• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Market Structure, Conduct, and Performance of Cashew in Muna District, Southeast Sulawesi Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Market Structure, Conduct, and Performance of Cashew in Muna District, Southeast Sulawesi Province"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIM

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KINERJA

PEMASARAN JAMBU METE GELONDONGAN DI

KABUPATEN MUNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

NURDIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pemasaran Jambu Mete Gelondongan di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

NURDIYAH. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar Jambu Mete Gelondongan di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan SITI JAHROH.

Jambu mete merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Muna. Sebagian besar usahatani jambu mete adalah perkebunan rakyat. Total luas areal perkebunan jambu mete di Kabupaten Muna tahun 2013 adalah sebesar 17 884 hektar dengan persentase produksi 42.76 persen. Produksi jambu mete gelondongan Kabupaten Muna hampir 95 persen dipasarkan ke luar Kabupaten Muna, melalui jalur transportasi antar pulau yang dipasarkan oleh pedagang antar pulau (PAP) di Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari serta di luar Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu ke Kota Makassar dan Surabaya.

Harga jambu mete yang tinggi di tingkat pedagang belum dirasakan oleh petani jambu mete di Kabupaten Muna. Hal ini ditunjukkan dari perkembangan harga jambu mete gelondongan mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 yakni Rp8 000 sampai Rp15 000 per kilogram sedangkan di tingkat petani hanya berkisar Rp3 000 sampai Rp5 000 yang tidak diikuti dengan peningkatan harga di tingkat petani. Rata-rata share harga yang diterima petani dari penjualan jambu mete yang dihasilkan setiap tahunnya hanya memperoleh 14.83 persen yang artinya share harga petani masih tergolong rendah (< 40%).

Masalah mendasar yang dihadapi petani jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna adalah posisi tawar petani lemah dalam penentuan harga. Kondisi pasar yang tidak bersaing mempengaruhi lembaga pemasaran dalam penentuan dan pembentukan harga, sehingga sistem pemasaran yang efisien belum terwujud. Seberapa cepat perubahan harga tersebut direspon oleh setiap lembaga pemasaran akan diketahui melalui analisis kinerja pasar.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis struktur (structure), perilaku (conduct) dan kinerja (performance) pasar sebagai metode analisis yang tepat untuk mengetahui sistem pemasaran yang terdapat dalam pemasaran jambu mete gelondongan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja pasar jambu mete di Kabupaten Muna, 2) menganalisis pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap sistem pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna, dan 3) menyusun rekomendasi kebijakan terhadap sistem pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna.

Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar (market structure) yang dihadapi petani jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna bersifat oligopsoni. Hal ini dikarenakan kondisi pasar di tingkat para pedagang terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil (HHI=1 521). Besarnya market power yang dimiliki pedagang antar pulau akan mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran di tingkat yang lebih rendah yang ditunjukkan pada perilaku pasar (market conduct).

(6)

pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, dan pedagang antar pulau (PAP). Adapun fungsi pemasaran yang dilakukan adalah fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Saluran pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna terdiri atas dua saluran. Saluran pertama, petani menjual ke pedagang pengumpul desa yang diteruskan ke pedagang pengumpul kecamatan. Kemudian pedagang pengumpul kecamatan menjual jambu mete gelondongan ke pedagang antar pulau. Saluran kedua, petani menjual ke pedagang pengumpul kecamatan. Selanjutnya pedagang pengumpul kecamatan yang akan memasarkan jambu mete gelondongan ke pedagang antar pulau. Besarnya ketergantungan petani terhadap pedagang pengumpul dikarenakan keterbatasan modal, terutama dalam proses penyaluran produk jambu mete gelondongan ke pasar. Akses transportasi yang masih sangat sulit mengakibatkan informasi yang diperoleh petani kurang sehingga posisi tawar petani lemah dalam proses penentuan harga.

Kondisi petani yang menghadapi struktur pasar oligopsoni dan posisi tawar petani lemah dalam proses penetuan harga akan mempengaruhi kinerja pasar (market performance). Hal ini terlihat dari share harga jambu mete gelondongan yang diterima petani masih rendah (<20%) dengan marjin yang relatif tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh besarnya ketergantungan petani kepada pedagang pengumpul dan terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki petani sehingga petani tidak melakukan nilai tambah pada jambu mete gelondongan yang dipasarkan.

Analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa pasar jambu mete gelondongan di tingkat petani tidak terintegrasi dengan harga jambu mete di tingkat pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan dan pedagang antar pulau saat ini dan waktu sebelumnya tidak mempengaruhi harga jambu mete gelondongan di tingkat petani. Hal ini menunjukkan bahwa pada jangka pendek maupun jangka panjang petani cenderung sebagai penerima harga (price taker).

Hasil analisis SCP telah menunjukkan bahwa peningkatan harga di tingkat pedagang antar pulau yang cukup besar tidak diikuti dengan peningkatan harga di tingkat petani. Kondisi ini menggambarkan bahwa sistem pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna belum efisien dilihat dari marjin pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar vertikal. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar petani yaitu dengan pemberdayaan kelompok tani secara berkelanjutan. Selain itu peran pemerintah dalam menjamin sarana dan prasarana, perbaikan infrastruktur (jalan), pengawasan harga yang sesuai dan menginformasikan harga pasar (lokal dan dunia). Walaupun saat ini terdapat kerjasama antara beberapa petani jambu mete gelondongan dengan koperasi, namun diharapkan ada peningkatan kerja sama yang dapat memberikan informasi dan kepastian harga bagi petani. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan animo petani untuk bergabung menjadi anggota koperasi serta melakukan perbaikan sistem manajemen koperasi yang profesional sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan harga. Dengan demikian sistem pemasaran jambu mete gelondongan yang efisien dapat terwujud dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.

(7)

SUMMARY

NURDIYAH. Analysis of Market Structure, Conduct, and Performance of Cashew in Muna District, Southeast Sulawesi Province. Supervised by ANNA FARIYANTI and SITI JAHROH.

Cashew is the leading commodity in Muna District. Most of the cashew plantations are small-scale plantation. Total cashew plantation area in Muna District in 2013 amounted to 17 884 hectares with a production of 42.76 percent. The production of cashew in Muna District, nearly 95 percent, are sold out of Muna District, through the island transportation lines and marketed by inter-island traders (PAP) in Buton, Bau-Bau and Kendari and outside Southeast Sulawesi in Makassar City and Surabaya.

High prices of cashew at the trader level have not felt by cashew farmers in Muna District. It is shown from the increasing cashew price from 2007 until 2013 which was from Rp 8 000 to Rp15 000 per kilogram, while at the farm level it was only about Rp 3 000 to Rp 5 000 which was not followed by an increase in prices at the farm level. Average share price received by farmers from the sale of cashew produced annually was only 14.83 percent of the share price, which means farmer share was still relatively low (<40%).

The main problem faced by cashew farmers in Muna District is a weak bargaining position of farmers in price determination. Uncompetitive market conditions affect marketing institution in price formation and determination; therefore efficient marketing has not been conducted. How fast price changes being responded by marketing institution will be analyzed through market performance.

Based on these problems, it is necessary to analyze market structure, conduct and performance as an appropriate analytical method to determine the cashew marketing system. This study aims to 1) analyze the structure, conduct and performance of cashew market in Muna District, 2) analyze the impact of market structure, conduct and performance on cashew marketing system in Muna District, and 3) formulate policy recommendations on cashew marketing system in Muna District.

Descriptive and quantitative analyses were employed by using Microsoft Excel 2007 and Eviews 6. The result showed that the market structure faced by cashew farmers in Muna District was oligopsonistic. This is due to the market conditions at the trader level were concentrated with a low competition (HHI=1 521). Market power possessed by inter-island traders will influence the behavior of a marketing institution in the lower level that is shown in the market conduct.

