakukan dengan frekuensi dan durasi yang sang at kecil pada individu yang diamati (betina dewasa), sedangkan perilaku agonistik seperti mengamati dan bersuara (teriakan) hanya terlihat dilakukan oleh individu jantan dewasa dan remaja. Perilaku sosial terdiri atas komunikasi antar anggota kelompok yang saling bersahutan (Supriatna dan Wahyono 2000), bermain (Alexander dan Hines 2002), grooming (Dunbar 2008) dan lainnya. Perilaku sosial akan menumbuhkan ikatan antar individu sehingga setiap individu akan memberikan manfaat satu sama lain (Dunbar 2008).

Seperti jenis primata lainnya, bekantan memiliki strategi reproduksi K dengan jumlah anak sedikit dan investasi besar untuk melestarikan jenisnya (Gubernick dan Klopfer 1981). Perilaku reproduksi meliputi pembuahan, kebuntingan, melahirkan, hingga parental care untuk menjamin keberhasilan reproduksinya (Strier 2011). Perilaku parental-care pada anakan meliputi menggendong, merawat, grooming, memberikan perlindungan, dan menyusui (Tardif et al. 1992). Perilaku parental-care ditemukan sepanjang waktu aktif bekantan yang dilakukan dengan menggendong. Perilaku parental-care tersebut merupakan investasi satwa sebagai bagian dari strategi reproduksi. Bekantan betina dewasa dengan anakan dalam asuhannya dan anakan bekantan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 (a) Bekantan betina dewasa dengan anakan dalam asuhannya, (b) anakan bekantan

Rangkaian proses reproduksi disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Terbentuknya musim kawin pada periode tertentu merupakan bagian dari adaptasi satwa terkait ketersediaan pakan yang melimpah, menghindari kondisi cuaca yang mengganggu, kehadiran sejumlah bayi secara bersamaan sehingga meningkatkan kemanan dari predator, dan kemungkinan adanya perawatan bayi oleh individu betina lain dalam kelompok (Keverne 1987). Puncak perilaku kawin bekantan terjadi di pertengahan tahun, namun secara umum perkawinan terjadi antara bulan Februari hingga November (Afrilia 2011).

Proporsi penggunaan waktu harian bekantan untuk melakukan perilaku makan sebesar 43.75%, istirahat sebesar 45.89%, dan berpindah sebesar 10.36%. Perilaku tersebut berlangsung sejak pukul 06.00 WIB setelah bangun dan berakhir pukul 18.00 WIB untuk kembali tidur. Total durasi perilaku makan tertinggi ditemukan pada siang hari pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB, total durasi perilaku istirahat tertinggi ditemukan pada sore hari pukul 14.00 WIB hingga

(21)

11 18.00 WIB, sedangkan total durasi perilaku berpindah tertinggi ditemukan pada pagi hari pukul 06.00 WIB hingga 10.00 WIB. Perilaku makan, istirahat, berpindah, dan mengamati disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Perilaku bekantan (a) makan, (b) istirahat, (c) berpindah secara quadrupedal, (d) mengamati perahu yang melintas

Berdasarkan pengamatan, secara umum tidak ditemukan adanya gangguan yang mengancam populasi bekantan. Bekantan terlihat dapat melakukan perilaku alaminya. Jenis primata ini tidak terganggu dengan adanya lalu lintas perahu dengan suara mesin yang keras, melainkan hanya terlihat mengamati perahu yang melintas. Indikasi gangguan terlihat saat mesin perahu dimatikan atau saat terdapat manusia yang masuk ke dalam hutan. Pada kondisi tersebut bekatan akan berpindah menjauh dari keberadaan manusia.

