• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia"

Copied!
655
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENGORGANISASIAN PENGENDALIAN

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA

ERLY SUKRISMANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)

ABSTRACT

ERLY SUKRISMANTO. Organizing System of Forest and Land Fire Control

Organization in Indonesia. Under the direction of HADI S. ALIKODRA,

BAMBANG H. SAHARJO, and PRIYADI KARDONO

Forest/land fire control in Indonesia has still been managed under an unclear organizing system connecting national, provincial and local level. This study aims at designing a conceptual model of organizing system of forest and land fire control. The model considers the fire situation, the positions and roles of currently involved organizations, the relationships among those organizations, and the effectiveness of key organizations. This study employes some methods of analysis including: ISM for the position and role of organizations, descriptive for analyzing the organizations’ profile, adaptation of Bolland and Wilson’s procedur for organizational relationships, and AHP for the organizational effectiveness. The research was held in Jakarta, Riau and West Kalimantan in mid 2009 until mid 2010. The analysis of fire situation realizes that the use of hotspot as an indicator of forest/land fire is supported. It also recognizes that in the last ten years, the number of hotspots tends to incline by 39,36% per year for the whole country, 47,15% for Riau and 111,71% for West Kalimantan. The study reveals that among the organizations involved in forest/land fire control, those managing forestry, agriculture, the environment and disaster take key position and roles in either one or more fields of fire control including prevention, suppression, and post-fire treatment. These organizations are then taken into consideration to play the main roles in the proposed organizing system. Ineffectual coordination among the observed organizations both within the same and between levels is also exposed. Most of the key organizations at national and provincial levels are categorized effective, although they are at low level effectiveness. While at district level, almost all key organizations are still ineffective. The study proposes a conceptual model of organizing system, integrating the forest/land fire control responsibility under the forestry agency at national, provincial and district levels. As the decentralization and autonomy policies require, the relationships among these forest/land fire control organizations between levels are in the form of coordination rather than commando. The implementation of proposed organizing system requires some conditions including: proper understanding on the principles of decentralization and autonomy and a strong legal foundation and commitment for establishing and developing the system. Meanwhile, upon its establishment, the system needs to determine clear visions and objectives, develop its capacities, enhance its interorganizational relationships, and provide any appropriate funding schemes in order to smoothly run in managing the forest/land fire control.

(5)

ERLY SUKRISMANTO. Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, BAMBANG H. SAHARJO, dan PRIYADI KARDONO.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih dikelola dengan sistem pengorganisasian yang belum jelas, baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Penelitian ini bertujuan pokok untuk merancang sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, melalui analisis terhadap situasi kebakaran, posisi dan peranan organisasi, hubungan antar organisasi, dan efektivitas organisasi-organisasi di tingkatan-tingkatan tersebut.

Penelitian ini menggunakan perangkat analisis yaitu interpretive structural modeling (ISM) untuk posisi dan peranan organisasi, metode deskriptif untuk mengetahui tingkat pemahaman terhadap peranan dan hubungan antar organisasi, coordination network analysis yang diadaptasi dari Bolland dan Wilson (1994) untuk mengetahui pola hubungan antar organisasi, serta analytical hierarchy process (AHP) untuk menentukan tingkat kepentingan dan bobot dari komponen-komponen pengukuran efektivitas organisasi. Data penelitian meliputi data sekunder berupa profil organisasi dan berbagai dokumen yang menggambarkan situasi dan kondisi organisasi dan lokasi penelitian. Data primer diperoleh dengan angket penelitian yang disebarkan kepada responden yang diambil secara purposive sampling dan simple random sampling. Lokasi penelitian dipilih Jakarta dan sekitarnya untuk tingkat nasional, Riau dan Kalimantan Barat untuk tingkat provinsi, dan empat lokasi untuk tingkat kabupaten/kota yaitu Kota Dumai, Kabupaten Inderagiri Hulu, Kabupaten Kubu Raya, dan kabupaten Ketapang

Analisis terhadap situasi kebakaran hutan/lahan mendapati bahwa titik panas (hotspot) dapat diterima sebagai indikator kebakaran hutan/lahan dengan tingkat korelasi 53%. Jumlah hotspot dalam 10 tahun (2000 – 2009) berkisar antara 11.583 dan 146.264 titik dengan rata-rata 50.689 titik per tahun dan masih cenderung meningkat dengan rata-rata kenaikan 39,36% untuk seluruh Indonesia, 47,15% di Riau dan 111,71% di Kalimantan Barat.

(6)

Studi ini memperoleh bukti empiris tentang masih lemahnya koordinasi antar organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Kelemahan terjadi terutama di Kalimantan Barat di mana hubungan horizontal pada satu tingkatan maupun vertikal antara tingkat kabupaten/kota dengan tingkat provinsi tidak terjadi pada ketiga aspek baik bantuan layanan, administrasi, maupun perencanaan. Sementara itu, di Riau, hubungan vertikal antara ketiga tingkatan dan hubungan horizontal pada wilayah yang sama telah terjadi di ketiga aspek. Kelemahan terjadi hanya pada hubungan horizontal antar kabupaten/kota.

Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan departementasi yang diterapkan pada pengorganisasian yang ada, yaitu di Kalimantan Barat berdasarkan pada wilayah pemangkuan sedangkan di Riau berdasarkan pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan belum optimalnya pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan karena masih kurangnya keterpaduan dalam kebijakan (policy integration) dan perencanaan serta lemahnya aliran bantuan secara horizontal maupun vertikal.

Organisasi-organisasi yang terlibat aktif dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut pengukuran terhadap lima komponen efektivitas organisasi yaitu: visi dan misi, struktur organisasi, SDM, sarana dan prasarana, dan mekanisme kerja, di tingkat nasional dan tingkat provinsi pada umumnya sudah termasuk dalam kategori efektif, kecuali Disbun Provinsi Riau yang tergolong kurang efektif, sedangkan di tingkat kabupaten/kota masih tergolong kurang efektif kecuali BLHD Kabupaten Ketapang yang tergolong efektif. Meskipun sudah efektif, skornya masih berada di batas bawah level tersebut yaitu berkisar dari 22,7 sampai dengan 26,3 dari skor pada kategori efektif yaitu 21,5 – 32,25. Skor per komponennya berkisar antara 36,31% sampai dengan 74,49% atau rata-rata 58,98% di tingkat nasional, 54,06% di tingkat provinsi dan 47,04% di tingkat kabupaten/kota. Persentase tersebut menggambarkan level kapasitas yang dimiliki organisasi dari kapasitas minimum untuk dapat mengelola pengendalian kebakaran secara efektif.

Hasil dari analisis tersebut di atas dan kajian terhadap sistem serupa di beberapa negara, serta prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi pertimbangan dalam penyusunan model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Studi ini mengusulkan tiga alternatif pengorganisasian, di mana ketiganya menghapus sistem pengorganisasian yang berlaku saat ini yang melibatkan secara langsung berbagai organisasi dan memberikan kewenangan dan tanggung jawab hanya pada satu organisasi atau instansi pemerintah di setiap tingkatannya. Alternatif I menunjuk instansi yang dimaksud yaitu Kementerian Kehutanan di tingkat nasional untuk membentuk Pusdalkarhutlanas dan instansi kehutanan masing-masing di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota untuk membentuk UPT-PKHL. Alternatif II meletakkan seluruh urusan kebakaran hutan dan lahan pada organisasi yang menangani bencana yaitu BNPB dan BPBD, sedangkan alternatif III, yang paling disarankan, merupakan perpaduan alternatif I dan II, di mana pengorganisasian menggunakan alternatif I untuk status normal sampai dengan adanya penetapan oleh Presiden RI mengenai status darurat nasional bencana kebakaran hutan dan lahan.

(7)

persepsi yang tepat tentang otonomi daerah dan desentralisasi, landasan yang kuat untuk pembentukan sistem pengorganisasian, dan komitmen yang kuat untuk pengembangan organisasi. Setelah organisasi terbentuk perlu dipenuhi pula beberapa kebutuhan antara lain: penetapan tujuan dan sasaran organisasi, struktur organisasi yang lengkap tetapi ramping, pembangunan kapasitas organisasi, peningkatan hubungan antar organisasi, dan skema pendanaan yang menjamin tersedianya anggaran secara memadai.

(8)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,penyusunan laporn, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Penulisan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

SISTEM PENGORGANISASIAN PENGENDALIAN

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA

ERLY SUKRISMANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Prof. Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Fakultas Kehutanan IPB

2. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. Fakultas Kehutanan IPB

Penguju pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Asep Karsidi, M. Sc.

