1
PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN SUNGAI
BERBASIS PADA KONSEP EKOHIDROLIK
(STUDI KASUS SUNGAI LAWO KABUPATEN SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN)
NURLITA PERTIWI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ii Dengan ini penulis menyatakan bahwa Disertasi Pengembangan Model Pengelolaan Sungai Berbasis pada Konsep Ekohidrolik adalah karya penulis dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir Disertasi
iii Ecohydraulic Concept. (Case Study at Lawo River of Soppeng Regency, Province of South Sulawesi). Supervised by ASEP SAPEI, YANUAR J.PURWANTO and I WAYAN ASTIKA.
ABSTRACT
Ecohydraulic is a concept that combines ecological and hydraulical aspect in managing river environment. The ecological issues in this research is the vegetation grown in the river bank as flood retention, while hydraulical aspect refers to the flows of water in river bank to reduce flooding. The aims of the research were : 1) to develop a river management model based on ecohydraulic concept; to characterize the optimal width of riverbank and appropriate vegetation; 2) to develop government policies to support river management based on ecohydraulic concept, and 3) to study the implementation of the model at Lawo River of Soppeng Regency. The output of river management model can be used as the recommendation of demarcation line of the river, while the policies can be used as a basis of policies of local government. As the implementation of the models, the data were collected from the Lawo River South Sulawesi between May 2010 to December 2010. River management model is based on ecohydraulic concept, it uses six variables were rainfall intensity, channel roughness, water level (without management), land use score, flooding and the height of inundation. The policies model were developed in four steps : community participation level, study of social economic condition of community, study of effect social economic condition to the participation and study of policies of river management. The policies model can be used to determine scenarios and strategic activities which can effect the implementation of river management model. The optimal width of riverbanks at Lawo River varies between 100 m and 150 m with vegetation diameter between 10 cm and 20 cm. This implies to the flooding water level less then 2.5 m and velocity of flow can be reduced to 76%. The best scenario found in this research suggests the improvement of infrastructure in order to increase the value of land. The best government program is increasing the population of vegetation in the river bank.
iv NURLITA PERTIWI, Pengembangan Model Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik (Studi Kasus Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan). Dibimbing Oleh ASEP SAPEI, YANUAR J.PURWANTO dan I WAYAN ASTIKA.
RINGKASAN
Konsep ekohidrolik merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam pengelolaan sungai sebagai upaya pencegahan banjir Konsep ekohidrolik yang digunakan adalah pengelolaan sungai secara non struktural melalui upaya penataan bantaran sungai sebagai daerah genangan. Konsep ini dilakukan dengan mengintegrasikan komponen ekologi dan hidrolik sungai. Komponen ekologi pada bantaran sungai dapat dimanfaatkan sebagai komponen retensi hidrolik yang menahan aliran air sehingga terjadi perendaman banjir pada bantaran sungai. Dengan adanya genangan pada bantaran sungai, maka kualitas ekologi sungai dapat dipertahankan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik dengan mengoptimalkan lebar bantaran sungai dan pemilihan diameter vegetasi yang tepat, mengembangkan model kebijakan yang mendukung pelaksanaan pengelolaan sungai dengan konsep ekohidrolik, serta mengkaji penerapan model kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik pada Sungai Lawo Kabupaten Soppeng.
Kegiatan pengumpulan data penelitian di lokasi penelitian dilaksanakan mulai pada bulan Mei 2010 hingga bulan Desember 2010. Model pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik dibagi atas enam sub model yaitu sub model hidrologi, sub model hidrolika, sub model tata guna lahan, sub model beban banjir dan sub model ekohidrolik. Sub model hidrologi dilakukan untuk menghitung probabilitas curah hujan dengan menggunakan parameter intensitas hujan, hujan efektif dan debit banjir. Sub model hidrolika dilakukan untuk memperoleh karakteristik hidrolika sungai yaitu kekasaran saluran, kapasitas maksimum sungai (Q) dan tinggi muka air banjir (h). Sub model tata guna lahan bertujuan untuk menentukan wilayah yang memiliki potensi bantaran untuk dilakukan pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Sub model beban banjir adalah analisis untuk menilai seberapa besar ancaman banjir pada setiap lokasi yaitu dengan menghitung selisih tinggi tanggul dengan muka air banjir. Sub model ekohidrolik terdiri atas perhitungan lebar bantaran optimal dan perhitungan tinggi genangan dan kecepatan aliran
v kajian arahan kebijakan pengelolaan sungai dianalisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process dan Metode Bayes.
Hasil penerapan model pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik memberikan gambaran bahwa disain penataaan bantaran sungai dengan diameter vegetasi antara 10 cm hingga 20 cm dengan lebar bantaran minimum bervariasi untuk setiap lokasi. Lebar bantaran minimum 150 meter diterapkan pada empat lokasi, lebar minimum 120 meter pada 2 lokasi dan hanya satu lokasi dengan lebar bantaran 100 meter. Dengan konsep ekohidrolik tersebut, maka diperoleh reduksi tinggi genangan di bantaran sungai dan kecepatan aliran air. Tinggi genangan di bantaran sungai tanpa penataan bantaran setinggi 2.6 meter - 11.2 meter sedang dengan adanya penataan bantaran sungai, tinggi genangan menjadi 0.7 meter – 2.5 meter. Kecepatan aliran dapat direduksi antara 10% - 76%. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penataan bantaran sungai dapat memberi manfaat pada tindakan pengendalian banjir. Penataan ini merupakan dasar dalam penetapan garis sempadan sungai.
Hasil penerapan model kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik memberikan gambaran bahwa sebagian besar responden menunjukkan partisipasi dengan kategori yang tinggi yaitu sebanyak 28 orang (46.7%). Selanjutnya jumlah responden yang menunjukkan partisipasi rendah dan sedang sebanyak 32 orang (53.3%). Hasil analisis frekuensi menunjukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yaitu tingkat pendidikan didominasi oleh pendidikan SMA (51.7%), dengan pendapatan per tahun antaran Rp.5 juta hingga Rp. 10 juta. Masyarakat pada umumnya kurang paham terhadap konsep ekohidrolik dan dominasi luas lahan yang dikelola antara 1 ha hingga 2 ha dengan status kepemilikan adalah milik sendiri. Kerugian akibat pengendalian banjir dinilai kecil oleh masyarakat, sedang kerugian akibat banjir dinilai tinggi. Hasil analisis pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap partisipasinya diperoleh bahwa kerugian masyarakat akibat pengelolaan sungai dan kerugian akibat banjir menunjukkan pengaruh yang terbesar dibandingkan dengan faktor lain.
Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik disusun dengan memprioritaskan kemampuan sumber daya manusia yang terlibat dalam program yaitu petani serta aparat pemerintah yang diberi wewenang dalam tindakan perencanaan hingga monitoring. Stakeholder yang paling berperan adalah petani dengan program pengembangannya ekonomi masyarakat sebagai program prioritas. Selanjutnya skenario terbaik yang dapat dilakukan dalam penerapan konsep ekohidrolik adalah penyediaan sarana dan prasarana dalam upaya peningkatan nilai ekonomi lahan. Hasil analisis metode Bayes menunjukkan bahwa kegiatan yang paling strategis mendukung kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik adalah penanaman pohon pada bantaran sungai.
vi
©Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii
BERBASIS PADA KONSEP EKOHIDROLIK
(STUDI KASUS SUNGAI LAWO KABUPATEN SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN)
NURLITA PERTIWI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
viii Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr.Ir.Bambang Pramudya, M.Eng
Dr.Ir. Hariyadi, MS
ix Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan)
Nama : Nurlita Pertiwi
NIM : P062080011
Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi,
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 22 Agustus 2011 Tanggal Lulus : ……….
