• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lain di Kabupeten Bengkalis, Riau.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lain di Kabupeten Bengkalis, Riau."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN BENGKALIS, RIAU

WARI KARTIKANINGSIH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

WARI KARTIKANINGSIH (G24070037 Estimated Greenhouse Gas Emissions from Agriculture, Forestry and Other Land Use in Bengkalis, Riau. Supervised by Prof. Dr. Ir. RIZALDI BOER, M.Sc.

Agriculture, forestry and land use change in Indonesia accounted for substantial emissions. This study assumed greenhouse gas emissions based on methods developed by IPCC. Estimation of emissions based on IPCC methods have been developed by the University of Colorado in the form of software called ALU (Agricultural Land Use). Activity data were collected through the survey results, the data of agriculture and forestry. Known land use change data based on satellite data of 2000, 2003, 2006 and 2009. Emission factors used are set by default IPCC 1996, 2003, and 2006 for the region corresponding to the climate of the study area. Result of research indicate that greenhouse gas emissions sector agriculture, forestry and land use change yielded from 6 activity that is emission from loss biomass, emision of change carbon deposit organic land, emission of dinitrogen oxide of land, emission of usage fertilizer and emission from farm. Emission in subprovince of Bengkalis which written down in sixth of activity yield annual emission equal to 6456,82 Gg CO2e. Total emission from sixth this activity mount every year.

(3)

WARI KARTIKANINGSIH (G24070037). Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lain di Kabupaten Bengkalis, Riau. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. RIZALDI BOER, M.Sc

Sektor pertanian, kehutanan dan perubahan penggunaan lahan di Indonesia menyumbang emisi cukup besar. Penelitian ini menduga emisi gas rumah kaca berdasarkan metode yang dikembangkan IPCC. Pendugaan emisi berdasarkan metode IPCC telah dikembangkan oleh universitas Colorado dalam bentuk software yang dinamakan ALU (Agricultural Land Use). Data aktivitas dikumpulkan melalui hasil survey, data pertanian dan kehutanan. Data perubahan penggunaan lahan diketahui berdasarkan data satelit tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009. Faktor emisi yang digunakan adalah default yang ditetapkan IPCC tahun 1996, 2003, dan 2006 untuk wilayah yang sesuai dengan iklim di wilayah kajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lain dihasilkan dari 6 aktivitas yaitu emisi dari hilangnya biomasa, emisi dari perubahan simpanan karbon tanah organik, emisi akibat pembakaran biomasa, emisi dinotogen oksida dari tanah, emisi dari penggunaan pupuk dan emisi dari peternakan. Emisi di Kabupaten Bengkalis yang dituliskan dalam keenam aktivitas tersebut menghasilkan emisi pertahun sebesar 6456,82 Gg CO2e. Total emisi dari keenan aktivitas ini meningkat dari tahun ketahun.

Kata Kunci : emisi gas rumah kaca , kehutanan , pertanian, perubahan penggunaan lahan, software

(4)

DI KABUPATEN BENGKALIS, RIAU

WARI KARTIKANINGSIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

NIM : G24070037

Menyetujui,

Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc NIP: 19600927 198903 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. NIP: 19600305 198703 2 002

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lain di Kabupaten Bengkalis, Riau ini. Karya ilmiah ini ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam proses penelitian maupun penyusunan karya ilmiah penulis mendapatkan banyak bantuan berbagai pihak sehingga penellitian maupun penyelesaian tugas akhir dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan

support yang diberikan.

2. Pak Bregas sebagai dosen pembimbing akademik atas kesediaan waktunya selama ini. 3. Ibu Rini, Pak Sony, Pak Bey, Pak Yon, Pak Bambang, Pak Hidayat, Pak Heny, Bu Ana, Pak

Sobri, Bu Tania, Pak Abu, Pak Daniel, Pak Tofik dan semua dosen saat TPB maupun matakuliah di luar departemen GFM atas segala ilmu yang diberikan.

4. Seluruh Staf CCROM-SEAP terutama kak Gito yang bersedia memberikan waktunya untuk ikut membimbing dalam pengolahan data.

5. Teman-teman GFM 44, Dimas, Joko, Azim, Nedy, Ii, Fitri, Pasha, Syamsu, Riri, Eca, Anies, Anto, Blake, Andi, Afdal, Abang, Aci, Nanas, dll yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan dan semangat yang selalu diberikan.

6. Teman-teman kostan Aisyah: Indri, Hana, Ici, Aan, Anggun, Kanov, Devi, Junda, Widya, Ade, mb Henti, mb Susan, mb Siti, Chan2, yang turut memberikan support dan semangat. 7. Keluarga besar KSR PMI Unit 1 IPB: mb Via, Roky, Yuda, Dani, Tri, dan semua alumni,

teman seangkatan juga adik-adik atas do’a dan dukungannya.

8. Seluruh kakak kelas dan adik kelas di GFM: Kak Yunus, Kak Willy, Kak Sandro, Kak Ria, dll.

Karya ilmiah ini penulis dedikasikan untuk Bapak, Mama juga untuk Mba Maolin dan Ifan. Terimakasih atas kesabaran dan pengorbanan juga kepercayaan yang selama ini sudah kalian berikan.

Penulis menyadari karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itulah saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2012

(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Tolib dan Muldiyati. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Negeri Pekayon 11 Pagi dan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 91 Jakarta dengan tahun kelulusan 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 99 Jakarta, lulus pada tahun 2007. Setelah lulus SMA penulis diterima sebagai mahasiswi IPB program Mayor-Minor melalui jalur USMI dengan memilih program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Minor yang berhasil ditempuh oleh penulis adalah Ekonomi Sumberdaya, Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjalani masa perkuliahan penulis aktif dalam organisasi KSR PMI Unit 1 IPB dan HIMAGRETO. Keaktifan penulis dalam organisasi KSR PMI Unit 1IPB dimulai sejak tahun 2008 hingga menyelesaikan program sarjananya. Sedangkan keaktifan penulis dalam organisasi HIMAGRETO hanya pada tahun 2008 sampai 2009. KSR PMI Unit 1 IPB adalah salah satu UKM bidang khusus yang bergerak di bidang kesehatan. Dalam organisasi ini penulis sempat menjabat sebagai Komandan pada tahun 2009 sampai 2010. Dan sejak tahun 2010 sampai 2011 penulis bertindak sebagai Ketua Badan Pengawas Organisasi.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iiix

RIWAYAT HIDUP ...iix

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ... 1

2.2 Gas Rumah Kaca ... 2

2.3 Perubahan Penggunaan Lahan ... 3

2.3.1 Lahan Gambut sebagai Daerah Penyimpan Karbon ... 3

2.3.2 Emisi Karbon dari Lahan Gambut ... 4

2.4 Software Agricultural land Use sebagai Alat Penghitung Emisi... 5

III. METODOLOGI... 5

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 5

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 5

3.3 Tahapan Penelitian ... 6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

4.1 Emisi dari Hilangnya Biomasa (Biomass Loss) ... 11

4.2 Emisi dari Perubahan Simpanan Karbon Tanah Organik ... 13

4.3 Emisi Akibat Pembakaran Biomasa ... 15

4.4 Emisi Dinitrogen Oksida dari Tanah ... 16

4.5 Emisi dari Penggunaan Pupuk ... 16

4.6 Emisi dari Peternakan... 17

4.7 Perbandingan Emisi GRK Perkapita Kabupaten Bengkalis dengan Emisi GRK Perkapita Nasional... 19

V. SIMPULAN DAN SARAN... 21

5.1 Simpulan ... 21

5.2 Saran ... 21

DAFTAR PUSTAKA ... 21

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sumber, rosot dan peningkatan CO2 (Gt C th-1) ... 3

2 Luas total lahan gambut yang layak untuk pertanian serta sebarannya di Indonesia ... 4

3 Asumsi pada pengolahan data ... 9

4 Hasil perhitungan emisi gas rumah kaca Kabupaten Bengkalis tahun 2001-2009 ... 10

5 Emisi akibat hilangnya biomasa (biomass loss) ... 12

6 Emisi akibat perubahan simpanan karbon tanah organik ... 14

7 Emisi akibat pembakaran biomasa ... 15

8 Emisi N2O dari Tanah ... 16

9 Emisi dari penggunaan pupuk ... 17

10 Emisi metana dari kegiatan peternakan ... 18

11 Emisi N2O dari kegiatan peternakan ... 19

12 Emisi perkapita Kabupaten Bengkalis tahun 2001-2005 ... 20

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta Kabupaten Bengkalis ... 2

2 Skema representasi fenomena efek rumah kaca ... 2

3 Pertukaran senyawa karbon dan N2O antara ekosistem terestrial dan atmosfer ... 3

4 Emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain di Kabupaten Bengkalis tahun 2001-2009 ... 11

5 Emisi gas rumah kaca akibat hilangnya biomasa ... 13

6 Saluran drainase pada lahan gambut ... 13

7 Komposisi gas akibat pembakaran biomasa ... 16

8 Emisi GRK dari peternakan ... 18

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Luas perubahan pengunaan lahan tahun 2000-2003, 2003-2006 dan 2006-2009 ... 24