Kepala Badan Koordinasi Survei dan Perpetaan Nasional 2. Dr. Henry Bastaman

(11)

Judul Disertasi: Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Nama: Erly Sukrismanto NIM: E061060131

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Bambang H. Saharjo, M. Agr.

Anggota

Dr. Drs. Priyadi Kardono, M. Sc.

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Nareswara Nugroho, M. S.

Tanggal Lulus: 5 November 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr.

(12)
(13)
(14)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah berupa disertasi berjudul Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Komisi Pembimbing yang terdiri dari Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S., Prof. Dr. Ir. Bambang H. Saharjo, M. Agr., dan Dr. Drs. Priyadi Kardono, M.Sc. atas komitmen, dedikasi, ketekunan dan kesabaran dalam mengarahkan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada para penguji yaitu Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. pada Ujian Tertutup serta Dr. Asep Karsidi, M.Sc. Kepala Bakosurtanal dan Dr. Henry Bastaman, Deputi VII KLH pada Ujian Terbuka, atas segala koreksi, kritik, saran, dan masukan bagi perbaikan disertasi ini.

Penyelesaian studi dan tugas akhir ini juga tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik di lingkungan kerja penulis maupun di Kampus Institut Pertanian Bogor dan di lokasi-lokasi penelitian. Untuk itu, penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, utamanya kepada:

1. Kepala dan staf Pusdiklat Kehutanan atas pemberian kesempatan, bea siswa dan pelayanan selama tugas belajar;

2. Direktur dan staf Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan atas ijin dan dukungan fasilitas bagi kelancaran tugas belajar;

3. Para pimpinan dan staf instansi Pemerintah Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Barat atas perhatian dan dukungan selama pengumpulan data; 4. Para pimpinan dan staf instansi Pemerintah Kabupaten Inderagiri Hulu,

Kota Dumai, Kabupaten Kubu Raya, dan Kabupaten Ketapang atas perhatian dan dukungan selama pengumpulan data;

5. Pimpinan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau dan Balai KSDA Kalimantan Barat beserta staf atas perhatian dan dukungan fasilitasi;

6. Keluarga besar penulis, khususnya istri Kompol Lily Sudarwati, SPd, MH. Dan anak-anakku Anindya Sylva Lestari dan Nurfayyaza Sylva Foresta atas cinta kasih, dorongan semangat dan segala bentuk dukungan yang tak pernah putus;

7. Rekan-rekan mahasiswa SPS-IPB yang se-angkatan, yang bersama-sama di PS-IPK, dan adik-adik angkatan yang telah berbagi banyak hal.

(15)

Semoga Allah SWT memberi mereka kemudahan dalam kehidupan dan pahala yang sebaik-baiknya sesuai dengan amal ibadah dan kebaikan yang telah mereka berikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara.

Bogor, Januari 2012

Erly Sukrismanto

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 10 November 1962 sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara dari keluarga guru yaitu Ayah H. Darnawi Soekiswo (almarhum) dan Ibu Hj. Sri Sulastri (almarhumah). Penulis memperoleh gelar sarjana pada tahun 1986 dari Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan gelar Master of Science pada tahun 1995 dari Department of Forestry and Natural Resources, School of Agriculture, Purdue University, Indiana, Amerika Serikat. Pada tahun 2006 penulis mendapat tugas belajar dari Departemen Kehutanan untuk jenjang Strata III (S3) pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja di Departemen Kehutanan mulai tahun 1988 sebagai staf pada Seksi Pengamanan Fauna dan sejak tahun 1990 penulis bertugas di bidang kebakaran hutan sampai sekarang dengan penempatan sebagai staf Seksi Kebakaran Hutan (1990-1993), staf Seksi Pemadaman Kebakaran (1995-1998), Kepala Seksi Pencegahan Kebakaran (1998), Kepala Seksi Pemadaman Kebakaran (2001-2005), dan Kepala Seksi Pencegahan Kebakaran (2005-2006).

Di dalam masa kerja tersebut, penulis juga menjalani penugasan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan yaitu sebagai National Consultant untuk Food and Agriculture Organization (FAO) dalam proyek kerjasama Departemen Kehutanan dan FAO (1996), tenaga pendamping (counterpart) untuk Forest Fire Prevention and Management Project (FFPMP) kerjasama Departemen Kehutanan dengan Japan International Cooperation Agency/ JICA (1996–1997) dan Integrated Forest Fire Management (IFFM) Project kerjasama Departemen Kehutanan dengan GTZ/KfW Jerman (1997-1998), serta sebagai Regional Consultant of the Asian Development Bank (ADB) pada Regional Technical Assistance (RETA) Project for ASEAN Secretariate (1998-2001). Di samping itu, penulis juga menjadi pengajar atau instruktur pada berbagai pelatihan mengenai kebakaran hutan/lahan yang diadakan oleh Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat sejak tahun 1991.

Beberapa pelatihan di bidang kebakaran hutan yang telah diikuti penulis yaitu Pelatihan Penerapan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (Departemen Kehutanan, 2004), Fire Pump Operational Training (Waterous Co. USA dan Dinas Kebakaran DKI Jakarta, 2005), Forest Fire Pump Training (Waterous Co. USA dan Pusat Pelatihan Kebakaran DKI Jakarta, 2005), dan Attestion de Formation Aux Premiers Secours atau Pelatihan P3K (Departement Du Var, Rep. Perancis dan Puslatkar DKI Jakarta, 2005).

(17)
(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………...……… xv

DAFTAR TABEL ……… xix

DAFTAR GAMBAR ………... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xxiv

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………..……. 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ……… 5

1.3. Tujuan Penelitian ………... 6

1.4. Manfaat Penelitian ………. 6

1.5. Kebaruan (Novelty) ……….……….. 6

1.6. Kerangka Pemikiran ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 11

2.1. Kebakaran Hutan/Lahan ………. 11

2.1.1. Pengertian dan Tren Kebakaran Hutan/Lahan ……… 11

2.1.2. Penyebab Kebakaran Hutan/Lahan ………. 13

2.1.3. Dampak Kebakaran Hutan/Lahan ………... 15

2.1.4. Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan ………... 19

2.2. Organisasi dan Manajemen ………... 22

2.2.1. Pengertian ………. 22

2.2.2. Pengorganisasian dan Peranan Organisasi …………. 27

2.2.3. Hubungan Antar Organisasi ………... 29

2.2.4. Pengembangan Organisasi dan Efektivitas Organisasi ………... 34

2.3. Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia dan Beberapa Negara ………... 39

2.4. Perangkat Analisis ………. 43

2.4.1. Interpretive Structural Modeling ……….... 43

2.4.2. Analytical Hierarchy Process ………. 45

2.5. Sistem dan Model Konseptual ……….. 45

(20)

3.1. Lingkup Penelitian ……… 49

3.6.1. Instrumen Penelitian ………... 53

3.6.2. Analisis Posisi dan Peranan Organisasi ……….. 54

3.6.3. Analisis Hubungan Antar Organisasi ………. 57

3.6.4. Analisis Efektivitas Organisasi ……….. 61

3.6.5. Analisis Titik Panas (Hotspot) ……… 63

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………... 65

4.1. Tingkat Nasional ……… 65

4.2. Tingkat Provinsi ……… 65

4.2.1. Provinsi Riau ……….. 65

4.2.2. Provinsi Kalimantan Barat ………. 68

4.3. Tingkat Kabupaten/Kota ……… 70

4.3.1. Kota Dumai ……… 70

4.3.2. Kabupaten Inderagiri Hulu ………. 71

4.3.3. Kabupaten Ketapang ……….. 73

4.3.4. Kabupaten Kubu Raya ……… 74

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 75

5.1 Situasi Kebakaran Hutan/Lahan ……… 75

5.1.1. Korelasi antara jumlah hotpsot dengan luasan kebakaran hutan/lahan ……… 76

5.1.2. Korelasi antara jumlah hotspot dengan curah hujan ... 78

5.2 Posisi dan Peranan Organisasi ………... 84

5.2.1. Posisi dan peranan menurut profil organisasi ………. 84

5.2.2. Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden praktisi ………... 100

(21)

5.3 Hubungan Antar Organisasi ……….. 132

5.3.1. Pola hubungan antar organisasi ………. 133

5.3.2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap mekanisme hubungan antar organisasi ………... 149

