commit to user
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN
PONDOK PESANTREN AL-MUKMIN SUKOHARJO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Oleh :
Firman Ridlo Mursyidi
G 0104023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul : Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan
Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
Nama Peneliti : Firman Ridlo Mursyidi
NIM : G0104023
Tahun : 2004
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari : ...
Pembimbing Utama
Drs. Makmuroh, MS NIP 195306181980032002
Pembimbing Pendamping
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi NIP 197603232005011002
Koordinator Skripsi
commit to user
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
Firman Ridlo Mursyidi, G0104023, Tahun 2004
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari :
Tanggal :
1. Pembimbing Utama
Dra. Makmuroch, MS. . ( __________________ )
2. Pembimbing Pendamping
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi.. ( __________________ )
3. Penguji I
Dra. Emi Dasiemi, MS. ( __________________ )
4. Penguji II
H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. ( __________________ )
Surakarta, __________________
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002
Ketua Program Studi Psikologi
commit to user
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia
derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Mei 2010
commit to user
v
MOTTO
Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al Insyirah: 5-6)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.Al Baqoroh 286)
The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams (Eleanor Roosevelt)
There are many people who have big plans but their big plans never come true. The reason is, too many people have big plans but fail to
commit to user
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Allah SWT
Dzat Maha Agung yang berkuasa di seluruh alam semesata
Muhammad SAW Pemimpin dan Teladan Umat
Ibunda, ayahanda, dan kakek-kakakku tercinta Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki atas kesabaran dan kasih sayang dalam mendidik ananda
Adik-adikku Lina, Dik Bibi dan Dik Devan serta keponakanku Zia atas kasih sayang dan doa kalian
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Allhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
tidak lupa penulis panjatkan, hanya dengan rahmat dan hidayahNya-lah
penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa penulis
sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat dan pengikutnya yang setia.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh
derajat sarjana S-1 pada Bidang Studi Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tanpa bantuan berbagai pihak,
kiranya penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, penghargaan yang
setinggi-tingginya dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah
penulis lakukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, terutama kepada:
1. Drs. Hardjono, M.Si. Selalu Ketua Program Studi Psikologi yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di Prodi
Psikologi serta memberi bimbingan dan arahan kepada penulis.
2. Dra. Makmuroch, MS. selaku dosen pembimbing utama, atas bimbingan,
waktu dan masukan yang berarti bagi penulis.
3. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. selaku dosen pembimbing pendamping, atas
bimbingan, waktu dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.
4. Dra. Emi Dasiemi, MS. dan H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. selaku dosen
penguji yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis.
5. KH Wahyuddin selaku Direktur Pondok Pesantren Islam Al Mukmin
Sukoharjo, Jawa Tengah yang telah memberi ijin penelitian dan memberikan
bantuan dalam pengambilan data pada penelitian ini.
6. Prof. DR. Dr. H Mohammad Fanani, SpKj (K) selaku ustad pengajar Pondok
commit to user
viii
kepada penulis untuk menjalankan aktivitas penelitian ini dengan segala
bimbingan dan arahan ketika jalannya penelitian.
7. Seluruh remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo
yang telah bersedia menjadi subjek penelitian penulis.
8. Seluruh Staf Psikologi, Mas Dimas, Mas Rian, dan Mbak Ana yang penuh
kesabaran, dan segala bantuan serta kemudahan dalam pelayanananya yang
telah diberikan.
9. Papa dan Mama tercinta atas semua pengorbanannya, kasih sayang, doa,
perhatian dan dukungannya selama ini tanpa mengenal lelah yang terus
membimbingku menjadi orang yang dewasa, bermanfaat, dan berguna.
10. Kakak-kakakku Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki, atas cinta, doa,
bantuan, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kebersamaanya selama ini,
semoga kita semua selalu kompak dan dapat menjadi anak-anak yang baik dan
berguna bagi kedua orangtua kita.
11. Adikku Bibie dan Devan yang selalu memberikan semangat serta
Keponakanku yang pertama Zia yang sangat lucu yang selalu menghiburku
tatkala suka maupun duka.
12. Mbak Lilis yang memberikan semangat dalam menyelesaikan studi serta
dukunganya dalam pencapaian cita-cita kedepan.
13. Lina dan keluarga yang telah banyak memberi inspirasi, semangat terus maju
dan telah memberi arti dalam hidupku.
14. Seluruh rekan mahasiswa Program studi Psikologi khususnya angkatan 2004,
yang senantiasa saling mendukung penulis, serta semua pihak yang telah
membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Allah
membalas jasa-jasa dan kebaikan dengan pahala yang berlimpah amien.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.
