EMISI GAS RUMAH KACA DAN SIFAT MIKROBIOLOGI TANAH RAWA LEBAK
Abdul Hadi
Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru
ABSTRAK
Isu mengenai emisi gas rumah kaca menarik perhatian berbagai kalangan karena pengaruhnya yang lintas teritorial dan multi aspek. Gas rumah kaca yang dipandang terkait erat dengan aktivitas mikrobiologi tanah meliputi metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan
karbon dioksida (CO2). Ulas balik mengenai emisi gas rumah kaca dan sifat mikrobiologi
tanah ini disusun dengan tujuan mengkompilasi informasi/pengetahuan yang ada dan menganalisis opsi mitigasi untuk mengendalikannya. Informasi yang disajikan terutama dari lebak Indonesia (Kalsel), Malaysia (Sarawak) dan Jepang (Ozegahara), mencakup populasi total bakteri, total fungi, bakteri methanogens, bakteri nitrifikasi, bakteri denitrifikasi, bakteri selulolitik, emisi CH4, N2O dan CO2. Populasi bakteri umumnya lebih
tinggi dari populasi fungi yang merupakan fenomena umum yang terjadi pada tanah basah. Untuk semua lokasi, populasi bakteri nitrifikasi selalu lebih tinggi dari bakteri denitrifikasi. Pembentukan dan emisi CH4, N2O dan CO2 sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan,
karakteristik tanah dan pemberian bahan ameliorasi. Tanah kebun dengan sistem surjan di lahan lebak merupakan sumber penting gas-gas rumah kaca. Potensi pemanasan globalnya lebih tinggi (54.084 mg equi-CO2-C/m-2 /tahun) dibandingkan sawah (8.149. mg equi-CO2
-C/m-2 /tahun). Emisi gas-gas rumah kaca meningkat dengan penambahan jerami padi dan menurun dengan penambahan amonium sulfat. Opsi mitigasi emisi gas rumah kaca juga akan didiskusikan.
Kata Kunci : Emisi gas CH4, N2O, Lebak
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan mempunyai lahan lebak potensial untuk pertanian seluas 184.834 ha. yang rata-rata 95.858 ha dimanfaatkan (Diperta Kalsel 2005). Pemanfaatan lahan lebak untuk kegiatan pertanian diawali dengan pembukaan lahan dengan membersihkan rumput rawa atau hutan rawa. Pembukaan lahan lebak berlangsung cukup intensif dalam lima tahun terakhir (peningkatan rata-rata 6,9%), terutama setelah ditetapkankannya Kalsel sebagai Daerah Penyangga Produksi Padi Nasional pada Tahun 2002. Alih fungsi hutan rawa menjadi lahan pertanian diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan peningkatan ketahanan pangan dan usaha agroindustri.
merupakan indikator kesehatan tanah (Inubushi,). Gas rumah kaca yang dipandang terkait erat dengan aktivitas mikrobiologi tanah meliputi metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan
karbon dioksida (CO2).
Informasi mengenai emisi gas rumah kaca dan sifat mikrobiologi tanah lahan lebak masih sedikit. Lebih minim lagi informasi mengenai teknologi yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi emisi gas-gas ini (disebut “opsi mitigasi”). Ulas balik mengenai emisi gas rumah kaca dan sifat mikrobiologi tanah ini disusun dengan tujuan mengkompilasi informasi/pengetahun yang ada dan menganalisis opsi mitigasi untuk mengendalikannya.
KARAKTERISTIK KIMIA-FISIKA TANAH DAN AIR
Tulisan ini meliputi hasil studi pada tiga Kabupaten di Kalimantan Selatan dengan luas areal sekitar 50.000 ha. Kedalaman air genangan bervariasi dari 15 cm di atas permukaan tanah sampai 15 cm di bawah permukaan tanah (ditandai notasi “-“) (Tabel 1). Penggunaan lahan seiring dengan kedalaman air genangan. Kemasaman tanah lokasi Kabupaten Balangan dan Tapin relatif lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Banjar yang mungkin berhubungan dengan perbedaan bahan asal dan geomorfologi dari daerah-daerah ini (Sabiham, 1988).