5.4 Kapasitas Organisasi ………. 159

5.5 Rancang Bangun Sistem Pengorganisasian ………... 176

5.5.1. Pertimbangan dalam perancangan ……….. 176

5.5.2. Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan ……… 185

5.5.3. Integrasi dan koordinasi ………. 201

5.5.4 Prasyarat Bagi Sistem Pengorganisasian ……… 208

5.5.5 Kebutuhan Organisasi Setelah Terbentuk …………. 212

VI. SIMPULAN DAN SARAN ……….. 221

6.1 Simpulan ……… 221

6.2 Saran ……….. 222

DAFTAR PUSTAKA ……….. 225

(22)
(23)
(24)
(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Curah hujan rata-rata di Kabupaten Inderagiri Hulu 2005 –

2009 ………. 72

2 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh

Indonesia ………. 77

3 Jumlah hotspot menurut peruntukan hutan dan lahan seluruh

Indonesia ………. 81

4 Luas kebakaran di kawasan hutan dan lahan seluruh Indonesia . 83 5 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat

nasional menurut profil organisasi ……….. 92 6 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat

provinsi dan tingkat kabupaten/kota menurut profil organisasi .. 94 7 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat

nasional menurut hasil pengisian angket penelitian ……… 110 8 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat

provinsi menurut hasil pengisian angket penelitian ……… 110 9 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat

kabupaten/kota menurut hasil pengisian angket penelitian ……. 111 10 Hasil identifikasi organisasi pemeran utama dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut pendapat pakar .. 129 11 Jumlah organisasi yang pimpinannya dikenali dan yang

mengenali pimpinan-pimpinan organisasi lain ………... 147 12 Kisaran untuk penilaian efektivitas organisasi ……… 161 13 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat nasional …... 161 14 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat provinsi …... 162 15 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat

kabupaten/kota ……… 162

16 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per

(26)

17 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per

komponen pada organisasi di tingkat provinsi di Riau ………... 164 18 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per

komponen pada organisasi di tingkat provinsi di Kalimantan

Barat ……… 165

19 Persentase skor peroleh terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat kabupaten/kota di

Provinsi Riau ………... 166 20 Persentase skor peroleh terhadap skor maksimum per

komponen pada organisasi di tingkat kabupaten/kota di

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran untuk penelitian ………... 10

2 Segitiga api ……… 21

3 Peta Provinsi Riau (Sumber: Website Resmi Pemerintah

Provinsi Riau 66

4 Peta Provinsi Kalimantan Barat (Sumber: Pusat Informasi

Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat 2010) ……….. 69 5 Grafik jumlah akumulasi hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan

seluruh Indonesia (Sumber: Dit. PKH 2010) ……….... 77 6 Jumlah akumulasi titik panas (hot spot) tahunan di Provinsi Riau

dan Provinsi Kalimantan Barat (sumber: Dit. PKH 2010)………. 79 7 Grafik jumlah akumulasi hotspot di kawasan hutan dan lahan di

luar kawasan hutan seluruh Indonesia tahun 2006 – 2010

(Sumber: Dit. PKH 2011) ……….. 82 8 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Riau (Sumber:

Peraturan Gubernur Riau nomor 6 tahun 2006) ……… 95 9 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Kalimantan Barat

(Sumber: Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 164

tahun 2002) ……… 96

10 Keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam dalkarhutla ….. 101 11 Keterlibatan responden dari organisasi di tingkat nasional dalam

kegiatan dalkarhutla ……….. 102 12 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat

nasional dalam sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran

hutan/lahan ……… 104

13 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat

nasional dalam pencegahan kebakaran ………. 106 14 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat

nasional dalam pemadaman kebakaran ………. 107 15 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat

nasional dalam pasca-kebakaran ………... 109 16 Posisi organisasi di tingkat nasional dalam perumusan kebijakan.

(a) Matrik DP-D menunjukkan posisi relatif organisasi terhadap organisasi lain; (b) Diagram ISM menunjukkan struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat dalam perumusan kebijakan

(28)

17 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di

tingkat provinsi ………. 114 18 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada

perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di

tingkat kabupaten/kota ……….. 115 19 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat

nasional dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran

hutan/lahan ……… 116

20 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat provinsi dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran

hutan/lahan ……… 118

21 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pencegahan

kebakaran hutan/lahan ……….. 120 22 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat

provinsi dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan ……….. 122 23 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi yang terlibat

dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan di tingkat

kabupaten/kota ………. 122

24 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pemadaman

kebakaran hutan/lahan ………... 123 25 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi

di tingkat provinsi dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan …. 124 26 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat

kabupaten/kota dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan …….. 125 27 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam

rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutan/lahan ………... 126 28 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam

yustisi kebakaran hutan/lahan ………... 127 29 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi

di tingkat provinsi dalam yustisi kebakaran hutan/lahan ……….. 128 30 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi

di tingkat kabupaten/kota dalam yustisi kebakaran hutan/lahan ... 129 31 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada

tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Riau .. 134 32 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada

tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi

Kalimantan Barat ……….. 135 33 Diagram hubungan administratif (pencapaian tujuan) antar

organisasi pada tingkat nasional ………

(29)

34 Diagram hubungan administratif antar organisasi pada tingkat

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Riau ……… 140 35 Diagram hubungan administratif antar organisasi pada tingkat

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, (a) di Provinsi Riau dan

(b) di Provinsi Kalbar ……… 141 36 Komposisi responden (dalam %) tentang pengetahuannya

terhadap visi dan misi organisasinya ………. 143 37 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Riau ………. 145 38 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Kalimantan

Barat ……….. 146

39 Pendapat responden di tingkat nasional tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional ……… 151 40 Pendapat responden di Provinsi Riau tentang adanya mekanisme

hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan ……… 152

41 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan ………. 153 42 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat provinsi dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan ………. 153 43 Hubungan bantuan layanan menurut pendapat responden ……… 158 44 Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di

Indonesia sekarang ……… 193 45 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan di Indonesia alternatif 1 ……… 195 46 Tahapan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran

hutan/lahan alternatif 1……….. 196 47 Urutan langkah dalam proses pelaporan dan tindakan mobilisasi

sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan ………. 197 48 Model konseptual sistem pengirganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan di Indonesia alternatf 2 ………. 199 49 Model konseptual sistem pengirganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan di Indonesia alternatf 3 ………. 202

(30)
(31)
(32)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Jumlah sebaran titik panas (hotspots) yang terpantau pada Stasiun

Bumi Satelit NOAA Kementerian Kehutanan dalam 10 tahun

terakhir ……… 241

2 Daftar organisasi/instansi yang diamati ……….. 243 3 Angket penelitian untuk pendapat responden tentang peranan

organisasi dan hubungan antar organisasi ………... 247 4 Angket penelitian untuk pendapat responden pakar tentang posisi

dan peranan organisasi ………... 261 5 Angket penelitian untuk analisis efektivitas organisasi ………….. 277 6 Angket penelitian untuk pembobotan komponen-komponen

efektivitas organisasi dengan responden pakar ………... 283 7 Prosedur pengukuran efektivitas organisasi ……… 285 8 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi tingkat nasional,

provinsi dan kabupaten/kota menurut profil organisasi ………….. 291 9 Hasil pengolahan angket penelitian dari responden pakar dengan

ISM ……….. 293

10 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi tingkat nasional,

provinsi dan kabupaten/kota menurut pendapat pakar ……… 299 11 Kedudukan Pusdalkarhutlanas di dalam struktur organisasi

Kementerian Kehutanan ……….. 301 12 Struktur organisasi Pusdalkathutlanas ………. 302 13 Kedudukan UPT-PKHL di dalam struktur organisasi Dinas

Kehutanan atau instansi yang ditunjuk di tingkat provinsi dan

(33)
(34)
(35)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan/lahan merupakan masalah di hampir semua negara di dunia. Levine et al. (1999, diacu dalam Doscemascolo 2004) memperkirakan sekitar 20 – 40 juta hektar hutan tropis dunia terbakar setiap tahun. Wilayah ASEAN juga merupakan kawasan yang rawan kebakaran hutan/lahan. Hal tersebut masih akan menjadi ancaman serius sampai beberapa waktu ke depan, sehingga ASEAN harus lebih serius untuk menangani masalah kebakaran di tingkat regional (Qadri 2001).

Indonesia yang memiliki kawasan hutan dan lahan yang relatif paling luas di wilayah tersebut tentunya sangat berkepentingan dengan masalah kebakaran tersebut. Frekuensi kebakaran hutan/lahan di Indonesia masih relatif tinggi. Indikatornya adalah masih relatif tingginya jumlah akumulasi titik-titik panas (hotspots) dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, data dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (Dit. PKH) tahun 2009 menunjukkan bahwa selama hampir satu dekade tahun terakhir (2000 – 2008) jumlah rata-rata hotspots per tahun adalah 122.000 titik. Kecenderungan perkembangan jumlah hotspot ke depan dan akurasi hotspots sebagai indikator adanya kebakaran hutan/lahan masih memerlukan kajian lebih lanjut.