(8)

market. Bad transportation access leads to less information obtained by farmers and accordingly weak bargaining position of farmers in price determination.

Farmer condition in facing oligopsonistic market and weak bargaining position in price determination will affect market performance. This is shown from the low cashew price share received by farmers (<20%) with a relatively high margin. This condition is due to the high dependency of farmers to traders and limited facilities and infrastructure owned by farmers so that farmers do not add value to their marketed cashew.

Analysis of vertical market integration showed that cashew market at the farmer level was not integrated with cashew prices at the village traders, sub-district traders and inter-island traders at the present and the previous time did not affect the cashew price at the farmer level. This suggests that in the short and long terms, farmers tend to be the price taker.

SCP analysis has shown that high price increase at the inter-island traders is not followed by a price increase at the farmer level. This condition illustrates that the cashew marketing system in Muna District was not efficient in terms of marketing margin, farmer share, and vertical market integration. Effort that can be made to improve the bargaining position of farmers is by empowering farmer groups in sustainable aspect. In addition, the role of government in ensuring infrastructure, improvement of roads, price controls and information (local and world prices) are appropriate. Although there are currently cooperation between cashew farmers and cooperative, improvement in cooperation is expected, especially to provide price information for farmers. This can be done by increasing the interest of farmers to join the cooperative as well as make improvements in cooperative management system in order to improve the bargaining position of farmers in price determination. Therefore, the efficient cashew marketing system can be realized and accordingly will improve the welfare of farmers.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KINERJA PASAR

JAMBU METE GELONDONGAN DI KABUPATEN MUNA

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ratna Winandi, MS

(13)

Judul Tesis : Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar Jambu Mete Gelondongan di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama : Nurdiyah NIM : H4511100311

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Ketua

Siti Jahroh, PhD Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanallhu wa ta’ala atas segala rahmat, hidayah dan karunia-NYA sehingga tesis dengan judul Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Jambu Mete Gelondongan di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Siti Jahroh, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis.

2. Prof Dr Ir Rita Nurmalina selaku dosen evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian serta selaku dosen Penguji Perwakilan Program Studi dan Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan

Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis Dr Ir Suharno M.Adev serta seluruh staf Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

4. Dinas Perkebunan Kabupaten Muna dan Provinsi Sulawesi Tenggara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan tesis ini.

5. Rektor Universitas Terbuka melalui Program Beasiswa PPSDM di lingkup UT yang telah memberikan beasiswa pada saat studi kepada penulis.

6. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Magister Sains Agribisnis atas diskusi, masukan, dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

7. Penghormatan yang tinggi serta ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Drs Sofjan Atjo dan Sahara, A.Md serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungannya.

8. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Muhammad Arman Yamin Pagala, SP dan anak Ibnu Athaillah Afiq Pagala yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

Bogor, Mei 2014

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan 8

Manfaat 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Agribisnis Jambu Mete Gelondongan 9

Penerapan SCP (Market Structure, Market Conduct, Market

Performance) dalam Analisis Sistem Pemasaran 10

3 KERANGKA PEMIKIRAN 13

Kerangka Pemikiran Teori 13

Kerangka Pemikiran Operasional 26

4 METODE PENELITIAN 27

Lokasi dan Waktu Penelitian 27

Jenis dan Sumber Data 28

Metode Pengambilan Data 28

Metode Pengolahan dan Analisis Data 28

Analisis Struktur Pasar (Market Structure) 28

Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) 29

Analisis Kinerja Pasar (Market Performance) 30

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KERAGAAN

USAHA TANI JAMBU METE GELONDONGAN 33

Letak Geografis Daerah Penelitian 33

Penduduk dan Tenaga Kerja 36

Kondisi Infrastruktur dan Akses Permodalan 40

Usahatani Jambu Mete Gelondongan di Kabupaten Muna 44 Identitas Responden di Kecamatan Tongkuno dan Kabawo 47 6 ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP)

PASAR JAMBU METE GELONDONGAN KABUPATEN MUNA 54

Analisis Struktur Pasar (Market Structure) 54

Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) 59

Analisis Kinerja Pasar (Market Performance) 64

7 PENGARUH SCP DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN SISTEM

PEMASARAN JAMBU METE GELONDONGAN DI KABUPATEN

(18)

Pengaruh Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar terhadap Sistem Jambu

Mete Gelondongan di Kabupaten Muna 71

Implikasi Kebijakan terhadap Sistem Pemasaran Jambu Mete

Gelondongan di Kabupaten Muna 74

8 SIMPULAN DAN SARAN 76

Simpulan 76

Saran

78

DAFTAR PUSTAKA 78

LAMPIRAN 85

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 89

DAFTAR TABEL

1 Luas areal, produksi dan jumlah petani jambu mete gelondongan

berdasarkan kecamatan di Kabupaten Muna tahun 2012 4 2 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk 17

3 Syarat integrasi pasar 33

4 Luas wilayah berdasarkan kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2012 34

5 Luas areal dan jumlah petani perkebunan rakyat di Kabupaten Muna

tahun 2012 37

6 Kondisi lahan jambu mete gelondongan berdasarkan luas wilayah,

luas areal dan luas produksi di Kabupaten Muna tahun 2012 39 7 Persentase luas lahan menurut penggunaannya di Kabupaten Muna

tahun 2012 40

8 Statistik trasnportasi Kabupaten Muna 2011-2012 41 9 Jumlah lembaga keuangan di Kabupaten Muna tahun 2012 43 10 Lokasi penelitian dan jumlah responden jambu mete gelondongan

di Kecamatan Tongkuno dan Kabawo tahun 2013 48

11 Sebaran jumlah petani dan persentase berdasarkan identitas petani responden jambu mete gelondongan di Kecamatan Tongkuno dan

Kabawo tahun 2013 49

12 Sebaran jumlah dan persentase petani responden berdasarkan usia petani, luas lahan, jumlah pohon, dan umur pohon jambu mete gelondongan di

Kecamatan Tongkuno dan Kabawo tahun 2013 50

13 Pangsa pasar (MSi) jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna

tahun 2012 55

14 Herfindahl Hirschman Index (HHI) jambu mete gelondongan

di Kabupaten Muna tahun 2013 56

15 Hambatan pesaing untuk masuk dalam setiap lembaga pemasaran jambu

(19)

16 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan masing-masing pelaku pemasaran jambu mete gelondongan di Kecamatan Tongkuno

dan Kabawo tahun 2013 61

17 Marjin pemasaran pada pemasaran jambu mete gelondongan

di Kabupaten Muna tahun 2013 65

18 Farmer share pada saluran pemasaran jambu mete gelondongan

di Kabupaten Muna tahun 2013 66

19 Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran

jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna tahun 2013 67 20 Harga jual, total biaya, marjin dan farmer share pemasaran pada masing

-masing pola saluran pemasaran jambu mete gelondongan

di Kabupaten Muna tahun 2013 68

21 Nilai Index of Marketing (IMC) pada setiap lembaga pemasaran jambu

mete gelondongan di Kabupaten Muna tahun 2013 69

22 Hasil analisis integrasi jangka panjang pada tingkatan lembaga pemasaran

jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna tahun 2013 70 23 Alternatif kebijakan sebagai upaya perbaikan sistem pemasaran jambu

mete gelondongan di Kabupaten Muna tahun 2013 75

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase jumlah produksi jambu mete gelondongan menurut negara

pemasok jambu mete di dunia 1

2 Perkembangan harga jambu mete di pasar internasional dan harga jambu

mete domestik periode 2006-2012 2

3 Luas areal dan produksi jambu mete gelondongan di Indonesia periode

tahun 2008-2012 3

4 Perkembangan harga jambu mete di tingkat petani dengan pedagang

periode tahun 2007-2013 7

5 Paradigma struktur- perilaku-kinerja 15

6 Kerangka pemikiran operasional 27

7 Tanaman jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna 36 8 Persentase penduduk lapangan kerja di Kabupaten Muna tahun 2013 37 9 Proporsi produksi jambu mete gelondongan berdasarkan daerah produksi

di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 38

10 Persentase kondisi jalan di Kabupaten Muna tahun 2013 42 11 Perbandingan jumlah produksi jambu mete gelondongan di Kabupaten