Pengaruh Lingkungan terhadap Durasi Perilaku Perilaku makan

Bekantan merupakan jenis primata folivorous (Soendjoto 2005). Jenis primata dalam Sub Famili Colobinae memiliki sistem pencernaan seperti ruminansia (Bennet 1983). Jenis primata ini memiliki bakteri dalam perutnya yang mampu mencerna dedaunan menjadi energi yang dibutuhkan (Boonratana 1993). Namun bekantan diketahui juga dapat mengkonsumsi bagian lain dari tumbuhan mancakup akar, kulit batang, buah, dan bunga (Supriatna dan Wahyono 2000).

(a) (b)

(22)

12

Analisis regresi linear pada komponen lingkungan terhadap durasi perilaku makan menghasilkan model yang memuat peubah diameter pohon jenis meranti, palapi, sengon, dan tinuk sebagai peubah yang berpengaruh signifikan terhadap durasi perilaku makan. Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah lingkungan dan durasi perilaku makan memiliki keeratan hubungan sebesar 72%, serta mampu menjelaskan sebesar 40 % variasi durasi perilaku makan bekantan.

Persamaan pada model menunjukkan bahwa perilaku makan bekantan akan berlangsung selama 1.998 menit tanpa adanya pengaruh peubah lingkungan dalam model. Besarnya pengaruh setiap peubah ligkungan masing-masing dicerminkan melalui koefisen regresi dalam persamaan. Setiap peningkatan diameter pohon sebesar 1 cm akan diikuti oleh peningkatan durasi perilaku makan masing-masing 0.542 menit untuk jenis meranti, 0.283 menit untuk jenis palapi, 0.069 menit untuk jenis sengon, dan 0.156 menit untuk jenis tinuk.

Hubungan diameter terhadap durasi perilaku makan bekantan dijelaskan melalui kebutuhan pakan, pengendalian iklim mikro, dan struktur fisik pohon yang mampu menopang tubuhnya. Bismark (2009) menyatakan bahwa luas tajuk dan kerapatan tumbuhan tingkat tiang dan pohon sangat berpotensi dalam penyediaan sumber pakan bekantan. Bekantan biasanya makan di ujung-ujung pohon, duduk pada cabang yang relatif besar (Purba 2009), oleh karena itu bekantan membutuhkan struktur pohon yang kokoh.

Hubungan jenis pohon terhadap durasi perilaku makan dijelaskan melalui preferensi jenis pakan bekantan. Rinaldi (1992) menjelaskan bahwa lamanya aktivitas makan di suatu pohon terutama dipengaruhi oleh jenis dan kelimpahan pakan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku makan bekantan dan tingkat kesukaan pakan adalah perubahan musim. Keanekaregaman pakan bekantan dipengaruhi oleh musim (Purba 2009) sehingga bekantan memiliki tingkat kesukaan pada pakan yang berbeda-beda setiap bulannya (Yeager 1989).

Perilaku istirahat

Saat beristirahat, bekantan mengerahkan energinya untuk memperlancar proses fermentasi dan pencernaan makanan (Bismark 1986) serta meregangkan otot-ototnya (Boonratana 1993). Perilaku istirahat bekantan dilakukan di sela-sela aktivitas hariannya dan sering dilakukan dengan cara duduk di ranting pohon (Suradijono 2004).

Analisis regresi linear pada komponen lingkungan terhadap durasi perilaku istirahat menghasilkan model yang memuat diameter pohon jenis araganang dan ara sebagai peubah lingkungan yang berpengaruh signifikan terhadap durasi perilaku istirahat. Peubah lingkungan dalam model memiliki keeratan sebesar 31% terhadap durasi perilaku istirahat, serta mampu menjelaskan sebesar 9% variasi durasi perilaku istirahat.

Durasi perilaku makan = 1.998 + 0.542 Ø meranti + 0.283 Ø palapi + 0.069 Ø sengon + 0.156 Ø tinuk

(23)

13 Persamaan dalam model menjelaskan bahwa perilaku istirahat akan berlangsung selama 1.918 menit tanpa ada pengaruh diameter pohon jenis araganang dan ara. Kontribusi kedua peubah lingkungan ini terhadap durasi perilaku istirahat dijelaskan melalui koefisien peubah dalam persamaan. Setiap penambahan diameter sebesar 1 cm akan diikuti oleh peningkatan durasi perilaku istirahat sebesar 0.136 menit untuk diameter pohon jenis araganang dan 0.098 menit untuk diameter pohon jenis ara.