(36)

dari Singapura berdasarkan citra satelit SPOT (Sisteme Pour L’observation de la Terre) mencatat luasan yang terbakar tahun 1997 sekitar 1,5 juta hektar di Sumatera dan 3,0 juta hektar di Kalimantan, sedangkan kebakaran tahun 1998 tercatat 2,5 juta ha di Kalimantan Timur. WWF (World Wildlife Fund) Indonesia menghitung antara 1,97 juta dan 2,3 juta hektar terbakar di Kalimantan antara Agustus – Desember 1997 (Barber & Schwithelm 2000). FFPCP (Forest Fire Prevention and Control Project), sebuah proyek kerja sama Dep. Kehutanan dengan Uni Eropa di bidang kebakaran hutan di Sumatera Selatan menghitung luas kebakaran tahun 1997 berdasarkan citra satelit seluas 2,3 juta hektar hanya untuk Sumatera (Ramon & Wall 1998). Data mengenai luasan kebakaran hutan/lahan tersebut memang masih diperdebatkan karena pengukuran secara akurat di lapangan belum dilakukan terhadap setiap kejadian kebakaran, namun data tersebut memberikan gambaran mengenai besarnya permasalahan kebakaran hutan/lahan di negeri ini.

Perhatian terhadap kebakaran hutan/lahan berkaitan erat dengan dampaknya terhadap banyak hal, terutama isu perubahan iklim global dan emisi gas rumah kaca. Laporan DFID (Department for International Development) dan World Bank (2007) mengenai Indonesia menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca terbesar adalah dari deforestrasi dan konversi lahan. Kebakaran hutan/lahan merupakan kontributor utama, yakni 57%, bagi deforestasi dan konversi lahan di negara ini. Kebakaran hutan/lahan juga melepaskan sekitar 1400 metrik ton karbon per tahun, jauh lebih tinggi daripada emisi dari sektor energi yang hanya sekitar 275 metrik ton.

(37)

setara dengan sekitar 70,1% dari nilai PDB (produk domestik bruto) sektor Kehutanan tahun 1997.

Selain Indonesia, negara-negara tetangga juga mengalami kerugian dari dampak kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Sebagai contoh, laporan Dit. PKH tahun 2003 menyebutkan akibat kebakaran tahun 1997-1998 di Indonesia, Singapura menderita kerugian sekitar US$ 60 juta di sektor pariwisata, dan Malaysia dirugikan sedikitnya US$ 9 milyar. Klaim-klaim kerugian tersebut membuat Indonesia secara politik merugi di mata masyarakat internasional. Tekanan politik terhadap Pemerintah RI akan terus meningkat jika dikaitkan dengan dampak kebakaran terhadap perubahan iklim global seperti telah dikemukakan di atas. Apalagi dengan adanya pernyataan Bank Dunia bahwa kebakaran hutan/lahan di Indonesia pada tahun 1997 telah menyumbangkan kira-kira 30% dari seluruh emisi karbon global atau lebih dari seluruh emisi karbon buatan manusia dari Amerika Utara (Barber & Schweithelm 2000).

Permasalahan kebakaran hutan/lahan di Indonesia akan tetap ada selama penyebab-penyebabnya belum ditangani dengan benar. Penyebab utama kebakaran hutan/lahan di negara ini adalah tersedianya unsur-unsur penyebab kebakaran yakni bahan bakar, oksigen, dan panas, yang dikenal sebagai segitiga api, yang tetap melimpah pada ruang dan waktu yang sama dan pada kondisi yang memungkinkan terjadinya penyalaan. Iklim tropis menyediakan oksigen dan panas yang melimpah, sedangkan fragmentasi lahan mengakibatkan banyak lahan bera yang ditumbuhi semak belukar yang menyediakan bahan bakar yang melimpah (Chandrasekharan 1999).

(38)

terhadap lahan basah (wetlands), kebakaran tak disengaja (accidental fires), dan pembakaran sebagai senjata.

Kajian oleh antara lain Bompard dan Guizol (1999), Simorangkir (2001), Dorcemascolo (2004), dan Kartodihardjo (2006) menyatakan bahwa penyebab-penyebab tersebut di atas terjadi karena masih lemahnya kelembagaan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Kelembagaan mencakup aturan main dan organisasi (Kartodihardjo 2006). Kajian-kajian terhadap kelembagaan pengendalian kebakaran hutan/lahan seperti tersebut di atas lebih menyoroti sisi aturan main. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kebakaran hutan/lahan telah cukup banyak diterbitkan antara lain: Undang-Undang (UU) nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU nomor 24 tahun 2007 tentang Bencana Alam, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 41 tahun 1999 tentang Pencemaran Udara, PP nomor 4 tahun 2001 tentang pencemaran akibat kebakaran hutan dan/atau lahan, dan PP nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Kesimpulannya adalah bahwa berbagai aturan main di tingkat peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai, tetapi tindak lanjut terhadap aturan-aturan tersebut, terutama pelaksanaan atau penegakannya belum optimal.

Studi-studi tersebut di atas dan beberapa studi lain seperti Qadri (2001) dan Barber dan Schweithelm (2001) menyatakan bahwa kelemahan pada tindak lanjut dan penegakan aturan main berkaitan dengan kelemahan pada sisi lain dari kelembagaan yakni organisasi. Penelitian mengenai organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan masih sulit ditemukan sehingga masih sulit untuk menilai pengaruh faktor organisasi tersebut terhadap efektivitas pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan. Namun demikian, masih tingginya frekuensi kejadian kebakaran hutan/lahan kemungkinan besar disebabkan juga oleh masih lemahnya organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan. Oleh karena itu sangat perlu untuk dilakukan penelitian terhadap sisi organisasi tersebut.

(39)

sistem pengorganisasian (Hasibuan 2008). Studi terhadap suatu sistem pengorganisasian mencakup kajian terhadap berbagai aspek hubungan antar anggota di dalam organisasi tersebut (Hasibuan 2008). Penelitian terhadap sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dilakukan dengan menganalisis tiga aspek yaitu: (1) posisi dan peranan organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan, (2) koordinasi antar organisasi tersebut, dan (3) kapasitas organisasi-organisasi untuk melaksanakan pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Hingga saat ini belum ada kajian terhadap sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Pembangunan sistem pengorganisasian tersebut sejauh ini belum memiliki landasan ilmiah berdasarkan bukti-bukti empiris hasil penelitian. Oleh sebab itu, penelitian-penelitian yang dapat memberikan landasan tersebut sangat diperlukan, dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pembangunan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan ke depan yang lebih efektif dan efisien.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitiannya adalah bagaimana seharusnya sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan kajian terhadap:

1. Kebakaran hutan/lahan yang dilihat melalui perkembangan jumlah titik panas . 2. Posisi dan peranan organisasi-organisasi dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

3. Koordinasi di antara organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.

(40)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan pokok penelitian adalah menemukan model pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Tujuan pokok tersebut dapat dicapai melalui analisis terhadap hal-hal berikut:

1. Kondisi kebakaran hutan/lahan berdasarkan indikator titik panas (hotspots). 2. Posisi dan peranan organisasi-organisasi di tingkat nasional, provinsi dan

kabupaten/kota dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.

3. Hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

4. Efektivitas organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan bahan pertimbangan dan masukan bagi pembuat keputusan baik di pemerintahan tingkat nasional, pemerintahan tingkat provinsi maupun pemerintahan tingkat kabupaten/kota, dalam perumusan dan penetapan berbagai kebijakan, khususnya di bidang pengendalian kebakaran hutan/lahan. 2. Mendorong dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para pihak

tentang peranan dan tanggung jawabnya dalam penanganan kebakaran hutan/lahan.

3. Pengembangan keilmuan khususnya di bidang organisasi dan pengendalian kebakaran hutan/lahan.

(41)

Penelitian ini menemukan beberapa hal baru dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, antara lain:

1. Metode untuk analisis hubungan antar organisasi yang masih relatif langka terutama yang dapat menggambarkan interaksi antar organisasi dalam perencanaan atau agenda setting, pertukaran sumber daya, dan membantu pencapaian tujuan organisasi. Penelitian ini mengadaptasi metode yang digunakan oleh Bolland dan Wilson (1994) dengan membuat analogi prosedurnya untuk penelitian mengenai pengorganisasian di bidang pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hal yang sama mungkin dapat dilakukan untuk penelitian-penelitian mengenai pengorganisasian di bidang-bidang yang lain;

2. Metode pengukuran efektivitas organisasi pemerintah yang masih relatif terbatas. Metode yang tersedia pada umumnya adalah untuk mengukur efektivitas organisasi yang berorientasi laba (profit organizations) atau perusahaan-perusahaan komersial dan organisasi nirlaba (non-profit organizations). Kedua kategori organisasi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari organisasi pemerintah, yang tidak berorientasi laba dan tidak mengumpulkan dana dari sumbangan-sumbangan untuk membiayai kegiatannya. Metode untuk pengukuran efektivitas organisasi yang berkaitan dengan pemerintahan sudah ada, namun penerapannya bukan untuk organisasi secara individual melainkan pemerintah secara keseluruhan dalam kaitannya dengan perbandingan efektivitas pemerintahan antar negara. Penelitian ini menyusun sebuah metode pengukuran efektivitas organisasi pemerintah secara individual, namun penerapannya masih terbatas pada bidang pengendalian kebakaran hutan/lahan. Penerapan untuk bidang-bidang yang lain masih memerlukan pengkajian lebih lanjut.

(42)

ketiga tingkatan tersebut dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembangunan sistem tersebut khususnya di Indonesia agar penanganan pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

1.6 Kerangka Pemikiran

Gambar 1 menunjukkan konsep pemikiran mengenai kebakaran hutan/lahan yang mencakup tiga hal pokok yaitu dampak, penyebab, dan indikator. Namun penelitian ini berfokus pada penyebab kebakaran dengan memperhatikan indikator kebakaran yaitu titik panas (hotspots).

Akumulasi titik panas yang masih relatif tinggi menjadi indikator masih tingginya frekuensi kebakaran hutan/lahan. Hal ini dapat disebabkan secara teknis oleh kurang terkendalinya unsur-unsur penyebab kebakaran hutan/lahan yang dikenal sebagai segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas. Kurang terkendalinya unsur-unsur tersebut di samping disebabkan oleh faktor alam, menurut berbagai studi juga disebabkan terutama oleh faktor manusia, dan hal tersebut berkaitan dengan lemahnya pranata atau kelembagaan.

Indikator kebakaran berupa titik panas menggambarkan kondisi unsur-unsur dari segitiga api di lapangan. Gambaran kondisi fisik lapangan tersebut dianalisis untuk memahami skala kebakaran pada masa lalu, masa kini dan kecenderungan di masa yang akan datang serta kaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Di samping pengaruh dari faktor-faktor teknis yang berkaitan dengan segitiga api dan metode pengendaliannya, kondisi kebakaran tersebut juga akan memberikan gambaran mengenai kinerja dari faktor non-teknis berupa kelembagaan pengendalian kebakaran.

(43)

posisi dan peranan organisasi (Wehmeyer et al. 2001; Colman & Han 2005; Hasibuan 2008; McNamara 2010), jaringan koordinasi antar organisasi (Ulrich 1997; Wehmeyer et al. 2001; Hasibuan 2008), dan efektivitas organisasi (Brown & Harvey 2006; Philbin & Mikush 2008). Kondisi kebakaran hutan/lahan sampai sekarang yang mengindikasikan adanya kelemahan sistem pengorganisasian mungkin disebabkan oleh masih belum optimalnya ketiga komponen pengorganisasian tersebut. Penelitian ini menganalisis masing-masing dari ketiga komponen tersebut.

Hasil analisis terhadap posisi dan peranan organisasi, jaringan koordinasi antar organisasi dan efektivitas organisasi tersebut selanjutnya digunakan untuk merancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan cocok untuk Indonesia. Di samping itu, perancangan sistem pengorganisasian tersebut juga memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil analisis terhadap sistem-sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang berlaku di beberapa negara lain.

(44)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian (Sumber: Wehmeyer et al. 2001; Ulrich 1997; Philbin & Mikush 2008).

(45)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan/Lahan

Kebakaran hutan dan lahan merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia yakni tahun 1995 setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 188/Kpts-II/1995 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (Pusdalkarhutnas). Salah satu butir dari Keputusan Menteri Kehutanan tersebut adalah perintah kepada gubernur untuk membentuk pusat pengendalian kebakaran hutan daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Para gubernur kemudian membentuk organisasi yang dimaksud, tetapi dengan memasukkan kata ‘lahan’ sehingga terbentuk pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah (pusdalkarhutlada) di hampir setiap provinsi. Sejak itulah istilah kebakaran hutan dan lahan digunakan, yang di dalam disertasi ini disebut kebakaran hutan/lahan sesuai dengan istilah di dalam Penjelasan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Pembacaannya adalah “kebakaran hutan dan lahan.”

2.1.1. Pengertian dan Tren Kebakaran Hutan/Lahan

Istilah kebakaran hutan/lahan digunakan secara eksklusif di Indonesia. Istilah tersebut digunakan untuk menegaskan perbedaan lokasi terjadinya kebakaran yaitu di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Suprayitno dan Syaufina (2008) membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat atau lahan berhutan. Beberapa negara seperti Thailand, Amerika Serikat dan Kanada menggunakan istilah kebakaran hutan (forest fire) atau kebakaran lahan liar (wildland fire), sedangkan Australia menggunakan istilah kebakaran semak (bush fire).

(46)

direncanakan atau pembakaran terkendali (controlled burning atau prescribed burning).

Kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia berkaitan erat dengan kondisi lingkungan, terutama cuaca. Beberapa kejadian kebakaran besar atau yang tersebar luas terjadi bersamaan dengan terjadinya fenomena El-Nino. Qadri (2001) menjelaskan fenomena El-Nino sebagai suatu fenomena periodik yang berkaitan dengan kondisi lautan di mana penghangatan yang kuat dan meluas terjadi di lautan tropis bagian atas Pasifik timur. El-Nino berpengaruh pada penguatan suatu arus hangat lautan, yang disebut arus balik ekuator di Pasifik tengah, yang menyebabkan terganggunya mekanisme cuaca keseluruhan. Kejadian El-Nino berkaitan dengan suatu perubahan dalam tekanan atmosfer yang dikenal sebagai Southern Oscillation, dan oleh sebab itu fenomena tersebut secara bersama-sama disebut sebagai El-Nino Southern Oscillation atau ENSO. ENSO inilah yang menyebabkan musim kering yang lebih panjang bagi sebagian besar wilayah Indonesia.

Musim kering yang lebih panjang memicu lebih banyaknya kejadian kebakaran hutan/lahan. Qadri (2001) dan Suratmo (2003) mencatat bahwa El-Nino yang terjadi pada tahun-tahun 1982-1983, 1994, dan 1997-1998 telah mengakibatkan kebakaran yang relatif lebih luas dari pada kebakaran di luar kondisi El-Nino. Hal ini dapat dilihat dari data yang disampaikan Bappenas (1999) bahwa luas kebakaran di luar kondisi El-Nino rata-rata di bawah satu juta hektar, sedangkan pada kondisi El-Nino jauh di atas satu juta, seperti data berikut: 1983 seluas 3,2 juta hektar, 1987 seluas 66 ribu hektar, 1991 seluas 500 ribu hektar, 1994 seluas 4,87 juta hektar, dan 1997/1998 seluas 9,5 juta hektar.

(47)

depan tampaknya masih meningkat sejalan dengan meningkatnya faktor-faktor penyebab kebakaran.

Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003) menjelaskan titik panas sebagai hasil penginderaan jauh sistem termal dengan menggunakan citra NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration – Advance Very High Resolution Radiometer), sebuah satelit lingkungan yang bernaung di bawah NESDIS (National Environmental Satelitte Data and Information Services), Department of Commerce, Amerika Serikat. Titik-titik panas dipantau melalui satelit tersebut pada saluran 3 dengan panjang gelombang 3,55 µ m – 3,92 µ m, saluran 4 dengan panjang gelombang 10,3µ m – 11,3µ m, dan saluran 5 dengan panjang gelombang 11,5 µ m – 12,5µ m, di mana pancaran energi termal dari benda-benda yang bersuhu antara 550K – 1800K akan terekam. Titik panas memang tidak selalu berarti kebakaran hutan/lahan (Hiroki & Prabowo 2003), namun titik-titik tersebut dapat menjadi indikasi terjadinya kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2003).

