HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP IKLIM KELAS
DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA
SMA KALAM KUDUS MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Sarjana Psikologi
Oleh:
Corry Sagala
061301044
FAKULTAS PSIKOLOGI
SKRIPSI
HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP IKLIM KELAS DENGAN
KREATIVTAS PADA SISWA SMA KALAM KUDUS MEDAN
Dipersiapkan dan disusun oleh
CORRY SAGALA
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 20 Maret 2010
Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) NIP. 195005041977061001
Tim Penguji
1. Dian Ulfasari, M. Psi., psikolog Penguji I/Pembimbing
NIP. 198108242008122002 ____________
2. Filia Dina Anggaraeni, S. Sos Penguji II
NIP. 196910142000042001 ____________
3. Fasti Rola, M. Psi., psikolog Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
skripsi saya yang berjudul :
Hubungan Persepsi Terhadap Iklim Kelas dengan Kreativitas pada Siswa
SMA Kalam Kudus Medan
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil
karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya
bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Maret 2010
CORRY SAGALA
Hubungan Persepsi Terhadap Iklim Kelas Dengan Kreativitas pada Siswa SMA
Kalam Kudus Medan
Corry Sagala dan Dian Ulfasari
ABSTRAK
Pada abad ke-21 ini, kreativitas memegang peranan yang penting agar seseorang dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik. Dengan kreativitas individu akan mampu mengidentifikasi masalah secara tepat dan menyelesaikannya dengan kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang ada yang mungkin tidak diperhatikan oleh orang lain. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menghasilkan suatu produk yang baru ataupun kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya, yang berguna, serta dapat dimengerti. Kreativitas itu sendiri dicerminkan melalui kelancaran, keluwesan, orisinalitas dalam berpikir serta mengelaborasi gagasan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kreativitas adalah lingkungan rumah, keluarga, dan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, iklim kelas memiliki peranan penting dalam meningkatkan kreativitas. Persepsi siswa akan lingkungan kelas merupakan penilaian paling tepat untuk mengetahui iklim kelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan. Data penelitian diperoleh dari skala Persepsi Terhadap Iklim Kelas yang berjenis Likert dan Tes Kreativitas Figural. Persepsi terhadap iklim kelas memiliki reliabilitas alpha sebesar 0.909. Metode yang digunakan adalah metode korelasional kuantitatif dengan teknik pengambilan sampling berupa simple
random sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA Kalam Kudus
Medan yang berjumlah 138 orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan. Dari hasil kategorisasi diketahui rata-rata siswa SMA Kalam Kudus Medan memiliki persepsi positif terhadap iklim kelas (31.89%), 29.71% memiliki persepsi negatif dan 38.4% tidak tergolongkan. Sedangkan pada hasil kategorisasi kreativitas diketahui bahwa rata-rata siswa SMA Kalam Kudus Medan memiliki kreativitas sedang (62.32%), 19.56% memiliki kreativitas rendah dan 18.12% memiliki kreativitas tinggi.
The Relationship Between Student’s Perception of Classroom Climate and
Creativity in students at Kalam Kudus Senior High School Medan
Corry Sagala and Dian Ulfasari
ABSTRACT
In the twenty first century, creativity has an important role for human to surviving and thriving. Creativity enables a person to identify appropriate problems and to solve them, to identifies possibilities and opportunities that may not have been noticed by others. Creativity is the capabilities to produce a new or combination from preexist that is useful and understable. Creativity can be seen by the fluency, flexibility, elaboration and originality of thinking. One of the factor that influence creativity are family, school, and society. In school, classroom climate has a significant role to promote creativity. How the students perceive his classroom can be an accurate assesment to determine classroom climate.
The purpose of this study is to determine the relationship between student’s perception of classroom climate and creativity in students at Kalam Kudus Senior High School Medan. Data of research collected through Scale of Perception of Classroom Climate and Creativity Figural Test. Relibility of alpha in scale of perception of classroom climate is 0.909. The study was using a correlational quantitative method and sampling technique was simple random sampling. The subjects were students at Kalam Kudus senior high school Medan. The number of subjects was 138.
The result of this study shows that was not a relationship between student’s perception of classroom climate and creativity in students at Kalam Kudus Senior High School Medan. The categorization shows that mostly students at Kalam Kudus Senior High School Medan has positive perception about classrooom climate (31.89%), 29.71% has negative perception, and 38.4% not categorized. However, from categorization of creativity shows that mostly students at Kalam Kudus Senior High School has middle creativity (62.32%), 19.56% has low creativity, and 18.56% has high creativity.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
memberikan kasih dan penyertaanNya yang besar kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini. Adapun proposal skripsi ini
berjudul “Hubungan Persepsi Terhadap Iklim Kelas Dengan Kreativitas Pada
Siswa SMA Kalam Kudus Medan”.
Dalam menyelesaikan proposal skripsi ini, penulis mendapat banyak
bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.
2. Ibu Dian Ulfasari, M.Psi., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan proposal skripsi ini. Terima
kasih Kak untuk setiap bantuan yang kakak berikan baik itu waktu,
pikiran, saran, yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan
proposal skripsi ini.
3. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M. Pd., dan Ibu Fasti Rola, M. Psi., psikolog,
selaku penguji seminar yang telah banyak memberikan saran bermanfaat
dan insight bagi penulis.
4. Ibu Desvi Yanti M, M.Si., selaku penguji praseminar, yang telah
5. Orangtua penulis, Drs. G. M. Sagala dan R. Simanihuruk serta kakak,
abang, adik dan ponakan-ponakanku tersayang atas dukungan, pengertian,
dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis sehingga proposal skripsi
ini dapat diselesaikan dengan baik.
6. Teman-teman di seminar pendidikan, Bang Toni, Bang Hario, Bang
Fahmi, Kak Ika, Pipin, Hearty, Omet, Aini, Natalia, Suri, Fitri, Nella, Vira,
teman-teman seperjuangan di pendidikan yang banyak memberikan
motivasi dan saran dalam pengerjaan proposal skripsi ini.
7. Teman-teman sepermainan dan securhatan bersama, K’Pipin, K’Ririe,
Dita, K’Hearty, K’Priska, Omet, Rina, Sondang, dan Febri. Terima kasih
buat segala dukungan, canda tawa, bantuan, doa, dan kebersamaannya.
Karena kebersamaan dengan teman-teman, penulis dapat selalu merasakan
suka dan keceriaan.
Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna,
karena itu penulis terbuka untuk menerima masukan saran dan kritik demi
sempurnanya proposal skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap proposal skripsi ini
dapat dilaksanakan sebaik-baiknya dalam skripsi nantinya dan dapat memberikan
manfaat.