Surakarta, Mei 2010
commit to user
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... .... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... .. iii
PERNYATAAN... .. iv
HALAMAN MOTTO ... ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... .. vi
KATA PENGANTAR ... . vii
DAFTAR ISI ... .. ix
DAFTAR GAMBAR ... . xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
ABSTRAK ... . xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan ... 8
1. Pengertian kecemasan ... 8
2. Gejala-gejala kecemasan ... 10
commit to user
x
4. Aspek-aspek kecemasan ... 14
5. Klasifikasi tingkat kecemasan ... 16
6. Manajemen kecemasan ... 19
7. Respon kecemasan ... 21
B. Kecerdasan Emosi. ... 23
1. Pengertian kecerdasan emosi ... 23
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi 28 3. Aspek-aspek kecerdasan emosi ... 31
C. Remaja ... 37
D. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo ... 40
E. Kerangka pikir ... .... 44
F. Hipotesis ... 44
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 46
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 46
C. Populasi dan Sampel ... 48
D. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 49
E. Validitas dan Reliabilitas ... 51
commit to user
xi
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian ... 54
1. Orientasi kancah penelitian………. 54
2. Persiapan alat ukur ... ………... 60
3. Pelaksanaan uji coba ... ………... 62
4. Uji validitas dan reliabilitas ……… 62
5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian……… 64
B. Pelaksanaan Penelitian ... 64
1. Penentuan sampel penelitian ... 64
2. Pengumpulan data penelitian ... 65
3. Pelaksanaan skoring ... 65
C. Analisis data penelitian ... 66
1. Uji normalitas ...……….... 66
2. Uji linieritas ...……….... ... 68
3. Analisis deskriptif ………... 68
4. Uji hipotesis ……….. ………... 71
D. Pembahasan ……… 73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78
B. Saran... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 81
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram kognitif perilaku ... 21
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Analisis gangguan fungsional kecemasan dari Blackburn dan Davidson . 23
2. Susunan aitem skala kecerdasan emosi ... 61
3. Distribusi aitem shahih dan aitem gugur skala kecerdasan emosi ... 63
4. Distribusi aitem skala kecerdasan emosi untuk penelitian ... 64
5. Hasil uji normalitas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan ... 67
6. Hasil uji linieritas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan ... 68
7. Analisis deskriptif kecerdasan emosi dan kecemasan ... 69
8. Norma kategori skor subyek ... 69
9. Kategori subyek berdasar skor skala penelitian kecerdasan emosi ... 70
10. Kategori subyek berdasar skor kecemasan ... 71
11. Hasil teknik analisis korelasi Product Moment Pearson ... 72
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
A. Alat ukur skala kecerdasan emosi sebelum uji coba ... 87
B. Sebaran nilai uji coba alat ukur skala kecerdasan emosi ... 92
C. Validitas dan reliabilitas alat ukur skala kecerdasan emosi ... 97
D. Alat ukur untuk penelitian skala kecerdasan emosi dan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) ... 100
E. Sebaran nilai data penelitian kecerdasan emosi dan kecemasan... 108
F. Analisis data penelitian ... 115
G. Dokumentasi denelitian... 118
commit to user
xv
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN PONDOK
PESANTREN AL-MUKMIN SUKOHARJO
Firman Ridlo Mursyidi
Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Pendidikan tidak lepas dari proses pembelajaran dimana tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan, orang yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian kurang baik terhadap dirinya yaitu mempunyai kecerdasan emosi yang rendah. Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mampu mengelola kecerdasan emosinya dengan baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analitik deskriptif, dengan variabel bebas kecerdasan emosi dan variabel tergantung tingkat kecemasan. Penelitian ini menggunakan populasi seluruh remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Sampel berjumlah 95 remaja. Karena sedikitnya populasi maka penelitian ini menggunakan semua populasi untuk penelitian atau studi populasi. Teknik pengambilan data pada variabel kecerdasan emosi menggunakan skala kecerdasan emosi sedangkan
variabel kecemasan menggunakan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS).
Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows versi 16.
Berdasarkan perhitungan analisis data diperoleh hasil nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosi dengan variabel tingkat kecemasan (rxy)
sebesar -0,329, nilai p-value 0,001<0,05, arah hubungan antara dua variabel adalah negatif artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo. Adapun sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan sebesar 10,8%.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung
majunya suatu bangsa. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang saling berkompetisi dalam lingkup pekerjaan atau
studi. Salah satu usaha yang paling umum dan paling sering ditempuh oleh
seseorang dalam mengembangkan dirinya adalah dengan menempuh sistem
pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena cukup banyak orang yang
beranggapan bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil dalam hidupnya,
orang itu harus berpendidikan, khususnya pendidikan formal (Tjundjing, 2001).
Pendidikan formal tidak lepas dari proses pembelajaran. Proses
pembelajaran tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan
yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain
seperti emosi dan sosial. Seringkali tujuan proses pembelajaran tidak tercapai
bukan karena ketidakmampuan pelajar dalam berpikir, namun karena ia
mengalami masalah dalam aspek emosi atau aspek sosial yang mengakibatkan
terhambatnya proses pembelajaran tersebut (Rostiana, 1997).
Setiap orang pernah mengalami kecemasan yang normal oleh karena suatu
sebab, misalnya menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi, atau penurunan
jabatan. Kecemasan dirasakan sebagai akibat dari sesuatu yang jelas penyebabnya
dan akan kembali normal setelah objek yang menjadi kecemasan berlalu.
commit to user
Kecemasan dapat merupakan manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau
gangguan fobik. Sebagai gangguan yang berdiri sendiri, kecemasan dapat berupa
gangguan cemas umum (menyeluruh), disini cemas dirasakan mengambang (free
floating), tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya (Kaplan dan Sadock, 1994).
Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu
permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada
kepribadian dan prestasi belajar. Mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang
tinggi lebih berhasil dalam kondisi ujian yang kurang menekan, sedangkan
mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang rendah lebih berhasil dalam kondisi
yang menekan (Martaniah dalam Kusningsih, 1994).
Siswa berinisial AA meraih juara IV olimpiade fisika Jawa Tengah tetapi
tidak lulus ujian nasional. Di kalangan teman-temannya, AA dikenal sebagai anak
pintar. Hampir tiap tahun ia meraih ranking I atau setidaknya ranking II di kelas.
Setelah menjuarai olimpiade fisika se-Jawa Tengah, Universitas Semarang siap
menerima AA menjadi mahasiswa di jurusan fisika melalui jalur penerimaan
siswa berprestasi. Kesempatan ini pupus karena ia tidak lulus ujian nasional
(Kompas, 2006). Melihat dari kasus tersebut, menurut analisa penulis sesuai yang
diutarakan oleh Toepra (dalam Nasution, 2007) bahwa remaja SMA yang akan
menghadapi ujian akhir dan UMPTN sering mengalami ketegangan dan
kecemasan, Selanjutnya menurut Davidof (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007)
orang yang mengalami kecemasan biasanya mempunyai penilaian yang kurang
baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang
commit to user
berpendapat bahwa kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai
kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara
tepat. Tetapi dalam kasus diatas, AA tidak dapat mengelola emosi, berpikir
realistis sehingga ia gagal dalam ujian.
