• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN DALAM MUHAMMADIYAH (BAGIAN 1: BASIS NILAI DAN LEGITIMASI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEPEMIMPINAN DALAM MUHAMMADIYAH (BAGIAN 1: BASIS NILAI DAN LEGITIMASI)"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

12 25 MUHARAM - 9 SHAFAR 1432 H

B I N G K A I

KEPEMIMPINAN DALAM

MUHAMMADIYAH

(BAGIAN 1: BASIS NILAI DAN LEGITIMASI)

M

enggambarkan atau menjelaskan kepemimpinan Muhammadiyah secara utuh tidaklah mudah, lebih-lebih yang bersifat empirik. Fenomena empirik dalam Muhammadiyah –sebagaimana fenomena sosial dan keagamaan yang lainnya— seringkali beragam atau tidak tidak tunggal, sehingga tidak dengan mudah untuk digeneralisasi. Ketidak-tunggalan fenomena empirik itu bahkan semakin menjadi tampak rumit atau kompleks ketika ditarik pada konsep-konsep normatif, yang tidak jarang pula bersifat pusparagam dan multitafsir. Dunia empirik dan normatif tidak lepas dari konstruksi yang membuatnya sehingga pada akhirnya bersifat relatif dan subjektif.

Ambillah contoh mengenai bagaimana format dari fenomena dan norma kepemimpinan kolegial dalam Muhammadiyah, yang selama ini dianggap sebagai ciri khas kepemimpinan Persyarikatan. Seperti apakah sebenarnya kepemimpinan kolegial yang dipandang ideal itu? Apakah kepemimpinan kolektif itu masih memberi ruang pada kebebasan dan otoritas individu atau bersifat mutlak seperti dalam gaya kepemimpinan kolektif-totaliter.

Demikian halnya dengan konsep atau sosok nyata dari figur pemimpin yang dianggap ideal dalam Muhammadiyah. Apa ciri pemimpin Muhammadiyah yang ideal dan apakah sungguh ada pemimpin ideal dalam Muhammadiyah itu? Sebab sering terjadi bahwa setiap pemimpin itu memiliki idealisasi di mata umatnya pada masing-masing periode, yang belum tentu ideal untuk periode lain yang berbeda. Idealisasi itu sendiri hanyalah konstruksi dari umat atau warga pengikutnya, yang belum tentu diterima oleh kelompok umat yang berbeda. Sosok pemimpin ideal tidak jarang bersifat imaji publik, yang pada intinya juga bersifat konstruksi.

Karena itu, mendeskripsikan tentang konsep dan struktur kepemimpinan dalam Muhammadiyah haruslah disertai dengan pemahaman bahwa pelukisan tersebut sekadar upaya menampilkan gambaran yang tidak utuh dan bersifat relatif, bukan merupakan generalisasi yang ideal. Idealisasi juga jangan dianggap doktrin. Kita sekadar sedang berusaha memahami bagian-bagian dari apa yang disebut dengan struktur kepemimpinan Muhammadiyah melalui konstruksi atau penafsiran yang sepenuhnya bersifat parsial atau tidak utuh.

Jika konstruksi mengenai kepemimpinan Muhammadiyah itu dikaitkan dengan patokan-patokan yang disebut Islami atau Islam, perlu dipahami juga bahwa wilayah tafsirnya sangat plural dan luas rentangannya. Boleh jadi satu pihak akan menarik konsep kepemimpinan yang dipandang ideal itu pada sisi akhlaq, sementara yang lain pada aspek intelektual atau mu’amalah, dan lain sebagainya, dengan tafsir masing-masing sesuai dengan

referensi dan fokus perhatian yang menstrukturnya. Konstruksi normatif itu sendiri seringkali tergantung pada para penafsirnya. Bahkan boleh jadi apa yang disebut normatif itu sendiri tidaklah otentik, selain karena dipengaruhi oleh faham penafsirnya, juga tidak jarang bukanlah wilayah normatif.

