UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN
GULMA SIAM
(Chromolaena odorata)
TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA SAYAT
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
DIAN ATIKAH
NIM 111501035
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN
GULMA SIAM
(Chromolaena odorata)
TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA SAYAT
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
DIAN ATIKAH
NIM 111501035
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN GULMA
SIAM
(Chromolaena odorata)
TERHADAP PENYEMBUHAN
LUKA SAYAT
OLEH: DIAN ATIKAH NIM 111501035
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 16 Desember 2015
Panitia Penguji, Panitia Penguji,
Prof. Dr. Hakim Bangun., Apt NIP 195201171980031002
Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S.,Apt NIP 195504241983031003
Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt NIP 197712262008122002
Dr. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001
Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003
Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehngga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah
satu syarat mencpai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara, dengan judul skripsi Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol
Daun Glma Siam (Chromolaena odorata) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.
Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Ibu Marline Nainggolan, M.S., Apt.,
yang telah membimbing dengan sangat baik, memberikan motivasi, petunjuk dan
saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt selaku Pejabat
Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan bimbingan dan
penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan, Bapak
Prof. Hakim Bangun., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra Anayanti Arianto,
M.Si., Apt., dan Ibu Sumaiyah, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah
memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, dan Bapak Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt selaku dosen penasehat
akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan
hingga selesai, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan
yang telah mendidik selama perkuliahan.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tiada terhingga
kepada kedua orang tua tercinta, Tardianis dan Isnel yang telah memberikan kasih
semangat yang tiada henti kepada penulis, serta kepada adik saya Dian Lathifah,
Dian Zakiyah, dan Ahmed Alfaizi yang selalu memotivasi dan mendoakan.
Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada teman-teman Farmasi 2011,
Walidah, Hera, Syukria, Lita, Uti dan CIWI’s yang selalu memotivasi dan
meluangkan waktu dalam membantu penyelesaian skripsi ini dan juga kepada
pihak-pihak yang selalu memberikan dukungan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
menerima kritk dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis
berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Medan , Desember 2015 Penulis,
UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL GULMA SIAM
(Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak
Latar belakang: Gulma siam (Chromolaena odorata) dikenal sebagai daun kirinyuh, famili Asteraceae, banyak tumbuh di daerah daratan tinggi dan pegunungan. Masyarakat biasanya menggunakan perasan atau rebusan daun gulma siam ini sebagai obat luka dan obat sakit perut. Selain itu juga berkhasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antipiretik dan antihipertensi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan gel ekstrak
etanol daun gulma siam dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun gulma terhadap penyembuhan luka sayat.
Metode: Serbuk gulma siam di maserasi dengan pelarut etanol 80%. Maserat
yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50°C) dan dikeringkan dengan freeze dryer (-40°C). Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1%. Sediaan gel di evaluasi dan diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci dan dilakukan uji statistik.
Hasil: Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam
masing masing di peroleh senyawa flavanoida, glikosida, tanin, saponin, alkaloida, steroid/triterpenoid, dan karakterisasi simplisia diperoleh kadar air (7,9%), kadar sari larut air (23,54%), kadar sari larut etanol (11,96%), kadar abu total (4,97%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,52). Hasil evaluasi sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam masih stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas menunjukkan sediaan gel homogen, pH sediaan gel di peroleh 6,2-6,3, nilai viskositas 2,9-3,7 poise. Hasil uji efektivitas ekstrak etanol daun gulma mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 0,125% (20 hari), 0,25% (19 hari), 0,50% (18 hari), 0,75% (21 hari) dan 1% (22 hari), sedangkan betadine salep (17 hari), tanpa perlakuan (24 hari), basis gel (23 hari). Uji statistik menunjukkan semua sediaan gel memberikan efek terhadap penyembuhan luka sayat.
Kesimpulan: Ekstrak etanol daun gulma siam dapat diformulasi sebagai gel dan
memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%.
EFFECTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT GEL OF Chromolaena odorata LEAVES FOR WOUND HEALING
Abstract
Background: Chromolaena odorata known as kirinyuh leaf, family of Asteraceae, mostly grows on highland and mountains. People usually use the leaf extract or stew from boiled Chromolaena odorata leaves as medicine for wound healing and to heal stomach pain. Also, it is good for bacterial, anti-inflammation, anti-pireutic, and anti-hypertension.
Objective: The purpose of this study were to formulate gel from ethanol extract
of Chromolaena odorata leaves and to test the effectivity of ethanol extract gel of
Chromolaena odorata leaves for wound healing.
Methods: Chromolaena odorata leaf powder was macerated by ethanol 80%. The macerate have evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (-40ºC). Then phytochemical screening, characterization, and the extract have formulated to gel material based HPMC with concentration 0.125, 0.25, 0.50, 0.75 and 1.00%, respectively. The gel material evaluated and tested its
effectiveness on rabbit’s back which have wounded. Then carried statistical test.
Result: The results from phytochemicals screening of simplicia powder were
flavanoid, glycosides, tannins, saponin, alkaloids, steroid/triterpenoids and
Chromolaena odorata leaf ethanol extract gel characterization was obtained by water level (7.9%), the levels of water soluble extract (23.54%), the level of ethanol soluble extract (11.96%), total ash content (4.97%), and level of acid insoluble ash (0.52%). The evaluation results of ethanol extract gel of
Chromolaena odorata leaves remain stable instorage for 90 days. Homogeneity examination showed a homogeneous gel material, the pH value of gel material was 6.2-6.3, viscosity value was 2.9-3.7 poise. The results show effectiveness of ethanol extract of weeds leaves was able to healing the wound with concentrations of 0.125% (20 days), 0.25% (19 days), 0.50% (18 days), 0.75% (21 days) and 1% (22 days), respectively, whereas betadine ointment (17 days), without treatment (24 days), and gel based (23 days). The statistical test show all dosage gel give effect to healing the wound.
Conclusion: The ethanol extract of Chromolaena odorata leaf can be formulated as a gel and has effect to wound healing and the best formulated is gel with 0.50% extract.