Hubungan diameter dan jenis pohon terhadap durasi perilaku istirahat dijelaskan melalui peran pohon dalam menstabilkan fluktuasi iklim mikro. Tutupan tajuk pohon dengan diameter >50 cm dan tumbuhan tingkat pancang berpotensi menjaga kestabilan fluktuasi iklim mikro pada strata rendah (0-10 m) di siang hari (Bismark 2009). Menurut Moen (1973), perilaku istirahat satwa ruminansia banyak dipengaruhi oleh perilaku makannya karena proses pencernaan makanan dalam tubuh terjadi pada saat satwa beristirahat.

Selama pengamatan, perilaku istirahat lebih banyak ditemukan setelah aktifitas makan. Perilaku istirahat setelah makan diketahui juga dilakukan oleh family Hylobatidae (Rinaldi 1992). Pakan merupakan kebutuhan yang penting bagi bekantan selain sumber air (Soendjoto 2005), oleh karena itu pemilihan lingkungan sangat disesuaikan dengan ketersediaan sumber pakan (Purba 2009).

Durasi perilaku berpindah

Perilaku berpindah yang diamati dalam penelitian mencakup perpindahan dalam satu pohon maupun antar pohon yang berdekatan untuk makan maupun istirahat. Analisis regresi linear pada komponen lingkungan terhadap durasi perilaku berpindah menghasilkan dua model yang memuat diameter pohon jenis kandui dan bayur sebagai peubah lingkungan yang berpengaruh signifikan terhadap durasi perilaku berpindah. Peubah dalam model memiliki keeratan hubungan sebesar 38% terhadap durasi perilaku berpindah serta dapat menjelaskan sebesar 15% variasi durasi perilaku berpindah.

Perilaku berpindah akan berlangsung selama 0.629 menit tanpa adanya pengaruh diameter pohon jenis kandui dan ara. Setiap peningkatan diameter pohon jenis kandui sebesar 1 cm akan diikuti oleh peningkatan durasi perilaku berpindah sebesar 0.116 menit dan peningkatan dimeter pohon jenis ara sebesar 1 cm akan diikuti peningkatan durasi perilaku berpindah sebesar 0.037 menit. Pendeknya durasi berpindah bekantan juga dikemukakan oleh Salter et al. (1985) bahwa perilaku berpindah yang cepat dan tanpa berhenti jarang dilakukan, namun kecepatan pergerakan bekantan dapat mencapi 450 m per jam.

Pola pergerakan primata berhubungan erat dengan sebaran pohon pakan (Jolly 1972, Whitten 1982), pohon tidur, dan cuaca (Chivers 1974). Bekantan melakukan aktifitas berpindah untuk mencari makan (Kartono et al. 2008). Pernyataan ini menjelaskan adanya hubungan antara perilaku berpindah dengan jenis pohon tertentu. Durasi berpindah bekantan mengindikasikan sebaran pakan dalam lingkungannya, durasi berpindah yang tinggi mengindikasikan sumber pakan yang semakin menyebar, sedangkan durasi yang rendah mengindikasikan sumber pakan yang semakin mengelompok.

(24)

14

Hubungan diameter pohon terhadap perilaku berpindah dijelaskan melalui kebutuhan bekantan akan substrat sebagai sarana berpindah terkait dengan efisiensi energi yang digunakan. Hubungan ini juga diperkuat oleh peran pohon berdiameter besar dalam menjaga fluktuasi iklim mikro karena bekantan cenderung mencari kondisi iklim mikro yang nyaman (Bismark 1994).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Durasi perilaku utama bekantan meliputi perilaku makan, istirahat, dan berpindah berbanding lurus dengan diameter pohon jenis tertentu di habitatnya. Perilaku makan, istirahat, dan berpindah bekantan dimulai pada pagi hari dan berakhir di sore hari pada waktu tidur. Puncak durasi perilaku makan terjadi pada siang hari, puncak durasi perilaku istirahat terjadi pada sore hari, dan puncak durasi perilaku berpindah terjadi pada pagi hari.

