• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan,

Kabupaten Dairi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH:

Irma Junita Sinurat

100901061

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, kasih dan rahmay yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi saya ini adalah membehas tentang Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan. (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dari).

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penyampaian isi maupun pembahasan masalah. Untuk itu penulis mengharapkan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada pihak terkait. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada:

1. Orang Tua saya yaitu Ayah dan Ibu saya yang merupakan sumber inspirasi yang begitu luar biasa bagi hidup saya, sumber motivasi saya dengan dukungan doa, kasih sayang yang tiada henti hentinya yang telah diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Bapak Dekan FISIP USU Prof. Dr.badaruddin,M.Si atas dukungan yang

telah diberikan.

(3)

4. Bapak Prof. Rizabuana, M.Phil.,Ph.D selaku Dosen Pembimbing atas segala waktu, bantuan, bimbingannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Drs. Sismudjito, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak

memberi saran, pendapat dan kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini

6. Bapak, Drs, Muba Manihuruk M.Si selaku sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

7. Kak Fenni, S.Sos.,M.Si selaku Staf Administrasi di Departemen Sosiologi 8. Kak Nurbaiti, selaku Pegawai Pendidikan bagian Departemen Sosiologi 9. Seluruh Dosen dan staf pengajar di FISIP USU yang telah memberikan

materi kuliah selama penulis berkuliah

10.Para informan saya yang telah banyak memberikan informasi terkait penelitian saya.

11.Keluarga saya yaitu Abang saya Felly Hawer Sinurat, Brando Fitwiter Sinurat, Alfon Winardo Sinurat, Darwin Sinurat Tante Ani,Namboru-namboru saya, Kakak saya Yusnita Sitanggang dan seluruh keluarga saya yang lain atas segala dukungan dan doanya.

12.Sahabat-sahabat saya Juli Tampubolon, Ester Lavenia Siringoringo, Devi Sinaga, Han Kelsen Aritonang, Dian Raesita Sitio, Chintya Siregar, Jesica Gultom, Nova Aritonang, Olan Siahaan, Kak Christin Tampubolon

(4)

Rentina Siahaan, Bang Jubel Simanjuntak, Bang Maruli Siahaan, Fretty Situmorang, Rivandi Sitorus atas segala dukungan dan doanya.

14.Anak-Anak Sekolah Minggu saya gereja HKI Melanthon Siregar yang telah banyak mendukung saya dalam doa.

15.Teman teman sosiologi stambuk 2010 yaitu, Marlina Sianturi, Elisabeth Turnip, Hesti, Terangta, Hot Rina Siburian,Devi Ayuni dan seluruh teman-teman Sosiologi stambuk 2010 yang telah banyak membantu menyelesaikan skripsi ini.

16.Seluruh pihak yang terkait yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu atas segala dukungan dan doanya.

Semoga skripsi saya ini banyak bermanfaat untuk semua pihak yang membacanya.

Medan, Juli 2014 Penulis

(5)

ABSTRAKSI

Pomparan /keturunan Raja Silahisabungan termasuk masyarakat yang majemuk. Terdiri dari beberapa etnis yang berbeda seperti Batak Toba, Pak-Pak, Karo, dan agama yang berbeda-beda pula, namun Pomparan Raja Silahisabungan tetap mampu mempertahankan keutuhan kelompoknya dari berbagai serangan konflik. Keutuhan dan ketahanan pomparan Raja Silahisabungan ini membunyai benih integrasi sosial yang diwujudkan dalam pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya dan diikuti seluruh pomparan Raja Silahisabungan diseluruh dunia. Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul “ Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Makam Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan”, adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini dalam mempertahankan Integrasi sosial pomparan raja Silahisabungan.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Coser, menunjukkan tentang bagaimana konflik pomparan raja Silahisabungan dengan Silahi Raja dapat secara positif fungsional memperkuat kelompok keturunan Raja Silahisabungan melalui pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan, dan konflik dengan silahi Raja dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan kelompok keturunan Raja Silahisabungan dalam mempertahankan kelangsungan kelompok mereka. Kekuatan solidaritas internal keturunan Raja Silahisabungan dan integrasi kelompok keturunan Raja Silahisabungan dapat bertambah tinggi ketika tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok Silahi Raja bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Silahisabungan lewat pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini membantu memperkuat solidaritas antara kelompok. Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan ini pada intinya mampu sebagai alat integrasi sosial bagi pomparan Raja Silahisabungan

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 11

1.3Tujuan Penelitian... 12

1.4Manfaat Penelitian... 12

1.5Defenisi Konsep ... 12

1.6Kerangka Teori ... 21

1.6.1 Perspektif Konflik Coser ... 21

1.6.2 Isu Fungsionalita Konflik ... 25

1.6.3 Konflik Kelompok Antar kelompok dan Solidaritas Kelompok dalam ... 26

1.6.4 Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok ... 28

1.6.5 Konflik Sebagai Stimulus Integrasi Antar Kelompok ... 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 32

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ... 32

(7)

3.1Jenis Penelitian ... 56

3.2Lokasi Penelitian ... 56

3.3 Deskripsi Umum Lokasi penelitian ... 57

3.3.1 Sejarah Singkat Desa Silalahi Nabolak ... 57

3.3.2 Letak Geografis ... 61

3.3.3 Komposisi Penduduk ... 63

3.3.4 Sarana/Fasilitas ... 67

3.4 Unit Analisis dan Informan ... 73

3.4.1 Unit Analisis ... 73

3.4.2 Informan ... 74

3.5 Populasi dan Sampel ... 74

3.5.1 Populasi ... 74

3.5.2 Sampel ... 74

3.5 Identitas Responden ... 75

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 77

3.7 Interpretasi Data ... 79

3.8 Jadwal Pelaksanaan ... 80

BAB IV ANALISIS DATA ... 81

4.1 Latar Belakang Pesta Tugu ... 81

4.2 Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Makam Raja Silahisabungan 89 4.2.1 Mempererat Ikatan Keluarga... 89

(8)

4.2.4 Menghormati dan Menghargai Perbedaan ... 101

4.2.5 Menjaga Ketahanan/ Keutuhan PPRS ... 107

4.2.6 Membangun Sikap Loyal terhadap Budaya & Adat ... 113

4.2.7 Menciptakan Ikatan Solidaritas ... 120

BAB V PENUTUP ... 128

5.1 Kesimpulan ... 128

5.2 Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 132

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nama Desa ... 62

Tabel 2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... 63

Tabel 3 Komposisi penduduk Menurut Tingkat pendidikan ... 64

Tabel 4 Komposisi penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 65

Tabel 5 Luas Lahan Menurut Penggunaannya ... 65

Tabel 6 Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 66

Tabel 7 Sarana Kesehatan Masyarakat Kecamatan Silahisabungan Tahun2013 ... 67

Tabel 8 Sarana Pendidikan ... 68

Tabel 9 Sarana Ibadah ... 69

Tabel 10 Sarana dan Prasarana ... 70

Tabel 11 Sarana dan Prasarana ... 70

Tabel 12 Sarana Perekonomian ... 72

Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 75

Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

Tabel 15 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 76

Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 77

Tabel 17 Distribusi jawaban tentang kegiatan yang mempunyai makna untuk mempersatukan PPRS ... 87

Tabel 18 Distribusi Responden tentang frekuensi kehadiran responden ... 88

(10)

Tabel 20 Distribusi jawaban responden tentang tujuan

pengelompokan inter marga ... 92 Tabel 21 Distribusi jawaban responden tentang pengelompokkan

Berdasarkan status sosial, golongan, kesamaan daerah ... 101 Tabel 22 Distribusi jawaban responden tentang pesta tugu

mampu membuat PPRS berbaur tanpa melihat status sosial ... 103 Tabel 23 Distribusi jawaban responden tentang apakah perbedaan agama

Mempengaruhi jalannya proses integrasi sosial ... 104 Tabel 24 Distribusi jawaban responden tentang pernah tidaknya

terjadi konflik inter marga ... 107 Tabel 25 Distribusi jawaban responden tentang pernah tidaknya PPRS

Berkonflik dengan kelompok luar ... 108 Tabel 26 Distribusi jawaban responden tentang Poda Sagu-Sagu

Marlangan telah diterapkan oleh PPRS ... 114 Tabel 27 Distribusi jawaban responden tentang setuju tidakya Poda

Sagu-Sagu Marlangan digunakan dalam

mempertahankankeutuhan PPRS ... 117 Tabel 28 Distribusi jawaban responden tentang kegiatan-kegiatan

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ulos Silalahisabungan ... 58