Stroufe (dalam Amir, 2004) mengemukakan bahwa remaja yang berada
pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk
mengalami kecemasan. Pada masa ini, remaja digambarkan aktif menjelajahi
berbagai pilihan untuk menentukan identitas diri. Mereka masih bingung untuk
menentukan identitas yang sesuai dengan dirinya sehingga emosi mereka sangat
labil. Usia remaja merupakan masa stress dan storm dimana remaja mengalami
guncangan yang dapat menyebabkan timbulnys stress dan kecemasan. Arnett
(dalam Leonni dan Hadi, 2007) mengemukakan bahwa remaja juga mempunyai
reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal
ini pula yang mendorong remaja berpotensi mudah meningkat kecemasanya
karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan
hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi
salah satu pemicu utama timbulnya perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas
yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan pada remaja. Menurut
Danusio (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) emosi berperan besar dalam
suatu tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional.
Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu remaja dalam mengatasi
commit to user
Steinberg (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja pada
usia 15-18 tahun mengalami banyak perubahan secara kognitif, emosional dan
sosial, mereka berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif dan lebih
sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menurut Lestari dan
Purwanto (2003) kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk memotivasi diri
dan bertahan terhadap frustasi, kemampuan untuk mengontrol impuls dan
menunda pemuasannya, kemampuan untuk mengatur mood dan mencegah
keadaan yang berbahaya yang mempengaruhi kemampuan berpikir, serta
kemampuan untuk empati dan menolong.
Penelitian dari Hill (dalam Hasan, 2009) yang melibatkan 10.000 siswa
Sekolah Dasar dan Menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa yang mengikuti tes, gagal menunjukkan kemampuan mereka yang
sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas.
Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada
kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada
dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa
sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal
memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang
melanda mereka saat menghadapi tes.
Goleman (2007) melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui tingkat kesuksesan mahasiswa di masa yang akan datang. Hasil
penelitianya membuktikan bahwa para mahasiswa di Harvard University yang
commit to user
tinggi daripada mahasiswa yang berprestasi biasa-biasa saja. Sebaliknya
mahasiswa yang mempunyai prestasi yang biasa-biasa saja justru mempunyai
tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan dengan yang berprestasi akademik
tinggi di kemudian hari. Hal itu dikarenakan mahasiswa yang berprestasi tinggi
kebanyakan memiliki emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan bila
berlangsung secara terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu,
emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih
menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi, begitu pula
dengan remaja santri yang belajar, menuntut ilmu di pondok pesantren dan
terbiasa hidup jauh dari keluarga. Kalangan remaja santri di domunasi oleh remaja
yang memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di masa remaja.
Menurut uraian hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosi yang tinggi akan berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang karena
seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi tidak akan mudah
cemas.
Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang
menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif
untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan
dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat
bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak
menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap
menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa
commit to user
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi
Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren
Al-Mukmin Sukoharjo”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian
ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok
Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bagi orang tua, dapat memberikan wawasan tentang kecerdasan emosi dan
kecemasan sehingga dapat memberikan perlakuan yang sesuai pada anaknya
yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren.
2) Bagi pendidik, dapat memberikan masukan dalam rangka menerapkan
Al-commit to user
Mukmin Sukoharjo, dimana kondisi emosional pada remaja di lingkungan
pondok berbeda dengan kondisi emosional remaja diluar lingkungan pondok.
3) Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk peneliti
selanjutnya, khususnya mengenai tingkat kecemasan pada santri pondok
pesantren, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian
commit to user BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tingkat Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Iskandar (1992) menjelaskan istilah anxietas atau kecemasan sudah ada
sejak zaman Yunani dan Romawi. Orang Romawi menyebutnya anxietas yang
berarti troubled in mind. Dalam bahasa inggris perkataan itu menjadi anxiety.
Istilah ini dipakai mulai dari keadaan takut yang normal, ketegangan jiwa yang
normal, gejala dari berbagai gangguan psikiatri, atau dari penyakit. Menurut
Abidin (1992) istilah kecemasan berasal dari kata anxietas yang secara linguistik
adalah dari bahasa latin “anxietas” berasal dari kata “ango” (sempit), yang
mengingatkan pada sesak nafas. Kecemasan merupakan gejala penting serangan
cemas atau perasaan tercekik.
Kecemasan adalah keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan
sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau
menyertai berbagai kondisi atau situasi kehidupan, berbagai gangguan fisik
ataupun mental (Wibisono dalam Kusningsih, 1994).
Sitanggang (1994) mengartikan kecemasan sebagai ketakutan yang
samar-samar dan yang tidak jelas terarah pada suatu realisasi obyektif yang didapat
karena pengalaman atau melalui generalisasi rangsangan, seringkali terjadi
sebagai akibat frustasi/kekecewaan. Hal ini merupakan ciri dari berbagai
gangguan syaraf dan mental. Sedangkan Daradjat (dalam Nugraheni, 2005)
commit to user
mengungkapkan kecemasan merupakan adanya perasaan tidak menentu, rasa
panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami
sumber ketakutannya.
Menurut Speilberger (dalam Purboningsih, 2004), kecemasan adalah suatu
reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya yang tidak nyata atau
imaginer dimana reaksi ini muncul bersama pengalaman otonom dan subyektif
yang dirasakan sebagai ketegangan, ketakutan dan kegelisahan.
Nuhriawangsa (2004) menjelaskan kecemasan merupakan perasaan cemas
atau takut yang disebabkan oleh dugaan adanya bahaya yang akan mengancam
yang datangnya bisa dari dalam maupun luar dirinya. Selanjutnya Wibisono
(dalam Kusningsih dkk, 1994) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan
khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan
fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi atau situasi
kehidupan, berbgai gangguan fisik ataupun mental.