Tabel 1. Karakteristik kimia-fisika tanah dan air lahan lebak Kabupaten Koordinat (GPS) Kode
Lokasi
Penggunaan Lahan & Kedalaman Air*) Fe3+air pori DHL PH Tanah Balangan 2º18'-2º26'S; 115º21'-115º23'T
A-1 Hutan Sekunder/10 cm <0,5 1,4 4,4 A-2 Sawah/15 cm 1,0 7,4 4,4 A-3 Kebun, surjan/-3 cm 4,6 Tapin 2º56'S; 115º01'T M-1 Hutan Sekunder/4 cm 1,1 26,1 4,5 Banjar 3º25'S;114º40'T G-1 Hutan Sekunder/0 cm 0,5 21,7 3,2 G-2 Bekas Sawah/-2 cm 1,2 16,7 3,5 G-3 Bekas Kebun, surjan/-15 cm <0,5 17,3 3,7
POPULASI MIKROORGANISME
Populasi bakteri umumnya lebih tinggi dari populasi fungi (Tabel 2). Hal ini merupakan fenomena umum yang terjadi pada tanah basah (Paul and Clerk, 1996). Untuk semua lokasi, populasi bakteri nitrifikasi selalu lebih tinggi dari bakteri denitrifikasi. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa N2O pada tanah lahan lebak terutama dihasilkan selama
proses nitrifikasi (Hadi et al., 2001). Tanah Malaysia menunjukkan populasi methanogens maksimum pada kedalaman 20 cm dimana permukaan air berfluktuasi (Inubushi et al., 1998).
Tabel 2. Populasi mikroorganisme tanah lahan lebak Kabupaten Kode
Lokasi
Total Total Bakteri Selulolitik
Fungi Selulolitik
Bakteri Bakteri Bakteri ATP Bakteri Fungi
Nitri-fikasi Denitri -fikasi Methano-gens cfu g-1x105 cfu g-1x104 MPN g-1x104 MPN g-1x103 µmol kg-1 Balangan A-1 217 5 12 5 124 6 7,7 A-2 177 4 3 2 1 30 7,1 A-3 170 2 8 3 5 1 1,9 Banjar G-1 G-2 1,2 G-3 0,2 Ozegahara, Jp 207 93 2 11 1
DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DAN PEMBENTUKAN GAS
Muarayama (2001) mengemukakan bahwa evolusi CO2 dapat digunakan sebagai
index untuk menduga laju dekomposisi pada tanah basah yang mengandung bahan organik tinggi seperti tanah pada lahan lebak. Laju dekomposisi bahan organik di Kab Balangan umumnya lebih rendah dari di Kab Banjar (Tabel 3). Hal ini mungkin disebabkan asal dari bahan organik di Kab. Balangan yang terutama berasal dari kayu sedangkan di Kab Banjar merupakan campuran kayu dan rumput (Sabiham, 1989).
Tabel 3. Laju dekomposisi bahan organik tanah lahan lebak Kabupaten Kode
Lokasi
Penggunaan Lahan & Kedalaman Air Laju Dekomposisi mg C/kg/hari Balangan A-1 Hutan Sekunder/10 cm
A-2 Sawah/15 cm 20
A-3 Kebun, surjan/-3 cm 40
Banjar G-1 Hutan Sekunder/0 cm 180
G-2 Bekas Sawah/-2 cm 250
G-3 Bekas Kebun, surjan/-15 cm 205
Volume total gas dan konsentrasi CH4 dalam tanah (Gambar 1) memperlihatkan
bahwa pembentukan gas lebih banyak pada tanah hutan dibandingkan dengan tanah kebun di Kab Balangan. Gas yang terbentuk pada tanah hutan terutama CO2, sedangkan pada
tanah pertanian adalah CH4. Data juga menunjukkan bahwa CH4 terlarut dalam tanah
kebun (Kab. Balangan=82 µg CH4-C/L) lebih tinggi dibandingkan dengan tanah hutan
Gambar 1. Total volume gas dan konsentrasi CH4 dalam tanah rawa lebak
EMISI GAS MUSIMAN
Emisi gas yang dilakukan setiap bulan dalam selama periode satu tahun di Kab. Balangan (Hadi et al., 2005) dan Kab. Banjar (Inubushi et al., 2003) menunjukkan variasi musiman dan emisi ini dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Hutan sekunder di Kabupaten Balangan (A-1), (Gambar 1), menghasilkan misi N2O hampir sepanjang tahun dengan
puncak pada bulan Nopember dan Februari. Emisi N2O dari sawah relatif rendah bahkan
kadang-kadang negatif. Emisi N2O tertinggi dari lahan kebun (A-3) terjadi pada bulan
Oktober-November. Emisi CH4 dari tanah kebun (A-3) dan sawah (A-2) mencapai puncak
pada bulan Desember, sedang dari hutan (A-1) terjadi pada bulan April. Emisi CO2 dari
tanah hutan (A-1), sawah (A-2) dan kebun, surjan (A-3) masing-masing terjadi pada bulan Februari, Oktober dan November (Hadi et al., 2005).