Saran

Saran sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lebih dalam untuk mengidentifikasi latar belakang perbedaan wilayah jelajah bekantan di lokasi penelitian dengan hasil penelitian lainnya, identifikasi dinamika pembentukkan kelompok bekantan, kajian pengelolaan habitat bekantan di dalam kawasan terkait daerah sempadan sungai dan khususnya jenis pohon yang diketahui berpengaruh dan mendukung berlangsungnya aktifitas dan perilaku harian bekantan, serta kajian pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat di kawasan sempadan sungai yang merupakan habitat bekantan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrilia GN. 2011. Studi reproduksi bekantan (Nasalis larvatus) di habitat ex-situ [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Alexander GM, Hines M. 2002. Sex Differences in Respons to Children’s Toys in Non-Human Primates (Cercopithecus aethiops sabaeus). Evolution and Human Behavior. 23(2002):467-479.

Alikodra HS, Yasuma S, Santoso N, Soekmadi R, Suzanna E. 1990. Studi Ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1781) di Hutan Lindung Bukit Soeharto Kalimantan. PP. 39-43.

Alikodra HS. 1997. Populasi dan Perilaku Bekantan di Koala Samboja, Kalimantan Timur. Media Konservasi. 5(2):67-72.

(25)

15 Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas Menuju Hutan Lestari; 2007 Januari 31; Balikpapan. 35-42.

Atmoko T, Ma’ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 2011. Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian BPTKSDA Samboja; 2011 November 3; Samboja. 71-83.

Bennet EL. 1983. The Banded Langur : Ecology of a Colobinae in West Malaysian Rain Forest. Dalam Bismark M. 1994. ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bennet EL, Sebastian AC. 1988. Social Organization and Ecology of Proboscis Monkey in Mixed Coastal Forest in Sarawak. International Journal of Primatology. 9(3):233-255.

Bismark M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus) dalam memanfaatkan dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1781) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Boonratana R. 1993. The ecology and behavior of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Sabah [tesis]. Bangkok (TH): Madihol University.

Chivers DJ. 1974. The Siamang in Malaysia : a Field Study of Primate in Tropical Rain Forest. Dalam Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Ciani AC. 1986. Intertroop Agonistic Behavior of a Feral Rhesus Macaque Troop Ranging in Town and Forest Areas in India. Aggressive Behaviour. 12:433-439.

[CITES] Convension on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Fora. 1979. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. http://www.cites.org/eng/disc/E-Text.pdf. [10 Oktober 2013].

Dawkins M. 2007. Observing Animal Behavior : Design and Analysis of Quantitative Data. New York (US). Oxford Univesity Press.

Dunbar RIM. 2008. The Social Role of Touch in Humans and Primates : Behavioural Function and Neurobiological Mechanisms. Neuroscience and Biobehavioural Reviews. 34(2010):260-268.

Galdikas BMF. 1985. Crocodile Predation on Proboscis Monkey in Borneo. Primates. 26(4):495-496.

(26)

16

Hanum H. 2011. Perbandingan Metode Stepwise, Best Subset, dan Fraksi dalam Pemilihan Model Regresi Berganda Terbaik. Jurnal Penelitian Sains. 14(2A):14201.

Harestad AS, Bunnel FL. 1979. Home Range and Body Weight-a Reevaluation. Dalam Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik Habitat dan Wilayah Jelajah Bekantan di Hutau Mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi. 13(3):1-6.