Prawirohusodo mengidentifikasikan kecemasan sebagai pengalaman emosi
yang tidak menyenangkan dalam kadar yang bervariasi mulai perasaan cemas
yang ringan sampai ketakutan yang intensif, yang berhubungan dengan ancaman
bahaya, yang umumnya tidak atau kecil sekali kaitanya dengan kausa eksternal.
Hal ini biasanya diiringi oleh perubahan-perubahan somatik, fisiologik,
autonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku yang spesifik. (Kusningsih dkk,
1994).
Kecemasan menurut Syamsulhadi (1996) adalah perasaan cemas yang
commit to user
yang disertai satu atau lebih perasaan-perasaan di tubuh misalnya perasaan kosong
di ulu hati, tertekan dada, jantung berdebar keras, berkeringat banyak, sakit kepala
dan tiba-tiba terasa ingin buang air kecil, rasa tidak bisa istirahat dan keinginan
untuk berpindah-pindah.
Dari pengertian diatas kecemasan merupakan pengalaman emosi yang
tidak menyenangkan dalam kadar bervariasi, mulai perasaan cemas ringan sampai
hebat, berhubungan dengan ancaman bahaya. Keadaan ini biasanya diiringi oleh
perubahan somatik, fisiologik, autonomik, biokimiawi, hormonal dan berilaku
spesifik.
2. Gejala-Gejala Kecemasan
Simtom-simtom somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan
menurut Stern (dalam Trismiati, 2004) adalah muntah-muntah, diare, denyut
jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai tremor
pada otot. Kartono (dalam Trismiati, 2004) menyebutkan bahwa kecemasan
ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah,
sering dalam keadaan excited atau gelisah.
Daradjat (dalam Nugraheni, 2005) mengklasifikasikan gejala kecemasan
sebagai berikut:
a. Gejala fisik (fisiologis)
Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala
fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf. Ciri-cirinya: ujung jari terasa
commit to user
tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak, nafsu makan menghilang,
kepala pusing, nafas sesak.
b. Gejala mental (psikologis)
Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan. Ciri-cirinya: takut, tegang,
bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak berdaya,
rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup, perubahan
emosi, turunya kepercayaan diri, tidak ada motivasi.
Dari uraian diatas gejala kecemasan merupakan hal-hal yang nampak
sebagai tanda-tanda orang yang mengalami kecemasan baik dari dalam maupun
dari luar, baik gejala fisik maupun gejala psikis.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Ancok (dalam Nugraheni, 2005), kecemasan timbul karena
adanya pikiran yang keliru tentang suatu hal dan bereaksi yang berlebihan
terhadap hal-hal tersebut. Kecemasan muncul karena terdapat beberapa situasi
yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Ancaman ini berasal dari
adanya konflik, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk
melaksanakan sesuatu diluar kemampuanya.
Page (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut:
a. Faktor fisik,
b. Trauma dan konflik, pengalaman emosional atau konflik mental yang
terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala
commit to user
c. Conditioning, emosi-emosi, impuls-impuls yang dialami dalam suatu
kondisi tertentu dapat menjadi kuat apabila berhubungan dengan
kejadian-kejadian yang hampir sama yang pernah dialami individu sebelumnya,
d. Konstitusi, hereditas, lingkungan awal dan latihan adalah faktor-faktor
utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu,
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan menurut
Roan (dalam Sudiyanto, 2005) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor
psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi
kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama
ketidakpastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.
Sebab-sebab munculnya kecemasan, menurut Freud (dalam Trismiati,
2004) mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang
memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman
terhadap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan
tuntutan-tuntutan dari superego. Ego disebut sebagai eksekutif kepribadian,
karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi
lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting
manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan
fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id,
superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini sering menimbulkan
tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan
Faktor penyebab timbulnya kecemasan menurut Carnegie (2007) dapat
commit to user a. Faktor Kognitif.
Kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi
yang menakutkan dan pernah menimbulkan situasi yang menimbulkan
rasa sakit, maka apabila ia dihadapkan pada peristiwa yang sama ia akan
merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya.
b. Faktor Lingkungan.
Salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari
hubungan-hubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi, adat-istiadat, dan
nilai-nilai dalam masyarakat. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan
sebagai akibat dari perubahan sosial yang amat cepat, dimana tanpa
persiapan yang cukup, seseorang tiba-tiba saja sudah dilanda perubahan
dan terbenam dalam situasi-situasi baru yang terus menerus berubah,
dimana perubahan ini merupakan peristiwa yang mengenai seluruh
lingkungan kehidupan, sehingga seseorang akan sulit membebaskan
dirinya dari pengalaman yang mencemaskan ini.
c. Faktor Proses Belajar
Kecemasan timbul sebagai akibat dari proses belajar. Manusia
mempelajari respon terhadap stimulus yang memperingatkan adanya
peristiwa berbahaya dan menyakitkan yang akan segera terjadi.
Speilberger (dalam Purboningsih, 2004) mengemukakan bahwa
kecemasan dasar terbentuk dari pengalaman-pengalama di masa lalu dan dari hasil
pemikiran individu tentang kecemasan tersebut. Setiap orang akan memiliki
commit to user
bagaimana kecenderungan persepsinya mengenai situasi disekitarnya, apakah
situasi di sekitar dipersepsi sebagai situasi mengancazm atau tidak.
Pengalaman-pengalaman tersebut berisi stimulus-stimulus yang dapat mengancam bagi dirinya
dan menempatkan individu pada kecenderungan untuk bereaksi cemas, sehingga
setiap orang memiliki rentang kecemasan yang berbeda-beda.
Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan beberapa hal yang
mempengaruhinya, baik dari dalam maupun dari luar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan membentuk perilaku terhadap tingkat kecemasan yang
berbdea-beda
4. Aspek-Aspek Kecemasan
Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku)
dan biologis (somatik dan neurofisiologik). Gejala somatik sangat bervariasi pada
masing-masing individu, tetapi pada dasarnya merupakan manifestasi keterlibatan
saraf otonom dan sistem viseral, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal,
sistem respiratorik, sistem muskuloskeletal. Selain komponen motorik dan visera,
kecemasan juga menimbulkan gangguan pada proses pikir, konsentrasi belajar,
persepsi sehingga dapat menimbulkan hendaya dalam kehidupan seseorang yang
masih belajar (Kusningsih, 1994).
Greenberger & Padesky (dalam Carnegie, 2007) menyatakan bahwa
kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang
commit to user a. Aspek kognitif
1) Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada
dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga
gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau
ancaman yang menurutnya akan terjadi,
2) Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah:
a) Ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan
terluka secara fisik,
b) Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia
akan menjadi gila atau hilang ingatan,
c) Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan
ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.
3) Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang,
4) Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu
mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan
memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh di
lingkungan yang kacau dan tidak sabil bisa membuat seseorang
menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain selalu berbahaya,
5) Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering
kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering
dimulai dengan keragu-raguan dan berakhir dengan hal yang kacau.
commit to user
Pemikiran-pemikiran ini semua adalah masa depan dan semuanya
memprediksi hasil yang buruk,
b. Aspek kepanikan
Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik
terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa
panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam
diri seseorang yang menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan saat
gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat
dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta
merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik
serta emosional yang lebih intens yang terjadi bisa menimbulkan
dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya.
Menurut Haber dan Runyon (dalam Halim dan Atmoko, 2005) kecemasan
termanifestasi melalui 4 dimensi, yaitu kogitif, motorik, somatis dan afektif.
Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan atas hal-hal dasar yang
membentuk perilaku kecemasan, aspek-aspek yang membentuk kecemasan
beberapa diantaranya adalah aspek fisik dan psikis.
5. Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Menurut Setyonegoro dan Iskandar (dalam Sudiyanto, 2005) kecemasan
dapat bersifat positif dan negatif.
a. Kecemasan bersifat positif terjadi apabila disalurkan secara sehat melalui
mekanisme koping (coping mechanism), yaitu usaha mengatasi perasaan
commit to user
hal-hal konstruktif, misalnya giat belajar agar lulus ujian, latihan intensif
agar menang pertandingan dan sebagainya.
b. Kecemasan yang bersifat negatif terjadi apabila perasaan cemas yang ada
sampai menganggu keseimbangan emosi, konsentrasi, dan aktifitas harian
yang bersangkutan. Dalam hal ini kecemasan dapat berderajat ringan,
sedang, sampai berat yang selanjutnya disebut gangguan kecemasan.
Townsend (dalam Sudiyanto, 2005) mengemukakan ada empat tingkat
kecemasan yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan
panik.
a. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang
muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi
meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat
dan tingkah laku sesuai situasi,
b. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan
sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu
kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan
meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi,
commit to user
kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada
rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak
sabar, mudah lupa, marah dan menangis,
c. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang
terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang
tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah
mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering
kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar
secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung,
disorientasi,
d. Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena
mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang
terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi,
pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap
perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan
delusi.
Menurut Atwater (dalam Halim dan atmoko, 2005), bahwa kecemasan
commit to user
responsif terhadap situasi, tetapi pada tingkat tinggi akan menyita kesadaran dan
menganggu kemampuannya.
Dari uraian klasifikasi tingkat kecemasan diatas kecemasan bisa bersifat
positif ataupun negatif yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang,
dan tinggi, dimana di setiap tingkatan mengidentifikasikan perilaku yang
berbeda-beda.
6. Manajemen Kecemasan
a. Manajemen kecemasan dengan penggunaan obat
Papp melakukan percobaan pengontrolan terhadap placebo yang
mengalami gangguan kecemasan meninggalkan beberapa keraguan, bahwa
anti-depressan yang paling baru efektif untuk gangguan kecemasan. Karena
bekerja lebih cepat dan memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
obat-obatan tricyclic dan inhibitors monoamine oxidase, sebagai permulaan,
penulisan resep obat kepada pasien-pasien kecemasan harus terus
dilanjutkan. Akan tetapi, kebanyakan ahli klinis percaya bahwa hasil terbaik
untuk gangguan kecemasan berasal dari kombinasi obat-obatan dengan satu
atau lebih tipe psikoterapi.
b. Manajemen kecemasan melalui psikoterapi
Salah satu metode yang efektif untuk mengatasi gangguan
kecemasan adalah pemberian psikoterapi untuk kognitif dan tingkah laku.
Walaupun terdapat banyak klaim yang menyatakan bahwa sulit untuk
mengganti perawatan psikologis dengan percobaan penyelidikan, ilmuwan
commit to user
yang tepat termasuk randomisasi dan penilaian buta untuk terapi tingkah
laku-kognitif. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Lawrence
welkowitz, hasilnya telah didokumentasikan bahwa terapi tingkah
laku-kognitif itu efektif untuk mayoritas gangguan kecemasan (Kaplan dan
Sadock, 1994).
Psikoterapi yang paling efektif untuk mengatasi kecemasan adalah
terapi kognitif perilaku (Cognitive Behavior Therapy), yaitu
mengembangkan cara berpikir yang lebih adaptif. Asumsi dasar Terapi
Kognitif Perilaku (TKP) adalah adanya hubungan timbal balik antara proses
berpikir (apa yang dipikirkan) dengan afeksi (pengalaman emosional), fisik
dan perilaku. TKP menekankan pentingnya perubahan kognitif dan perilaku
untuk mengurangi simtom dan meningkatkan fungsi afek seseorang. TKP
tidak hanya memperbaiki kognitif, namun juga mengubah perilaku, karena
perubahan perilaku dapat berpengaruh kuat pada pola pikir. Tujuan TKP
adalah memperbaiki pikiran yang salah, dimana pikiran tersebut sering
berubah dan hal tersebut akan berpengaruh pada suasana hati, fisik dan
perilaku. Proses tersebut berpengaruh terhadap pembelajaran untuk
mengevaluasi pemikiran serta mengubah seseorang menjadi rasional dan
adaptif dengan cara mengubah pola pikir yang berpengaruh pada perasaan
dan perilakunya. Stallard berpendapat bahwa TKP menghubungkan antara
apa yang dipikirka, apa yang dirasakan, dan apa yang akan dilakukan
(Mawandha dan Ekowarni, 2009). Hal tersebut dapat digambarkan pada
commit to user Gambar 1.