Muna dan Buton tahun 2013 42

12 Proses pengolahan jambu mete dari segar sampai ke bentuk kacang mete 44 13 Perkembangan harga jambu mete gelondongan dan kacang mete

tahun 2012 47

(20)

periode tahun 2005-2012 54 15 Saluran pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna

tahun 2013 64

18 Pengaruh struktur, perilaku, dan kinerja pasar terhadap sistem pemasaran

jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna tahun 2013 73

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ekspor impor komoditi jambu mete gelondongan Indonesia tahun

tahun 2002-2009 85

(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara pemasok industri jambu mete dunia. Jambu mete yang ada lebih dari setengahnya dihasilkan oleh dua negara produsen utama yaitu Vietnam dan India. Persentase produksi jambu mete gelondongan lebih banyak dihasilkan oleh negara Vietnam yakni sebesar 35 persen dari keseluruhan produksi jambu mete dunia. Sedangkan Indonesia, produksi jambu mete yang dihasilkan hanya berkisar 5 persen. Kondisi tersebut tampak jelas pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase jumlah produksi jambu mete gelondongan menurut negara pemasok jambu mete di dunia

Persentase produksi jambu mete yang rendah dibandingkan dengan persentase produksi dari negara lain merupakan peluang yang cukup besar bagi Indonesia untuk mengembangkan jambu mete. Hal ini dikarenakan dari segi luas lahan dan iklim Indonesia memiliki potensi yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara pemasok jambu mete gelondongan yang ada.

Jambu mete merupakan komoditi perkebunan yang menjadi penyumbang devisa negara sekaligus sebagai mata pencaharian masyarakat Indonesia. Selain itu komoditi jambu mete merupakan komoditi yang mendapat perhatian cukup besar karena pertama jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain menjadi kecil dan dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi. Kedua karena jambu mete merupakan komoditas ekspor. Sehingga pasar mete cukup luas dan tidak terbatas pada pasar domestik.

Jambu mete dalam bentuk gelondongan mete merupakan jenis komoditi yang banyak diekspor ke negara Vietnam dan India. Persentase ekspor terbesar adalah India sebesar 61.7 persen, Vietnam sebesar 26.7 persen, Belanda sebesar 3.1 persen, Turki sebesar 1.4 persen, Amerika Serikat sebesar 1.4 persen, Jerman sebesar 0.9 persen dan negara lain sebesar 2.4 persen (BPS 2013).

(22)

2

yang mengalir diantara seluruh lembaga pemasaran belum terjalin dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat pada peningkatan ekspor jambu mete gelondongan Indonesia yang disajikan pada Lampiran 1. Data yang cukup fluktuatif menunjukkan bahwa ekspor jambu mete gelondongan pada tahun 2007 terbilang besar yakni 83.6 ton yang hampir mencapai peningkatan sebesar 20 persen dari tahun sebelumnya, sementara pada tahun 2010 menurun hingga sebesar 45.6 ton (Ditjenbun 2013).

Harga jambu mete gelondongan sangat dipengaruhi oleh harga pasar dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Daton 2008). Hal ini menunjukkan dari sisi harga jambu mete gelondongan memiliki harga yang cukup bersaing di pasar internasional,dengan peningkatan yang terjadi setiap tahun. Demikian pula halnya dengan harga jambu mete di pasar domestik. Meskipun peningkatan harga di pasar domestik tidak sebesar peningkatan yang terjadi di pasar dunia. Perkembangan harga jambu mete dapat dilihat pada Gambar 2.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

R

p

/K

g

Wa ktu (ta hun)

ha rga interna siona l ha rga domestik

Sumber: Ditjenbun (2013)

Gambar 2 Perkembangan harga jambu mete di pasar internasional dan domestik periode tahun 2006-2012

Perubahan harga di pasar internasional memiliki implikasi terhadap perubahan harga di pasar domestik disebabkan oleh perubahan tingkat produksi dan konsumsi yang terjadi di pasar dunia (Suyamto, Noordwik, dan Lusiana 2004). Gambar 2 menunjukkan perubahan harga jambu mete gelondongan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun perubahan harga di pasar domestik tidak sebesar perubahan di pasar internasional. Peningkatan harga yang tinggi terjadi pada tahun 2010 disebabkan beberapa wilayah di Indonesia mengalami kelangkaan komoditi.

(23)

3

ribu hektar dengan produksi sebesar 146 ribu ton. Penurunan terjadi sebesar 4 persen per tahun sejak tahun 2012. Luas areal menjadi 536 ribu hektar dengan produksi sebesar 108 ribu ton (Ditjenbun 2013). Penyebab terjadinya penurunan luas lahan lahan jambu mete gelondongan dikarenakan lahan jambu mete gelondongan banyak yang rusak dan tua sehingga kurang produktif. Di sisi lain proses peremajaan dan penanaman tanaman jambu mete membutuhkan waktu lama untuk dapat berproduksi yakni pada usia 3–5 tahun.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000

2008 2009 2010 2011 2012

Tahun

Luas Areal (Hektar) Produksi (Ton) Sumber: Ditjenbun (2013)

Gambar 3 Luas areal dan produksi jambu mete gelondongan di Indonesia, periode tahun 2008-2012

Indonesia merupakan negara penghasil jambu mete gelondongan yang penyebarannya berada di beberapa provinsi. Produksi jambu mete terbesar berada di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dikategorikan sebagai jambu mete gelondongan terbaik di dunia. Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan sentra produksi jambu mete gelondongan kedua setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Menurut Ditjenbun (2013) luas areal tanaman jambu mete pada tahun 2012 berada pada urutan keenam dengan luas areal 598 503 hektar setelah karet, kelapa sawit, kelapa dalam, kopi, dan kakao. Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki luas lahan sebesar 117 993 hektar (22%) dari total luas areal jambu mete Indonesia. Produksi jambu mete Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2012 sebesar 14 372 ton (13.29%) dari total produksi nasional.

(24)

4

Tabel 1 Luas areal, produksi, dan jumlah petani jambu mete gelondongan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Muna, tahun 2012

No Kabupaten/ Kota

Pengembangan jambu mete di Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan karena devisa negara yang turut disumbangkan oleh jambu mete melalui ekspor jambu mete gelondongan cukup besar. Tahun 2012 ekspor jambu mete mencapai 58.8 ribu ton dengan nilai 115.5 juta dollar (Kementan 2012). Peluang tersebut seharusnya dapat dikembangkan dengan baik agar produktivitas jambu mete gelondongan tidak rendah dan stagnan di antara 359 kg per ha. Produktivitas yang berada jauh di bawah rata-rata produktivitas pertanaman jambu mete India sebesar 800 sampai 1 100 kg per ha dan Vietnam 700 kg per ha (Hikmat dan Widiatmaka 2011).