Untuk menyatakan pengaruh total, emisi gas rumah kaca biasanya dikonversi dan dinyatakan dalam Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potensial, GWP). Karena potensi pemanasan global N2O (298xCO2) jauh lebih tinggi dari CH4 (23 xCO2) dan CO2 (1
xCO2) maka emisi N2O perlu mendapat perhatian. Total emisi tahunan N2O dari tanah
hutan (A-1), sawah (A-2) dan kebun, surjan (A-3) di Kab Balangan masing-masing 13.385, 247 dan 2.036 g N/ha; sedang dari hutan (G-1), bekas sawah (G-2), dan bekas kebun, surjan (G-3) di Kab Banjar masing-masing adalah -1.100, -370 dan -510 g/ha. Potensi pemanasan global surjan di Kab Balangan lebih tinggi (54.084 mg equi-CO2-C/m-2/tahun)
Gambar 2. Emisi musiman gas-gas rumah kaca dari tanah rawa lebak
OPSI MITIGASI EMISI GAS DAN TANTANGAN KEDEPAN
Opsi mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan pertanian meliputi pengelolaan air, penggunaan benih dengan emisi gas rendah, penggunaan inhibitor methanogenesis dan nitrifikasi, sistem tanam tebar langsung untuk padi dan aplikasi bahan organik matang. Belum ada uji coba opsi mitigasi emisi gas dari tanah lahan lebak. Meskipun demikian, beberapa opsi dapat disarankan untuk diuji coba sebagai tantangan kedepan meliputi: (1) pengelolaan air, (2) penggunaan inhibitor nitrifikasi, dan (3) penggunaan bahan organik matang.
Pengelolaan air yang dimaksudkan di sini adalah dengan mempertahankan tanah ditutupi oleh air sehingga dapat menekan emisi N2O sebagai gas yang memiliki GWP
paling tinggi. Emisi N2O dari sawah hanya seper delapan emisi N2O dari tanah kebun
(Gambar 2). Selain dapat meningkatkan emisi N2O, pengeringan lahan lebak secara
berlebihan dapat mempermudah terjadinya kebakaran. Curah hujan yang tinggi memberikan keuntungan terhadap pengendalian emisi gas dan kebakaran lahan. Inubushi
et al. (2003) menemukan korelasi negatif antara emisi N2O dengan curah hujan di Kab
Banjar (Gambar 3). Pembuatan saluran drainase dapat dilakukan pada lahan lebak dalam rangka menurunkan permukaan air yang biasanya memang tinggi akibat curah hujan yang tinggi. Namun demikian, ukuran saluran drainase perlu diatur sedemikian rupa sehingga permukaan lahan tetap ditutupi oleh air. Saluran drainase yang dilengkapi dengan pintu pengatur air (tabat) sangat direkomendasikan.