Luas perubahan pengunaan lahan tahun 2000-2003... 24

Luas perubahan pengunaan lahan tahun 2003-2006... 25

Luas perubahan pengunaan lahan tahun 2006-2009... 27

2 Klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan IPCC 2006 ... 30

3 Data luas panen Kabupaten Bengkalis tahun 2009 ... 31

4 (A) Produksi kayu olahan di Kabupaten Bengkalis menurut jenisnya ... 33

(B) Densitas kelompok kayu meranti, kelompok kayu indah dan kelompok kayu rimba cam pu ran ... 33

5 Penggunaan kayu bakar di Kabupaten Bengkalis ... 35

6 (A) Perubahan biomasa karbon lahan hutan ... 36

(B) Perubahan biomas karbon tanaman tahunan ... 37

(C) Perubahan biomasa karbon dari deforestasi ... 41

(D) Perubahan biomasa karbon dari biomasa rumputan ... 43

7 Perubahan stok karbon tanah organik ... 44

8 Emisi akibat pembakaran biomasa ... 45

9 Emisi dinotregen oksida dari residu tanaman dan lahan organik yang ditanami ... 46

10 Penggunaan pupuk tahun 2001 sampai tahun 2009 di Kabupaten Bengkalis ... 47

11 Perhitungan nilai emisi dari penggunaan pupuk ... 48

12 (A) Data populasi ternak Kabupaten Bengkalis tahun 2001-2009 ... 50

(B) Emisi metana dari fermentasi ... 52

(C) Emisi metana dari pupuk ... 52

13 Perhitungan nilai emisi N2O dari kegiatan peternakam ... 53

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian, kehutanan dan pengunaan lahan lain merupakan salah satu faktor penyumbangan emisi terbesar di atmosfer. Penggunaan pupuk dan pengolahan sisa hasil pertanian yang dilakukan dengan cara bakar merupakan aktivitas yang menyebabkan emisi dari sektor pertanian. Aktivitas penyebab emisi dari sektor kehutanan misalnya adalah penebangan kayu produksi. Laporan kementrian lingkungan hidup tahun 2010 tentang nilai emisi di Indonesia menujukkan bahwa sektor pertanian dan kehutanan menyumbang 65% dari total emisi. Nilai ini dibandingkan dengan emisi dari sektor energi, proses industri dan sampah (KLH 2010).

Perhitungan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada metode yang dikembangkan oleh IPCC. Data aktivitas dikalikan dengan faktor emisi merupakan rumusan umum untuk mendapatkan nilai emisi. Data aktivitas didapat berdasarkan hasil survey di daerah kajian, data statistik dari sektor pertanian juga sektor kehutanan. Faktor emisi yang digunakan merupakan default atau nilai yang ditetapkan dalam IPCC 1996, 2003 dan 2006. Pemilihan nilai faktor emisi disesuaikan dengan iklim di wilayah kajian. Menghitung emisi berdasarkan metode tersebut telah dikembangkan oleh universitas Colorado dalam bentuk perangkat lunak yang dinamakan ALU atau Agricultural Land Use Software. Penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan software ini menghasilkan nilai emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan tahun 2000 sampai 2009 di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Penggunaan lahan di wilayah kajian diketahui dengan memanfaatkan data satelit Lansat tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009.

Perubahan penggunaan lahan di wilayah gambut potensial melepas karbon apabila pengelolaan di atas lahan tersebut tidak diperhatikan. Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh tingginya akumulasi bahan organik dengan laju dekomposisi yang rendah (Noor 2001). Oleh karena itu menghitung nilai emisi di daerah yang mengandung banyak lahan gambut dirasa perlu.

Provinsi Riau merupakan provinsi dengan luas lahan gambut terbesar di Pulau Sumatera (Wahyunto 2005). Penggunaan

lahan gambut untuk perkebunan maupun pertanian memang mendatangkan keuntungan ekonomi. Namun ternyata hal tersebut menyebabkan masalah di kemudian hari karena kegiatan tersebut mengurangi simpanan karbon dalam ekosistem terestrial. Dengan mengetahui cara pengelolaan lahan gambut, seperti pengaturan tata air, serta cara penanaman yang benar resiko hilangnya karbon pada ekosistem ini dapat dikurangi. Wilayah kajian yang dipilih dalam penelitian ini adalah salah satu kabupaten di provinsi Riau, yaitu Kabupaten Bengkalis.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menghitung emisi gas rumah kaca dari pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain dalam selang tahun 2000 sampai tahun 2009 di Kabupaten Bengkalis, Riau dengan menggunakan software Agriculrural Land Use (ALU).

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencangkup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan, dengan total luas 11.481,11 km2. Kabupaten Bengkalis terletak antara 2°30’-0°17’LU dan 100°52’-102°10’BT. Batas wilayah Kabupaten ini antara lain : Selat Malaka di bagian utara, Kabupaten Siak di bagian selatan, Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu di bagian barat, serta Kabupaten Karimun dan Kabupaten Pelalawan di bagian selatan.

(14)

dan etnis Tionghoa (dengan mayoritas penduduk adalah suku Melayu).

Letak Kabupaten Bengkalis sangat strategis, karena disamping berada di tepi jalur pelayaran internasional yang paling sibuk di dunia yakni selat Malaka, Kabupaten Bengkalis juga berada pada kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT) dan kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).

Wilayah Kabupaten Bengkalis pada umumnya merupakan dataran rendah (rata-rata berada pada ketinggian 1-6,1 meter diatas permukaan laut). Kelerengan topografi Kabupaten Bengkalis relatif landai. Tanah di kabupaten ini didominasi oleh lahan gambut dengan ketebalan tipis hingga tebal yang mencangkup sekitar 80% dari total wilayah. Wilayah Kabupaten Bengkalis beriklim tropis yang sangat dipengaruhi sifat iklim laut. Temperatur berkisar antara 26°C sampai 32°C dengan curah hujan rata-rata pertahun (806-4078) millimeter (www.bengkalis.go.id).

Gambar 1 Peta Kabupaten Bengkalis.

2.2 Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap radiasai matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Menurut konferensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change -UNFCCC), ada 6 jenis gas yang digolongkan menjadi GRK yaitu : karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorocarbon (HFCs) (Trismidianto et al 2008). Gas rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Ilustrasi mengenai proses menghangatnya bumi akibat efek rumah kaca dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 2 Skema representasi fenomena efek rumah kaca

(http://maps.grida.no/go/graphic/ greenhouse-effect).

Gas rumah kaca memiliki kemampuan untuk menangkap radiasi gelombang pendek dari matahari dan meneruskannya ke bumi. Namun gas rumah kaca juga dapat memantulkan radiasi gelombang panjang dari bumi, sehingga bumi seakan-akan mendapatkan pemanasan dua kali. Dengan demikian gas rumah kaca berdampak tidak langsung. Waktu tinggal atau life time GRK di atmosfer relatif lama sehingga dapat menjaga suhu dipermukaan bumi tetap hangat. Akan tetapi jika konsentrasi GRK mengalami peningkatan terus menerus dikhawatirkan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem akan terganggu.

(15)

2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan lahan adalah berubahnya fungsi lahan akibat kegiatan manusia ataupun karena kejadian alam dalam kurun waktu tertentu. Perubahan lahan pada ekosistem terestrial tergantung pada interaksi antara siklus biogeokima, siklus karbon, siklus nutrisi dan siklus air yang semuanya itu dapat dimodifikasi oleh aktivitas manusia. Dalam sistem terestrial, karbon yang ditahan memainkan peranan penting dalam siklus karbon global. Karbon tersebut tersimpan dalam biomasa hidup, dekomposisi bahan organik, dan tanah. Pertukaran karbon terjadi secara alami antara sistem dengan atmosfer melalui fotosintesis, respirasi, dekomposisi, dan pembakaran. Dalam hal ini aktivitas manusia merubah cadangan karbon pada ekosistem terestrial. Pertukaran karbon antara ekosistem terestrial dengan atmosfer terjadi melalui penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, hutan dan aktivitas lainnya. Sejumlah karbon telah terlepas akibat pembersihan hutan di lintang tinggi dan rendah dalam beberapa abad dan di daerah tropis terjadi selama akhir abad ke 20 (IPCC 2000).

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon ke atmosfer dalam jumlah yang cukup berarti. Meskipun laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segera dilepaskan kembali ke atmosfer melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen. Pelepasan karbon ke atmosfer akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran,

sedangkan penyerapan kembali karbon

menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg C ha-1 tahun-1 (Rahayu Subekti et al 2008).

Perubahan iklim terutama disebabkan oleh naiknya konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Bagaimanapun, ekosistem terestrial memegang peranan penting dalam siklus karbon global. Kira-kira 110 Gt karbon bertukar antara vegetasi, tanah dan atmosfer. Peran hutan dalam pertukaran karbon tersebut adalah 80%. Di bawah ini adalah ilustrasi pertukaran berbagai senyawa karbon dan gas N2O antara ekosistem terestrial dan atmosfer :

Gambar 3 Pertukaran Senyawa Karbon dan N2O antara Ekosistem Terestrial dan Atmosfer (IPCC 2006). Sesungguhnya kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer lebih banyak disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil untuk pembakaran dan produksi semen, namun alih fungsi lahan, terutama deforestasi hutan tidak bisa dilakukan terus menerus tanpa dilakukannya penanaman kembali. Peraturan yang ditetapkan dalam pemanfaatan hutan sebaiknya lebih dipertegas agar fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi tidak hilang. Berikut ini adalah tabel yang menyatakan sumber, rosot dan peningkatan emisi CO2 dalam satuan Gt C pertahun. Tabel 1 Sumber, Rosot dan Peningkatan Emisi CO2 (Gt C th-1 ) di atmosfer.