Menurut Baye (2010), Perubahan harga dapat ditentukan oleh struktur, perilaku yang akan tercermin pada kinerja suatu pasar. Struktur pasar menggambarkan tipe dan jenis pasar yang terbentuk sehingga harga ditentukan sesuai dengan jenis pasar yaitu monopoli, oligopoly, atau persaingan sempurna. Perilaku pasar menekankan pada aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku pemasaran sehingga akan mempengaruhi margin pemasaran setiap lembaga pemasaran. Hal tersebut tercermin pada kinerja pasar jambu mete yang ditunjukkan oleh tingkat efisiensi dan keuntungan lembaga pemasaran.

(25)

5

secara lebih komperhensif berdasarkan empiris dan menjawab permasalahan pemasaran dalam suatu sistem yang saling terkait.

Konstribusi jambu mete gelondongan terhadap PDRB Kabupaten Muna sebesar 22.47 persen dan menjadi penyumbang PDRB terbesar pada sektor perkebunan serta penyedia lapangan kerja bagi masyarakat di pedesaan. Perkebunan jambu mete gelondongan melibatkan lebih dari 25 902 kepala keluarga yang berprofesi sebagai petani jambu mete gelondongan sebagai pelaku dalam kegiatan produksi, puluhan pedagang perantara dalam kegiatan pemasaran serta sebagai pemasok bahan baku jambu mete gelondongan bagi industri pengolahan jambu mete gelondongan yang diolah menjadi kacang mete siap konsumsi (Disbunhorti Sulawesi Tenggara 2013).

Proses pemasaran jambu mete gelondongan melibatkan banyak pelaku diantaranya petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang antar pulau, industri pengolahan, eksportir dan lainnya. Beberapa penelitian terdahulu mengemukakan harga jambu mete gelondongan di tingkat petani cenderung stabil dibandingkan dengan harga di tingkat pedagang yang fluktuatif. Kondisi ini menggambarkan posisi petani dalam penentuan harga masih lemah. Harga komoditi jambu mete gelondongan lebih banyak ditentukan oleh pedagang besar yang mengarah pada struktur pasar oligopsoni dan membentuk pasar persaingan tidak sempurna. Keadaan tersebut sangat tidak menguntungkan petani karena petani hanya berposisi sebagai penerima harga (price taker). Upaya yang dapat dilakukan dalam membantu petani agar tidak menggantungkan diri pada pedagang besar adalah dengan mencoba menggunakan lembaga pemasaran lainnya seperti koperasi. Keberadaan koperasi diharapkan dapat berpihak pada kepentingan dan kebutuhan petani (Darsono 1996; Hukama 2003).

Analisis yang dapat menjawab permasalahan tersebut adalah menggunakan pendekatan SCP (structure, conduct, and performance) karena analisis ini mampu menjabarkan pola struktur, perilaku, dan kinerja pasar yang dapat menjawab proses penentuan harga serta keterkaitan setiap lembaga pemasaran dalam sistem pemasaran jambu mete gelondongan. Analisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar jambu mete gelondongan penting dilakukan untuk mengetahui proses penentuan harga yang berkaitan dengan kesejahteraan petani jambu mete gelondongan.

(26)

6

Perumusan Masalah

Berdasarkan luas areal dan produksi dataran Kabupaten Muna merupakan wilayah dalam mengembangkan produk jambu mete di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kondisi tanah kering menjadi media yang subur untuk pertanaman jambu mete karena sesuai dengan iklim di daerah tersebut. Jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna seluruhnya merupakan perkebunan rakyat (100%) dengan jumlah petani 125 928 jiwa sedangkan jumlah penduduknya sebanyak 268 277 jiwa (Disbunhorti Sulawesi Tenggara 2013). Data tersebut menunjukkan setara 47 persen dari total jumlah penduduk merupakan petani jambu mete gelondongan.

Permasalahan yang terjadi pada petani jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna adalah harga yang diperoleh petani rendah disebabkan petani tidak memiliki pengetahuan tentang perkembangan harga yang sedang berlaku. Petani hanya sebagai penerima harga (price taker). Keadaan tersebut mengakibatkan petani bergantung pada pedagang besar yang secara sepihak menjadi penentu harga jambu mete gelondongan petani. Informasi yang bersifat asimetri mengakibatkan petani tidak memiliki alternatif lain dalam memasarkan produknya. Informasi asimetri yang dimaksud adalah informasi tentang harga yang tidak pernah diperoleh petani dengan baik. Hal ini mengakibatkan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga ketika para pedagang datang membeli produk petani saat panen raya tiba.

Pergerakan harga jambu mete di tingkat pedagang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan secara signifikan sedangkan ditingkat petani tidaklah demikian. Perkembangan harga jambu mete Sulawesi Tenggara pada periode tahun 2007-2013 mengalami peningkatan. Tahun 2007 harga jambu mete gelondongan setiap kilogram cukup rendah (Rp4 000/kg). Peningkatan harga kambu mete gelondongan terjadi pada tahun 2013 (Rp15 000/Kg) (Disbunhorti Sulawesi Tenggara 2013).

Peningkatan harga jambu mete gelondongan umumnya terjadi di tingkat pedagang, baik pedagang di tingkat desa, kecamatan maupun antar pulau (pedagang besar di kabupaten) belum diikuti dengan peningkatan harga di tingkat petani. Hal ini dapat dilihat pada perubahan harga yang terus meningkat selama tahun 2007 sampai 2013. Harga di tingkat pedagang mengalami peningkatan yang besar dibandingkan dengan harga jambu mete gelondongan di tingkat petani.

(27)

7

0 5000 10000 15000 20000

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

H

a

rg

a

(R

p

/K

g)

Waktu (Tahun)

Petani Pedagang

Sumber : Disbunhorti Sulawesi Tenggara (2013)

Gambar 4 Perkembangan harga jambu mete di tingkat petani dengan pedagang periode tahun 2007 - 2013

Permasalahan lain yang dihadapi oleh petani selain posisi tawar (bargaining position) adalah petani memiliki keterbatasan sarana dan prasarana, jalur transportasi sebagai media distribusi, akses permodalan, tekhnologi serta akses terhadap informasi pasar. Kondisi ini menyebabkan petani tidak bisa mengontrol perkembangan harga secara berkelanjutan dan transmisi harga menjadi tidak seimbang (imbalance transmission) (Hukama 2003; Giroh et al. 2010; Kizito 2011; Putri 2013).

Struktur kelembagaan petani jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna lemah. Kelompok tani belum berfungsi dengan baik merupakan indikator struktur kelembagaan jambu mete gelondongan lemah. Petani mengelola usahatani secara individu terutama pada saat panen raya dan proses pemasaran. Kelompok tani merupakan instrumen kelembagaan yang memiliki peran cukup strategis sebagai wadah kerjasama yang berdaya guna. Kelompok tani diharapkan mampu menampilkan dirinya sebagai suatu sistem sosial yang mengintegrasikan berbagai unsur atau komponen fungsional struktural yang diperlukan bagi penyelesaian tugasnya sebagai piranti pengolahan input dari lingkungan menjadi output yang dihasilkan.

Menurut Dalim (1990), pendekatan secara sistem terhadap kelompok tani dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sosial mandiri yang berintegrasi dengan lingkungan, baik untuk mempertahankan hidup maupun untuk menyatakan identitas dalam karya-karya (perilaku) yang dilakukannya. Namun hal tersebut tidak diperhatikan oleh aparat terkait seperti penyuluh pertanian selaku pembina dan pendamping kelompok tani. Petani kemudian bersifat apatis terhadap aparat kelembagaan pertanian karena setiap permasalahan yang disampaikan oleh petani kepada penyuluh pertanian terkait usahatani yang dilakukan belum pernah memberikan solusi yang diharapkan petani.

(28)

8

jambu mete gelondongan yang dihasilkan petani. Fungsi yang diharapkan dari koperasi adalah mampu memberikan manfaat bagi seluruh anggota khususnya meningkatkan posisi tawar petani yang dapat meningkatkan kesejahtraan petani (Darsono 1998; Hukama 2003).

