• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Kebijakan Hukum Lingkungan

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

Oleh :

ZUMRODI

250120150017

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

I. Pendahuluan

1.1 Perkembangan internasional negosiasi kebijakan perubahan iklim

Isu global perubahan iklim semakin mengemuka dan banyak dibahas di berbagai forum dalam kurun waktu sejak 20 tahun terakhir. Istilah perubahan iklim dapat diartikan sebagai berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Hasil konvensi para pemimpin di dunia (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992 menetapkan PBB membentuk badan dunia bernama UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang akan membangun kerangka kerja bersama untuk mengatasi perubahan iklim. Walaupun dengan tarik ulur yang sangat kuat antara negara industri dan berkembang perihal pertanggung-jawaban terhadap kenaikan suhu bumi, akhirnya pada pertemuan antar-negara ke-5 (COP 5) di Kyoto, Jepang, pada tahun 1997 dihasilkan satu kesepakatan bersama yang dikenal dengan nama Kyoto Protocol (KP).

Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah pengesahan Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang perubahan iklim, hal ini membawa konsekuensi bahwa Indonesia terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Hasil kesepakatan bersama dari Kyoto Protocol menargetkan penurunan emisi dari negara maju rata-rata sebesar 5,2% (Lampiran 1 Kyoto Protocol) sampai tahun 2012, dari tingkat emisi pada tahun 1990. Seharusnya pada tahun 2012 target penurunan emisi 5,2% oleh negara maju (Annex 1) sudah dievaluasi (kesepakatan Kyoto Protocol 1997). Namun, target tersebut diperkirakan tidak tercapai.

Panel antar-pemerintah mengenai perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) memprediksi bahwa perubahan iklim saat ini berjalan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu ada upaya ekstrim atau deep cut penurunan emisi gas rumah kaca sampai tahun 2050. Sampai tahun 2020, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa berencana menurunkan emisinya rata-rata 20% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Hingga saat ini negosiasi masih berlangsung dan belum ada kesepakatan bersama yang akan dilakukan pasca-berakhirnya Kyoto Protocol 2012.

(3)

komitmennya pada 2012. Namun pada COP 17, Kelompok Kerja Adhoc Protokol Kyoto (AWGKP) menyepakati komitmen kedua Protokol Kyoto yang dimulai pada tahun 2013 hingga 2017, atau sampai tahun 2020.

Dalam konteks perundingan internasional, negara-negara miskin dan negara-negara berkembang tidak seharusnya mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi mengatasi perubahan iklim-sebuah permasalahan yang sebenarnya disebabkan oleh negara negara industri kaya. Akan tetapi mereka lebih memerlukan pemikiran ulang dalam strategi pertumbuhan mereka demi memaksimalkan prospek pertumbuhan dimasa mendatang (Ellis, 2009).

1.2 Perkembangan kebijakan nasional (Perpres 61 dan 71 tahun 2011)

Sejak tahun 2007, perkembangan perubahan iklim di Indonesia mencapai momentum yang signifikan ketika Indonesia menjadi tuan rumah Conference of Parties (COP) UNFCCC yang ke 13 di Bali. Indonesia kemudian mendirikan lembaga dan memberlakukan beberapa dokumen kebijakan dan peraturan terkait dengan perubahan iklim. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk pada tahun 2008 dan bertugas sebagai focal point isu-isu perubahan iklim dalam forum internasional. Berikutnya, Pemerintah Indonesia mengarusutamakan aktivitas perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dan membentuk sebuah lembaga dana perwalian nasional/trust fund (ICCTF3) untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Pada akhir 2009, Indonesia mengumumkan komitmen sukarelanya untuk aksi mitigasi yang diikuti dengan penetapan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Sebagai tindak lanjut dari komitmen di atas, RAN-GRK disusun dan dilengkapi dengan kerangka kebijakan untuk periode 2010-2020 yang ditujukan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan aksi yang terkait langsung maupun tidak langsung. Kerangka kebijakan tersebut merujuk kepada visi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 dan periode kedua dari prioritas yang tercakup dalam RPJMN 2010 – 20145. Visi dan prioritas tersebut kemudian diterjemahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai payung kebijakan perubahan iklim di Indonesia.