Sikap dan pemahaman yang bersifat relatif semacam itu penting untuk dikedepankan agar tidak terjebak pada memutlakan suatu pandangan dan menjadikan idealisasi sebagai dogma. Sebab ketika sebuah pandangan itu dimutlakan dan kemudian menjadi hegemoni, biasanya akan dengan mudah dijadikan parameter tunggal yang tidak jarang dipakai untuk menjadi alat menghakimi atau memvonis tanpa perspektif yang luas. Padahal sejatinya, aspek kepemimpinan –termasuk dalam tataran empirik— sungguh merupakan area yang penuh dinamika dan tidak sepenuhnya dapat dicandra sekadar dengan norma-norma ideal, lebih-lebih dengan patokan norma yang masih dapat diperdebatkan dan bersifat multiinterpretasi.

Masalah kepemimpinan sebagian besar melibatkan faktor-faktor multiaspek seperti latar belakang sosial dan individual, struktur dalam sistem kepemimpinan tersebut, interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin, kondisi dan konteks yang berkembang saat itu, kepentingan-kepentingan, selain factor nilai dan norma yang dianut dalam kepemimpinan tersebut.

Nilai dan Norma

Di lingkungan Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan struktur organisasi maupun kepemimpinan dikaitkan dengan landasan atau orientasi nilai dan norma, yang rujukannya pada ajaran Islam. Pada tataran empirik tidaklah mudah untuk mencari rujukan mengenai struktur organisasi dan kepemimpinan Muhammadiyah yang didasarkan pada nilai atau norma yang ideal berdasarkan ajaran Islam secara langsung. Apakah format struktur dan kepemimpinan yang dipilih Muhammadiyah selama ini merupakan pengejawantahan langsung dari nilai-nilai dan norma-norma Islam secara integralistik atau bersifat substantif semata atau sebagai hal yang praktis belaka sehingga lebih merupakan wilayah yang bercorak “sekular” atau duniawi dengan mengadopsi sistem birokrasi modern.

Sedangkan mengenai nilai dan norma kepemimpinan yang telah menjadi alam pikiran kolektif dalam Muhammadiyah ialah konsep amanat dan uswah hasanah. Amanat dikaitkan dengan kedudukan dan fungsi jabatan dalam kepemimpinan Muhammadiyah, sedangkan uswah hasanah berkaitan dengan identifikasi diri para pemimpin Muhammadiyah yang muaranya

DR. H HAEDAR NASHIR, M.SI.

De

m

o (Vi

si

t ht

tp:

//www.pdfspl

itm

erge

r.c

om

(2)

13

SUARA MUHAMMADIYAH 01 / 96 | 1 - 15 JANUARI 2011

pada figur Nabi Muhammad sebagai suri tauladan. Bagaimana dengan konsep amanat para pemimpin Muhammadiyah dalam menduduki dan menjalankan fungsi kepemimpinan yang seringkali dihadapkan pada tuntutan-tuntutan praktis? Dalam tradisi Muhammadiyah ada penerimaan atas idiom, “jangan mengejar jabatan”, tetapi “apabila diserahi jabatan jangan menolak”.

Pada tingkat ideal konsep amanat dan uswah hasanah tersebut tentu mudah untuk disepakati dan menjadi mode for action yang niscaya. Tetapi, pengejewantahannya tidak jarang mengalami ketegangan kreatif karena di satu pihak seringkali patokan normatif itu membangun konstruksi yang sangat bercorak puritan sehingga lahir idealisasi kepemimpinan “sorgawi”, tetapi pada saat yang sama berhadapan dengan fenomena-fenomena nyata yang seringkali bercorak “duniawi” yang membuka ruang adanya ketidak-idealan atau bahkan kesalahan yang melekat dalam diri para pemimpinnya. Hal-hal yang secara ideal secara normatif seringkali berbeda jauh dalam kenyaan empirik karena adanya dinamika duniawi yang bersifat khas seperti terikatnya para pemimpin sebagai manusia biasa dalam tuntutan-tuntutan duniawi. Debat yang sempat mencuat pada masa kepemimpinan K.H. A.R. Fakhruddin seputar gagasan Drs. H. Lukman Harun tentang pemimpin Muhammadiyah agar digaji sebagai bentuk profe-sionalisasi, merupakan salah satu dari ketegangan nilai/norma antara yang ideal dengan yang real sebagaimana disebutkan itu. Demikian pula mengenai tuntutan-tuntutan agar para pemimpin Muhammadiyah “aktif total” dan menjadi “figur teladan” di tengah tuntutan-tuntutan dan keterbatasan-keterbatasan manusiawi. Masalah tersebut merupakan ketegangan yang tak pernah surut dalam perjalanan kepemimpinan Persyarikatan. Pendek kata, bahwa nilai dan norma ternyata selalu memerlukan pelembagaan dan tidak jarang menghadapi masalah-masalah aktualisasi yang dilematis dan khas duniawi.