Dr. Ir. Yanuar J.Purwanto, M.S. Anggota
x hidayah-Nya, disertasi dengan judul Pengembangan Model Pengelolaan Sungai Berbasis pada Konsep Ekohidrolik (Studi Kasus Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan) dapat diselesaikan. Disertasi ini bertujuan menghasilkan model pengelolaan sungai serta arahan kebijakan pengelolaan sungai yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam upaya pengelolaan sumber daya air.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS, sebagai ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Yanuar, J. Purwanto, MS dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat, dan dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini;
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan beserta staf yang telah memberikan dukungan, motivasi, nasehat serta pelayanan akademik selama masa studi;
3. Bupati Soppeng, Bapak Drs. H.A.Soetomo, M.Si beserta staf yang telah memberikan izin bagi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di IPB. Demikian pula pada dosen dan staf akademik yang telah memberikan bantuan akademik bagi penulis dalam menempuh pendidikan Doktor.
xi dalam pelaksanaan FGD serta sebagai pakar dalam analisis data kebijakan. 7. Rekan-rekan mahasiswa PSL angkatan 2008 yang ikut serta memberikan
saran atas kesempurnaan metodologi penelitian dan penulisan disertasi.
8. Orang tuaku, suami dan anak-anakku, serta seluruh keluarga dan kerabat yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, memberi dukungan dan semangat sampai hari ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, sehingga penulis menerima masukan pendapat, saran, dan kritik dalam rangka perbaikan disertasi ini. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2011
xii Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 2 April 1969 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan H. Arif Madjid dan Hj.Andi Sitti Nuchrah (Almarhumah). Pada tanggal 19 April 1992 menikah dengan Drs. Andi Maningo Rahmat, M.Si dan telah dikaruniai dua orang anak, Andi Muhammad Akmal Abdusshamad dan Andi Nur Azizah Fajry Azzahrah.
Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1992 pada Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 2003 pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Teknik Sipil. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS.
Sejak tahun 1998 penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil pada Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Selama bekerja pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan FT UNM.
Artikel yang berjudul Engineering Concept of River Sustainability telah
diterbitkan dalam Proceeding Second Annual International Confrence on Green
Tehnology and Engineering pada Universitas Malahayati Bandar Lampung pada
tahun 2009. Artikel lain yang berjudul Analisis Ekohidrolik dalam Pengendalian Banjir diterbitkan pada Jurnal Rekayasa Lingkungan Vol. 7 No.2 Juli 2011. Penulis juga telah menerbitkan buku yang berjudul Sustainable Development
xiii
Halaman
DAFTAR TABEL………... xvi
DAFTAR GAMBAR………. xviii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………... 1
1.2 Kerangka Pemikiran………. 6
1.3 Perumusan Masalah………. 9
1.4. Tujuan Penelitian………... 9
1.5. Manfaat Penelitian 10 1.5. Novelty………... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai………... 11
2.2. Sungai……… 14
2.3. Banjir……… 20
2.4. Pengelolaan Sungai……… 29
2.5. Konsep Ekohidrolik……… 31
2.6. Kebijakan……….. 37
2.7 Metode Pengambilan Keputusan dalam Disain Kebijakan……… 42
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian……… 49
3.2. Disain Penelitian……….. 50
3.2.1 Pengembangan Model Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik……… 50
3.2.2 Disain Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik………. 52
3.2.3 Penerapan Model Pengelolaan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng……… 52
3.2.3.1 Penerapan Model Pengelolaan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng……… 52
xiv
4.2. Kondisi Fisik DAS Lawo………. 61
4.3. Sungai Lawo……… 67
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Model Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik………… 73
5.2 Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik…… 86
5.3. Penerapan Model Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan………… 91
5.3.1. Analisis Hidrologi……….. 91
5.3.2. Analisis Hidrolika……… 95
5.3.3. Analisis Tata Guna Lahan……… 101
5.3.4. Analisis Beban Banjir……… 105
5.3.5. Analisis Ekohidrolik……… 110
5.3.6. Manfaat Konsep Ekohidrolik Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat dan Ekologi Sungai………. 127
5.4. Penerapan Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan……… 129 5.4.1. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sungai... 130
5.4.2. Tingkat Partisipasi Masyarakat……… 133
5.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat……… 136 5.4.4. Arahan Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis pada Konsep Ekohidrolik……….. 139 5.4.5. Kegiatan Strategis Pemerintah Daerah……… 146
5.4.6. Kelayakan Ekonomi Penerapan Model Pengelolaan Sungai Berbasis pada Konsep Ekohidrolik………... 150
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan……… 154
6.2. Saran………. 155
DAFTAR PUSTAKA……… 156
xv
Halaman
Tabel 1. Penentuan lebar sempadan sungai……… 19
Tabel 2. Koefisien limpasan……… 25
Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan……….. 45
Tabel 4. Nilai indeks acak rata-rata berdasarkan orde matriks……… 47
Tabel 5. Nilai rentang penerimaan CR……… 47
Tabel 6. Jenis dan sumber data……… 53
Tabel 7. Lokasi pengumpulan data………. 53
Tabel 8. Karakteristik geografis lokasi penelitian……….. 54
Tabel 9. Luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Soppeng…………. 56
Tabel 10. Nama sungai utama di Kabupaten Soppeng………. 57
Tabel 11. Produksi padi tahun 2004 – 2008 di Kabupaten Soppeng………… 58
Tabel 12. Jumlah penduduk di Kabupaten Soppeng tahun 2005 – 2008…….. 59
Tabel 13. Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan……….. 59 Tabel 14. Klasifikasi dan luas lereng pada DAS Lawo………. 62
Tabel 15. Jenis tanah di wilayah DAS Lawo……….... 62
Tabel 16. Kondisi klimatologi Daerah Aliran Sungai Lawo……… 63
Tabel 17. Luas genangan yang terjadi pada DAS Lawo………... 64
Tabel 18. Jenis tutupan lahan pada DAS Lawo... 66
Tabel 19. Curah hujan harian maksimum pada Daerah Aliran Sungai Lawo... 92
Tabel 20. Probabilitas curah hujan pada Sungai Lawo……… 92
Tabel 21. Intensitas hujan pada Daerah Aliran Sungai Lawo……… 93
Tabel 22. Debit maksimum Sungai Lawo………. 95
Tabel 23. Lebar Sungai Lawo pada berbagai lokasi………. 95
Tabel 24. Kedalaman Sungai Lawo………. 96
Tabel 25. Disain ekohidrolik pada Sungai Lawo……… 123
Tabel 26. Reduksi tinggi genangan akibat konsep ekohidrolik di Sungai Lawo……… 124 Tabel 27. Kecepatan air pada bantaran sungai di sepanjang Sungai Lawo…... 125
Tabel 28. Karakteristik responden……… 132
Tabel 29. Distribusi frekuensi partisipasi masyarakat……… 134
Tabel 30 Frekuensi tingkat partisipasi masyarakat……… 135
Tabel 31. Frekuensi responden pada faktor penentu partisipasi………. 136
xvi
partisipasinya dalam pengelolaan sungai……….. Tabel 35. Kegiatan pemerintah yang berpengaruh pada kebijakan
pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik dengan pengembangan partisipasi masyarakat……….
147
Tabel 36. Nilai alternatif dan peringkat kegiatan pemerintah……… 148
xvii
Halaman
Gambar 1. Kerangka pikir……….. 8
Gambar 2. Model pengelolaan daerah aliran sungai……… 12
Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS………. 14
Gambar 4. Bentuk morfologi sungai……….. 16
Gambar 5. Konfigurasi pulau di sungai... 17
Gambar 6. Karakteristik sungai ……… 17
Gambar 7. Kejadian banjir di sungai………. 21
Gambar 8. Hidrograf Nakayashu……… 26
Gambar 9. Lebar sempadan sungai dengan pendekatan ekohidrolik 33 Gambar 10. Potongan penampang sungai……… 36
Gambar 11. Struktur algoritma backpropagation……… 43
Gambar 12. Hasil transformasi matriks pendapat……… 46
Gambar 13. Peta lokasi penelitian……… 49
Gambar 14. Tahapan penelitian……… 50
Gambar 15. Sektor perekonomian Kabupaten Soppeng……… 60
Gambar 16. Grafik fluktuasi rata-rata curah hujan bulanan Tahun 1985 – 2008……….. 64 Gambar 17. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2001…… 68
Gambar 18. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2008…… 68
Gambar 19. Kondisi tebing sungai pada Sungai Lawo……… 69
Gambar 20. Kondisi erosi tebing pada setiap lokasi di Sungai Lawo… 70 Gambar 21. Distribusi sedimen dasar pada Sungai Lawo……… 71
Gambar 22. Variasi kondisi dasar sungai pada setiap wilayah……… 71
Gambar 23. Model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik…… 73
Gambar 24. Bagan alir perhitungan probabilitas curah hujan………….. 75
Gambar 25. Bagan alir perhitungan debit banjir……… 76
Gambar 26 Sub model hidrolika……… 77
Gambar 27. Bagan alir perhtiungan model matematis kekasaran saluran 78 Gambar 28. Bagan alir sub model hidrolika……… 79
Gambar 29. Bagan alir penentuan lebar bantaran optimal……… 82
Gambar 30. Bagan alir perhitungan tinggi genangan optimal……… 83
xviii
Gambar 35. Kurva intensitas hujan di Sungai Lawo……… 93
Gambar 36. Hidrograf Nakayashu pada Sungai Lawo……… 94
Gambar 37. Luas penampang Sungai Lawo……… 97
Gambar 38. Kemiringan memanjang pada Sungai Lawo………. 98
Gambar 39. Persamaan matematis kekasaran saluran……… 99
Gambar 40. Kekasaran ekivalen sungai……… 99
Gambar 41. Kapasitas Sungai Lawo……… 100
Gambar 42. Distribusi tata guna lahan pada bantaran Sungai Lawo…… 101
Gambar 43. Penyebaran lahan kosong/semak di Sungai Lawo………… 102
Gambar 44. Penyebaran tataguna lahan kebun di Sungai Lawo……… 102
Gambar 45. Penyebaran tataguna lahan sawah pada Sungai Lawo…… 103
Gambar 46. Penyebaran pemukiman pada Sungai Lawo……….. 104
Gambar 47. Grafik potensi tata guna lahan……… 104
Gambar 48. Kondisi banjir di Daerah Seppang……… 105
Gambar 49. Kondisi banjir di Daerah Lawo……… 106
Gambar 50. Kondisi banjir di Daerah Cenrana……… 106
Gambar 51. Kondisi banjir di Daerah Paowe……… 107
Gambar 52. Kondisi banjir di Daerah Talumae……… 108
Gambar 53. Kondisi banjir di Daerah Ganra……… 108
Gambar 54. Kondisi banjir di Daerah Bakke……… 109
Gambar 55. Beban Banjir di Sungai Lawo……… 110
Gambar 56. Nilai kekasaran pada bantaran sungai pada tiga alternatif panjang bantaran………. 111 Gambar 57. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di Sta 000……… 112
Gambar 58. Kecepatan air pada bantaran sungai di Sta 000………… 113
Gambar 59. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 3 200……… 114
Gambar 60. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 3 200………… 115
Gambar 61. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 6 800………… 116
Gambar 62. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 6 800……… 116
Gambar 63. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 9 800………… 117
Gambar 64. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 9 800………… 118
Gambar 65. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 10 400……… 119
Gambar 66. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 10 400……… 119
xix
Gambar 70. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 16 400……… 123
Gambar 71. Nilai bobot prioritas pada level faktor……… 140
Gambar 72. Nilai bobot prioritas pada level stakeholder……… 142
Gambar 73. Nilai bobot prioritas pada level program……… 143
Gambar 74. Nilai bobot prioritas pada level skenario……… 144
Gambar 75. Hasil struktur hierarki perumusan kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik………
xx
Halaman
Lampiran 1. Data curah hujan DAS Lawo……… 164
Lampiran 2. Gambar skematik Sungai Lawo……… 165
Lampiran 3. Karakteristik hidrolika Sungai Lawo……….. 166
Lampiran 4. Muka air banjir di Sungai Lawo……… 172
Lampiran 5. Analisis beban banjir Sungai Lawo... 176
Lampiran 6. Analisis tata guna lahan Sungai Lawo... 178
Lampiran 7. Analisis ekohidrolik Sungai Lawo... 179
Lampiran 8. Rekomnedasi garis sempadan sungai di Sungai Lawo berdasarkan konsep ekohidrolik……… 188 Lampiran 9. Kuesioner partisipasi masyarakat……… 196
Lampiran 10. Hasil jawaban responden……… 199
Lampiran 11. Analisis neural network……… 202
Lampiran 12. Kuesioner AHP……………… 210
Lampiran 13. Jawaban pakar pada analisis AHP………. 224
I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa
memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah.
Salah satu masalah lingkungan di Indonesia adalah degradasi fungsi ekosistem
daerah aliran sungai. Dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air diuraikan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Fungsi ekosistem tersebut sangat penting terhadap ketersediaan sumber
daya air. Namun demikian, fungsi ini menurun akibat kegiatan manusia.
Peningkatan jumlah DAS kritis yaitu data pada tahun 1984 tercatat 22 DAS yang
mencapai status kritis, tahun 1992 meningkat menjadi 39, dan tahun 1998 menjadi
59 DAS. Pada 2005, jumlah DAS yang kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan
pada tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis yaitu di Pulau Jawa sebanyak
116 DAS dari 141 DAS, sedang di luar Pulau Jawa terdapat 175 DAS yang rusak
dari 326 DAS (Murtilaksono, 2009). Kriteria penetapan DAS kritis yaitu
rendahnya prosentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya
rasio debit sungai maksimum dan debit minimum, serta kandungan lumpur
(sediment load) yang berlebihan (Suripin, 2002).
Fenomena DAS kritis menuntut adanya pengelolaan sungai yang tepat
sehingga dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia dapat
diperkecil. Volume air yang berlebihan atau besarnya debit pada musim hujan
menyebabkan banjir atau meluapnya air sungai akibat tingginya curah hujan dan
menghasilkan air permukaan (run off). Air hujan yang jatuh hanya sebagian kecil
yang meresap ke dalam tanah, dan sebagian besar mengalir di permukaan atau
menuju sungai. Daya tampung sungai yang semakin kecil menyebabkan
dipengaruhi oleh terjadinya erosi dan sedimentasi yang berlebihan yang
disebabkan oleh kegiatan manusia pada wilayah bantaran sungai serta kemiringan
lereng dan kondisi tanah. Aliran air yang berlebihan juga dapat menyebabkan
kelongsoran tanah dan memperbesar angkutan sedimen.
Banjir menyebabkan kerugian materi bagi manusia sehingga perlu
dilakukan tindakan pengelolaan sungai khususnya sebagai upaya pengendalian
banjir. Linsley et al. (1996) menguraikan bahwa pengendalian banjir merupakan
tindakan pengurangan kerugian banjir (flood damage mitigation). Tindakan
tersebut dapat berbentuk pengurangan puncak banjir dengan waduk, pengurangan
aliran banjir di dalam suatu alur, penurunan permukaan puncak banjir, pengalihan
air banjir, usaha membuat kebal banjir, pengurangan limpasan banjir, peringatan
banjir dan pengolahan dataran banjir.
Secara spesifik, upaya pengendalian banjir dilakukan dengan dua metode
yaitu upaya dengan bangunan (structural method) dan dengan pengaturan yang
sifatnya tidak membuat bangunan fisik (non structural method). Pengendalian
banjir secara struktural pada prinsipnya dilakukan dengan cara membangun
struktur atau bangunan air yang dapat meningkatkan kapasitas pengaliran
penampang sungai atau mengurangi debit banjir yang mengalir.
Pengelolaan sungai secara struktural merupakan konsep yang umum
dilakukan di Indonesia dengan tujuan untuk mengalirkan air secepatnya ke hilir,
melindungi kawasan sekitar sungai dari banjir serta pemanfaatan air yang optimal.
Pembuatan bangunan fisik seperti tanggul atau pembetonan tebing diharapkan
dapat melindungi sungai dari kejadian banjir. Dengan demikian, maka terjadi
percepatan aliran air menuju ke hilir sehingga bagian hilir akan menanggung
volume air yang lebih besar dalam waktu yang lebih cepat. Selain itu, pembetonan
atau tanggul pada sisi kiri dan kanan sungai akan meningkatan energi air akibat
kecepatannya, dan pada daerah yang tidak mendapat perlindungan tebing, maka
terjadi pengikisan atau erosi yang besar.
Konsep pengelolaaan sungai yang diuraikan tersebut memberi dampak pada
perubahan morfologis sungai yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
kondisi ekonomi masyarakat. Pembangunan tanggul sungai juga akan
sungai serta pengurangan kemampuan penyerapan air pada daerah bantaran
sungai. Pengelolaan sungai dengan membangun bendungan akan memutus
ekosistem alur sungai secara drastis dari hulu ke hilir, sehingga sungai tidak lagi
menjadi satu kesatuan ekosistem. Selain itu, pengendalian banjir secara struktural
membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan. Dengan kelemahan
tersebut, maka dibutuhkan pengelolaan yang dapat mencegah terjadinya banjir
serta mempertahankan kondisi ekologis sungai.
Pengelolaan sungai dan pencegahan banjir secara non struktural dilakukan
dengan penataan bantaran sungai yang dijadikan sebagai daerah genangan.
Konsep ini dilakukan dengan mengintegrasikan komponen ekologi dan hidrolik
sungai. Komponen ekologi pada bantaran sungai dapat dimanfaatkan sebagai
komponen retensi hidrolik yang menahan aliran air sehingga terjadi perendaman
banjir pada bantaran sungai. Dengan adanya genangan pada bantaran sungai,
maka kualitas ekologi sungai dapat dipertahankan.
Konsep ekohidrolik dapat dikembangkan dengan pendekatan
eco-engineering atau pemanfaatan komponen ekologi untuk perbaikan struktur fisik
wilayah sungai. Maryono (2005) menguraikan bahwa pengelolaan sungai secara
ekohidrolik ditujukan untuk melestarikan komponen ekologi di lingkungan
sungai dalam rekayasa hidrolik. Penerapan konsep ekohidrolik pada sungai
sebagai perlindungan dari erosi tebing sungai yaitu dengan pembuatan riparian
buffer strips atau penanaman vegetasi pada bantaran sungai. Dengan adanya
vegetasi yang ditanam di tepi sungai juga mendinginkan air sungai yang
menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air.
Landasan teoritis hidrolis dari eco-engineering yaitu vegetasi dengan tajuk
tanaman akan memperkecil kecepatan air hingga ke tanah. Dengan memperkecil
kecepatan air pada sungai maka masalah banjir pada daerah hilir dapat dikurangi
serta kondisi alamiah sungai dapat dipertahankan.
Arsyad (2006) menguraikan bahwa tumbuhan berupa pepohonan, rumputan
dan semak-semak atau campuran berbagai bentuk dan jenis vegetasi yang ditanam
sepanjang tepi kiri dan kanan sungai disebut riparian buffer strips atau filter
strips. Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai
unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida yang terbawa, dari lahan di bagian
kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk ke sungai. Penyangga riparian juga
menstabilkan tebing sungai.
Daerah bantaran sungai harus dikelola sesuai karakteristiknya sebagai
dataran banjir (flood plain). Dataran banjir yang sebenarnya merupakan alur
sungai yang dilewati air hanya pada saat banjir, pada waktu tidak terjadi banjir
dataran ini menjadi bagian sistim daratan. Dataran banjir dapat berwujud lahan
yang sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, namun
mengingat dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai, maka peruntukannya
perlu diatur hanya untuk kegiatan yang sesuai dengan karakteristik dataran
tersebut.
Secara spesifik fungsi pengaturan daerah sempadan sungai diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai bahwa sempadan
sungai sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi
sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Pengertian daerah sempadan
sungai menurut kebijakan ini adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai
yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai, sedang pengertian bantaran
sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam
yang terletak di kiri dan kanan palung sungai.
Dalam Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan
sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai
diungkapkan bahwa daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah
retensi, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan. Olehnya itu,
pengelolaan sungai mensyaratkan adanya penataan bantaran sungai sebagai
dataran banjir. Pada pasal 15 kebijakan tersebut diuraikan pula bahwa batas
daerah penguasaan sungai yang berupa daerah retensi ditetapkan 100 (seratus)
meter dari elevasi banjir rencana di sekeliling daerah genangan, sedangkan yang
berupa daerah banjir ditetapkan berdasarkan debit banjir rencana
sekurang-kurangnya periode ulang 50 (lima puluh) tahunan.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 52 ayat 2 bahwa sempadan sungai
lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan. Adapun kriteria daerah sempadan sungai dalam kebijakan tersebut adalah;
1) daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit lima
meter dari kaki tanggul sebelah luar; 2) daratan sepanjang tepian sungai besar
tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100
(seratus) meter dari tepi sungai; dan c) daratan sepanjang tepian anak sungai tidak
bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima
puluh) meter dari tepi sungai. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka daerah
bantaran sungai harus dikelola dengan baik untuk melindungi kualitas sungai.
Konsep ekohidrolik merupakan konsep holistik yang menganggap bahwa
sungai merupakan suatu sistem yang kompleks sehingga pengembangan dan
restorasinya memerlukan pendekatan holistik dengan mempertimbangkan seluruh
faktor yang berhubungan dengan sungai (Maryono, 2007). Dengan demikian
dapat diungkapkan bahwa konsep ekohidrolik dalam pengelolaan sungai
dipandang mendukung konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu pengelolaan
dengan memperhatikan ekonomi, ekologi dan sosial budaya.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan terdapat tiga pilar (Munasinghe
1993, dalam Rogers, et al. 2008), yaitu:
a. Ekonomi, yaitu memaksimalkan pendapatan dengan mempertahankan
atau meningkatkan cadangan kapital.
b. Ekologi, yaitu menjaga dan mempetahankan sistim fisik dan biologis.
c. Sosial budaya, yaitu menjaga stabilitas dari sistem sosial dan budaya.
Konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya pengelolaan
sungai yang komprehensif dan terpadu. Wilson (1994) menguraikan bahwa
manajemen sungai secara terpadu bertujuan untuk mengurangi bahaya banjir dan
erosi, melindungi kualitas air dan habitat sungai, meningkatkan fungsi rekreasi
dan manfaat ekonomisnya. Karaktersitik dari manajemen terpadu tersebut
mencakup perancanaan tata guna lahan, kontrol kualitas air, manajemen spesies,
pemanfaatan sumber daya, kontrol limbah, fasilitas energi, pemanfaatan
Pengembangan model pengelolaan sungai juga sebagai bagian dari upaya
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diuraikan dalam
UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
bahwa: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.
1.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka pengelolaan
sungai yang diterapkan adalah dengan memanfaatkan vegetasi pada daerah
bantaran sungai sebagai upaya pencegahan banjir. Hal ini diungkapkan sebagai
konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Konsep ini merupakan pembuatan
riparian buffer strips dengan vegetasi yang tepat. Berbagai kajian
mengungkapkan bahwa vegetasi pada bantaran sungai dapat meningkatkan
resistensi aliran air sehingga kecepatan air dapat dikurangi dan banjir pada daerah
tengah dan hilir dapat dikendalikan.
Konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik merupakan pengelolaan
sungai secara non struktural yang mengintegrasikan komponen sosial dan ekologi
dalam rekayasa hidrolik sungai. Komponen ekologi sungai dikembangkan dengan
penataan vegetasi bantaran banjir di beberapa areal untuk memperlambat aliran air
sebagai komponen hidrolika pada sungai. Komponen sosial dintegrasikan pada
rekayasa hidrolik dengan pertimbangan bahwa partisipasi masyarakat sangat
mendukung keberlanjutan pengelolaan sungai. demikian halnya dengan
komponen ekonomi, dimana keterlibatan masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraannya.
Dalam Undang Undang No. 27 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air diuraikan bahwa pengaturan daerah sempadan air merupakan salah satu
upaya perlindungan dan pelestarian sumber air. Upaya perlindungan dan
pelestarian tersebut dapat diwujudkan dengan upaya pengendalian daya rusak air.
menguraikan bahwa pengendalian daya rusak air meliputi upaya pencegahan
sebelum terjadi bencana, penanggulangan pada saat terjadi bencana dan
pemulihan akibat bencana. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 38
tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa pengelolaan sungai dilakukan secara
menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan dengan tujuan untuk
mewujudkan kemanfaatan fungsi sungai yang berkelanjutan.
Secara spesifik uraian tentang pengelolaan sungai dalam Peraturan
Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat
Sungai, Daerah Penguasaan Sungai Dan Bekas Sungai bahwa penetapan garis
sempadan sungai bertujuan: 1) Agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk
tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang disekitarnya; 2) Agar kegiatan
pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di
sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian
fungsi sungai; dan 3) Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya
dapat dibatasi. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh
masyarakat untuk kegiatan-kegiatan budidaya pertanian dengan jenis tanaman
yang diijinkan, penyelenggaraan kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan
yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan
fungsi serta fisik sungai serta untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan
bangunan pengambilan dan pembuangan air.
Sebagai lokasi penerapan model, dipilih salah satu sungai kecil (luas DAS
≤ 500 km2
Sungai Lawo merupakan salah satu sungai di Kabupaten Soppeng
Propinsi Sulawesi Selatan. Sungai ini memiliki luas kawasan DAS kurang lebih
17 104.45 ha (171.04 km
) sesuai dengan uraian pada Peraturan Pemerinrah Nomor 38 tahun
2011 tentang sungai.. Dasar pemilihan sungai kecil yaitu bahwa keterkaitan antara
faktor fisik hidrolik, morfologi dan faktor ekologi dapat diamati secara mudah
(Maryono, 2007).
2
) dengan derah hulu pada Gunung Lapancu dan daerah
hilir pada Danau Tempe. Kondisi sungai ini cukup mengkhawatirkan dimana data
tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi genangan permanen seluas 76.53 ha.
terjadi setiap tahun menggenangi kawasan pemukiman dan persawahan sehingga
menyebabkan kerugian moril dan material bagi penduduk.
Selain itu, pada tepi sungai juga terjadi kelongsoran tebing sungai (river
bank erosion) yang menyebabkan lahan persawahan dan pemukiman penduduk
pada bantaran sungai berkurang. Masyarakat mengalami kerugian yang sangat
besar akibat gagal panen dan kerugian lahan sawah dan pemukiman yang longsor.
Penanganan Sungai Lawo saat ini adalah di beberapa titik dibangun tanggul
pelindung tebing serta normalisasi sungai. Akibatnya, terjadi energi yang besar
sehingga pada daerah yang tidak dibangun tanggul, terjadi erosi yang berlebihan
dan bahkan terjadi kelongsoran. Erosi tersebut menyebabkan lahan sawah di tepi
sungai arealnya semakin hari semakin berkurang dan bahkan sering terjadi rumah
penduduk pada bantaran sungai yang ikut hanyut terbawa arus sungai. Dengan
gambaran di atas, maka perlu disusun kerangka pemikiran penelitian yang
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir
Banjir pada sungai
Pengelolaan sungai sebagai flood
damage mitigation Pengelolaan secara struktural Pengelolaan secara non
struktural Komponen hidrolika sungai Komponen ekologi sungai Komponen sosial Bantaran sungai sebagai retensi banjir Model pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik UU No. 27 Th 2004
PP No. 42 Th. 2008 PP No. 26 Th. 2008 PP No.38 Th. 2011 Permen PU No. 63/PRT/1993
1.3. Perumusan Masalah
Pengelolaan sungai dengan berbasis konsep ekohidrolik merupakan suatu
model yang kompleks dengan memperhitungkan kondisi eksisting sungai yaitu
kondisi hidrolika dan ekologi. Kondisi hidrolika terkait dengan profil sungai dan
muka air banjir. Sedang kondisi ekologi terkait dengan vegetasi pada tebing dan
bantaran sungai. Konsep pengelolaan sungai diterapkan dengan melakukan
rekayasa hidrolika pada sungai yaitu dengan memperbesar penampangnya dan
memperkecil kecepatan air serta melakukan penataan pada bantaran sungai.
Konsep pengelolaan ini dapat diterapkan dengan baik dengan adanya
dukungan kebijakan pemerintah. Olehnya itu, maka rumusan masalah penelitian
adalah:
1. Bagaimana pengembangan model pengelolaan sungai berbasis konsep
ekohidrolik dengan mengoptimalkan lebar bantaran sungai dan pemilihan
diameter vegetasi yang tepat ?
2. Bagaimana kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep
ekohidrolik ?
3. Bagaimana penerapan model kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada
konsep ekohidrolik pada Sungai Lawo Kabupaten Soppeng ?
1.4. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model
pengelolaan sungai yang berbasis konsep ekohidrolik. Tujuan utama tersebut
dijabarkan menjadi beberapa tujuan khusus penelitian yaitu:
1. Mengembangkan model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik
dengan mengoptimalkan lebar bantaran sungai dan pemilihan diameter
vegetasi yang tepat
2. Merumuskan kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep
ekohidrolik.
3. Mengkaji penerapan model pengelolaan sungai berbasis pada konsep
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai
berikut:
1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan
pengkajian lebih lanjut terhadap model pengelolaan sungai yang
mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, ekologi dan teknologi.
2. Bagi pemerintah, merupakan masukan untuk landasan pengelolaan sungai
secara berkelanjutan serta dalam penyusunan kebijakan pengelolaan
sungai.
3. Bagi masyarakat, merupakan model pengelolaan yang mengembangkan
partisipasi masyarakat sehingga potensi sosial, budaya dan ekonominya
dapat dikembangkan.
1.6. Novelty
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa beberapa penelitian tentang
pengelolaan sungai yang pernah dilakukan belum ada yang mengintegrasikan
aspek teknologi, ekologi dan sosial. Penelitian terdahulu hanya
mempertimbangkan komponen hidrolika sungai. Dengan demikian, maka
kebaruan dalam penelitian ini adalah tersusunnya model pengelolaan sungai yang
berbasis pada konsep ekohidrolik dengan mengintegrasikan antara komponen
ekologi, sosial, ekonomi serta teknologi pada pengelolaan sungai. Kebaruan lain
dari penelitian ini adalah adanya alternatif model pengelolaan sungai yang dapat
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Daerah Aliran SungaiDaerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa
literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya
menggunakan istilah: watershed, river basin, catchment atau drainage basin.
Istilah watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river
basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah
aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh
punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk
kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007).
Definisi daerah aliran sungai pada Undang Undang Nomor 7 tahun 2004
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.
Daerah aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik
yang spesifik dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan
lintasannya. Karakter tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim
di sekitar sungai. Olehnya itu, tataguna daerah aliran sungai harus diatur
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat
persaingan kepentingan.
Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya
alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum lestari dan
berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Dalam sistem
DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di
daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya,
oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting. Dalam setiap
aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat
kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator
yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh
masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan
kegiatan.
Dengan demikian pengelolaan daerah aliran sungai selain
mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek sosial,
[image:32.595.142.427.263.469.2]ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar pada
Gambar 2.
Gambar 2. Model pengelolaan daerah aliran sungai
(Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004)
Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka daerah aliran sungai
dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu
merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan
tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri: lereng terjal,
terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan
airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan
jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah
hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi
interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan
tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukan dan
Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir
sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki
karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil,
tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air
permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang
daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik:
alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk
dataran banjir serta terbentuk meander.
Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber daya
air. Kodoatie dan Sjarief (2008) menguraikan bahwa dalam suatu DAS banyak
sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air.
Olehnya itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu
kesatuan minimal dalam suatu daerah aliran sungai.
Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen
DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk
produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya
alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam
ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan
keluaran dari ekosistem.
Asdak (2007) menguraikan proses interaksi dalam DAS yaitu dengan
masukan berupa curah hujan dan erosi. Sedang keluarannya adalah debit air serta
muatan sedimen. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau
sungai bertindak sebagai prosessor. Proses erosi pada daerah tangkapan air sangat
erat kaitannya dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem
DAS merupakan suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus
dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas
Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007)
Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang
diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidroorologis di alam. Keseimbangan
tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit
maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator
keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas
tanah serta kondisi sungai. Keterkaitan antara karakteristik DAS dengan kinerja
sungai diuraikan oleh Haryoguritno (1998) bahwa keberlanjutan sungai dapat
diungkapkan sebagai kinerja sungai dalam menyediakan aliran andalan bagi
komunitasnya. Indeks kinerja sungai ditentukan luas DAS, panjang sungai,
kelerengan sungai, kondisi geologi DAS, kerapatan pematusan, curah hujan, tata
guna lahan, persentase luas hutan, persentasi aliran permukaan yang terkendali
dan kepadatan pendudukan di wilayah sungai.
2.
2.SungaiDalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai
diuraikan bahwa: “sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa
jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara,
dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.”.
Sungai adalah bagian dari muka bumi yang paling rendah dibandingkan
dengan permukaan sekitarnya dan menjadi tempat air mengalir. Dari sudut
Input = Curah hujan
Vegetasi Tanah Sungai
Output = debit dan muatan
Manusia = IPTEK
pandang ekologi, sungai dipandang sebagai wilayah keairan dinamis akibat
pengalirannya. Sungai merupakan sistem terbuka dengan faktor dominan aliran
air. Aliran air ini melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran sungai
atau morfologi sungai tertentu.
Hui dan Ming (2009) mengungkapkan bahwa sungai memiliki lima fungsi
alamiah yaitu: 1) Fungsi transportasi aliran yaitu mengangkut aliran air hujan
serta mengangkut sedimen serta mempertahankan kondisi normal sungai, 2)
Fungsi sumber daya air permukaan, 3) Fungsi tangkapan air pada limbah industri,
pertanian dan pemukiman, 4) Fungsi habitat bagi biota akuatik, dan 5) Fungsi
natural barrier atau pelindung alami. Dari kelima fungsi tersebut, fungsi
pengangkutan aliran air dan sedimen merupakan fungsi yang terpenting dalam
pengelolaan sungai.
Sosrodarsono dan Takeda (2006) menguraikan bahwa sungai mempunyai
fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah tertentu dan
mengalirkannya ke laut. Sungai dapat digunakan untuk berjenis-jenis aspek
seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan lain-lain.
Dalam bidang pertanian sungai berfungsi sebagai sumber air yang penting untuk
irigasi.
Sungai juga merupakan salah satu elemen dalam siklus hidrologi dimana
sungai mengumpulkan 3 (tiga) jenis limpasan yakni limpasan permukaan (surface
runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater runoff)
(Sosrodarsono dan Takeda, 2006). Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah
sebagian terinfiltrasi dan sebagian mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah,
kemudian mengalir ke daerah yang lebih rendah dan masuk ke sungai. Aliran air
ini merupakan limpasan permukaan. Aliran intra berasal dari aliran air yang
terlebih dahulu terserap oleh tanah dan keluar kembali menuju ke sungai.
Limpasan air tanah bersumber dari air tanah (groundwater) yang keluar sedikit
demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah yang rendah.
Jika dilihat dari bentuknya, maka morfologi sungai menggambarkan
keterpaduan antara karakteristik abiotik (fisik, hidrologi, hidrolika, sedimen dan
lain-lain) dan karakteristik biotik (biologi atau ekologi) daerah yang dilaluinya.
dan biotik namun juga campur tangan manusia dalam aktivitasnya mengadakan
pembangunan di wilayah sungai (sosio antropogenik). Pengaruh campur tangan
manusia ini dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang jauh lebih
cepat daripada pengaruh alamiah abiotiik dan biotik saja.
Forman dan Gordon (1983) dalam Waryono (2008) menguraikan bahwa
morfologi sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar yang secara rinci
digambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk morfologi sungai (Waryono, 2008)
Berdasarkan uraian dan Gambar 4, maka morfologi sungai tidak hanya
mencakup badan sungai tetapi juga daerah sekitarnya. Daerah A merupakan
bantaran sungai yang merupakan pembatas antara badan sungai dengan daerah
datar sekitarnya. Daerah B merupakan tebing sungai yang merupakan pembatas
daerah aliran. Daerah C adalah badan sungai dan D menunjukkan tinggi muka air.
Vegetasi yang tumbuh pada bantaran dan tebing sungai disebut juga vegetasi
riparian.