Gambar 2 Gordang Sitolupulu-tolu ... 59

Gambar 3 Jabu Parsaktian ... 59 64 Gambar 4 Tao Silalahi ... 60

Gambar 5 Peta Kabupaten Dairi ... 62

Gambar 6 Tugu Makam Raja Silalahisabungan ... 85

Gambar 7 Spanduk & Logo Loho Raja... 94

Gambar 8 Keturunan Raja Silahsabunagn yang sedang Berjiarah ... 96

Gambar 9 Sesaji yang diberikan Ketruunan Raja Silahisabungan ... 97

Gambar 10 Keturunan Raja Silahisabungan yang sedang Manortor ... 100

Gambar 11 Keturunan Raja Silahisabungan Saat Makan Bersama ... 102

Gambar 12 Keturunan Raja Silahisabungan sedang Berdiskusi ... 102

Gambar 13 Relief Silsilah Raja Silahisabungan ... 110

Gambar 14 Tokoh-Tokoh Adat Raja Silahisabungan ... 112

Gambar 15 Relief Poda Sagu Sagu Marlangan ... 118

Gambar 16 Relief Isi Poda Sagu Sagu Marlangan ... 120

(12)

ABSTRAKSI

Pomparan /keturunan Raja Silahisabungan termasuk masyarakat yang majemuk. Terdiri dari beberapa etnis yang berbeda seperti Batak Toba, Pak-Pak, Karo, dan agama yang berbeda-beda pula, namun Pomparan Raja Silahisabungan tetap mampu mempertahankan keutuhan kelompoknya dari berbagai serangan konflik. Keutuhan dan ketahanan pomparan Raja Silahisabungan ini membunyai benih integrasi sosial yang diwujudkan dalam pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya dan diikuti seluruh pomparan Raja Silahisabungan diseluruh dunia. Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul “ Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Makam Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan”, adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini dalam mempertahankan Integrasi sosial pomparan raja Silahisabungan.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Coser, menunjukkan tentang bagaimana konflik pomparan raja Silahisabungan dengan Silahi Raja dapat secara positif fungsional memperkuat kelompok keturunan Raja Silahisabungan melalui pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan, dan konflik dengan silahi Raja dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan kelompok keturunan Raja Silahisabungan dalam mempertahankan kelangsungan kelompok mereka. Kekuatan solidaritas internal keturunan Raja Silahisabungan dan integrasi kelompok keturunan Raja Silahisabungan dapat bertambah tinggi ketika tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok Silahi Raja bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Silahisabungan lewat pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini membantu memperkuat solidaritas antara kelompok. Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan ini pada intinya mampu sebagai alat integrasi sosial bagi pomparan Raja Silahisabungan

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagai sebuah negara, Indonesia terbentuk dengan tingkat ragam budaya yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat .Keragaman tersebut seharusnya menjadi kekuatan dan modal sosial bagi negara ini, akan tetapi realitasnya, konflik sosial yang berbau SARA berulang-ulang terjadi. Menurut Gemawan 2013, mencatat tahun 2010 telah terjadi peristiwa konflik. Sementara pada tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan tahun 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September Kemendagri mencatat telah terjadi 53 peristiwa konflik. Jadi dari tahun 2010 hingga September 2013, telah tercatat 351 peristiwa konflik. Baik konflik yang bernuansa SARA, bentrokan warga dengan organisasi kemasyarakatan, aksi kekerasan menolak kenaikan bahan bakar minyak, bentrokan antar massa pendukung calon kepala daerah hinggga pada aksi / bentrokan massa terkait sengketa pertahanan.

(14)

isu-isu yang menjadi sumber konflik itu sendiri. Seperti isu-isu-isu-isu yang berkaitan dengan konflik agama di beberapa daerah mungkin saja hanya sebagai sumbu penyulut saja, tetapi di belakang terjadinya konflik itu ada suatu kepentingan politik yang melatari terjadinya konflik itu. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan membuat kelompok-kelompok sesuai dengan kepentingan mereka. Kelompok-kelompok juga ditentukan oleh adanya kesamaan ciri-ciri tertentu; seperti warna kulit, persamaan paham (keagamaan/kepercayaan), teritori (bangsa), umur, profesi, dan lain sebagainya. Masing-masing kelompok ini pun bersifat sangat resisten terhadap kelompok lain agar kepentingan mereka tidak diganggu. Itu sebabnya konflik mudah sekali menjalar menjadi besar karena adanya kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan tersebut. Konflik karena perbedaan-perbedaan inilah sebenarnya yang disebut dengan perang identitas.

(15)

dan tidak merugikan masing-masing satuan) yang saling mendukung satuan dan masih memiliki identitas, dan saling mendukung.

Terjadinya integrasi sosial juga di karenakan anggota masyarakat berhasil mengisi kebutuhan kebutuhan mereka, berhasil menciptakan nilai dan norma sebagai tuntunan dalam melakukan hubungan sosial antar individu, termasuk menyepakati untuk melakukan apa yang dilarang oleh kebudayaan mereka, dan norma dan nilai yang diciptakan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan bersifat konsisten. Integrasi sosial sangat dibutuhkan , tidak hanya mengikat antar etnik di Indonesia yang berbeda beda agar terhindar dari berbagai bentuk perpecahan dan konflik-konflik sosial , termasuk konflik SARA, yang berujung pada kerusuhan massal yang diwarnai aksi kekerasan, yang tentunya menimbulkan kerugian yang cukup besar baik dari segi materiil maupun non materiil. Kebudayaan daan adat istiadat yang dipakai merupakan salah satu kebutuhan pada nilai-nilai integrasi yang merupakan dasar atas pengendalian masyarakat duna menjaga kesatuan masyarakat. Dalam mewujudkan integrasi sosial diperlukan nilai, norma, tatanan hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sosial sehingga menciptakan keharmonisan dan kedamaian.

(16)

kepentingan pribadi, misalnya dalam hal ritus famili. Orang-orang semarga memegang prinsip satu kurban (sisada somba), satu kesatuan makan bersama (sisada sipanganon), satu dalam kemakmuran (sisada sinamot), satu dalam kemulian (sisada hasangapon), dan satu dalam kenistaan (sisada hailaon). Kesatuan antara orang- orang semarga begitu kuat sehingga mereka diumpamakan seperti orang yang memotong air tak bisa putus (tumpulon aek do na marsabutuha). Tetapi serentak dengan itu mereka harus berhati hati dan hormat

(17)

yang terbentuk dikalangan Batak toba adalah Perkumpulan marga- marga.( Brando, 2010:2)

Dalam masyarakat Batak Toba banyak sekali perkumpulan marga. Tujuan perkumpulan marga-marga dalam etnik Batak Toba diciptakann salah satunya adalah mempertahankan keutuhan kelompok marga itu sendiri. Marga merupakan dasar untuk menentukan “partuturan” atau hubungan persaudaraan baik untuk kalangan semarga atau untuk kalangan marga-marga yang lain dalam lingkup etnik Batak Toba. Marga juga merupakan nama persekutuan dari orang-orang bersaudara (sedarah), seketurunan menurut garis keturunan dari laki-laki (bapak) yang mempunyai tanah sebagai milik bersama ditanah asal atau tanah leluhurnya. Dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidak-tidaknya dapat memperkecil terjadinya perkawinan satu marga. Sebagai landasan pokok, marga mempunyai fungsi untuk mengatur ketertiban dalam suku Batak agar tidak terjadi perkawianan antara satu marga. Selain itu juga untuk mengatur hubungan-hubungan antara berbagai pihak akibat kompleksnya hubungan-hubungan antar keturunan serta untuk mengurangi konflik. Dengan adanya marga, hubungan kekerabatan terjalin secara teratur dan menunjukkan tali pengikat untuk mempersatukan antara seorang dengan orang lain, khususnya dalam satu keturunan yang cukup besar dan mengikat, mempersatukan keturnan dalam satu kelompok marga Batak.

(18)

dahulunya adalah nama dari anak-anak seorang raja yang bernama Silahisabungan. Tujuh anaknya dilahirkan oleh Pinggan Matio boru Padangbatanghari, yaitu loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, Batu Raja sementara dari isteri kedua boru Nailing Nairasaon, hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Tambun Raja. Raja Silahisabungan juga mempunyai seorang puteri dari hasil perkawinannya dengan Pinggan Matio boru Padangbatanghari bernama Deang namora yang tidak berkeluarga hingga akhir hidupnya. Hubungan ke delapan anak dari Silahisabungan dulu sering diwarnai konflik. Konflik dilatarbelakangi rasa kecemburuan yang dialami ketujuh anak dari Silahisabungan dengan Pinggan Matio, yang sangat iri melihat Raja Tambun yang sangat dikasihi oleh kedua orangtua mereka bahkan adik perempuan mereka, Deang Namora. Melihat keirian ketujuh anaknya, Raja Silahisabungan kemudian membuat “Poda Sagu-sagu marlangan” yang merupakan nasihat dan hukum atau norma bagi ke delapan anaknya yang berintikan bahwa mereka adalah satu keturunan dan harus saling mengasihi. Adapun isi dari poda sagu-sagu marlangan ini adalah :

1. Saling mengasihi, penuh persaudaraan yang langgeng bagi seluruh turunan Raja Silahisabungan mulai saat ini hingga generasi demi generasi.