Diagram Kognitif Perilaku (Mawandha dan Ekowarni, 2009)
7. Respon Kecemasan
Menurut Carnegie (2007) ada 2 respon kecemasan yaitu respon fisiologis
dan respon psikologis terhadap kecemasan :
a. Respon fisiologis terhadap kecemasan
1) Kardio vaskuler
Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi
meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain,
2) Respirasi
Napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik,
3) Kulit
perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh
tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat,
gatal-gatal,
Pemikiran
Perasaan tidak menyenangkan Apa yang akan
dilakukan
commit to user 4) Gastro intestinal
Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium,
nausea, diare,
5) Neuromuskuler
Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia,
tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.
b. Respon psikologis terhadap kecemasan
1) Perilaku
Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik
diri, menghindar,
2) Kognitif
Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir,
bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang
berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut
kecelakaan, takut mati dan lain-lain,
3) Afektif
Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat
gelisah dan lain-lain.
Blackburn dan Davidson (dalam Dwita dan Natalia, 2002) membuat
analisis fungsional gangguan kecemasan yang menjelaskan reaksi terhadap
commit to user Tabel 1.
Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan dari Blackburn dan Davidson
Simtom-simtom psikologis Keterangan
Suasana hati Kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang
Motivasi Khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,
membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, tidak berdaya
Perilaku Gelisah, gugup, kewaspadaan berlebihan
Gejala biologis Gerakan otomatis meningkat: berkeringat, gemetar,
pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering
B. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar bahasa latin “movere” yang
berarti “menggerakkan, bergerak”. Kemudian awalan “e-“ untuk memberi arti
“bergerak menjauh”. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi dalam makna paling harfiah
menurut Oxford, English Dictionary yang mendefinisikan sebagai setiap kegiatan
atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dan setiap keadaan mental yang hebat
atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran
khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan
untuk bertindak (Goleman, 2007).
Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai “gerakan” baik
secara metafora maupun harfiah untuk mengeluarkan perasaan. Sedangkan dalam
bahasa latin emosi dapat dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya
“jiwa yang menggerakkan kita” (Cooper dan Sowaf, 2002). Selanjutnya menurut
commit to user
subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan
dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Goleman dan Steiner (dalam Suryanti dkk, 2002), mendefinisikan emosi
sebagai kekuatan pribadi (personal power) yang memungkinkan manusia untuk
berpikir secara keseluruhan, mampu mengenali emosi diri sendiri dan orang lain
serta tahu bagaimana mengekspresikannya secara tepat.
Menurut Albin (dalam Fauziah dan Hery, 2006), emosi adalah perasaan
yang kita alami. Kemampuan untuk memikirkan emosi kita juga membantu
meningkatkan kemampuan untuk menguasainya. Mengetahui latar belakang
mengapa terjadi emosi hingga pada cara untuk menanggapi emosi tersebut.
Emosi-emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku
baru.
Albin (dalam Rostiana, 1997) mengartikan emosi sebagai perasaan yang
kita alami, misalnya: rasa senang, sedih, marah, cemas, cinta dan sebagainya.
Goleman (2007) mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, yaitu:
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah, jengkel, kesal hati, terganggu,
rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling
hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis,
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri sendiri,
kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat,
c. Rasa takut : cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
commit to user
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga,
kenikmatan inderawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi,
kegirangan luar biasa, senang, senang sekali dan, batas ujungnya manja,
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,
bakti, hormat, kasmaran, kasih,
f. Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana,
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah,
h. Malu rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan hati hancur lebur.
Menurut Ahmadi dan Umar (1982), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi emosi, yaitu:
a. Keadaan jasmani, misalnya badan kita dalam keadaan sakit, perasaan kita
lebih mudah tersinggung daripada kalau badan kita dalam keadaan sehat dan
segar,
b. Pembawaan, ada orang yang mempunyai pembawaan berperasaan halus,
sebaliknya ada pula yang kebal perasaanya,
c. Perasaan seseorang berkembang sejak ia mengalami sesuatu, karena itu mudah
dimengerti bahwa keadaan yang pernah mempengaruhinya dapat memberikan
corak dalam perkembangan perasaanya. Selain itu ada faktor lain misalnya
keadaan keluarga, suasana rumah tangga, lingkungan sosial, pendidikan,
jabatan, pergaulan sehari-hari, cita-cita hidup dan sebagainya.
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emosi adalah perasaan
commit to user
diri individu yang mendorong individu tersebut untuk meresepon atau bertingkah
laku karena dipengaruhi oleh suatu stimulus.
