commit to user
i
KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG
DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008,
TANGGAL 7 JANUARI 2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140
FAKULTAS HUKUM
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG
DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008,
TANGGAL 7 JANUARI 2009)
Oleh
DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 22 Maret 2011
Dosen Pembimbing,
Pembimbing I
Bambang Santoso, S.H., M.Hum
NIP. 1962 0209 198903 1 001
Pembimbing II
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
commit to user
iii
PENGESAHAN Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG
DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008,
TANGGAL 7 JANUARI 2009)
Oleh
DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 12 April 2011
DEWAN PENGUJI
(1) Kristiyadi, S.H., M.Hum : ………
Ketua
(2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : ……….
Sekretaris
(3) Bambang Santoso, S.H., M.Hum : ………..
Anggota
Mengetahui
Dekan
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Diah Triani Andari
NIM : E1107140
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 22 Maret 2011
Yang membuat pernyataan
Diah Triani Andari
commit to user
v MOTTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
~Q.S. Ar-Ra’d: 11~
“The road to success is not to be run upon by seven-leagued boots…
Step by step, little by little, bit by bit
that is the way to wealth, that is the way to wisdom, that is the way to glory.”
~Sir Thomas Fowell Buxton~
“Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan
yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu
cara yang berbeda”
~Dale Carnegie~
“Waktu terbaik untuk berbahagia adalah sekarang…
Tempat terbaik untuk berbahagia adalah di sini….
Dan cara terbaik untuk berbahagia adalah membahagiakan orang lain”
~Mario teguh~
“When life give you a hundred reasons to cry,
show that life that you have a thousand reasons to smile J”
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:
♥
Dzat yang Maha Agung,
ﷲ
SWT, penguasa alam semesta &
pemilik hidupku
♥
Ayahku Slamet Sugiarto & Ibuku Healty Andari S.Pd
atas cinta yang tak pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang kalian
ciptakan untuk ku… kasih sayang dan juga pengorbanan yang telah diberikan
sampai saat ini…
♥
Kakak-kakak dan Keponakan-keponakanku tercinta yang telah meramaikan
hariku dan menyayangi dengan segenap hati:
Mas As’Nain Ika Hadmawan, S.E & Mbak Rulyanthi Diah Krisanti, S.S
serta Dik Khansa Anindya Runansya
Mas Son Rokhaniawan Perdata, S.T & Mbak Diah Dwi Andari, S.Pd
serta Dik Kaylynn Syafrina Putri Sondi
♥
My soulmate someday, someone, somewhere, somehow…
J
♥ Untuk Keluarga Besar Soerjadi…
Nenek ku tercinta, Om-om dan Tante-tante, serta Sepupu-sepupu tersayang…
Dik Wulan, Dik Riris, Dik Henny, Dik Lia,
commit to user
vii
♥
Sahabat-sahabatku, seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa
yang membosankan bersama kalian,
kenangan-kenangan bersama yang tak mungkin terlupakan
Rosy, Neri, Bellinda, & Kiki
Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya
"Persahabatan bagaikan music,
Alunan nadanya bisa berhenti sekarang dan kemudian,
akan tetapi rangkaian nada yang telah tercipta tetap teruntai selamanya"
♥Keluarga Besar “Griya Dicma” disinilah k
ita bersama menjadi suatu
keluarga,,,
Mbak Jojo, Mbak Uwie, Mbak Yola, Mbak Ida, Nindy, Hima, Mbak Lirih,
Mbak Fafa, Mbak Rani, Mbak Fetri, Mbak Dian, Uci, Nina, Ester, Wilis,
Mbak Nita, Mbak Dewi, Mbak Maya…
serta Mas Kris dan Mbak Kris
Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya… begitu menyenangkan bisa
mengenal kalian kakak-kakak dan adik-adik ku.
♥ Te
man-teman ku seperjuangan angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS yang
tak bisa aku sebutkan satu persatu, semoga kita semua menjadi orang yang
sukses dan selalu menjaga tali persaudaraan kita..
Buktikan kepada dunia kita mampu menjadi orang yang sukses dan berguna
bagi nusa dan bangsa.
commit to user
viii ABSTRAK
DIAH TRIANI ANDARI, E1107140. 2011. KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH
PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA
PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret .
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang jika dianalisis berdasarkan ketetuan Pasal 244 KUHAP dan untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Ditinjau dari sifatnya maka penelitian ini bersifat penelitian preskriptif. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach). Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan atau teknik dokumentasi, dengan menggunakan buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen seperti berkas perkara, dan sebagainya. Teknik analisis bahan hukum dengan logika deduktif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan Terdakwa TJHANG SE NGO alias ANGO memang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum kasasi atas putusan bebas dapat diajukan oleh penuntut umum dengan pertimbangan bahwa putusan tersebut merupakan putusan bebas tidak murni dan terdapat kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, terdapat kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan/atau adanya tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Dalam memori kasasi harus diuraikan dimana terdapat/terletak kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, bagaimana bentuk kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan bagaimana bentuk tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Sehingga dalam memori kasasi Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan ketiga hal tersebut yaitu, a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
commit to user
ix ABSTRACT
DIAH TRIANI ANDARI, E1107140. 2011. KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH
PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA
PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009). Faculty of Law Sebelas Maret University.
This research was aimed to know clearly about filing cassation by Public Prosecutors toward acquittals that was fell down by Sanggau District Court in human trafficking case when it was analyzed based on the provision of Article 244 Criminal Procedure Code, and to know legal reasoning the Public Prosecutors as the basic of filing cassation toward acquittals that was fell down by Sanggau District Court in human trafficking case.
This research used normative legal research. Based on the characteristic, this research was categorized as prescriptive research. This research also used case approach. A legal material that is used is primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. To collect the data, this research used literature study or documentation technique by using books, legislation, documentation, such as file cases, and others. Whereas to analyzed the legal materials used deductive logic.
The research finding got that the filing cassation by Public Prosecutors toward acquittals that was fell down by Sanggau district court in human trafficking case that was faced TJHANG SE NGO or ANGO as defendant was not suitable with the provision of Article 244 Criminal Procedure Code. However, in order to realize certainty and justice cassation of acquittals could be proposed by public prosecutors using consideration that the decision was an acquittals which are not pure and there is mistake/ error in applying the law court, there are mistakes/ errors or omissions court in how to adjudicate and/ or any court action that have exceeded the authority. In cassation have to be described where the location of mistakes/ errors court was in applying the law, and how the form of action court that have exceeded the limit its authority. So, in cassation, Prosecutors had to prove three things, such as, a) whether a legal rule is applied or not applied properly, b) whether it is correct that the way to adjudicate is not implemented suitable with the law, c) whether it is correct that the court have exceeded the limit of the authority.
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
serta diiringi rasa syukur Alhamdullilah penulis panjatkan, penulisan hukum
(Skripsi) yang berjudul ” KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT
UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU
DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM
MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)” dapat penulis
selesaikan.
Penulisan hukum ini membahas mengenai mengenai pengajuan Kasasi
oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri Sanggau dalam perkara perdaganagn orang jika dianalisis berdasarkan
ketetuan Pasal 244 KUHAP serta nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar
pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam
perkara perdagangan orang.
Pada saat ini belum banyak penelitian yang mengangkat mengenai kasasi
terhadap putusan bebas. Dalam pelaksanaanya banyak terjadi pro dan kontra atas
kasasi atas putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum yang dianggap
menerobos ketentuan Pasal 244 KUHAP. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak
sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan terutama kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk
commit to user
xi
2. Bapak Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan
hukum ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini.
4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku pembimbing I penulisan
skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku pembimbing II
penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini.
6. Alm. Bapak Gusdan Hanung, S.E., S.H., M.Hum, selaku Pembimbing
Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan nasehat
kepada penulis.
7. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program Non Reguler yang
banyak mengarahkan dan memberi nasehat selama masa perkuliah.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis
sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga
dapat penulis amalkan.
9. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang
berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan
penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini.
10. Seluruh staff tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan,
pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas
bantuannya.
11. Ayahku Slamet Sugiarto & Ibuku Healty Andari, S.Pd terimakasih atas
commit to user
xii
kepercayaan atas segala jalan yang saya pilih dan keputusan yang saya
buat, hanya dengan Ridho kalian saya dapat berada di sini hingga saat ini,
harapan yang kalian ciptakan untukku. Kasih sayang dan juga
pengorbanan yang telah diberikan sampai saat ini.
12. Kakak-kakak dan Keponakan-keponakanku tercinta yang telah
meramaikan hari-hariku, Mas As’Nain Ika Hadmawan, S.E & Mbak
Rulyanthi Diah Krisanti, S.S, serta Khansa Anindya Runansya. Mas Son
Rokhaniawan Perdata, S.T. & Mbak Diah Dwi Andari, S.Pd, serta
Kaylynn Syafrina Putri Sondi. My soulmate someday, someone,
somewhere, somehow.
13. Untuk Keluarga Besar Soerjadi. Nenek ku tercinta, Om-om dan
Tante-tante, serta Sepupu-sepupu tersayang. Dik Wulan, Dik Riris, Dik Heny.
14. Sahabat-sahabatku, seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa
yang membosankan bersama kalian, kenangan-kenangan bersama yang
tak mungkin terlupakan. Rosy, Neri, Bellinda, & Kiki. Semoga kita dapat
menjadi saudara selamanya. “Persahabatan bagaikan musik, Alunan
nadanya bisa berhenti sekarang dan kemudian, akan tetapi rangkaian
nada yang telah tercipta tetap teruntai selamanya.”
15. Keluarga Besar “Griya Dicma” disinilah kita bersama menjadi suatu
keluarga, Mbak Jojo, Mbak Uwie, Mbak Yola, Mbak Ida, Nindy, Hima,
Mbak Lirih, Mbak Fafa, Mbak Rani, Mbak Fetri, Mbak Dian, Uci, Nina,
Ester, Wilis, Mbak Nita, Mbak Dewi, Mbak Maya serta Mas Kris dan
Mbak Kris. Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya. Begitu
menyenangkan bisa mengenal kalian kakak-kakak dan adik-adikSku.
16. Teman-temanku seperjuangan di Fakultas Hukum UNS angkatan 2007
dan yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, semoga kita semua menjadi
orang yang sukses. Teman-teman magang di BPN Karanganyar, Arina,
Tika, dan Windha. Serta teman-teman team Mootcourt Pidana, Mootcourt
Perdata, dan Mootcourt TUN.
17. Teman-teman dan sahabat-sahabatku. Teman semasa SMA yang sampai
commit to user
xiii
Bunder, Mely, Rian, Niar, Nina, Angga, Imam, Ayub, Dinnul, dan
teman-teman yang lain yang tak bisa ku sebutkan satu persatu.
18. Sahabat-sahabatku semasa SMA sampai sekarang Ningsih, Dita, Otong.
Kawan-kawanku Andhis, Rico, Cendy terimakasih untuk semua, Ofan,
Angga, Hutma makasih udah antar jemput aku berangkat dan kembali dari
Magetan ke Solo, Eka, dan Radit. Kalian yang telah memberikan warna
dalam hidupku dan menjadi kisah dalam hidupku. Mengajarkan ku
banyak hal, membuatku mengerti banyak hal bersama kalian saudara ku.
19. Almamaterku, seluruh para penghuni Fakultas Hukum UNS yang
beragam, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman
yang indah dan membuatku sangat bersyukur bisa mengenal kalian
semua.
20. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
membantu tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi Penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 22 Maret 2011
commit to user
F. Sistimatika Skripsi... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 18 2. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi... 26
a. Pengertian Upaya Hukum... 26
b. Upaya Hukum Kasasi... 26
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang... 36
commit to user
xv
b. Pengertian Perdagangan... 38
c. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang... 39
4. Tinjauan Tentang Penuntut Umum... 46
a. Pengertian Penuntut Umum... 46
b. Wewenang Penuntut Umum... 47
B. Kerangka Pemikiran... 35
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 50
A. Hasil Penelitian... 50
B. Pembahasan... 1. Kesesuaian Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang dengan Ketetuan Pasal 244 KUHAP... 2. Nalar Hukum Penuntut Umum sebagai Dasar Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas yang Diajukan oleh Pengadilan Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang... 59 59 72 BAB IV PENUTUP... 79
A. Simpulan... 79
B. Saran... 80
DAFTAR PUSTAKA... 82
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
commit to user
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Fotocopy Putusan Mahkamah Agung mengenai perkara
Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Terdakwa
TJHANG SE NGO alias ANGO Nomor 795
commit to user
xviii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan istilah human trafficking
merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh
masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara
nasional maupun internasional. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi,
informasi, komunikasi dan transportasi maka semakin berkembang pula modus
kejahatannya yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan
bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat
berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang
mematikan.
Masalah perdagangan perempuan dan anak, akhir-akhir ini muncul
menjadi suatu masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional
maupun internasional. Sebenarnya perdagangan manusia bukanlah hal baru,
namun isu demikian beberapa tahun belakangan kembali muncul ke permukaan
dan menjadi perhatian tidak saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi
masalah transnasional. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Linda Gumelar prihatin, karena kasus perdagangan manusia
di Indonesia setiap tahun grafiknya semakin menanjak.
Salah satu modus yang dilakukan pelaku, dengan cara pengiriman tenaga
kerja ke luar negeri. Apalagi jumlah yang paling besar hampir 70% korbannya
adalah perempuan. Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah
perdagangan manusia di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang
melibatkan sebanyak 857 orang pelakunya. Dan para korbannya orang dewasa
1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%). Korban yang diperdagangkan,
dieksploitasi secara seksual maupun kerja paksa. Setiap tahunnya, ada kenaikan
450.000 orang Indonesia yang diperdagangkan dengan modus sebagai tenaga
commit to user
xix
(http://www.kabarbisnis.com/ kasusperdaganganmanusia/ diakses pada tanggal 14
Februari 2011 pukul 19.00 WIB).
Perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak
bahkan bayi sebagai “korban”, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak
sebagai yang “memperdagangkan (trafficker)”. Para germo, majikan atau
pengelola tempat hiburan adalah “pengguna” yang mengeksploitasi korban untuk
keuntungan mereka yang seringkali dilakukan dengan sangat halus sehingga
korban tidak menyadarinya. Termasuk dalam kategori pengguna adalah lelaki
hidung belang atau pedofil yang mengencani perempuan dan anak yang dipaksa
menjadi pelacur, atau penerima donor organ yang berasal dari korban
perdagangan orang. Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan
organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan
dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya
dalam kegiatan perdagangan orang. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan
jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka
memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon
pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang
berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks. Agen atau calo-calo
bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa,
yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan
kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen (Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2005: 8)
Masalah perdagangan orang ini dapat dikatakan seperti fenomena gunung
es, mengingat data yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
Memang banyak yang tidak melapor dikarena malu, dianggap aib dan tidak ingin
memperpanjang kasusnya. Memerangi perdagangan orang tidaklah semudah
membalik telapak tangan, mengingat perdagangan orang memiliki sindikat,
jaringan dan sumber daya yang besar. Selain itu, para pelakunya pun seringkali
memindahkan jalur transportasi yang kurang mendapat pengawasan dan tidak ada
commit to user
xx
Salah satu hal yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah perdagangan orang, terutama
wanita dan anak-anak, adalah salah satu ladang bisnis yang menggiurkan. Uang
yang berputar dalam kegiatan ini mencapai miliaran dolar per tahun. Amerika
Serikat adalah primadona bagi aktivitas perdagangan orang. Setiap tahun ada
sekitar 50 ribu orang yang melintas-batas untuk masuk ke AS. Korban terbesar
perdagangan orang berasal dari Asia, yakni 225 ribu orang dari Asia Tenggara,
115 ribu dari Asia Selatan. Dalam Laporan tentang Perdagangan Manusia (TIP)
2009, Departemen Luar Negeri AS memasukkan setiap negara ke dalam salah
satu tingkat (tier) seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan
Korban Perdagangan Manusia (TVPA) tahun 2000. TVPA memberikan panduan
upaya-upaya untuk memerangi tindak perdagangan manusia.
