• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Konstruktivisme

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)

Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol

terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

(2)

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog

interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut

Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.

(3)

2.2 Interaksionisme Simbolik

Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial (Ardianto dan Anees, 2007:135). Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago.

Aliran Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Sedangkan Aliran Chicago

banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu (Morissan, 2009:75).

Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.

(4)

a. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya.

b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.

c. Manusia memahami pengalamannua melalui makna dari simbol yang digunakan di lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.

d. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

e. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu.

f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society, menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah

diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep ini saling memengaruhi satu sama lain dalam teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep tersebut adalah pikiran manusia (mind), diri (self), dan masyarakat (society). Pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial diri (self) dengan yang lain digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda, namun berasal dari proses umum yang sama, yang disebut ‘tindakan sosial’ (social act). Tindakan sosial (social act) adalah suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam subbagian tertentu (Morissan, 2009:144).

(5)

Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan (significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang (West dan Turner, 2009:105). Contohnya, ketika orangtua berbicara dengan lembut kepada bayinya, bayi itu mungkin akan memberikan respons, tetapi dia tidak seutuhnya memahami makna dari kata-kata yang digunakan orangtuanya. Namun ketika bayi tersebut mulai mempelajari bahasa, bayi itu melakukan pertukaran makna atau simbol-simbol signifikan dan dapat mengantisipasi respons orang lain terhadap simbol-simbol yang digunakan. Hal ini, menurut Mead adalah bagaimana suatu kesadaran berkembang.

Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran dan ini membuat kita mampu menciptakan setting

interior bagi masyarakat yang kita lihat beroperasi di luar diri kita. Jadi, pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Namun, pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead menyatakan bahwa keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Pikiran merefleksikan dan menciptakan dunia sosial. Ketika seseorang belajar bahasa, ia belajar berbagai

norma sosial dan aturan budaya yang mengikatnya. Selain itu, ia juga mempelajari cara-cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial melalui interaksi.

Menurut Mead, salah satu dari aktivitas penting yang diselesaikan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Proses ini juga disebut pengambilan perspektif karena kondisi ini mensyaratkan bahwa seseorang menghentikan perspektifnya sendiri terhadap sebuah pengalaman dan sebaliknya membayangkannya dari perspektif orang lain. Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.

(6)

berasal dari introspeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana, melainkan dari bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari sosiologis Charles Cooley, Mead menyebut hal tersebut sebagai cermin diri (looking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri, yaitu : pertama, kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; Kedua, kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; ketiga, kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Pemikiran Mead mengenai cermin diri ini mengimplikasikan kekuatan yang dimiliki label terhadap konsep diri dan perilaku. Label menggambarkan prediksi pemenuhan diri, yaitu harapan pribadi yang memengaruhi perilaku.

Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak sebagai I, dan

objek atau diri yang mengamati sebagai Me. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.

Mead mendefenisikan masyarakat (society) sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lain.

(7)

teman, dan kolega di tempat kerja. Identitas dari orang lain secara khusus dan konteksnya memengaruhi perasaan akan penerimaan sosial kita dan rasa mengenai diri kita.

Orang lain secara umum (generalized other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934:154). Orang lain secara umum menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.

Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley, seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik, sebuah ekspresi yang tidak pernah digunakan Mead sendiri. Blumer menyebutnya istilah tersebut sebagai, “a somewhat barbaric neologism that I coined in an offhand way... The term somehow caught on” (sebuah kata baru

kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran... Istilah yang terjadi begitu saja) (Littlejohn, 1996:160).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68). Herbert Blumer kemudian menyambung gagasan-gagasan Mead yang tertulis dalam karangannya yang berjudul “Sociological Implications of the Thought of George Herbert Mead”dan bukunya Symbolic Interactionism : Perspectove and Method (1969).

(8)

Kedua, konsep perbuatan (action). Dalam pandangan Blumer, karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dari gerak makhluk-makhluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self image-nya, ingatannya, dan cita-citanya untuk masa depan.

Ketiga, konsep objek. Blumer memandang, manusia hidup di tengah objek-objek. Kata “objek” dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak seperti konsep kebebasan.

Keempat, konsep interaksi sosial. Interaksi dalam pandangan Blumer adalah bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total unsur-unsurnya berupa maksud, tujuan dan sikap masing-masing peserta.

Kelima, konsep joint action. Pada konsep ini Blumer mengganti istilah

social act dari Mead dengan istilah joint action. Artinya aksi kolektif yang lahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan: transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya. realitas sosial dibentuk dari joint actions dan merupakan objek sosiologi yang sebenarnya.

Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Blumer berhasil mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksionisme simbolik yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu :

(9)

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

2.3 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau

seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009:27).

Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah ‘tanda’ yang diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179).

(10)

yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda (signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa.

Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah icon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi konvensional.

Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks dan simbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran,

gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara A dan B ada ketertarikan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, seperti contoh burung dara yang sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu saja digantikan dengan burung atau hewan yang lainnya.

(11)

yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara unsur-unsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto Megawati sebagai ikon presiden perempuan pertama di Indonesia.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature) merupakan indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tanda tangan tersebut.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Simbol juga merupakan tanda yang berdasarkan konvensi

(perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya seperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap seperti burung yang biasa saja dan tidak memiliki arti apa-apa.

(12)

Pikiran atau Referensi

Simbol Acuan

Gambar 2.1 : Semiotic Triangle Ogden and Richards

Sumber : Sobur, Alex.2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Hlm.159

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda. Tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain, simbol lebih substansif daripada tanda.

Semiotika dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu:

1. Semantik

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi

ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29). 2. Sintaktik

(13)

tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut dengan kode (code). Secara umum, sintaktik sebagai aturan yang digunakan manusia untuk menggabungkan atau mengkombinasi berbagai tanda ke dalam suatu sistem makna yang kompleks. Aturan yang terdapat pada sintatik memungkinkan manusia menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk mengungkapkan arti atau makna (Morissan 2009:30).

3. Pragmatik

Pragmatik adalah bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding)

dalam berkomunikasi (Morissan 2009:30).

2.4 Semiologi Roland Barthes

(14)

Barthes ini dikenal dengan “order of significations” (Kriyantono, 2010 : 272). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda adalah peran pembaca (the reader).

Tradisi Semiotika pada awal kemunculannya hanya sebatas makna-makna denotatif atau semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes ada makna lain yang bermain pada level yang lebih mendalam, yaitu pada level konotasi. Tambahan ini adalah sumbangan dari Barthes yang sangat berharga untuk menyempurnakan pemikiran Saussure, yang hanya berhenti pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004:255). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi ini sebagai kunci dari analisisnya. Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia membedakan antara denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif.

Lewat model Signifikasi dua tahap (two order of signification) Barthes

menjelaskan bahwa denotasi atau signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dan paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara mengggambarkannya (Wibowo, 2011:37).

(15)

konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda dapat membentuk sebuah konotator tunggal.

Dalam iklan, susunan tanda-tanda nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar atau penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu

form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator.

Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ’mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek

bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki penanda (Sobur, 2004:71). Misalnya saja Imperialisme Inggris, yang ditandai oleh berbagai ragam penanda seperti teh, bendera Union Jack serta bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional. Artinya dalam segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

(16)

dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau

metalanguage (Strinati, 1995 : 113). Dibukanya pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan ‘pembaca’ iklan memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes :

Gambar 2.2 : Semiologi Roland Barthes

Sumber :

Pada tingkatan pertama (Language), Barthes meperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan pertama. Pada tingkatan kedua, sign (3) kembali menjadi signifier (I) dan digabungkan dengan signified (II) dan menjadi sign (III). Sign yang ada di tingkatan kedua inilah yang berupa myth (mitos) disebut juga sebagai

metalanguage. Di sini dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau

common sense dari sebuah tanda dan makna konotatif mengacu pada

(17)

Roland Barthes dalam bukunya S/Z seperti dikutip Yasraf A.Piliang mengelompokkan kode-kode menjadi lima kisi-kisi kode, yakni :

Kode hermeneutik, yaitu artikulasi sebagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah

yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda yang lain.

Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminim, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.

Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode narasi atau proairetik, yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Terakhir ada Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.

Roland Barthes menganalisa iklan berdasarkan iklan yang dikandungnya berupa :

1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan)

2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat)

(18)

2.5 Desain Komunikasi Visual

Sejak awal sejarah terciptanya manusia di dunia ini, komunikasi antar manusia merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupan. Selain kata-kata, unsur rupa juga sangat berperan dalam kegiatan berkomunikasi tersebut. Komunikasi visual hadir sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata. Komunikasi visual merupakan komunikasi yang menggunakan bahasa visual, dimana unsur dasar bahasa visual yang menjadi kekuatan utama dalam menyampaikan komunikasi, adalah segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan arti, makna atau pesan. Sekalipun ungkapan visual ditujukan untuk indra penglihatan, tetapi melaui konsep multimedia dapat dikembangkan imajinasi dan kreatifitas dengan berbagai kemungkinan.

Desain komunikasi visual adalah suatu disiplin ilmu yang bertujuan mempelajari konsep-konsep komunikasi serta ungkapan kreatif melalui berbagai media untuk menyampaikan pesan dan gagasan secara visual dengan mengelola elemen-elemen grafis berupa bentuk dan gambar, tatanan huruf, komposisi warna,

lay out bahkan musik ataupun suara. Dengan demikian gagasan bisa diterima oleh

orang atau kelompok yang menjadi sasaran penerima pesan (Kusrianto, 2007:2).

(19)

Desain komunikasi visual pada dasarnya merupakan bagian desain grafis yang memiliki cakupan elemen yang luas. Desain komunikasi visual hanya terbatas sebagai ilmu yang mempelajari segala upaya untuk menciptakan suatu rancangan (desain) yang bersifat kasat mata (visual) untuk mengkomunikasikan pesan. Misalnya dalam bentuk poster, iklan media cetak, ataupun foto. Elemen atau unsur adalah bagian dari suatu karya desain. Elemen-elemen tersebut saling berhubungan satu sama lain dimana masing-masing elemen memiliki sikap tertentu terhadap yang lain. Misalnya, sebuah garis mengandung warna dan style

garis yang utuh, yang terputus-putus, yang mempunyai tekstur bentuk dan sebagainya. Elemen-elemen seni visual ini tersusun dalam suatu bentuk organisasi dasar prinsip-prinsip desain.

Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan guna menyampaikan pola pikir dari penyampai pesan kepada penerima pesan, dalam bentuk visual yang komunikatif, efektif, efesien, tepat, terpola, terpadu serta estetis melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. Seorang desainer komunikasi visual adalah penerjemah dalam komunikasi

gagasan yang tidak sama seperti seniman yang mementingkan ekspresi perasaan dalam dirinya. Karena itulah desain komunikasi visual mengajarkan berbagai bahsa visual yang dapat digunakan untuk menerjemahkan pikiran dalam bentuk visual. Desainer komunikasi visual harus memahami seluk beluk pesan yang ingin disampaikannya. Ia juga harus mempunyai kemampuan menafsir, kecendrungan dan kondisi fisik ataupun jiwa dari manusia atau kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya. Selain itu, seorang desainer komunikasi visual harus dapat memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang sesuai dengan pesan yang dibawakannya serta tepat untuk diterima secara efektif oleh penerima pesan.

Dalam perkembangannya selama beberapa abad desain komunikasi visual menurut Cenadi (1994:4) mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu:

a. Desain komunikasi visual sebagai sarana identifikasi

(20)

atau dari mana asalnya. Demikian juga dengan suatu benda, produk ataupun lembaga, jika mempunyai identitas akan dapat mencerminkan kualitas produk atau jasa itu dan mudah dikenali, baik oleh baik oleh produsennya maupun konsumennya. Kita akan lebih mudah membeli minyak goreng dengan menyebutkan merek X ukuran Y liter daripada hanya mengatakan membeli minyak goreng saja. Atau kita akan membeli minyak goreng merek X karena logonya berkesan bening, bersih, dan sehat. Jika desain komunikasi visual digunakan untuk identifikasi lembaga seperti sekolah, maka orang akan lebih mudah menentukan sekolah A atau B sebagai favorit, karena sering berprestasi dalam kancah nasional atau meraih peringkat tertinggi di daerah itu.

b. Desain komunikasi visual sebagai sarana informasi dan instruksi

Sebagai sarana sarana informasi dan instruksi, desain komunikasi visual bertujuan menunjukkan hubungan antara suatu hal dengan hal yang lain dalam petunjuk, arah, posisi dan skala, contohnya peta, diagram, simbol

dan penunjuk arah. Informasi akan berguna apabila dikomunikasikan kepada orang yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dalam bentuk yang dapat dimengerti, dan dipresentasikan secara logis dan konsisten. Simbol-simbol yang kita jumpai sehari-hari seperti tanda dan rambu lalu lintas, simbol-simbol di tempat-tempat umum seperti telepon umum, toilet, restoran dan lain-lain harus bersifat informatif dan komunikatif, dapat dibaca dan dimengerti oleh orang dari berbagai latar belakang dan kalangan. Inilah sekali lagi salah satu alasan mengapa desain komunikasi visual harus bersifat universal.

c. Desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan promosi

(21)

Umumnya, untuk mencapai tujuan ini, maka gambar dan kata-kata yang digunakan bersifat persuasif dan menarik, karena tujuan akhirnya adalah menjual suatu produk atau jasa.

Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan, lambang-lambang atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, coorporate identity, sampai berbagai display produk di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik. Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti: garis, warna dan komposisi. Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non verbal, berbeda dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Desain komunikasi visual sendiri banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai lambang visual pesan, guna mengefektifkan komunikasi (Tinarbuko, 2003:32).

Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan interpretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai metode

pembacaan karya komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem semiotika khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas. Di dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan dari sebuah pengirim pesan kepada para penerima tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu atau dua arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu (Piliang, 2012: 339).

(22)

dari perancang kepada publik yang dituju melalui simbol berwujud gambar, warna, tulisan dan lainnya. Ia akan komunikatif apabila bahasa yang disampaikan itu dapat dimengerti oleh publik. Ia juga akan berkesan apabila dalam penyajiannya itu terdapat suatu kekhasan atau keunikan sehingga ia tampil secara istimewa, mudah dibedakan dengan yang lain.

Dalam hal bentuk dan visualisasinya, desain komunikasi visual berhadapan dengan sejumlah teknik, alat, bahan, dan ketrampilan. Pesan yang baik akan lebih bernilai apabila didukung dengan teknik yang memadai dan ditunjang kepiawaian dalam mewujudkannya. Terkait dengan itu, perancang grafis T.Sutanto seperti yang dikutip Umar Hadi menunjukkan potensi istimewa bahasa visual, antara lain: pertama, bahasa visual mempunyai kesempatan untuk lebih cepat dan langsung dimengerti daripada bahasa verbal, tulisan, lisan ataupun suara. Kedua, bahasa visual dapat lebih permanen daripada bahasa suara yang bergerak dalam waktu serta lebih mudah dipisahkan dari keadaan kompleksitasnya. Ketiga, bahasa visual mempunyai kesempatan amat kuat nilai simbolisnya. Banyak orang enggan mengubah namanya ke dalam ejaan baru karena tulisan lebih dianggap sebagai

simbol visual pribadinya, bukan sebagai sistem visualisasi bunyi.

Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi, yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda yang bersifat konkrit dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut petanda. Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual. Berbagai bentuk desain komunikasi visual, seperti : iklan, fotografi jurnalistik, poster, kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video clip, web design, cd interaktif. Melalui bentuk-bentuk komunikasi visual tersebut, pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser, copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

(23)

image merupakan simbol dari suatu makna. Dalam lingkup pemaknaan terhadap pesan terdapat istilah Asosiasi dan Sintestesia. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat. Misalnya dalam sebuah iklan multivitamin disamakan dengan fungsi baterai yang pada zaman ini lebih mudah dimengerti. Jika seseorang merasa lemas berarti baterai (tenaganya) hampir habis. Ungkapan itu tidak dapat dipakai tahun enampuluhan karena dahulu biasanya hanya untuk senter dan radio transistor. Sinestesia adalah perubahan makna akibat pertukaran antara dua indra yang berlainan. Misalnya, ungkapan yang menyatakan: “suaranya enak didengar”, “warnanya terasa pedas”, “bau yang segar”.

Penelaahan makna dan tanda-tanda visual digunakan dengan dua cara yaitu pemaknaan denotatif dan pemaknaan konotatif yang akan dijelaskan secara lengkap dalam semiologi Roland Barthes. Makna tanda maupun simbol yang ada biasanya bersifat refleks dan datang dari alam. Namun ada juga yang merupakan representasi simbolik dan interpretasi manusia berdasarkan budaya atau peraturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Simbol-simbol yang diciptakan dalam masyarakat tertentu disebarkan melalui komunikasi sehingga

simbol-simbol tersebut dimiliki secara luas dan distandardisasi maknanya.

Sebuah visual atau simbol seringkali dapat memberikan dua makna bahkan lebih yang bisa saling mendukung atau bahkan saling bertentangan. Untuk itu seorang perancang harus mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan visual atau simbol tersebut. Contohnya burung hantu di manado merupakan simbol kabar baik, namun di daerah tertentu burung hantu dianggap sebagai simbol kesialan. Semantik juga sangat melibatkan indra manusia dalam pembentukkan makna tanda-tanda visual. Suara dapat divisualisasikan dalam bentuk teks yang sesuai, misalnya orang yang sedang tidur dapat divisualisasikan dalam bentuk teks dengan huruf Z yang berurutan panjang.

(24)

dengan warna pink, sepasang burung merpati, senyuman atau malaikat cinta yang memegang busur panah yang biasa disebut cupid.

Seorang visualiser dituntut untuk memiliki kemampuan “menyederhanakan bentuk”. Penggambaran ide yang sederhana akan lebih cepat ditangkap dan dipahami. Ada beberapa konsep penyampaian visual, antara lain :

1. Semantik Metafora/Transformasi/Metamorfosis

Perspektif bentuk dalam logika dan imajinasi. Artinya, mentransfer atau mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain dan mengubah konsep verbal menjadi ungkapan visual.

2.Semantik Kontradiksi

Menggambarkan pertentangan, perlawanan, sebab akibat dan perbandingan. Misalnya, penggambaran api menjadi es yang berarti perubahan dari panas menjadi dingin.

3.Semantik Kombinasi (Collaborations)

Perspektif bentuk dalam logika dan imajinasi dengan menggambungkan

dua bentuk atau lebih yang berbeda maupun yang sama.

4.Semantik Style

Visual yang disampaikan dalam beberapa style atau gaya merujuk pada

style-style tertentu sebagai ikatan benang merahnya. Visual style merujuk pada seni seperti Naturalis, Kartunis, Surealisme, Pop Art, Impresionisme dan Ekspresionisme.

(25)

diragukan, maksudnya ketika ingin menginterpretasikan sesuatu haruslah melalui konsep strukturalis berdasarkan bentuk apa, bukan isinya tetapi berkaitan dengan maknanya.

Bahasa visual dalam bentuk verbal, tulisan, lisan ataupun suara merupakan sebuah kode dalam sistem komunikasi. Sesungguhnya, kode merupakan sebuah sistem pengorganisasian tanda. Sistem-sistem tersebut dijalankan oleh aturan-aturan yang disepakati oleh semua anggota komunitas yang menggunakan kode tersebut. Menurut Sagers (Sobur, 2002:31), kode dapat didefenisikan sebagai sistem tanda manapun yang dengan persetujuan sebelumnya antara sumber dan sasaran digunakan untuk menggambarkan dan membawakan situasi. Ada tiga macam kode dalam semantik, antara lain :

1.Kode-kode sosial, yaitu:

a. Bahasa verbal (fonologi, sintaksis, leksikal, prosodik, dan sub kode paralinguistik).

b. Bahasa tubuh (kontak tubuh, orientasi fisik, kedekatan, ekspresi wajah, penampakan, kerutan kening, gerak, postur dan tatapan).

c. Kode komoditas (busana, pakaian dan mobil).

d. Kode kebiasaan (protokol, ritual, peranan dan permainan).

2.Kode-kode tekstual, yaitu:

a. Kode pengetahuan termasuk matematika.

b. Kode estetika, yaitu berbagai bentuk pengekspresian seni seperti puisi, drama, lukisan, musik dan sebagainya. Termasuk di dalamnya keklasikan, keromantisan dan kenyataan.

c. Kode gender, retorika dan style: naratif (plot, karakter, akting, dialog dan setting), pertunjukan pendapat dan sebagainya.

d. Kode media massa termasuk televisi, film radio, surat kabar, majalah dan kode dalam fotografi baik secara teknik maupun konvensional.

3.Kode-kode interpretatif, yaitu:

(26)

b. Kode-kode ideologi; termasuk kode untuk encoding dan decoding teks, negosiasi atau oposisi. Lebih khususnya dapat diurutkan seperti individualisme, liberalisme, feminisme, rasisme, materialisme, kapitalisme, sosialisme, objektifisme, dan konsumerisme.

Kode adalah tanda yang berhubungan dengan sebuah sistem, seperti kalau kita berbicara mengenai sistem bahasa atau sistem gambar dan sebagainya. Kode dalam pikiran seseorang mempengaruhi cara individu tersebut dalam menginterpretasikan tanda dan simbol yang mereka temui dari media massa di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kode terdapat berbagai elemen, terutama yang berhubungan dengan bahasa dan gambar yang bisa dilihat secara lebih detail. Begitu pula dalm komunikasi visual yang banyak menggunakan komunikasi nonverbal yang dilangsungkan melalui kode-kode presentasional seperti gestur, gerak mata atau sifat suara.

Komunikasi nonverbal memiliki dua fungsi yaitu : pertama, untuk menyampaikan informasi indeksikal. Ini merupakan informasi mengenai identitas, emosi, sikap, posisi sosial dan sebagainya. seperti sebuah gambar yang bisa menunjukkan ekspresi sukacita dan depresi. Fungsi kedua, manajemen interaksi.

Kode-kode digunakan untuk mengelola relasi yang ingin dibentuk encoder

dengan pihak lain. Misalnya dengan menggunakan gestur, postur, ataupun nada suara tertentu bisa menyampaikan informasi tentang relasi dan bukannya tentang

(27)

Tubuh Manusia merupakan transmiter utama kode-kode presentasional. Argyle (1972) dalam Fiske (1990:1995), menyusun sepuluh daftar kode presentasional sebagai berikut :

1. Kontak Tubuh

Kita dapat menyampaikan pesan-pesan penting tentang relasi kepada orang yang kita sentuh pada waktu dan tempat tepat. Jarak (kedekatan) dan kode merupakan ragam dalam berbagai kebudayaan. Contohnya: orang Inggris saling menyentuh satu sama lain lebih sering dibandingkan orang dari kebudayaan lain.

2. Orientasi

Bagaimana posisi kita terhadap orang lain merupakan cara lain untuk mengirimkan pesan tentang relasi. Menghadapi langsung pada wajah seseorang dapat menunjukkan baik keakraban maupun agresif; posisi 90 derajat pada orang lain menunjukkan sikap kooperatif dan sebagainya.

3. Penampilan

Argyle membedakan penampilan menjadi dua aspek, yaitu: pertama, aspek yang berada dibawah kontrol, seperti rambut, pakaian, kulit warna kulit dan perhiasan. Kedua, aspek yang kurang bisa terkontrol, seperti tinggi badan, berat badan maupun umur. Semua kebudayaan, rambut sangat signifikan karena rambut merupakan bagian dari tubuh kita yang paling ‘fleksibel’. Kita bisa dengan mudah mengubah penampilan rambut. Penampilan digunakan untuk mengirimkan pesan tentang kepribadian, status sosial, dan konfomitas (kesesuaian atau keserasian).

4. Postur

(28)

inferioritas dapat ditunjukkan lewat postur. Postur juga bisa menunjukkan kondisi emosi, seperti sikap tegang atau santai.

5. Gestur

Lengan dan tangan adalah transmiter utama dari gestur disamping gestur kaki dan gestur kepala. Semuanya terkoordinasi erat dengan pembicaraan dan pelengkap komunikasi verbal. Gestur dapat menunjukkan emosi umum ataupun emosi tertentu. Gerakan yang sebentar-sebentar dan gerak naik turun yang empatis menunjukkan upaya mendominasi. Gestur sirkular menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati. Di samping gestur-gestur indeksikal, ada juga kode simbolik. Kode-kode simbolik sering juga untuk menghina atau mencaci pada kultur atau subkultur, misalnya: tanda V.

6. Ekspresi wajah

Ekspresi bisa dibagi ke dalam sub-sub kode posisi alis, bentuk mata,

mulut, dan lubang hidung. Semua itu dalam berbagai kombinasinya menentukan ekspresi wajah dan memungkinkan untuk menulis sebuah ‘tata bahasa’ dari kombinasi dan maknanya. Hal yang menarik, ekspresi wajah menunjukkan kurang bervariasi secara lintas kultural dibandingkan dengan kode-kode presentasional lainnya.

7. Anggukan kepala

Hal ini banyak digunakan dalam manajemen interaksi, khususnya dalam mengambil giliran berbicara. Satu anggukan berarti menginzinkan orang lain berbicara, anggukan cepat menunjukkan keinginan untuk berbicara.

8. Gerak dan kontak mata

(29)

dominasi. Melakukan kontak mata sejak awal pada permulaan pernyataan verbal menunjukkan hasrat untuk mendominasi pendengar, membuat mereka memberi perhatian; kontak mata akhir atau setelah pernyataan verbal menunjukkan relasi yang lebih afiliatif, hasrat untuk memperoleh umpan balik atau untuk melihat bagaimana pendengar bereaksi.

9. Proximity

Seberapa dekat kita mendekati seseorang dapat memberikan pesan tentang relasi. Ini tampaknya merupakan ‘sifat distingtif’ yang membedakan secara signifikan jarak-jarak yang berlainan. Jarak dalam lingkaran 3 kaki adalah intim, lebih dari itu sampai 8 kaki personal, lebih dari 8 kaki semi publik dan seterusnya. Jarak yang sebenarnya akan berbeda dari satu budaya ke budaya lain. Jarak personal dianggap tak aman bagi orang Arab. Jarak lebih dekat dari 18 inchi bisa menjadi sangat memalukan bagi pendengar Inggris. Jarak kelas menengah

cenderung sedikit lebih besar dibandingkan dengan kelas pekerja.

10.Aspek nonverbal percakapan, yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a. Kode-kode prosodic yang mempengaruhi pemaknaan kata-kata yang

digunakan. Nada suara dan penekanan menjadi kode utama disini. Contohnya, kalimat “Dia menjadi juara” dapat diartikan sebagai pernyataan, pertanyaan ataupun ekspresi ketidakpercayaan bergantung pada nada suara.

b. Kode-kode paralinguistik yang mengkomunikasikan informasi tentang pembicara, aksen, volume, irama, salah ucap dan kecepatan berbicara yang dapat menunjukkan kondisi emosi, kepribadian, kelas, status sosial, cara memandang pendengar dan seterusnya dari pembicara.

(30)

untuk menyampaikan pesan berupa gagasan secara visual. Desain pada dasarnya adalah hasil penyusunan pengalaman visual dan emosional dengan memperhatikan elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain yang dituangkan dalam satu kesatuan komposisi yang mantap (Kusmiati, 1999 : 2). komposisi berasal dari bahasa Latin, Componere yang berarti penggabungan. Pada dasarnya suatu komposisi merupakan penggabungan dari banyak bagian menjadi suatu bentuk yang serasi. Komposisi dianggap sebagai suatu pengorganisasian elemen-elemen desain dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu secara ketat, meskipun sering hanya digunakan sebagai arahan saja tetapi mampu mencapai bentuk abstrak, alamiah, non-objektif, ornamental ataupun struktural.

Desain komunikasi visual tidak hanya memperhatikan unsur fungsi semata saja, namun juga memperhatikan unsur-unsur keindahan yang menjadikan desain menjadi lebih menarik dan berkesan. Penerapan elemen-elemen serta prinsip-prinsip desain dalam proses desain berguna untuk menghasilkan suatu karya grafis yang menarik, nikmat dipandang, tampil menyolok dan berkesan. Beberapa elemen penting yang digunakan dalam mendesain komunikasi visual, terdiri atas :

1. Garis atau Line

Garis adalah unsur dasar untuk membangun bentuk atau konstruksi desain. Sebuah garis adalah unsur desain yang menghubungkan antara satu titik poin dengan titik poin lainnya sehingga bisa berbentuk gambar, garis lengkung (curve) atau garis lurus (straight). Sifat garis yang umum dikenal adalah lurus, lengkung dan bersudut. Dalam penggunaan, mempunyai arah seperti horizontal, vertikal, diagonal atau miring. Garis pun mempunyai dimensi seperti tebal, tipis, panjang, dan pendek, juga saling berhubungan dalam bentuk garis paralel atau sejajar, garis memancar atau radiasi dan garis yang saling berlawanan. Garis dalam desain komunikasi visual berperan untuk pemberian aksen sebagai pembatas dan kolom (Kusmiati, 1999:3)

(31)

kekuatan yang bergerak ke atas, yaitu pada saat mata kita tergerak untuk melihat dari bawah ke atas dan juga memberi kesan ketinggian yang nyata. Garis horizontal atau garis mendatar dapat memberi kesan ketenangan serta membuat mata seolah-olah dari arah kiri ke kanan. Selain itu ada juga garis diagonal atau oblique dimana arah garis bisa miring ke kiri atau ke kanan dan memberi kesan aman, gerakan, semangat, gelora serta perlawanan. Biasanya garis diagonal digunakan untuk memberi tekanan atau emphasis. Garis lengkung yang merupakan garis lurus yang ditekuk atau dibengkokkan sehingga berupa suatu lengkungan, mampu menimbulkan kesan pada perasaan, seperti kuat, lemah, sensitif dan ekspresif.

2. Bentuk atau Form

Istilah bentuk atau form digunakan untuk menyatakan suatu bangun atau shape yang tampak dari suatu benda. Bentuk atau form adalah tubuh atau massa yang berisi garis-garis. Sedangkan garis adalah bagian tepi atau

garis pinggir bentuk suatu benda atay biasa disebut “kontur benda”. Kontur memperlihatkan bangun atau gerakan itu sendiri. Sebagai contoh, umpama sepatu, bentuknya adalah sepatu, tetapi konturnya yang menunjukkan kepada kita jenis dari sepatu itu sendiri, apakah itu sepatu olahraga, sepatu untuk wanita, pria atau anak-anak.

(32)

desain. Sementara itu berdasarkan kategori sifatnya, bentuk dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

a. Huruf (Character) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang dapat digunakan untuk membentuk tulisan sebagai wakil dari bahasa verbal dengan bentuk visual langsung seperti, A, B, C dan sebagainya. b. Simbol (Symbol) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang

mewakili bentuk benda secara sederhana dan dapat dipahami secara umum sebagai simbol atau lambang untuk menggambarkan suatu bentuk nyata, misalnya gambar orang, bintang, matahari dalam bentuk sederhana (simbol), bukan dalam bentuk nyata.

c. Bentuk nyata (form), dimana bentuk ini benar-benar mencerminkan kondisi fisik dari suatu objek. Seperti gambar manusia secara detail, hewan secara detail ataupun benda lainnya.

3. Ruang atau Space

Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga

terasa jauh dan dekat, tinggi dan rendah, yang tampak melalui indra penglihatan. Ruang merupakan jarak antara suatu bentuk dengan bentuk lainnya yang pada praktek desain dapat dijadikan unsur untuk memberi efek estetika desain. Contohnya, tanpa ruang kita tidak akan tau mana kata dan mana kalimat atau paragraf. Tanpa ruang kita tidak tahu mana yang harus dilihat terlebih dahulu, kapan harus membaca dan kapan harus berhenti sebentar. Ruang digolongkan menjadi dua unsur, yaitu objek (figure) dan latar belakang (background).

(33)

Ruang sebagai latar belakang dari suatu objek juga perlu diolah, umpamanya dengan memberi warna, tekstur, dan lain-lain.

4. Tekstur

Tekstur adalah sifat dan kualitas fisik dari permukaan suatu bahan, seperti kasar, mengkilap, pudar atau kusam yang dapat diaplikasikan secara kontras, serasi atau berupa pengulangan-pengulangan untuk suatu desain. Pada umumnya desain berkaitan dengan indra peraba dan juga indra penglihatan. Tekstur akan tampak jelas bergantung pada cahaya serta bayangannya yang disebabkan oleh ilusi optis. Dalam penggunaannya, tekstur disusun secara serasi atau kontras. Secara kontras hasilnya akan lebih menarik dibandingkan kombinasi dengan tekstur yang serupa.

Masih banyak hal lain yang berkaitan dengan elemen-elemen desain, yang ikut mempengaruhi kualitas perancangan. Karya grafis yang indah dengan kualitas yang memuaskan bisa terjadi karena berhasil mengekspresikan suatu citra yang benar. Keberhasilan tersebut adalah

sebagai hasil pertimbangan yang cerdas dalam memanfaatka prinsip-prinsip serta elemen-elemen desain secara tepat, dengan memahami keterbatasan sifat bahan. Keseimbangan, keserasian, proporsi, skala dan irama merupakan prinsip-prinsip desain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pembuatan suatu karya grafis. Prinsip-prinsip dasar ini berlaku untuk segala macam karya desain, yang apabila dibarengi dengan kreativitas, diharapkan dapat menghasilkan karya-karya yang menonjol.

5. Keseimbangan atau Balance

(34)

menghayatinyanya hanya diperlukan satu titik atau sumbu khayal, guna menentukan letak objek-objek atau massa yang akan disusun menurut prinsip keseimbangan. Prinsip ini juga merupakan prinsip utama yang menghasilkan tentang keteraturan.

Keseimbangan dapat tercapai dari dua bagian, yaitu pertama, secara simetris yang terkesan resmi/formal dan tercipta dari sebuah paduan bentuk dan ukuran tata letak yang sama. Sedangkan keseimbangan asimetris memberi kesan informal dan dapat terlihat lebih dinamis yang terbentuk dari paduan garis, bentuk, ukuran, maupun tata letak yang tidak sama namun tetap seimbang.

6. Keserasian atau Harmony

Keserasian adalah prinsip desain yang diartikan sebagai keteraturan diantara bagian suatu karya. Keserasian sebagai suatu usaha menyusun berbagai macam bentuk, bangun, warna, tekstur, dan elemen lain secara seimbang dalam suatu komposisi yang utuh agar nikmat untuk dipandang.

Keseimbangan sering dicapai dengan mengkombinasi berbagai elemen yang sifatnya sama, misalnya kesamaan dalam skala dan bentuk, dan apabila skala dan bentuk tersebut berbeda, maka kemungkinan yang juga bisa dicapai adalah dengan warna yang sama.

Keserasian juga dapat dicapai melalui kesamaan arah, seperti arah dari garis horizontal, vertikal, diagonal, atau lengkung. Walaupun keserasian merupakan upaya mencapai suatu kesatuan dalam penampilan, namun juga diperlukan variasi-variasi, agar tidak berkesan monoton dan membosankan.

7. Proporsi atau Proportion

(35)

dengan ukuran objek lain yang telah diketahui sebelumnya. Terdapat tiga hal yang berkaitan dengan masalah proporsi, yaitu penempatan susunan yang menarik, penentuan ukuran dan bentuk yang tepat, dan penentuan ukuran sehingga dapat diukur atau disusun sebaik mungkin.

8. Skala atau Scale

Skala adalah ukuran relatif dari suatu obyek, jika dibandingkan terhadap obyek atau elemen lain yang telah diketahui ukurannya (Kusmiati, 1999:14). Pemakaian skala dimaksudkan untuk menciptakan keserasian dan kesatuan objek suatu desain melalui kesamaan-kesamaan atau kontras yang dibuat dalam skala. Skala berhubungan dengan jarak pandang atau penglihatan dengan unsur-unsur yang telah dimunculkan (faktor keterbacaan).

9. Irama atau Rhythm

Aliran secara keseluruhan terhadap desain selalu menyiratkan irama.

Suatu gerak yang dijadikan sebagai dasar suatu irama dan ciri khasnya terletak pada pengulangan-pengulangan yang dilakukan secara teratur yang diberi tekanan atau aksen. Irama berfungsi untuk mengarahkan perhatian dari suatu tempat atau bidang ke tempat atau bidang yang lain, sehingga tercipta suatu kesan gerak. Bentuk irama yang paling sederhana adalah pengulangan yang seragam dari objek yang sama.

Komposisi irama yang lebih kompleks atau rumit dibuat dengan jarak yang berubah, aksen atau penggantian elemen dengan jarak waktu yang biasa, kemudian secara bertahap mengurangi atau menambah ukuran elemen-elemen. Sedang gradasi merupakan jenis irama yang penting, dimana ukuran, warna, atau nilai dari elemen-elemen desain diubah secara bertahap bersamaan dengan pengulangan yang terjadi.

10.Warna

(36)

lainnya akan memberikan suatu kesan atau image yang khas dan memiliki karakter yang unik, karena setiap warna memiliki sifat yang berbeda-beda. Danger (1992:51) menyatakan bahwa warna adalah salah satu dari dua unsur yang menghasilkan daya tarik visual, dan kenyataannya warna lebih berdaya tarik pada emosi daripada akal. Permasalahan mendasar dari warna diantaranya adalah Hue (spektrum warna), Saturation (nilai kepekatan) dan Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang). Warna juga merupakan pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam berkomunikasi. Warna merupakan unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira ataupun semangat.

Secara visual, warna mampu mempengaruhi citra seseorang yang melihatnya. Masing-masing warna memberikan respon secara psikologis. Dalam tulisan seorang pakar tentang warna, Molly E. Holzschlag, yang berjudul “Creating Colour Scheme” (Kusrianto, 2007:47) terdapat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respon

secara psikologis, yaitu sebagai berikut :

1. Merah bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas, dan bahaya.

2. Biru bermakna kepercayaan, harapan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan, dan perintah.

3. Hijau bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan, dan pembaruan.

4. Kuning bermakna optimis, harapan, filosofi, kehangatan, ringan, segar, dan kreatifitas.

5. Oranye bermakna energi, keseimbangan, keramahan, kesehatan, kehangatan, dan kesuksesan.

6. Ungu bermakna spiritual, misteri, mewah, keagungan, duniawi, galak, dan arogan.

7. Abu-abu bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan, dan muram. 8. Coklat bermakna bumi, matang, dapat dipercaya, nyaman, dan

(37)

9. Emas bermakna keanggunan, kemewahan, dan sesuatu yang bernilai. 10.Putih bermakna kemurnian/suci, bersih, kecermatan, innocent (tanpa

dosa), tulus, steril, dan kematian.

11.Hitam bermakna kekuatan, seksualitas, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan, keanggunan, dan kematian.

Dalam iklan yang kreatif terkandung elemen-elemen visual yang masing-masing saling berhubungan dan memiliki peran penting untuk menciptakan kesan terhadap khalayak yang melihatnya. Selain warna,

Type (pemilihan huruf), image (pemilihan gambar) juga merupakan elemen-elemen yang penting dalam memvisualisasikan iklan pada papan reklame sehingga terciptalah sebuah makna di dalam iklan tersebut.

1. Type (pemilihan huruf)

Jenis (tipe) huruf alfabet dapat menghadirkan, membangkitkan, menggambarkan perasaan atau suasana tertentu pada suatu komposisi. Misalnya, lincah, anggun, feminim, maskulin dan kekanak-kanakan. Keberhasilan suatu lay out pada suatu media cetak ditentukan antara lain oleh pemilihan jenis

(38)

Berikut ini beberapa jenis huruf yang memiliki karakter atau kepribadian tertentu:

a. Jenis huruf sans serif atau slab serif seperti Helvetica atau

Lubain, untuk menampilkan nuansa tegas tetapi artistik.

b. Jenis tulisan tangan yang melingkar-lingkar seperti tipe Snell Roundhand, apabila dikehendaki untuk mengungkapkan suasana kenangan lama.

c. Tipe huruf Century Schoolbook yang ramah serta mudah dibaca, mengingatkan pada suasana di sekolah dasar.

d. Tipe huruf komputer modern seperti tipe huruf Emigre, tepat untuk menciptakan kesan modern dan gaya remaja.

e. Tipe klasik seperti Bouer Bodoni menciptakan kesan anggun. f. Tipe huruf Courier yang mengingatkan pada huruf mesin ketik

dan mengesankan seperti koran yang baru terbit.

g. Jenis huruf Classic Serif, seperti Bodani, Caslon, Century atau

Garamond menciptakan kesan suasana bergengsi dan abadi

serta klasik.

h. Tipe huruf tebal seperti Futura Extra Bold menciptakan kesan tegar, bersih, dan modern.

i. Tipe huruf Copperlate menyerupai tulisan tangan, mampu menciptakan kesan terampil dan berkualitas.

j. Tipe huruf Cheltenham Old Style memberi kesan terbuka serta mengingatkan kita kepada kitab (buku) ejaan kuno.

a) Serif

(39)

bagian atas dan bawah tiang pilar memang lebih besar agar bisa membuat pilar lebih kokoh.

Tipe Serif merupakan bentuk tipe huruf yang paling mudah dibaca, ditandai dengan adanya sapuan atau sentuhan akhir yang agak melengkung di ujung huruf. Tanda ini menunjukkan gaya khusus yang didesain oleh pendesainnya. Jenis Serif adalah pilihan yang disukai untuk teks selama berabad-abad, keterbacaannyalah yang membuat huruf ini tetap populer hingga saat ini.

b) Sans Serif

Tahun 1835 William Thorowgood dan Robert Thorne memperkenalkan huruf tanpa serif. Sans berasal dari bahasa Perancis yang berarti ‘tanpa’ menunjukkan huruf tanpa sapuan akhir di ujung hurufnya. Huruf tersebut dinamakan Grotesque/ Gothic dan agar tidak rancu diberi nama Sans Serif.

Selanjutnya huruf Sans Serif mengalami perkembangan lain karena adanya tuntutan kebutuhan pemakaian huruf dan juga pertimbangan pemasaran.

Jenis huruf ini dikenal sebagai huruf geometris, monotoal dan tegas. Tipe huruf ini cocok dipakai untuk menciptakan kontras antara teks isi dan jenis informasi lain dan dipakai untuk keperluan menata informasi. Banyak desainer menggunakan Sans Serif untuk headline, headline sekunder dan text head (judul kecil dalam teks). Selain itu, jenis Sans Serif adalah pilihan bagus untuk informasi yang dipakai dalam menampilkan berita alternatif penggunaan huruf ini juga dapat menciptakan kontras dengan berita utama dan mudah dibaca.

c) Square Serif atau Slab Serif

(40)

huruf yang tebal dengan proporsi batang huruf yang sama besar (monolite) dengan serif yang berbentuk persegi (square) dan tebalnya sama dengan batang huruf. Kelompok Slab Serif

mengingatkan masyarakat Inggris pada piramida Mesir, maka jenis huruf ini disebut Egyptian yang terasa pembuatannya diilhami oleh gaya arsitektur Mesir yang kokoh dan berbentuk persegi.

Jenis huruf Square Serif ini diakhiri oleh sapuan akhir yang berbentuk lurus atau balok. Meskipun sulit dipakai untuk teks isi karena bentuknya yang agak lebar. Slab Serif ini menunjukkan kesan stabilitas dan kekokohan. Jenis huruf ini bisa dipakai untuk display dan untuk kontras antara jenis informasi yang berbeda-beda.

d) Script atau Cursive

Jenis huruf yang mirip dengan tulisan tangan berbentuk

huruf latin/berkesinambungan. Jenis huruf ini menunjukkan kesan lebih informal dan dapat efektif dalam jenis iklan atau jenis informasi tertentu. Tingkat keterbacaannya yang lebih rendah dan kontrasnya yang lebih lemah membuatnya kurang cocok dipakai sebagai headline atau display hierarkis lainnya.

e) Novelty

(41)

yang bagus. Headline yang cerdas dengan huruf standar lebih efektif daripada headline buruk dengan jenis huruf Novelty.

f) Black Letter

Black Letter atau yang disebut Old English, jenis huruf ini sering diasosiasikan dengan nama koran seperti The New York Times. Tipe huruf ini berasal dari Jerman, memiliki ciri tingkat keterbacaan yang amat rendah, khususnya jika ditulis dalam bentuk besar (kapital) semua. Jenis Black Letter sering dipakai untuk menimbulkan kesan atau mood tertentu seperti yang dirasakan pada pesta Halloween atau suasana liburan. Jarang ada publikasi yang menggunakan jenis huruf ini.

