• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Efektivitas Gel Ekstrak Etanol daun Gulma Siam (Chromolaena odorata) terhadap Penyembuhan Luka Sayat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Efektivitas Gel Ekstrak Etanol daun Gulma Siam (Chromolaena odorata) terhadap Penyembuhan Luka Sayat"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN

GULMA SIAM

(Chromolaena odorata)

TERHADAP

PENYEMBUHAN LUKA SAYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN ATIKAH

NIM 111501035

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN

GULMA SIAM

(Chromolaena odorata)

TERHADAP

PENYEMBUHAN LUKA SAYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN ATIKAH

NIM 111501035

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN GULMA

SIAM

(Chromolaena odorata)

TERHADAP PENYEMBUHAN

LUKA SAYAT

OLEH: DIAN ATIKAH NIM 111501035

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 16 Desember 2015

Panitia Penguji, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Hakim Bangun., Apt NIP 195201171980031002

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S.,Apt NIP 195504241983031003

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt NIP 197712262008122002

Dr. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Dosen Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah

SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehngga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah

satu syarat mencpai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara, dengan judul skripsi Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol

Daun Glma Siam (Chromolaena odorata) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.

Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Ibu Marline Nainggolan, M.S., Apt.,

yang telah membimbing dengan sangat baik, memberikan motivasi, petunjuk dan

saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga

mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt selaku Pejabat

Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan bimbingan dan

penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan, Bapak

Prof. Hakim Bangun., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra Anayanti Arianto,

M.Si., Apt., dan Ibu Sumaiyah, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah

memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, dan Bapak Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt selaku dosen penasehat

akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan

hingga selesai, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan

yang telah mendidik selama perkuliahan.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tiada terhingga

kepada kedua orang tua tercinta, Tardianis dan Isnel yang telah memberikan kasih

(5)

semangat yang tiada henti kepada penulis, serta kepada adik saya Dian Lathifah,

Dian Zakiyah, dan Ahmed Alfaizi yang selalu memotivasi dan mendoakan.

Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada teman-teman Farmasi 2011,

Walidah, Hera, Syukria, Lita, Uti dan CIWI’s yang selalu memotivasi dan

meluangkan waktu dalam membantu penyelesaian skripsi ini dan juga kepada

pihak-pihak yang selalu memberikan dukungan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

menerima kritk dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis

berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan , Desember 2015 Penulis,

(6)

UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL GULMA SIAM

(Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak

Latar belakang: Gulma siam (Chromolaena odorata) dikenal sebagai daun kirinyuh, famili Asteraceae, banyak tumbuh di daerah daratan tinggi dan pegunungan. Masyarakat biasanya menggunakan perasan atau rebusan daun gulma siam ini sebagai obat luka dan obat sakit perut. Selain itu juga berkhasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antipiretik dan antihipertensi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan gel ekstrak

etanol daun gulma siam dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun gulma terhadap penyembuhan luka sayat.

Metode: Serbuk gulma siam di maserasi dengan pelarut etanol 80%. Maserat

yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50°C) dan dikeringkan dengan freeze dryer (-40°C). Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1%. Sediaan gel di evaluasi dan diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci dan dilakukan uji statistik.

Hasil: Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam

masing masing di peroleh senyawa flavanoida, glikosida, tanin, saponin, alkaloida, steroid/triterpenoid, dan karakterisasi simplisia diperoleh kadar air (7,9%), kadar sari larut air (23,54%), kadar sari larut etanol (11,96%), kadar abu total (4,97%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,52). Hasil evaluasi sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam masih stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas menunjukkan sediaan gel homogen, pH sediaan gel di peroleh 6,2-6,3, nilai viskositas 2,9-3,7 poise. Hasil uji efektivitas ekstrak etanol daun gulma mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 0,125% (20 hari), 0,25% (19 hari), 0,50% (18 hari), 0,75% (21 hari) dan 1% (22 hari), sedangkan betadine salep (17 hari), tanpa perlakuan (24 hari), basis gel (23 hari). Uji statistik menunjukkan semua sediaan gel memberikan efek terhadap penyembuhan luka sayat.

Kesimpulan: Ekstrak etanol daun gulma siam dapat diformulasi sebagai gel dan

memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%.

(7)

EFFECTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT GEL OF Chromolaena odorata LEAVES FOR WOUND HEALING

Abstract

Background: Chromolaena odorata known as kirinyuh leaf, family of Asteraceae, mostly grows on highland and mountains. People usually use the leaf extract or stew from boiled Chromolaena odorata leaves as medicine for wound healing and to heal stomach pain. Also, it is good for bacterial, anti-inflammation, anti-pireutic, and anti-hypertension.

Objective: The purpose of this study were to formulate gel from ethanol extract

of Chromolaena odorata leaves and to test the effectivity of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves for wound healing.

Methods: Chromolaena odorata leaf powder was macerated by ethanol 80%. The macerate have evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (-40ºC). Then phytochemical screening, characterization, and the extract have formulated to gel material based HPMC with concentration 0.125, 0.25, 0.50, 0.75 and 1.00%, respectively. The gel material evaluated and tested its

effectiveness on rabbit’s back which have wounded. Then carried statistical test.

Result: The results from phytochemicals screening of simplicia powder were

flavanoid, glycosides, tannins, saponin, alkaloids, steroid/triterpenoids and

Chromolaena odorata leaf ethanol extract gel characterization was obtained by water level (7.9%), the levels of water soluble extract (23.54%), the level of ethanol soluble extract (11.96%), total ash content (4.97%), and level of acid insoluble ash (0.52%). The evaluation results of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves remain stable instorage for 90 days. Homogeneity examination showed a homogeneous gel material, the pH value of gel material was 6.2-6.3, viscosity value was 2.9-3.7 poise. The results show effectiveness of ethanol extract of weeds leaves was able to healing the wound with concentrations of 0.125% (20 days), 0.25% (19 days), 0.50% (18 days), 0.75% (21 days) and 1% (22 days), respectively, whereas betadine ointment (17 days), without treatment (24 days), and gel based (23 days). The statistical test show all dosage gel give effect to healing the wound.

Conclusion: The ethanol extract of Chromolaena odorata leaf can be formulated as a gel and has effect to wound healing and the best formulated is gel with 0.50% extract.