Negara yang sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA masuk
kategori Tier 1. Negara yang menunjukkan upaya signifikan untuk memenuhi
standar minimum masuk kategori Tier 2. Adapun negara yang sama sekali tidak
memenuhi standar minimum dan tidak menunjukkan upaya yang signifikan
masuk kategori Tier 3. Menurut Laporan tentang Perdagangan Manusia pada
2009, pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum
pembasmian perdagangan manusia. Meskipun begitu, berbagai upaya yang
signifikan telah dilakukan. Pemerintah memperbaiki tindakan penegakan hukum
atas kejahatan perdagangan manusia. Namun pemerintah tidak menunjukkan
kemajuan yang signifikan dalam upaya mengatasi perdagangan buruh yang
dilakukan melalui praktek-praktek rekrutmen eksploitatif oleh PJTKI yang kuat
secara politik. Selain itu, hanya ada sedikit laporan tentang upaya mengadili,
memvonis, dan menghukum para pejabat penegak hukum serta militer Indonesia
yang terlibat dalam perdagangan manusia, meskipun ada laporan tentang korupsi
yang melibatkan perdagangan manusia (http://www.
google.com/Kegentingan-Masalah-Perdagangan-Orang/ diakses tanggal 12 Februari 2011 pukul 22.00
WIB).
Pemerintah terus melanjutkan kerja sama dengan berbagai lembaga
commit to user
xxi
kesadaran akan praktek perdagangan manusia. Kementerian Pemberdayaan
Perempuan, yang bertindak sebagai unsur utama pemerintah dan koordinator
untuk Gugus Tugas Anti Perdagangan Manusia Nasional, menyiapkan konsep
rencana tindakan nasional 2009-2013 mengenai perdagangan manusia.
Beberapa provinsi dan kabupaten membentuk rencana tindakan lokal dan
komite anti-perdagangan manusia. Indonesia, menurut laporan itu, masuk kategori
Tier 2. Menurut data dari IOM, ancaman perdagangan manusia terbesar yang
dihadapi para pria dan wanita Indonesia adalah yang disebabkan oleh kondisi
kerja paksa dan sistem kerja ijon di banyak negara Asia terutama Malaysia,
Singapura, Jepang, dan Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Para wanita dan anak
perempuan Indonesia diperdagangkan ke Malaysia dan Singapura untuk dipaksa
menjadi pelacur, serta ke berbagai pelosok daerah di Indonesia untuk dipaksa
menjadi pelacur dan pekerja paksa.
Kasus trafficking atau perdagangan orang yang banyak terjadi di Indonesia
salah satunya adalah melalui pos lintas batas Entikong Indonesia-Serawak
Malaysia. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Cabang Entikong Anton,
berdasarkan data tindak pidana perdagangan manusia yang berhasil diungkap di
perbatasan entikong Indonesia-Sarawak Malaysia mengalami kecenderungan
menurun bila tahun 2007 sebanyak 35 kasus, maka tahun 2009 menjadi 30 kasus.
Sementara, untuk tahun 2010 delapan kasus tiga diantaranya sudah putus
sedangkan sisanya masih dalam proses. Sedangkan Perkara tindak pidana umum
yang telah ditangani kejaksaan Entikong tahun 2010 sebanyak 30 kasus.
Untuk kasus perdagangan orang atau traffiking seluruhnya telah
diputuskan di Pengadilan Negeri Sanggau dengan hukuman rata-rata tiga tahun
penjara. Namun demikian, secara umum tindak pelanggaran hukum di wilayah
perbatasan terus meningkat. Tahun 2008, sebanyak 60 kasus pidana umum dan
tahun 2009 meningkat menjadi 75 kasus. Terhadap kasus trafficking atau
perdagangan manusia ini, terdapat salah satu kasus yang diputus bebas oleh
Pengadilan Negeri Sanggau. Kasus tersebut kemudian diajukan kasasi oleh
Penuntut Umum. Kasus tersebut adalah yang melibatkan Tjhang Se Ngo alias
commit to user
xxii
pribadi bukan atas nama PJTKI mendatangi rumah saksi korban Djap Bui Cu alias
Bui Cu, saksi korban Li San ku, saksi korban Ernawati Liu alias Erna, saksi
korban Lui Mui Fung alias Mui Fung, saksi korban Cin Chu Tjung, saksi korban
Ku Mi Lie alias Mili, saksi korban Elsa Tjia untuk menawarkan pekerjaan kepada
masing-masing saksi korban sebagai pelayan restoran di Negara Malaysia dengan
gaji RM 300 sampai dengan RM 700 per bulan, kemudian Terdakwa meminta
kepada masing-masing saksi korban untuk biaya penginapan serta biaya makan
sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan untuk pembuatan passport dibuat
oleh masing-masing saksi korban, Akta Kelahiran, KTP, Surat Ijin Orang Tua.
Setelah passport tersebut jadi yaitu passport 48 (passport kunjungan) tidak dapat
digunakan untuk bekerja ke luar negeri, kemudian Terdakwa tanpa melalui PJTKI
bersama dengan para saksi korban berangkat dari Singkawang menuju Entikong
dengan menggunakan kendaraan mini bus.
Terdakwa dalam memberangkatkan para saksi korban tidak mendapatkan
pelatihan, memiliki surat izin lulus kompetensi, surat kesehatan atau psikologi,
asuransi, surat perjanjian persetujuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Secara nyata jelas sekali perbuatan yang dilakukan oleh Tjhang Se Ngo alias
Ango melanggar kentuan pidana, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, akan tetapi putusan Pengadilan Negeri
Sanggau beramar “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (vrijspraak)”.
Sebagai reaksi atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau
tersebut, maka pada tanggal 6 Maret 2008 Penuntut Umum mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Terhadap putusan Pengadilan, pihak-pihak yang tidak puas dapat
melakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa perlawanan,
commit to user
xxiii
kepentingan hukum dan peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di
dalam Bab XVII dan Bab XVIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP. Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni”
yang telah diputuskan oleh judex factie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya
hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Haruslah
dipahami bahwa SK Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR Nomor
III Tahun 2000 bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum adalah merupakan suatu
bentuk sikap yang wajar apabila ada pihak-pihak yang membantah dan
menyatakan tidak puas dengan adanya suatu putusan pidana yang dianggapnya
merugikan. Untuk menyikapi hak hukum bagi pihak-pihak tersebut, peradilan
pidana telah memberikan ruang guna melakukan upaya hukum sebagaimana yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya pada Bab
XVII dan Bab XVIII, yakni berupa upaya hukum banding dan kasasi.
Hal itu berbeda apabila Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi
menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa, dengan amar putusan yang
menyebutkan, ”Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan”.
Bahwa terhadap putusan bebas itu, secara tegas Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) telah menutup upaya hukum kasasi sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 244 (KUHAP). Dalam pasal itu disebutkan, “Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain,
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamh Agung, kecuali
terhadap putusan bebas”.
Larangan untuk melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas
tersebut juga diperjelas lagi dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Bab VI tentang Upaya Hukum Biasa, yang menyatakan,
”Jika Pasal 244 dihubungkan dengan Pasal 67 maka jelaslah bahwa terhadap
putusan bebas, tanpa melihat apakah putusan bebas itu murni atau tidak murni,
commit to user
xxiv
Meskipun demikian, dalam praktiknya dengan tanpa mengindahkan Pasal
244 KUHAP, pihak jaksa penuntut umum (JPU) selalu saja memaksakan
kehendak menggunakan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas dengan dalih
bahwa telah ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerima permohonan
kasasi jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas tersebut. Yurisprudensi
sebagaimana yang dimaksud oleh jaksa penuntut umum adalah merupakan
putusan Mahkamah Agung yang pada saat itu mengacu pada produk eksekutif
yakni berupa Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yang di dalamnya menyebutkan, ”Terhadap putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum,
keadilan, dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini
akan didasarkan pada yurisprudensi”
(http://www.infohukum.com/Kasasi-Terhadap-Putusan-Bebas-Murni/ diakses tanggal 12 Oktober 2010 pukul 14.00
WIB).
Bahwa terhadap keputusan Menkeh tersebut, kemudian Mahkamah Agung
dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan juga
menjelaskan yang pada intinya, dengan mempertimbangkan hak asasi serta
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, sehingga putusan bebas
murni merupakan vekregen recht, oleh karena itu Mahkamah Agung berpendapat
Pasal 244 KUHAP hanya berlaku bagi putusan yang bersifat murni dan bukan
bagi yang bersifat putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle
rechtsvervolging). Terlepas dari itu semua, haruslah dipahami bahwa Surat
Keputusan Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR RI Nomor III
Tahun 2000 bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum, dan dapat dilihat pula pada
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, oleh karenanya menurut asas lex superior derogat legi
inferiori, sangatlah tidak patut apabila jaksa penuntut umum melanggar Pasal 244
commit to user
xxv
Guna diperolehnya kepastian hukum bagi semua pihak serta agar tidak
terjadi contra legem (yakni praktek dan penerapan hukum yang secara
terang-terangan “bertentangan” dengan undang-undang) dalam penegakan hukum,
semestinya Mahkamah Agung bersikap tegas untuk kembali berpegang pada
undang-undang yang dalam hal ini KUHAP dalam menjalankan fungsi Pasal 244
KUHAP. Mahkamah Agung semestinya menerbitkan sebuah peraturan atau
setidak-tidaknya memberikan petunjuk kepada Pengadilan Tinggi selaku voorpost
di wilayah hukumnya, agar tidak memproses upaya hukum “luar biasa” JPU, yaitu
permohonan kasasi atas putusan bebas sebagaimana dimaksud dengan Pasal 191
Ayat (1) KUHAP.
Menurut Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan
istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244
KUHAP pun hanya menggunakan kata “bebas”. KUHAP tidak mengenal putusan
bebas murni atau tidak murni. Rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu
berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah
Agung mengeluarkan putusan Nomor 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus
Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas
vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, Mahkamah Agung menerima
permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertimbangan Mahkamah Agung: “Demi
hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan
pemeriksaan pada tingkat kasasi”. Nanti, Mahkamah Agunglah yang memutuskan
apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.
(http://www.hukumonline.com/kasasiatasvonisbebasyangmenerobosKUHAP/
diakses tanggal 12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB).
Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan
Pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari Mahkamah Agung, melainkan
dari Pemerintah (eksekutif). Mahkamah Agung justru menyambut positif
kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan,
Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk
commit to user
xxvi
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan
lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: “1.
terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; 2. tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan
bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi”. (M.
Yahya Harahap, 2000: 523)
Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu
keluar, Mahkamah Agung menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi
Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi
itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan
ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama
sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap,
suatu putusan dikatakan bebas tidak murni lazim juga disebut pembebasan
terselubung (verkapte vrispraak) apabila suatu putusan bebas didasarkan pada
penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga
kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya.
Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak
menunggu Mahkamah Agung bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah
argumentasi Jaksa Penuntut Umum cukup kuat, tentu saja Mahkamah Agung yang
akan menilai.
Dengan berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa hal-hal
tersebut merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan.
Oleh karena itu penulis menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk penulisan
hukum dengan judul : KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT
commit to user
xxvii
B. Perumusan Masalah
Setiap penulisan ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari
masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang
akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sarana.
Perumusan masalah adalah segala sesuatu yang akan dijadikan sasaran
atau mengenai hal apa yang sebenarnya akan diteliti dalam suatu penelitian.