Tipografi adalah seni pengaturan huruf, selain jenis tipografi kategori huruf yang lain dilihat dari jenis bobotnya (weight) berupa variasi bold, normal dan italic. Sedangkan besarnya ukuran ditentukan dari:

a. Point, biasanya disingkat “pt” sebuah huruf ukuran 72 point

tingginya adalah satu inci.

b. Pica, satuan ini digunakan untuk mengukur lebar atau panjang garis, konversinya 6 pica sama dengan satu inci. c. Em, adalah ukuran luas sebuah type.

2. Image (pemilihan gambar)

(42)

memadukan gambar harimau dan mobil sport tersebut, maka akan tercipta informasi mengenai kecepatan dan keindahan.

Pembuatan suatu gambar dimaksudkan untuk mendukung suatu pengertian riil dan diungkapkan melalui berbagai bentuk gambar yang disebut logo, ilustrasi, karikatur dan sebagainya. Kegunaan gambar antara lain:

a. Sebuah kata atau huruf bisa digantidengan gambar yang dapat mengungkapkan makna, misalnya: gambar kunci (key) maka gambar kunci dimaksud sebagai pengganti huruk K.

b. Gambar memberikan suatu ilustrasi. Desain ilustrasi untuk menarik respon emosional, guncangan, intrik, hiburan dan sebagainya. Misalnya, foto ilustrasi yang menampilkan seorang anak yang bermain bola ditengah taman bermain memberikan dampak yang diharapkan dapat memberikan suatu kesan riang dan bahagia. Ilustrasi menurut defenisinya adalah seni gambar yang dimanfaatkan untuk memberi

penjelasan atas suatu maksud atau tujuan secara visual (Kusrianto, 2007:140)

c. Gambar sebagai komunikasi yang ringkas, berupa tanda yang dapat mengungkapkan sebuah makna dengan mudah dan cepat. Misalnya, rambu penunjuk arah, dilarang merokok maupun rambu dilarang untuk parkir.

d. Gambar dapat mengkomunikasikan pesan langsung dari kegiatan suatu perusahaan dalam bentuk simbol ilustrasi yang disebut sebagai logo.

e. Desain suatu benda atau barang hasil produksi perusahaan yang dianggap mewakili gambaran ringkas mengenai perusahaan yang bersangkutan.

(43)

gambar. Teknik pengambilan suatu gambar juga memiliki kode-kode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara lebih detail. Berikut penjelasannya dalam tabel :

Tabel 2.1 Teknik dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar Penanda (Signifier) Menandakan (Signified) Pengambilan Gambar :

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan Sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandng (Angle) Pengambilan Gambar :

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai dan kurang

otoritas

Tipe Lensa :

Wide Angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, voyeuristik

Fokus :

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

(44)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek)

Pencahayaan :

High Key Riang dan cerah

Low Key Suram dan muram

High Contrast Dramatikal dan teatrikal

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti

dokumenter

Pewarnaan :

Warm (kuning, oranye, merah dan abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and White (hitam dan

putih) Realisme, aktualisme dan faktual

Sumber : Selby, Keith dan Coedery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan, 1995.

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya gambar (foto maupun film)

dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas :

1. Pengambilan gambar secara extreme long shot dapat menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang sangat jauh. Pengambilan gambar secara long shot

(45)

ada sebuah kejadian atau suatu peristiwa yang nampak dari gambar tersebut.

2. Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar. Ukuran gambar subjeknya sama ukurannya dengan ukuran latar. Kesan yang nampak dari gambar seperti ini adalah kesan personal.

3. Pengambilan gambar dalam bentuk close up, ukuran subjek lebih besar daripada setting atau latar subjek. Kesan yang muncul dalam gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek. Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk lebih memperhatikan.

4. Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.

Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai

suatu gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari bawah. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Sudut pengambilan gambar (angle) dibagi menjadi:

a. Subjek yang diambil dari bawah (low angle shot), sebaliknya membuat subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata pemandang. Kesan yang muncul dalam angle seperti ini subjeklah yang lebih terkesan lebih powefull, lebih otoritatif dibandingkan dengan posisi khalayak atau pemandang.

(46)

Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

c. Gambar yang diambil dengan eye level shot, memposisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara.

2.6 Iklan dan Semiotika

Iklan berasal dari bahasa Arab Iqlama, yang dalam bahasa Indonesia artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris, Advertising yang berasal dari bahasa latin,

ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada orang lain. Sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis, “re-klame” yang berarti berulang-ulang (Danesi, 2010:362). Dalam perspektif iklan cenderung menekankan pada aspek penyampaian pesan kreatif dan persuasif melalui media khusus. Dalam perspektif pemasaran, lebih menekankan pemaknaan iklan sebagai alat pemasaran, sedangkan dalam perspektif psikologi lebih menekankan persuasif

pesan.

Iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, atau menjual layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif (Liliweri, 1992:20). Iklan atau advertising dapat juga dapat didefenisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morrisan, 2010:17).

Gambar

Gambar 2.1 : Semiotic Triangle Ogden and Richards
Gambar 2.2 : Semiologi Roland Barthes
Tabel 2.1  Teknik dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pemberian pakan ikan rucah yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P< 0,05) terhadap pertumbuhan kepiting bakau

Pada penelitian ini dilakukan perancangan dan pembuatan sistem pakar yang digunakan untuk membantu menentukan diagnosa suatu penyakit yang diawali dari gejala utama penyakit pada

Untuk memaksimalkan kinerja water bath, perlu adanya indikator level air yang berfungsi sebagai indikator yang menunjukkan level air di dalam waterbath,agar heater selalu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi yang digunakan oleh seorang kepala desa dalam upaya membina generasi muda dalam membangun hubungan yang

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak UPT TIK (Unit Pelaksana Teknis dan Teknologi Informasi Komunikasi) Universitas Riau selaku pengelola portal akademik di UR

Madu organic ini sangat terjaga kualitasnya, kami mengimport madu orgaik dari negara Inggris karena negara tersebut memiliki standar terbaik dalam memproduksi madu

Dari hasil temuan penelitian dengan menggunakan model Framing Robert N.Entmant yang penulis lakukan, penulis temukan adanya sudut pandang Tribun Jateng melihat

menurut data dari website (Similiarweb.com, 2020b) pada aplikasi m-commerce kategori travel terdapat 3 aplikasi yang menempati peringkat teratas di Indonesia yaitu