2.3.3 Metil Paraben ... 11
3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 24
3.4.1 Pengumpulan sampel ... 24
3.4.2 Identifikasi tumbuhan ... 24
3.4.3 Pengolahan sampel ... 24
3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam ... 25
3.6 Skrining Fitokimia ... 25
3.7 Karakteristik Simplisia dan Ekstrak ... 28
3.7.1 Penetapan kadar air ... 28
3.10 Pengujian Sediaan Gel Terhadap Penyembuhan Luka Sayat 32 3.11 Analisis Data ... 33
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 34
4.2 Hasil Ekstraksi ... 34
4.3 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Daun Gulma Siam . 34 4.4 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Gulma Siam .. 35
4.5 Hasil Evaluasi Pemeriksaan Stabilitas Sediaan ... 36
4.5.1 Hasil pemeriksaan organoleptis EEDGS ... 36
4.5.2 Hasil pengamatan homogenitas sediaan gel EEDGS ... 37
4.5.3 Hasil penentuan pH sediaan gel EEDGS ... 37
4.5.4 Hasil penentuan viskositas ... 38
4.6 Hasil Uji Efektivitas Penyebuhan Luka Sayat ... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 51
5.1 Kesimpulan ... 51
5.2 Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Komposisi formula gel ... 31
4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak ... 34
4.2 Hasil karakterisasi simplisia ... 35
4.3 Data pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel ... 36
4.4 Data pengamatan homogenitas sediaan ... 37
4.5 Data pengukuran pH ... 38
4.6 Data pengukuran viskositas ... 39
4.7 Data rata-rata pengurangan diameter luka sayat ... 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Rumus bangun HPMC ... 10
2.2 Rumus bangun propilen glikol ... 11
2.3 Rumus bangun metil paraben ... 12
2.4 Rumus bangun propil paraben ... 12
2.5 Struktur kulit ... 13
2.6 Penyembuhan primer ... 17
2.7 Penyembuhan skunder ... 18
4.1 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,125% .. 40
4.2 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,25% .... 41
4.3 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,50% .... 42
4.4 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,75% .... 43
4.5 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 1,00% ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Hasil identifikasi tumbuhan gulma siam ... 59
2 Gambar tumbuhan dan daun segar gulma siam ... 60
3 Gambar simplisia dan serbuk simplisia ... 61
4 Sediaan gel ... 62
5 Homogenitas sediaan ... 63
6 Bagan pembuatan ekstrak ... 64
7 Bagan pembuatan sedian gel ... 65
8 Bagan alur penelitian ... 66
9 Data perubahan diameter luka sayat ... 67
10 Data Perubahan diameter rata-rata luka sayat ... 69
11 Gambar perubahan diameter luka sayat ... 70
12 Perhitungan karakterisasi simplisia ... 88
13 Perhitungan viskositas sediaan ... 93
14 Hasil uji statistik metode one way anova ... 94
UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL GULMA SIAM
(Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak
Latar belakang: Gulma siam (Chromolaena odorata) dikenal sebagai daun kirinyuh, famili Asteraceae, banyak tumbuh di daerah daratan tinggi dan pegunungan. Masyarakat biasanya menggunakan perasan atau rebusan daun gulma siam ini sebagai obat luka dan obat sakit perut. Selain itu juga berkhasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antipiretik dan antihipertensi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan gel ekstrak
etanol daun gulma siam dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun gulma terhadap penyembuhan luka sayat.
Metode: Serbuk gulma siam di maserasi dengan pelarut etanol 80%. Maserat
yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50°C) dan dikeringkan dengan freeze dryer (-40°C). Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1%. Sediaan gel di evaluasi dan diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci dan dilakukan uji statistik.
Hasil: Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam
masing masing di peroleh senyawa flavanoida, glikosida, tanin, saponin, alkaloida, steroid/triterpenoid, dan karakterisasi simplisia diperoleh kadar air (7,9%), kadar sari larut air (23,54%), kadar sari larut etanol (11,96%), kadar abu total (4,97%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,52). Hasil evaluasi sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam masih stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas menunjukkan sediaan gel homogen, pH sediaan gel di peroleh 6,2-6,3, nilai viskositas 2,9-3,7 poise. Hasil uji efektivitas ekstrak etanol daun gulma mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 0,125% (20 hari), 0,25% (19 hari), 0,50% (18 hari), 0,75% (21 hari) dan 1% (22 hari), sedangkan betadine salep (17 hari), tanpa perlakuan (24 hari), basis gel (23 hari). Uji statistik menunjukkan semua sediaan gel memberikan efek terhadap penyembuhan luka sayat.
Kesimpulan: Ekstrak etanol daun gulma siam dapat diformulasi sebagai gel dan
memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%.
EFFECTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT GEL OF Chromolaena odorata LEAVES FOR WOUND HEALING
Abstract
Background: Chromolaena odorata known as kirinyuh leaf, family of Asteraceae, mostly grows on highland and mountains. People usually use the leaf extract or stew from boiled Chromolaena odorata leaves as medicine for wound healing and to heal stomach pain. Also, it is good for bacterial, anti-inflammation, anti-pireutic, and anti-hypertension.
Objective: The purpose of this study were to formulate gel from ethanol extract
of Chromolaena odorata leaves and to test the effectivity of ethanol extract gel of
Chromolaena odorata leaves for wound healing.
Methods: Chromolaena odorata leaf powder was macerated by ethanol 80%. The macerate have evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (-40ºC). Then phytochemical screening, characterization, and the extract have formulated to gel material based HPMC with concentration 0.125, 0.25, 0.50, 0.75 and 1.00%, respectively. The gel material evaluated and tested its
effectiveness on rabbit’s back which have wounded. Then carried statistical test.
Result: The results from phytochemicals screening of simplicia powder were
flavanoid, glycosides, tannins, saponin, alkaloids, steroid/triterpenoids and
Chromolaena odorata leaf ethanol extract gel characterization was obtained by water level (7.9%), the levels of water soluble extract (23.54%), the level of ethanol soluble extract (11.96%), total ash content (4.97%), and level of acid insoluble ash (0.52%). The evaluation results of ethanol extract gel of
Chromolaena odorata leaves remain stable instorage for 90 days. Homogeneity examination showed a homogeneous gel material, the pH value of gel material was 6.2-6.3, viscosity value was 2.9-3.7 poise. The results show effectiveness of ethanol extract of weeds leaves was able to healing the wound with concentrations of 0.125% (20 days), 0.25% (19 days), 0.50% (18 days), 0.75% (21 days) and 1% (22 days), respectively, whereas betadine ointment (17 days), without treatment (24 days), and gel based (23 days). The statistical test show all dosage gel give effect to healing the wound.
Conclusion: The ethanol extract of Chromolaena odorata leaf can be formulated as a gel and has effect to wound healing and the best formulated is gel with 0.50% extract.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tumbuhan obat yang
potensial dengan keanekaragaman hayati menempati urutan ketiga terbesar di
dunia setelah Brazil dan Zaire, dan mempunyai jenis tumbuhan yang cukup
banyak sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat (Hernani dan Endjo, 2004).
Penggunaan obat tradisional semakin disukai dari pada obat kimia karena
mahalnya sehingga masyarakat beralih ke tumbuhan. Di masyarakat tumbuhan
terutama digunakan untuk mencegah berbagai penyakit sehingga dapat menjaga
kesegaran tubuh maupun mengobati penyakit (Mursito, 2001).
Gulma siam (Chromolaena odorata) merupakan sinonim dari Eupatorium
odoratum L, para pekebun menyebutnya kirinyuh atau gulma putihan. Daunnya
mengandung beberapa senyawa utama seperti fenol, tanin, steroid, saponin,
flavonoid, dan alkaloid (Prajitno, dkk., 2013). Minyak essensial dari daun gulma
siam memiliki kandungan α-pinen, β-pinen, geijeren, pregeijeren, germakren D
dan trans-β kariopilen (Felicien, dkk., 2012).
Tumbuhan ini oleh masyarakat Aceh dimanfaatkan secara tradisional
untuk mengobati diabetes dan luka kulit. Daun gulma siam juga telah digunakan
secara tradisional di Vietnam dan beberapa negara tropis lainnya untuk menangani
gigitan lintah, luka jaringan lunak, luka bakar dan infeksi kulit, dengan cara
meremas daun muda sampai hancur, dan cairan yang dihasilkan digunakan untuk
mengobati luka kulit (Le, 1995)
suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti
trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan
(Pusponegoro, 2005). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse
Association (InETNA) (2004), luka merupakan kerusakan pada jaringan yang
mengganggu kehidupan normal sel.
Dipasaran obat luka telah banyak beredar dalam bentuk gel, salep, dan
krim, tapi sediaan gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah
mengering membentuk lapisan tipis sehingga mudah dibersihkan (Suardi, dkk.,
2008). Bahan pembawa yang digunakan untuk sediaan topikal berpengaruh
terhadap absorbsi obat dan memiliki keuntungan jika dipilih dengan tepat
(Lachman, dkk., 1994). Pemilihan hidroksi propil metil selulosa (HPMC) sebagai
dasar gel karena tidak berbau, tidak berasa, mudah larut dalam air panas dan
berfungsi sebagai penstabil pada sediaan topikal sedangkan propilenglikol
digunakan sebagai pelarut dan pengawet (Rowe, dkk., 2005).
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Yuliani (2013), yaitu efek ekstrak
etanol daun Chromolaena odorata L terhadap kesembuhan luka insisi pada tikus
sprague dawley terlihat bahwa ekstrak Chromolaena odorata L efektif untuk
kesembuhan luka. Penelitian Marianne, dkk., 2014 ekstrak ini pada dosis 5, 25,
125, dan 250 mg/kg bb mampu menurunkan kadar gula darah.
Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin menguji efektivitas sedian gel
ekstrak etanol daun gulma siam terhadap penyembuhan luka sayat (luka eksisi).
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
diformulasikan dalam bentuk sediaan gel?
b. Apakah sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena
odorata) mempunyai efek penyembuhan pada luka sayat?
1.3 Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) dapat
diformulasikan dalam bentuk sediaan gel.
b. Sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata)
mempunyai efek penyembuhan pada luka sayat.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk membuat sediaan gel dari ekstrak etanol daun gulma siam
(Chromolaena odorata).
b. Untuk menguji efektivitas penyembuhan pada luka sayat dari sediaan gel
ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata).
1.5 Manfaat Penelitian
Dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai bentuk sediaan gel
dari ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) yang dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi habitat, sistematika tumbuhan, nama daerah,
morfologi tumbuhan, khasiat tumbuhan dan kandungan kimia.
2.1.1 Habitat
Kirinyuh adalah gulma yang awalnya berasal dari Amerika Selatan dan
Tengah, menyebar ke daerah tropis Asia, Afrika dan Pasifik, digolongkan sebagai
gulma invasif, semak berkayu yang berkembang cepat, juga dikenal sebagai
gulma siam, berdiri membentuk padat yang dapat mencegah pertumbuhan jenis
tumbuhan lainnya serta memiliki efek allelopati (Prawiradiputra, 2007).
Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun 1910-an
(Sipayung, dkk., 1991), tidak hanya terdapat di lahan kering atau pegunungan
tetapi juga banyak terdapat dilahan rawa dan lahan basah lainnya (Thamrin, dkk.,
2007)
2.1.2 Morfologi
Tumbuhan gulma siam ini tumbuh dengan tinggi 1-2 m, batang tegak,
berkayu, ditumbuhi rambut-rambut halus, bercorak garis-garis membujur yang
paralel. Helai daun berbentuk segitiga/bulat panjang dengan pangkal agak
membulat dan ujung tumpul atau agak runcing, tepinya bergigi, mempunyai
tulang daun tiga sampai lima, permukaan daun gulma siam berbulu pendek, dan
bila diremas terasa bau yang menyengat. Perbungaan majemuk berbentuk malai
rata (corymbus) yaitu kepala bunga kira-kira berada pada satu bidang, lebarnya
6-15 cm, berbentuk bongkolan, warnanya lembayung kebiru-biruan (Nasution,
2.1.3 Nama daerah
Nama daerah, Sumatera Utara: lenga-lenga; Sunda: kirinyuh, babanjaran,
darismin; Makassar: laruna, lahuna, kopasanda. Istilah dalam bahasa Inggris
dikenal sebagai Siam Weed, Christmas Bush, dan Common Floss Flower
(Chakraborty, dkk., 2010).
Chromolaena odorata (L.) King & H. E. Robins memiliki nama lain:
Eupatorium odoratum L., Eupatorium affine Hook & Arn., Eupatorium
brachiatum Wikstrom, Osmiaodorata (L.) Schultz-Bip, Osmia floribunda (Kunth)
Schultz-Bip (Chakraborty, dkk., 2010).
2.1.4 Sistematika tumbuhan (Herbarium Medanense)
Sistematika tumbuhan gulma siam adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Spesies : Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins
Nama Lokal : Gulma Siam
2.1.5 Kandungan kimia
Daun gulma siam mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, flavanoid,
saponin, dan tanin (Ikewuchi dan Ikewuchi, 2011). Flavonoid mengandung
eriodiktol-7-4’-dimetil eter, naringenin-4’-metil eter dan 2’,4-dihidroksi-4’,5’,6’,
-trimetoksi kalkon (Johari, dkk., 2012). Senyawa metabolit sekunder yang
kardiak, tanin, terpenoid, saponin avenacin, senyawa fenol seperti protocatechuin,
p-coumarin, ferulic, p-hidroksibenzoat, asam vanilik, flavonoid jenis
quercetagetin, naringenin, kaempferol, sinensetin, skutelareintetrametil eter,
scutellarein, luteolin, eriodiktiol, aromadendrin, apigenin, scutellarein, taxifolin,
quercetagetin, minyak essensial seperti α-pinen, β-pinen, germakren D, β
-copaen-4-alpha-ol, β-caryopilen, geigeren, pregeijeren, cadinen, camphor, dan limonene
(Omokhua, dkk., 2015).
2.1.6 Khasiat tumbuhan
Khasiat dari daun gulma siam adalah untuk menangani gigitan lintah, luka
jaringan lunak, luka bakar, infeksi kulit. Daun gulma siam secara tradisional
digunakan sebagai obat dalam penyembuhan luka, obat kumur untuk pengobatan
sakit pada tenggorokan, obat batuk, obat malaria, antimikroba, sakit kepala,
antidiare, astringent, antispasmodik, antihipertensi, antiinflamasi, mengobati
diabetes, antikolesterol, antioksidan dan diueretik (Vital dan Rivera, 2009;
Ikewuchi dan Ikewuchi, 2011; Yenti, dkk., 2011).
Daun gulma siam juga telah diaplikasikan pada manusia untuk membantu
pembekuan darah akibat luka bisul atau borok (Hadiroseyani, 2005).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa
aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam
golongan minyak atsiri, alkaloid, flavanoid, tanin, glikosida dan lain lain.
Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut
sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang
diserbuk sampai halus (DirJen, POM., 2000: DepKes, RI., 1979).
Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:
1. Maserasi
Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil
penarikkan simplisia dengan cara maserasi. Maserasi adalah cara penarikkan
simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni,
2006). Dengan kata lain maserasi merupakan proses pengekstrakan dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada
temperatur ruangan. Remaserasi pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (DirJen, POM., 2000;
DepKes, RI., 1979).
2. Perkolasi
Perkolasi berasal dari kata “percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995).
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan
diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi
atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama
3 jam (DepKes, RI., 1979; DirJen, POM., 2000).
2.3 Gel
Gel adalah suatu sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua
konstituen yang terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan diselusupi oleh
cairan. Memiliki sifat yang lunak, lembut, mudah dioleskan, serta tidak
meninggalkan lapisan berminyak pada permukaan kulit. Hal ini merupakan nilai
tambah yang menunjukkan kemerataan distribusi dari komponen pembentuk gel
Sediaan gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi
oleh suatu cairan (DepKes, RI., 1995). Gel dapat diklasifikasikan sebagai gel
anorganik dan gel organik, contoh bahan anorganik pembentuk gel adalah
bentonit sedangkan tragakan, hidroksipropilmetilselulosa, metilselulosa adalah
bahan organik (Voigt, 1995). Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh
jaringan yang saling menganyam dari fase terdispersi yang mengurung dan
memegang medium pendispersi (Ansel, 1998).
Proses pembuatan gel meliputi proses peleburan atau diperlukan suatu
posedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman, dkk.,
1994). Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda,
maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase. Makromolekul pada sediaan
gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya,
disebut dengan gel satu fase (Ansel, 1998)
Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel meliputi gom
alam, tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintesis dan
semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan
karbopol (Aulton, 2007).
Gel dalam pembuatannya memerlukan suatu basis untuk mendapatkan
suatu gel yang homogen dengan konsistensi yang baik. Basis yang sering
digunakan dalam pembuatan gel adalah HPMC dan karbopol karena sifatnya yang
mudah didispersikan oleh air dengan konsentrasi kecil dan dapat memberikan
kekentalan yang cukup sebagai dasar gel, bersifat inert tidak mengiritasi kulit dan
tidak dimetabolisme oleh tubuh (Quinones dan Ghaly, 2008).
tidak lengket, gel mempunyai aliran tiksotropik dan pseudoplastik yaitu gel
berbentuk padat apabila disimpan dan akan mengalir apabila dikocok, konsentrasi
bahan pembentuk gel yang dibutuhkan hanya sedikit untuk membentuk masa gel
yang baik, viskositas gel tidak mengalami perubahan yang berarti pada suhu
penyimpanan (Lieberman, dkk., 1998).
Beberapa keuntungan sediaan gel menurut Voigt, 1995 adalah:
1. Kemampuan penyebaran baik pada kulit
2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit
3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis
4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
5. Pelepasan obatnya baik
Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi mikroba, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan
bahan pengawet seperti metil dan propil paraben. Upaya lain yang diperlukan
adalah perlindungan terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah
pengeringan (Voigt, 1995; Aulton, 2007).
2.3.1 Hidroksi propil metil selulose (HPMC)
Hidroksi propil metil selulosa dengan nama lain hypromellosum, memiliki
berat molekul 10.000-1.500.000 (Rowe, dkk., 2009). merupakan turunan metil
selulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan
rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol, atau aseton, mudah larut dalam air
panas dan segera menggumpal membentuk koloid. HPMC pada sediaan topikal
mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan sebagai
kosmetik (Rowe., dkk, 2005; Reynold, 1989).
kompatibel dengan bahan-bahan lain, kecuali bahan-bahan yang oksidatif
(Gibson, 2001). Hidroxy methyl cellulose (HPMC) merupakan gelling agent semi
sintetik yang tahan terhadap fenol dan stabil pada pH 3-11. HPMC dapat
membentuk gel yang jernih dan bersifat netral serta memiliki viskositas yang
stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe, dkk., 2005). Selain itu HPMC
mengembang terbatas dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel
yang baik. Hidrogel sangat cocok digunakan sebagai sediaan topikal dengan
fungsi kelenjer sebaseus berlebih, dimana hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab jerawat (Voigt, 1995). Rumus bangun HPMC dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC
2.3.2 Propilen glikol
Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
dengan rasa agak manis. Dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dan
minyak lemak (DepKes, RI., 1979). Propilen glikol telah banyak digunakan
sebagai pelarut dan pengawet dalam berbagai formulasi parental non parental.
Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan
dapat melarutkan berbagai bahan seperti kortikosteroid, obat-obatan sulfa,
barbiturat, A dan D, alkaloid, dan banyak anestetik lokal (Rowe., dkk, 2005;
Propilen glikol berfungsi sebagai humektan yang menjaga kestabilan
sediaan dengan cara mengabsorpsi lembab dari lingkungan dan mengurangi
penguapan air dari sediaan dan mampu mempertahankan kandungan air dari suatu
sediaan (Arikumalasari dkk, ; Kuncari dkk, 2014). Propilen glikol juga berfungsi
meningkatkan penetrasi dengan cara merusak susunan lapisan lipid stratum
korneum dan dengan denaturasi keratin atau melarutkan lapisan lipid pada stratum
korneum sehingga mengurangi resistensi difusional dan meningkatkan
permeabilitas kulit (Sinko, 2006; Sukmawati dkk, 2009). Rumus bangun propilen
glikol dapat dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol
2.3.3 Metil paraben
Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk halus, berwarna putih, hampir tidak
berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa tebal
(Depkes, RI., 1979; Rowe, dkk., 2005)
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam
kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi, kemampuan pengawet metil
paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Soni, 2002).
Metil paraben (standar 0,02-0,3%) dan propil paraben (standar 0,01-0,6%)
dikombinasi bertujuan untuk memperluas aktivitas spektrum pengawet, karena
adanya kandungan air yang cukup besar pada gel dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroba (Kuncari dkk, 2014). Rumus bangun metil paraben dapat
Gambar 2.3 Rumus bangun metil paraben
2.3.4 Propil paraben
Propil paraben merupakan serbuk kristal putih, tidak berbau, dan tidak
berasa, berfungsi sebagai pengawet (Steinberg, 2005). Konsentrasi propil paraben
yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,6%. Propil paraben efektif
sebagai pengawet pada pH 4-8, peningkatan pH dapat menurunkan aktivitas
antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam
250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air (Wade, 1994; Reynold, 1989).
Rumus bangun propil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben
2.4 Kulit
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia, 15% dari berat badan
dewasa adalah kulit. Kulit memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku dan
kelenjar keringat/sebasea (Arisanty, 2013).
Fungsi kulit adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari
kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier
dari invasi mikroorganisme patogen (Perdanakusuma, 2007). Struktur kulit dapat
dilihat pada Gambar 2.5.
3.
4.
5.
Gambar 2.5 Struktur kulit
Gambar 2.5 Struktur kulit
Kulit mempunyai daya regenerasi yang besar, misalnya pada saat kulit
terluka, maka sel-sel dalam dermis melawan infeksi lokal kapiler dan jaringan ikat
akan mengalami regenerasi sehingga terbentuk jaringan parut pada mulanya
berwarna kemerahan karena meningkatnya jumlah kapiler dan akhirnya berubah
menjadi serabut kolagen keputihan yang terlihat melalui epitel (Setiadi, 2007).
Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung, terdiri atas 650 kelenjar
keringat, 20 pembuluh darah, 60.000 melanosit dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit
memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku, dan kelenjar keringat/ sebasea
(Arisanty, 2013).
Epdermis merupakan bagian terluar kulit, sebagian besar terdiri dari yang
mengalami skuamosa yang bertingkat yang mengalami kreatinisasi yang tidak
memiliki pembuluh darah. Sel-sel yang menyusun epidermis secara terus menerus
terbentuk dari jaringan germinal dalam epitelium kolumnar (Setiadi, 2007).
Menurut Setiadi 2007, lapisan epidermis terdiri atas :
1. Stratum korneum merupakan lapisan tanduk terdiri dari sel gepeng yang mati,
mengandung kreatin / sel tanduk.
2. Stratum lusidum merupakan sel gepeng tanpa inti, yang jelas terlihat pada
telapak tangan dan kaki dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel
3. Stratum granulosum mengandung sel granular dan kreatin, pada lapisan ini sel
berinti mulai mati dan terus terdorong keatas.
4. Stratum spinosum merupakan lapisan paling tebal yang memiliki banyak
kolagen
5. Stratum basale bentuknya slindris dengan inti yang lonjong, didalamnya
terdapat butir-butir halus yang disebut butir melanin warna, disini terjadi
pembelahan yang cepat dan sel baru didorong masuk kelapisan berikutnya.
2.4.2 Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua kulit, batas dengan epidermis dilapisi
oleh membran basalis dan disebelah bawah berbatasan dengan subkutis. Didalam
lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf, lapisan nya
elastik, fibrosanya padat dan terdapat folikel rambut (Setiadi, 2007).
Dermis terdiri atas dua lapisan :
a. Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang, terdiri dari serabut
saraf dan pembuluh darah yang memberi nutrisi kepada epidermis bagian atas
Dermis terdiri atas jaringan ikat, protein kologen dan elastin, fibrolast,
sistem imun dan sistem saraf. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang,
suplai nutrisi, menahan shearing force dan respon inflamasi (Perdanakusuma,
2007; Hunter, 2003).
2.4.3 Hipodermis
Merupakan kumpulan-kumpulan sel lemak, lapisan paling tebal dari kulit,
terdiri atas jaringan lemak, jaringan ikat, fibrolast dan pembuluh darah.
Hipodermis berfungsi sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur, penyangga
organ disekitarnya dan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi
(Boyle, 2009)
2.5 Luka
Luka adalah rusak atau hilangnya bagian jaringan tubuh karena adanya
suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti
trauma, zat kimia, ledakan, sengatan lstrik atau gigitan hewan (Pusponegoro,
2005). Salah satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat dibagi menjadi dua yaitu
1. Luka insisi adalah luka yang disebabkan karena teriris benda tajam dimana
terdapat robekan linier pada kulit dan lapisan dibawahnya. Luka ini terjadi
tanpa kehilangan jaringan kulit dan memerlukan penyembuhan luka secara
premier.
2. Luka eksisi adalah hilangnya kulit secara keseluruhan dan meluas sehingga
menyebabkan banyaknya jaringan yang hilang dan memerlukan
penyembuhan luka secara sekunder (Arisanty, 2013)
Menurut Baroroh 2009, luka dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
1. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi
2. Stadium II, luka pastial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan
epidermis dan bagian atas dari dermis.
3. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya ulit keseluruhan meliputi
kerusakan jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak
melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan
epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot
4. Stdium IV, luka full thickness ; yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
tulang dengan adanya destruksi/ kerusakan yang luas.
Penyembuhan luka adalah proses pengganti dan perbaikan fungsi jaringan
yang rusak. Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka
yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Boyle, 2009; Arisanty,
2013). Gambar penyembuhan luka secara primer dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Penyembuhan primer
C:regenerasi epidermis sempurna dan terbentuk jaringan parut (Robbins dan Kumar, 1992)
Penyembuhan luka secara primer dengan menyatukan kedua tepi luka
berdekatan dan saling berhadapan, jaringan granulasi yang dihasilkan sangat
sedikit pada hari pertama setelah luka, garis insisi segera terisi bekuan darah dan
terjadi reaksi radang akut, kemudian terjadi reepitelisasi permukaan dan
pembentukan jembatan yang terdiri dari jaringan fibrosa yang menghubungkan
kedua tepi celah subepitel, selanjutnya terjadi sintesis kolagen yang dirangsang
oleh makrofag. Kolagen yang terbentuk akan merapatkan kedua tepi luka.
Prosesnya berlangsung selama 10-14 hari, prosesnya epitelisasi dan deposisi
jaringan ikat (Arisanty, 2013; Marison, 2003). Gambar penyembuhan luka secara
skunder dapat dilihat pada Gambar 2.7
Gambar 2.7 Penyembuhan sekunder
B: penyembuhan di bawah keropeng C: luka terbuka dengan jaringan granulasi
D:terbentuk jaringan parut atau daerah epidermis (Robbins dan kumar, 1992).
Penyembuhan luka secara sekunder adalah proses penyembuhan luka yang
memerlukan terbentuknya jaringan granulasi yang banyak dimana jaringan
granulasi tubuh dibawah keropeng dan terjadi regenerasi epitel dibawah keropeng
kemudian keropeng akan lepas setelah terjadi epitelisasi sempurna. Prosesnya:
proses granulasi (pertumbuhan sel), kontraksi (proses dimana daerah permukaan
luka mengecil), epitelisasi (penutupan epidermis) untuk menutup luka (Morison,
2003; Arisanty, 2013)
Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen
disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis
kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase
seperti dibawah ini :
a. Fase inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera setelah
terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi
disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin
membekukan darah.
b. Fase proliferasi atau fibroplasi
Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol
perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat
kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi
luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen,
kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen
berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2
tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang
mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).
2.6 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka
Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan
luka antara lain alkaloid, flavanoid, tanin, saponin, dan steroid / triterpenoid.
2.6.1 Alkaloid
Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga
dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Paju,
dkk., 2013).
2.6.2 Flavanoid
Flavanoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan
superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan
meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap
reaksi yang merusak, flavanoid juga dapat menghambat pendarahan serta mampu
mempercepat penyembuhan luka dengan aktivitas antimikroba dan astringen,
yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitalisasi
(Robinson, 1995; Barku dan Ayaba, 2013).
2.6.3 Tanin
Tanin merupakan kompenen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman
pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010; Wijaya, dkk.,
2014). Selain itu juga dapat meningkatkan pembentukan fibroblas dan pembuluh
darah baru yang berfungsi sebagai transportasi untuk pasokan makanan dan
oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel yang sedang dalam perbaikan sehingga
dapat mempercepat penyembuhan luka (Choudhary, 2011).
2.6.4 Saponin
Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan
kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, saponin juga memiliki
kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh dan
mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga
luka tidak mengalami infeksi. (Mappa, dkk., 2013; Yenti, dkk., 2011).
2.6.5 Steroid / Triterpenoid
Steroid / triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan
luka terutama karena memiliki aktifitas antimikroba dan astringen, yang memiliki
peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitalisasi (Barku dan Ayaba,
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental meliputi: pengumpulan
dan pengolahan sampel, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, skrining
fitokimia dan karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, pembuatan sediaan gel,
evaluasi sediaan gel, pengujian sediaan gel terhadap penyembuhan luka sayat.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, blender, neraca analitik, mortir, stamfer, pH meter, gunting bedah,
pinset bedah, pisau cukur, pisau bedah, pot plastik, rotary evaporator, spatula,
sudip, termometer dan viskometer Brookfiled.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gulma siam,
etanol, kloralhidrat, toluen (p.a), akuades, kalium iodida, merkuri (II) klorida,
bismut nitrat, asam nitrat, iodium, alpha naftol, asam asetat anhidrat, asam sulfat
pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam
klorida pekat, metanol (teknis), eter minyak tanah (teknis), etil asetat (teknis),
serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, HPMC, propilenglikol, metil
paraben, propil paraben, akuades, Lidokain HCl, Larutan dapar pH 4,0 dan 7,0.
3.2 Pembuatan Pereaksi
3.2.1 Pereaksi Meyer
larutan 1,358 g raksa (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan
ditambahkan air suling hingga 100 ml (DepKes, RI.,1995).
3.2.2 Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu
ditambahkan 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu cukupkan dengan air
suling hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).
3.2.3 Pereaksi Dragendorff
Campur 20 ml larutan bismuth (III) nitrat dalam asam nitrat lalu
tambahkan dengan 50 ml larutan kalium iodida diamkan sampai memisah
sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air secukupnya hingga 100
ml (DepKes, RI., 1995).
3.2.4 Pereaksi Molich
Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat
0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).
3.2.5 Pereaksi Lieberman Bouchard
Sebanyak 1 g bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian
asam sulfat pekat.
3.2.6 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)
Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air
secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).
3.2.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam
air hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).
Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air sulinghingga
100 ml (DepKes, RI., 1995).
3.2.9 Pereaksi asam klorida 2 N
Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga
diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).
3.2.10 Pereaksi kloralhidrat
Larutkan 50 g kloralhidrat jenuh dalam 20 ml air (DepKes, RI., 1995).
3.3 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 ekor kelinci jantan
dengan berat 1,5 kg sampai 2 kg. Kelinci ini sebelumnya telah diaklimasi selama
seminggu.
3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel
3.4.1 Pengumpulan sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Bahan tumbuhan yang
digunakan adalah daun gulma siam yang diambil di Desa Suayan Tinggi,
Kabupaten Lima puluh kota, Provinsi Sumatera Barat.
3.4.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanense,
Depertemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara.
3.4.3 Pengolahan sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun gulma siam
yang masih segar. Daun dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang.
(ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang telah kering (rapuh) diserbuk
dengan blender dan disimpan dalam wadah tertutup rapat dan disimpan pada suhu
kamar.
3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut
etanol 80%. Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan dalam bejana, dituangi
dengan 3,5 L (75 bagian) etanol 80%, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya sambil sesekali diaduk, kemudian disaring sehingga didapat maserat.
Ampas dimaserasi kembali dengan etanol 80% hingga diperoleh 5 L (100 bagian).
Pindahkan maserat ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung
dari cahaya selama 2 hari, enap tuangkan. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan
alat rotary evaporator pada suhu ±50oC sampai diperoleh ekstrak kental,
selanjutnya di freeze dryer pada suhu -400C selama ± 24 jam. (DepKes, RI.,
1979).
3.6 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma
siam meliputi: pemeriksaan senyawa alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, tanin
dan steroid/triterpenoid.
3.6.1 Pemeriksaan alkaloida
Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit,
didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:
a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan
b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat akan
terbentuk endapan berwarna coklat kehitaman
c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff akan
terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.
Alkaloid dinyatakan positif jika dua atau tiga reaksi di atas memberikan reaksi
positif (DepKes, RI., 1995).
3.6.2 Pemeriksaan flavonoida
Larutan Percobaan:
Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama
10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan
dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok
hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur
40oC.Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.
Cara Percobaan:
Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan
dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida
pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya
flavonoida (DepKes, RI., 1995).
3.6.3 Pemeriksaan tanin
Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu
filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml
larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi
warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).
Sebanyak 3 g sampel ditimbang, kemudian disari dengan 30 ml campuran
7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya
ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring.
Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M,
dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali,
tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume
isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes
pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin
warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (DepKes,
RI., 1995).
3.6.5 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat
selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi
1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang
menunjukkan adanya saponin (DepKes RI., 1995).
3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida
Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, laliu
disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap
ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul
warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan
adanya steroida triterpenoida (Harborne, 1987).
3.7 Karakteristik Simplisia dan Ekstrak Etanol Gulma Siam
Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi
toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung
penyambung,tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan
pemanas listrik.
Cara kerja :
Ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling,
lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30
menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.
Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g sampel yang telah ditimbang
seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih,
kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air
terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik.
Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena.
Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan
mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume
air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai
dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air
dihitung dalam persen (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).
3.7.2 Penetapan kadar sari larut air
Sebanyak 5 g sampel, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml
air-kloroform (2,5 ml dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil
dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu
disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan
105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).
3.7.3 Penetapan kadar sari larut etanol
Sebanyak 5 g sampel, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96%
dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian
dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan
etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang
berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC
sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96%
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes RI., 1995).
3.7.4 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah
dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang
habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring
melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang
sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap,
timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992;
DepKes, RI., 1995).
3.7.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,
dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu
yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
3.8 Pembuatan Formula Sediaan
3.8.1 Pembuatan basis gel
Formulasi basis gel dibuat menurut: Tambe, dkk., 2009; Suardi, dkk., 2008:
Hidropropilmetilselulosa (HPMC) 4000 3 %
Propilen glikol 15 %
Metil paraben 0,18 %
Propil paraben 0,02 %
Air suling ad 100 g
Cara pembuatan : Akuades sebanyak 20 kali berat HPMC dipanaskan,
kemudian dikembangkan HPMC di dalamnya. Metil paraben dan propil paraben
dilarutkan dalam propilen glikol (Campuran I). Campuran I yang diperoleh
ditambahkan sedikt demi sedikit ke dalam HPMC yang telah terdispersi dengan
baik sambil digerus, kemudian ditambahkan sisa akuades dan digerus homogen
(Soerartri, 2004).
3.8.2 Komposisi formula gel ekstrak etanol daun gulma siam (EEDGS)
Sediaan gel dibuat dalam 6 formula dengan jumlah masing-masing 200 g
yang terlihat pada Tabel 3.1. Cara pembuatan sediaan gel EEDGS: ke dalam
lumpang dimasukkan EEDGS masing-masing dengan konsetrasi 0,125%, 0,25%,
0,50%, 0,75%, dan 1,00%, ditambahkan sedikit demi sedikit basis gel lalu gerus
sampai homogen.
Tabel 3.1 Formulasi gel EEDGS
No. Formula Komposisi (200 g)
Basis gel EEDGS*
2. F2 199,75 g 0,25 g
3.9 Evaluasi Formula Gel Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam
Evaluasi formula meliputi evaluasi fisik dan biologi. Evaluasi fisik
mencakup pemeriksaan stabilitas sediaan, homogenitas, pemeriksaan pH dan
viskositas selama 90 hari, yaitu pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 90 hari.
3.9.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel EEDGS
Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan meliputi bentuk, warna dan bau yang
diamati secara visual. Sediaan dinyatakan stabil apabila warna, bau dan
penampilan tidak berubah secara visual selama penyimpanan. Pengamatan
dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.
3.9.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan
Cara: Sejumlah tertentu sediaan diletakkan di atas kaca, kemudian ditutup
dengan kaca yang lain lalu diratakan. Sediaan yang memenuhi persyaratan
homogenitas harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya
butir-butir yang kasar (DepKes RI., 1979). Pengamatan dilakukan pada suhu
kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.
Pemeriksaan pH dilakukan dengan alat pH meter. Alat dikalibrasi dengan
larutan dapar standar pH 4,0 dan pH 7,0. Kemudian pH meter dicuci dengan air
suling dan dikeringkan dengan kertas tisu. Pengukuran pH sediaan dengan
mencelupkan pH meter ke dalam larutan sediaan. Dicatat nilai pH yang
ditunjukkan pada pH meter.
3.9.4 Penentuan viskositas sediaan
Penentuan viskositas sediaan menggunakan viskometer Brookfield.
Cara: sediaan dimasukkan kedalam pot plastik sampai mencapai volume 100 ml,
lalu spindel diturunkan hingga spindel tercelup kedalam formulasi. Selanjutnya
alat dihidupkan dengan menekan tombol ON. Kecepatan spindel diatur, kemudian
dibaca skalanya (dial reading) dimana jarum merah yang bergerak stabil. Nilai
viskositas dalam sentipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian skala baca (dial
reading) dengan faktor koreksi (f) khusus untuk masing-masing kecepatan
spindel. Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan
90.
3.10 Pengujian Sediaan Gel terhadap Penyembuhan Luka Sayat
Pengujian dilakukan pada enam ekor kelinci, setiap kelinci menerima
empat perlakuan. Pengujian terdiri atas 8 kelompok yaitu kelompok 1 diberi
betadine salep (kontrol positif), kelompok 2 diberi gel tanpa EEDGS (kontrol
negatif) (FI), kelompok 3 diberi gel EEDGS 0,125% (F2), kelompok 4 diberi gel
EEDGS 0,25% (F3), kelompok 5 diberi gel EEDGS 0,50% (F4), kelompok ke 6
diberi gel EEDGS 0,75% (F5), kelompok ke 7 diberi gel EEDGS 1% (F6), dan
Kelinci sebelum pengujian dicukur bulu bagian punggungnya, dibuat pola
berbentuk lingkaran diameter 2 cm, didesinfeksi kulitnya dengan alkohol 70%,
lalu dianestesi lokal dengan 1 ml lidokain HCl (2%, 100mg/5ml). Kemudian
dibuat luka dengan ukuran tanda yang telah dibuat bentuk lingkaran pada bagian
punggung dengan cara mengangkat kulit hewan uji dengan pinset lalu digunting
dengan gunting bedah. Luka dibuat sedalam 2 mm (Hajiaghaalipour, dkk., 2013;
Gal, dkk., 2008). Setelah itu, pada kulit yang telah disayat dioleskan 0,5 g sediaan
gel yang telah disediakan sesuai dengan kelompok masing-masing. Pemberian
sediaan gel dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian luka
sebanyak 1 kali sehari. Pengamatan luka dilakukan setiap hari secara visual
dengan mengukur diameter luka dan hari kesembuhan. Luka dianggap sembuh
jika diameter luka sama dengan nol.
Diameter luka dihitung dengan rumus:
Keterangan : d : diameter rata-rata d1 : diameter pertama d2 : diameter kedua d3 : diameter ketiga d4 : diameter keempat
3.11 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical
Product and Service Solution) 18, metode one way ANAVA untuk melihat apakah
sediaan gel EEDGS memberikan efek terhadap luka sayat dan dilanjutkan dengan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ekstrak etanol daun gulma siam dapat di formulasi sebagai gel anti luka
2. Ekstrak etanol daun gulma siam memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka
sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%, sembuh
pada hari ke 18 dan daya penyembuhannya lebih lama dibandingkan betadine
yang sembuh pada hari ke 17
5.2 Saran
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakuan uji aktifitas
DAFTAR PUSTAKA
Abdassah, M., Rusdiana, T., Subghan, A., Hidayati, G., (2009). Formulasi Gel Pengelupas Kulit Mati yang Mengandung Etil Vitamin C dalam Sistem Penghantaran Macrobead. Universitas Padjadjaran. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 7(2): 105-111.
Ansel, H. C. (1998). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Penerjemah: Farida Ibrahim. Jakarta: UI Press. Halaman 390-397.
Arikumalasari, J,. Dewantara, I G.N.A., Wijayanti, N.P.A.D. (2013). Optimasi HPMC sebagai Gelling Agent dalam Formula Gel Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcia mangosta L). Universitas Udayana. Halaman 147.
Arisanty, I.P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 1-7, 29.
Arun, M., Satish, S., Anima, P. (2013). Herbal Boon for Wounds. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 5(2):1-12.
Aulton, M.E. (2007). Aulton’s Pharmaceutics: The Design and Manufactures of
Medicine. Third Edition. New York: Churcill Livingstone Elsevier. Halaman 70-72.
Barku, V. Y. A., dan Ayaba, S. (2013). Phytochemical Screening and Assessment of Wound Healing Activity of The Leaves of Anogeissus leiocarpus. European Journal of Experimental Biology. 3(4): 25
Baroroh, D.B. (2011). Konsep Luka. Malang: Basic Nursing Department PSIK FIKES UMM. Halaman 2.
Boyle, M. (2009). Wound Healing in Midwifery. Abingdon: Radcliffe Publishing Ltd. Halaman 14.
Burns. (2006). Vogt PM PVP Iodine in Hydrosome and Hydrogel-a Novel Concept in Wound Therapy Leads TO Enhanced Epithelialization and Reduced Loss of Skin Grafis. 32(6): 698-705.
Chakarboty, A.K., Harikrishna, R., dan Shailaja, B. (2010). Evaluation of Antioxidant Activity of The Leaves of Eupatorim odoratum Linn. Int. J. Of Pharmacy and Pharmaceutical Sc. 2(4): 77-79.
Choudhary, G.P. (2011). Wound Healing Activity Of The Ethanolic Extract Of
Terminalia chebula Retz. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2(1): 48-52
DepKes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7