(4)

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK 26% dengan kemampuan sendiri

(bussines as usual) dan menjadi 41% dengan bantuan luar negeri sampai tahun 2020. Komitmen ini tertuang dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK yang diprakarsai oleh Bappenas dan sudah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Dalam peraturan tersebut terdapat lima sektor yang terlibat secara langsung, yaitu kehutanan dan lahan gambut, limbah, pertanian,industri dan energi dan transportasi.

Tabel 1. Target penurunan emisi sektoral pada tahun 2020 menurut RAN-GRK

Sektor Target Penurunan Emisi (Juta tCO2e) Unilateral (26%) Multilateral (41%)

Hutan dan Gambut 672 1.029

Petanian 8 11

Energi dan transportasi 36 56

Industri 1 5

Pengelolaan limbah 48 78

Total 767 1.189

Berdasarkan lampiran Perpres RAN GRK, pertanian berkewajiban menurunkan emisinya sekitar 8 juta ton CO2e BAU atau 11 juta ton CO2e apabila ada komitmen internasional sampai tahun 2020. Sektor kehutanan dan lahan gambut berkewajiban menurunkan sebesar 672 juta ton CO2e BAU atau 1.039 juta ton CO2e apabila ada komitment bantuan internasional. Selanjutnya sektor energi dan transportasi berkewajiban menurunkan emisi sebesar 38 juta ton CO2e BAU atau 56 juta ton CO2e dengan adanya komitmen bantuan internasional. Kemudian sektor industi berkewajiban menurunkan emisinya sekitar 1 juta ton CO2e BAU atau 5 juta ton CO2e apabila ada komitmen internasional sampai tahun 2020. Terakhir sektor pengelolaan limbah berkewajiban menurunkan emisinya sekitar 48 juta ton CO2e BAU atau 78 juta ton CO2e apabila ada komitmen internasional sampai tahun 2020.

(5)

Namun sebagian kegiatan yang tertera dalam RAN GRK kemungkinan akan diangkat sebagai NAMAs Indonesia. Dalam NAMAs, ada beberapa istilah, yaitu unilateral NAMAs yang berarti komitmen menurunkan emisi GRK berdasarkan pembiayaan sendiri atau melalui mekanisme APBN. Unilateral NAMAs untuk Indonesia adalah komitmen penurunan emisi sampai 26%. Selain Unilateral NAMAs, ada istilah Supported NAMAs dimana penurunan emisi GRK Indonesia harus didukung oleh pendanaan internasional. Supported NAMAs adalah tambahan 15% dari komitmen yang sudah dicanangkan 26%. Artinya, untuk supported NAMAs, target yang akan dicapai 41%. Istilah lainnya adalah market based

mechanism atau perdagangan karbon. Untuk market base NAMAs ini adalah penurunan emisi GRK di atas 41%.

Semua komitmen penurunan emisi yang bersifat unilateral, supported maupun market

menurut ketentuan dalam Cancun Agreement akan dikenakan monitoring yang bersifat MRV. Namun sebagai negara berkembang, MRV yang akan dilakukan hanya bersifat domestik dengan menggunakan metode yang diterima internasional sesuai dengan prinsip common but

differentiated responsibilities and respected capabilities (CDBR). Makna dari prinsip CDBR dalam konteks perundingan perubahan iklim, khususnya untuk mitigasi, adalah para pihak harus menurunkan emisi GRK dengan kewajiban, kemampuan, dan tanggung jawab yang berbeda.

Indonesia juga telah secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi dan pengembangan REDD+ sejak tahun 2007. Beberapa inisitatif REDD+ telah diluncurkan dan diikuti dengan beberapa perubahan kebijakan dan peraturan nasional untuk mendukung REDD+. Sebagai tindak lanjut Bali Action Plan, Indonesia telah mendapatkan akses untuk menerima bantuan dana multilateral dan bilateral dalam mendukung fase kesiapan REDD+6. Indonesia juga telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Norwegia untuk mananggulangi emisi yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan.

Sebagai tindak lanjutnya, Indonesia kemudian merumuskan strategi dan rencana aksi nasional untuk REDD+7. Perkembangan kerangka aksi mitigasi Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan karena hampir seluruh provinsi telah membuat Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Tidak hanya dalam hal perencanaan semata, pada tahun 2012 sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan (MER) untuk aksi-aksi mitigasi juga telah dibuat melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait. Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN) yang dikoordinasi oleh KLH dibentuk pada tahun 2011. Sistem ini merupakan pilar fundamental dalam penerapan MRV di Indonesia. Sistem ini dapat memberikan hasil evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat laporan dua tahunan (biennial update reporting/BUR) dan national communication ke UNFCCC.