Medan, Februari 2009,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 10
C. Manfaat Penelitian ... 10
1. Manfaat teoritis ... 10
2. Manfaat praktis... 10
D. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI... 12
A.Kreativitas... 12
1. Definisi kreativitas... 11
2. Ciri-ciri kreativitas... 14
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas...15
4. Tahap-tahap perkembangan kreativitas... 19
5. Tes Kreativitas Figural (TKF)... 20
B.Persepsi Terhadap Iklim Kelas... 21
1. Persepsi... 21
a. Definisi persepsi... 21
2. Iklim kelas... 23
a. Definisi iklim kelas... 23 b. Dimensi iklim kelas ... 24
c. Menciptakan iklim kelas yang positif... 26 3. Persepsi terhadap iklim kelas... 27
C.Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) ... 27
D.Hubungan Antara Persepsi Terhadap Iklim Kelas Dengan Kreativitas... 28
E.Hipotesis... 30
BAB III METODE PENELITIAN... 31
A.Identifikasi Variable Penelitian...31
B. Definisi Operasional...32
C.Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel... 36
D.Alat Ukur yang Digunakan... 37
E.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 44
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur... 47
G.Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 51
H.Metode Analisa Data... 53
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN... 54
A. Analisa Data... 54
a. Jenis kelamin... 54
b. Usia... 56
c. Ukuran keluarga ... 56
d. Urutan kelahiran...57
2. Hasil Penelitian... 58
a. Uji asumsi penelitian... 58
b. Hasil analisa data... 60
c. Kategorisasi... 62
d. Hasil tambahan... 65
B. Pembahasan... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 72
A. Kesimpulan... 72
B. Saran... 72
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blue Print Uji Coba Skala Persepsi Terhadap iklim kelas ... 45
Tabel 2 Penyebaran Aitem Skala Persepsi Terhadap iklim kelas Setelah Uji Coba ... 49
Tabel 3 Blue Print Skala Persepsi Terhadap iklim kelas ... 50
Tabel 4 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56
Tabel 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia... 57
Tabel 6 Normalitas Sebaran Variabel Persepsi Terhadap iklim kelas dengan Perilaku Bullying One-sample Kolmogorov-Smirnov Test... 59
Tabel 7 Linearitas Hubungan Variabel Persepsi Terhadap iklim kelas dengan kreativitas ... 59
Tabel 8 Korelasi Pearson ... 61
Tabel 9 Deskripsi Data Penelitian Persepsi Terhadap iklim kelas ... 62
Tabel 10 Kategorisasi Data Empirik Persepsi Terhadap iklim kelas ... 64
Tabel 11 Deskripsi Data Penelitian Kreativtas ... 65
Tabel 12 Kategorisasi Kreativitas Berdasarkan Mean Empirik ... 66
Tabel 13 Deskripsi Dimensi Persepsi Terhadap iklim kelas dengan kreativitas 67 Tabel 14 Deskripsi Variabel Kreativitas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Linearitas Hubungan Antara Persepsi Terhadap iklim kelas
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Try Out... 99
Hubungan Persepsi Terhadap Iklim Kelas Dengan Kreativitas pada Siswa SMA
Kalam Kudus Medan
Corry Sagala dan Dian Ulfasari
ABSTRAK
Pada abad ke-21 ini, kreativitas memegang peranan yang penting agar seseorang dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik. Dengan kreativitas individu akan mampu mengidentifikasi masalah secara tepat dan menyelesaikannya dengan kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang ada yang mungkin tidak diperhatikan oleh orang lain. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menghasilkan suatu produk yang baru ataupun kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya, yang berguna, serta dapat dimengerti. Kreativitas itu sendiri dicerminkan melalui kelancaran, keluwesan, orisinalitas dalam berpikir serta mengelaborasi gagasan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kreativitas adalah lingkungan rumah, keluarga, dan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, iklim kelas memiliki peranan penting dalam meningkatkan kreativitas. Persepsi siswa akan lingkungan kelas merupakan penilaian paling tepat untuk mengetahui iklim kelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan. Data penelitian diperoleh dari skala Persepsi Terhadap Iklim Kelas yang berjenis Likert dan Tes Kreativitas Figural. Persepsi terhadap iklim kelas memiliki reliabilitas alpha sebesar 0.909. Metode yang digunakan adalah metode korelasional kuantitatif dengan teknik pengambilan sampling berupa simple
random sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA Kalam Kudus
Medan yang berjumlah 138 orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan. Dari hasil kategorisasi diketahui rata-rata siswa SMA Kalam Kudus Medan memiliki persepsi positif terhadap iklim kelas (31.89%), 29.71% memiliki persepsi negatif dan 38.4% tidak tergolongkan. Sedangkan pada hasil kategorisasi kreativitas diketahui bahwa rata-rata siswa SMA Kalam Kudus Medan memiliki kreativitas sedang (62.32%), 19.56% memiliki kreativitas rendah dan 18.12% memiliki kreativitas tinggi.
The Relationship Between Student’s Perception of Classroom Climate and
Creativity in students at Kalam Kudus Senior High School Medan
Corry Sagala and Dian Ulfasari
ABSTRACT
In the twenty first century, creativity has an important role for human to surviving and thriving. Creativity enables a person to identify appropriate problems and to solve them, to identifies possibilities and opportunities that may not have been noticed by others. Creativity is the capabilities to produce a new or combination from preexist that is useful and understable. Creativity can be seen by the fluency, flexibility, elaboration and originality of thinking. One of the factor that influence creativity are family, school, and society. In school, classroom climate has a significant role to promote creativity. How the students perceive his classroom can be an accurate assesment to determine classroom climate.
The purpose of this study is to determine the relationship between student’s perception of classroom climate and creativity in students at Kalam Kudus Senior High School Medan. Data of research collected through Scale of Perception of Classroom Climate and Creativity Figural Test. Relibility of alpha in scale of perception of classroom climate is 0.909. The study was using a correlational quantitative method and sampling technique was simple random sampling. The subjects were students at Kalam Kudus senior high school Medan. The number of subjects was 138.
The result of this study shows that was not a relationship between student’s perception of classroom climate and creativity in students at Kalam Kudus Senior High School Medan. The categorization shows that mostly students at Kalam Kudus Senior High School Medan has positive perception about classrooom climate (31.89%), 29.71% has negative perception, and 38.4% not categorized. However, from categorization of creativity shows that mostly students at Kalam Kudus Senior High School has middle creativity (62.32%), 19.56% has low creativity, and 18.56% has high creativity.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menghadapi tantangan era globalisasi saat ini, sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas merupakan aset yang sangat diperlukan oleh setiap
negara agar dapat bersaing dengan negara lainnya (Surjana, 2002). Peningkatan
SDM menjadi suatu prioritas penting dan merupakan kewajiban bagi sebuah
negara (Munandar, dalam Syukri & Zulkarnain, 2005). Kualitas SDM yang
dibutuhkan adalah SDM yang mampu melaksanakan pembangunan nasional
secara inovatif, kreatif, produktif serta memiliki semangat kerja dan disiplin yang
tinggi (Rohanan, 2008).
Menurut United Nations Development Programme (UNDP) (dalam
Rohanan, 2008), indeks kualitas SDM (Human Development Index) negara
Indonesia pada tahun 2006 menduduki peringkat 69 dari 104 negara. Selain itu,
menurut World Economic Forum (dalam Nsrupidara, 2008), indeks daya saing
SDM (Growth Competitiveness Index) negara Indonesia pada tahun 2006 berada
pada posisi 74 dari 117. Untuk wilayah Asia, indeks kualitas SDM Taiwan dan
Singapura menduduki peringkat ke-5 dan 6, Jepang pada peringkat ke-12, China
dan India pada peringkat ke-49 dan 50, sementara Indonesia disejajarkan dengan
negara Gambia, dan masuk ke dalam kategori negara berpenghasilan rendah (low
income countries). Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas dan daya saing SDM
siap dalam menghadapi persaingan global. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas
SDM memerlukan penanganan yang serius demi pembangunan negara Indonesia
(Rohanan, 2008).