Proses penentuan harga jambu mete gelondongan sangat terkait dengan lembaga pemasaran. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku pemasaran (perilaku lembaga pemasaran). Perilaku pasar yang terjadi disebabkan oleh struktur pasar yang berlaku. Petani yang memiliki market power mudah mempengaruhi harga jual jambu mete gelondongan yang diperdagangkan. Struktur dan perilaku pasar akan menentukan kinerja suatu pasar seperti efisiensi dan transmisi harga. Analisis struktur, perilaku, dan kinerja pemasaran serta pengaruhnya terhadap sistem pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna merupakan masalah utama yang perlu ditelaah secara mendalam dalam penelitian ini.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1. Menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna.

2. Menganalisis pengaruh struktur, perilaku, dan kinerja pasar terhadap sistem pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna.

3. Menyusun implikasi kebijakan terhadap sistem pemasaran jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian adalah :

1. Bagi pelaku pasar: Sebagai bahan masukan dan pembelajaran bagi perkembangan agribisnis jambu mete gelondongan di Kabupaten Muna

2. Bagi pemerintah: Sebagai bahan tinjauan untuk penerapan kebijakan atas petani skala kecil demi keberlanjutan dan kesejahteraan perekonomian pedesaan

3. Bagi peneliti: Sebagai bahan pembelajaran dan pembuktian dalam mengidentifikasi permasalahan melalui konsep pemasaran yang ada

4. Bagi pembaca: Sebagai bahan rujukan dan penelitian selanjutnya terutama yang terkait dengan pemasaran

Ruang Lingkup Penelitian

(29)

9

meliputi: penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama pemasaran. Kinerja pasar (market performance) meliputi: marjin pemasaran, keuntungan lembaga pemasaran, bagian keuntungan dan biaya pemasaran lembaga pemasaran, bagian yang diterima petani, mengukur derajat konsentrasi penjual atau pembeli yang ada pada satu wilayah dalam pasar, dan analisis integrasi pasar vertikal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Agribisnis Jambu Mete Gelondongan

Agribisnis adalah penjumlahan total dari seluruh kegiatan yang terkait dengan manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian. Kegiatan yang dilakukan usaha tani serta penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk-produk pertanian (Krisnamurthi 2001). Pengembangan agribisnis jambu mete gelondongan di Indonesia mempunyai prospek yang menjanjikan. Pertama Jambu mete gelondongan sebagai bahan baku industri makanan menempati posisi superioritas dibandingkan dengan komoditas lainnya yang sejenis. Kedua harga kacang mete baik di dalam negeri maupun di luar negeri relatif baik. Ketiga permintaan ekspor jambu mete gelondongan Indonesia menunjukan peningkatan. Keempat luas lahan yang relatif potensial untuk pengembangan jambu mete gelondongan. Kelima perhatian pemerintah dan pihak swasta dalam upaya pengembangan jambu mete gelondongan cukup baik (Sukmadinata 1996).

Penawaran dan permintaan kacang mete sebagai produk olahan jambu mete gelondongan di masa mendatang menunjukkan prospek yang menjanjikan. Harga kacang mete di luar dan di dalam negeri terus mengalami peningkatan. Harga kacang mete mencapai tingkat yang lebih baik pada tahun 1993 (Rp10 000/kg) dan pada tahun 2007 meningkat (Rp40 000/kg-Rp50 000/kg). Agribisnis jambu mete gelondongan akan berkembang jika para pelaku dalam agribisnis jambu mete gelondongan dapat memperoleh pandapatan yang layak (Daton 2008).

Badan Agribisnis dalam Sukmadinata (1996) menyatakan bahwa perkiraan nilai investasi per ha usaha jambu mete gelondongan sekitar Rp1 425 ribu dengan IRR 13.8 persen untuk masa analisa 25 tahun. Keadaan tersebut menjadi petunjuk bahwa upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemasaran jambu mete gelondongan perlu terus dilakukan. Agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem integratif yang memiliki keterkaitan antara sub-sistem satu dengan sub-sistem lainnya. Sehingga penanganan pembangunan pertanian tidak hanya dilakukan dalam aspek-aspek sub sistem on farm saja tetapi melalui penanganan aspek-aspek off farm secara integratif (Krisnamurthi 2001).

(30)

10

yang terbuka belum dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya (Witjaksono et al. 2005).

Keberadaan jambu mete gelondongan sebagai komoditas perkebunan rakyat dengan potensi dan nilai ekonomi tinggi menjadi sebuah tantangan bagi Sulawesi Tenggara terutama Kabupaten Muna. Hal tersebut dikarenakan untuk meningkatkan produksi dan ekspor yang akan berimplikasi pada peningkatan pendapatan petani sebagai salah satu indikasi kesejahtraan petani. (Hamundu dan Widayati 1996; Abdullah 1990) mengemukakan bahwa jambu mete gelondongan sebagai komoditi andalan Sulawesi Tenggara mampu menembus pasar lokal, regional, nasional dan internasional. Namun yang perlu dibenahi agar jambu mete gelondongan sebagai produk yang dihasilkan dapat bertahan di pasar adalah segi kualitasnya. Hal tersebut membuktikan bahwa jambu mete gelondongan memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan perekonomian di Sulawesi Tenggara.

Hasil penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa secara umum pemasaran jambu mete gelondongan di Sulawesi Tenggara adalah efisien dilihat dari efisiensi operasional. Hal ini disebabkan oleh rantai pemasaran yang dilalui pendek dan margin pemasaran kecil. Sedangkan dari efisiensi harga diperoleh bahwa indeks keterpaduan pasar baik jangka pendek maupun jangka panjang kurang terpadu antara pasar petani dengan konsumen lokal. Namun indeks keterpaduan pasar menunjukkan integrasi yang tinggi. Sistem pemasaran yang tidak efisien disebabkan oleh saluran pemasaran yang kurang baik (Serlina 2001 dan Hukama 2003).

Wilayah pengembangan jambu mete gelondongan saat ini di Sulawesi Tenggara terjadi kecenderungan pemanenan biji mete sebelum waktunya. Hal tersebut erat kaitannya dengan belum ada kesepakatan harga berdasarkan kualitas dan kurangnya pengetahuan petani. Hal ini diakibatkan oleh daya saing yang rendah di pasaran.

Aneka produk olahan dari komoditas jambu mete memiliki peluang untuk dikembangkan di Sulawesi Tenggara. Hasil sampingan dari jambu mete gelondongan buah semu jambu mete. Total berat buah semu yang dihasilkan dari tanaman jambu mete mencapai 5 sampai 10 kali lebih tinggi dari bijinya. Buah semu jambu mete sebagian besar belum dimanfaatkan optimal. Manisan buah kering, abon, dan dodol buah merupakan jenis produk olahan dari buah semu jambu mete (Sumangat et al. 1990).

Penerapan SCP (Market Struktur, Market Conduct, Market Performance)

dalam Sistem Pemasaran

(31)

11

(2003), dalam penelitiannya tentang jambu mete mengemukakan bahwa harga yang terbentuk di tingkat petani tidak memberikan hak kepada petani untuk turut berkonstribusi dalam penetapan harga. Petani cenderung menjadi penerima harga dari pedagang. Hal tersebut menunjukkan terdapat hambatan masuk dan keluar pasar karena praktek penentuan harga yang didominasi oleh pedagang besar.