(19)

3. Seluruh turunan abangnya yang tujuh harus mengasihi saudara perempuan mereka turunan dari tambun raja, dan demikian dengan tambun raja harus mengasihi saudara perempuan dari turunan abngya yang tujuh

4. Pantang saling mengawini antara turunan abannya yang tujuh dengan turunan adiknya tambun raja.

5. Pantang memulai pertikaian dan perselisihan bagi segenap turunan Silahisabungan.

Poda sagu-sagu marlangan ini juga memberikan sanksi yang tegas bagi setiap keturunan Silahisabungan yang melanggarnya. Semenjak ditetapkannya poda sagu-sagu marlangan sebagi norma di kalangan keturunan Silahisabungan hubungan persaudaraan pun semakin erat bagi keturunan Silahisabungan. (Eli Silalahi, dkk 2008:23)

(20)
(21)

kelompok satu marga induk,(kakek moyang bersama satu marga atau cabang marga dari satu keturunan dari satu bapak leluhur), oleh sebab itu juga ada upacara memasukkan tulang belulang kakek moyang bersama kedalam batu na pir (Panangkokhon saring-saring tu pbatu na pir). Sampai sekarang menjadi bagian hakiki dari kebudayaaan batak, dan masih tetap berlangsung , dan upacara ini dimaknai sebagai penghormatan kepada para leluluhur.

Pada umumnya bahwa kebanyakan orang Batak Toba diperantauan setuju dengan adanya pembuatan Tugu ini dengan alasan ,untuk menjaga tradisi suku, mencari berkat dan pertolongan dari nenek moyang, membangun kesatuan famili. Keturunan Raja Silahisabungan ini tersebar dipelosok tanah air dengan berbagai tingkat kehidupan pendidikan dan profesi antara lain, pengusaha, petani, bahkan ada juga yang duduk dibangku pemerintahan dan sebagai pejabat pemerintahan. Keberhasilan dan kebesaran keturunan raja Silahisabungan seperti ini dalam masyarakat Batak tergambar dalam bingkai kesuksesan yang disebut sebagai Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon. Dalam rangka memelihara serta

(22)
(23)

musyawarah besar warga Silahisabungan telah diambil kesimpulan tarombo Raja Silahisabungan.

Pada tahun 1981 tertanggal dari 23 hingga 27 November, Tugu makam Raja Silahisabungan di maras Silalahi Nabolak diresmikan. Pembangunan tugu ini sendiri memakan waktu yang cukup lama dimulai dari tahun 1969 hingga tahun 1980, kurang lebih 29 tahun lamanya. Sejak diresmikannya Tugu Makam raja Silahisabungan tahun 1981, maka tiap tahun dilakukan pesta tahunan yang dilaksanakan secara bergiliran oleh delapan kelompok keturunan raja Silahi Sabungan dalam bentuk kegiatan adat, budaya, rohani, sosial, sebagai wujud ucapan terimakasih dan pujian kepada Tuhan serta media saling mengasihi sesama keturunan / Pomparan raja Silahisabungan. Atas dasar hal ini lah peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana proses integrasi sosial dalam kelompok marga Silahisabungan yang tersebar di seluruh indonesia dengan tingkat perbedaan yang kompleks dapat bertahan melalui Pesta Luhutan Bolon Tugu/ Makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya.

1.2 Rumusan Masalah

(24)

1.2Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini adalah untuk menganalisa atau mengamati fungsi pesta tugu luhutan bolon dalam mempertahankan integrasi pomparan Raja Silahisabungan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa sosiologi dan bagi siapa saja yang membaca penelitian ini yang tertarik dengan ilmu sosiologi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi yang ada dan menambah wawasan bagi penulis, dan pemahaman penulis tentang Fungsi Pesta Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan Integrasi pomparan Raja Silahisabungan.

1.5 Defenisi konsep 1. Adat

(25)

adatnya. Orang-orang mati memelihara dan menjaga adat melalui tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Dengan perantaraan adat, mereka tetap berehubungan dengan orang orang hidup. Yang merupakan inti pokok persekutuan antara orang-orang mati dan orang-orang hidup ialah justru adat bapa-bapa leleuhur sebagai tata tertib kehidupan anak-cucu mereka. Dalam persekutuan hidup dengan nenek moyang persekutuan adat itu menyatakan diri sebagai persekutuan religi. Suatu ciri yang menentukan dari religi ini ialah menyangkut kepada kesatuan etnis dan oleh sebab itu disebut religi etnis. Dari suatu sisi, tradisi nenek moyang , adat mempunyai sifat yang religius yang kuat. Adat mempunyai fungsi kultural dan fungsi sosial. Alasan mengapa adat begitu kuat melekat pada diri pemiliknya ialah karena adat sebagai patokan dan tata cara hidup tetapi meresapi kehidupan secara aktif. Adat mewujudkan suatu religionitas atau kepercayaan alamiah yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Dari hasil studinya Batak Toba ternyata cukup kuat dalam mempertahankan adatnya. Contohnya pendirian tugu (monumen nenek moyang) yang kini masih hidup di daerah Batak toba merupakan bukti bahwa penyembahan nenek moyang masih terus berlanjut pada mayarakat Batak Toba.

2. Tugu

(26)

kalangan orang batak adalah berupa suatu kerangka yang berkaitan dengan adat batak dan merupakan peringatan atau penghormatan bagi nenek moyang atau seorang motivasi Raja sehingga penafsiran arti , motivasi Raja, sehingga penafsiran arti, motifvasi pendirian suatu Tugu tersebut perlu dipahami dari berbagai sudut. Dalam Togar Nainggolan ( 2006:242), menyatakan, ada berbagai keteranagn yang diberikan dalam literatur oleh informannya terkait tentang pendirian tugu-tugu modern ini

a. Alasan politik

Orang Batak makin banyak jumlahnya dan kaya di komunitas urban pada tahun 1960-an, tetapi pada saat yang sama mereka merasa tidak aman. Kekalahan pemberontakan PRRI tahun 1958 sampai 1959 memunculkan goncangan yang cukup kuat akan peranan tetap orang batak Toba dalam militer Sumatera utara. Penarikan diri kembali para pemberontak dibawah komando Kolonel Simbolon dari Medan ke Tapanuli Utara pada awal pemberontakan mengingatkan secara simbolis akan pentingnya kampung halaman sebagai pangkalan keamanan untuk masyarakat Batak Toba, meski mereka sudah menjadi masyarakat urban. Pada bulan Novenber 1961 Sisingamangaraja XII diakui secra resmi sebagai pahlawan nasional dari suku Batak atas perjuangannya melawan penjajah Belanda, atas dasar ini jugalah Soekarno mendorong pendirian tugu-tugu pahlawan nasional,. Hal ini membangkitkan keinginan orang Batak untuk mendirikan Tugu Sisingamangaraja XII dibeberapa kota di Sumatera Utara.