(6)

Lebih lanjut, RAN-GRK dapat pula dikatakan sebagai langkah awal dalam pengembangan dan pelaksanaan NAMAs. NAMAs akan mendukung pelaksanaan RAN-GRK kedepan dengan adanya bantuan dana unilateral (untuk mendukung target pengurangan emisi sebesar 26%) dan bantuan dana internasional (untuk mengurangi emisi hingga 41%).

II. Permasalahan

2.1 Deskripsi kebijakan eksisting dan tren saat ini

Implementasi kebijakan yang saat ini dilaksanakan di Indonesia adalah mengacu kepada target pengurangan sebesar 26% secara unilateral pada tahun 2020. Angka target ini kemudian direvisi menjadi 29% pada tahun 2030 menjelang pertemuan ke 17 COP di Paris pada November 2015. Tingkat emisi termasuk didalamnya penggunaan lahan dan kehutanan akan mencapai 2.519 MtCO2e pada tahun 2020, dengan 56% emisi berasal dari penggunaan lahan. selain itu, kebijakan yang akan menjadi kunci keberhasilan pengurangan emisi adalah kebijakan energi hijau, yang merupakan sebuah rencana penggunaan pemenuhan energi pada masa mendatang. Peraturan ini termasuk didalamnya adalah pembangkit listrik dari energi terbarukan, dan termasuk penggunaan biofuel, yang akan mengurangi emsi secara nyata pada sektor energi dan transportasi, dengan catatan bahwa jaminan produksi yang berkelanjutan dapat dilakukan.

Tabel 2. Kebijakan sektoral eksisting dalam upaya penurunan emis gas rumah kaca

Kebijakan Implikasi

Kebijakan energi hijau Dampak terhadap pengurangan emisi sangat kecil, mengingat pada saat yang sama dukungan terhadap pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara juga dilakukan.

Kuota biofuel, subsidi harga biofuel dan obligasi untuk pembelian biofuel untuk perusahaan minyak nasional

Mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap penurunan emisi, apabila ada jaminan bahwa produksi biofuel dilakukan secara sustainabel (ramah lingkungan)

Undang-Undang energi, Kebijakan energi nasional

Lebih terfokus pada efisiensi energi, sulit untuk diterapkan, implikasi terhadap penurunan emisi sangat rendah

Pemberdayaan hukum sektor kehutanan, tata pemerintahan (kewenangan) dan perdagangan (produk berbasis hutan)

(7)

Untuk mengurangi emisi lebih jauh melalui kebijakan energi hijau, fokus dapat diterapkan pada penggunaan energi terbarukan, sebagaimana perencanaan yang saat ini dilakukan, pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terutama tekanan untuk mempertahankan batubara, karena cadangan yang relatif masih tersedia. Sektor lain yang menjadi perhatian dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah kaca adalah melalui pembuatan kebijakan pada sektor LULUCF. Akan tetapi, pengurangan emisi sebgaimana diharapakan melaui program yang saat ini dijalankan adalah sangat sulit untuk dikaji, mengingat tingginya angka ketidak-pastian data pada sektor ini.

Dalam perencanaan pembangunan, Indonesia juga relatif sangat “malu-malu” dalam menetapkan perubahan penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan. Sesuai kebijakan energi nasional, yang ditetapkkan melalui peraturan pemerintah nomor 79 tahun 2014, energi terbarukan hanya ditargetkan menyumbang 23% pemenuhan energi pada tahun 2025. Sebuah angka yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan segala potensi energi terbarukan di Indonesia yang sangat besar. Energi terbarukan rendah emisi karbon seperti angin, matahari, mikrohidro, panas bumi, gelombang dan beda suhu lautan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara nyata dan belum menjadi mainstream dalam kebijakan energi secara nasional.

Tabel 3. Potensi sumber daya energi nasional

(8)

lahan (LULUCF). Salah datu yang mengemuka adalah alih fungsi hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit dan bahan kertas. Indonesia memiliki peran yang strategis untuk turut terlibat dalam menghadapi perubahan iklim melalui kebijakan dan janji penurunan emisi gas rumah kaca .

Indonesia, yang merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia, juga berupaya untuk menyandarkan pemenuhan kebutuhan energi secara nyata dari batubara, setelah China yang merupakan salah satu pasar ekspor utama memotong impornya secara drastis karena perubahan kebijakan. Pengapalan batubara ke China dalam beberapa tahun terakhir telah berkurang hampir 50%, sementara konsumsi lokal batubara dalam enam tahun terakhir telah meningkat hampir dua kali lipat. Kebijakan ini menjadikan saat ini, hampir 35% kebutuhan energi listrik di Indonesia berasal dari energi tak terbarukan berupa batubara (Greenpeace, 2014).

2.2 Permasalahan sektor yang menjadi obyek kajian

Indonesia, yang merupakan salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030, sebuah revisi dari angka 26% pada tahun 2020, sebagaimana arah yang saat ini ada secara

bussines as usual. Pengumuman tersebut merupakan salah satu langkah perencanaan besar bagi Indonesia-sebuah negara dengan perkembangan ekonomi yang sangat pesat-dalam menghadapi pertemuan Paris pada November 2015, yang membatasi pemanasan global pada angka 2 derajat pada 2030. Indonesia juga telah menyiapkan pengurangan emisi sebesar 41% jika mendapat dukungan pendanaan dan teknologi dari negara negara industri. Dalam upaya ini diperlukan harga pendanaan sebesar US$ 6 bn.

Menanggapi pernyataan dan komitmen ini, World Resource Institute (WRI), sebuah lembaga tink-tank bidang lingkungan yang cukup kredibel menyatakan bahwa adalah hampir mustahil bagi Indonesia untuk mencapai komitmen atau ambisi dalam mengurangi emisi karbon. Dengan kata lain bagaimana target tersebut akan terpenuhi adalah sangat sulit mengingat negara ini adalah sangat samar dalam perencanaan dan implementasi. Kebijakan yang telah disusun tersebut tidak banyak memuat informasi yang jelas. Kebijakan yang ada sekarang pun tidak memungkinkan adanya akuntabilitas yang mencukupi karena adanya keterbatasan tranparansi, khususnya pada sektor sektor yang dominan seperti kehutanan dan lahan gambut serta sektor energi dan transportasi.

(9)

akibat dekomposisi. Kebakaran hutan besar pada 2015 mengakibatkan emisi harian sektor kehutanan menjadi empat kali lebih tinggi dari emisi harian Amerika Serikat atau China (lihat tabel 4). Dilain pihak, pemanasan global seakan menjadi sebuah lingkaran setan yang mengakibatkan peningkatan resiko kebakaran dan kerusakan hutan dan lahan gambut akibat iklim dan cuaca yang tidak menentu seperti musim kemarau yang lebih panjang.

Tabel 5. Emisi Karbon Kebakaran Hutan Tahun 2015 relatif terhadap emisi harian negara lain

Sektor kehutanan dan lahan gambut menyumbang hampir 87,6% emisi indonesia. Selanjutnya adalah sektor pengelolaan limbah sebesar 6,3% dan 4,7%. Dalam kajian ini akan di telaah dua sektor yang paling dominan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca di indonesia, dalam hal ini dipilih sektor: (1) kehutanan dan lahan gambut ; dan (2) sektor energi dan transportasi. Kedua sektor ini apabila digabungkan sudah mencakup hampir 92,3% emisi di Indonesia. Ini membawa konsekuensi bahwa implementasi kebijakan yang benar pada dua sektor ini akan secara dominan mempengaruhi keberhasilan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia.

III. Metode

(10)

kelemahan (weakness). Analisa dalam kajian ini dibatasi dalam konteks kebijakan sektor kehutanan dan energi yang terkait dengan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca.

IV. Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil dan pembahasan

Indonesia menadatangani Protokol Kyoto pada tahun 1998 dan meratifikasinya pada tahun 2004 melalui Undang-Undang nomor 17 tahun 2004. Semenjak itu berbagai kebijakan dan peraturan muncul sebagai tindak lanjut upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim. Diantara peraturan peraturan yang mewadahi kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia adalah : (1) Undang-Undang 17 Tahun 2004 tentang pengesahan Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang perubahan iklim; (2) Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; (3) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional; (4) NAMAs, Nationally Appropriate Mitigation Actions (komitmen negara berkembang untuk menurunkan emisi) sesuai kesepakatan Cancun Agreement, 2010. Selain peraturan yang terkait langsung dengan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca, terdapat juga peraturan sektoral yang terkait secara tidak langsung yaitu : (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan (3) Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Komitment Indonesia sebelum pertemuan Paris (COP) adalah tertinggal jauh dibandingkan negara berkembang lainnya seperti Meksiko dan Korea Selatan, yang telah secara jelas menterjemahkan target pengurangan emisi kepada PBB. Sejauh ini, hanya terdapat tiga negara lain yang telah secara kabur menterjemahkan skenario “bussines as usual” dalam upaya penurunan emisi karbon, dan ketiga negera tersebut yaitu Benin, Gabon, Trinidad-Tobago dibandingkan dengan Indonesia adalah negara-negara yang jauh lebih kecil. Indonesia berkomitmen untuk menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut baru untuk kegiatan perkebunan pada tahun 2011. Akan tetapi berlawanan dengan hal tersebut, sejumlah petak besar lahan hutan dan gambut dibakar setiap musim kemarau untuk tujuan pembangunan, salah satunya adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit.

(11)

Indonesia merupakan salah satu cadangan karbon terbesar di dunia. Ketika cadangan ini ditebang, atau dikeringkan dan dibakar untuk kegiatan perkebunan seperti kelapa sawit, sejumlah besar karbon dioksida akan dilepaskan ke udara.

Tabel 6. Hasil analisa SWOT sektor kehutanan dan energi terbarukan dalam kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca

Analisis Sektor Kehutanan dan Lahan

Gambut Sektor Energi dan Transportasi Kekuatan

(Strength)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan karbon (karbon stocks) terbesar di dunia di Indonesia adalah terbesar di dunia dan baru 5% yang dimanfaatkan).

Ancaman (Treat) Sektor kehutanan dan lahan gambut masih dianggap sebagai tumpuan penggerak pertumbuhan ekonomi yang memberikan tekanan lebih terhadap deforestrasi dan degradasi, kuatnya kepentingan politik global dan kepentingan ekonomi global

Target konversi ke energi terbarukan sangat rendah (hanya 23% pada tahun 2025), kebijakan yang ada belum beranjak dari pemanfaatan energi fosil (Minyak bumi, batubara dan gas bumi), sampai dengan tahun 2025 energi fosil

masih secara dominan (77%)

menyumbang penggunaan energi di Indonesia, harga minyak bumi yang murah

(12)

hutan. Diperlukan perencanaan yang lebih detail dalam pelaksanaan kebijakan bagi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan kehutanan, pendanaan yang mencukupi, penyusunan sistem informasi yang terintegrasi serta protokol standar dalam layanan dan tindakan.

Kebijakan pengembangan produksi biofuel juga sangat beresiko dan rentan menimbulkan masalah baru. Indonesia berencana mengembangankan produksi biofuel, selain demi mencukupi kebutuhan domestik untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil juga untuk memenuhi permintaan ekspor, khususnya ke negara-negara eropa. Bioetanol saat ini sebagian besar diproduksi dari tebu dan singkong, yang berkompetisi dengan kebutuhan sebagai bahan pangan. Selanjutnya biodiesel dikembangkan dari minyak sawit mentah (CPO), stearin (hasil samping CPO), dan minyak jarak. Pada tahun 2009, konsumsi biofuel mencapai 700 juta liter atau 2% dari konsumsi minyak diesel yang berasal dari lahan seluas 200.000 hektar kelapa sawit.

Pada tahun 2025 diperkirakan kebutuhan biodiesel akan meningkat menjadi 4.700 juta liter atau sebesar 5% dari konsumsi minyak diesel. Untuk itu akan dibutuhkan lahan kelapa sawit seluas 1,4 juta hektar yang diperkirakan berdampak pada tekanan deforestasi yan lebih tinggi. Potensi besar ada pada minyak jarak yang dapat diproduksi pada lahan marjinal, yang pada saat bersamaan kan meningkatkan taraf hidup masyarakat pada lahan kurang subur dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Kebijakan pengembangan penggunaan batubara sebagai sumber energi akan meningkatkan emisi lebih besar. Sebagai gambaran emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara pada tahun 2025 akan 20 kali lebih besar dari angka emisi tahun 2005 (Hutapea, 2007). Salah satu sebabnya adalah kencangnya pengembangan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara (sebesar 10.000 MW di Jawa).

(13)

4.2 Saran kebijakan

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% secara unilateral atau 42% dengan adanya bantuan dari dunia internasional. Proporsi terbesar dari penurunan emisi tersebut adalah berasal dari pengurangan kegiatan sektor kehutanan/deforestasi. Dengan kebijakan yang ada dan kecenderungan pencapaian saat ini, sepertinya komitmen tersebut akan sangat sulit untuk terpenuhi. Salah satu hal yang mendasari hal ini adalah besarnya ketidak pastian pada emisi sektor hutan, penggunaan lahan, alih fungsi lahan termasuk gambut didalamnya (LLUCF).

Berbagai kebijakan telah disiapkan Pemerintah Indonesia dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca. Akan tetapi kajian tentang pencapaian kebijakan akan sangat sulit dilakukan terkait dengan tingginya ketidak pastian data pada sektor LULUCF (land use, land

use change and forestry). Dengan menggunakan proyeksi resmi dari Pemerintah Indonesia, kebijakan yang ada akan sangat sulit untuk mencapai untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat. Indonesia dalam kebijakan internasional penurunan emisi gas rumah kaca dipandang memiliki komitmen ambisi yang medium, akan tetapi sepertinya upaya untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat memiliki ketidak pastian yang sangat tinggi (Fakete et al, 2013).

Untuk itu diperlukan berbagai langkah strategis dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca khususnya pada sektor kehutanan dan energi sebagaimana dibahas dalam kajian ini. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :

Tabel 7. Matriks hasil analisa dan strategi tindakan

(14)

pajak atau insentif yang lain hasil hutan non kayu serta jasa ekosistem yang mendukung

Dari pembahasan yang telah dilakukan dalam kajian kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca dapat disimpulkan bahwa :

1. Sektor (1) kehutanan dan lahan gambut; dan (2) sektor energi dan transportasi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia, implementasi kebijakan yang benar pada dua sektor ini akan secara dominan mempengaruhi keberhasilan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia

2. Berdasarkan tren dan kebijakan yang ada, akan sangat sulit untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020, khususnya pada sektor kehutanan dan energi.

(15)

Referensi :

Bappenas, 2014, Perkembangan Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia, Bappenas, Jakarta.

DFID, 2007, Executif Summary: Indonesian and Climate Change, Working paper on current status and policies, World Bank.

Ellis, Karen, 2009, Must developing countries sacrifice growth to save the planet?, Oversea Development Institute, United Kingdom.

Hanna Fekete, et al, 2013, Analysis of Current Greenhouse Gas Emission Trends, Climate

Action Tracker, Report, 30 November 2013.

Heru, Bambang, Prof, 2015, Materi Kuliah Manajemen Sumber Daya Alam, Program Studi Ilmu Lingkungan Unpad, Bandung.

Kementerian Pertanian, tanpa tahun, Panduan Inventori Gas Rumah Kaca dan Mitigasi

Perubahan Iklim Sektor Pertanian, Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Target penurunan emisi sektoral pada tahun 2020 menurut RAN-GRK
Tabel 2. Kebijakan sektoral eksisting dalam upaya penurunan emis gas rumah kaca
Tabel 3.  Potensi sumber daya energi nasional
Tabel 5. Emisi Karbon Kebakaran Hutan Tahun 2015 relatif terhadap emisi harian negara lain
+3

Referensi

Dokumen terkait

Opsi yang dapat diberikan sebagai upaya potensi penurunan emisi gas rumah kaca di RPH PT Elders Indonesia, yaitu pemanfaatan limbah padat dan cair untuk biogas,

Gambar 6.. EMISI GAS RUMAH KACA DALAM ANGKA 15 menggunakan bahan bakar solar, minyak tanah, dan batubara. Penggunaan bahan bakar tersebut menyebabkan emisi CO2 di

Opsi mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan pertanian meliputi pengelolaan air, penggunaan benih dengan emisi gas rendah, penggunaan inhibitor methanogenesis dan

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disebut RAN-GRK adalah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait emisi GRK dari sektor lahan antara lain kebijakan Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan

Potensi kontribusi perguruan tinggi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan dengan menghitung reduksi gas rumah kaca yang bisa dicapai jika sampah organik yang

Disamping itu dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Kaca, maka pemerintah daerah aktif dalam

Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim dan berkontribusi dalam penurunan emisi GRK, yang dilakukan melalui (i)