Analisis struktur pasar merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi struktur pasar yang terjadi dalam pasar industri maupun pasar komoditas pertanian. Identifikasi struktur pasar dapat dilihat melalui tingkat persaingan, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar (Baye 2010). Indeks rasio konsentrasi (CR) dan Herfindahl Hirchman Index (HHI) adalah ukuran yang sering digunakan untuk mengukur konsentrasi pasar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) berada diantara 50 sampai 75 persen dengan nilai HHI sebesar 1 000 sampai 1 800 yang menggambarkan pasar cenderung terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil (Putra 2009; Rifin et al. 2011; Bosena et al. 2011).

Bosena et al. (2011) juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan masuk pasar komoditi kapas di Ethiopia yaitu permodalan, fluktuasi harga, dan lisensi. Hasil penelitian menemukan syarat utama yang harus dimiliki oleh perusahaan untuk masuk ke industri kapas adalah permodalan. Namun Putri (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa selain permodalan, fluktuasi harga, dan lisensi, terdapat hambatan lain dalam pemasaran khususnya produk pertanian yakni adanya keterbatasan sarana dan prasarana transportasi. Hasil penelitian menunjukkan 57.14 persen eksportir kopi arabika gayo mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi fisik. Transportasi merupakan salah satu penghambat fungsi fisik dikarenakan sarana dan prasarana transportasi yang terbatas sangat terkait dengan kondisi infrastruktur yang ada.

Hasil penelitian terkait analisis struktur pasar menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh petani adalah struktur pasar oligopsoni (Hukama 2003; Sallatu 2006; Ngigi 2008; Bosena et al. 2011; Putri 2013). Struktur pasar oligopsoni menyebabkan petani cenderung sebagai penerima harga (price taker) sehingga pedagang yang mengontrol harga. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perilaku pasar yang terjadi. Penentuan harga akan didominasi oleh pedagang yang memiliki pangsa pasar terbesar. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan yang dilakukan oleh World Bank (2008) menyatakan bahwa dalam struktur pasar tanaman pangan, jumlah pembeli sedikit mengakibatkan pembeli memiliki market power. Petani sebagai produsen tidak memiliki akses untuk kredit dan cenderung memiliki posisi tawar yang lemah.

(32)

12

mendalam terkait dengan sistem pemasaran agar dapat diberikan sebuah formulasi yang dapat meningkatkan efisiensi dari setiap lembaga pemasaran yang dilaluinya.

Analisis perilaku pasar secara umum dapat dilihat dengan menggambarkan hubungan antara pembeli dan penjual (Bosena et al. 2011; Yuprin 2009; Rosiana 2012). Kegiatan tersebut terkait dengan proses yang terjadi dalam kegiatan pembelian dan penjualan, sumber produk, saluran pemasaran, penentuan dan pembentukan harga, eksistensi secara formal atau informal kelompok pemasaran. Sehingga akan berpengaruh terhadap posisi tawar serta praktek fungsi-fungsi pemasaran.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya harga yang diterima petani disebabkan oleh skala produksi yang dihasilkan masih sedikit dan menyebar. Areal tanam petani yang jauh membutuhkan transportasi yang tidak murah. Hal tersebut menyebabkan petani lebih banyak menjual produk yang dihasilkan secara langsung tanpa ada proses pengolahan (grading, packing, penjemuran, pengkacipan dan sebagainya). Petani menganggap bahwa kegiatan tersebut hanya akan menambah biaya dan waktu dalam upaya mengembalikan modal. Sehingga peran tesebut banyak dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pengolah yang memanfaatkan keterbatasan petani untuk menyalurkan hasil produksinya dan kemudian mengambil peluang memperoleh keuntungan (Jamilah 2008; Putri 2013).

Harga dipengaruhi oleh informasi pasar yang sampai ke petani karena dapat dijadikan dasar untuk menetapkan harga jambu mete gelondongan yang dihasilkan. Sejalan dengan hasil penelitian Kizito (2011) yang menyatakan bahwa informasi pasar adalah hal penting yang dimiliki petani sebagai dasar dalam menentukan harga sehingga hal ini perlu mendapat perhatian. Namun dalam penelitiannya masih terdapat keterbatasan yaitu sulit menganalisis isu-isu kunci terkait model informasi pasar dari lingkungan secara keseluruhan ketika petani beroperasi.

Analisis kinerja pasar komoditas pertanian dengan pendekatan SCP seperti yang dilakukan oleh Acharya (1998) menekankan pada keterkaitan sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh sebuah sistem pemasaran. Sistem pemasaran memegang peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen. Kinerja sistem ditentukan oleh perilaku dan struktur pasar. Variabel-variabel yang diteliti adalah pengukuran regulasi, infrastruktur, sistem pemasaran, harga yang ditetapkan oleh pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor impor, dan kebijakan ekonomi makro. Hasil penelitian menunjukkan seluruh variabel yang diteliti berpengaruh nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural pasar produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-lembaga yang terorganisir dengan konsekuensi timbulnya potensi pasar monopoli atau oligopoli. Peneliti menyarankan adanya linkages antara petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastruktur pedesaan, dan perhatian pada proses grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar.

(33)

13

mengarahkan petani. Sehingga dapat menciptakan kerjasama yang mensinergikan antara produksi dan kebutuhan pasar yang ada. Petani harus berada pada kondisi yang diuntungkan dengan indikasi marjin pemasaran merata di setiap lembaga pemasaran yang ada. Bagian atau share harga yang diperoleh petani tinggi dan tercipta integrasi pasar yang baik diantara lembaga pemasaran yang terlibat. Kondisi tersebut akan menciptakan kesejahtraan petani karena keberlangsungan produksi dapat memberikan manfaat besar bagi seluruh pelaku yang terlibat.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teori

Pemasaran produk pertanian menurut Kohl dan Uhl (2002) merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dan aliran barang atau jasa komoditas pertanian mulai dari titik produksi (petani) sampai ke tangan konsumen. Pemasaran secara umum dimaknai sebagai kegiatan penyampaian barang dari tangan produsen hingga ke konsumen akhir. Pemasaran merupakan konsep menyeluruh dari berbagai kegiatan pemasaran yang tercakup dalam satu sistem pemasaran. Pemasaran adalah salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh pengusaha dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang, dan mendapatkan laba. Manajemen konsep pemasaran sering memaknai pemasaran sebagai proses yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.

Pemasaran merupakan unsur penting dalam mendirikan dan membina perusahaan-perusahaan dengan lingkungan dunia usaha yang semakin kompetitif dan sifat pasar berubah dari sales market menjadi buyer market atau kekuatan pasar ditangan konsumen. Hal tersebut berakibat pada kegiatan perusahaan mengalami penyesuaian dari orientasi produksi menjadi orientasi konsumen. Pemasaran tidak terbatas pada dunia bisnis saja karena setiap hubungan antar individu dan antar organisasi yang melibatkan proses pertukaran adalah kegiatan pemasaran.

Tataniaga produk agribisnis atau tataniaga produk pertanian (marketing of agricultural product), pengertiannya lebih luas dari pengertian pasar. Tataniaga dapat dianalisis dari aspek (ilmu) ekonomi dan manajemen. Aspek ekonomi memberikan pemaknaan bahwa tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem (fungsi-fungsi tataniaga) yang merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa pertanian dari petani produsen hingga konsumen akhir. Proses mengalirnya barang atau jasa melalui sejumlah lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran.

(34)

14

tindakan atau kegiatan produktif yang menghasilkan pembentukan kegunaan yaitu kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan.

Pemasaran dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif makro dan mikro (Asmarantaka 2012). Perspektif makro menganalisis sistem pemasaran setelah dari petani yaitu fungsi-fungsi pemasaran untuk menyampaikan produk atau jasa yang berhubungan dengan nilai guna, waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan kepada konsumen serta kelembagaan yang terlibat dalam sistem pemasaran. Perspektif mikro menekankan pada aspek manajemen dimana perusahaan secara individu dalam setiap tahapan pemasaran mencari keuntungan.