Akar kecerdasan emosional berawal dari bidang psikologi ketika pada
tahun 1928, E. L Thorndike mengidentifikasi aspek kecerdasan emosional yang
disebutnya dengan kecerdasan sosial (sosial intelligence). Pada tahun 1952
Weschler meneruskan penelitian yang dilakukan oleh E. L Thorndike dan
menyatakan bahwa kemampuan non-kognitif, yang disebutnya sebagai hal yang
bersifat nonintelektual, juga merupakan hal yang esensial dalam memprediksi
kemampuan individu untuk sukses dalam organisasi. Penelitian selanjutnya
tentang peran emosi dalam kesuksesan individu pada tahun 1983 ketika Gardner
menyebutkan faktor yang disebutnya sebagai intelegensi ganda (multiple
intelligence) sebagai kunci sukses individu dalam organisasi. Gardner berargumen
bahwa kemampuan intrapribadi (intrapersonal) dan antarpribadi (interpersonal)
juga diklasifikasikan sebagai kecerdasan yang sama pentingnya dalam intelegensi
yang diukur dengan tes IQ. Secara khusus penelitian tentang faktor non-kognitif
dalam kesuksesan individu dalam dunia kerja baru berkembang sejak awal
1990-an setelah Bar-On mampu mengemb1990-angk1990-an tes baku untuk mengukur kemampu1990-an
non kognitif individu. Kemudian tahun 1990, Salovey dan Mayer menerbitkan
artikel dan menggunakan kata ”kecerdasan emosional” yang kemudian dipakai
sebagai istilah yang baku dalam bidang psikologi dan perilaku. (Susilawati, 2002)
Kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh Jack
Mayer dari Universitas New Hampshire dan Peter Salovey dari Universitas Yale
commit to user
menetapkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara
mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein dan
Book, 2002).
Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya
dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh
yang manusiawi. Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari. Sementara itu Steiner (dalam Riani dan Farida, 2006)
memberikan pengertian bahwa kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan
untuk mengerti emosi diri sendiri dan orang lain serta mengetahui bagaimana
emosi diri sendiri terekspresikan untuk peningkatan maksimal secara etis sebagai
kekuatan pribadi.
Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
hubungan dengan orang lain.
Wang dan Ahmed (dalam Riani dan Farida, 2006) menyatakan bahwa
untuk mengatur kondisi emosi manusia dibutuhkan kecerdasan emosional.
commit to user
emosi sebagai himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilah-milahnya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan. Sedangkan kecerdasan emosi menurut Mayer (dalam Goleman,
2007) adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan
orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan
tindakan.
Dari pengertian diatas kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk
membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi
dan hasrat orang lain, yang merupakan kunci pengetahuan diri dan akan menuntun
pada tingkah laku yang tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Tiga unsur penting kecerdasan emosional
terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial
(menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah
tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Solovey dan Meyer (dalam Goleman, 2007) ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang antara lain :
a. Fisik
Secara fisik menurut Le Doux bagian yang paling menentukan atau
berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi
syaraf emosinya atau bagian otaknya. Bagian otak yang berpikir adalah
commit to user 1. Korteks.
Secara harfiah berarti tudung berpikir otak yang membuat seseorang
berada di puncak tangga evolusi. Memahami korteks dan perkembangan
membantu individu menghayati mengapa sebagian individu sangat cerdas
sedangkan yang lain sulit belajar. Korteks berperan penting dalam
memahami kecerdasan emosi, korteks berperan penting dalam memahami
sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa seseorang mengalami
perasaan tertentu, selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Korteks khususnya lobus prefrontalis dapat bertindak sebagai saklar
peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat
sesuatu.
2. Sistem Limbik.
Bagian ini sering disebut sebagai bagian emosi yang letaknya jauh dalam
hemisfer otak besar terutama bertanggung jawab atas peraturan emosi dan
impuls. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya
proses pembelajaran emosi, selain itu ada amigdala yang dipandang
sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
b. Psikis
Faktor psikis kecerdasan emosi berupa pengalaman, perasaan, kemampuan
berfikir dan motivasi. Kecerdasan emosi selalu berpengaruh pada kepribadian
individu dan dapat diperkuat dalam diri individu baik dalam lingkungan keluarga
commit to user 1. Lingkungan Keluarga.
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Disini peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Orang tua adalah
subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian
diinternalisasi akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian yang sangat
menguntungkan bagi anak. Orang tua yang mempunyai kecerdasan emosi
yang tinggi akan sangat menguntungkan bagi anak, orangtua yang
demikian dapat menyesuaikan dan mengerti perasaan anak yang baik.
Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak
kelak di kemudian hari. Sebagai contoh : kebiasaan dan mendapatkan
disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian dan
kehangatan sikap dan sebagainya. Anak yang secara emosi cakap akan
mempunyai pergaulan yang lebih baik, lebih hangat, dan mempunyai
sedikit kontra dengan orang lain, mempunyai kadar stres yang rendah, dan
tidak mempunyai banyak masalah.
2. Lingkungan Non-keluarga.
Hal ini berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan
mental anak. Pembelajaran ini ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak
misalnya dengan bermain peran sebagai orang lain di luar dirinya dengan
emosi yang menyertai, dengan anak akan belajar mengerti keadaan orang
lain. Selain itu juga dapat meningkatkan sikap asertivitas, empati, dan
commit to user
Dari uraian faktor diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan beberapa
hal yang mempengaruhinya, baik faktor fisik maupun psikis. Faktor-faktor
tersebut membentuk perilaku yang timbul akibat kecerdasan emosi yang
berbdea-beda.