(27)

Umumnya tugu-tugu yang besar dan megah yang terdapat di Tapanuli Utara dibangun oleh para Orang Batak yang ada ditanah perantauan yang telah meninggalkan kampung induk , dan mereka adalah yang mempunyai hidup berkecukupan, kaya dan elit. Perlombaan status jelas merupakan satu faktor dalam kemegahan tugu dan kemewahan pesta pada saat peresmiannya. Tugu yang didirikan oleh kelompok satu marga dapat memprovokasi kecemburuan pada kelompok marga lain sampai mereka dapat merealisasikan tugu tersebut pada marga mereka sendiri. Dalam bruner tahun 1987 mengatakan kebanyakan dari pengkritik pendirian tugu mengatakan bahwa orang yang sudah berhasil di daerah perantauan ingin mempertontonkan kesusksesan mereka kembali dikampung induk mereka. Motifnya adalah kesombongan dan kecongkakan. Sementara Reid (2002) dalam Togar (2006), mengatakan, kelompok yang mendukung akan berkomentar bahwa kelompok keturunan mendirikan tugu untuk penegenalan diri mereka sebagai kelompok dari satu garis keturunan.

c. Alasan religius

(28)

menonjol daripada mengikut perintah kekristenan “ hormatilah bapa dan ibumu”. Para nenek moyang disembah untuk mendapat berkat dari mereka. Berkat nenek koyang ini bagi mereka nyata dalam hal kesehatan, kekayaan, kuasa dan banyak keturunan. Ini merupakan satu hukti bahwa penyembahan nenek moyang masih kuat pada masyarakat Batak Toba, yang lebih mengherankan lagi yang menghidupkan kembali praktek ini adalah orang Batak Urban di kota-kota modern yang pemikirannya bisa dianggap sudah lebih realistis , kaya , terpelajar dan tidak meyakini praktek-praktek seperti ini

d. Alasan komunitas klen

Pembangunan tugu mengahadirkan sejenis kontark antara anggota kelompok marga yang kaya denganyang miskin, mereka yang merantau dan yang tinggal dikampung induk, yang muda dan tua. Ide dari pendirian tugu dan pelaksanaan pesta, meskipun biasanya didanai oleh orang Batak yang migran urban, sering diawali mereka yang tua dan tinggal dikampung induk. Bangunan dan pesta tentu mentransfer kekayaan orang kaya kepada mereka yang miskin dari daerah perantauan yang ada di kota ke desa. Hal ini pun membuat orang desa mendapat bantuan memperbaiki rumah rumah mereka untuk menampung orang kota saat akan berkunjung ke kampung induk atau saat melakukan pesta besar terhaqdap nenek moyang atau perkumpulan satu kelompok marga dari berbagai penjuru. Pengertian yang lebih fundamentalnya ialah bahwa orang kaya dan miskin bersama-sama dapat menghormati nenk moyang mereka. dengan demikian ikatan klen (marga) dikuatkan.

(29)
(30)

tetap sama untuk penujaan nenek moyang. Ritus tugu ini bermakna peristiwa yang kultural, yang mempersatuakan aspek-aspek identitas batak dalam hal ini adalah klen (marga), huta (kampung induk), dalihan na tolu, dan adat yang menguatkan solidaritas diantara anggota klen. Untuk mengerti diri mereka yang sekarang, mereka masuk ke masa lalu. Identitas Batak Toba bagi migran Batak Toba dikuatkan dengan sikap mereka yang kembali kepada tradisi lama. Identitas batak Toba didaerah perantauan hadir dengan bentuk network/jaringan, tetangga, famili, rite de passage, dan kumpulan organisasi-organisasi Batak Toba yang lain.(Togar Nainggolan , 2006: 246) Raja Parmahan Silalahi merupakan cabang marga induk yang memiliki kampung induk berada di hinalang Silalahi, balige. Ada juga istilah tugu berukuran kecil sebagai tempat tulang belulang dari satu ranting marga induk disebutlah kakek bersama dari ranting marga yaitu (saompu) biasanya lima sampai dengan tujuh generasi atau sundut. Demikian halnya pembangunan Tugu pada kelompok marga Silahisabungan. Tugu makam Raja Silahisabungan, dan Ruma parsantian oleh keturunan raja parmahan Silalahi oleh semangat (Pasangapma natorasmu asa leleng ho mangolu di tano ma nilehon ni Jahowa debatam di ho”. Motto dari pada keturunan nya harus menghindar dari teal / toal dan makna hasipele beguon. Dalam pembuatan tugu Raja Parmahan ini dan Ruma Parsantian, para keturunanya dituntut bersatu dalam satu kesatuan .

3. Integrasi sosial

(31)
(32)

Hubungan vertikal mengarah pada warga masyarakat dengan negara sedangkan hubungan horizontal mengarah pada warga atau kelompok dalam masyarakat, apakah warga masyarakat secara individu, kelompok , golongan, maupun antar daerah masing-masing memiliki fungsi yang khas dan bisa mereka pertahankan sehingga ada saling ketergantungan. Integrasi koersif merupakan integrasi yang terjadi bsebagai hasil dari kekuatan yang sanggup mengikat kekuatan-kekuatan individu atau unsur-unsur masyarakat secara paksa. Singkatnya, integrasi dapat terjalin secara paksa oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar dengan menggunakan berbagai pranata sosial serta alat yang memiliki kekuatan untuk mengikat dan memaksa anggota-anggota kelompok sosial. Dasar pemikiran integrasi koersif ini adalah teori paksaan . Dahrendorf mengatakan bahwa semua unit sosial selalu disatukan atau diintegrasikan melalui kekuatan yang menguasai dan memaksa

4. Pomparan Silahisabungan

(33)

moyangnya pertama kali bermukim dan menurunkan sejumlah besar anak laki-laki dari dua orang isteri. (Vergouwen 1986:16) Dari Isteri pertama yang bernama Pinggan matio, lahirlah tujuh putra dan satu putri. Anak laki-laki pertama dinamkan Loho Raja, anak kedua dinamakan Tungkir Raja, anak ketiga dinamakan Sondi Raja, anak Keempat perempuan dinamakn Deang Namora sedangkan anak ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 bernama Butar Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, dan Batu Raja.Sedangkan dari isteri kedua, Boru Nairasaon, Silahisabungan hanya dikaruniai seorang putera bernama Tambun Raja.

5. Pesta Tugu Luhutan Bolon Raja Silahisabungan

Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan merupakan adalah suatu kegiatan sebagai ucapan syukur para keturunan Raja Silahisabungan yang mempunyai makna untuk mengikat persaudaraan antar marga kelompok keturunan Raja Silahisabungan. Upacara pelaksanaan pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabunagn ini dilaksanakan oleh seluruh keturunan Raja Silahisabungan diseluruh dunia sebagai ungkapan terimakasih kepada nenek moyang, Raja Silahisabungan, atas keberhasilan yang keturunannya capai didaerah rantau ataupun dikampung induk. Inilah yang dinamakan mereka sebagai rahmat nenek moyang mereka, Raja Silahisabungan.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Perspektif KonflikCoser

(34)

mempertahankan struktur. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat stuktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out-group. Konflik yang sedang berlangsung dengan out-groups dapat memperkuat identitas para anggota kelompok.

Coser juga memakai istilah katup penyelamat (savety-value), yaang merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipaki untuk memeprtahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik dan membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan yang tanpa katup-penyelamat ini hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.Institusi katup-penyelamat ini juga memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap stuktur.

(35)

mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok-kelompok yang sedang bertikaiyang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser (1956 : 48) lewat katup penyelamat (safety-velve) itu permusushan dihambat agartidak berpaling melawan objek aslinya . Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun individu : mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.

(36)

Menurut Coser dalam Poloma (2010), terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Contoh-contoh di mana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya banyak terdapat pada hubungan-hubungan yang lebih bersifat parsial atau segmented. Akan tetapi bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realistis dan konflik non realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956:62) menyatakan :Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder , seperti misalnya pada rekan bisnis, rasa permusuhan dapat ralitif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubunganprimer di mana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut, yang bersifat paradoks ialah, semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. .

(37)

konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.

1.6.2 Isu Fungsionalitas Konflik

(38)

pandangan negatif saja . masyarakat atau kelompok yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah masyarakat atau kelompok yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Dalam situasi demikian konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat memperkuat struktur. Di dalam kelompok-kelompok totaliter konflik ditekan dan bila telah meledak akan menghancurkan kesatuan kelompok. Ada beberapa kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi konflik dengan kelompok luar (out-Groups) dan struktur kelompok, antara lain, Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser (1956:92-93) berpendapat bahwa tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timabal balik yang penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Coser juga menyatakan ,bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum, dan akibatnya kelompok terancam perpecahan. Coser juga menunjukkan bahwa konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan , dan lewat sarana yang demikian kelompok-kelompok kepentingan mempertahankan kelangsungan masyarakat.

(39)

integrasi kelompok dalam bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi dari suatu kelompok yang terlibat dalam konflik membantu memperkuat batas antara kelompok satu dengan kelompok-kelompok yang lainnya dalam suatu lingkungan, khususnnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan permusuhan. Didalam kelompok itu ada kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan atau pengkotakan, dan semakin tingginya konsensus dan konformitas. Para penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransi. Sebaliknya apabila kelompok itu tidak terancam konflikdengan kelompok luar yang bermusuhan tekanan yang kuat pada kekompakan, konformitas, dan komitmen terhadap kelompok tersebut makin berkurang. Ketidaksepakatan internal mungkin dapat muncul kepermukaan, dan para penyimpang mungkin akan lebih ditoleransi.