Basis gagasan pemasaran menurut Solomon et al. (2006) adalah upaya untuk mengirimkan nilai-nilai (values) kepada setiap orang yang mampu dipengaruhi dalam sebuah transaksi. Levens (2010) mengemukakan pemasaran adalah sebuah fungsi organisasi dan kumpulan sebuah proses yang dirancang dalam rangka merencanakan, menciptakan, mengkomunikasikan, dan mengantarkan nilai-nilai (values) kepada pelanggan, membangun hubungan efektif dengan pelanggan dari benefit yang dirasakan oleh organisasi dan para stakeholder yang ada.

Lembaga pemasaran merupakan perantara antara produsen dan konsumen akhir. Lembaga pemasaran yang terlibat dapat diindentifikasi menjadi tengkulak, pedagang besar, agen penjualan, dan pengecer. Lembaga-lembaga ini berhubungan satu sama lain membentuk jaringan pemasaran. Interaksi sepanjang jaringan pemasaran dari produsen hingga konsumen akhir sangat menentukan tingkat koordinasi dan pencapaian efisiensi sistem pemasaran

Terdapat tiga fungsi pemasaran yaitu, pertama fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Kedua fungsi fisik yang meliputi fungsi pengangkutan, pengolahan, dan penyimpanan, dan ketiga fungsi penyediaan fasilitas yang memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas meliputi standarisasi, penanggulangan resiko, informasi harga, dan penyediaan dana (Kohls dan Uhl 2002). Definisi-definisi tersebut dapat memberi kesimpulan bahwa pemasaran merupakan suatu proses yang dilakukan individu ataupun kelompok yang didalamnya terdapat proses pertukaran arus barang ataupun jasa dari tangan produsen ke konsumen untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia.

Konsep Struktur, Perilaku, dan Kinerja (SCP) serta Perkembangannya

Paradigma SCP pada awalnya merupakan salah satu pendekatan untuk mengkaji pembentukan organisasi industri. Carlton dan Perlof (2000), mengemukakan bahwa dalam perkembangannya kerangka SCP telah menjadi kerangka umum pendekatan kajian organisasi industri. Paradigma SCP dicetuskan oleh Mason tahun 1939 yang mengemukakan bahwa struktur suatu industri akan menentukan bagaimana pelaku industri berperilaku yang menentukan kinerja industri tersebut.

(35)

15

waktu berada pada sistem dimana S dan C adalah faktor penentu dari P, di lain waktu S dan C ditentukan oleh P.

Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. Pertama struktur mempengaruhi perilaku, semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah tingkat persaingan di pasar. Kedua perilaku mempengaruhi kinerja, semakin rendah tingkat persaingan maka akan semakin tinggi market power atau semakin tinggi keuntungan perusahaan. Ketiga struktur mempengaruhi kinerja, semakin tinggi tingkat konsentrasi pasar maka akan semakin rendah tingkat persaingan dan market power semakin tinggi.

Menurut Baye (2010), paradigma SCP terdiri atas tiga aspek analisis yang saling berhubungan. Identifikasi market stucture terdiri dari jumlah perusahaan yang bersaing dalam pasar, penggunaan teknologi, konsentrasi pasar, kondisi pasar, dan hambatan keluar masuk pasar. Sedangkan market conduct merupakan bentuk perilaku pasar terhadap struktur pasar yang terjadi. Indikatornya adalah proses penentuan harga, kegiatan integrasi dan merger, penentuan periklanan, dan penentuan keputusan untuk research and development. Market performance merupakan keuntungan dan social welfare yang akan diterima industri dalam pasar.

Waldman dan Jansen (2007) mengemukakan paradigma SCP dibangun berdasarkan analisis yang saling berhubungan. Tanda panah menunjukkan basic market condition yang dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran yang akan menentukan struktur pasar. Struktur pasar (market structure) menunjukkan perilaku pasar (market conduct) dan perilaku pasar akan menunjukkan kinerja pasar (market performance). Kebijakan pemerintah dalam pasar persaingan tidak sempurna dapat mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Tanda panah putus-putus menunjukkan adanya hubungan timbal balik. Kinerja pasar suatu waktu dapat mempengaruhi struktur dan perilaku pasar demikian pula sebaliknya. Keadaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

KONDISI DASAR PASAR

Kondisi Permintaan dan Penawaran

Struktur Pasar

Jumlah penjual dan pembeli Differensiasi produk Hambatan masuk pasar Konsentrasi pasar Tekhnologi

Perilaku Pasar

Strategi harga, strategi produk Periklanan, Penanaman modal Kolusi, merger

Penelitian dan pengembangan

Kinerja pasar

Alokasi, efisiensi, produksi Efisiensi, tingkat teknologi

Ketepatan, kualitas, dan pelayanan Keadilan

Sumber : Mason (1940) dalam Waldman dan Jensen (2007) Gambar 5 Paradigma Struktur-Perilaku-Kinerja

(36)

16

Kondisi permintaan dan penawaran terkait erat dengan elastisitas harga, keberadaan barang subtitusi, pertumbuhan pasar, jenis barang, tekhnologi, bahan baku, skala ekonomi dan lain-lain. Struktur pasar merupakan bentuk pasar yang mempengaruhi tingkat persaingan dalam suatu industri. Identifikasi struktur pasar terdiri atas banyaknya jumlah perusahaan yang bersaing dalam pasar, efisiensi produk, penggunaan teknologi, konsentrasi pasar, dan hambatan keluar masuk pasar.

Perilaku pasar merupakan bentuk perilaku perusahaan terhadap struktur pasar yang terjadi. Indikatornya adalah proses penentuan harga, kegiatan integrasi dan merger, penentuan periklanan, penentuan keputusan untuk research and development. Kinerja pasar akan menggambarkan perilaku perusahaan yang dimungkinkan oleh struktur pasar yang terbentuk (Waldman dan Jansen 2007).

Struktur pasar yang tercipta dalam suatu pasar akan menentukan bagaimana pelaku industri berperilaku. Struktur pasar dan perilaku pasar yang terbentuk mengakibatkan adanya penilaian terhadap suatu sistem pemasaran yang disebut sebagai kinerja pasar. Struktur pasar persaingan sempurna dicirikan dengan jumlah pedagang banyak, barang relatif homogen, mudah untuk keluar masuk pasar, dan konsentrasi pasar tidak terletak pada satu orang. Perilaku pasar yang terjadi akan mencerminkan struktur pasar yang berlaku. Perbedaan harga yang terjadi di tingkat produsen dan konsumen akan menentukan besaran marjin pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar yang merupakan indikator dari kinerja pasar.

Pendekatan SCP menggolongkan pasar berdasarkan tipe perbedaan pasar yang digolongkan dalam kelompok market structure. Praktek bisnis yang dilakukan dikelompokkan dalam market conduct. Pengaruh terhadap harga dan output digolongkan dalam market performance. Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan.

Struktur Pasar (Market Structure)

Struktur pasar merupakan deskripsi jumlah pelaku dalam suatu pasar (Cramer dan Gail 2000). Struktur pasar merupakan karakteristrik pasar yang merujuk pada jumlah dan distribusi perusahaan dalam pasar. Struktur pasar adalah elemen strategis yang relatif permanen dari lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan kinerja di dalam pasar. Struktur pasar adalah bahasan penting untuk mengetahui perilaku dan kinerja industri. Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang saling mempengaruhi antara perilaku dan kinerja pasar.