Peningkatan CO2 1,4±1,5 2,9±0,6 Keterangan : 1 Gt = 1 gigaton = 1x109 ton

Satuan Internasional Ton = Mg = Mega gram Sumber : IPCC 1995 dan IPCC 2001 dalam

Wahyunto 2005.

2.3.1Lahan Gambut sebagai Daerah Penyimpan Karbon

(16)

atau dalam bahasa Inggris disebut peat. Histosol merupakan tanah yang memiliki bahan tanah organik dan tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60 persen atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan apabila lebih dangkal (Soil Survey Staff 1998). Dari total luasan lahan gambut dunia, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP 2008 dalam Agus Fahmuddin dan Subiksa Made 2008). Untuk lebih lengkapnya luas lahan gambut Indonesia ditunjukkan dalam tabel 2.

Tabel 2 Luas Total Lahan Gambut yang Layak untuk Pertanian serta

Sebarannya di Indonesia.

Pulau/Propinsi Luas total

(ha) Kalimantan Barat Kalimantan Selatan

Papua&Papua

Total 18.317.589 6.057.149

Catatan : Apabila lahan gambut di Propinsi Nanggro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha. Sumber : BB Litbang SDLP 2008 dalam Agus Fahmuddin dan Subiksa Made 2008).

Cadangan karbon di lahan gambut tergantung pada jenis deposit gambut. Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibedakan atas gambut lumutan, gambut seratan dan gambut kayuan. Gambut lumutan (sedimentary/moss peat) adalah gambut yang terdiri atas campuran tanaman air termasuk plankton dan sebagainya. Gambut seratan (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri atas campuran tanaman

sphagnum dan rumputan. Dan gambut kayuan (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan (hutan) beserta tanaman semak (paku-pakuan) dibawahnya. Sebagian besar lahan gambut tropik tergolong gambut kayuan, sedangkan gambut seratan tersebar di kawasan iklim sedang atau dingin (Noor 2001).

2.3.2Emisi Karbon dari Lahan Gambut Tanah gambut di daerah tropis dapat menjadi sumber emsi gas rumah kaca karena tanah ini mengandung banyak karbon tanah dan nitrogen. Bahan organik dalam tanah gambut terbentuk secara alami melalui proses dekomposisi, proses ini berjalan lambat tapi terus menerus. Proses dekomposisi dari bahan organik merupakan peleburan dari komponen organik kompleks, menjadi komponen yang sederhana. Dekomposisi menyebabkan hilangnya massa (biasanya dinyatakan dengan penurunan permukaan tanah) dan terlepasnya massa tersebut menghasilkan formasi tanah gambut yang lebih stabil. Permintaan tanah gambut untuk pertanian dan kebutuhan lainnya meningkat dari waktu ke waktu. Konversi tanah gambut selalu diawali dengan pembangunan parit untuk mengeringkan kelebihan air pada tanah gambut yang masih alami. Konversi tanah gambut ini dapat menjadi kontrol potensial kandungan karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) pada ekosistem terestrial (Inubushi et al 2003).

Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang memiliki potensi 21 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida dalam hal penyebab terjadinya pemanasan global. Emisi CH4 dari tanah gambut ke atmosfer bergantung dari tingkat produksi dan konsumsi metana dan juga perpindahan gas antara tanah dan tanaman ke permukaan. Tiga faktor lingkungan yang menjadi kontrol utama tingkat emisi di lahan gambut antara lain tinggi permukaan air tanah, suhu, dan kekayaan substat seperti nilai pH dan konsentrasi mineral nitrogen. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat konsumsi CH4 bergantung pada pengelolaan seperti pengeringan dan penggunaan pupuk nitrogen (N) (Melling Lulie et al 2005).

(17)

tinggi menyebabkan kondisi kekurangan oksigen yang dapat memicu terjadinya metanogenesis (proses pembentukan metan). Selain tinggi permukaan tanah faktor lingkungan lain yang juga berpengaruh terhadap pengangkatan CH4 ke udara adalah temperatur. Peningkatan temperatur menyebabkan kadar difusi gas menjadi lebih tinggi. Dalam lingkungan yang kaya oksigen seperti pada ekosistem kelapa sawit, temperatur yang tinggi meningkatkan oksidasi CH4 sehingga pengangkatan CH4 ke atmosfer lebih besar.

Dinitrogen Oksida (N2O) adalah gas rumah kaca utama yang berkontribusi menyebabkan pemanasan global kira-kira 6%. Konsentasi gas ini di atmosfer meningkat 0,25% pertahun (IPCC 2001). Aktivitas mikrobiologi dalam tanah merupakan sumber utama N2O di atmosfer. Dalam kondisi kaya oksigen (aerobic) N2O terbentuk melalui proses nitrifikasi sedangkan dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobic) N2O terbentuk melalui proses denitrifikasi. Kedua proses tersebut diatur oleh keadaan fisik tanah, faktor biologi dan kimia serta interaksi antar mereka. Akan tetapi pengatur utama dari pembentukan dinitrogen oksida adalah kelembaban tanah, suhu, muatan karbon organik, dan tekstur tanah (Pihlatie Mari et al 2004).

Penelitan yang dilakukan Takakai Fumiaki dkk tahun 2006 pada tanah gambut di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa perubahan N2O lebih tinggi pada saat musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. (terjadi karena kelembaban musim hujan lebih besar). Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa korelasi antara kandungan Nitrogen dalam penggunaan pupuk berkorelasi lemah atau tidak signifikan dengan hasil perhitungan emisi. Nilai R-Square yg menyatakan hubungan keduanya hanya 0,348. Hasil dari penelitian mereka juga menunjukkan bahwa klasifikasi Grassland dengan kondisi tanpa pemupukan memiliki nilai emisi N2O yang lebih kecil dibandingkan emisi N2O klasifikasi

Cropland dengan perlakuan pemupukan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah kegiatan pertanian

di lahan gambut tropik dapat menyebabkan emisi N2O ke atmosfer.

2.4 Software Agricultural Land Use (ALU)

sebagai Alat Penghitung Emisi

Software Agricultural Land Use

dikembangkan oleh Stephen M. Ogle, Ph.D. dari Colorado State University. Software ini dibuat berdasarkan metode IPCC 1996, 2000, 2003, dan beberapa metode didasarkan pada IPCC 2006 Merupakan metode sederhana yang dapat diterapkan setiap negara untuk memperkirakan emisi. Bentuk dasar untuk mendapatkan nilai emisi dari software ini adalah data aktivitas dikalikan faktor emisi. Pada awalnya software ALU dikembangkan untuk Amerika Tengah melalui program penguatan kelembagaan CAALU (Central America Agriculture and Land Use Software). Proses perhitungan emisi dengan software ini diawali dengan memasukkan data aktivitas, setelah itu dilanjutkan dengan penentuan faktor-faktor emisi dan yang terakhir kalkulasi emisi. Sumber data yang dapat digunakan antara lain adalah data remote sensing, statistik kehutanan, sensus pertanian, data

import atau export dari industri kayu.

Software ALU menyediakan cara untuk menggabungkan data-data tersebut dalam datebase relasional untuk memperkirakan emisi.

III. METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga November 2011 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan

Centre for Climate Risk Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP), IPB Baranangsiang. Pengisian kuisioner untuk tambahan data mengenai pengelolaan yang dilakukan petani di daerah kajian dilakukan penulis pada tanggal 26 Januari sampai 13 Februari 2011 di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau.

3.2Alat dan Bahan Penelitian

Bahan atau data yang digunakan untuk menunjang penelitian adalah sebagai berikut: 1. Peta penggunaan lahan Kabupaten

(18)

2. Peta penggunaan lahan Kabupaten Bengkalis tahun 2003 (Sumber : BAPLAN, tahun 2009 from lansat ETM+) 3. Peta penggunaan lahan Kabupaten

Bengkalis tahun 2006 (Sumber : BAPLAN, tahun 2009 from lansat ETM+) 4. Peta penggunaan lahan Kabupaten

Bengkalis tahun 2009 (Sumber : BAPLAN, tahun 2009 from lansat ETM+) 5. Peta jenis tanah Kabupaten Bengkalis

(Sumber : SDLP dan wetlandz)

6. Data curah hujan harian kabupaten Bengkalis tahun 2008-2009 (Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Kabupaten Bengkalis)

7. Data luas hasil panen komoditas pertanian delapan kecamatan di Kabupaten Bengkalis (Sumber: Bengkalis dalam angka tahun 2010).

8. Data jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis tahun 2001 sampai tahun 2009. (Sumber: Badan Pusat Statistik)

9. Data produksi kayu olahan di Kabupaten Bengkalis menurut jenis (m3) (Sumber: Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Kabupaten Bengkalis)

10.Data jumlah ternak Kabupaten Bengkalis tahun 2001 sampai 2009 (Sumber: Bengkalis dalam angka tahun 2003, 2007, 2008, dan 2009)

11.Data hasil kuisiner tentang pengelolaan lahan oleh petani di Kecamatan Bukit Batu, Kabuparen Bengkalis.

Perangkat yang digunakan yaitu komputer dengan program ArcGIS 9.3, Ms. Excel dan Word 2007 serta Software Agricultural Land Use 2.2.1.2

3.3Tahapan Penelitian

1. Perubahan biomasa karbon stok dari perubahan penggunaan lahan hutan, LUCF (Biomass Loss)

 Total perubahan biomasa karbon stok dari hutan

dCtotal = Sum(dCg)-(Sum(Ltimber)+ Sum(Lfuel)+Sum(dCl) dCg = A x Gtot x CF Gtot = Gw x (1+R) Ltimber =dC(T)I x (pFor/100)

dC(T)l = Vol x D x BEFt x CF x (1 - Fbl) Lfuel = dC(F)l x (pFor/100)

dC(F)l = Vol x D x BEFf x CF dCl = Lfire+Lwind+Lpest+Lother Lfire = A x Bw x CF x (1-Fblf) Lwind = A x Bw x CF x (1-Fbw) Lpest = A x Bw x CF x (1-Fblp) Lother = A x Bw x CF x (1-Fblo)

(19)

Keteragan :

dCtotal: Total perubahan biomasa C stok (ton C/thn)

Lfire : Biomasa karbon yang hilang dari kebakaran (ton C/thn)

Lwind :Biomasa karbon yang hilang dari angin (ton C/thn) Lpest :Biomasa karbon yang hilang

karena penyakit/wabah(ton C/thn) Lother :Biomasa karbon yang hilang

karena alasan lainnya (ton C/thn) Bw :Cadangan biomasa di atas tanah

(ton dm/ha)

Fbl : Fraksi biomasa karbon setelah gangguan

Ltimber: Biomasa karbon yang hilang dari pemanenan kayu (ton C/thn) Lfuel : Biomasa karbon yang hilang dari

pengumpulan kayu bakar (tonC/thn)

dC(T)I: Karbon yang hilang dari pemanenan kayu (ton C/thn) dC(F)I: Karbon yang hilang dari

pengumpulan kayubakar(tonC/thn) pCrop: Persentase volume kayu panenan

dari hutan

Vol : Volume panen kayu/ pengumpulan kayu bakar (m3)

D : Kerapatan kayu (ton dm/m3) BEF : Faktor perluasan biomasa kayu

(0.8)

 Total perubahan biomasa karbon stok dari tanaman tahunan

dCtotal = Sum(dCg)-Sum(Ltimber)+ Sum(Lfuel)+Sum(dCl) dCg = A x G

Ltimber =dC(T)I x (pCrop/100) Lfuel = dC(F)l x (pCrop/100)

dCtotal:Total perubahan biomasa karbon stok (ton C/thn)

dCg : Pertumbuhan biomasa karbon (ton C/thn)

Ltimber: Biomasa karbon yan hilang dari panenan kayu (ton C/thn) dC(T)I: Kehilanganan karbon dari panenan kayu (ton C/thn)

dC(F)I: Kehilangan karbon dari pengumpulan kayu bakar

(ton C/thn)

pCrop: Persentase volume panenan kayu dari tanah pertanian

Lfire : Biomasa karbon yang hilang dari kebakaran (ton C/thn)

Lwind :Biomasa karbon yang hilang dari gangguan angin (ton C/thn) Lpest :Biomasa karbon yang hilang

akibat penyakit/wabah (ton C/thn) Lother :Biomasa karbon yang hilang

karena alasan lain (ton C/thn)  Perubahan Biomasa Karbon

Rumputan rumputan dari pertumbuhan

(20)

2. Emisi dari perubahan simpanan karbon tanah organik.

Lorg = A x EF Keterangan:

Lorg : Emisi tanah organik (ton C/thn) A : Area (ha)

EF : Faktor emisi tanah organik

3. Emisi Akibat Pembakaran Biomasa  Pembakaran biomasa pada deforestasi L(NOx) =[(CRx ER(NOx) xNCx(46/14)] Keterangan :

CR : Pelepasan Karbon (ton C) A : Area yang terbakar (ha) MF : Massa bahan bakar (ton dm/ha) CE : Efisiensi pembakaran biomasa CF : Fraksi karbon (ton C/ton dm)  Nitrogen dari residu tanaman

Ncr = RR x DMF x CF x NC

5. Emisi dari penggunaan pupuk

L(N2O) = L(N2O)dir + L(N2O)Ndep `

6. Emisi dari Peternakan  Emisi metana dari fermentasi

Lent = (Pop x EFb)/1000 Keterangan :

Lent : Masukan dasar emisi metana (ton CH4)

Pop : Angka populasi (ekor)

EFb : Faktor emisi (kg CH4/ekor/thn)  Emisi metana dari pupuk

Lmm = (Pop x EFb)/1000

 Emisi N2O dari pengelolaan pupuk Nm = [Pop x [Nex x Nadj]] x

[%MMS/100]

(21)

Keterangan :

%MMS : Persentase sistem pengelolaaan pupuk (%)

EF : Faktor emisi untuk pengelolaan pupuk (Kg N2O-N/KgN)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain di Kabupaten Bengkalis dituliskan berdasarkan beberapa aktivitas sumber. Emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor ini disebabkan karena adanya penggunaan lahan serta perubahannya. Emisi gas rumah kaca dihasilkan dari 6 aktivitas, yaitu : (1) Emisi dari hilangnya biomasa (biomass loss) kayu hutan akibat penebangan dan perubahan penggunaan lahan hutan, atau biasa disebut

dengan Land Use Change and Forestry

(LUCF), (2) Emisi dari perubahan simpanan karbon tanah organik, (3) Emisi akibat pembakaran biomasa, (4) Emisi N2O dari tanah, (5) Emisi dari penggunaan pupuk, dan (6) Emisi dari peternakan. Akurasi nilai emisi dari masing-masing point diatas dapat dilihat dari seberapa banyak asumsi yang dipakai.

Mengetahui nilai emisi dari suatu wilayah membutuhkan banyak faktor sebagai masukan. Perangkat lunak Agricultural Land Use digunakan sebagai alat untuk mempermudah proses perhitungan. Sebagai bagian dari proses pencarian nilai emisi, beberapa asumsi digunakan agar proses bisa berjalan dengan baik. Asumsi yang digunakan pada pengolahan data ditulis pada Tabel 3.

Penggunaan asumsi didasarkan pada beberapa pertimbangan sehingga membuat tingkat ketidakpastian (uncertainly) setiap asumsi berbeda. Asumsi yang didasarkan pada alasan yang kuat memiliki tingkat ketidakpastian yang rendah (<20%) sedangkan jika asumsi tidak berdasarkan alasan yang kuat maka tingkat ketidakpastian menjadi tinggi (>50%). Asumsi yang

Tabel 3 Asumsi pada Pengolahan Data.

No Asumsi

1 Pengelolaan pertanian, hutan dan rumput/grassland

sama dari tahun 2000-2009

<20 (1) (2) (4) (5)

2 Pengeringan hutan di lahan organik adalah 10% 20-50 (2) 3 Tidak ada pengelolaan yang dilakukan pada

grassland (none of practices)

20-50 (1)

4 Jenis tanaman musiman dan tanaman tahunan diketahui berdasarkan data tahun 2009

<20 (2)

5 Umur tanaman tahunan klasifikasi lahan cropland

yang tetep menjadi cropland ditentukan berdasarkan hasil kuisioner

<20 (2)

6 Tidak ada gangguan pada lahan hutan 20-50 (1)

7 Gangguan pada tanaman tahunan hanya pada tahun 2009 (kebakaran)

>50 (1)

8 Persentase masyarakat Kabupaten Bengkalis yang menggunaakan kayu bakar adalah 94%

<20 (1)

9 Persentase pengalihan lahan hutan menjadi lahan bukan hutan dengan cara bakar adalah 41%

<20 (4)

10 Pengelolaan ternak ditentukan berdasarkan hasil kuisioner

<20 (6)

11 Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan diawali dengan pembuatan saluran drainase

<20 (2)

(22)

memiliki tingkat ketidakpastian tinggi adalah asumsi pada nomor tujuh yang menyatakan bahwa gangguan pada tanaman tahunan hanya ada pada tahun 2009. Asumsi ini digunakan karena keterbatasan data tentang hal tersebut. Gangguan yang dimaksudkan adalah berupa kebakaran, angin, wabah atau penyakit dan gangguan lain. Data yang mungkin didapat tentang gangguan tersebut adalah data kebakaran. Akan tetapi data kebakaran yang didapatkan di wilayah kajian hanya data kebakaran tahun 2009. Oleh karena itulah data pada nomor tujuh memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi.