(8)
(9)

2.3.3 Metil Paraben ... 11

(10)

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 24

3.4.1 Pengumpulan sampel ... 24

3.4.2 Identifikasi tumbuhan ... 24

3.4.3 Pengolahan sampel ... 24

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam ... 25

3.6 Skrining Fitokimia ... 25

3.7 Karakteristik Simplisia dan Ekstrak ... 28

3.7.1 Penetapan kadar air ... 28

3.10 Pengujian Sediaan Gel Terhadap Penyembuhan Luka Sayat 32 3.11 Analisis Data ... 33

(11)

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 34

4.2 Hasil Ekstraksi ... 34

4.3 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Daun Gulma Siam . 34 4.4 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Gulma Siam .. 35

4.5 Hasil Evaluasi Pemeriksaan Stabilitas Sediaan ... 36

4.5.1 Hasil pemeriksaan organoleptis EEDGS ... 36

4.5.2 Hasil pengamatan homogenitas sediaan gel EEDGS ... 37

4.5.3 Hasil penentuan pH sediaan gel EEDGS ... 37

4.5.4 Hasil penentuan viskositas ... 38

4.6 Hasil Uji Efektivitas Penyebuhan Luka Sayat ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Komposisi formula gel ... 31

4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak ... 34

4.2 Hasil karakterisasi simplisia ... 35

4.3 Data pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel ... 36

4.4 Data pengamatan homogenitas sediaan ... 37

4.5 Data pengukuran pH ... 38

4.6 Data pengukuran viskositas ... 39

4.7 Data rata-rata pengurangan diameter luka sayat ... 46

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Rumus bangun HPMC ... 10

2.2 Rumus bangun propilen glikol ... 11

2.3 Rumus bangun metil paraben ... 12

2.4 Rumus bangun propil paraben ... 12

2.5 Struktur kulit ... 13

2.6 Penyembuhan primer ... 17

2.7 Penyembuhan skunder ... 18

4.1 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,125% .. 40

4.2 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,25% .... 41

4.3 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,50% .... 42

4.4 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,75% .... 43

4.5 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 1,00% ... 44

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan gulma siam ... 59

2 Gambar tumbuhan dan daun segar gulma siam ... 60

3 Gambar simplisia dan serbuk simplisia ... 61

4 Sediaan gel ... 62

5 Homogenitas sediaan ... 63

6 Bagan pembuatan ekstrak ... 64

7 Bagan pembuatan sedian gel ... 65

8 Bagan alur penelitian ... 66

9 Data perubahan diameter luka sayat ... 67

10 Data Perubahan diameter rata-rata luka sayat ... 69

11 Gambar perubahan diameter luka sayat ... 70

12 Perhitungan karakterisasi simplisia ... 88

13 Perhitungan viskositas sediaan ... 93

14 Hasil uji statistik metode one way anova ... 94

(15)

UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL GULMA SIAM

(Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak

Latar belakang: Gulma siam (Chromolaena odorata) dikenal sebagai daun kirinyuh, famili Asteraceae, banyak tumbuh di daerah daratan tinggi dan pegunungan. Masyarakat biasanya menggunakan perasan atau rebusan daun gulma siam ini sebagai obat luka dan obat sakit perut. Selain itu juga berkhasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antipiretik dan antihipertensi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan gel ekstrak

etanol daun gulma siam dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun gulma terhadap penyembuhan luka sayat.

Metode: Serbuk gulma siam di maserasi dengan pelarut etanol 80%. Maserat

yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50°C) dan dikeringkan dengan freeze dryer (-40°C). Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1%. Sediaan gel di evaluasi dan diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci dan dilakukan uji statistik.

Hasil: Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam

masing masing di peroleh senyawa flavanoida, glikosida, tanin, saponin, alkaloida, steroid/triterpenoid, dan karakterisasi simplisia diperoleh kadar air (7,9%), kadar sari larut air (23,54%), kadar sari larut etanol (11,96%), kadar abu total (4,97%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,52). Hasil evaluasi sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam masih stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas menunjukkan sediaan gel homogen, pH sediaan gel di peroleh 6,2-6,3, nilai viskositas 2,9-3,7 poise. Hasil uji efektivitas ekstrak etanol daun gulma mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 0,125% (20 hari), 0,25% (19 hari), 0,50% (18 hari), 0,75% (21 hari) dan 1% (22 hari), sedangkan betadine salep (17 hari), tanpa perlakuan (24 hari), basis gel (23 hari). Uji statistik menunjukkan semua sediaan gel memberikan efek terhadap penyembuhan luka sayat.

Kesimpulan: Ekstrak etanol daun gulma siam dapat diformulasi sebagai gel dan

memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%.

(16)

EFFECTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT GEL OF Chromolaena odorata LEAVES FOR WOUND HEALING

Abstract

Background: Chromolaena odorata known as kirinyuh leaf, family of Asteraceae, mostly grows on highland and mountains. People usually use the leaf extract or stew from boiled Chromolaena odorata leaves as medicine for wound healing and to heal stomach pain. Also, it is good for bacterial, anti-inflammation, anti-pireutic, and anti-hypertension.

Objective: The purpose of this study were to formulate gel from ethanol extract

of Chromolaena odorata leaves and to test the effectivity of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves for wound healing.

Methods: Chromolaena odorata leaf powder was macerated by ethanol 80%. The macerate have evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (-40ºC). Then phytochemical screening, characterization, and the extract have formulated to gel material based HPMC with concentration 0.125, 0.25, 0.50, 0.75 and 1.00%, respectively. The gel material evaluated and tested its

effectiveness on rabbit’s back which have wounded. Then carried statistical test.

Result: The results from phytochemicals screening of simplicia powder were

flavanoid, glycosides, tannins, saponin, alkaloids, steroid/triterpenoids and

Chromolaena odorata leaf ethanol extract gel characterization was obtained by water level (7.9%), the levels of water soluble extract (23.54%), the level of ethanol soluble extract (11.96%), total ash content (4.97%), and level of acid insoluble ash (0.52%). The evaluation results of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves remain stable instorage for 90 days. Homogeneity examination showed a homogeneous gel material, the pH value of gel material was 6.2-6.3, viscosity value was 2.9-3.7 poise. The results show effectiveness of ethanol extract of weeds leaves was able to healing the wound with concentrations of 0.125% (20 days), 0.25% (19 days), 0.50% (18 days), 0.75% (21 days) and 1% (22 days), respectively, whereas betadine ointment (17 days), without treatment (24 days), and gel based (23 days). The statistical test show all dosage gel give effect to healing the wound.