Selain itu, morofologi sungai juga ditandai dengan adanya pulau-pulau di
sungai. Pulau secara ekologis merupakan habitat yang paling cocok untuk
perkembangan ekologi, karena pulau relatif terlindung dari gangguan
antropogenik. Secara hidrolik pulau berfungsi sebagai komponen penahan
kecepatan aliran sungai dan meningkatkan deversifikasi distribusi aliran sungai.
Hal ini berguna bagi proses sedimentasi, erosi dan perkembangan ekologi akuatik
Adapun konfigurasi pulau di sepanjang sungai yang dapat muncul
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Konfigurasi pulau di sungai (Maryono, 2008)
Konfigurasi pulau di sungai yang berbeda-beda disebabkan oleh pola
aliran dan resistensi pulau terhadap aliran. Jika ditinjau pada arah memanjang
sungai, bentuk alur sungai dapat dibedakan menjadi lurus, bercabang-cabang dan
bermeander. Menurut Rosgen dalam Maryono (2007), bentuk sungai dapat
dibedakan menjadi 7 tipe yaitu tipe A,B,C,D,E,F dan G sebagaimana nampak
pada Gambar 6. Tipe-tipe tersebut terbentuk terutama dipengaruhi oleh
kemiringan dasar dan sedimen penyusun dasar sungainya.
Jika ditinjau dari lebar dan luas DAS, maka sungai terbagi atas empat
kelompok (Okologie, 1999 diacu dalam Maryono, 2005) yaitu:
− Kali kecil dari suatu mata air yaitu dengan luas DAS 0–2 km2
− Kali kecil yaitu dengan luas DAS 2–50 km
dan lebar
0–1 m.
2
− Sungai kecil yaitu dengan luas DAS 50-300 km
dan lebar 1–3 m.
2
− Sungai besar yaitu dengan luas DAS lebih dari 300 km
dan lebar 3–10 m.
2
Pembagian sungai menjadi empat jenis tersebut sangat penting artinya dalam
menelaah sifat-sifat sungai. Sungai-sungai kecil akan mempunyai karakter yang
hampir sama, demikian pula dengan sungai sedang dan sungai besar. Salah satu
karakter sungai yang dapat dilihat dari penggolongan tersebut adalah debit sungai.
Pada sungai kecil yang masih alamiah, debit aliran berasal dari air tanah atau mata
air dan debit aliran permukaan atau air hujan. Aliran air pada sungai jenis ini
menggambarkan kondisi hujan daerah yang bersangkutan. Sedang pada sungai
besar, sebagian besar debit alirannya berasal dari sungai-sungai kecil di atasnya. dan lebar lebih
dari 10 meter.
Secara melintang, sungai dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah badan
sungai dan daerah sempadan sungai. Daerah badan sungai adalah bagian sungai
yang dalam dan yang dangkal yang bila airnya surut akan diisi dengan gugus
endapan. Daerah ini biasa juga disebut dengan zona akuatik. Dasar sungai dapat
terdiri dari substrat berbatu, kerikil, pasir atau lumpur. Substrat berbatu atau
kerikil merupakan substrat keras yang menyediakan tempat bagi tumbuhan dan
hewan akuatik untuk hidup. Air mengalir melalui permukaan bebatuan akan
mengandung lebih banyak oksigen. Sedangkan substrat berpasir atau berlumpur
ditemukan ketika air sungai bergerak lambat. Hal ini terjadi karena aliran sungai
yang lambat tidak mampu mengangkut partikel sedimen yang berukuran lebih
besar seperti bebatuan atau kerikil.
Sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah dengan lebar
longsoran tebing sungai yang mungkin terjadi. Sempadan sungai merupakan
daerah ekologi dan daerah hidrologis sungai yang sangat penting. Daerah
sempadan sungai berfungsi memberikan kemungkinan luapan banjir pada sisi kiri
diredam dengan demikian erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat berkurang.
Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir.
Sempadan sungai merupakan area yang dipertimbangkan dalam perbaikan
fungsi ekologi aquatik dan terrestrial, kualitas air, hidraulik dan morphologi
sungai. Penetuan lebar sempadan sungai berbeda-beda tergantung tujuan
pemanfaatannya. Secara rinci penentuan lebar sempadan sungai sesuai
manfaatnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penentuan lebar sempadan sungai
Manfaat Lebar Sempadan (meter) Tujuan konservasi Perbaikan kualitas air 5.00 - 30.00 Perbaikan habitat akuatik 3.00 - 30.48
Perbaikan habitat biota terestrial
30.00 - 500.00
Perlindungan kualitas air 15.00 - 80.00 Perlindungan gerakan meandering
dan banjir
5.00 - 90.00
Sumber: Maryono, 2010
Namun demikian fungsi sempadan sungai untuk kepentingan kualitas
lingkungan seakan diabaikan. Saat ini
Pengurangan panjang aliran sungai serta tidak adanya meandering akibat
pelurusan akan memperpendek retensi waktu dan mengurangi energi disipasi
hidrolik. Perubahan kondisi fisik ini menyebabkan air sungai lebih cepat mengalir
ke laut, kapasitas pemulihan (self cleaning capacity) berkurang dan terjadi
peningkatan transpor hara ke laut. Pengurangan fungsi penyimpan air akan
mengurangi ketersediaan habitat bagi ikan dan jenis hewan akuatik lainnya.
Selanjutnya tidak adanya bantaran banjir akan meningkatkan volume run off dan mengurangi fungsi keseimbangan air (water table). Biodiversitas juga akan
berkurang akibat tidak adanya flora dan fauna pada bantaran banjir.
sebagian besar sungai di daerah-daerah
pertanian telah direduksi fungsinya menjadi drainase dengan kapasitas pemulihan
(self capacity) yang kecil serta pengembangan nilai konservasi alami yang
minim. Konservasi sungai dilakukan dengan pelurusan dan pengerukan untuk
memenuhi kebutuhan air bagi pertanian. Akibatnya terjadi perubahan kondisi fisik
sungai yaitu: pengurangan panjang aliran, pengurangan fungsi penyimpanan air,
tidak adanya bantaran banjir (floodplains) dan hilangnya vegetasi di sepanjang
Selain itu, vegetasi pada bantaran banjir dapat mengurangi angkutan
sedimen di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian Irawan (2008) bahwa vegetasi
pada riparian adalah salah satu cara untuk mengendalikan erosi tebing sungai.
Demikian pula dengan uraian Sandercock et al. (2007) bahwa vegetasi pada
bantaran sungai berpengaruh terhadap proses pengendapan dan pencegahan
terhadap erosi. Sebagai sumber air, sungai sangat bermanfaat dalam kehidupan
manusia. Olehnya itu, maka sungai harus dikelola dengan baik demi menjaga
keberlangsungan fungsinya berdasarkan karakteristik keteraturan dan
kompleksitasnya.