(40)

pengkhianat. Coser mengemukakan jika konflik dapat menyebabkan perang, atau jika kelompok itu memeliki pembagian kerja yang tinggi, maka sentralisasi kekuasaan kemungkinan akan naik, namun kondisi seperti ini bisa dihindari jika ada koordinasi. (Doyle 1990: 196)

1.6.4 Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok

Coser mengemukakankonflik internal dapat menguntungkan secara positif. Hal ini didasari oleh pernyataannya yang mengatakan bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki hubungan sosial tertentu, ketegangan-ketegangan, dan perasaan-perasaan negatif. Hal ini ditujukan terhadap hubungan kelompok dalam yaitu hubungan yang intim dan segmental dan sekunder. Ketegangan dan perasaan-perasaan negatif yang tidak dapat dielakkan ini merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan-penghargaan lainnya, karena banyak dari penghargaan-penghargaan merupakan sumber daya yang langka dan mempunyai tingkat kompetisi tertentu yang harus dihadapi. Ketegangan yang ada dalam semua hubungan sosial dikarenakan individu-individu berbeda satu sama lain dalam kebutuhan, tujuan pribadi, keterampilan, kemampuan.Bentuk ketegangan atau konflik pada tingkatan yang lebih besar akan mencerminkan apakah konflik itu diketahui secara eksplisist dan dirembukkan atau apakah konflik itu menyangkut prinsip-prinsip dasar atau isu-isu yang sekunder dalam hubungan tersebut.

(41)

dukung mendukung dalam hubungannya. Menekan berarti bahwa kepentingan para anggota yang saling bertentang itu dilihat sebagai hal yang ganjil dan karena itu harus ditekan, tidak dibicarakan secara terbuka. Menekan konflik tidak menghilangkan kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang . Meskipun bersifat tertutup, konflik dasar yang ditekan akan benar-benar mempengaruhi hubungan dalam kelompok dalan tersebut yang merusakkan solidaritas dan akhirnya dalam bebrapa hal menimbulkan kebencian yang sangat sulit dihadapi.

(42)

1.6.5 Konflik Sebagai Suatu Stimulus Integrasi Antarkelompok

Perubahan sering terjadi dalam sifat hubungan antar kelompok dalam dan kelompok-kelompok lainnyansebagai hasil dari konflik. Konflik sering memeperkuat batas antar kelompok dalam dan kelompok luar dan meningkatkan solidaritas kelompok dalam. Jika konflik tersebut berlarut-larut , ikatan-ikatan sosial secara perlahan dapat berkembang diantara pihak-pihak yang bertentangan tersebut. Salah satu iktan seperti itu adalah dibuatnya norma dan prosedur untuk mengatur cara-cara berkonflik.

(43)
(44)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis dengan perspektif konflik dan mengaitkannya dengan integrasi sosial yang dilakukan diberbagai daerah, dan etnis di Indonesia, Eka Hrendry, dkk (2013) mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal di Sei Kelambu merupakan daerah yang ikut menjadi korban kerusuhan yang terjadi di Sambas, menyimpan benih integrasi sosial, dan menjadi embrio pada penguatan potensi integrasi sosial di Kalimantan Barat. Eka (2013), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terbentuknya integrasi dikarenakan oleh

1. Adanya pola pemukiman suku yang menyebar memudahkan pembauran antar suku dalam masyarakat tidak ada yang mengkonsentrasikan rumah-rumah dalam satu titik

2. kuantitas jarak fisik (tetangga) sebanding dengan kualitas jarak sosial (harmoni) hal ini bisa menghalang halangi faktor pengentalan ekslusivisme suku.

3. Ikatan kekerabatan antar warga masyarakat lewat pola perkawinan campur juga sangat mempengaruhi terbangunnya integrasi dalam masyarakat. 4. Menghilangkan perkumpulan / orgnisasi-organisasi yang berbasis suku,

karean dapat membuat masyarakat terbelah

(45)

kebangaan asal-usul dan sebagai penanda identitas , selain itu juga modal sosial integrasi sosial lainnya adalah kearifan lokal

6. Adanya peranan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi secara efektif dalam menjaga haarmoni dalam masyarakat. Modal budaya ini sangat penting tumbuh ditengah-tengah masyarakat yang terjadi secara sporadis sebagai tradisi yang diwariskan sehingga ketika terjadi konflik sosial, maka terjadi upaya penguatan atau revitalisasi modal budaya tersebut menjadi modal sosial terjadinya integrasi sosial dalam masyrakat.

Sejalan dengan penelitian Eka dkk (2009), dalam penelitiannya Anwar (2013), juga menemukan beberapa faktor yang dapat mempertahankan integrasi sosial dilingkungan masyarakat

1. intensitas gotongroyong antar suku yang kental diberbagai kegiatan masyarakat desa seperti panggelan (selamatan), perkawinan, peringatan hari keagamaan. Dalam kegiatan gotong-royong, masyarakat desa tak sekedar menyumbangkan tanaga, tetapi juga menyumbangkan bantuan material dalam pesta perkawinan, guna memenuhi kebutuhan pokok pesta perkawinan,

2. selain itu adanya toleransi antar umat beragama sangat ditekankan.

(46)

kampung induk ke kabupaten Asahan, umumnya mengalami penolakan dari Toba Muslim , Batak Melayu

1. Sikap dan kebiasaan hidup sehari-hari.

Toba muslim sangat antipati pada hewan peliharaan anjing dan babi milik Toba Kristen.

2. Pola hidup dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.

Toba Kristen hidup dengan cara yang kurang dan tidak peduli dengan persoalan kebersihan dan kenyamanan.

Integrasi sosial yang terbangun berdasarkan ikatan primordialisme kesukuan dan kesamaan budaya kelihatannya mulai mengalami perubahan. Perasaan emosional sebagai sebuah kelompok dengan identitas budaya yang sama mulai digantikan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. Pada tataran empiris ternyata kesamaan entitas budaya semata belum memastikan bahwa konflik sosial tidak akan terjadi. Konflik sosial seperti pelemparan rumah rumah ibadat, pengrusakan barang barang antar masyarakat setempat serta tindakan tindakan seperti pengrampasan yang terjadi menunjukkan bahwa meskipun diyakini nilai-nilai budaya dan kearifan lokal orang Batak dianggap efektif meredam konflik sosial sesama orang Batak yang berbeda agama, namun sebagian nilai budayanya juga berpotensi memunculkan konflik sosial. Meskipun secara konsepsi kebudayaan, dikarenakan kesamaan latar belakang sosio-kultural orang Batak diikat oleh perasaan persaudaraan yang erat.

(47)

a. Adanya perbedaan agama

Perbedaan agama sampai level tertentu telah menjadikan sekat-sekat komunikasi dan interaksi sosial antara warga meskipun memiliki latar belakang budaya sama.

Perbedaan agama dan keyakinan, pada tataran empiris ternyata berdampak pada konsepsi mereka tentang halak kita. Meski sama-sama orang Batak, variabel agama tetap menjadi bagian yang sangat menentukan dalam proses interaksi sosial sesama orang Toba. Perbedaan agama sampai tingkat tertentu telah membatasi interaksi sosial mereka yang berlatar belakang keyakinan keagamaan yang berbeda. Kesaamaan agama juga menentukan suatu hubungan sosial, hal ini dilihat dari pengelompokan marga marga batak toba yang berdasarkan agama. Walaupun sama-sama etnis batak toba yang semarga, namun jika berbeda agama, etnis toba yang bergama non muslim tidak bisa ikut bergabung dalam perkumpulan marga tersebut, demikian juga sebaliknya. selain itu perbedaan agama dalam hal ini menjadi faktor penting dalam persaingan antar kelompok sosial dan konflik.

b. Adanya perubahan kebudayaan dan pola interaksi antara sesama orang batak

(48)

dan sikap saling menghargai.Informasi ini menggambarkan bahwa komunikasi dan interaksi sosial yang berlangsung sangat terbatas. Terbatasnya interaksi tersebut memang sengaja dilakukan oleh kelompok pemuda Islam di Haunapitu. Sebab tidak banyak di antara mereka yang tertarik melakukan kebiasaan kumpul dan minum tuak di kedai-kedai pakter tuak

c. Pada masyarakat primordial, suku dan agama dianggap sebagai dasar utama dalam pengelompokan sosial. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembentukan komunitas-komunitas di dalam masyarakat selalu mengacu pada kesamaan atau perbedaan suku dan agama.

d. Konsepsi persaudaraan yang awalnya berdasarkan kesamaan budaya berubah menjadi kesamaan agama.

e. Adanya streotype dan prasangka terhadap sesama etnis yang berbeda agama.

Di daerah rantaunya, meskipun hidup berdampingan, wilayah segragasi desa dan variabel sosial lainnya seperti ekonomi dan pola komunikasi sosial yang cenderung tertutup secara tidak terduga telah mendorong munculnya stereotipe dan praduga-praduga negatif yang secara tersembunyi berpotensi menimbulkan konflik sosial.

(49)

Kristen merupakan batak gingging (orang batak yang mempunyai watak keras kepala). Label negatif ini menunjukkan sikap keras dan mau menang sendiri yang ditujukan pada mereka. Tidak hanya itu, mereka juga dicap ambisius dan rakus serta menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuan, terutama ekonomi dan keuntungan individu.

f. Proses interaksi sosial antar etnis di dalam desa masih sangat tertutup, tidak hanya terbatas dalam interaksi sosial sehari-hari kedua kelompok yang sama-sama berlatar etnis Batak tersebutpun sangat terbatas. Perbedaan agama sampai level tertentu telah menjadikan sekat-sekat komunikasi dan interaksi sosial antara warga meskipun memiliki latar belakang budaya sama. Tingkat keterikatan pada nilai-nilai primordialisme kesukuan serta budaya berkurang.

g. Adanya wilayah pemukiman yang tersegregasi berdasarkan agama, pola pemukiman yang demikian membuat proses interaksi sosial sangat terbatas.

(50)

ekonomi merupakan unsur yang sangat potensial dalam memicu konflik antar kelompok sosial. Orientasi nilai budaya yang terlalu tinggi dalam memperoleh hamoraon ini pada Toba Kristen dikuatkan pula dengan pandangan mereka tentang konflik. Individu Toba Kristen cenderung lebih berani menghadapi konflik dan tidak menghindarinya. Adapun individu Toba Muslim cenderung menghindarkan diri dari konflik. Tetapi jika tidak terpecahkan konflik sesuatu yang harus dihadapi juga. Dalam konteks ini individu Toba sama-sama berpotensi untuk memunculkan konflik.

Sementara itu,Eriyanti (2013) dalam penelitiannya mengenai aspek sosio budaya, kebijakan pemerintah, mentalitas terhadap integrasi sosial pada masyarakat Sumatera Barat, juga menemukan bahwa satu-satunya potensi konflik di bidang sosio budaya pada masyarakat minangkabau adalah perbedaan agama, apalagi kalau pendatang itu menyebarkan agama mereka kepada orang Minangkabau dan/atau mendirikan tempat ibadah selain masjid di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Terkait disintegrasi sosial / disorganisasi sosial, dalam penelitian Ria manurung (2005), menemukan bahwa terjadinya disintegrasi sosial / disorganisasi sosial antara etnis Tionghoa dan Pribumi, dipicu oleh:

1. Masih terdapat jarak sosial objektif antara etnik 2. Kurang positifnya persepsi antar etnik

(51)

pada pola-pola kehidupan dan tanah leluhur yang menunjukkan tingginya etnosentrisme etnis Cina serta kurang memperdulikan norma-norma kehidupan sosial kultur pihak lain

Banyak studi membuktikan bahwa konflik nyaris tidak pernahdapat terselesaikan secara tuntas, sekalipun kelompok yang berbeda tersebut sebagian diantaranya telah terjadi asimilasi dan hubungan personal yang akrab. Secara teoritis pada tingkat individu, konflik memang dapat dieliminasi dengan adanya proses interaksi sosial yang intens dan mekanisme cross cutting-affilation. Tetapi pada tingkat kelompok yang namanya prasangka, streotip, dendam akan tetap ada. Perseteruan seperti yang dikatakan Paul Spencer dalam Narwoko dan Suyato (2004) pada dasarnya dampak dari terjadinya suatu kematian yang menimbulkan perasaan dendam berdarah antar kelompok yang berseteru. Perseteruan biasanya hanya dapat diredam melalui aksi kekerasan yang diwarnai dengan pertumpahan darah yang dianggap sebagai bentuk penyelesaian yang rasional. Jika dalam kurun waktu tertentu konflik antar-etnis belum meledak, maka itu semua hanyalah jeda sosial yang fungsinya sekadar menunda konflik terbuka yang sesungguhnya. (Narwoko dan Suyanto 2004: 201)

(52)

1. cross-cutting affilation 2. cross-cutting loyalities

Menurut Nasikun, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affilation). Karena dengan demikian, setiap konflik yang terjadi diantara kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities)dari para anggota masyarakat terhadap berbagai anggota masyarakat terhadap berbagai kelompok sosial. Konflik antar suku bangsa, misalnya akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas agama atau daerah. Perselisishan golongan yang berbeda etnis. Dalam banyak kasus bisa diredam atau bahkan dihilangkan bila pihak-pihak yang berselisih memiliki persamaan dalam agama yang dianut atau berasal dari wilayah yang sama. Tanpa adanya keanggotaan dan loyalitas yang bersifat silang-menyilang, maka diferensiasi sosial akan menjadi benih yang cepat atau lambat bisa menyebabkan disorganisasi sosial. . (Narwoko dan Suyanto 2004: 205)

(53)

satu sama lain saling bertoleransi dengan caranya masing-masing. Dengan kata lain, tanpa harus melakukan dan terjadi asimilasi kultural, asalnya dalam hubungan produksi yang berjalan terbangun pola hubungan yang patront-client yang adil, maka konflik pun relatif dapat ternetralisir, bahkan dapat menumbuhkan hubungan sosial yang erat dan saling membutuhkan. Kedua, karena adanya forum dan zona netral yang dapat dijadikan pertemuan antar-etnis yang secara kultural berbeda- yang berfungsi dalam melahirkan cross-cutting loyalitie. Dengan menjalin hubungan sosial dan komunikasi yang intensif, antar etnis satu dan yang lain, ataupun antar kelompok sosial bukan saja semakin mengenal karakter masing-masing, tetapi disana secara perlahan akan mulai tumbuh kesadaran bahwa antar satu kelompok sosial atau etnis dengan kelompok sosial atau etnis yang lain memang berbeda namun tidak harus saling mensubordinasi. Empati dan toleransi adalah dua hal yang tumbuh bersamaan dengan makin intensifnya kegiatan yang saling menyapa antar-individu, kelompok sosial, bahkan etnis yang berbeda dalam sebuah titik pertemuan yang netral. Interaksi sosial suatu kelompok sosial yang berbeda tidak selalu berlangsung tulus, namun masing-masing pihak harus menyadari perlunya kerja sama dan sikap saling menoleransi, maka perselisihan yang frontal pun dapat dihindari. Ketiga, karena sense of belonging yang tinggi dari tokoh masyarakat dan agama serta lembaga sosial untuk tetap menjaga dan mencegah kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang terbuka. (Narwoko dan Suyanto 2004 :203)

(54)

tersebut sekalipun desa tersebut terdiri dari beragam etnis dan agama. Integrasi sosial semacam ini yang terdapat pada daerah tersebut menurut Saputra (2010) dalam penelitiannya kendala,yang kerap kali terjadi sebagai penghalang terjadinya suatu integrasi yakni di desa Gerokgak adalahsebagai berikut :

a. Lemahnya komunikasi yang terjadi antar masyarakat sehingga menimbulkan suatu miss communication yang dapat menimbulkan suatu kesalahpahaman baik dalam menerima informasi maupun yang lainnya. b. Adanya suatu sifat egoisme dari masyarakat itu sendiri sehingga lebih

menonjolkan sikap individualis yang berlebihan. Dari data dan fakta yang ada, hal ini memang benar adanya. Sikap egois dan individualis serta kurangnya informasi yang ada sangat membahayakan serta sangat menghambat terjadinya suatu integrasi. konflik yang kerap kali terjadi pada masyarakat khususnya terjadi karena mereka mementingkan individu mereka sendiri atau biasanya disebut dengan sifat Egoisme. Tidak dapat dipungkiri bahwa keegoisan seseorang akan dapat menimbulkan dampak khususnya dampak yang tidak baik bagi keberlangsungan hidupnya disebabkan kita adalah makhluk sosial. Dari penelitian Saputra (2010), menemukan bahwa fakta yang ada diatas memang benar adanya. Sikap egois dan individualis serta kurangnya informasiyang ada sangat membahayakan serta sangat menghambat terjadinya suatu integrasi

(55)

mengungkapkan (2012), mengungkapkan bahwa terjadinya Integrasi sosial dikareknakan adanya media, 3 media integrasi tersebut , antara lain

a. Agama dan aktivitas ritual bersama merupakan media integrasi.