Hal terpenting yang harus menjadi acuan dasar para pimpinan Muhammadiyah ialah, pertama nilai-nilai Islam termasuk di dalam-nya akhlaq Islami wajib menjadi fondasi dalam kepemimpinan Muhammadiyah siapapun dan format apapun pemimpinnya. Kedua, spirit dan komitmen para pemimpin Muhammadiyah haruslah kuat dan optimal dalam menjalankan kepemimpinan yang dilandasai keikhlasan, pengkhidmatan, dan amal shaleh untuk memajukan kemajuan umat dan bangsa melalui Muhammadiyah. Ketiga konsistensi antara nilai dan tindakan, kata dan perbuatan, niat dan praktek, ilmu dan amal, serta menunjukkan diri sebagai uswah hasanah yang otentik dan tidak dibuat-buat atau palsu. Jika selalu menyuarakan kepemimpinan yang Islami, maka tunjukkan keislaman itu dalam tindakan, perbuatan, dan kenyataan sehingga bukan sekadar norma, lisan, dan jargon.

Legitimasi Kepemimpinan

Kepemimpinan di mana pun, selain distruktur oleh nilai dan norma, juga secara empirik dibangun di atas power structure

(bangunan kekuasaan) sebagai dasar legitimasi sekaligus menjadi ciri khas dari institusi/kultur kepemimpinan yang bersangkutan, yang tidak jarang membedakannya dengan struktur/kultur kepemimpinan pada komunitas lainnya. Kekuasaan di sini tentu dalam makna duniawai, bukan kekuasaan Tuhan sebagaimana sering disalah-tafsirkan oleh sementara kalangan yang berpandangan radikal.

Bahwa sumber segala kekuasaan pasti dari dan berada di geng-gaman Allah SWT, manusia hanya me njalankan fungsi-fungsi kekuasaan relatif di dunia. Jadi yang dimaksud kekuasaan dalam kepemimpinan itu dalam makna duniawi dan bersifat relatif, tidak disamakan dengan kekuasaan Allah yang mutlak.

Dalam Muhammadiyah tidak begitu dipersoalkan mengenai bangunan struktur kekuasaan yang melandasi kepemimpinannya. Muhammadiyah jarang memperbincangkan mengenai konsep imamah dan seat of authority yang membentuk format kepemim-pinannya. Muhammadiyah tampaknya tidak tertarik atau mem-bahas tentang imamat al-uzma dalam bangunan struktur ke-pemimpinannya sebagai puncak otoritas, termasuk membahas mengenai boleh atau tidaknya perempuan dalam puncak piramida kepemimpinan itu. Hal yang telah diterima secara konvensi atau tradisi bahwa Muhammadiyah menganut sistem musyawarah atau demokrasi dalam kepemimpinannya. Secara tidak langsung Muhammadiyah mempraktekkan kepemimpinan demokrasi dengan struktur kekuasaan yang bercorak keumatan (kerakyatan) dan egalitarian. Sumber kekuasaan atau legitimasi kekuasaan berasal dari umat melalui muktamar yang harus dipertanggung-jawabkan pula kepada umat di muktamar berikutnya.

Pemaknaan demokrasi jangan ditarik ke konsep kekuasaan manusia vis a vis (lawan) kekuasaan Tuhan. Demokrasi sebagai basis kekuasaan yang meligitimasi kepemimpinan tentu harus dimaknai relatif, bahwa kepemimpinan dari, oleh, dan untuk rakyat (umat) tentu ada bingkai dan batasannya, sejauh sejalan dengan nilai-nilai dasar Islam. Dalam makna relatif dan sejalan dengan ajaran Islam itulah Muhammadiyah membingkai kepemimpinan demokrasi berbasis musyawarah sebagai basis legitimasi dan otoritas sekaligus mekanisme dalam mengatur segala ihwal organisasi. Dengan demikian Muhammadiyah menjadi organisasi yang terbuka dan kepemimnannya bersifat demokratis.

Karena itu iklim demokrasi menjadi sangat terbuka dalam ke-pemimpinan Muhammadiyah, bahkan kadang berlebihan sehing-ga nyaris tak ada batas antara pemimpin dan umat atau antarlini kepemimpinan. Kondisi ini selain positif dalam membangun tatanan sosial yang terbuka di Muhammadiyah, tetapi kadang mencerabut rasa takzim dan hubungan-hubungan otoritatif dalam Muhammadiyah yang dalam batas-batas tertentu diperlukan. Lebih jauh lagi tumbuh kecenderungan untuk tidak menaati keputusan pimpinan manakala muncul ketidak-puasan dalam kebijakan organisasi. Tidak jarang unit-unit kelembagaan termasuk amal usaha dan badan-badan lainnya cenderung menjadi otonom, bahkan dalam batas tertentu menjadi “kerajaan-kerajaan” sendiri, yang tidak mudah untuk diatur dalam sistem kepemimpinan Muhammadiyah. Namun kini terjadi perkembangan yang positif kecenderungan otonomisasi itu mulai melonggar dan mengalami pelembagaan dalam ketaatan asas ter-hadap kepemimpinan persyarikatan, sehingga terjadi regulasi dan rasionalisasi. Jika di sana sini masih terdapat kecenderungan yang tidak mau diatur oleh persyarikatan, maka harus terus dilakukan penataan dan konsolidasi secara tersistem, selain melalui berbagai pendekatan yang elegan. Hal itu diperlukan agar kepemimpinan Persyarikatan menjadi kekuatan regulasi dalam seluruh ranah kepemimpinan Muhammadiyah, termasuk di amal usaha, majelis, lembaga, organisasi otonom, dan institusi bagian lainnya. Muham-madiyah menjadi kekuatan sistem yang solid.l

B I N G K A I

De

m

o (Vi

si

t ht

tp:

//www.pdfspl

itm

erge

r.c

om

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya, Mambotaran dan Mantawe tidak menerima jika Mananapi mengambil sebagian daging dan ikan yang setiap hari mereka kirim kepada Mawini.. Mereka ingin membuat

Berdasarkan temuan data yang telah diperoleh, maka peneliti mencoba memberikan saran mengenai pelayanan yang diberikan petugas kepada lansia, Dari informasi yang

berdasarkan pengetahuan sebelumnya atau dalam pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, dapat berpikir secara kritis dan aktif, dan mampu berkomunikasi dengan

Setelah melaksanakan kegiatan observasi dan orientasi di SMP N 39 Semarang praktikan mendapat pengetahuan dan pengalaman mengenai banyak hal yang berkaitan dengan

Namun demikian, semakin ramai pengeluar produk membungkus produk mereka dengan cara yang berlebihan ini adalah untuk menghasilkan satu pembungkusan yang lebih balk dan

 Mengerjakan soal dengan baik yang berkaitan dengan cara menghitung turunan fungsi dengan menggunakan definisi turunan, menggunakan teorema-teorema umum turunan

Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,

Persyaratan petugas yang boleh memberikan atau menyuntikkan obat psikotropik kepada pasien dalam rangka kegawatdaruratan adalah dokter umum atau dokter gigi yang