Usaha peningkatan SDM pada hakikatnya menuntut komitmen dalam dua
hal, yaitu: pertama, menemukan dan mengembangkan bakat-bakat unggul dalam
berbagai bidang. Kedua, pemupukan dan pengembangan kreativitas yang pada
dasarnya dimiliki setiap orang dan perlu dikenali dan dirangsang sedini mungkin
(Munandar dalam Syukri & Zulkarnain, 2005). Kreativitas yang dimiliki oleh
individu akan sangat bermanfaat dalam membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang menghalangi proses pembangunan suatu negara (Diana, 1999).
Pada abad ke-21 ini, kreativitas memegang peranan yang penting agar
seseorang dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik. Menurut Campbell
(dalam Manguhardjana, 1986), kreativitas merupakan suatu kegiatan yang
mendatangkan hasil yang sifatnya baru, berguna, dan dapat dimengerti. Selain itu,
Munandar (1985) menyatakan kreativitas tidak selalu menciptakan hasil yang
baru, tetapi juga dapat berupa gabungan dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya.
Dengan kreativitas individu akan mampu mengidentifikasi masalah secara tepat
dan menyelesaikannya, serta mampu mengidentifikasi
kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang ada yang mungkin tidak
diperhatikan oleh orang lain (Craft, 2005). Selain berguna bagi individu,
kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara juga bergantung pada
sumbangan kreatif berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi
kualitas SDM yang rendah memerlukan tenaga-tenaga kreatif yang mampu
memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian,
serta kepada kesejahteraan bangsa pada umumnya (Munandar, 2009).
Pendidikan memegang peranan yang penting dalam pengembangan
kreativitas (Craft, 2005). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tilaar
(2004) bahwa kualitas kreativitas manusia merupakan hasil dari proses
pendidikan. Pendidikan pada setiap jenjangnya, mulai dari pendidikan pra sekolah
hingga ke perguruan tinggi dapat berperan dalam menumbuhkan dan
meningkatkan kreativitas individu (Munandar, 2009). Oleh karena itu, kreativitas
tidak lagi menjadi bagian terluar dari pendidikan atau hanya berasal dari aspek
seni, melainkan telah menjadi aspek inti dari pendidikan (Craft, 2005).
Pada kenyataanya, proses-proses pemikiran tinggi termasuk berpikir
kreatif pada pendidikan di Indonesia masih jarang dilatih (Munandar, 2009).
Pendapat senada juga dikemukakan Tilaar (2004) yang menyatakan sistem
pendidikan yang diterapkan saat ini di Indonesia merupakan suatu sistem yang
menghasilkan “robot-robot” tanpa berpikir kreatif. Selain itu menurut ASIAWEEK
(dalam Tilaar, 2004), ciri khas dari pendidikan di Asia lebih menonjolkan pada
penguasaan ilmu-ilmu eksakta dan kurang memberikan perhatian kepada
kemampuan berpikir kreatif, yang belum tentu dapat menjamin bahwa
bangsa-bangsa Asia akan mampu bersaing dengan negara-negara lainnya.
Nashori (dalam Diana, 1999) menyatakan penyebab rendahnya kreativitas
di Indonesia karena lingkungan yang terlalu membiasakan individu untuk berpikir
persoalan secara bebas. Pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia,
ditemukan banyak lembaga pendidikan maupun orangtua yang cenderung
mendidik siswa berpikir secara linier (searah) atau konvergen (terpusat). Cara
berpikir divergen, yang merupakan ciri dari kreativitas (Munandar, 2009), pada
siswa kurang didorong dan dikembangkan (Nashori dalam Diana, 1999). Selain
itu, menurut Munandar (2009), kurangnya pemahaman guru dan orangtua akan
arti dari kreativitas dan bagaimana mengembangkannya pada anak dalam tiga
lingkungan pendidikan yaitu di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat, juga
turut mempengaruhi rendahnya kreativitas di Indonesia.
Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kreatif, namun dengan
tingkat atau derajat kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat
disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya
kreativitas (Munandar, 2009). Rogers (dalam Munandar, 2009) menyatakan
kreativitas dapat terwujud oleh adanya dorongan dari dalam diri individu
(motivasi intrinsik) serta dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik). Setiap
individu memiliki kecenderungan atau dorongan dari dalam dirinya untuk
mengembangkan kreativitas, mewujudkan potensi, mengungkapkan dan
mengaktifkan semua kapasitas yang dimilikinya. Selain dorongan dari dalam diri
individu, lingkungan juga mempengaruhi kreativitas seseorang. Individu akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada. Karena itu,
baik perubahan di dalam diri individu maupun dari lingkungan dapat menunjang
Lingkungan yang dapat mengembangkan kreativitas adalah lingkungan
yang dapat memberikan keamanan dan kebebasan psikologis bagi individu untuk
mengungkapkan dan mewujudkan dirinya (Rogers, dalam Munandar 2009).
Munandar (2009) menyatakan kreativitas dapat dikembangkan dengan
memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan dirinya secara
kreatif. Proses pengembangan kreativitas akan terjadi dengan sendirinya pada
lingkungan yang memiliki iklim menunjang, menerima dan menghargai individu.
Dengan kata lain, proses pengembangan kreativitas berkaitan dengan iklim yang
terdapat di dalam lingkungan.
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kreativitas dapat berupa
lingkungan keluarga, masyarakat, dan juga sekolah (Munandar, 2009). Dalam
lingkungan sekolah, iklim kelas memiliki peranan yang penting dalam
meningkatkan kreativitas. Iklim kelas yang menghargai cara berpikir dan
berperilaku kreatif; memberi kebebasan dan keamanan untuk mengambil resiko;
mengembangkan penguasaan dalam pokok area tertentu; serta menyediakan
waktu bagi siswa untuk berkreasi, dapat meningkatkan dan mengembangkan
kreativitas siswa (Omrod, 2003).
Iklim kelas dapat diartikan sebagai kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari
luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, dan intelektual yang mempengaruhi
peserta didik (Bloom, dalam Tarmidi & Wulandari, 2005). Iklim kelas merupakan
keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai
hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya.
penilaian paling tepat untuk mengetahui iklim kelas dikarenakan siswa telah
menghadapi lingkungan belajar yang beraneka ragam serta telah menghabiskan
banyak waktu di dalam kelas sehingga memiliki perasaan yang akurat terhadap
kelas (Nair, 2001).
Persepsi menurut Irwanto, Elia, Hadisoepandma, Priyani, Wisimanto, dan
Fernandes (1996) adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan
antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti.
Persepsi terhadap iklim kelas dapat diartikan sebagai proses pengenalan dan
pemahaman akan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di
dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa
dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998). Menurut Myers (dalam
Sampson, 2009), persepsi siswa akan iklim kelas didasarkan pada seberapa baik
guru menciptakan lingkungan dimana terdapat hubungan yang bernilai, saling
mendorong dan mendukung. Moos & Trickett (dalam Amar & Strugo, 2003)
menambahkan bahwa kegiatan harian dan rutin dapat membentuk persepsi siswa
akan iklim kelas.