Struktur pasar menunjukkan kekuatan pasar dalam sistem pemasaran. Struktur pasar (market structure) merupakan karakteristik organisasi yang menentukan hubungan antara penjual dan pembeli yang dapat dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar, diferensiasi produk, dan hambatan keluar masuk pasar (Kohls dan Uhl 2002).

(37)

17

menguasai sebagian barang dan jasa yang dipasarkan. Penjual dan pembeli sebagai penerima harga (price taker).

Keputusan yang diambil penjual dan pembeli dalam pasar disesuaikan dengan harga pasar yang telah ada. Negosiasi berlangsung antara pembeli dan penjual untuk menemukan kesepakatan harga produk yang dipasarkan. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat struktur pasar yang ada. Struktur pasar menjelaskan tipe dan karakteristik pasar. Tabel 2 menunjukkan lima jenis struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk dalam sistem pemasaran pertanian baik dari sudut penjual maupun dari sudut pembeli.

Tabel 2 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk

Karakteristik Struktur pasar

Jumlah perusahaan

Sifat produk Dari sudut penjual Dari sudut pembeli

Banyak adalah pasar monopoli dan monopsoni. Ciri utama pasar monopoli adalah terdapat satu orang penjual sedangkan pasar monopsoni hanya memiliki satu orang pembeli. Oligopoli merupakan pasar dengan jumlah penjual yang lebih dari satu sedangkan oligopsoni memiliki pembeli lebih dari satu orang. Pasar persaingan monopolistik merupakan situasi diantara bersaing sempurna dan oligopoli.

Economic power merupakan kemampuan beberapa individu maupun perusahaan untuk mempengaruhi pihak lain dalam mengambil keputusan. Hal ini dapat diartikan sebagai seperangkat pilihan perilaku yang terbatas. Makin sedikit batasan maka economic power yang tercipta akan semakin besar. Market power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi harga pasaratau mematikan pesaing. Perusahaan memiliki kemampuan tersebut tetapi belum tentu dipergunakan. Kemampuan tersebut digunakan apabila pesaing dianggap merugikan perusahaan secara signifikan. Sehingga diperlukan langkah-langkah untuk dapat mempertahankan perusahaan. Kemampuan ini dipengaruhi oleh struktur pasar yang akan mempengaruhi besaran permintaan dan penawaran di pasar.

Asmarantaka (2008), mengemukakan struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefiniskan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Ukuran struktur pasar dibagi ke dalam 3 jenis: 1. Market concentration (konsentrasi pasar), diukur berdasarkan persentase dari

(38)

18

2. Exit-Entry (kebebasan keluar masuk calon penjual), perusahaan yang besar mempunyai kelebihan dalam menentukan kontrol harga dalam rangka mempertahankan konsentrasinya di dalam pasar.

3. Product differentiation (diferensiasi produk) pada perusahaan dengan konsentrasi pasar tinggi mempunyai kelebihan menentukan product differentiation untuk usaha meningkatkan keuntungan. Usaha ini dilakukan dengan jalan mengubah kurva permintaan yang elastis menjadi tidak elastis.

Baye (2010) dan Porter (1990) membagi aturan persaingan dalam lima faktor kekuatan dalam industri yang menghasilkan produk maupun jasa. Faktor-faktor tersebut adalah masuknya pesaing baru, ancaman dari produk pengganti (substitusi), kekuatan tawar menawar pembeli, kekuatan daya tawar penyedia input atau sumberdaya, dan persaingan di antara pesaing-pesaing yang ada.

Pasar persaingan sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi yang harus terpenuhi. Pertama terdapat banyak penjual dan pembeli di pasar. Kedua tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi pesaingnya di pasar. Ketiga, penjual dan pembeli hanya sebagai price taker serta tidak ada persaingan di luar harga. Keempat tidak ada hambatan untuk masuk atau keluar pasar. Kelima, jenis produk homogen dan identik, dan keenam semua partisipan pasar memiliki cukup informasi dan pengetahuan tentang produk dan harga.

1. Pangsa pasar (Market Share)

Menurut Jaya (2001), pangsa pasar merupakan hal penting dalam aspek pemasaran dikarenakan peningkatan pangsa pasar mengindikasikan adanya peningkatan persaingan bagi perusahaan dalam industri. Pangsa pasar berpengaruh terhadap keuntungan. Besaran pangsa pasar berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar yang besar mencirikan kekuatan pasar yang besar. Sebaliknya pangsa pasar yang kecil dimaknai perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan. Menurut Besanko et al. (2010), pangsa pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi.

MSi = x100

S S

tot i

%

Dimana :

MSi = pangsa pasar perusahaan i (%)

Si = penjualan atau kapasitas produksi perusahaan i (rupiah)

Stot = total penjualan atau produksi seluruh perusahaan (rupiah)

2. Konsentrasi Pasar (Market Concentration)

(39)

19

(HHI). Rasio konsentrasi yang standar membutuhkan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin pasar. HHI merupakan penjumlahan kuadrat dari ukuran perusahaan di pasar yang diukur dari persentase total penjualan di pasar (Baye 2010).

HHI = ni(MSi 2

) dimana :

HHI = Herfindahl Hirchman Index

MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i n = Jumlah perusahaan di pasar

HHI berada antara 0 sampai 10 000. Dalam kondisi pasar persaingan sempurna HHI sama dengan nol sedangkan pasar monopoli 10 000. Hasil yang baik adalah dengan menggunakan pengukuran HHI sebagai pengganti rasio konsentrasi karena perhitungannya mengukur seluruh pangsa pasar dalam suatu pasar (Jaya 2001). HHI mampu melihat ketidakseimbangan yang ada karena menghitung semua pasar yang terlibat.

3. Hambatan Masuk (Barriers to Entry)

Hambatan masuk merupakan segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya penurunan kesempatan masuknya pesaing baru. Menurut Waldman dan Jansen (2007) terdapat empat hambatan struktural dalam memasuki suatu pasar yaitu skala ekonomi, biaya modal, keuntungan biaya absolut, dan keunggulan dalam melakukan diferensiasi produk. Kondisi ini sangat menentukan tingkat persaingan baik yang aktual maupun yang potensial. Sehingga dapat mempengaruhi struktur pasar yang terjadi.

Menurut Jaya (2001) terdapat beberapa hal umum yang harus dipahami terkait dengan hambatan masuk pasar. Hambatan tersebut adalah hambatan-hambatan yang timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat legal ataupun dalam bentuk kondisi yang berubah dengan cepat. Hambatan kedua dibagi dalam berbagai tingkatan. Mulai dari tanpa ada hambatan yakni bebas masuk tanpa ada hambatan, hambatan rendah, hambatan sedang sampai hambatan tingkat tinggi sehingga tidak terdapat jalan untuk masuk.

Perilaku Pasar (Market Conduct)

Gambar

Gambar 1 Persentase jumlah produksi jambu mete gelondongan menurut
Gambar 3 Luas areal dan produksi jambu mete gelondongan di Indonesia, periode
Tabel 1 Luas areal, produksi, dan jumlah petani jambu mete gelondongan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Muna, tahun 2012
Tabel 2 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian longitudinal ini dilakukan di Desa Sungai Nyamuk, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara selama 18 bulan dari Bulan Agustus 2010 hingga

4 Memiliki kemampuan inovatif, kreatif, dan produktif serta mampu menyelesaikan tugas tepat

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti3. Pendidikan Pancasila

Di dalam bahasa sasaran, yaitu bahasa Jepang, jika pamanda Guru diterjemahkan sesuai dengan makna kata yang sebenarnya yaitu Paman Guru menjadi Ojisan Sensei (Pamanda

(1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI BARU LAHIR.

Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil wawancara dan observasi, yang telah dilakukan di DISKOMINFO Depok, bahwa sistem jaringan internal banyak mengalami gangguan