Agama merupakan salah satu alat pengintegrasi antara Etnis Banjar dengan Etnis Madura. Melalui berbagai kegiatan ritual-ritual keagamaan, masyarakat yang berbeda budaya ini berbaur menjadi satu. Kedua suku ini dapat terintegrasi oleh kesamaan agama (Islam). Melalui acara-acara ritual keagamaan, mereka berbaur dan saling bersilaturrahmi sehingga bisa dijadikan sebagai media untuk saling memahami antar dua kebudayaan yang berbeda Walau berbeda etnis, etnis Banjar dan etnis memiliki kesamaan yaitu agama. Beberapa ajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah saudara. Persaudaraan yang dibangun atas jalinan kesamaan agama telah menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda baik dalam garis keturunan atau darah maupun dalam berbudaya. Nilai persaudaraan inilah yang dapat meredam potensi konflik yang muncul dalam proses interaksi.

(56)

c. Sikap saling mengormati. Sikap saling menghormati yang ditunjukkan oleh etnis Madura yang menghormati budaya lokal mampu menumbuhkan pemahaman yang baik pada masyarakat etnis Banjar.

d. Adanya posisi sejajar antara Etnis Banjar dan Etnis Madura dalam proses perdagangan mengingat keduanya sama-sama mempunyai tradisi berdagang menciptakan posisi yang berimbang di antara keduanya

e. Selain itu faktor pertahanan juga patut diperimbangkan, karena rapinya masalah pertanahan ini telah meredam kemungkinan konflik karena faktor pertanahan yang banyak terjadi di berbagai tempat

(57)

menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor unsur unsur budaya lokal yang menjadi potensi ntegrasi sosial yaitu,

1. Dalam sosio-budaya masyarakat Minangkabau ditemukan suatu bentuk sistem kekerabatan yang dapat mempererat integrasi sosial yang disebut malakok. Dengan malakok seorang pendatang yang masuk dan bertempat

tinggal pada satu daerah bergabung dengan salah satu suku yang ada dalam daerah tersebut. Dengan demikian pendatang akan dianggap sebagai saudara sesuku. Implikasinya pendatang akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asal dalam berbagai persoalan yang menyangkut dengan adat istiadat seperti perkawinan, kematian dan kegiatan lainnya. Dengan sistem malakok semua etnik (pendatang) di Minangkabau dianggap dan diperlakukan sebagai dunsanak (saudara). 2. Integrasi sosial tercipta karena adanya peran kepemimpinan adat dalam

(58)

(malakok) dengan salah satu suku yang ada. Integrasi terjadi jika masyarakat pendatang dapat melihat pentingnya peran pimpinan adat dalam struktur masyarakat Minangkabau, dan dapat menghormati struktur tersebut.

3. Integrasi sosial terjadi dalam sikap dan mentalitas yang bersifat terbuka dan toleran. Bagi masyarakat Minangkabau “pandai dan hati-hati dalam bergaul” adalah satu di antara syarat-syarat terbentuknya kehidupan haromonis. Sepanjang sesama anggota masyarakat memiliki sifat-sifat ini maka keharmonisan cepat terjadi. Mentalitas ini bahkan melebihi persaudaraan satu suku. Artinya jika ada dalam masyarakat orang yang pandai bergaul lebih diutamakan untuk dipilih oleh masyarakat sebagai pimpinan dalam nagari. Mentalitas. Secara garis besar mentalitas masyarakat Minangkabau yang menjadi perekat dan harmonisasi dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai berikut :

• Solidaritas suku

(59)

• Tenggang Rasa

Adat Minangkabau mengajarkan supaya manusia selalu berhati-hati dalam pergaulan, baik dalam ucapan, tingkah laku maupun perbuatan. Setiap orang Minangkabau dituntut memiliki sikap tenggang rasa ini. begitu pula tuntutan orang Minangkabau terhadap orang lain, termasuk terhadap para pendatang yang berdomisili di lingkungan masyarakat Minangkabau. Meskipun tidak semua pendatang itu malakok, bahkan ada yang berbeda agama, namun selagi mereka mengembangkan sikap tenggang rasa maka mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Minangkabau.

• Setia (Loyal)

Setia (loyal) adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini merupakan awal sikap saling membantu, saling membela dan saling berkorban untuk sesama. Apabila terjadi suatu konflik dan orang Minangkabau terpaksa harus memilih, maka ia akan memihak kepada dunsanak (saudara) nya.

• Terbuka (tahu diri)

(60)

masuk kandang kambing membebek, masuk kandang jawi malanguah” (kalau masuk kandang kambing membebek masuk kandang lembu melenguh). Artinya kemana pergi pandai menyesuaikan diri tidak menentang arus, tetapi juga tidak hanyut oleh arus.

4. Faktor Agama

Agama merupakan persoalan yang sangat sensitive bagi orang Minangkabau. Jika pendatang berbeda agama, orang Minangkabau akan tetap membiarkan mereka, sepanjang mereka tidak menyebarkan agama mereka kepada orang Minangkabau dan tidak mendirikan tempat ibadah selain masjid di temgah-tengah masyarakat Minangkabau.

5. asal dan kesamaan suku.

Maksudnya kalau pendatang adalah dari daerah lain yang masih suku Minangkabau, maka mereka akan mudah mencari pergaulan pertama melalui suku.

6. lokasi pemukiman, bila pendatang bermukim di tengah mayoritas penduduk asli, maka pendatang dengan otomatis akan berusaha mencari tempat malakok karena segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka akan terkait dengan suku atau ninik mamak.

7. Akulturasi.

(61)

Sementara itu dalam penelitian Saputra (2010), terkait integrasi sosial masyarakat multi etnik beberapa upaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat desa Gerokgak agar terhindar dari konflik sosial yang berujung perpecahan adalah:

a. Lebih mengikuti sosilaisasi yang diberikan oleh perangkat desa untuk mengoptimalkan proses integrasi dengan cara lebih sering menghormarti dan salingmenghargai.

b. Mengadakan gotong royong bersama seminggu sekali untuk mengakrabkan seluruh komponen masyarakat di desa.

c. Peduli dan saling tolong-menolong antar umat beragama dan antar etnis tanpa memandang bulu.

d. Menumbuhkembangkan kepedulian sosial antar masyarakat demi kelestarian rasa kekeluargaan dan menjaga keutuhan integrasisosial.

e. Lebih mengedepankan siafat nasionalisme daripada sifat egoism yang kerap kali mengganggu atau yang menjadi batu sandungan terciptanya suatu integrasi sosialpada masyarakat yang multietniskhususnya.

f. Adanya pola perkwinan campur yang diadakan oleh dua etnis maupun agama yang berbeda

g. Peleburan dua kebudayaan yang menciptakan kebudayaan baru

(62)

terkenal dengan kerukunan dan keharmonisan hidup masyarakatnya yang multietnik, tidak serta merta jauh dari gejolak dan benturan kepentingan masing-masing etnik. Tetapi hal demikian, mampu diminimalisir dan dicarikan suatu desain spesifik untuk tetap berada dalam pusaran integrasi dan keharmonisan hidup. Berbagai macam gejolak yang terjadi pada masyarakat Banuroja, seperti

1. gejolak antar agama yakni, menggunakan kesempatan untuk mengajak penganut agama lain untuk ikut memeluk agama mereka,

2. gejolak mengenai fitnah yang dilontarkan untuk menghancurkan keharmonisan antara kedua etnis,

3. pengakuan hak atas tanah yang terlibat di dalamnya beberapa etnis yang menempati tanah tersebut.

Hal demikian mampu mereka bendung, sehingga benturan kepentingan tersebut tidak merambah ke konflik sosial. Realitas keragaman ini, merupakan manifestasi yang tertuang dalam sebuah falsafah Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu). Setidaknya, terdapat juga beberapa instrumen perekat silaturahmi yang dilakukan oleh masyarakat di Banuroja, antara lain: saling mengundang dan mengunjungi ketika ada kegiatan keagamaan dan kegiatan desa, misalnya Majelis Ta’lim, perayaan Hari Raya, dan kegiatan desa. Dalam mengelola keserasian sosial antar masyarakat, terdapat beberapa konstruksi ide, gagasan, dan solusi yang dilakukan oleh masyarakat Banuroja untuk membendung konflik sosial pada masyarakat. Antara lain:

(63)

Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Masyarakat Banuroja sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan menghormati terhadap masyarakat yang berbeda agama. Spritualitas dalam kehidupan sangatlah kental, karena masyarakat memahami misi-misi perdamaian dalam agamanya masing-masing, sehingga egosentrisme agama tidak muncul ke permukaan. Agama merupakan hal yang sangat esensial karena berkaitan dengan masalah kehidupan dan kematian, bahkan semua agama pasti mempunyai ajaran tentang rasa saling menyapa dan cinta kasih. Tetapi, jika hal tersebut disalah-pahami dan dijadikan sebagai teori pembenaran oleh pemeluknya, maka, ini hanyalah melahirkan sikap keangkuhan dan memandang agama orang lain adalah kesalahan.