Hulbert IAR, Iason GR, Elston DA, Racey PA. 1996. Home Range Sizes in a Stratified Upland Landscape of Two Lagomorphs with Different Feeding Strategies. Dalam Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik Habitat dan Wilayah Jelajah Bekantan di Hutau Mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi. 13(3):1-6.

Jolly A. 1972. The Evolution of Primate Behavior. Dalam Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik Habitat dan Wilayah Jelajah Bekantan di Hutan Mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi. 13(3):1-6.

Kawabe M, Mano T. 1972. Ecology and Behavior of the Wild Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. Primates. 13(2):213-228.

Kern JA. 1964. Obervations on the Habits of Proboscis Monkey, Nasalis larvatus (Wurmb), Made in Brunei Bay Area, Borneo. Dalam Yeager CP. 1990. Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Social Organization : Group Structure. American Journal of Primatology. 20:95-106.

Keverne EB. 1987. Processing of Environmental Stimuli and Primate Reproduction. The Zoological Society of London. 213:395-408.

Macdonald DW. 1982. Notes on the Size and Composition of Groups of Proboscis Monkey, Nasalis larvatus. Folia Primatol. 37:95-98.

Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2008. Clouded Leopard (Neofelis diardi) Predation on Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. Primates. 49:227-231.

Moen AN. 1973. Wildlife Ecology, an Analytical Approach. Dalam Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. Dalam Purba EFB. 2009. Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung) [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Nurjannah. 2008. Modul Pelatihan SPSS (Statistical Package for the Social Science) Advanced – Pertemuan II. Melbourne (AU).

(27)

17 Pusat Penyelamatan Satwa Gadog Ciawi-Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Purba EFB. 2009. Studi keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah (studi kasus di areal Research Pondok Ambung) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Purnamasari DR. 2012. Limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi dan karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu di IUPHHK-Ha PT Indexim Utama, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rinaldi D. 1992. Penggunaan Metode Triangle dan Concentration Count dalam Penelitian Sebaran dan Populasi Gibbon (Hylobitidae). Media Konservasi. 4(1):9-21.

Salter RE, Mackenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai P. 1985. Habitat Use, Ranging Behaviour and Food Habits of Proboscis Monkey Nasalis larvatus (Van Wurmb) in Sarawak. Primates. 26(4):436-451.

Simamora B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta (ID). PT Gramedia Pustaka Utama.

Skinner BF. 1938. The Behavior of Organisms. Dalam Linggasari. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku terhadap penggunaan alat pelindung diri di Departemen Engineering PT Indah Kiat Pulp dan Paper TBK Tangerang [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Soemartini. 2008. Principal component analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas [skripsi]. Jatinangor (ID): Universitas Padjadjaran.

Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan terhadap hutan karet: studi kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Strier KB. 2011. Primate Behavioral Ecology: Fourth Edition. Boston (US). Pearson.

Supriatna J, Wahyono HE. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Suradijono RD. 2004. Perilaku dan aktivitas harian bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet, Desa Simpung Layung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tardif SD, Carson RL, Gangaware BL. 1992. Infant-care Behavior of Non-reproductive Helpers in a Communal-care Primate, the Cotton-top Tamarin (Saguinus oedipus). Ethology. 92:155-167.

Tayeb T. 2012. Efektifitas Metode New Stepwise dalam Pemilihan Variabel pada Model Regresi Berganda. Lentera Pendidikan. 15(2):161-174.

Vié JC, Taylor CH, Pollock C, Ragle J, Smart J, Stuart S, Tong R. 2008. The IUCN Red List: a key conservation tool. Switzerland (SUI). IUCN Gland. Warsono IU. 2002. Pola tingkah laku makan dan kawin burung kasuari

(28)

18

Whitten AJ. 1982. Diet and Feeding Behavior of Kloss Gibbon on Siberut Island, Indonesia. Dalam Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Yeager CP.1989. Feeding Ecology of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). International Journal of Primatology. 10(6):497-530.

Yeager CP. 1990. Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Social Organization : Group Structure. American Journal of Primatology. 20:95-106.