Conclusion: The ethanol extract of Chromolaena odorata leaf can be formulated as a gel and has effect to wound healing and the best formulated is gel with 0.50% extract.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tumbuhan obat yang

potensial dengan keanekaragaman hayati menempati urutan ketiga terbesar di

dunia setelah Brazil dan Zaire, dan mempunyai jenis tumbuhan yang cukup

banyak sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat (Hernani dan Endjo, 2004).

Penggunaan obat tradisional semakin disukai dari pada obat kimia karena

mahalnya sehingga masyarakat beralih ke tumbuhan. Di masyarakat tumbuhan

terutama digunakan untuk mencegah berbagai penyakit sehingga dapat menjaga

kesegaran tubuh maupun mengobati penyakit (Mursito, 2001).

Gulma siam (Chromolaena odorata) merupakan sinonim dari Eupatorium

odoratum L, para pekebun menyebutnya kirinyuh atau gulma putihan. Daunnya

mengandung beberapa senyawa utama seperti fenol, tanin, steroid, saponin,

flavonoid, dan alkaloid (Prajitno, dkk., 2013). Minyak essensial dari daun gulma

siam memiliki kandungan α-pinen, β-pinen, geijeren, pregeijeren, germakren D

dan trans-β kariopilen (Felicien, dkk., 2012).

Tumbuhan ini oleh masyarakat Aceh dimanfaatkan secara tradisional

untuk mengobati diabetes dan luka kulit. Daun gulma siam juga telah digunakan

secara tradisional di Vietnam dan beberapa negara tropis lainnya untuk menangani

gigitan lintah, luka jaringan lunak, luka bakar dan infeksi kulit, dengan cara

meremas daun muda sampai hancur, dan cairan yang dihasilkan digunakan untuk

mengobati luka kulit (Le, 1995)

(18)

suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti

trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan

(Pusponegoro, 2005). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse

Association (InETNA) (2004), luka merupakan kerusakan pada jaringan yang

mengganggu kehidupan normal sel.

Dipasaran obat luka telah banyak beredar dalam bentuk gel, salep, dan

krim, tapi sediaan gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah

mengering membentuk lapisan tipis sehingga mudah dibersihkan (Suardi, dkk.,

2008). Bahan pembawa yang digunakan untuk sediaan topikal berpengaruh

terhadap absorbsi obat dan memiliki keuntungan jika dipilih dengan tepat

(Lachman, dkk., 1994). Pemilihan hidroksi propil metil selulosa (HPMC) sebagai

dasar gel karena tidak berbau, tidak berasa, mudah larut dalam air panas dan

berfungsi sebagai penstabil pada sediaan topikal sedangkan propilenglikol

digunakan sebagai pelarut dan pengawet (Rowe, dkk., 2005).

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Yuliani (2013), yaitu efek ekstrak

etanol daun Chromolaena odorata L terhadap kesembuhan luka insisi pada tikus

sprague dawley terlihat bahwa ekstrak Chromolaena odorata L efektif untuk

kesembuhan luka. Penelitian Marianne, dkk., 2014 ekstrak ini pada dosis 5, 25,

125, dan 250 mg/kg bb mampu menurunkan kadar gula darah.

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin menguji efektivitas sedian gel

ekstrak etanol daun gulma siam terhadap penyembuhan luka sayat (luka eksisi).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

(19)

diformulasikan dalam bentuk sediaan gel?

b. Apakah sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena

odorata) mempunyai efek penyembuhan pada luka sayat?

1.3 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) dapat

diformulasikan dalam bentuk sediaan gel.

b. Sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata)

mempunyai efek penyembuhan pada luka sayat.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk membuat sediaan gel dari ekstrak etanol daun gulma siam

(Chromolaena odorata).

b. Untuk menguji efektivitas penyembuhan pada luka sayat dari sediaan gel

ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata).

1.5 Manfaat Penelitian

Dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai bentuk sediaan gel

dari ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) yang dapat

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi habitat, sistematika tumbuhan, nama daerah,

morfologi tumbuhan, khasiat tumbuhan dan kandungan kimia.

2.1.1 Habitat

Kirinyuh adalah gulma yang awalnya berasal dari Amerika Selatan dan

Tengah, menyebar ke daerah tropis Asia, Afrika dan Pasifik, digolongkan sebagai

gulma invasif, semak berkayu yang berkembang cepat, juga dikenal sebagai

gulma siam, berdiri membentuk padat yang dapat mencegah pertumbuhan jenis

tumbuhan lainnya serta memiliki efek allelopati (Prawiradiputra, 2007).

Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun 1910-an

(Sipayung, dkk., 1991), tidak hanya terdapat di lahan kering atau pegunungan

tetapi juga banyak terdapat dilahan rawa dan lahan basah lainnya (Thamrin, dkk.,

2007)

2.1.2 Morfologi

Tumbuhan gulma siam ini tumbuh dengan tinggi 1-2 m, batang tegak,

berkayu, ditumbuhi rambut-rambut halus, bercorak garis-garis membujur yang

paralel. Helai daun berbentuk segitiga/bulat panjang dengan pangkal agak

membulat dan ujung tumpul atau agak runcing, tepinya bergigi, mempunyai

tulang daun tiga sampai lima, permukaan daun gulma siam berbulu pendek, dan

bila diremas terasa bau yang menyengat. Perbungaan majemuk berbentuk malai

rata (corymbus) yaitu kepala bunga kira-kira berada pada satu bidang, lebarnya

6-15 cm, berbentuk bongkolan, warnanya lembayung kebiru-biruan (Nasution,

(21)

2.1.3 Nama daerah

Nama daerah, Sumatera Utara: lenga-lenga; Sunda: kirinyuh, babanjaran,

darismin; Makassar: laruna, lahuna, kopasanda. Istilah dalam bahasa Inggris

dikenal sebagai Siam Weed, Christmas Bush, dan Common Floss Flower

(Chakraborty, dkk., 2010).

Chromolaena odorata (L.) King & H. E. Robins memiliki nama lain:

Eupatorium odoratum L., Eupatorium affine Hook & Arn., Eupatorium

brachiatum Wikstrom, Osmiaodorata (L.) Schultz-Bip, Osmia floribunda (Kunth)

Schultz-Bip (Chakraborty, dkk., 2010).

2.1.4 Sistematika tumbuhan (Herbarium Medanense)

Sistematika tumbuhan gulma siam adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Spesies : Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins

Nama Lokal : Gulma Siam

2.1.5 Kandungan kimia

Daun gulma siam mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, flavanoid,

saponin, dan tanin (Ikewuchi dan Ikewuchi, 2011). Flavonoid mengandung

eriodiktol-7-4’-dimetil eter, naringenin-4’-metil eter dan 2’,4-dihidroksi-4’,5’,6’,

-trimetoksi kalkon (Johari, dkk., 2012). Senyawa metabolit sekunder yang

(22)

kardiak, tanin, terpenoid, saponin avenacin, senyawa fenol seperti protocatechuin,

p-coumarin, ferulic, p-hidroksibenzoat, asam vanilik, flavonoid jenis

quercetagetin, naringenin, kaempferol, sinensetin, skutelareintetrametil eter,

scutellarein, luteolin, eriodiktiol, aromadendrin, apigenin, scutellarein, taxifolin,

quercetagetin, minyak essensial seperti α-pinen, β-pinen, germakren D, β

-copaen-4-alpha-ol, β-caryopilen, geigeren, pregeijeren, cadinen, camphor, dan limonene

(Omokhua, dkk., 2015).

2.1.6 Khasiat tumbuhan

Khasiat dari daun gulma siam adalah untuk menangani gigitan lintah, luka

jaringan lunak, luka bakar, infeksi kulit. Daun gulma siam secara tradisional

digunakan sebagai obat dalam penyembuhan luka, obat kumur untuk pengobatan

sakit pada tenggorokan, obat batuk, obat malaria, antimikroba, sakit kepala,

antidiare, astringent, antispasmodik, antihipertensi, antiinflamasi, mengobati

diabetes, antikolesterol, antioksidan dan diueretik (Vital dan Rivera, 2009;

Ikewuchi dan Ikewuchi, 2011; Yenti, dkk., 2011).

Daun gulma siam juga telah diaplikasikan pada manusia untuk membantu

pembekuan darah akibat luka bisul atau borok (Hadiroseyani, 2005).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa

aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam

golongan minyak atsiri, alkaloid, flavanoid, tanin, glikosida dan lain lain.

Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut

sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang

(23)

diserbuk sampai halus (DirJen, POM., 2000: DepKes, RI., 1979).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:

1. Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil

penarikkan simplisia dengan cara maserasi. Maserasi adalah cara penarikkan

simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni,

2006). Dengan kata lain maserasi merupakan proses pengekstrakan dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada

temperatur ruangan. Remaserasi pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (DirJen, POM., 2000;

DepKes, RI., 1979).

2. Perkolasi

Perkolasi berasal dari kata “percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995).

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang

umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan

diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi

atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama

3 jam (DepKes, RI., 1979; DirJen, POM., 2000).

2.3 Gel

Gel adalah suatu sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua

konstituen yang terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan diselusupi oleh

cairan. Memiliki sifat yang lunak, lembut, mudah dioleskan, serta tidak

meninggalkan lapisan berminyak pada permukaan kulit. Hal ini merupakan nilai

tambah yang menunjukkan kemerataan distribusi dari komponen pembentuk gel

(24)

Sediaan gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat

dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi

oleh suatu cairan (DepKes, RI., 1995). Gel dapat diklasifikasikan sebagai gel

anorganik dan gel organik, contoh bahan anorganik pembentuk gel adalah

bentonit sedangkan tragakan, hidroksipropilmetilselulosa, metilselulosa adalah

bahan organik (Voigt, 1995). Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh

jaringan yang saling menganyam dari fase terdispersi yang mengurung dan

memegang medium pendispersi (Ansel, 1998).

Proses pembuatan gel meliputi proses peleburan atau diperlukan suatu

posedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman, dkk.,

1994). Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda,

maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase. Makromolekul pada sediaan

gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya,

disebut dengan gel satu fase (Ansel, 1998)

Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel meliputi gom

alam, tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintesis dan

semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan

karbopol (Aulton, 2007).

Gel dalam pembuatannya memerlukan suatu basis untuk mendapatkan

suatu gel yang homogen dengan konsistensi yang baik. Basis yang sering

digunakan dalam pembuatan gel adalah HPMC dan karbopol karena sifatnya yang

mudah didispersikan oleh air dengan konsentrasi kecil dan dapat memberikan

kekentalan yang cukup sebagai dasar gel, bersifat inert tidak mengiritasi kulit dan

tidak dimetabolisme oleh tubuh (Quinones dan Ghaly, 2008).

(25)

tidak lengket, gel mempunyai aliran tiksotropik dan pseudoplastik yaitu gel

berbentuk padat apabila disimpan dan akan mengalir apabila dikocok, konsentrasi

bahan pembentuk gel yang dibutuhkan hanya sedikit untuk membentuk masa gel

yang baik, viskositas gel tidak mengalami perubahan yang berarti pada suhu

penyimpanan (Lieberman, dkk., 1998).

Beberapa keuntungan sediaan gel menurut Voigt, 1995 adalah:

1. Kemampuan penyebaran baik pada kulit

2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit

3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik

5. Pelepasan obatnya baik

Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya

kontaminasi mikroba, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan

bahan pengawet seperti metil dan propil paraben. Upaya lain yang diperlukan

adalah perlindungan terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah

pengeringan (Voigt, 1995; Aulton, 2007).

2.3.1 Hidroksi propil metil selulose (HPMC)

Hidroksi propil metil selulosa dengan nama lain hypromellosum, memiliki

berat molekul 10.000-1.500.000 (Rowe, dkk., 2009). merupakan turunan metil

selulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan

rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol, atau aseton, mudah larut dalam air

panas dan segera menggumpal membentuk koloid. HPMC pada sediaan topikal

mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan sebagai

kosmetik (Rowe., dkk, 2005; Reynold, 1989).

(26)

kompatibel dengan bahan-bahan lain, kecuali bahan-bahan yang oksidatif

(Gibson, 2001). Hidroxy methyl cellulose (HPMC) merupakan gelling agent semi

sintetik yang tahan terhadap fenol dan stabil pada pH 3-11. HPMC dapat

membentuk gel yang jernih dan bersifat netral serta memiliki viskositas yang

stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe, dkk., 2005). Selain itu HPMC

mengembang terbatas dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel

yang baik. Hidrogel sangat cocok digunakan sebagai sediaan topikal dengan

fungsi kelenjer sebaseus berlebih, dimana hal ini merupakan salah satu faktor

penyebab jerawat (Voigt, 1995). Rumus bangun HPMC dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC

2.3.2 Propilen glikol

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau,

dengan rasa agak manis. Dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dan

minyak lemak (DepKes, RI., 1979). Propilen glikol telah banyak digunakan

sebagai pelarut dan pengawet dalam berbagai formulasi parental non parental.

Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan

dapat melarutkan berbagai bahan seperti kortikosteroid, obat-obatan sulfa,

barbiturat, A dan D, alkaloid, dan banyak anestetik lokal (Rowe., dkk, 2005;

(27)

Propilen glikol berfungsi sebagai humektan yang menjaga kestabilan

sediaan dengan cara mengabsorpsi lembab dari lingkungan dan mengurangi

penguapan air dari sediaan dan mampu mempertahankan kandungan air dari suatu

sediaan (Arikumalasari dkk, ; Kuncari dkk, 2014). Propilen glikol juga berfungsi

meningkatkan penetrasi dengan cara merusak susunan lapisan lipid stratum

korneum dan dengan denaturasi keratin atau melarutkan lapisan lipid pada stratum

korneum sehingga mengurangi resistensi difusional dan meningkatkan

permeabilitas kulit (Sinko, 2006; Sukmawati dkk, 2009). Rumus bangun propilen

glikol dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol

2.3.3 Metil paraben

Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk halus, berwarna putih, hampir tidak

berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa tebal

(Depkes, RI., 1979; Rowe, dkk., 2005)

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam

kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi, kemampuan pengawet metil

paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Soni, 2002).

Metil paraben (standar 0,02-0,3%) dan propil paraben (standar 0,01-0,6%)

dikombinasi bertujuan untuk memperluas aktivitas spektrum pengawet, karena

adanya kandungan air yang cukup besar pada gel dapat menyebabkan

pertumbuhan mikroba (Kuncari dkk, 2014). Rumus bangun metil paraben dapat

(28)

Gambar 2.3 Rumus bangun metil paraben

2.3.4 Propil paraben

Propil paraben merupakan serbuk kristal putih, tidak berbau, dan tidak

berasa, berfungsi sebagai pengawet (Steinberg, 2005). Konsentrasi propil paraben

yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,6%. Propil paraben efektif

sebagai pengawet pada pH 4-8, peningkatan pH dapat menurunkan aktivitas

antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam

250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air (Wade, 1994; Reynold, 1989).

Rumus bangun propil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben

2.4 Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia, 15% dari berat badan

dewasa adalah kulit. Kulit memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku dan

kelenjar keringat/sebasea (Arisanty, 2013).

Fungsi kulit adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi

(29)

sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari

kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier

dari invasi mikroorganisme patogen (Perdanakusuma, 2007). Struktur kulit dapat

dilihat pada Gambar 2.5.

3.

4.

5.

Gambar 2.5 Struktur kulit

Gambar 2.5 Struktur kulit

Kulit mempunyai daya regenerasi yang besar, misalnya pada saat kulit

terluka, maka sel-sel dalam dermis melawan infeksi lokal kapiler dan jaringan ikat

akan mengalami regenerasi sehingga terbentuk jaringan parut pada mulanya

berwarna kemerahan karena meningkatnya jumlah kapiler dan akhirnya berubah

menjadi serabut kolagen keputihan yang terlihat melalui epitel (Setiadi, 2007).

Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung, terdiri atas 650 kelenjar

keringat, 20 pembuluh darah, 60.000 melanosit dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit

memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku, dan kelenjar keringat/ sebasea

(Arisanty, 2013).

(30)

Epdermis merupakan bagian terluar kulit, sebagian besar terdiri dari yang

mengalami skuamosa yang bertingkat yang mengalami kreatinisasi yang tidak

memiliki pembuluh darah. Sel-sel yang menyusun epidermis secara terus menerus

terbentuk dari jaringan germinal dalam epitelium kolumnar (Setiadi, 2007).

Menurut Setiadi 2007, lapisan epidermis terdiri atas :

1. Stratum korneum merupakan lapisan tanduk terdiri dari sel gepeng yang mati,

mengandung kreatin / sel tanduk.

2. Stratum lusidum merupakan sel gepeng tanpa inti, yang jelas terlihat pada

telapak tangan dan kaki dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel

3. Stratum granulosum mengandung sel granular dan kreatin, pada lapisan ini sel

berinti mulai mati dan terus terdorong keatas.

4. Stratum spinosum merupakan lapisan paling tebal yang memiliki banyak

kolagen

5. Stratum basale bentuknya slindris dengan inti yang lonjong, didalamnya

terdapat butir-butir halus yang disebut butir melanin warna, disini terjadi

pembelahan yang cepat dan sel baru didorong masuk kelapisan berikutnya.

2.4.2 Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua kulit, batas dengan epidermis dilapisi

oleh membran basalis dan disebelah bawah berbatasan dengan subkutis. Didalam

lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf, lapisan nya

elastik, fibrosanya padat dan terdapat folikel rambut (Setiadi, 2007).

Dermis terdiri atas dua lapisan :

a. Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang, terdiri dari serabut

saraf dan pembuluh darah yang memberi nutrisi kepada epidermis bagian atas

(31)

Dermis terdiri atas jaringan ikat, protein kologen dan elastin, fibrolast,

sistem imun dan sistem saraf. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang,

suplai nutrisi, menahan shearing force dan respon inflamasi (Perdanakusuma,

2007; Hunter, 2003).

2.4.3 Hipodermis

Merupakan kumpulan-kumpulan sel lemak, lapisan paling tebal dari kulit,

terdiri atas jaringan lemak, jaringan ikat, fibrolast dan pembuluh darah.

Hipodermis berfungsi sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur, penyangga

organ disekitarnya dan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi

(Boyle, 2009)

2.5 Luka

Luka adalah rusak atau hilangnya bagian jaringan tubuh karena adanya

suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti

trauma, zat kimia, ledakan, sengatan lstrik atau gigitan hewan (Pusponegoro,

2005). Salah satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat dibagi menjadi dua yaitu

1. Luka insisi adalah luka yang disebabkan karena teriris benda tajam dimana

terdapat robekan linier pada kulit dan lapisan dibawahnya. Luka ini terjadi

tanpa kehilangan jaringan kulit dan memerlukan penyembuhan luka secara

premier.

2. Luka eksisi adalah hilangnya kulit secara keseluruhan dan meluas sehingga

menyebabkan banyaknya jaringan yang hilang dan memerlukan

penyembuhan luka secara sekunder (Arisanty, 2013)

Menurut Baroroh 2009, luka dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

1. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi

(32)

2. Stadium II, luka pastial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan

epidermis dan bagian atas dari dermis.

3. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya ulit keseluruhan meliputi

kerusakan jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak

melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan

epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot

4. Stdium IV, luka full thickness ; yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan

tulang dengan adanya destruksi/ kerusakan yang luas.

Penyembuhan luka adalah proses pengganti dan perbaikan fungsi jaringan

yang rusak. Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka

yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Boyle, 2009; Arisanty,

2013). Gambar penyembuhan luka secara primer dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Penyembuhan primer

(33)

C:regenerasi epidermis sempurna dan terbentuk jaringan parut (Robbins dan Kumar, 1992)

Penyembuhan luka secara primer dengan menyatukan kedua tepi luka

berdekatan dan saling berhadapan, jaringan granulasi yang dihasilkan sangat

sedikit pada hari pertama setelah luka, garis insisi segera terisi bekuan darah dan

terjadi reaksi radang akut, kemudian terjadi reepitelisasi permukaan dan

pembentukan jembatan yang terdiri dari jaringan fibrosa yang menghubungkan

kedua tepi celah subepitel, selanjutnya terjadi sintesis kolagen yang dirangsang

oleh makrofag. Kolagen yang terbentuk akan merapatkan kedua tepi luka.

Prosesnya berlangsung selama 10-14 hari, prosesnya epitelisasi dan deposisi

jaringan ikat (Arisanty, 2013; Marison, 2003). Gambar penyembuhan luka secara

skunder dapat dilihat pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Penyembuhan sekunder

(34)

B: penyembuhan di bawah keropeng C: luka terbuka dengan jaringan granulasi

D:terbentuk jaringan parut atau daerah epidermis (Robbins dan kumar, 1992).

Penyembuhan luka secara sekunder adalah proses penyembuhan luka yang

memerlukan terbentuknya jaringan granulasi yang banyak dimana jaringan

granulasi tubuh dibawah keropeng dan terjadi regenerasi epitel dibawah keropeng

kemudian keropeng akan lepas setelah terjadi epitelisasi sempurna. Prosesnya:

proses granulasi (pertumbuhan sel), kontraksi (proses dimana daerah permukaan

luka mengecil), epitelisasi (penutupan epidermis) untuk menutup luka (Morison,

2003; Arisanty, 2013)

Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen

disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis

kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase

seperti dibawah ini :

a. Fase inflamasi

Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera setelah

terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi

disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin

membekukan darah.

b. Fase proliferasi atau fibroplasi

Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol

perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat

kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi

luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.

(35)

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses

penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen,

kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen

berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2

tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang

mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).

2.6 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan

luka antara lain alkaloid, flavanoid, tanin, saponin, dan steroid / triterpenoid.

2.6.1 Alkaloid

Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme

mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga

dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Paju,

dkk., 2013).

2.6.2 Flavanoid

Flavanoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan

superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan

meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap

reaksi yang merusak, flavanoid juga dapat menghambat pendarahan serta mampu

mempercepat penyembuhan luka dengan aktivitas antimikroba dan astringen,

yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitalisasi

(Robinson, 1995; Barku dan Ayaba, 2013).

2.6.3 Tanin

Tanin merupakan kompenen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman

(36)

pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010; Wijaya, dkk.,

2014). Selain itu juga dapat meningkatkan pembentukan fibroblas dan pembuluh

darah baru yang berfungsi sebagai transportasi untuk pasokan makanan dan

oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel yang sedang dalam perbaikan sehingga

dapat mempercepat penyembuhan luka (Choudhary, 2011).

2.6.4 Saponin

Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan

kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, saponin juga memiliki

kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh dan

mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga

luka tidak mengalami infeksi. (Mappa, dkk., 2013; Yenti, dkk., 2011).

2.6.5 Steroid / Triterpenoid

Steroid / triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan

luka terutama karena memiliki aktifitas antimikroba dan astringen, yang memiliki

peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitalisasi (Barku dan Ayaba,

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental meliputi: pengumpulan

dan pengolahan sampel, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, skrining

fitokimia dan karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, pembuatan sediaan gel,

evaluasi sediaan gel, pengujian sediaan gel terhadap penyembuhan luka sayat.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas

laboratorium, blender, neraca analitik, mortir, stamfer, pH meter, gunting bedah,

pinset bedah, pisau cukur, pisau bedah, pot plastik, rotary evaporator, spatula,

sudip, termometer dan viskometer Brookfiled.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gulma siam,

etanol, kloralhidrat, toluen (p.a), akuades, kalium iodida, merkuri (II) klorida,

bismut nitrat, asam nitrat, iodium, alpha naftol, asam asetat anhidrat, asam sulfat

pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam

klorida pekat, metanol (teknis), eter minyak tanah (teknis), etil asetat (teknis),

serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, HPMC, propilenglikol, metil

paraben, propil paraben, akuades, Lidokain HCl, Larutan dapar pH 4,0 dan 7,0.

3.2 Pembuatan Pereaksi

3.2.1 Pereaksi Meyer

(38)

larutan 1,358 g raksa (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan

ditambahkan air suling hingga 100 ml (DepKes, RI.,1995).

3.2.2 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu

ditambahkan 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu cukupkan dengan air

suling hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.3 Pereaksi Dragendorff

Campur 20 ml larutan bismuth (III) nitrat dalam asam nitrat lalu

tambahkan dengan 50 ml larutan kalium iodida diamkan sampai memisah

sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air secukupnya hingga 100

ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.4 Pereaksi Molich

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat

0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.5 Pereaksi Lieberman Bouchard

Sebanyak 1 g bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian

asam sulfat pekat.

3.2.6 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air

secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam

air hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).

(39)

Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air sulinghingga

100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.9 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga

diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.10 Pereaksi kloralhidrat

Larutkan 50 g kloralhidrat jenuh dalam 20 ml air (DepKes, RI., 1995).

3.3 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 ekor kelinci jantan

dengan berat 1,5 kg sampai 2 kg. Kelinci ini sebelumnya telah diaklimasi selama

seminggu.

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel

3.4.1 Pengumpulan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Bahan tumbuhan yang

digunakan adalah daun gulma siam yang diambil di Desa Suayan Tinggi,

Kabupaten Lima puluh kota, Provinsi Sumatera Barat.

3.4.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanense,

Depertemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sumatera Utara.

3.4.3 Pengolahan sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun gulma siam

yang masih segar. Daun dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang.

(40)

(ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang telah kering (rapuh) diserbuk

dengan blender dan disimpan dalam wadah tertutup rapat dan disimpan pada suhu

kamar.

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut

etanol 80%. Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan dalam bejana, dituangi

dengan 3,5 L (75 bagian) etanol 80%, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung

dari cahaya sambil sesekali diaduk, kemudian disaring sehingga didapat maserat.

Ampas dimaserasi kembali dengan etanol 80% hingga diperoleh 5 L (100 bagian).

Pindahkan maserat ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung

dari cahaya selama 2 hari, enap tuangkan. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan

alat rotary evaporator pada suhu ±50oC sampai diperoleh ekstrak kental,

selanjutnya di freeze dryer pada suhu -400C selama ± 24 jam. (DepKes, RI.,

1979).

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma

siam meliputi: pemeriksaan senyawa alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, tanin

dan steroid/triterpenoid.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit,

didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan

(41)

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat akan

terbentuk endapan berwarna coklat kehitaman

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff akan

terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.

Alkaloid dinyatakan positif jika dua atau tiga reaksi di atas memberikan reaksi

positif (DepKes, RI., 1995).

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama

10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan

dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok

hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur

40oC.Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan:

Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan

dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida

pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya

flavonoida (DepKes, RI., 1995).

3.6.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu

filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml

larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi

warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

(42)

Sebanyak 3 g sampel ditimbang, kemudian disari dengan 30 ml campuran

7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya

ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring.

Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M,

dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali,

tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume

isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes

pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin

warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (DepKes,

RI., 1995).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat

selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi

1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang

menunjukkan adanya saponin (DepKes RI., 1995).

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, laliu

disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap

ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul

warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan

adanya steroida triterpenoida (Harborne, 1987).

3.7 Karakteristik Simplisia dan Ekstrak Etanol Gulma Siam

(43)

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi

toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung

penyambung,tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan

pemanas listrik.

Cara kerja :

Ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling,

lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30

menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.

Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g sampel yang telah ditimbang

seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih,

kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air

terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik.

Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan

mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume

air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai

dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air

dihitung dalam persen (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).

3.7.2 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g sampel, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

air-kloroform (2,5 ml dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil

dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu

disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan

(44)

105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung

terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).

3.7.3 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g sampel, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96%

dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian

dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan

etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang

berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC

sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96%

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes RI., 1995).

3.7.4 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah

dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang

habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring

melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang

sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap,

timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992;

DepKes, RI., 1995).

3.7.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml

asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,

dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu

yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan

(45)

3.8 Pembuatan Formula Sediaan

3.8.1 Pembuatan basis gel

Formulasi basis gel dibuat menurut: Tambe, dkk., 2009; Suardi, dkk., 2008:

Hidropropilmetilselulosa (HPMC) 4000 3 %

Propilen glikol 15 %

Metil paraben 0,18 %

Propil paraben 0,02 %

Air suling ad 100 g

Cara pembuatan : Akuades sebanyak 20 kali berat HPMC dipanaskan,

kemudian dikembangkan HPMC di dalamnya. Metil paraben dan propil paraben

dilarutkan dalam propilen glikol (Campuran I). Campuran I yang diperoleh

ditambahkan sedikt demi sedikit ke dalam HPMC yang telah terdispersi dengan

baik sambil digerus, kemudian ditambahkan sisa akuades dan digerus homogen

(Soerartri, 2004).

3.8.2 Komposisi formula gel ekstrak etanol daun gulma siam (EEDGS)

Sediaan gel dibuat dalam 6 formula dengan jumlah masing-masing 200 g

yang terlihat pada Tabel 3.1. Cara pembuatan sediaan gel EEDGS: ke dalam

lumpang dimasukkan EEDGS masing-masing dengan konsetrasi 0,125%, 0,25%,

0,50%, 0,75%, dan 1,00%, ditambahkan sedikit demi sedikit basis gel lalu gerus

sampai homogen.

Tabel 3.1 Formulasi gel EEDGS

No. Formula Komposisi (200 g)

Basis gel EEDGS*

(46)

2. F2 199,75 g 0,25 g

3.9 Evaluasi Formula Gel Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam

Evaluasi formula meliputi evaluasi fisik dan biologi. Evaluasi fisik

mencakup pemeriksaan stabilitas sediaan, homogenitas, pemeriksaan pH dan

viskositas selama 90 hari, yaitu pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 90 hari.

3.9.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel EEDGS

Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan meliputi bentuk, warna dan bau yang

diamati secara visual. Sediaan dinyatakan stabil apabila warna, bau dan

penampilan tidak berubah secara visual selama penyimpanan. Pengamatan

dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.

3.9.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan

Cara: Sejumlah tertentu sediaan diletakkan di atas kaca, kemudian ditutup

dengan kaca yang lain lalu diratakan. Sediaan yang memenuhi persyaratan

homogenitas harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya

butir-butir yang kasar (DepKes RI., 1979). Pengamatan dilakukan pada suhu

kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.

(47)

Pemeriksaan pH dilakukan dengan alat pH meter. Alat dikalibrasi dengan

larutan dapar standar pH 4,0 dan pH 7,0. Kemudian pH meter dicuci dengan air

suling dan dikeringkan dengan kertas tisu. Pengukuran pH sediaan dengan

mencelupkan pH meter ke dalam larutan sediaan. Dicatat nilai pH yang

ditunjukkan pada pH meter.

3.9.4 Penentuan viskositas sediaan

Penentuan viskositas sediaan menggunakan viskometer Brookfield.

Cara: sediaan dimasukkan kedalam pot plastik sampai mencapai volume 100 ml,

lalu spindel diturunkan hingga spindel tercelup kedalam formulasi. Selanjutnya

alat dihidupkan dengan menekan tombol ON. Kecepatan spindel diatur, kemudian

dibaca skalanya (dial reading) dimana jarum merah yang bergerak stabil. Nilai

viskositas dalam sentipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian skala baca (dial

reading) dengan faktor koreksi (f) khusus untuk masing-masing kecepatan

spindel. Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan

90.

3.10 Pengujian Sediaan Gel terhadap Penyembuhan Luka Sayat

Pengujian dilakukan pada enam ekor kelinci, setiap kelinci menerima

empat perlakuan. Pengujian terdiri atas 8 kelompok yaitu kelompok 1 diberi

betadine salep (kontrol positif), kelompok 2 diberi gel tanpa EEDGS (kontrol

negatif) (FI), kelompok 3 diberi gel EEDGS 0,125% (F2), kelompok 4 diberi gel

EEDGS 0,25% (F3), kelompok 5 diberi gel EEDGS 0,50% (F4), kelompok ke 6

diberi gel EEDGS 0,75% (F5), kelompok ke 7 diberi gel EEDGS 1% (F6), dan

(48)

Kelinci sebelum pengujian dicukur bulu bagian punggungnya, dibuat pola

berbentuk lingkaran diameter 2 cm, didesinfeksi kulitnya dengan alkohol 70%,

lalu dianestesi lokal dengan 1 ml lidokain HCl (2%, 100mg/5ml). Kemudian

dibuat luka dengan ukuran tanda yang telah dibuat bentuk lingkaran pada bagian

punggung dengan cara mengangkat kulit hewan uji dengan pinset lalu digunting

dengan gunting bedah. Luka dibuat sedalam 2 mm (Hajiaghaalipour, dkk., 2013;

Gal, dkk., 2008). Setelah itu, pada kulit yang telah disayat dioleskan 0,5 g sediaan

gel yang telah disediakan sesuai dengan kelompok masing-masing. Pemberian

sediaan gel dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian luka

sebanyak 1 kali sehari. Pengamatan luka dilakukan setiap hari secara visual

dengan mengukur diameter luka dan hari kesembuhan. Luka dianggap sembuh

jika diameter luka sama dengan nol.

Diameter luka dihitung dengan rumus:

Keterangan : d : diameter rata-rata d1 : diameter pertama d2 : diameter kedua d3 : diameter ketiga d4 : diameter keempat

3.11 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical

Product and Service Solution) 18, metode one way ANAVA untuk melihat apakah

sediaan gel EEDGS memberikan efek terhadap luka sayat dan dilanjutkan dengan

(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ekstrak etanol daun gulma siam dapat di formulasi sebagai gel anti luka

2. Ekstrak etanol daun gulma siam memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka

sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%, sembuh

pada hari ke 18 dan daya penyembuhannya lebih lama dibandingkan betadine

yang sembuh pada hari ke 17

5.2 Saran

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakuan uji aktifitas

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abdassah, M., Rusdiana, T., Subghan, A., Hidayati, G., (2009). Formulasi Gel Pengelupas Kulit Mati yang Mengandung Etil Vitamin C dalam Sistem Penghantaran Macrobead. Universitas Padjadjaran. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 7(2): 105-111.

Ansel, H. C. (1998). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Penerjemah: Farida Ibrahim. Jakarta: UI Press. Halaman 390-397.

Arikumalasari, J,. Dewantara, I G.N.A., Wijayanti, N.P.A.D. (2013). Optimasi HPMC sebagai Gelling Agent dalam Formula Gel Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcia mangosta L). Universitas Udayana. Halaman 147.

Arisanty, I.P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 1-7, 29.

Arun, M., Satish, S., Anima, P. (2013). Herbal Boon for Wounds. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 5(2):1-12.

Aulton, M.E. (2007). Aulton’s Pharmaceutics: The Design and Manufactures of

Medicine. Third Edition. New York: Churcill Livingstone Elsevier. Halaman 70-72.

Barku, V. Y. A., dan Ayaba, S. (2013). Phytochemical Screening and Assessment of Wound Healing Activity of The Leaves of Anogeissus leiocarpus. European Journal of Experimental Biology. 3(4): 25

Baroroh, D.B. (2011). Konsep Luka. Malang: Basic Nursing Department PSIK FIKES UMM. Halaman 2.

Boyle, M. (2009). Wound Healing in Midwifery. Abingdon: Radcliffe Publishing Ltd. Halaman 14.

Burns. (2006). Vogt PM PVP Iodine in Hydrosome and Hydrogel-a Novel Concept in Wound Therapy Leads TO Enhanced Epithelialization and Reduced Loss of Skin Grafis. 32(6): 698-705.

Chakarboty, A.K., Harikrishna, R., dan Shailaja, B. (2010). Evaluation of Antioxidant Activity of The Leaves of Eupatorim odoratum Linn. Int. J. Of Pharmacy and Pharmaceutical Sc. 2(4): 77-79.

Choudhary, G.P. (2011). Wound Healing Activity Of The Ethanolic Extract Of

Terminalia chebula Retz. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2(1): 48-52

DepKes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7

Gambar

Tabel
Gambar tumbuhan dan daun segar gulma siam   ...................
Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC
Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2OO6 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia

With the generalisation methods, 3DCM in different LODs will be created automatically with multiple representations of the data structure, and different

ukuran kinerja yang digunakan Pemda CONTOH dan Unit Kerja dst, untuk menetapkan rencana kinerja tahunan, menyampaikan rencana kerja dan anggaran, menyusun dokumen penetapan kinerja,

new kind of form of the cross-cultural communication of the cultural heritage, on the one hand, the Chinese gardens overseas built.. ever since China's Reform and Opening

Sistem dan tatanan tidak dapat diandalkan untuk manajemen kinerja, perlu banyak perbaikan, sebagian perubahan yang sangat mendasar..

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH.

The Technical Commission VIII, which deals with Remote Sensing (RS) Applications and Policies received the highest number of submissions (435) and with (252) of