2. Pesantren, Peranannya Dalam Proses Interaksi Sosial dan Sosialisasi Pendidikan Multikultural

(64)

tersebut. Bahkan bukan hanya siswa tetapi Guru-gurunya juga berasal dari etnis dan agama yang berbeda. Dalam pendirian pesantren itupun, tidak lepas dari kontribusi masyarakat yang berasal dari agama dan etnis yang bereda, baik kontribusi tenaga maupun pikiran. Kehidupan para anak didik dalam keseharian mereka sangatlah rukun, meskipun tidak dapat dipungkiri ada berbagai masalah gesekan sesama teman yang berbeda etnik maupun sesama etnik, tetapi dapat diredam tanpa harus melalui jalan konflik. Mereka mengutamakan sebuah kebersamaan karena terjadi pembauran.

3. Tokoh, Peran dan Interpensi Dalam Mengkonsiliasi Permasalahan di Masyarakat Heterogen

Sosok tokoh yang mempunyai kepiawaian sangat penting, dalam melahirkan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Agar bahtera kehidupan mampu menggiring arus pluralisme budaya dan suku, sosok tokoh harus mampu memahami dan mapan dalam menerjemhkan ke mana bahtera tersebut berlabuh. Tentu, berpedoman pada wasiat leluhur yakni, Bhineka Tunggal Ika untuk dijadikan sebagai kompas peradaban menuju integrasi nasional.

(65)

mengakibatkan ikatan solidaritas masyarakat kota Solo tercerai berai, dan sosialisasi nilai-nilai kekerasan antar generasi pun terjadi . Padahal keberadaan etnik Cina dapat menjadi bandul perubahan tatanan sosial maupun ekonomi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, seiring dengan perkembangannya maka terjadilah pembauran sosial antar etnik Cina dan Jawa yang memberikan warna baru sebagai wujud terbangunnya kohesi sosial. Identitas kultural masing-masing tetap dibangun tanpa penyeragaman, beberapa simbol-simbol kultural Cina masih tetap bertahan sebagai saksi biksu atas kelanggengan hubungan kedua etnis ini.

Dalam penelitian Haryono (2011) tentang estimasi parameter integrasi Sosial Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dan Surakarta menyebutkan untuk mempertahankan ketahanan suatu masyarakat dalam mewujudkan suatu integrasi sosial, diperlukan pendidikan nilai demokrasi , status ekonomi sosial, simpati dan aksi.

Atik Budiarti (2010), menyebutkan beberapa upaya pencegahan konflik dengan meningkatkan kemampuan masyrakat dalam menegelola konflik melalui program ketahanan masyarakat yang mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Memahami dan memetakan akar konflik dan kekerasan 2. Memperoleh data mengenai tingkat dan besaran konflik 3. Mengembangkan aktivitas-aktivitas perdamaian

4. Menyusun model pengelolaan konflik

5. Membangun jejaring lintas etnis dan golongan

(66)

antisipasi dari segala bentuk perubahan sosial, budaya. politik dan ekonomi. Istilah ketahanan masyarakat dapat dikembangkan melalui upaya terjaringnya modal sosial yang ada di masyarakat. Baik modal sosial berupa norma dan jaringan sosial, ataupun kepercayaan sosial yang mampu mendorong tindakan

kolektifitas demi mencapai manfaat bersama. Ketahanan masyarakat

menggambarkan kemampuan internal masyarakat dalam menggalang konsensus dan mengatur sumber daya maupun kemampuannya dalam mengantisispasinya faktor eksternal menjadi sumber ancaman menjadi peluang, oleh karena itu ketahanan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai final or finis product tetapi juga process or dynamic product. Oleh karena itu pengembangan ketahan masyarakat

tidak hanya sekedar pada upaya mengubah perubahan menjadi peluang menjadi kesempatan tetapi harus mamapu memberikan solusi konflik dan pencegahannya. Sebuah konsep ketahanan masyarakat yang lain menawarkan pemahaman bahwa ketahanan sosial diperlukan pada status sehat (sebagai antibody) dan pada status sakit (sebagai obat). Rochwan Achwan dalam penelitian Atik Budiarti (2010) mengungkapkan bahwa suatu komunitas dianggap memiliki ketahanan apabila

1. Mampu melindungi secara efektif anggota keluarganya yang cenderung rentan pada perubahan sosial yang mempengaruhinya

2. Mampu melakukan investasi sosial dalam jaringan sosial yang menguntungkan

(67)

Budiarti menyimpulkan bahwa tujuan dari diadakannya program ketahanan pada masyarakat kota Solo antara lain:

1. Terbangunnya kesadaran warga akan pentingnya budaya damai dan kesediaan warga untuk berperan aktif dalam menciptakan budaya damai 2. Menguatnya peran lembaga-lembaga formal dan informal di masyarakat

dalam mengupayakan perdamaian.

3. Menguatnya peran tokoh-tokohmasyarakat, agama, etnis dan kepemudaan dalam mengupayakan perdamaian

4. Tersedianya data yang lengkap tentang pola-pola konflik di masyarakat 5. Terciptanya mekanisme damai dalam pengelolaan konflik di masyarakat 6. Adanya dokumentasi tentang kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang

berkembangnya perdamaian yang sesuai dengan situasi dan kondisimasyarakat.

(68)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif . Penelitian kualitatif adalah suatu aktivitas pengamatan yang tertuju pada perilaku manusia dan proses kerja dan menghasilkan data yang bersifat mendalam, kaya dan nyata. (Idrus, 2009: 22). Tujuan dari studi kasus adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki keadaan, atau suatu kondisi, dan dalam kegiatan penelitian ini, peneliti hanya memotret apa yang terjadi pada obyek yang diteliti atau wilayah yang diteliti.(Arikunto, 2010:3) Penelitian deskriptif kualitatif pada umumnya memiliki data berbentuk kalimat-kalimat atau uraian yang merupakan informasi mengenai keadaaan sebagaimana adanya sumber data dalam hubungannya dengan permasalahan penelitian. Dalam hal ini , maka pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus dapat memberikan gambaran mengenai fungsi pesta tugu luhutan bolon dalam mempertahankan integrasi sosial pomparan raja silahisabungan.

3.2 Lokasi Penelitian

(69)

Nabolak merupakan kampung induk dari kelompok Marga Silahisabungan. Desa ini juga merupakan tempat perkumpulan keturunan Raja Silahisabungan dan dihuni keturunannya bertahun-tahun lamanya dan desa Silahi Nabolak juga merupakan tempat dimana Tugu Raja Silahisabungan dibangun dan tempat diadakannya pesta Tugu Luhutan Bolon tiap tahunnya.

3.3 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian 3.3.1 Sejarah Singkat Desa Silalahi Nabolak

Desa Silalahi Nabolak merupakan salah satu bagian dari Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi. Mengenai nama Silalahi Nabolak nama desa ini berasal dari nenek moyang, yaitu Silahisabungan Setelah mengalami transformasi, kata Silahisabungan berubah menjadi desa lahir dan disempurnakan lagi menjadi Silalahi, yang digunakan sebagai nama untuk mengidentifikasi suatu kelompok

masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan Dairi. Karena Desa ini begitu luas namanya menjadi Silalahi Nabolak (yang luas)

(70)

a. Pola garis dan warna ulos yang merupakan salah satu perwujudan kekhasan adat Silalahi. Ulos Silahisabungan ini hanya dapat ditemukan di desa Silalahi Nabolak, ulos ini juga tidak sembarangan untuk dipakai

Gambar 1

Keterangan gambar: Ulos tersebut merupakan ulos pomparan Raja Silahisabungan, yang hanya dimiliki oleh keturunan raja Silahisabungan.

(71)

Gambar 2

Keterangan Gambar : Taganing dan Gordang Sitolupulu Tolu

c. Bahasa Silalahi yang perpaduan dari tiga bahasa Pakpak, bahasa Simalungun dan bahasa Karo

d. Jabu Silalahi memiliki arsitektur yang berbeda dengan rumah adat lainnya dengan bentuk atap rumah yang tinggi dan beberapa ukiran-ukiran yang dibuat Silahisabungan untuk mengiasi rumahnya

Gambar 3

Gambar

Keterangan Gambar 1 gambar: Ulos tersebut merupakan
Keterangan gambarGambar 3  : Gambar diatas merupakan  Jabu Parsaktian (Rumah
Tabel I Nama Desa
Tabel 2
+7

Referensi

Dokumen terkait