(29)

19 Lampiran 1 Ringkasan model durasi perilaku makan

Model Summary b. Predictors : (Constant), meranti, palapi c. Predictors : (Constant), meranti, palapi, sengon d. Predictors : (Constant), emranti, palapi, sengon, tinuk

Lampiran 2 Tabel anova model durasi perilaku makan

ANOVAe b. Predictors : (Constant), meranti, palapi c. Predictors : (Constant), meranti, palapi, sengon d. Predictors : (Constant), meranti, palapi, sengon, tinuk

Lampiran 3 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku makan

(30)

20

Lampiran 3 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku makan (lanjutan)

Coefficientsa

Lampiran 4 Ringkasan model durasi perilaku istirahat

Model Summary b. Predictors : (Constant), araganang, ara

Lampiran 5 Tabel anova model durasi perilaku istirahat

ANOVAe b. Predictors : (Constant), araganang, ara

Lampiran 6 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku istirahat

(31)

21 Lampiran 6 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku istirahat (lanjutan)

Coefficientsa

Lampiran 7 Ringkasan model durasi perilaku berpindah

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .278a .083 .072 1.15035

2 .384b .148 .129 1.11499

a. Predictors : (Constant), kandui b. Predictors : (Constant), kandui, bayur

Lampiran 8 Tabel anova model durasi perilaku berpindah

ANOVAe b. Predictors : (Constant), kandui, bayur

Lampiran 9 Tabel koefisien persamaan durasi perilaku berpindah

(32)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juli 1991 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan dr Rubianto Soedarsono dan Hadiana Bostonita Rubianto. Pendidikan formal dijalani penulis di Jakarta dengan bersekolah di SD Khrisna, SMPN 36, dan SMAN 54. Selama masa pendidikan, penulis turut aktif di ekstrakurikuler pramuka, paskibra, dan bola basket.

Setelah lulus dari sekolah menegah atas pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konsrevasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB melalui jalur UTMI pada tahun yang sama. Selama menjadi mahasiswa, penulis turut aktif di beberapa lembaga kemahasiswaan dan kepanitiaan acara, yaitu Himakova, UKM MAX!!, Organisasi Mahasiswa Daerah J-Co, OMI 2010, dan Konser-konser musik kerjasama IPB dengan Erasmus Huis di IPB.

Gambar

Gambar 1  Peta sebaran kelompok bekantan di Sub DAS Luang di
Gambar 2  Sub DAS Luang di dalam kawasan
Gambar 3.  Gambar 3  Perilaku makan bekantan di tumbuhan
Gambar 4  Diagram proporsi penggunaan waktu berdasarkan jarak dari tepi sungai
+3

Referensi

Dokumen terkait

1) Solusi dalam penggunaan alat teknologi tepat guna dengan memberikan pendampingan dan pelatihan penggunaan alat teknologi tepat guna, dalam hal ini digunakan

HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan mutu yang sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya)

Kode untuk instruksi LJMP adalah $02, nomor memori-program baru yang dituju dinyatakan dengan bilangan biner 16 bit, dengan demikian instruksi ini bisa menjangkau semua

Pada penelitian ini, metode deskriptif dan verifikatif digunakan untuk menguji apakah Pemeriksaan Pajak, Sanksi Perpajakan, dan Self Assessment System berpengaruh signifikan

i. &azimnya, istilah sol digunakan untuk menyatakan sistem koloid yang terbentuk dari fase terdispersi berupa zat padat di dalam medium pendispersi berupa zat 'air

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah pengaruh penurunan aktivitas ALP pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian

Training-training ini dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah karena kewajiban sosialisasi suatu peraturan ada di tangan pemerintah; diadakannya pengaturan

dalam pembelajaran konsep energi panas pada siswa kelas IV MI Nurur Rohmah belum bisa di lakukan secara maksimal kareana adanya kendala- kendala seperti alat –