2.3. Banjir
Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau
bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 2007). Pada Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa banjir adalah peristiwa
meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Aliran/genangan air yang terjadi
karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur
sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat
(Sudjarwadi, 1987). Dengan demikian, kejadian banjir pada sungai menunjukkan
adanya luapan di kiri dan kanan sungai dan dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Banjir terjadi ketika curah hujan dan limpasan melebihi kapasitas alur sungai
untuk mengangkut debit aliran yang meningkat (Chech, 2005) Selanjutnya
Debit aliran yang meningkat disebabkan oleh tingginya intensitas curah
hujan. Selain itu limpasan permukaan juga meningkat akibat kapasitas infiltrasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan curah hujan yang terjadi. Olehnya
terjadinya banjir sangat terkait dengan intensitas curah hujan, infiltrasi dan
limpasan permukaan. Olehnya itu, maka dalam menentukan debit banjir Arsyad
(2006) menguraikan bahwa banjir yang menggenangi lahan-lahan di perkotaan
dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan terjadi sebagai akibat tidak
tertampungnya aliran permukaan yaitu air yang mengalir di permukaan tanah,
DAERAH PENGUASAAN SUNGAI
DATARAN BANJIR DATARAN BANJIR
SUNGAI
Garis Sempadan (GS) GS
BANJIR BANJIR
DEBIT > 50 TAHUNAN
diperlukan data curah hujan yang dianalisis menjadi intensitas curah hujan.
Gambaran kejadian banjir pada sungai disajikan pada Gambar 7
Gambar 7. Kejadian banjir di sungai
Nahak et al. (2008) yang mengkaji tentang penyebab utama terjadinya
genangan pada Sungai Muke di NTT serta alternatif pengendalian banjir dengan
menganalisis kapasitas tampang hidraulis sungai dalam mengalirkan debit banjir
kala ulang 10 tahun. Hasil kajiannya adalah banjir terjadi akibat rendahnya
kapasitas tampang maksimum (bank full capacity) sungai. Sedang penanganan
terhadap genangan banjir yang direkomendasikan adalah dengan membuat
storage area.
Kondisi bankfull capacity yang kecil terjadi karena tingginya sedimentasi
disepanjang alur sungai akibat erosi alur dan longsoran tebing sungai. Selain itu,
banjir sungai juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pasang. Hal ini sesuai dengan
penelitian Nanlohy et al. (2008) yang mengkaji ruas-ruas kritis banjir pada Sungai
Tondano. Hasil penelitiannnya menunjukkan bahwa banjir di Sungai Tondano
diakibatkan oleh bankfull capacity yang kecil serta pengaruh backwater akibat
pasang naik dan lateral inflow. Alternatif terbaik yang disarankan dalam
penanggulangan banjir adalah pembangunan tanggul sungai
Karakteristik daerah aliran sungai juga mempengaruhi kondisi banjir yang
terjadi. Untuk daerah hulu dengan alur sungai yang relatif curam dan bukit yang
terjal, maka banjir dengan waktu datang sangat singkat sering terjadi. Namun di
daerah ini banjir akan datang dengan waktu yang singkat, demikian pula dengan
waktu berakhirnya, karena elevasi daerah yang relatif lebih tinggi sehingga air
Untuk daerah tengah banjir yang terjadi datangnya tidak secepat pada
daerah hulu, demikian pula air banjir biasanya masih mudah untuk diatuskan
keluar daerah dengan gaya beratnya sendiri. Pada daerah hilir, kemiringan dasar
sungai maupun kemiringan tanah di kawasan ini biasanya sangat kecil dan relatif
datar. Biasanya waktu datang banjir cukup lama, namun pengatusan air genangan
juga mengalami kesulitan. Hal ini biasanya disebabkan oleh energi air yang sudah
kecil, sehingga air genangan tidak mungkin diatuskan dengan gaya berat. Jika
kondisi ini dibarengi dengan pasang surut air laut pada kondisi tinggi, maka
pengatusan air tanpa bantuan pompa, hampir tidak mungkin. Pada daerah ini,
penanganan banjir harus menginteraksikan pengaruh aliran banjir di sungai
dengan hidrodinamika gerakan pasang surut di laut.
Dalam pengelolaan banjir debit sungai merupakan parameter penentu yaitu
besarnya volume aliran di sungai. Besarnya debit atau limpasan dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu elemen meteorologi dan sifat fisik daerah pengaliran. Elemen
meteorologi menyangkut jenis presipitasi, intensitas curah hujan, lamanya curah
hujan, distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran, arah pergerakan curah
hujan, curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah. Sedang elemen daerah
pengaliran mencakup kondisi penggunaan tanah (landuse), daerah pengaliran,
kondisi topografi dalam daerah pengaliran, jenis tanah dan beberapa faktor lain
(Sosrodarsono dan Takeda, 2006).
Data curah hujan terlebih dahulu harus dihitung probabilitasnya sehingga
memenuhi standar dengan tingkat ketelitian yang dapat diterima. Probabilitas
curah hujan dihitung dengan Metode Gumbel dan Metode Log Pearson Type III
serta Uji Chi Square.
Metode Gumbell adalah metode distribusi eksponensial yang sekaligus
telah menggunakan kurva asimetris kerapatan dan dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
= X + S . K………(1)
K = ( Yt – Yn)/Sn……… (2)
Keterangan:
= Harga rata-rata dari data curah hujan (mm)
S = Simpangan baku
K = Faktor frekuensi
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (n)
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data (n)
Yt = Reduced variate
Metode Log Pearson Type III menggunakan parameter harga rata-rata,
standar deviasi dan koefisien kepencengan. Persamaan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Harga rata – rata :
………(3)
Standar Deviasi :
……… ……(4)
Koefisien kepencengan :
………(5)
Keterangan:
Log X = Logaritma data yang dicari
= Logaritma rata-rata data
Log Xi = Logaritma data tahun ke-i
K = Konstanta Log Pearson Type III, berdasarkan Cs
S = Simpangan baku
Cs = Koefisien kepencengan
n = Jumlah data
Uji kesesuaian Chi Square
………(6)
Keterangan:
= Harga uji statistik
Ei = Frekuensi yang diharapkan
Besarnya intensitas hujan dapat ditentukan dengan rumus empiris Talbot,
Sherman dan Ishiguro dengan Metode Van Breen, Metode Bell Tanimoto
(Soemarto : 1986) yang diuraikan sebagai berikut:
Metode Van Breen menggunakan persamaan sebagai berikut:
………(7)
Keterangan
= Intensitas Hujan (mm/jam) pada PUH T pada waktu konsentrasi tc
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
RT
Metode Bell Tanimoto menggunakan persamaan : = Curah hujan harian maksimum PUH T (mm/jam)
……….………(8)
Keterangan
R = Curah hujan (mm)
T = Periode ulang (Tahun)
T = durasi hujan (menit)
R1
R
= besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto
2
Persamaan Talbot:
= besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 2 menurut Tanimoto
b t
a I
+
= ………(9)
2 2 2 2 ) ( ) ( ) )( ( ) ).( . ( II I n I t I I t I a ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ ∑ = ……….(10) 2 2 2 ) ( ) ( ) ( ) . .( ( II I n t I n t I I b ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ = ………(11) Persamaan Sherman: n t a
I = ………(12)
(
)
[
]
(
)
[
2]
2(
)
[
]
(
)
[
2]
2) (log . log . ) . log . . (log . log ). (log t t n I t n t I n − − = ………..(14) Persamaan Ishiguro: b t a I + = ………..……(15)
( )
2 2 5 . 0 2 2 5 . 0 ) ( ) .( ) )( ( ) ( . I I n I t I I t I a − −= ………(16)
( )
2 2 5 . 0 2 5 . 0 2 ) ( ) .( ) .( ) . ( . I I n t I n t I I b − − = ………..………..(17) Keterangan:I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = waktu (durasi) hujan (menit)
a,b = konstanta
( ) = jumlah angka-angka dari tiap suku.
Curah hujan efektif merupakan parameter curah hujan yang dipengaruhi
oleh koefisien limpasan/koefisien pengaliran. Koefisien tersebut merupakan
perbandingan antara banyaknya limp