3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Menurut Bar-On (dalam Stein dan Book, 2002) kecerdasan emosi
merupakan sekumpulan kecakapan dan sikap yang jelas perbedaanya namun
saling tumpang tindih. Kumpulan tersebut dikelompokkan ke dalam lima ranah,
yaitu:
a. Intra pribadi
Terkait dengan kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri
sendiri yaitu melingkupi:
1) Kesadaran diri
Kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa individu
merasakanya seperti itu dan pengaruh individu tersebut terhadap orang
lain,
2) Sikap asertif
Kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan individu,
membela diri dan mempertahankan pendapat,
3) Kemandirian
Kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan
commit to user 4) Aktualisasi diri
Kemampuan mewujudkan potensi yang individu miliki dan merasa
senang dengan prestasi yang di raih di tempat kerja maupun dalam
kehidupan pribadi,
b. Antar pribadi
Ranah antar pribadi berkaitan dengan ketrampilan bergaul yang dimiliki
individu yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan bergaul baik dengan
orang lain. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu:
1) Empati
Kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain,
kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain,
2) Tanggung jawab
Kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat bekerja
sama dan bermanfaat bagi kelompok masyarakatnya,
3) Hubungan antar pribadi
Kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang
saling menguntungkan, dan ditandai oleh saling memberi dan menerima
serta rasa kedekatan emosional,
c. Penyesuaian diri
Kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis, dan untuk memecahkan
commit to user 1) Uji realitas
Kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataanya, bukan
seperti yang individu inginkan atau takuti,
2) Sikap fleksibel
Kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan
individu dengan keadaan yang berubah-ubah,
3) Pemecahan masalah
Kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak
untuk mencari dan menerapkan permasalahan yang jitu dan tepat,
d. Pengendalian stres
Ranah pengendalian stres berkaitan dengan kemampuan individu untuk
menghadapi stress dan mengendalikan impuls. Wilayah ini dibagi menjadi
dua skala, yaitu:
1) Ketahanan menanggung stres
Kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi, dan secara
konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar
menghadapi konflik emosi,
2) Pengendalian impuls
Kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak,
e. Suasana hati
Ranah suasana hati memiliki dua skala, yaitu:
1) Optimisme
Kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis,
commit to user 2) Kebahagiaan
Kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan
orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan
setiap kegiatan.
Goleman (2007) mengemukakan aspek-aspek kecerdasan emosional
sebagai berikut:
a. Mengenali emosi sendiri
Kemampuan individu untuk mengenali perasaan sesuai dengan apa yang
terjadi, mampu memantau perasaan dari waktu ke waktu dan merasa
selaras terhadap apa yang dirasakan,
b. Mengelola emosi
Kemampuan untuk menangani perasaan sehingga perasaan dapat diungkap
dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari
kemarahan yang menjadi-jadi,
c. Memotivasi diri sendiri
Kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan,
menunda kepuasan dan merenggangkan dorongan hati, mampu berada
dalam tahap flow,
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengetahui perasaan orang lain (kesadaran empatik),
commit to user
e. Membina hubungan
Kemampuan mengelola emosi orang lain dan berinteraksi secara mulus
dengan orang lain.
Menurut Mayer dan Salovey (2000), kecerdasan emosional dibagi menjadi
empat cabang, yaitu: (1) penerimaan emosi, (2) penggunaan emosi untuk
memfasilitasi pemikiran/gagasan, (3) pemahaman emosi dan (4) pengaturan emosi
di dalam mempertinggi perkembangan pribadi dan hubungan sosial. Bentuk
keempat cabang tersebut dengan mengidentifikasi emosi dalam diri dan orang lain
sebagai sesuatu yang sangat fundamental dan memanage emosi; kemampuan
untuk meregulasi emosi dalam diri dan orang lain. Cabang-cabang tersebut lebih
jelasnya, yaitu:
a. Kemampuan menerima emosi
1) Kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi secara fisik dan
psikologis,
2) Kemampuan untuk mengidentifikasi emosi orang lain,
3) Kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara akurat untuk
mengekspresikan kebutuhan mereka,
4) Kemampuan untuk mendeskriminasikan kejujuran dan ketidakjujuran
perasaan,
b. Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi pemikiran
1) Kemampuan mengarahkan pemikiran prioritas pada bagian dasar
commit to user
2) Kemampuan menggeneralisasikan emosi untuk membenarkan dan
memori,
3) Kemampuan memberikan pemilihan mood yang baik untuk
mengapresiasikan berbagai sudut pandang,
4) Kemampuan menggunakan emosi untuk problem solving dan berfikir
kreatif,
c. Kemampuan untuk memahami emosi
1) Kemampuan memahami hubungan macam-macam emosi,
2) Kemampuan menerima konsekuensi emosi,
3) Kemampuan memahami perasaan kompleks, dan status yang
berlawanan,
4) Kemampuan untuk memahami perpindahan emosi,
d. Kemampuan untuk mengatur emosi
1) Kemampuan untuk membuka perasaan, yakni antara senang dan tidak
senang,
2) Kemampuan untuk memonitor dan merefleksikan emosi,
3) Kemampauan menggunakan emosi,
4) Kemampuan mengatur emosi seseorang dan mengatur emosi orang
lain,
Bradberrry dan Graves (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat
komponen yang secara bersama-sama membentuk kecerdasan emosi, yaitu
kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan
commit to user
ini membentuk kompetensi seseorang dalam menyadari keberadaan emosi serta
mengelola perilaku kecenderungan dirinya. Sedangkan kesadaran sosial dan
manajemen hubungan sosial adalah lebih mengenai bagaimana seseorang
berinteraksi dengan orang lain dalam memahami perilaku dan alasan orang lain,
keduanya akan membentuk kompetensi seseorang dalam memahami perilaku dan
alasan orang lain serta kemampuanya dalam mengelola konflik antarpersonal.
Jack Block menemukan bahwa tanda-tanda kecerdasan emosi adalah
keyakinan diri, optimisme, dan keseimbangan sosial. Kecerdasan emosi memiliki
kontrol diri yang lebih unggul dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.
Mereka mengatur dan mengekspresikan emosi dengan wajar, bersikap terbuka
tapi simpatik dan peduli dalam suatu hubungan. Kehidupan emosional menjadi
kaya tetapi seimbang; nyaman terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan
sosial. Dapat mengatur stress tidak ada perasaan khawatir yang berlebihan,
cenderung mudah berteman, spontan, suka bermain, dan terbuka dengan
pengalaman sensual (Kaplan dan Sadock, 1994).
Dari uraian aspek-aspek diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan atas
hal-hal dasar yang membentuknya, aspek-aspek yang membentuk kecerdasan
emosi beberapa diantaranya adalah aspek dari dalam maupun dari luar.
C. Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata
belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh