• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengobatan Dermatomikosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengobatan Dermatomikosis"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOBATAN DERMATOMIKOSIS

Penyaji:

dr.Ramona Dumasari Lubis,SpKK

NIP.132 308 599

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

PENDAHULUAN

Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal kulit dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang merupakan tempat berkembangnya koloni jamur. 1

Pada saat ini penemuan obat-obat anti jamur yang baru telah mengalami perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan diharapkan prevalensi penyakit infeksi jamur dapat berkurang.

Sekarang ini ada empat golongan obat-obat anti jamur yang utama yaitu poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat anti jamur yang bukan kelompok diatas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat-obat anti jamur topikal. Pengetahuan tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum, farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat-obat anti jamur sangat diperlukan dalam memberikan pengobatan. 2

I. OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL

Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik. 3

Jenis golongan obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu : 3-6 1. Poliene : Nystatin

2. Azole - Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol, Sulkonazol, Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol, Sertakonazol

3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin

4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin

GOLONGAN POLIENE

(3)

secara klinis juga terbatas yaitu untuk pengobatan infeksi yang disebabkan Candida albicans dan Candida spesies yang lain. 4

Nystatin4-9

Nystatin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai anti jamur, diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951 dan merupakan antibiotik group poliene.

Untuk pengobatan candida spesies, nystatin dapat digunakan secara topikal pada kulit atau membran mukosa (rongga mulut, vagina) dan dapat juga diberikan secara oral untuk pengobatan kandidosis gastrointestinal.

Nystatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadang dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.

Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan tablet nystatin 500000 unit setiap 6 jam dan untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppositories (100000 setiap unit) yang diberikan selama lebih kurang 14 hari.. Suspensi nystatin oral terdiri dari 100000 unit / ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir (newborn) : 1 ml, infant yang usianya lebih tua : 2 ml dan dewasa : 5 ml.

GOLONGAN AZOL – IMIDAZOL

Golongan azol – imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti jamur golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol, mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. 4

Klotrimazol 4-10

(4)

digunakan klotrimazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Ekonazol4-7,10

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berturut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Mikonazol4-6,9,10

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 200 atau 100 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 7 atau 14 hari berturut-turut. Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan oral gel (125 mg) 4 kali sehari. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol cream 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Ketokonazol 3-7,10

(5)

Sulkonazol 5,6,12

Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneus. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1% cream Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.

Oksikonazol 4-6,13

Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan oksikonazol 1% cream ataau lotion. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 1 tatau 2 kali sehari selama 4 mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali sehari selama 2 minggu.

Terkonazol4-6,14

Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, dapat digunakan terkonazol 0,4% vaginal cream (20 gr terkonazol)

yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, terkonazol 0,8% vaginal cream (40 mg terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal suppositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.

Tiokonazol4-6,15

(6)

sehari selama 2-4 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.

Sertakonazol 16

Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandida spesies, digunakan sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.

GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN

Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene eposidase. Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur dan akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik terhadap Candida albicans. 4

Naftifin4-6,8,17

Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida spesies. Untuk pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1% cream dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu.

Terbinafin4-6,8,18

Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin 1% cream yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari, untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu.

Butenafin 4-6,19,20

(7)

dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.

GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN

Amorolfin4-6,21

Amorolfine merupakan derivat morpolin, bekerja dengan cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas, dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama > 6 bulan. Untuk pengobatan onikomikosis digunakan amorolfine 5% nail laquer, untuk kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.

Siklopiroks4-6,22-24

Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisida, sporosida dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.

Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail laquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan-lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ± 0,25 mikrogram tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.

(8)

membentuk lapisan tipis. Lakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan ke dua dan seminggu sekali pada bulan ke tiga hingga bulan ke enam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklopiroks tidak lebih dari 6 bulan.

Haloprogin 4-6,8

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.

II. OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK

Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu :

1. GRISEOFULVIN

2-3,6-9,25-27

Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicilium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai anti jamur pada tumbuhan

dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Pada tahun 1959, diketahui griseofulvin ternyata efektif untuk pengobatan infeksi jamur superfisial pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.

Mekanisme kerja

Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.

Aktifitas spektrum

Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies Epidermophyton floccosum, Microsporum spesies dan Trichophyton spesies, yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.

Farmakokinetik

(9)

dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari, dan ± 50 % dari dosis oral dapat di deteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.

Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi, dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan level griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan di ditentukan dengan plasma free concentration. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan dideposit di sel prekusor keratin kulit (stratum korneum) dan terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4 - 8 jam.

Griseofulvin di metabolisme di hepar menjadi 6 – desmethyl griseofulvin, dan akan di ekskresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis akan di jumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.

Dosis

Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu mikrosize (mikrokristallin) dan ultramikrosize (ultramikrokristallin). Bentuk ultramikrosize, penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk mikrosize.

Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans.

Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500 -1000 mg / hari (mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330 – 375 mg / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Anak - anak ≥ 2 tahun 10 - 15 mg / kg BB / hari (mikrosize), dosis tunggal atau terbagi dan 5,5 - 7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2 - 4 minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4 - 6 minggu, untuk tinea pedis selama 4 - 8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3 - 6 bulan.

Efek samping

(10)

Interaksi obat

Absorbsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital tetapi efek tersebut dapat di kurangi dengan cara mengkonsumsi griseofulvin bersama makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin yang merupakan antikoagulan. Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin dan oral kontrasepsi.

2. KETOKONAZOL

2,3,6-9,25,28-30

Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan di Amerika Serikat pada tahun 1981. Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol yang pertama diberikan secara oral.

Mekanisme kerja

Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14- -demethylase yang bertanggungjawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran jamur.

Aktifitas spektrum

Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum,

Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap

dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.

Farmakokinetik

Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang luas antara 37% - 97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan berlanjut 7-10 jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada pH dibawah 3 dan akan lebih mudah diabsorbsi.

Pasien yang menderita achlorhydia, harus mengkonsumsi ketokonazol bersama dengan cairan yang asam dan pada pasien yang mendapat obat - obat seperti antasid, antikolinergik, antiparkinson dan antagonis H2 reseptor, sebaiknya

(11)

Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3 - 4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan.

Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum, kelenjar keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (CSF). Namun, ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda CSF rendah.

Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak aktif dan diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.

Dosis

Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3 – 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2 - 4 minggu, tinea versikolor selama 5 -10 hari sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikosis biasanya tidak direkomendasikan.

Efek samping

Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai. Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik adalah idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi ketokonazol (>800 mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan testikular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.

Interaksi obat

(12)

juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes.

Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan efektifitas ke dua obat.

3. ITRAKONAZOL

2,3,6-9,25,28-31

Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.

Mekanisme kerja

Mekanisme kerja itrakonazol dengan cara menghambat 14- -demethylase yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung jawab untuk merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur.

Aktifitas spektrum

Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur,

Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii.

Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous moulds dan dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.

Farmakokinetik

Absorbsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%) tetapi absorbsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam.

(13)

kaki itrakonazol masih dapat ditemukan selama 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 3 bulan.

Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di ekskresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan di buang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol di metabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P- 450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif.

Dosis

Dosis pengobatan untuk dermatofitosis adalah 100 mg/hari. Lama pengobatan untuk tinea korporis atau tinea kruris adalah selama 2 minggu tetapi untuk tinea manus dan tinea pedis adalah selama 4 minggu. Pengobatan untuk pitirisis versikolor dengan dosis 200 mg/hari selama 1 minggu.

Untuk pengobatan onikomikosis dengan dosis 200 mg selama 3 bulan atau menggunakan dosis denyut yaitu kuku jari tangan sebanyak 2 pulsa itrakonazol dengan dosis 400 mg/hari selama 1 minggu dan 3 minggu tanpa pengobatan sedangkan kuku jari kaki sebanyak 3 pulsa atau lebih.

Pengobatan kandidosis kutis dengan dosis 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis orofaringeal 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis vaginalis 2x200 mg selama 1 hari atau 200 mg selama 3 hari.

Sedangkan untuk infeksi deep mikosis seperti aspergillosis, blastomikosis dan histoplasmosis diberikan dosis itrakonazol sebanyak 200-400 mg/hari.

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus dan ruam allergi.

(14)

Interaksi obat

Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-antagonis, omeprazol dan lansoprazol.

Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan suatu inhibitor dari sistem enzim human hepatic sitokrom P-450-3A4 sehingga pemberian itrakonazol bersama dengan obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat meningkatkan konsentrasi azol, interaksi obat ataupun ke duanya. Itrakonazol dapat memperpanjang waktu paruh dari obat-obat seperti terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan warfarin.

4. FLUKONAZOL

2,3,6-8,25,29,30,32,33

Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di perkenalkan pertama kali di Eropa kemudian di Amerika Serikat.

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-α-demethylase dan bersifat fungistatik.

Aktifitas spektrum

Flukonazol paling aktif terhadap Candida spesies, Coccidioides imminitis dan Cryptococcus neoformans. Mempunyai aktifitas yang terbatas terhadap Blastomyces

dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan Sprothrix schenckii. Flukonazol juga

efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif untuk moulds termasuk Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Walaupun flukonazol efektif terhadap Candida spesies tetapi resisten untuk Candida krusei dan Candida glabrata.

Farmakokinetik

(15)

Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14 hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak ditemukan di dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi tinggi. Ikatan flukonazol dengan protein biasanya rendah (12%) sehingga sirkulasi obat yang tidak berikatan tinggi.

Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan diekskresi melalui urin dimana 80 % dari dosis obat akan di ekskresi tanpa perubahan dan 11% di ekskresi sebagai metabolit.

Dosis

Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 3 minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis digunakan dosis tunggal 150 mg. Flukonazol juga efektif terhadap Cryptococcus neoformans dan merupakan terapi pilihan utama untuk cryptococcal meningitis pada pasien ADIS diberikan dengan dosis 6 mg/kg BB atau 400 mg /hari untuk berat badan 70 kg.

Efek samping

Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek samping lain yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders seperti Steven Johnson-sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.

Interaksi obat

Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol, amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin, theofilin, warfarin dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan disaritmia jantung yang serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek hipoglikemi.

(16)

5. VORIKONAZOL

6

Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral.

Mekanisme kerja

Vorikonazol merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α-demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.

Aktifitas spktrum

Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Cryptococcus neoformans, Fusarium species, Histoplasma capsulatum dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.

Farmakokinetik

Pemberian vorikonazol secara oral di absorbsi dengan cepat dan hampir sempurna (sekitar 96%). Dua jam setelah mengkonsumsi vorikonazol dengan dosis 400 mg dosis tunggal, diharapkan akan dicapai konsentrasi serum 2 mg/L. Absorbsi vorikonazol akan berkurang bersama makanan yang mengandung lemak tetapi tidak dipengaruhi perubahan pH lambung. Vorikonazol mempunyai volume distribusi yang luas (4,6L/kg BB) yang dapat di lihat pada jaringan dan diperkirakan berikatan dengan protein sekitar 58%. Vorikonazol di ekskresi dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan melalui urin < 2% dari dosis yang di berikan.

Vorikonazol di metabolisme melalui sistem enzim human hepatik sitokrom p-450. Lebih dari 80% dosis oral akan dibuang sebagai metabolit melalui urin. Eliminasi waktu paruh berkisar 6-9 jam dengan dosis parenteral 3 mg/kg atau 200 mg dengan dosis oral. Terdapat 3 sistem enzim hepatik sitokrom yang mempunyai peranan dalam proses metabolisme vorikonazol yaitu Cyp-2C19, 2C9 dan CYP-3A4.

Dosis

(17)

Pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg dapat diberikan dosis oral sebanyak 200 mg dengan interval 12 jam sedangkan berat badan yang kurang dari 40 kg dapat diberikan dosis 100 mg dengan interval 12 jam. Obat harus dikonsumsi 1 jam sebelum atau sesudah makan.

Efek samping

Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu demam, adanya ruam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit abdominal. Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati selama pengobatan.

Interaksi obat

Absorbsi vorikonazol tidak menglami penurunan jika diberikan bersama dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung.

Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim enzim human hepatik sindrom P-450-3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum sirolimus, terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid dan quinidin sehingga sebaiknya vorikonazol tidak di konsumsi bersama dengan obat diatas. Vorikonazol dapat menunjukkan penurunan konsentrasi serum siklosporin dan takrolimus sehingga level dan dosis obat harus di monitor. Vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum warfarin yang berfungsi sebagai antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang mendapat ke dua obat tersebut harus di monitor. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme lovastatin sehingga dosis obat tersebut harus disesuaikan. Vorikonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi tolbutamid dan glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemik. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme anti-HIV protease inhibitor seperti saquinavir, amprenavir dan nelfenavir sedangkan ritonavir, amprenavir dan saquinavir dapat menghambat metabolisme golongan azol. Vorikonazol juga sebaiknya tidak diberikan bersama dengan carbamazepin, phenobarbital, rifabutin dan rifampicin.

6. TERBINAFIN

2,3,6-8,25,30,31,34-36

(18)

Mekanisme Kerja

Terbinafin bekerja menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran plasma sel jamur), dengan cara menghambat kerja squalene epoxidase (merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk mengubah squalene menjadi squalene-2,3 epoxide). Dengan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti, disebut dengan efek fungistatik dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur disebut dengan efek fungisidal.

Aktifitas spektrum

Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan bersifat fungistatik untuk Candida albicans tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida seperti Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis species, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii dan beberapa

dermatiaceous moulds.

Farmakokinetik

Terbinafin di absorbsi dengan baik jika diberikan dengan cara oral yaitu > 70% dan akan tercapai konsentrasi puncak dari serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorbsi obat.

Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada pada dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam ; eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg /hari terminal waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di dalam plasma. Di dalam dermis- epidermis, rambut dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata yaitu 24-28 hari.

(19)

dapat terdeteksi pada bagian distal dari nail plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan level obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan.

Terbinafin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.

Dosis

Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam bentuk parenteral.

Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari tetapi pada pasien dengan ganguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin clearence < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 μmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis diatas. Pengobatan tinea pedis selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih.

Efek samping

Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di abdominal sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan hepar dan meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi kuku. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar yang kronik atau aktif.

Interaksi obat

Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah akan menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan suatu inducer yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Level darah pada terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama cimetidin yang merupakan sitokrom P-450 inhibitor.

(20)

7. AMFOTERISIN B

2,6-9,25,30,37

Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dari Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan

sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960.

Amfoterisin B deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering menimbulkan efek toksik terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak (lipid-based formulations) yaitu (1) Liposomal amfoterisin B (AmBisome), obat ini diselubungi dengan phospholipid yang mengandung liposome. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B kolloidal dispersion (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan cholesterol sulphate yang membentuk potongan lemak yang kecil.

Mekanisme kerja

Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi rusak, hilangnya unsur-unsur penting sel, menggangu metabolisme dan matinya sel jamur.

Efek lain pada membran sel jamur yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.

Aktifitas spektrum

Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap : Aspergillus species, Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Paracoccidioides

brasiliensis, Penicillium marneffei.

Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur, Scedosporium species dan Trichosporon asahii biasanya resisten.

Farmakokinetik

(21)

Formula konvensional

Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kgBB akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan lebih dari 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan pada hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2% dari dosis) sedangkan pada cairan cerebrospinal (CSF) kurang dari 5% konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase ke dua ± 24-48 jam dan waktu paruh fase ke tiga ± 2 minggu.

Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)

Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti amfoterisin B lipid kompleks (ABLC), akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil liposome akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama.

Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kgBB dan 25-60 mg/L untuk dengan dosis 5 mg/kgBB. Level 5-10 mg/L dapat di deteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kg BB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B berakhir waktu ± 100-150 jam.

Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks setelah pemberian parenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, dimana level maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah pemberian dosis 5 mg/ kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formulasi konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks berakhir ± 170 jam.

(22)

sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.

Dosis

Formula konvensional

Kebanyakan pasien dengan infeksi deep mikosis diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B selama 6-10 minggu (tergantung dari kondisi pasien). Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB.

Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu di test dengan dosis 1 mg amphotericin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian di observasi dan di monitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi seperti hipotensi yang berat atau reaksi anaphylaxis.

Dosis obat dapat ditingkatkan lebih dari 1 mg/kg BB tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan level obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.

Formula dengan dasar lemak (lipid-base formulations)

Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB tetapi dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg/kg BB atau lebih. Formula ini harus di infus dalam waktu 2 jam, jika dapat diterima maka waktu pemberian dapat di persingkat menjadi 1 jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kg BB/hari.

Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5 mg/kg BB dan di infuskan dengan rata-rata 2,5 mg/kg BB/jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan.

(23)

Efek samping

Formula konvensional

Pemberian formula konvensional dengan cara intravenous dapat segera menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku, biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang sedangkan dan lokal phlebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5 mg/kg BB/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potassium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul normokromik dan normositik anemia yang sedang.

Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)

Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amphotericin B lipid kompleks dan amfoterisin B kolloidal dispersion lebih sedikit dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping pada ginjal dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan : kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B kolloidal dispersion sebanyak 15 %, liposomal amfoterisin B sebanyak 20% sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%. Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan liver trasaminase, alkalin phosphatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B di jumpai test fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50% tetapi biasanya tidak menetap.

Interaksi obat

(24)

8. CASPOFUNGIN

6

Caspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0, yang

merupakan hasil fermentasi lipopeptid jamur Glarea lozoyensis.

Mekanisme Kerja

Caspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glucan yang merupakan komponen dinding sel jamur.

Aktifitas spektrum

Caspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Caspofungin efektif terhadap Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus tetapi tidak efektif terhadap dermatofit. Caspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dematiaceous molds. Caspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida species dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi terhadap Candida parapsilosis dan Candida krusei kurang efektif dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.

Farmakokinetik

Pemberian caspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 10 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat, akan menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan di distribusikan ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi di jumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan di ekskresi tanpa ada perubahan melalui urin. Caspofungin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%). Waktu paruh di awali sekitar 9-11 jam dan berakhir pada 40-50 jam.

Dosis

Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus di infuskan dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan dosis caspofungin diturunkan menjadi 35 mg dan selanjutnya 70 mg loading dose.

Efek samping

(25)

Interaksi obat

Pemberian caspofungin bersama cyclosporin dapat meningkatkan trasaminase 2-3 kali lipat dari batas normal dan akan menurun apabila ke dua obat tersebut dihentikan.

9. FLUSITOSIN

6,7,9,30,38

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintetis dari fluorinated pirimidin yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

Mekanisme kerja

Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis DNA.

Aktifitas spektrum

Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap Candida spesies, Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea

spesies dan Phialophora verrucosa.

Farmakokinetik

Pemberian flusitosin secara oral absorbsinya cepat dan hampir sempurna. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin dosis 25 mg/kg BB dengan interval 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak plasma 30-40 mg/L dan untuk pengulangan dosis berikutnya setiap 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak plasma 70-80 mg/L.

Flusitosin terdistribusi secara luas terutama pada jaringan dan cairan melebihi 50% konsentrasi darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah (sekitar 12%) sehingga menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak berikatan. Lebih dari 90% flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa mengalami perubahan.

Dosis

(26)

Efek samping

Efek samping yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan diare. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat kembali normal jika obat di hentikan. Peninggian level transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.

Interaksi obat

Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan immunosupresif atau sitostatik. Pemberian zidovudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amphoterisin B dan flusitosin mempunyai efek aditif atau sinergis terhadap Candida spesies dan Cryptococcus neoformans namun efek nefrotoksik amphotericin B dapat berkurang ketika flusitosin di ekskresi.

KESIMPULAN

(27)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nolting S, Fegeler K. Medical Mycology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 1986 : 131-62.

2. Kuswadji, Widaty S.Obat anti jamur. Dalam : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K editor. Dermatomikosis superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 : 99-106.

3. Smith EB. The treatment of dermatophytosis : Safety considerations. Journal of the American Academy of Dermatology, November 2000, part 3, volume 43, number 5.

4. Brennan B, Leyden JJ. Overview of topical therapy for common superficial fungal infections and the role of new topical agents. Journal of the American Academy of Dermatology, February 1997, part 1, volume 36, number 2.

5. Weintein A, Berman B. Topical Treatment of Common Superficial Tinea Infection, May 15, 2002, volume 65, number 10.

6. Richardson MD, Warnock DW. Anti fungal drugs. In : Fungal Infection Diagnosis and Management, second edition, Blackwell Publishing Ltd , 1993 : 17-43.

7.

Tripathi KD. Antifungal Drugs. In: Essentials of Medical Pharmacology, 4th edition, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 1999 : 770-78.

8. Kwon-Chung KJ, Bennet JE. Priciples of Antifungal Therapy. In : Medical Mycology, Philadelphia London, 1992 : 81-100.

9. Jawetz E. Antifungal Agents. In : Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology, sixth edition, Appleton & Lange, 1995 : 723-29.

10.Hainer BI. Dermatophyte Infections. Practical Therapeutics, January 1, 2003, volume 67, number 1. www.aafp.org.

11.Ketoconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.

12.Sulconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.

13.Oxiconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.

(28)

15.Tioconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.

16.Sertaconazole. April 2004. Available at http:// www.vapbm.org. 17.Naftin-Naftifin HCL 1% cream. Merz Pharmaceutical, 2004. 18.Lamisil cream, Terbinafin hydrochloride. Available at http:// www.Inhousepharmacy.com

19.Adiguna MS. Pengobatan Dermatofitosis dengan Butenafin. MDVI Vol 28 No1, Januari 2001.

20.Nahm WK, Orengo I, Rosen T. The Antifungal agent Butenafine manifest anti-inflamatory activity in vivo. Journal of the American Academy of Dermatology, August 1999, part 1, volume 41, number 2.

21.Lewis RE. Amorolfine. Available at

http://www.doctorfungus.org/thedrugs/Amorolfine.htm.

22.Bohn M, Kraemer KT. Dermatopharmacology of ciclopirox nail laquer topical solution 8% in the treatment of onychomycosis. Journal of the American Academy of Dermatology, October 2000, volume 43, number 4.

23.Adiguna MS. Onikomikosis dan pengobatannya dengan cat kuku siklopiroks. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 49, Nomor 7, Juli 1999.

25.Shrum JP, Milikan LE. Oral Antifungal Therapy. In : Shalita AR, Norris DA. Drug Therapy in Dermatology, 2000 : 79-97.

26.Griseofulvin (Systemic). In : Medline Plus drug Information. Available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/uspdi/202268.html.

27.Develoux M. Griseofulvin. E2 MED. Volume 128, No 12, December 2001.

28.Como J, Dismuskes WE. Azole antifungal drugs. In : Dismukes W, Pappas PG, Sobel JD. Clinical Mycology. Oxford University Press, 2003 : 64-80.

29.Guzzo CA, Lazarus GS, Werth VP. Dermatological Pharmacology. In : Goldman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, Ninth edition, Mc-Graw-Hill, 1606-07.

30.Al-Mohsen I, Hughes WT. Systemic antifungal therapy : past, present and future. Available at http://www.kfshrc.edu.sa/annals/181/97-129.html.

(29)

32.Elewski BE. Once-weekly fluconazole in the treatment of onychomycosis : Introduction. Journal of the American Academy of Dermatology, June 1998, part 2, volume 38, number 6.

33.Fluconazole. In : AIDS info, December 1, 2003. Available at http://aidsinfo.nih.gov.

34.Bouyssou-Gauthier ML, Bonnethlanc JM. Pharmacology Terbinfine. E2MED.

Volume 126, No 1, June 1999.

35.Lewis RE. Terbinafine. Available at http://www.doctorfungus.org/thedrugs/Terbinafine.htm.

36.Gupta AK, Shear NH. Terbinafine : An update. Journal of the American Academy of Dermatology, December 1997, volume 37, number 6.

37.Chapman SW, Cleary JD, Rogers PD. Amphotericin B. In : Dismukes W, Pappas PG, Sobel JD. Clinical Mycology. Oxford University Press, 2003 : 33-45.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian yang telah peneliti lakukan, dari 6 edisi majalah Al- Wa‟ie terbit pada tahun 2016 yang dijadikan sebagai sampel penelitian menunjukkan bahwa pesan

15 Saya tidak dapat menghubungkan ide yang saya punya dengan materi relasi dan fungsi menggunakan pendekatan metaphorical thinking. 16 Saya menyumbangkan ide dan pemikiran

alat komunikasi atau HP android dan juga jaringan internet yang harus selalu aktif. Ada juga yang berpendapat bahwa awal diadakannya pembelajaran daring senang

Kata Kanekes sendiri masih menjadi perdebatan bagi mereka juga para pencari informasi, berasal dari istilah apa merekapun tidak banyak tahu dan berkomentar,

Terdapat pengaruh substitusi tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum tidak sosoh terhadap daya terima pada biskuit berdasarkan warna, aroma, rasa, tekstur, dan secara

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil Karya Tulis Ilmiah

Tujuan penelitian ini adalah : (a) merakit mesin pendingin dengan siklus kompresi uap yang digunakan untuk mendinginkan minuman dengan pipa diantara kompresor dan

Strategi Guru Meningkatkan rasa Percaya Diri Siswa Untuk Bertanya Dalam Kegiatan Pembelajaran Agama Kristen (Suatu Studi di SD Inpres Oe Fatu Desa Pusu Kecamatan Amanuban Barat