Pada iklim kelas yang positif, guru dan siswa membentuk hubungan yang
positif serta saling menghargai satu dengan yang lainnya. Guru dan siswa juga
memiliki rasa antusias untuk belajar dan menghabiskan waktu bersama-sama di
dalam kelas (Pianta, 2005). Amar & Strugo (2003) menambahkan bahwa siswa
akan lebih merasa senang jika berada pada kelas dengan iklim positif, yang
mengikutsertakan keterlibatan mereka di dalam kelas, memiliki hubungan
memiliki aturan-aturan tingkah laku yang jelas. Sebaliknya pada iklim kelas yang
negatif, siswa tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan serta
kurang mendapat perhatian akan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya. Hal ini
menyebabkan timbulnya rasa ketidakpuasan pada siswa (Adelman & Taylor,
dalam Lee, 2003).
Pada penelitian ini, subjek yang akan diteliti merupakan siswa SMA. Masa
SMA termasuk ke dalam usia remaja dan dimulai dari usia 15/16-17/18. Pada usia
tersebut, individu berada pada tahapan kreativitas post-conventional. Pada tahap
ini, individu menghasilkan karya-karya baru yang disesuaikan dengan
batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional. Oleh karena itu, kreativitas
individu sudah mulai stabil karena telah mampu menyesuaikan kemampuan
kreatif yang dimilikinya dengan batasan-batasan yang terdapat di lingkungan
(Cropley, 1999).
Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa siswa SMA Kalam
Kudus sebelum melakukan penelitian yang sebenarnya. Siswa-siswa yang
diwawancarai menyatakan suasana kelas yang mereka rasakan nyaman dan
menyenangkan. Teman-teman sekelas siswa saling membantu dan mendukung di
dalam belajar. Selain itu, siswa-siswa juga menyatakan bahwa guru-guru yang
mengajar di dalam kelas memperlakukan semua siswa dengan adil dan
bersahabat. Sehingga interaksi antara siswa dengan guru berlangsung dengan
akrab.
Peneliti juga mewawancarai siswa yang merupakan pindahan dari SMA
lebih menyenangkan daripada di sekolahnya dahulu. Siswa lebih menyukai
keadaan kelasnya saat ini karena teman-teman yang sekelas dengannya lebih
menyenangkan serta mau berteman dan membantunya. Selain itu, siswa juga
merasa lebih akrab dengan guru-guru yang mengajar di kelasnya saat ini
dibandingkan dengan guru-gurunya dahulu. Berikut kutipan wawancara dengan
siswi XI IPS 1, yang berinisial YS:
“...suasana kelas di sekolah yang sekarang lebih enak kak daripada di sekolah yang dahulu. Teman-teman sekelas saya, orang-orangnya semua baik dan menyenangkan. Guru-gurunya juga lebih ramah daripada yang dulu jadinya rasanya le\kbih enak dan akrab. Meskipun saya baru 3 minggu sekolah di sini, tapi saya udah mengenal semua teman-teman sekelas saya, dan mereka juga mau bantu saya dalam belajar..”
(Komunikasi personal, 16 November 2009)
Peneliti juga telah mewawancarai beberapa guru yang mengajar di SMA
Kalam Kudus Medan. Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa
guru-guru telah mendorong siswa untuk mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki di dalam kelas. Guru memberikan kesempatan dan kebebasan kepada siswa
untuk menujukkan kreativitas yang dimiliki. Guru-guru juga menghargai setiap
hasil karya dan ide-ide yang diberikan siswa. Akan tetapi kebanyakan siswa masih
kurang menunjukkan kemampuan kreativitas yang mereka miliki saat belajar di
dalam kelas. Berikut kutipan wawancara dengan X, guru agama yang mengajar di
SMA Kalam Kudus Medan:
“...beberapa murid ada yang kreatif, misalnya ketika saya kasih tugas agama menulis ayat-ayat penting, ada yang menambahkan dengan gambar-gambar yang berkaitan dengan nats alkitab, lagu-lagu rohani. Akan tetapi lebih banyak murid yang hanya mengerjakan begitu saja, bahkan tidak rapi dan menarik... Pada dasarnya guru menghargai setiap hasil karya siswa. Siswa boleh bereksplorasi dengan kemampuan yang dia miliki, dan guru-guru mengizinkan hal tersebut terjadi bahkan sangat dihargai...”
Hal serupa juga dinyatakan oleh Y, guru seni musik yang mengajar di
SMA Kalam Kudus Medan:
“...yah kita memang dari sekolah sudah menekankan pada pengembangan kreativitas dalam diri siswa. Kita menyediakan sarana yang diperlukan untuk siswa. Misalnya ketika jam belajar musik, disediakan mic, gitar, piano, drum untuk siswa manfaatkan. Beberapa siswa memanfaatkan sarana itu dan menunjukkan bakat kreativitasnya, tetapi lebih banyak siswa yang tidak mau menunjukkan kemampuan mereka, setidaknya belajar untuk memakai dan mengembangkan alat musik tersebut. Sehingga saya rasa, siswa masih kurang mau untuk mengembangkan dirinya...”
(Komunikasi personal, 20 November 2009)
Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa guru menghargai
kemampuan kreativitas yang dimiliki siswa dan beberapa siswa menunjukkan
kreativitas yang dimiliki akan tetapi lebih banyak siswa yang mengerjakan tugas
seadanya dan tidak mengembangkan kreativitas yang dimiliki. Menurut Munandar
(2009) untuk dapat merangsang anak melibatkan diri dalam kegiatan kreatif, maka
sarana prasarana sangatlah diperlukan. Dalam hal ini, SMA Kalam Kudus Medan
telah menyiapkan sarana yang dibutuhkan siswa untuk mengembangkan
kreativitasnya, tetapi hanya beberapa siswa yang memakai sarana tersebut, dan
lebih banyak siswa yang tidak memanfaatkannya.
Dari data yang diperoleh, diduga bahwa siswa SMA Kalam Kudus
memiliki persepsi positif terhadap suasana kelas, akan tetapi siswa kurang mau
mengembangkan diri dan menunjukkan kemampuan kreativitas yang mereka
miliki di dalam kelas. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara teori
persepsi iklim kelas dengan kreativitas. Ormrod (2003) menyatakan iklim kelas
keamanan untuk mengambil resiko; mengembangkan penguasaan dalam pokok
area tertentu; serta menyediakan waktu bagi siswa untuk berkreasi, dapat
meningkatkan dan mengembangkan kreativitas siswa. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas
dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus
Medan.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi Pendidikan, khususnya bagi
Psikologi Sekolah, berkaitan dengan persepsi terhadap iklim kelas dan kreativitas.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi sekolah
untuk lebih meningkatkan kreativitas siswa yang sangat dibutuhkan demi
kesuksesan siswa dalam menghadapi tantangan zaman.
b. Memberi masukan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan aspek-aspek
D. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang kreativitas,
iklim kelas, persepsi dan siswa SMA.
Bab III: Metode Penelitian
Berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi
variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, lokasi
penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan
sampel, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.
Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian,
dan hasil tambahan penelitian.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, yaitu
kebutuhan akan perwujudan diri (aktualisasi diri) dan merupakan kebutuhan
paling tinggi bagi manusia (Maslow, dalam Munandar, 2009). Pada dasarnya,
setiap orang dilahirkan di dunia dengan memiliki potensi kreatif. Kreativitas dapat
diidentifikasi (ditemukenali) dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat
(Munandar, 2009).
1. Definisi kreativitas
Menurut NACCCE (National Advisory Committee on Creative and
Cultural Education) (dalam Craft, 2005), kreativitas adalah aktivitas imaginatif
yang menghasilkan hasil yang baru dan bernilai. Selanjutnya Feldman (dalam
Craft, 2005) mendefinisikan kreativitas adalah:
“the achievement of something remarkable and new, something which transforms and changes a field of endeavor in a significant way . . . the kinds of things that people do that change the world.”
Menurut Munandar (1985), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat
kombinasi baru, berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Hasil
yang diciptakan tidak selalu hal-hal yang baru, tetapi juga dapat berupa gabungan
(kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Selain itu,
tindakan, ide, atau produk yang mengganti sesuatu yang lama menjadi sesuatu
yang baru.
Guilford (dalam Munandar, 2009) menyatakan kreativitas merupakan
kemampuan berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam
alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya (Guilford, dalam
Munandar 2009). Sedangkan menurut Rogers (dalam Zulkarnain, 2002),
kreativitas merupakan kecenderungan-kecenderungan manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Campbell (dalam Manguhardjana, 1986) mengemukakan kreativitas
sebagai suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya :
a. Baru atau novel, yang diartikan sebagai inovatif, belum ada sebelumnya,
segar, menarik, aneh dan mengejutkan.
b. Berguna atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih praktis,
mempermudah, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan
masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil
yang baik.
c. Dapat dimengerti atau understandable, yang diartikan hasil yang sama
dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu, atau sebaliknya
peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat
diramalkan dan tak dapat diulangi.
Oleh karena beragamnya pendapat para ahli akan pengertian kreativitas,
menghasilkan suatu produk yang baru ataupun kombinasi dari hal-hal yang sudah
ada sebelumnya, yang berguna, serta dapat dimengerti.
2. Ciri-ciri kreativitas
Guilford (dalam Munandar, 2009) mengemukakan ciri-ciri dari kreativitas
antara lain:
a. Kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan untuk
menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara
cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang ditekankan adalah kuantitas, dan
bukan kualitas.
b. Keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi
sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang
bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang
berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-berbeda-beda, serta mampu
menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang
yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan
mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikannya
dengan cara berpikir yang baru.
c. Elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan
gagasan dan menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek,
gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
d. Originalitas (originality), yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas
Menurut Rogers (dalam Munandar, 2009), faktor-faktor yang dapat
mendorong terwujudnya kreativitas individu diantaranya:
a. Dorongan dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik)
Menurut Roger (dalam Munandar, 2009) setiap individu memiliki
kecenderungan atau dorongan dari dalam dirinya untuk berkreativitas,
mewujudkan potensi, mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitas
yang dimilikinya. Dorongan ini merupakan motivasi primer untuk
kreativitas ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan
lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya sepenuhnya (Rogers dalam
Munandar, 2009). Hal ini juga didukung oleh pendapat Munandar (2009)
yang menyatakan individu harus memiliki motivasi intrinsik untuk
melakukan sesuatu atas keinginan dari dirinya sendiri, selain didukung
oleh perhatian, dorongan, dan pelatihan dari lingkungan.
Menurut Rogers (dalam Zulkarnain, 2002), kondisi internal (interal press)
yang dapat mendorong seseorang untuk berkreasi diantaranya:
1) Keterbukaan terhadap pengalaman
Keterbukaan terhadap pengalaman adalah kemampuan menerima
segala sumber informasi dari pengalaman hidupnya sendiri dengan
menerima apa adanya, tanpa ada usaha defense, tanpa kekakuan
terhadap pengalaman-pengalaman tersebut dan keterbukaan terhadap
demikian individu kreatif adalah individu yang mampu menerima
perbedaan.
2) Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi
seseorang (internal locus of evaluation)
Pada dasarnya penilaian terhadap produk ciptaan seseorang terutama
ditentukan oleh diri sendiri, bukan karena kritik dan pujian dari orang
lain. Walaupun demikian individu tidak tertutup dari kemungkinan
masukan dan kritikan dari orang lain.
3) Kemampuan untuk bereksperimen atau “bermain” dengan
konsep-konsep.
Merupakan kemampuan untuk membentuk kombinasi dari hal-hal
yang sudah ada sebelumnya.
b. Dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik)
Munandar (2009) mengemukakan bahwa lingkungan yang dapat
mempengaruhi kreativitas individu dapat berupa lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan kekuatan yang
penting dan merupakan sumber pertama dan utama dalam pengembangan
kreativitas individu. Pada lingkungan sekolah, pendidikan di setiap
jenjangnya mulai dari pra sekolah hingga ke perguruan tinggi dapat
berperan dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas individu.
Pada lingkungan masyarakat, kebudayaan-kebudayaan yang berkembang
(dalam Munandar, 2009) menyatakan kondisi lingkungan yang dapat
mengembangkan kreativitas ditandai dengan adanya:
1) Keamanan psikologis
Keamanan psikologis dapat terbentuk melalui 3 proses yang saling
berhubungan, yaitu:
a) Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan
dan keterbatasannya.
b) Mengusahakan suasana yang didalamnya tidak terdapat evaluasi
eksternal (atau sekurang-kurangnya tidak bersifat atau
mempunyai efek mengancam.
c) Memberikan pengertian secara empatis, ikut menghayati
perasaan, pemikiran, tindakan individu, dan mampu melihat dari
sudut pandang mereka dan menerimanya.
2) Kebebasan psikologis
Lingkungan yang bebas secara psikologis, memberikan kesempatan
kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis
pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya.
Munandar (dalam Zulkarnain, 2002) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kreativitas dapat berupa kemampuan berpikir dan sifat kepribadian
yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kemampuan berpikir terdiri
dari kecerdasan (inteligensi) dan pemerkayaan bahan berpikir berupa pengalaman
kepercayaan diri, sifat mandiri, berani mengambil resiko dan sifat asertif
(Kuwato, dalam Zulkarnain, 2002).
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, terdapat berbagai faktor
lainnya yang dapat menyebabkan munculnya variasi atau perbedaan kreativitas
yang dimiliki individu, yang menurut Hurlock (1993) yaitu:
a. Jenis kelamin
Anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak
perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Untuk
sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak
laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan untuk
mandiri, didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil resiko dan
didorong oleh para orangtua dan guru untuk lebih menunjukkan inisiatif
dan orisinalitas.
b. Status sosial ekonomi
Anak dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih
kreatif daripada anak yang berasal dari sosial ekonomi kelompok yang
lebih rendah. Lingkungan anak kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi
memberi lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan
pengalaman yang diperlukan bagi kreativitas.
c. Urutan kelahiran
Anak dari berbagai urutan kelahiran menunjukkan tingkat kreativitas yang
berbeda. Perbedaan ini lebih menekankan lingkungan daripada bawaan.
memiliki kreativitas yang tinggi dari pada anak pertama. Umumnya anak
yang lahir pertama lebih ditekan untuk menyesuaikan diri dengan harapan
orangtua, tekanan ini lebih mendorong anak untuk menjadi anak yang
penurut daripada pencipta.
d. Ukuran keluarga
Anak dari keluarga kecil bilamana kondisi lain sama cenderung lebih
kreatif daripada anak dari keluarga besar. Dalam keluarga besar, cara
mendidik anak yang otoriter dan kondisi sosioekonomi kurang
menguntungkan mungkin lebih mempengaruhi dan menghalangi
perkembangan kreativitas.
e. Lingkungan kota vs lingkungan pedesaan
Anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif daripada anak
lingkungan pedesaan.
f. Inteligensi
Setiap anak yang lebih pandai menunjukkan kreativitas yang lebih besar
daripada anak yang kurang pandai. Mereka mempunyai lebih banyak
gagasan baru untuk menangani suasana sosial dan mampu merumuskan
lebih banyak penyelesaian bagi konflik tersebut.
4. Tahap-tahap perkembangan kreativitas
Menurut Cropley (1999), terdapat 3 tahapan perkembangan kreativitas
diantaranya:
Tahap ini terjadi pada usia 6–8 tahun. Pada tahap ini, individu
menunjukkan spontanitas dan emosional dalam menghasilkan suatu karya,
yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik dan menyenangkan.
Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan aturan dan
batasan dari luar.
b. Tahap konvensional (Conventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia 9–12 tahun. Pada tahap ini kemampuan
berpikir seseorang dibatasi oleh aturan-aturan yang ada sehingga karya
yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada tahap ini kemampuan kritis
dan evaluatif juga berkembang.
c. Tahap poskonvensional (Postconventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia 12 tahun hingga dewasa. Pada tahap ini,
individu sudah mampu menghasilkan karya-karya baru yang telah
disesuaikan dengan batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional
yang ada di lingkungan.
5. Tes Kreativitas Figural (TKF)
Menurut Munandar, Achir, Winata, Lestari, Rosemini, Rifameutia dan
Hartana (1988), Tes Kreativitas Figural (TKF) merupakan adaptasi dari Circle
Test yang dibuat oleh Torrance. TKF pertama kali digunakan di Indonesia oleh
Utami Munandar pada tahun 1977. Dalam hasil penelitian tersebut diperoleh
norma-norma baku dari TKF untuk siswa kelas 4 SD hingga siswa kelas 3 SMA,
Kreativitas yang diukur dalam TKF memiliki pengertian sebagai
kemampuan untuk membentuk kombinasi-kombinasi baru dari unsur-unsur yang
diberikan yang tercermin dari kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam
memberi gagasan serta kemampuan untuk mengembangkan, merinci, dan
memperkaya (elaborasi) suatu gagasan. Adapun aspek-aspek yang mendasari TKF
sama dengan ciri-ciri kreativitas yang dikemukakan oleh Guilford, yaitu
kelancaran berpikir, keluwesan berpikir, elaborasi dan originalitas (dalam
Munandar dkk., 1988).
B. Persepsi Terhadap Iklim Kelas
Seperti halnya manusia, lingkungan juga memiliki kepribadian.
Lingkungan dapat memberikan kehangatan, semangat atau sebaliknya, kaku dan
menghambat. Persepsi siswa mengenai lingkungan belajar, termasuk ruang kelas,
yang merupakan tempat siswa menghabiskan sebagian besar waktunya,
memberikan arti penting yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa (Moos,
dalam Baek & Choi, 2002).
1. Persepsi
a. Definisi persepsi
Persepsi menurut Irwanto dkk. (1996) adalah proses diterimanya rangsang
(objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu
disadari dan dimengerti. Pengertian terhadap lingkungan dapat diperoleh melalui
menyatakan persepsi merupakan suatu proses di mana individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada
lingkungan. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman
dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian (Chaplin,
1999).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah suatu proses memahami pengalaman tentang objek, peristiwa,
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dari kesan indera dimana terdapat proses
pengorganisasian dan penafsiran untuk memberikan makna.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Menurut Walgito (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
diantaranya :
1) Perhatian yang selektif
Individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja.
Dengan demikian, objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka
sebagai objek pengamat.
2) Ciri-ciri rangsang
Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik
perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil;
yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya
paling kuat.
Seorang seniman mempunyai pola dan citra rasa yang berbeda dalam
pengamatannya dibanding dengan orang yang bukan seniman.
4) Pengalaman terdahulu
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana
seseorang mempersepsi dunianya.
2. Iklim kelas
a. Definisi iklim kelas
Di dalam menjelaskan iklim kelas (classroom climate), beberapa peneliti
memakai istilah lain seperti lingkungan belajar (learning environment), atmosfer,
ekologi, dan lingkungan pertemanan (milieu). Iklim kelas merupakan keadaan
psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil
interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya.
Keadaan psikologis dan sosial yang terbentuk di dalam kelas dinilai lebih penting
daripada lingkungan fisik (Rawnsley & Fisher, 1998). Menurut Bloom (dalam
Tarmidi & Wulandari, 2005), iklim kelas dapat diartikan sebagai kondisi,
pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, dan
intelektual yang mempengaruhi peserta didik.
Wilson (dalam Khine & Chiew, 2001) menyatakan iklim kelas adalah
tempat dimana siswa dan guru berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan
beberapa sumber informasi dalam usaha pencarian ilmu dalam aktifitas belajar.
Iklim kelas juga dapat diartikan sebagai tempat dimana tercipta komunitas di
berbagai aktivitas di dalam kelas; tempat yang memiliki atmosfir yang
menyenangkan dan tidak terancam; tempat untuk mengkomunikasikan
pesan-pesan mengenai permasalahan yang dihadapi siswa di kelas; serta tempat untuk
mengkomunikasikan penerimaan, penghargaan dan perhatian dari guru kepada
siswanya (Omroad, 2003).
Menurut Adelman dan Taylor (dalam Lee, 2005), iklim kelas merupakan
kualitas lingkungan yang dirasakan, yang muncul dari adanya interaksi dari
berbagai faktor seperti aspek fisik, materi, organisasi, operasional, dan sosial.
Iklim kelas memegang peranan penting dalam mempengaruhi keberlangsungan
kegiatan belajar dan perilaku di dalam kelas.
Oleh karena beragamnya pendapat para ahli akan definisi dari iklim kelas,
maka pengertian iklim kelas yang dipakai dalam penelitian ini adalah keadaan
psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil
interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya.
(Rawnsley & Fisher, 1998).
b. Dimensi iklim kelas
Menurut Fraser, Fisher dan McRobbie (dalam Chionh & Fraser, 2009),
dimensi dari iklim kelas dapat dibagi kedalam 7 bagian, diantaranya:
1) Kekompakan siswa (Student cohesiveness)
Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa saling mengenal, membantu dan
supportif satu dengan yang lainnya.
Dimensi ini mengukur sejauh mana guru mau membantu siswa,
memperlakukan siswa sebagai teman, percaya kepada siswa serta menaruh
perhatian kepada siswa.
3) Keterlibatan dalam pembelajaran (Involvement)
Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa menaruh perhatian lebih pada
proses belajar di kelas, berpartisipasi di dalam diskusi, mengerjakan tugas
tambahan, serta merasa nyaman berada di kelas.
4) Investigasi (Investigation)
Dimensi ini menekankan pada sejauh mana kemampuan siswa melakukan
investigasi dan proses mencari tahu (inquiry) digunakan dalam mengatasi
masalah serta dikembangkan di dalam kegiatan belajar di kelas.
5) Orientasi tugas (Task orientation)
Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa merasa penting untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru serta tetap berfokus
kepada tugas.
6) Kerjasama (Cooperation)
Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa saling bekerja sama dan tidak
saling bersaing di dalam belajar
7) Kesetaraan (Equity)
c. Menciptakan iklim kelas yang positif
Menurut Adelman & Taylor (dalam Lee, 2005), untuk mengembangkan
iklim kelas yang positif memerlukan perhatian yang seksama agar dapat
meningkatkan kualitas kehidupan kelas bagi siswa serta guru. Sekolah juga perlu
menciptakan kurikulum yang tidak hanya mendukung kemampuan akademik
siswa tetapi juga kemampuan sosial dan emosional; memberikan kesempatan bagi
guru untuk mengembangkan keefektivitasan dalam cara mengajar; serta
meningkatkan motivasi intrinsik bagi siswa maupun guru. Peneliti lainnya juga
menyarankan beberapa strategi untuk meningkatkan iklim kelas, diantaranya
(Adelman & Taylor, dalam Lee, 2005):
1) Menciptakan atmosfer yang ramah, terbuka dan memiliki harapan
2) Mempersiapkan aturan-aturan agar dapat mencapai tujuan bersama.
3) Meningkatkan partisipasi yang bermanfaat bagi siswa, guru, dan karyawan
di dalam pengambilan keputusan
4) Mengubah kelas yang besar menjadi suatu unit yang kecil, yang dapat
memaksimalkan motivasi intrinsik dalam belajar, dan tidak didasarkan
pada pengelompokkan berdasarkan kemampuan memecahkan masalah
5) Memberikan instruksi dan respon terhadap masalah secara tepat
6) Menggunakan strategi yang bervariasi untuk mencegah dan
menggolongkan masalah sesegera mungkin, setelah masalah itu muncul.
7) Menciptakan lingkungan fisik yang sehat dan menarik, yang cocok serta
3. Persepsi terhadap iklim kelas
Persepsi menurut Irwanto dkk. (1996) adalah proses diterimanya rangsang
(objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu
disadari dan dimengerti. Sedangkan iklim kelas merupakan keadaan psikologis
dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara
siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher,
1998).
Persepsi terhadap iklim kelas dapat diartikan sebagai proses pengenalan
dan pemahaman akan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di
dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa
dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998).
Persepsi positif terhadap iklim kelas ialah persepsi yang menggambarkan
suasana kelas sebagai lingkungan yang positif dan nyaman. Persepsi negatif dari
iklim kelas adalah persepsi yang menggambarkan suasana kelas sebagai
lingkungan yang negatif dan kurang nyaman.
C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)
Masa Sekolah Menengah Atas (SMA), umumnya di Indonesia dimulai dari
usia 15/16 - 17/18. Pada usia tersebut, individu berada pada masa remaja. Masa
remaja menurut Hurlock (1980) terbagi atas 2 bagian yaitu:
1) Remaja awal, yang berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17
2) Remaja akhir, yang bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun,
yaitu usia matang secara hukum.
Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds & Feldman, 1998), masa ini ditandai
dengan berkembangnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak dengan
menggunakan alasan ilmiah. Masa remaja dikarakteristikkan sebagai periode yang
penting, dimana pada tahap ini perkembangan mental yang cepat menimbulkan
perlunya remaja membentuk sikap, nilai dan minat yang baru. Selain itu, pada
masa ini remaja mempersiapkan dirinya dalam karier dan ekonomi (Hurlock,
1980). Hal ini juga diperkuat oleh Papalia, et.al. (1998) yang menyatakan
pendidikan pada masa remaja difokuskan kepada persiapan memasuki universitas
atau bekerja.
D. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Iklim Kelas Dengan Kreativitas
Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kreatif, namun dengan tingkat
atau derajat kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan
oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya kreativitas dan
salah satunya adalah dorongan dari luar individu (lingkungan) (Munandar, 2009).
Dalam lingkungan sekolah, iklim kelas memiliki peranan yang penting
dalam meningkatkan kreativitas (Munandar, 2009). Menurut Ormrod (2003),
iklim kelas yang menghargai cara berpikir dan perilaku kreatif; memberi
kebebasan dan keamanan untuk mengambil resiko; mengembangkan penguasaan
dalam pokok area tertentu; serta menyediakan waktu bagi siswa untuk berkreasi
lingkungan kelas merupakan penilaian paling tepat untuk mengetahui iklim kelas
dikarenakan siswa telah menghadapi lingkungan belajar yang beraneka ragam
serta menghabiskan banyak waktu di dalam kelas sehingga memiliki perasaan
yang akurat terhadap kelas (Nair, 2001).
Menurut Myers (dalam Sampson, 2009), persepsi siswa akan iklim kelas
didasarkan pada seberapa baik guru menciptakan lingkungan yang didalamnya
terdapat hubungan yang bernilai, saling mendorong dan mendukung. Guru juga
memiliki pengaruh dalam mengembangkan atau menghambat kreativitas siswa
dengan menerima atau menolak hasil dari siswa yang tidak biasa dihasilkan oleh
siswa lainnya dan bersifat imajinatif (Woolfolk, 2004). Oleh karena itu dapat
dilihat bahwa guru memegang peranan penting dalam menentukan iklim di dalam
kelas serta kreativitas siswa.
Amar & Strugo (2003) menyatakan perasaan senang akan muncul apabila
siswa berada pada kelas yang mengikutsertakan keterlibatan mereka di dalam
kelas, memiliki hubungan personal antara guru dengan murid, memakai cara
belajar yang inovatif, serta memiliki aturan-aturan tingkah laku yang jelas. Hal ini
berkaitan dengan faktor pengembangan kreativitas melalui pemberian kesempatan
kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran dan
perasaannya (Rogers, dalam Munandar, 2009).
Ormrod (2003) menyatakan siswa akan lebih mengembangkan
kreativitasnya apabila mereka merasa nyaman dalam melakukan aktivitas dan
memperoleh penghargaan dari kelas akan apa yang telah dilakukannya. Hal ini
yang menekankan pada perasaan nyaman yang dirasakan siswa di dalam kelas
(Fraser, et al., dalam Brok 2005).
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian
ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap iklim kelas dengan
kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan. Makna dari adanya hubungan
positif ini adalah semakin positif persepsi siswa terhadap iklim kelas maka
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu
penelitian sebab metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam
pengumpulan data, analisis data dan pengambilan keputusan hasil penelitian.
(Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
korelasional kuantitatif, dimana penelitian korelasional menurut Azwar (2000)
bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat hubungan persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada
siswa SMA Kalam Kudus Medan.
Dalam penelitian korelasional, data yang dikumpulkan hanya untuk
memverifikasi dan menggambarkan ada tidaknya hubungan antarvariabel yang
diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini tidak dapat menerangkan sebab-akibat dari
hubungan di antara variabel (Hadi, 2000).
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah “kreativitas”.
2. Variabel bebas
B. Definisi Operasional
1. Kreativitas
Kreativitas adalah kemampuan untuk membentuk kombinasi-kombinasi
baru dari unsur-unsur yang diberikan yang tercermin dari kelancaran, kelenturan,
dan orisinalitas dalam memberi gagasan serta kemampuan untuk
mengembangkan, memperinci, dan memperkaya (mengelaborasi) suatu gagasan.