Asumsi yang menunjukkan tingkat ketidakpastian rendah terdapat pada nomor 1, 2, 4, 5, 8, 9, dan 10. Alasan penggunaan asumsi nomor 1 dan 4 adalah pengelolaan pertanian umumnya sama dari waktu ke waktu begitu juga jenis tanaman yang ditanam. Oleh karena itulah data pada tahun terakhir (2009) memiliki tingkat kepercaaan yang tinggi untuk dapat mewakili pertanian tahun 2000 sampai 2009. Penggunaan asumsi nomor 5, 8, 9, 10 dan 11 digunakan berdasarkan hasil kuisioner yang dijawab oleh masyarakat Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jawaban kuisioner yang diperoleh dapat mewakili keadaaan masyarakat Kabupaten Bengkalis secara keseluruhan. Asumsi pada nomor 2 didasarkan pada referensi yang menyatakan bahwa pengeringan hutan di lahan organik sebesar 10% menghasilkan kualitas kayu yang

baik (Juha 2003). Dengan demikian alasan penggunaan asumsi nomor 1, 2, 4, 5, 8, 9, 10 dan 11 kuat sehingga tingkat ketidakpastian rendah.

Dua nomor lain yang menyatakan tingkat ketidakpastian sedang (20-50)% terdapat pada nomor 3 dan 6. Tingkat ketidakpastian pada nomor 3 dikatakan sedang karena pengelolaan rumput pada umumnya memang tidak ada. Namun keterangan ini tidak diperkuat dengan hasil kuisioner. Begitu pula pada nomor 6 yang menyatakan tidak ada gangguan pada lahan hutan dari tahun 2000 sampai tahun 2009. Berkurangnya lahan hutan dari tahun ke tahun disebabkan karena beralihnya fungsi hutan menjadi bukan hutan (bukan kerena kebakaran). Akan tetapi keterangan atau data tentang ada atau tidaknya kebakaran hutan tidak ada sehingga tingkat ketidakpastiannya sedang.

Ada sebelas asumsi yang digunakan dalam penelitian ini. Emisi dari hilangnya biomasa (biomass loss) kayu hutan akibat penebangan dan perubahan penggunaan lahan hutan (LUCF) menggunakan banyak asumsi dalam proses pengolahan data. Emisi dari aktivitas ini juga menggunakan asumsi dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi (nomer 7). Oleh karena itu hasil perhitungan emisi dari aktivitas ini memiliki kualitas yang kurang baik.

Tabel 4 Hasil Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kabupaten Bengkalis Tahun 2001-2009.

(23)

Gambar 4 Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lain di Kabupaten Bengkalis Tahun 2001-2009.

Hasil perhitungan keenam aktivitas penghasil emisi gas rumah kaca dari tahun 2001 sampai 2009 di Kabupaten Bengkalis disajikan dalam Tabel 4. Terlihat bahwa emisi di Kabupaten Bengkalis dari sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain yang dituliskan dalam keenam aktivitas tersebut menghasilkan emisi pertahun sebesar 6456,82 Gg CO2e. Terlihat pula bahwa total emisi dari keenan aktivitas ini meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan total emisi lebih jelas terlihat dalam gambar 4.

Total emisi pertahun yang dihasilkan dari tabel 4 merupakan penjumlahan dari enam aktivitas yaitu emisi dari hilangnya biomasa (biomass loss), emisi dari perubahan simpanan karbon tanah organik, emisi akibat pembakaran biomasa, emisi N2O dari tanah, emisi dari penggunaan pupuk dan emisi dari peternakan. Proses pengolahan data untuk menghasilkan keenam nilai tersebut tentu saja berbeda-beda, pembahasan lebih lanjut akan disajikan dalam subbab selanjutnya. Akan tetapi bila dibandingkan hasil akhirnya, terlihat bahwa emisi dari hilangnya biomasa dan emisi dari perubahan simpanan karbon tanah organik memiliki persentase yang besar dibandingkan empat nilai yang lain.

4.1Emisi dari Hilangnya Biomasa (Biomass Loss)

Biomasa karbon yang tersimpan dalam kayu atau hasil hutan lain mengalami perubahan akibat berbagai hal. Perubahan fungsi hutan menjadi bukan hutan merupakan sumber utama yang menyebabkan

berkurannya simpanan biomasa karbon dalam suatu ekosistem. Perhitungan nilai emisi akibat berkurangnya biomasa karbon yang dilakukan dalam software ALU didasarkan pada sumber atau dari mana biomasa karbon itu berada. Ada empat sumber yang dapat menyebabkan perubahan biomasa karbon, yaitu lahan hutan, tanaman tahunan, deforestasi dan biomasa rumputan.

(24)

0 sehingga tidak ada biomasa hutan yang hilang untuk keperluan kayu bakar. Sedangkan biomasa karbon yang hilang akibat gangguan seperti kebakaran, angin topan, wabah/penyakit dan sebab lainnya tidak dapat dihitung karena data tentang hal tersebut tidak didapatkan.

Tanaman tahunan terdiri dari biomasa yang fungsinya dapat juga sebagai penyerap gas rumah kaca seperti CO2. Akan tetapi kemampuan dari tanaman tahunan tidak sebaik tanaman pada hutan. Sama seperti tanaman pada hutan, tanaman tahunan juga merupakan tempat penyimpanan karbon dalam bentuk kayu atau biomasa tumbuhan lain. Kayu dan biomasa tumbuhan pada tanaman tahunan juga mengalami perubahan setiap tahun. Rumus yang digunakan untuk menghitungan nilai biomasa yang hilang dari tanaman tahunan sama dengan pada lahan hutan. Pertumbuhan biomasa dikurangi dengan biomasa yang diambil untuk panen kayu, kayu bakar, dan karena gangguan lainnya. Pada penelitian ini biomasa yang hilang pada tanaman tahunan hanya disebabkan penggumpulan kayu bakar. Persentase kayu bakar yang diambil dari tanaman tahunan adalah 10%. Biomasa tanaman tahunan yang hilang akibat kebakaran tidak dapat dihitung karena data tentang luas kebakaran tanaman tahunan tidak didapatkan

Aktivitas deforestasi merupakan sebab utama hilangnya biomasa karbon dari hutan Biomasa karbon yang hilang akibat pengalihan fungsi hutan menjadi bukan hutan dapat diketahui dengan mengalikan luas area deforestai dengan selisih antara biomasa atas tanah awal dan setelah deforestasi, nilai

perbandingan tunas ditambah satu dan fraksi karbon kayu hutan. Persentase penggunaan kayu bakar yang berasal dari deforestasi adalah 50%, namun biomasa yang hilang untuk kayu bakar sudah terwakili dalam perhitungan biomasa hilang dari deforestasi.

Biomasa rumputan (herbaceous biomass) merupakan biomasa yang berasal dari klasifikasi lahan cropland dan grassland. Perubahan nilai biomasa rumputan berarti terjadi perubahan penggunaan lahan pada kedua klasifikasi lahan tersebut. Hasil dari pengurangan biomasa karbon rumputan yang tersisa dikurangi dengan biomasa karbon rumputan awal kemudian ditambah pertumbuhan biomasa karbon rumputan dari pertumbuhan adalah salah satu faktor untuk mencari nilai perubahan biomasa rumputan. Hasil nilai ini dikalikan dengan area perubahan penggunaan lahan cropland dan

grassland, maka didapatkanlah nilai

perubahan biomasa rumputan dalam selang waktu perubahan penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan grassland pada klasifikasi iklim TMSD memiliki nilai simpanan karbon sebesar 7,3 ton C/ha sedangkan klasifikasi penggunaan lahan

cropland memiliki nilai simpanan karbon sebesar 5 ton/ha.

Hasil perhitungan emisi akibat hilangnya biomasa dari lahan hutan, tanaman tahunan, deforestasi dan biomasa rumputan di Kabupaten Bengkalis tahun 2001 sampai 2009 disajikan dalam Tabel 5. Dari tabel tersebut diketahui bahwa rata-rata pertahun emisi dari hilangnya biomasa adalah 3635,56 GgCO2e. Gambar 5 menunjukkan nilai emisi yang dihasilkan dari masing-masing subsektor.

Tabel 5 Emisi Akibat Hilangnya Biomasa (Biomass Loss)

Tahun

(25)

Gambar 5 Emisi gas rumah kaca akibat hilangnya biomasa

Grafik pada gambar 5 menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca dari hilangnya biomasa (biomass loss) terutama disebabkan oleh deforestasi. Emisi akibat hilangnya biomasa dari deforestasi ditunjukkan oleh grafik batang berwarna hijau. Grafik tersebut memiliki nilai yang terus meningkat dari tahun ketahun. Hal sebaliknya terjadi pada lahan hutan. Kemampuan lahan hutan menyerap CO2 mengalami penurunan setiap tahun. Hal tersebut terlihat dari makin kecilnya grafik batang berwarna biru. Tanaman tahunan dan biomasa rumputan menunjukkan nilai penyerapan CO2 yang relatif stabil setiap tahun.

4.2Emisi dari Perubahan Simpanan Karbon Tanah Organik

Tanah organik atau gambut merupakan jenis tanah yang terdiri dari bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebih. Setiap 1 meter lapisan gambut diperkirakan mampu menyimpan sekitar 7x102 ton C tahun-1 hektar-1 (Notohadiprawiro 1997 dalam Yulianti Nina 2009). Potensi tersebut menyebabkan lahan gambut memiliki fungsi penting sebagai sumber karbon (carbon source) dan pemendaman karbon (carbon sink).

Luas lahan gambut di Kabupaten Bengkalis adalah 525.036 ha, yang berarti 62,55% dari seluruh total luas. Cadangan karbon lahan gambut berubah disebabkan oleh adanya drainase atau pengeringan. Lahan gambut mempunyai sifat yang sangat rapuh (fragile) sehingga mudah terjadi degradasi apabila mengalami gangguan dalam ekosistemnya. Apabila terusik maka muka air tanah menjadi sangat cepat menurun yang menyebabkan gambut mengalami kekeringan dan mengkerut (subsidence). Penurunan muka

air tanah gambut mendorong laju dekomposisi bahan organik berjalan lebih cepat yang berakibat peningkatan emisi CO2 serta N2O (Nyman and DeLaune 1991 dalam Yulianti Nina 2009).

Drainase yaitu suatu tindakan yang diberikan terhadap tanah untuk membuang kelebihan air dari tanah, sedangkan tujuan utama drainase adalah membuang air lebih di atas permukaan tanah secepat-sepatnya dan mempercepat gerakan aliran air ke bawah di dalam profil tanah sehingga permukaan air tanah turun (Arsyad 2000). Dampak drainase yang dilakukan terhadap lahan gambut yang tergenang adalah menghanyutkan karbon terlarut sehingga mempengaruhi kesetimbangan karbon. Drainase juga akan menyebabkan penurunan (subsiden) ketebalan lahan gambut dan selanjutnya mempengaruhi fungsi hidrologi lahan gambut. Fluktuasi tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau akan meningkat karena kamampuannya dalam menampung air menurun. Disamping itu drainase juga akan memperbesar peluang interupsi air bergaram dari laut (Murdiyarso et al 2004 dalam

Yulianti Nina 2009). Contoh gambar pengeringan/ drainase pada lahan gambut dapat dilihat pada gambar 6.

(26)

Karbon mengalir masuk dan keluar dari lahan gambut dalam bentuk karbon terlarut dalam air gambut. Jika lahan gambut mempunyai kerapatan karbon yang tinggi, maka karbon yang keluar umumnya lebih besar dari yang masuk, dalam kasus ini ada kehilangan bersih karbon dari lahan gambut melalui aliran air. Zona aerobik pada lahan gambut yang di drainase adalah salah satu sumber utama bentuk karbon terlarut. Besarnya karbon yang hanyut terbawa aliran air tergantung dari jumlah aliran dan produktivitas ekosistem. Sebagian dari karbon terlarut yang terbawa aliran drainase dapat teroksidasi dan hilang ke atmosfer sebagai CO2 (Dawson et al 2004).

Kabupaten Bengkalis yang mengandung banyak lahan gambut mengindikasikan bahwa cadangan karbon di kabupaten ini besar. Pemanfaatan lahan gambut sebagai media tanam biasanya diikuti dengan pembuatan drainase yang dampaknya dapat mengurangi cadangan karbon dari lahan gambut tersebut. Pada hasil pengolahan data tentang perubahan penggunaan lahan yang sudah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa pemanfaatan lahan organik (gambut) untuk klasifikasi

cropland meningkat dari tahun ke tahun. Baik pada pertanian lahan kering yang ditanami tanaman musiman ataupun pada perkebunan yang ditanami tanaman tahunan pemanfaatan lahan gambut selalu diawali dengan pembuatan saluran drainase. Asumsi ini digunakan karena kondisi lahan gambut yang basah tidak memungkinkan jika saluran drainase ini tidak ada, akar tanaman akan cepat busuk dan tanaman yang diusahakan di daerah tersebut akan gagal. Pengamatan lapang yang dilakukan oleh penulis juga menunjukkan hal yang sama.

Pada perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet ataupun daerah yang dimafaatkan untuk pemukiman yang jenis tanahnya adalah tanah gambut, selalu ada saluran air di sekitarnya. Saluran air di daerah berlahan gambut tidak sama dengan saluran air pada lahan mineral seperti yang umum di lihat. Saluran air di lahan gambut dibuat dengan maksud untuk membuang atau mengurangi kandungan air dalam lahan tersebut. Saluran ini cenderung selalu mengalir walaupun debitnya tidak terlalu besar. Air pada saluran tersebut berwarna merah kecoklatan, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai air gambut. Pengamatan mengenai tinggi muka air ataupun temperature tidak dilakukan walaupun kedua unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap laju pembusukan atau

dekomposisi bahan organik. Perhitungan untuk mengetahui emisi CO2 dari lahan gambut yang dikeringkan dilakukan dengan mengalikan luas lahan gambut (lahan organik) dengan faktor emisi tanah organik. Nilai faktor emisi tanah organik klasifikasi penggunaan lahan cropland dan settlement

adalah 20 tonC/ha/thn sedangkan faktor emisi tanah organik klasifikasi penggunaan lahan

forestland adalah 1,36 tonC/ha/thn. Proses perhitungan secara rinci emisi CO2 akibat perubahan stok karbon lahan gambut (tanah organik) tahun 2001 sampai tahun 2009 disajikan dalam lampiran 7.

Berdasarkan hasil yang disajikan dalam lampiran 7 diketahui bahwa penggunaan tanah organik untuk tanaman tahunan, pertanian, maupun hutan meningkat dalam selang tahun 2001 sampai 2009. Pada tahun 2001 sampai 2003 luas lahan organik yang dikeringkan mencapai 122.234 ha. Luas ini meningkat menjadi 160.009 ha pada tahun 2006 sampai 2009. Emisi akibat pengeringan lahan organik di Kabupaten Bengkalis tahun 2001 sampai 2009 disajikan dalam Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6 Emisi Akibat Perubahan Simpanan Karbon Tanah Organik.

Tahun

(27)

Emisi CO2 tanah organik akibat pengeringan menyumbang emisi cukup besar. Rata-rata emisi CO2 pertahun akibat pengeringan lahan organik adalah 2629,23 Gg. Hal ini dapat terjadi karena konversi lahan organik menjadi perkebunan meningkat dalam selang tahun 2001 sampai tahun 2009. Pada tahun 2001 sampai 2003 penggunaan lahan organik untuk perkebunan adalah 68.916 ha. Nilai ini terus meningkat, tercatat bahwa pengunaan lahan organik di Kabupaten Bengkalis untuk perkebunan pada tahun 2003 sampai 2006 adalah 83.436 ha dan pada tahun 2006 sampai 2009 mencapai 113.414 ha. Sebagian besar konversi lahan menjadi perkebunan adalah untuk penanaman kelapa sawit. Pada tahun 2001 sampai 2003 lahan yang digunakan untuk tanaman kelapa sawit adalah 52.699 ha. Nilai tersebut meningkat 64,6 % pada tahun 2006 sampai 2009. Dengan demikian diketahui bahwa konversi lahan menjadi perkebunan di lahan organik tidak baik karena akan mengurangi simpanan karbon ekosistem terestrial.

4.3Emisi Akibat Pembakaran Biomasa Pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan bukan hutan dengan cara bakar dan kebakaran pada tanaman tahunan menghasilkan emisi gas CH4, CO, N2O dan NOx. Gas CO dan NOx bukan merupakan gas rumah kaca, namun nilai kedua gas ini dapat digunakan sebagai indikator terjadinya pemanasan global. Untuk mendapatkan nilai emisi dari keempat jenis gas tersebut nilai yang terlebih dahulu didapatkan adalah lepasan karbon atau CR (carbon release). CR dicari dengan cara mengalikan luas area yang terbakar dengan masa bahan bakar, efisiensi pembakaran biomasa dan fraksi karbon.

Luas area yang terbakar diketahui dengan mengalikan luas konversi lahan hutan dengan

angka 41%. Angka ini didapatkan dari hasil kuisioner. Masyarakat yang menjawab telah membuka lahan dengan cara bakar dan keadaan awal berupa hutan sekunder ada 16 responden. Sedangkan total jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah 39. Dengan demikian 41% pengalihan lahan hutan menjadi lahan bukan hutan dilakukan dengan cara bakar.

Nilai masa bahan bakar, efisiensi pembakaran biomasa dan fraksi karbon diketahui dari salah satu Tabel dalam IPCC 2006. Berdasarkan tabel 2.4 dalam IPCC 2006 diketahui bahwa masa bahan bakar hutan dengan umur kurang dari 20 tahun adalah 42,2 ton dm/ha sedangkan hutan dengan umur diatas 20 tahun adalah 119,6 ton dm/ha. Nilai efisiensi pembakaran biomasa berdasarkan tabel 2.6 dalam IPCC 2006 adalah 0,55 untuk hutan yang berumur kurang dari atau sama dengan 20 tahun dan 0,36 untuk hutan yang berumur lebih dari 20 tahun. Fraksi karbon kayu hutan adalah 0,5

Setelah nilai lepasan karbon (CR) diketahui emisi dari masing-masing jenis gas dapat dicari dengan cara mengalikan nilai CR dengan rasio emisi masing-masing gas tersebut. Dalam software ALU nilai rasio emisi gas CH4, CO, N2O ataupun NOx, sudah disiapkan. Nilai ini merupakan nilai yang ditetapkan oleh IPCC (terdapat pada tabel 3.4 IPCC 2003). Nilai tersebut adalah 0,012 untuk CH4, 0,06 untuk CO, 0,007 untuk N2O dan 0,121 untuk NOx. Tabel 7 dibawah ini menunjukkan nilai emisi akibat pembakaran biomasa di Kabupaten Bengkalis dari tahun 2001 sampai 2009. Keterangan lengkap mengenai perhitungan emisi gas-gas tersebut disajikan dalam lampiran 8.

Tabel 7 Emisi Akibat Pembakaran Biomasa

(28)

Nilai emisi keempat gas setiap tahun menunjukkan sumbangan emisi gas CO paling besar. Setelah itu nilai emisi gas CH4, NOx dan N2O berurutan dari terbesar sampai terkecil. Berdasarkan nilai kesetaraan emisi dalam CO2 pembakaran biomasa menghasilkan rata-rata emisi pertahun sebesar 23,73 Gg CO2.

Gambar 7 Komposisi Gas Akibat Pembakaran Biomasa.

4.4 Emisi Dinitrogen Oksida dari Tanah Dinitrogen oksida atau N2O dari tanah dihasilkan oleh residu tanaman dan lahan organik yang ditanami. Ada dua jenis tanaman musiman yang sisa hasil panennya ditinggalkan di ladang. Tanaman tersebut adalah singkong dan padi. Untuk mengetahui nilai emisi, jumlah residu yang ditinggalkan dikali dengan fraksi bahan kering residu, fraksi karbon dan rasio N/C. Fraksi karbon tanaman pertanian adalah 0,45 ton C/ton dm sedangkan rasio N/C adalah 0,01 ton C/ton N. Fraksi bahan kering residu dari singkong dan padi didapat dari tabel 11.2 dalam IPCC 2006. Nilai fraksi bahan kering residu singkong adalah 0,06 tondm/ton residu sedangkan fraksi bahan kering padi adalah 0,11 ton dm/ton residu.

Emisi dari lahan organik yang ditanami dicari dengan cara mengalikan luas lahan organik yang ditanami dengan faktor emisi untuk lahan organik yang ditanami pada klasifikasi iklim TMSD. Nilai tersebut adalah 16 Kg N2O/ha/thn (berdasarkan tabel 4.17 IPCC 2000). Perhitungan untuk mendapatkan nilai emisi N2O dari residu tanaman maupun lahan organik yang ditanami disajikan dalam lampiran 9. Tabel 8 dibawah ini merupakan ringkasan yang menyatakan hasil perhitungan tersebut.

Emisi yang berasal dari residu tanaman seperti yang ditampilkan dalam Tabel 8 menunjukkan nilai yang tidak besar. Terlihat bahwa emisi N2O paling tinggi terjadi pada tahun 2003-2006. Residu tanaman merupakan bagian dari hasil panen, nilai emisi N2O pada tahun 2003-2006 yang tinggi mengindikasikan

hasil panen pada tahun ini lebih tinggi

Nilai emisi seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 8 memperlihatkan bahwa lahan organik yang ditanami menyumbangkan emisi cukup besar. Hal ter sebut terjadi karena luas lahan organik yang ditanami cukup besar. Dalam lampiran 9 terlihat bahwa luas lahan organik yang ditanami mencapai 12281 sampai 13798 ha.

4.5 Emisi dari Penggunaan Pupuk

Kegiatan pertanian maupun perkebunan tidak terlepas dari pemanfaatan pupuk agar hasil panen yang didapatkan baik. Inforrmasi tentang komoditas pertanian yang ditanam dan juga luas pemanfaatan dalam satuan hektar sudah didapatkan pada pengolahan data untuk melihat emisi dari perubahan penggunaan lahan. Banyak dan jenis pupuk yang digunakan pada setiap komoditas dapat diketahui dari beberapa referensi. Untuk mengetahui emisi dari aktivitas penggunaan pupuk, masukan data yang diperlukan adalah persentase nitrogen dalam pupuk dan jumlah penggunaan pupuk tersebut dalam satuan gigagram. Dengan mengetahui luas lahan yang dimanfaatkan untuk pertanian, komoditas yang ditanam dan umur tanaman maka masukan data tersebut dapat diketahui. Informasi mengenai luas penggunaan lahan, komoditas pertanian dengan banyak penggunaan pupuk berdasarkan referensi disajikan dalam lampiran 10.

(29)

Tabel 9 Emisi dari Penggunaan Pupuk.

Emisi yang dihasilkan dari penggunaan pupuk bedasarkan Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dalam sembilan tahun penggunaan pupuk nitrogen buatan menyebabkan emisi sebesar 2,5973 Gg N2O atau setara dengan 805,16 Gg CO2. Penggunaan pupuk tahun 2001 sampai 2009 terus meningkat yang menyebabkan nilai emisi juga meningkat. Keterangan lengkap mengenai perhitungan nilai emisi dari penggunaan pupuk disajikan dalam lampiran 11.

4.6 Emisi dari Peternakan

Software Agricultural Land Use dapat digunakan untuk mengetahui jumlah emisi dari aktivitas peternakan. Data yang diperlukan adalah jumlah populasi dan pengelolaan yang dilakukan. Pada penelitian ini jumlah populasi ternak di Kabupaten Bengkalis didapatkan dari buku Bengkalis dalam angka. Namun keterbatasan publikasi buku tersebut menyebabkan data populasi ternak tidak didapatkan lengkap selama 9 tahun seperti yang dibutuhkan. Data yang didapatkan hanya data populasi ternak tahun 2003, 2007, 2008 dan 2009. Ada 5 jenis ternak yang angka populasinya tercatat setiap tahun, yaitu kerbau (buffalo), sapi (non-daily cow), kambing (goat), babi (swine) dan unggas (poultry). Pengisian nilai populasi di tahun yang datanya tidak tersedia dapat dilakukan dengan menggunakan teknik interpolasi. Data jumlah populsai ternak yang didapatkan dari publikasi pemerintah Kabupaten Bengkalis dan hasil interpolasi ditampilkan dalam lampiran 12A.

Sistem pengelolaan yang dilakukan masing-masing jenis ternak juga merupakan

masukan utama untuk mendapatkan nilai emisi akibat aktivitas peternakan. Data hasil kuisioner yang dapat digunakan untuk mengisi kebutuhan data ini antara lain adalah jenis ternak sapi dan kambing. Ada 16 responden yang memiliki ternak sapi, 13 diantaranya memelihara sapi dengan dikandangkan dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk. Sedangkan 3 responden lainnnya tidak mengandangkan dan tidak memanfaatkan kotoran sapi (dibiarkan begitu saja). Dengan demikian persentase pengelolaan ternak sapi untuk pupuk kompos (compose intensive) sebesar 81,25% dan 18,75% masuk dalam kelas pengelolaan padang rumput (pasture/range/paddock) karena ternak tidak dikandangkan. Persentase pengelolaan ternak sapi ini juga digunakan untuk ternak kerbau (buffalo) dengan alasan pengelolaan antara sapi dan kerbau tidak jauh berbeda.

Pengelolaan ternak kambing (goat) juga didasarkan pada hasil kuisioner. Jumlah responden yang memiliki ternak kambing berjumlah 9 orang, 6 orang diantaranya mengandangkan dan juga memanfaatkan kotoran kambing sebagai pupuk sedangkan 3 orang lainnya tidak. Dengan demikian persentase pengelolaan ternak kambing untuk pupuk kompos (compose intensive) sebesar 66,7% dan 33,3% masuk dalam kelas

pengelolaan padang rumput

(pasture/range/paddock). Pengelolaan dua hewan lain (unggas dan babi) ditentukan dengan menggunakan asumsi.

Unggas (poultry) memiliki kotoran dalam bentuk cair, oleh karena itu persentase pengelolaan unggas yang dipilih adalah

liquid/slurry. Babi (swine) merupakan ternak yang memiliki kotoran dengan bau sangat menyengat. Selain itu masyarakat Kabupaten Bengkalis mayoritas beragama Islam. Dengan demikian diasumsikan bahwa pemeliharaan babi dilakukan di dalam kandang dan kotorannya dibersihkan dalam waktu kurang dari 1 bulan (cattle/swine deep litter < 1 month).

(30)

\

Gambar 8 Emisi GRK dari Peternakan.

Gas metana dari dari proses fermentasi diproduksi hewan pemakan tumbuhan sebagai hasil sampingan proses pencernaan. Hewan ruminansia menghasilkan metana lebih banyak dibandingkan bukan hewan ruminansia (IPCC 1996). Faktor kedua yang juga menyebabkan emisi metana berasal dari kotoran ternak, karena proses pembusukan dalam kondisi anaerob. Total emisi metana dari peternakan domestik dapat diketahui dengan menjumlahkan nilai emisi metana kedua faktor diatas. Penentuan nilai emisi gas N2O didasarkan pada sistem pengelolaan kotoran ternak. Emisi metana dari peternakan di Kabupaten Bengkalis ditampilkan dalam Tabel 10 sedangkan emisi N2O disajikan dalam Tabel 11.

Persamaan yang digunakan untuk memperoleh nilai emisi dari kegiatan peternakan dalam software ALU didasarkan pada metode IPCC 1996 dalam chapter agriculture. Faktor emisi merupakan nilai yang menentukan besarnya emisi baik dalam perhitungan akibat fermentasi maupun pupuk. Perhitungan emisi metana dari fermentasi ternak memiliki nilai faktor emisi (EFb) yang sama untuk semua tipe iklim, kecuali ternak sapi. Faktor emisi sapi dibedakan menjadi sapi

potong atau sapi perah dan nilainya juga didasarkan pada karakteristik regional. Angka populasi sapi yang diperoleh adalah sapi potong, jadi nilai faktor emisi untuk masukan dasar emisi metana dari sapi adalah 44. Ternak lain yaitu kerbau, kambing, dan babi memiliki nilai faktor emisi masing-masing sebesar 55, 5, dan 1, faktor emisi untuk unggas tidak diperkirakan. Berbeda dengan penentuan faktor emisi akibat fermentasi, faktor emisi dari pupuk semua jenis ternak ditentukan berdasarkan iklim. Kerbau, sapi potong, kambing, unggas dan babi masing-masing memiliki nilai faktor emisi sebesar 3,2, 0,22, 0,023, dan 7. Perhitungan emisi metana dari aktivitas peternakan disajikan dalam lampiran 12B.

Hasil emisi metana dari perhitungan yang dilakukan sebagaimana disajikan dalam Tabel 10 menunjukkan bahwa emisi dari kegiatan peternakan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 2001 sampai tahun 2009 menghasilkan nilai emisi metana sebesar 12,07 Gg. Nilai tersebut sama dengan emisi CO2 sebesar 253,54 Gg.

Emisi N2O dari peternakan didapatkan dengan mempertimbangkan persentase pengelolaan kotoran pada ternak beserta faktor emisinya, jumlah populasi, tingkat pengeluaran nitrogen dan juga faktor penyesuaian pengeluaran. Persentase sistem pengelolaan kotoran ternak kerbau dan sapi yang digunakan intensif sebagai pupuk adalah 81,25% dan faktor emisi pengelolaan kotoran untuk pupuk intensif adalah 0,02. Kotoran kambing yang digunakan sebagai pupuk intensif sebesar 66,7%. Liquid/slurry yang merupakan sistem pengelolaan unggas

Tabel 10 Emisi Metana dari Kegiatan Peternakan.

Tahun

2004 0,9585765 0,696263 1,654839 34,75

2005 0,781039 0,472407 1,253446 26,32

2006 0,6035015 0,248552 0,852053 17,89

2007 0,425964 0,024696 0,45066 9,46

2008 0,532324 0,036264 0,568588 11,94

2009 0,53902 0,077822 0,616842 12,95

(31)

memiliki faktor emisi sebesar 0,001 dan

cattle/swine deep litter < 1 mount yang merupakan pengelolaan ternak babi memiliki faktor emisi 0,005. Keterangan nilai faktor emisi dari sistem pengelolaan ternak di dapatkan berdasarkan Tabel 4.8 (IPCC 1996). Faktor penyesuaian tingkat pengeluaran ternak sama yaitu 1. Nilai tingkat pengeluaran nitrogen ternak diketahui berdasarkan Tabel 4.6 (IPCC 1996). Kerbau, sapi dan kambing di wilayah Asia memiliki tingkat pengeluaran nitrogen sebesar 40 kgN/hewan/thn sedangkan unggas di wilayah Asia memiliki tingkat pengeluaran nitrogen sebesar 0,6 kgN/hewan/thn dan babi 1,6 kgN/hewan/thn. Perhitungan emisi gas N2O dari kegiatan peternakan di Kabupaten Bengkalis tahun 2001 sampai tahun 2009 disajikan dalam lampiran 13.

Tabel 11 Emisi N2O dari Kegiatan peternakan.

Tahun Emisi N2O

Tabel 11 menunjukkan emisi tahunan N2O dari kegiatan peternakan di Kabupeten Bengkalis berkisar antara 0,019 sampai 0,094 GgN2O. Emisi tahunan terbesar tercatat di tahun 2001 sedangkan emisi N2O terkecil pada tahun 2007. Total emisi selama sepuluh tahun mencapai 0,496 Gg N2O atau equivalen dengan 153,884 Gg CO2.

Berdasarkan nilai equivalen CO2 emisi metana dari fermentasi, emisi metana dari pupuk dan emisi N2O dari peternakan maka dapat diketahui bahwa setiap tahun aktivitas peternakan menyumbang emisi sebesar 45,27 Gg CO2.

4.7Perbandingan Emisi GRK Perkapita Kabupaten Bengkalis dengan Emisi GRK Perkapita Nasional

Emisi gas rumah kaca nasional dipublikasikan oleh Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia pada bulan November tahun 2010. Ada berbagai sektor yang nilai emisinya dihitung dalam laporan tersebut, antara lain energi, industri, pertanian, kehutanan, dan limbah. Data mengenai emisi dari pertanian dan kehutanan digunakan untuk membandingkan dengan emisi gas rumah kaca di Kabupaten Bengkalis. Emisi sektor pertanian dan kehutanan ditambahkan, kemudian dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun pengamatan. Emisi gas rumah kaca nasional dihitung mulai dari tahun 2000 sampai tahun 2005. Hasil perhitungan emisi perkapita nasional yang dilakukan disajikan dalam Tabel 13.

Nilai yang dibandingkan untuk mengetahui perbedaan emisi gas rumah kaca Kabupaten Bengkalis dengan emisi gas rumah kaca perkapita nasional adalah CO2 equivalent. Emisi gas rumah kaca Kabupaten Bengkalis yang dibandingkan dengan emisi gas rumah kaca nasional adalah emisi pada tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005. Nilai emisi pada kelima tahun di Kabupeten Bengkalis juga dibagi dengan jumlah penduduk pada masing-masing tahun pengamatan. Dengan demikian angka emisi gas rumah kaca perkapita Kabupaten Bengkalis juga diketahui. Berdasarkan data yang disajikan sebelumnya, emisi gas rumah kaca perkapita tahun 2001 sampai 2005 di Kabupaten Bengkalis disajikan pada tabel 12.

(32)

Tabel 12 Emisi Perkapita Kabupaten Bengkalis Tahun 2001-2005.

No Sumber Emisi GRK (CO2e)

2001 2002 2003 2004 2005

1 Pembakaran Biomasa 11,18 11,18 11,18 13,47 13,47

2 Residu Tanaman dan lahan organik yang ditanami

31,91 31,91 31,91 35,85 35,85

3 Perubahan Simpanan

Karbon 130,74 130,74 130,74 1406,42 1406,42

4 Pengeringan Tanah

Organik 2135,82 2135,82 2135,82 2525,84 2525,84

5 Peternakan 79,51 75,50 71,50 57,44 38,21

6 Penggunaan Pupuk N

Buatan 79,95 82,79 85,60 88,43 91,25

Jumlah emisi (Gg CO2e) 2469,10 4875,63 4874,44 4127,44 6525,02 Jumlah emisi (ton CO2e) 2469107 4875638 4874448 4127443 6525029 Jumlah Penduduk (jiwa) 462457 549715 633386 651120 669352 Emisi GRK Perkapita

Kab.Bengkalis 5,34 8,87 7,69 6,34 9,75

Tabel 13 Emisi Perkapita Nasional Sektor Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001-2005.

No Sumber Emisi GRK (CO2e)

2001 2002 2003 2004 2005

1 Pertanian 77500,80 77029,94 79828,80 77862,54 80179,31 2 LUCF 560546,00 1287494,79 345489,33 617423,23 674828

3 Gambut 194000 678000 246000 440000 451000

Jumlah emisi

(Gg CO2e) 832046,80 2042524,73 671318,13 1135285,77 1206007,31 Jumlah emisi

(ton CO2e) 832046800 2042524730 671318130 1135285770 1206007310 Jumlah Penduduk

(jiwa) 216204000 219026000 221839000 224607000 227303000 Emisi GRK

perkapita Nasional

(ton CO2e/capita)

3,85 9,32 3,02 5,05 5,30

Sumber : KLH 2010

Gambar

Gambar 2 Skema representasi fenomena efek
Tabel 1 Sumber, Rosot dan Peningkatan
Tabel 2 Luas Total Lahan Gambut yang
Tabel 3 Asumsi pada Pengolahan Data.
+7

Referensi

Dokumen terkait

ALEX YUNGAN. Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Dibimbing oleh BAMBANG HERO

Emisi gas CH 4 dari fermentasi enterik yang disajikan pada Tabel 2 mengindikasikan bahwa emisi CH4 terbesar dihasilkan oleh sapi potong dewasa (&gt;4 tahun), atau sekitar 2,87

Gambar 6.. EMISI GAS RUMAH KACA DALAM ANGKA 15 menggunakan bahan bakar solar, minyak tanah, dan batubara. Penggunaan bahan bakar tersebut menyebabkan emisi CO2 di

Karbondioksida berkontribusi sebesar 76,7% dari total emisi GRK dan sektor penyediaan energi merupakan sektor yang menghasilkan emisi GRK terbesar dibandingkan sektor-sektor

dibutuhkan untuk menghitung emisi gas rumah kaca dari sektor lahan telah dihasilkan: (1) data aktivitas yang dihasilkan dari analisa penggunaan lahan dan perubahan penggunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan emisi gas rumah kaca dari pembakaran hutan rawa gambut yang memiliki jenis gambut, karakteristik bahan bakar

Analisa Data Pada tahap ini dilakukan perhitungan emisi Gas Rumah Kaca GRK yang dihasilkan dari kegiatan administrasi pelaporan penambangan dibandingkan dengan emisi GRK yang

Adanya ketidaksesuaian antara perubahan penggunaan lahan dengan besar emisi di Kota Bogor pada tahun 2012-2020 untuk sektor pertanian dan industri menunjukkan bahwa luas lahan