2.1.2. Penyebab Kebakaran Hutan/Lahan

Penyebab kebakaran hutan/lahan di berbagai negara berbeda-beda. Kebakaran di daerah-daerah sub-tropis seperti Amerika Serikat dan Kanada di belahan utara dan Australia di belahan selatan disebabkan terutama oleh alam yaitu petir (Gaylor 1974; Pyne et al. 1996; Qadri 2001), sedangkan di daerah-daerah tropis kebakaran pada umumnya disebabkan oleh manusia (Suyanto & Applegate 2001; Qadri 2001; Suratmo et al. 2003).

(48)

Adinugroho et al. (2005) sebagai akar permasalahan atau penyebab mendasar (underlying causes, atauprimary causes) kebakaran hutan/lahan meliputi:

1. Penguasaan lahan, di mana pembakaran dipandang sebagai suatu cara untuk menunjukkan klaim atas lahan;

2. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil, dan tidak terkoordinasi. Hal ini sebagai kebalikan dari butir 1 di atas, di mana pembakaran digunakan untuk mengusir penguasa lahan yang sudah ada yang dianggap tidak sah pemilikannya;

3. Insentif dan disinsentif ekonomi, di mana pembakaran dipandang sebagai cara yang mudah dan murah untuk konversi hutan menjadi non-hutan;

4. Degradasi hutan dan lahan yang mengakibatkan peningkatan kepekaan hutan dan lahan terhadap bahaya kebakaran;

5. Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan, di mana peningkatan jumlah penduduk akibat tingginya tingkat migrasi mendorong pembukaan hutan dan lahan dengan cara membakar;

6. Lemahnya kapasitas kelembagaan pada para pemangku kawasan hutan mengakibatkan lemahnya insentif bagi masyarakat untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran.

(49)

2.1.3. Dampak Kebakaran hutan/lahan

Kajian terhadap dampak kebakaran hutan/lahan cukup banyak. Dampak tersebut dapat mengenai pada berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi dan aspek lingkungan (Suprayitno & Syaufina 2008), nilai estetis dan nilai ilmiah serta politik dan sosial (Hasoloan 2001). Dampak kebakaran terhadap aspek ekonomi dapat berupa kerugian dari berkurang atau hilangnya sumber daya ekonomi, biaya penanganan kebakaran dan dampaknya, dan terganggunya fungsi sosial ekonomi hutan dan lahan bagi masyarakat. Sementara itu, dari aspek lingkungan, kebakaran hutan/lahan dapat berdampak terhadap:

(a) sifat fisik tanah antara lain struktur dan porositas tanah,

(b) sifat kimia tanah melalui pelepasan mineral, perubahan mikroklimat, dan dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan struktur organik menjadi bahan inorganik,

(c) sifat biologi tanah berupa perubahan populasi organisme dan mikro-organisme tanah,

(d) air melalui gangguan terhadap intersepsi atau peresapan air ke dalam tanah melalui kanopi tumbuhan dan serasah; evapotranspirasi berupa penguapan dari permukaan tanah, vegetasi, maupun badan-badan air; infiltrasi atau masuknya air ke dalam tanah karena meningkatnya densitas tanah dan menurunnya porositas tanah; dan simpanan air tanah baik dalam kuantitas maupun kualitasnya,

(e) vegetasi berupa kematian tumbuhan dan kerusakan bagian-bagian tumbuhan, (f) udara berupa peningkatan suhu udara dan perubahan komponen-komponen

kimia di atmosfer.

(50)

mencapai luasan lima juta hektar dan menimbulkan kerugian total sekitar US$ 9,1 juta, sedangkan perkiraan Barber dan Schweithelm (2000) luasan tersebut sekitar 3,2 – 3,6 juta hektar. Kebakaran hutan/lahan tahun 1997-1998 yang juga terkenal karena luasnya cakupan dampak asapnya dicatat dengan angka yang berbeda-beda. The Singapore Center for Remote Imaging, Sensing and Processing (CRISP) berdasarkan citra satelit SPOT (Sisteme Pour L’observation de la Terre) mencatat luas kebakaran hutan/lahan tahun 1997 sekitar 1,5 juta ha di Sumatera dan tiga juta ha di Kalimantan, sedangkan kebakaran tahun 1998 tercatat 2,5 juta ha di Kalimantan Timur. Sementara WWF Indonesia menghitung antara 1,97 juta dan 2,3 juta ha terbakar di Kalimantan antara Agustus – Desember 1997 (Barber & Schwithelm 2000). Proyek kerja sama Dep. Kehutanan dengan Uni Eropa di Sumatera Selatan (Forest Fire Prevention and Control Project/FFPCP) menghitung luas kebakaran tahun 1997 berdasarkan citra satelit seluas 2,3 juta ha hanya untuk Sumatera (Ramon & Wall 1998).

Mayell (2001) menyatakan bahwa hasil pengamatan dengan citra satelit dan survei udara di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi pada tahun 1998 di provinsi tersebut menghanguskan sekitar lima juta hektar konsesi hutan, perkebunan dan lahan konversi pertanian. Berdasarkan data tersebut, CIFOR (Center for International Forestry Research) memperkirakan kerugian ekonomi bagi Indonesia mencapai US$ sembilan miliar. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari jumlah yang diperkirakan Qadri (2001). Qadri berdasarkan pendugaan melalui distribusi spasial terhadap kawasan-kawasan yang terbakar pada tahun 1997-1998 memperkirakan jumlah kerugian secara keseluruhan hanya US$ enam milyar. Kerugian dihitung dari luasan yang terbakar yaitu enam juta hektar di Kalimantan, lebih dari 1,5 hektar di Sumatera, sekitar satu juta hektar di Irian Jaya, 400 ribu hektar di Sulawesi dan 100 ribu hektar di Jawa, serta dari luasan tersebut 4,65 juta ha di antaranya adalah kawasan hutan.

(51)

US$ 8,7 milyar dan US$ 9,7 milyar dan mengambil angka rata-rata sebesar US$ 9,3 milyar (BAPPENAS 1999).

Di lingkungan global, catatan sejarah kebakaran di dunia menunjukkan bahwa kebakaran telah berdampak pada dua sisi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Di satu sisi, kebakaran berdampak positif terhadap ketersediaan pakan bagi satwa liar maupun hewan ternak serta untuk pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, hewan dan manusia. Bowman (2003) dan Qadri (2001) menceritakan bahwa pada masa prasejarah, api atau kebakaran banyak digunakan dalam aktivitas manusia sehari-hari terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya, antara lain dalam perburuan, perladangan dan pertanian.

Di sisi lain, kebakaran telah merusak begitu banyak aset perekonomian masyarakat. Qadri (2001) menyebutkan beberapa contoh kerugian akibat kebakaran hutan/lahan di masa lampau. Kebakaran di Brazil pada tahun 1963 menghanguskan 2 juta ha lahan, merusak lebih dari 5000 rumah dan 110 jiwa. Kemudian pada tahun 1987 Brazil’s Legal Amazon yang luasnya 500 juta ha terbakar seluas 20,5 juta ha di mana delapan juta di antaranya dianggap sebagai deforestasi dari hutan yang lebat. Pada tahun 1998 kebakaran menghanguskan 3,2 – 3,5 juta ha lahan, 200 ribu ha di antaranya merupakan hutan lebat. Australia juga mencatat kerugian dari kebakaran berupa korban jiwa manusia 76 orang, 300 ribu domba dan rusa mati dan lebih dari 2500 rumah terbakar pada tahun 1983. Kebakaran yang fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1988 yang menghanguskan hampir seluruh kawasan Taman Nasional Yellowstone, menyebabkan kerugian di sektor pariwisata antara tahun 1988 dan 1990 mencapai sekitar US$ 60 juta. Kebakaran hutan/lahan di Italia dalam periode 1970-2005 setiap tahunnya menghanguskan sekitar 45.000 hektar hutan. Contoh-contoh lain menunjukkan dampak kebakaran hutan/lahan di berbagai negara seperti RRC, Nicaragua, Afrika Barat, Rusia, Mexico dan Amerika Tengah dan Mongolia, di mana kebakaran berdampak pada usaha peternakan akibat terbunuhnya ratusan ribu hewan ternak seperti sapi, kambing, domba dan sebagainya.

(52)

tersebut. Asap dari kebakaran hutan/lahan juga menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap perekonomian. Kebakaran hutan/lahan pada tahun 1997-1998 di wilayah Asia Tenggara, misalnya, telah menyebabkan polusi asap yang mengganggu tidak kurang dari 70 juta orang di wilayah tersebut dan menyebabkan kerugian bagi Indonesia sekitar US$ 9,3 milyar atau kurang lebih Rp 5,96 trilyun setara dengan sekitar 70,1% dari nilai PDB sektor Kehutanan tahun 1997 (BAPPENAS 1999; Qadri 2001).