Tes kreativitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes Kreativitas
Figural (TKF), yang merupakan adaptasi dari Circle test yang dibuat oleh
Torrance (dalam Munandar dkk., 1988). Tes ini mengungkapkan ciri-ciri dari
kreativitas menurut Guilford (dalam Munandar, 2009), yang diantaranya:
e. Kelancaran berpikir
Merupakan kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari
pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang
ditekankan adalah kuantitas, dan bukan kualitas.
f. Keluwesan berpikir
Yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban
atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah
dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang
berbeda-beda, serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan
atau cara pemikiran.
Yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan
atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi
sehingga menjadi lebih menarik.
h. Originalitas
Yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan
untuk mencetuskan gagasan asli. Orisinalitas juga dapat berupa
kemampuan melihat hubungan-hubungan baru atau membuat
kombinasi-kombinasi antara bermacam-macam unsur/bagian (Munandar dkk., 1988).
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi kreativitas yang
dimiliki individu. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin
rendah kreativitas yang dimiliki individu.
2. Persepsi terhadap iklim kelas
Persepsi terhadap iklim kelas dapat diartikan sebagai proses pengenalan
dan pemahaman siswa akan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang
terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan
antara siswa dengan siswa lainnya (Rawnsley & Fisher, 1998).
Persepsi terhadap iklim kelas diukur dengan menggunakan skala persepsi
terhadap iklim kelas, yang dibuat berdasarkan dimensi-dimensi persepsi terhadap
iklim kelas yang dikemukakan oleh Fraser, Fisher, dan McRobbie (dalamChionh
& Fraser, 2009). Dimensi-dimensi persepsi terhadap iklim kelas diantaranya:
Dimensi ini menekankan pada hubungan antar siswa, sehingga mengukur
sejauh mana siswa mempunyai informasi tentang siswa lainnya serta
saling membantu dan supportif satu sama lain. Misalnya siswa membantu
siswa lain yang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran.
9) Dukungan guru
Dimensi ini menekankan pada perlakuan guru yang positif. Mengukur
sejauh mana siswa menilai guru mau membantu, memperlakukan siswa
sebagai teman, percaya kepada siswa, serta memperhatikan siswa.
Misalnya guru mau berbagi cerita pengalamannya dengan siswa,
menjelaskan pelajaran dengan jelas hingga siswa dapat memahami
pelajaran.
10) Keterlibatan dalam pembelajaran
Dimensi ini menekankan pada keaktifan siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas. Mengukur sejauh mana siswa menaruh perhatian lebih
pada pada proses belajar di kelas, berpartisipasi di dalam diskusi,
mengerjakan tugas tambahan, serta merasa nyaman di kelas. Misalnya,
siswa merasa bahwa kegiatan belajar di dalam kelas menyenangkan.
11) Investigasi
Dimensi ini menekankan pada sejauh mana kemampuan melakukan
investigasi dan proses mencari tahu (inquiry) yang digunakan dalam
mengatasi masalah, dikembangkan di dalam kegiatan belajar di kelas.
masalahnya. Misalnya ketika siswa tidak memahami pelajaran, siswa
menambah pemahamannya dengan mencari dari sumber belajar lainnya.
12) Orientasi tugas
Dimensi ini menekankan pada kemampuan siswa untuk tetap fokus dan
bertahan dalam menyelesaikan tugas hingga selesai. Mengukur sejauh
mana siswa memandang penting untuk menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan guru, dan tetap berfokus pada tugas. Misalnya siswa mampu
mempertahankan perhatiannya dalam mengerjakan tugas meskipun
teman-teman mengajaknya bercerita.
13) Kerjasama
Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa mampu saling bekerja sama dan
tidak bersaing secara negatif di dalam kelas. Misalnya siswa aktif
mengerjakan tugas kelompok, memberitahu kesalahan teman di dalam
mengerjakan tugas.
14) Kesetaraan
Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa diperlakukan sama oleh guru.
Misalnya pemberian pujian dan pertanyaan secara adil, memberikan
penilaian secara objektif kepada semua siswa.
Persepsi terhadap iklim kelas dapat dilihat dari skor nilai yang diperoleh
dari skala tersebut. Jika semakin tinggi nilai skala, maka semakin positif persepsi
siswa terhadap iklim kelas. Demikian pula sebaliknya, jika semakin rendah nilai
C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi dan sampel
Menurut Hadi (2000), populasi adalah sejumlah penduduk atau individu
yang paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Sementara sampel adalah
sebagian dari populasi yang digunakan untuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri
yang dikendalikan dari populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA
Kalam Kudus Medan yang berjumlah 309 orang.
2. Metode pengambilan sampel
Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (dalam Hasan,
2002) merupakan proses pengambilan suatu bagian dari populasi atau semesta.
Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari
populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai,
dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar benar-benar
mewakili populasi.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
probability. Dalam teknik probability setiap unsur (anggota) populasi diberikan
peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel (Sugiarto dkk., 2003).
Teknik probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random
sampling, yaitu semua elemen populasi memiliki kesempatan yang sama untuk
dipilih sebagai sampel (Hasan, 2002).
Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara random dengan teknik tabel
dimasukkan ke dalam suatu tabel dan diambil secara acak. Hal ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Sevilla dkk., (1993) yang menyatakan bahwa teknik
tabel nomor acak merupakan teknik yang paling sistematis dalam perolehan
unit-unit sampel melalui acak.
3. Jumlah sampel penelitian
Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa
jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000)
menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada
menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Penelitian ini menggunakan sampel
sebanyak 138 orang. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA
Kalam Kudus Medan dan berusia antara 15 sampai 18 tahun.
D. Alat Ukur yang Digunakan
Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian
yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti
(Hadi, 2000). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode skala dan tes psikologi.
Menurut Hadi (2000), skala psikologis merupakan suatu alat ukur dengan
menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang telah disiapkan dan disusun
sedemikian rupa sehingga responden hanya tinggal memilih salah satu dari pilihan
yang tersedia. Skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi
1. Subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya
2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada penyelidik adalah benar
dan dapat dipercaya
3. Interpretasi subyek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh penyelidik.
Dalam penelitian ini, digunakan 1 buah skala, yaitu skala psikologi yang
mengukur persepsi terhadap iklim kelas, dan 1 buah tes psikologi, yaitu Tes
Kreativitas Figural (TKF).
1. Skala persepsi terhadap iklim kelas
Persepsi terhadap iklim kelas disusun berdasarkan dimensi-dimensi
persepsi terhadap iklim kelas, yang dibuat oleh Fraser, Fisher dan McRobbie
(dalam Chionh & Fraser, 2009) Dimensi-dimensi persepsi terhadap iklim kelas
antara lain: kekompakan siswa, dukungan guru, keterlibatan dalam pembelajaran,
investigasi, orientasi tugas, kerjasama, kesetaraan.
Model skala persepsi terhadap ikim kelas dibuat berdasarkan model skala
Likert. Setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).
Selain aitem-aitem tersebut, di dalam alat ukur juga tertera identitas diri yang
harus diisi oleh responden. Identitas diri tersebut meliputi nama, jenis kelamin,
kelas, usia, dan urutan kelahiran.
Skala disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan
tidak mendukung (unfavorable). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 – 4. Bobot