0 6 12 18 17.11.2000 30.06.2001 03.12.2001 sampling mont h C H4 F lu x ( m g C m -2h -1) A-1 A-2 A-3 -20 40 100 160 17.11.2000 30.06.2001 03.12.2001 sampling mont h N2 O F lu x (u g N m -2h -1) 583.8 SE: 10.3 336.6 SE: 158.2 144.4 SE: 39.1 0 500 1000 17.11.2000 30.06.2001 03.12.2001 sampling mont h C O2 ( m g C m -2h -1) 1105.7 SE:114.9
Gambar 3. Hubungan emisi N2O dengan curah hujan
Karena sebagian besar N2O dari lahan lebak dihasilkan selama proses nitrifikasi
(Hadi et al., 2001) maka penggunaan inhibitor nitrifikasi mungkin akan efektif. Penggunaan urea bersama 40 kg/ha dyciandiamide dapat menurunkan emisi N2O dari lahan
kering 13 (Manganti, 2005) sampai 42 kali lebih rendah dari urea tanpa dyciandiamide. (Hadi dan Inubushi, 2006).
Pemberian bahan organik segar sedapat mungkin dicegah karena dapat meningkatkan emisi N2O tanah gambut dari Sarawak, Malaysia (Hadi et al., 2001).
Pengomposan merupakan cara paling umum untuk mematangkan bahan organik dan terbukti dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (Watanabe et al., 1993). Penggunaan amonium sulfat sebagai sumber N juga dapat dipertimbangkan untuk diterapkan pada lahan lebak karena terbukti tidak meningkatkan emisi N2O.
Gambar 4. Emisi N2O dari tanah alamami (A), tanah yang ditambah amonium sulfat (B)
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan emisi CH4, N2O dan
CO2 sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan, karakteristik tanah dan pemberian bahan
ameliorasi. Tanah kebun dengan sistem surjan di lahan lebak merupakan sumber penting gas-gas rumah kaca. Potensi pemanasan global di Kab Balangan lebih tinggi (54.084 mg equi-CO2-C/m-2 tahun) dibandingkan sawah (8.149. mg equi-CO2-C/m-2 tahun). Emisi CH4
dan N2O meningkat dengan penambahan jerami padi dan menurun dengan penambahan
amonium sulfat.
Opsi mitigasi emisi gas rumah kaca yang dapat disarankan untuk diuji coba sebagai tantangan kedepan meliputi: (1) pengelolaan air, (2) penggunaan inhibitor nitrifikasi, dan (3) penggunaan bahan organik matang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Propinsi Kalimantan Selatan.
Hadi, A. dan K. Inubushi. 2005. Emisi gas rumah kaca dari pertanaman kedelai dilahan sub-optimal Kalimantan Selatan. Abstrak Seminar Nasional Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi-ubian. Malang, September.
Hadi, A., K. Inubushi, Y. Furukawa, E. Purnomo, M. Rasmadi and H. Tsuruta. 2005. Greenhouse gas emission from tropical peatlands of Kalimantan. Nutr. Cyc. In Agr.
Ecosystem, 71.
Hadi, A. and K. Inubushi. 2001. Applicability of method to measure organic matter decomposition in peat soils. Ind. Journal of Agr. Sciences, 1.
Hadi, A., K. Inubushi, F. Razie, E. Purnomo and H. Tsuruta. 2000. Effect of land-use change on nitrous oxide (N2O) emission from tropical peatlands.
Chemosphere-Global Change Science, 2.
Inubushi, K., Y. Furukawa, A. Hadi, E. Purnomo and H. Tsuruta. 2003. Seasonal canges of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land use change in tropical peatlands
located in the coastal area of South Kalimantan. Chemosphere, 52.
Inubushi, K., A. Hadi, K. Okazaki and Y. Yonebayashi. 1998. Effect of converting forest to sago palm plantation on carbon dynamics and green house gas emissions.
Hydrological Processes, 12.
Manganti, E.R.V. 2005. Kehilangan nitrogen melalui emisi nitro oksida dan air perkolasi pada tanah Ultisol yang mendapat pupuk N berbeda. Skripsi pada Fakultas MIPA
Paul, A.E. and Clark, F.E. 1996. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. San Diego.
Sabiham, S. 1989. Studies on peat in the coastal plains of Sumatera and Borneo, Part III: Micromorphological study on peat in coastal plains of Jambi, South Kalimantan and Brunei. Southeast Asian Studies, 27.
Sabiham, S. 1988. Studies on peat in the coastal plains of Sumatera and Borneo, Part I: Physiography and geomorpholofy of the coastal plains. Southeast Asian Studies, 26.