Kerugian secara ekonomi akibat kebakaran tidak hanya berasal dari kerusakan atau hilangnya sumberdaya hutan, melainkan juga akibat keluarnya biaya-biaya untuk operasi pemadaman. BAPPENAS (1999) mencatat biaya pemadaman kebakaran tahun 1997-1998 mencapai US$ 12 juta atau Rp 144 milyar. Pemerintah Amerika Serikat (AS) membelanjakan tidak kurang dari US$ 1,6 milyar untuk mengatasi kebakaran hutan/lahan pada tahun 2002 saja, sedangkan untuk pemadaman kebakaran hutan di Taman Nasional Yellowstone pada tahun 1988 AS membelanjakan sekitar US$ 160 juta (Polzin et al. 1993, diacu dalam Qadri 2001). Butry et al. (2001) menggolongkan biaya dan kerusakan akibat kebakaran ke dalam tujuh kategori besar yaitu: biaya-biaya pra-pemadaman, biaya pra-pemadaman, belanja penanganan bencana (disaster relief expenditures), kerugian dari kayu, kerusakan barang-barang milik, kehilangan yang terkait dengan pariwisata, dan efek terhadap kesehatan manusia. Sebenarnya masih banyak komponen-komponen kerugian yang lain seperti misalnya hilangnya kesempatan memperoleh upah (lost wages), menurunnya kualitas hidup, pembelanjaan bagi pemadaman jangka panjang, rehabilitasi lansekap, dan degradasi lingkungan. NIFC (National Interagency Fire Center), lembaga pengelola kebakaran hutan/lahan AS, dalam laporan tahun 2000 seperti dikutip Butry et al. (2001) menyatakan bahwa pada periode 1994-1999 pemerintah federal telah membelanjakan rata-rata US$ 500 juta per tahun untuk pemadaman kebakaran.

(53)

pemanasan global akan makin menjadi-jadi. Hal ini terkait dengan kemampuan hutan menyerap CO2 yang cukup tinggi yakni sekitar 3 – 5 milyar ton per tahun,

sementara itu atmosfer bumi ketambahan CO2 sebanyak tiga milyar ton (Chomitz et al. 2007) sampai dengan enam milyar ton setiap tahunnya. Penambahan CO2

Kebakaran juga mengancam kelestarian keanekaragaman hayati (kehati). Sumarwoto (1994, diacu dalam Atmojo 2005) menyatakan bahwa hutan hujan tropis (tropical rain forest) memiliki kehati begitu besar. Kehati tersebut sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya, khususnya pangan, bagi kehidupan umat manusia. Daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan daerah asal jenis pertanian tertentu yang disebut Pusat Vavilov. Pencagaran Pusat Vavilov sangat penting karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Kebakaran hutan dapat menyebabkan hancurnya pusat-pusat Vavilov sehingga secara tak langsung dapat mengancam kehidupan umat manusia.

tersebut dapat berasal dari pembakaran biomasa di kawasan hutan dan lahan. Qadri (2001) mencatat bahwa pembakaran biomasa ditengarai sebagai sumber emisi global yang signifikan dengan kontribusi sedikitnya 10% dari total karbon dioksida dan 38% dari ozon troposfer. Emisi akibat pembakaran biomasa dapat mencapai 220 – 13.500 gigaton (Tg) karbon dioksida, 120 – 680 Tg karbon mono-oksida, 2 – 21 Tg nitro mono-oksida, dan 11 – 53 Tg gas metana.

2.1.4. Pengendalian Kebakaran hutan/lahan

Kebakaran liar memerlukan pencegahan dan pemadaman sedangkan kebakaran yang diinginkan justru dibuat atau dilakukan karena adanya kepentingan tertentu. Kebakaran yang diinginkan perlu pengendalian agar dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan, sedangkan kebakaran liar perlu pengendalian agar tidak terjadi, dan kalaupun terjadi terdapat pilihan-pilihan yaitu dipadamkan ataukah cukup diawasi dan dibiarkan padam dengan sendirinya. Pemahaman mengenai terkendalinya kebakaran hutan/lahan dengan demikian menjadi sangat penting.

(54)

karena itu pengertian dari istilah “pengendalian kebakaran” dapat dirumuskan dari berbagai pustaka mengenai situasi-situasi darurat. Situasi darurat, baik perang, gangguan keamanan dan ketertiban (Mulyadikrama dan Tamzis 1990), bencana (Bakornas PB 1999), maupun kebakaran (Gaylor 1974) dapat dikatakan terkendali jika telah diketahui karakteristiknya sehingga penanganan situasi tersebut dapat efektif dan efisien dan dampaknya tidak merugikan. Berdasarkan pengertian mengenai pengendalian situasi darurat tersebut, dapat dirumuskan pengertian mengenai kebakaran yang terkendali yaitu situasi di mana kebakaran hutan/lahan telah dapat diketahui karakteristiknya dan dapat ditangani secara efektif dan efisien sehingga dampaknya tidak merugikan. Efektif dan efisien yang dimaksud di sini adalah bahwa penanganan kebakaran dilakukan dengan cepat dan tepat langkah-langkahnya serta sasarannya sesuai dengan karakteristik kebakarannya.

Karakteristik kebakaran hutan/lahan mencakup selain kebakarannya itu sendiri juga penyebab dan dampak kebakaran sebagaimana telah diuraikan di atas. Pengendalian kebakaran hutan/lahan berkenaan dengan pengendalian penyebab, pengendalian ketika kebakaran terjadi dan pengendalian dampak kebakaran. Para pakar, seperti Kartodihardjo (2006), Adinugroho et al. (2005), Doscemascolo (2004), Suratmo et al. (2003), Anggraeni dan Syumanda (2001), Qadri (2001), Simorangkir (2001), Suyanto dan Applegate (2001), Barber dan Schweithelm (2000), Bowen et al. (2000), Shulman (2000), dan KMNLH-UNDP (1998) telah mengidentifikasi permasalahan di dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Penulis melihat bahwa permasalahan kebakaran sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu permasalahan teknis dan non-teknis. Permasalahan teknis berkaitan dengan unsur-unsur segitiga api, sedangkan permasalahan non-teknis berkaitan dengan kelembagaan.

(55)

hutan/lahan diperkenalkan istilah segiempat kebakaran yang meliputi tiga unsur dari segitiga api ditambah manusia sebagai unsur keempat.

Besarnya dampak dan kerugian akibat kebakaran ditentukan antara lain oleh intensitas kebakaran, dan intensitas kebakaran ditentukan oleh tingkat ketersediaan ketiga unsur segitiga api tersebut (Brown & Davis 1973). Pengendalian kebakaran hutan/lahan secara teknis pada dasarnya adalah mengusahakan agar ketiga unsur tersebut tidak berada pada kondisi yang memadai untuk terjadinya kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2008), sehingga penyebab teknis dapat diatasi dengan metode pencegahan dan metode pemadaman.

Pencegahan pada prinsipnya dilakukan dengan modifikasi unsur-unsur dari segitiga api sehingga ketiganya tidak berada pada kondisi yang memadai untuk terjadinya api dan melalui perlakuan terhadap unsur keempat dari segiempat kebakaran yaitu manusia dengan meningkatkan pemahaman mengenai bahaya dan risiko kebakaran hutan/lahan. Saharjo (2003) memberikan panduan bahwa dari ketiga unsur api tersebut, oksigen merupakan unsur yang tersedia melimpah dan sulit dikendalikan, maka pengendalian ditekankan pada dua unsur lainnya. Dari segi bahan bakar, karakteristik yang perlu diketahui untuk mengendalikan kebakaran adalah kadar airnya. Saharjo menyatakan bahwa bahan bakar tidak terbakar bila kadar airnya di atas 25% dan akan mudah terbakar ketika kadar

(56)

airnya di bawah 5%, sedangkan dari segi panas diperlukan suhu penyalaan antara 220°-250° C.

Pemadaman kebakaran dapat dilakukan baik dengan metode pemadaman langsung (direct attack) yakni mematikan langsung pada titik atau garis nyala api maupun dengan metode pemadaman tak langsung (indirect attack) yakni mencegah perambatan api yang lebih luas dengan mendayagunakan sekat bakar atau fire break dan membuat ilaran api atau fire line. Pemadaman dapat dilakukan dari darat atau ground attack atau dipadukan dengan pemadaman dari udara atau aerial attack (Adinugroho et al. 2005; Saharjo 2003; Sumantri 2003; Gaylor 1974). Keberhasilan pengendalian kebakaran secara teknis ditentukan pula oleh dukungan dari upaya-upaya non-teknis berupa kelembagaan dan manajemen pengendalian kebakaran yang baik.

2.2. Organisasi dan Manajemen

2.2.1. Pengertian

Pengertian istilah organisasi telah mengalami pergeseran (Cahayani 2003; Drucker 1997). Organisasi menurut pengertian awal yang sederhana yaitu suatu kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan dan mau terlibat dengan peraturan yang ada. Sekarang organisasi lebih dikenal sebagai alat dan wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Siswanto 2009; Cahayani 2003). Drucker (1997) menyatakan bahwa organisasi menurut definisi pertama yang disebutnya sebagai teori pertama tentang organisasi di pertengahan abad ke-18, adalah bagaimana pekerjaan yang berbeda dilakukan. Pengertian organisasi tersebut kemudian bergeser yang dikatakan sebagai gerakan menuju organisasi baru (moving toward the new organization) yang menegaskan bahwa organisasi bukan sekadar sebuat alat. Organisasi menyatakan nilai-nilai, dan oleh karenanya tidak ada organisasi yang ideal. Organisasi berbeda sesuai dengan tujuannya, jenis pekerjaannya, orang-orangnya, dan budayanya.

(57)

dan pembagian kerja yang akan dilakukan, pembatasan tugas dan kewajiban, otoritas dan tanggung jawab serta penetapan hubungan di antara elemen organisasi. Organisasi dalam arti statis adalah suatu bagan atau struktur yang berwujud dan bergerak demi tercapainya tujuan bersama. Louis A. Allen, sebagaimana dikutip Hasibuan (2008) melihat organisasi seperti definisi Siswanto (2009) untuk arti dinamis di mana organisasi merupakan proses penentuan dan pengelompokan pekerjaan yang akan dikerjakan, menetapkan dan melimpahkan wewenang dan tanggung jawab, dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara efektif dalam mencapai tujuan.

Hasibuan (2008) merangkum dari berbagai literatur bahwa sebuah organisasi baru ada jika memiliki tujuh unsur yaitu: (1) manusia, (2) tempat kedudukan, (3) tujuan, (4) pekerjaan, (5) struktur, (6) teknologi, artinya ada unsur teknis, dan (7) lingkungan. Siswanto (2009) menyatakan bahwa suatu organisasi memiliki sedikitnya tiga unsur yaitu (1) sekelompok orang, (2) interaksi dan kerja sama, dan (3) tujuan bersama. Hasibuan (2008) lebih lanjut menguraikan bahwa untuk terwujudnya suatu organisasi yang baik, efektif, efisien dan sesuai dengan kebutuhan, organisasi harus memegang secara selektif asas-asas atau prinsip-prinsip organisasi yang terdiri atas:

(1) asas tujuan (principle of organizational objectives) di mana tujuan organisasi harus jelas dan rasional;

(2) asas kesatuan tujuan (principle of unity of objective), di mana organisasi secara keseluruhan dan tiap-tiap bagiannya harus memiliki tujuan yang sama;

(3) asas kesatuan perintah (principle of unity of command) di mana setiap bawahan menerima perintah hanya dari satu atasan, tetapi seorang atasan dapat memerintah beberapa orang bawahan;

(4) asas rentang kendali (principle of span of management) di mana seorang pemimpin hanya dapat memimpin secara efektif sejumlah bawahan tertentu; (5) asas pendelegasian wewenang (principle of delegation of authority) di mana

(58)

(6) asas keseimbangan wewenang dan tanggung jawab (principle of parity of authority and responsibility) di mana wewenang yang didelegasikan dan tanggung jawab yang timbul karenanya harus sama besar;

(7) asas tanggung jawab (principle of responsibility) di mana pertanggungjawaban dari bawahan terhadap atasan harus sesuai dengan garis wewenang (line authority) dan pelimpahan wewenang;

(8) asas pembagian kerja (principle of departementation atau principle of division of work) di mana pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang sama ke dalam satu unit hendaknya didasarkan atas eratnya hubungan tugas tersebut;

(9) asas penempatan personalia (principle of personnel placement) yaitu penempatan orang-orang pada setiap jabatan harus didasarkan atas kecakapan, keahlian dan ketrampilannya;

(10) asas jenjang berangkai (principle of scalar chain) yakni saluran perintah atau wewenang dari atas ke bawah maupun saluran pertanggungjawaban dari bawahan ke atasan merupakan mata rantai vertikal yang jelas dan tidak terputus-putus;

(11) asas efisiensi (principle of efficiency) di mana organisasi dalam mencapai tujuannya harus dapat mencapai hasil yang optimal dengan pengorbanan yang minimal;

(12) asas kesinambungan (principle of continuity) yakni organisasi harus mengusahakan cara-cara untuk menjamin kelangsungan hidupnya;

(13) asas koordinasi (principle of coordination) yaitu bahwa organisasi harus mensinkronkan dan mengintegrasikan segala tindakan supaya terarah kepada sasaran yang ingin dicapai.

(59)

2009). Sumber daya organisasi dapat berupa sumber daya manusia, sumberdaya finansial, sumber daya fisik dan sumber daya informasi (Dubrin & Ireland 1993).

Sifat gerak manajemen suatu organisasi ditentukan oleh bentuk organisasinya (Siswanto 2009). Organisasi berdasarkan skala atau ukurannya dapat berupa organisasi kecil, menengah, dan besar, sedangkan berdasarkan tujuannya terdapat dua macam yaitu (1) organisasi publik atau sosial atau nirlaba (non-profit organzation) yang tujuan utamanya untuk melayani kepentingan umum dan tanpa perhitungan untung rugi, dan (2) organisasi perusahaan (business organization) yakni organisasi yang didirikan untuk tujuan komersial dan semua tindakannya bermotifkan laba (profit motive). Berdasarkan kaitan hubungannya dengan pemerintah, organisasi dapat berupa organisasi resmi yaitu (1) organisasi yang dibentuk oleh atau ada hubungannya dengan pemerintah dan atau harus terdaftar pada Lembaran Negara, dan (2) organisasi tidak resmi yaitu organisasi yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan tidak terdaftar pada Lembaran Negara.

Setiap organisasi berhadapan dengan dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Siagian 2008). Kedua jenis lingkungan tersebut seringkali begitu kompleks sejalan dengan semakin kompleksnya organisasi. Lingkungan tersebut, antara lain semakin banyaknya pihak yang berkepentingan baik pihak internal maupun pihak eksternal yang harus dipuaskan dan tantangan eksternal yang dihadapi organisasi. Siagian (2008) menyarankan diterapkannya manajemen stratejik untuk menghadapi situasi organisasi yang kompleks tersebut.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian (Sumber: Wehmeyer et al. 2001; Ulrich
Gambar 3  Peta Provinsi Riau (Sumber: Website Resmi Pemerintah Provinsi Riau
Gambar 4 Peta Provinsi Kalimantan Barat (Sumber: Pusat Informasi
Tabel 2  Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti mencoba mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi hasil dari penelitian ini yang terbukti tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada tingkat kreativitas Qaryah Thayyibah

Bilamanapun perubahan terbaik dalam suatu persamaan diferensial adalah suatu fungsi satu perubahan bebas, maka turunan yang muncul adalah turunan biasa dan

Siswa di Sekolah dan Implikasinya pada Bimbingan dan Konseling (Studi Deskriptif Terhadap Siswa kelas X SMK 45 Lembang Tahun Ajaran 2010/2011).. Skripsi Sarjana pada

ii) Bagi tujuan penambahbaikan, aktiviti yang akan disusun bagi tahun 2013 perlu lebih interaktif, menarik dan menyeronokkan. Tindakan:S/U Kelab PEMASA 4.1.2.2

5stilah tanin yang digunakan pada kalangan ahli pangan ada dua. Tanin terkondensasi #Condensed tannin& dan tanin terhidrolisis # Hydrolyzed tannin&. Senyawa-senyawa tersebut

Kebangkitan ilmu yang masih sangat tinggi dimasa Ibnu Sahnun yang menjadi faktor belikutnya, dan beliau mengadakan rihlah ilmiah kebeberapa tempat seperti Makkah

variasi (CV) menunjukan bahwa data yang diperoleh dari penimbangan bobot adalah homogen, CV dianggap berpengaruh terhadap kualitas sebaran data. Keseragaman bobot yang

Bahkan, mereka yang aktif beribadah dan terlibat aktif dalam kegiatan masjid, seperti kutbah shalat Jum’at di Masjid kampus misalnya, itu adalah kader KAMMI yang sudah dipilih dan