Perumusan masalah akan memudahkan bagi penulis untuk mengerjakan dan dapat
mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Perumusan masalah dapat juga
dikatakan sebagai inti dari suatu penelitian karena akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan
dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah
yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Apakah pengajuan kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang
sesuai dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP?
2. Bagaimanakah nalar hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan kasasi
terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Sanggau dalam
perkara perdagangan orang?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti.
Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui secara jelas mengenai kesesuian pengajuan Kasasi oleh
Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan ketetuan Pasal
commit to user
xxviii
b. Untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan
kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam
perkara perdagangan orang.
2. Tujuan subjektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terutama
mengenai teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama mengikuti
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
b. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan
penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis
guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar
dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh
terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Mengetahui deskripsi secara jelas pengajuan kasasi oleh penuntut umum
terhadap putusan bebas yang dihadapkan dengan Pasal 244 KUHAP.
b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan sebagai bahan
referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu
pengatahuan.
2. Manfaat praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
mengimplementasikan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya
commit to user
xxix
pengajuan kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri.
E. Metode Penelitian
Suatu penelitian haruslah menggunakan metode yang tepat dan sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai oleh penulis. Sedang dalam penentuan metode
mana yang akan digunakan, penulis harus cermat agar metode yang dipilih
nantinya tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran
yang dapat dipertanggungjawabkan dapat tercapai.
Sebelum menguraikan mengenai metode penelitian, maka terlebih dahulu
akan dikemukakan tentang pengertian metode itu. Kata “metode” berasal dari
bahasa Yunani yaitu “methodos”, yang berarti cara kerja, upaya, tahu jalan suatu
kegiatan pada dasarnya adalah salah satu upaya, dan upaya tersebut bersifat
alamiah dalam mencari kebenaran yang dilakukan dengan mengumpulkan data
sebagai dasar penentuan kebenaran yang dimaksud (Koentjaraningrat, 1993: 22).
Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan
metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989 : 4). Metodologi penelitian dan penelitian ini
meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah,
filosofi, perbandingan struktur, dan komposisi, lingkup dan materi,
konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal formalitas dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi
tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi. Dalam hal ini yang dilakukan
adalah meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
Bahan-commit to user
xxx
bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Peter Mahmud
Marzuki, 2010: 32).
2. Sifat Penelitian
Ditinjau dari sifatnya maka penelitian ini bersifat penelitian preskriptif.
“Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum
dan norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
“Pendakatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah “Pendakatan-pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)”
(Peter Mahmud Marzuki, 2010: 93). Dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kasus (case approach).
4. Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi:
buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif,
maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data
commit to user
xxxi 5. Sumber Bahan Hukum
Yang dimaksud dengan sumber bahan hukum dalam penelitian adalah
subyek dimana data diperoleh. Dalam penelitian ini sumber bahan hukum
yang akan digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber bahan hukum
sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa
dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.
Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6) Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan
Anak.
7) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP).
8) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.
9) Putusan Mahkamah Agung Nomor 795 K/PID.SUS/2008, Tanggal 7
commit to user
xxxii b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil
penelitian yang terkait dengan topik penelitian.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yang merupakan penunjang yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, meliputi : bahan dari internet yang relevan
dengan penelitian ini dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, serta Kamus
Hukum.
6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu
teknik interaktif yang meliputi interview dan observasi berperan serta dan
teknik non interaktif yang meliputi observasi tak berperan serta dan content
analisis dokumen. Untuk memperoleh bahan hukum yang diperlukan dalam
penelitian ini, yang disesuaikan dengan pendekatan normatif dan jenis bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan bahan
hukum yang digunakan penulis adalah dengan studi kepustakaan atau teknik
dokumentasi, yaitu menelaah bahan-bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum
dengan studi pustaka ini menggunakan penelusuran terhadap katalog. Yang
dimaksud dengan katalog yaitu merupakan suatu daftar yang memberikan
informasi mengenai koleksi yang dimiliki dalam suatu perpustakaan.
7. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis bahan hukum dengan
logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip penjelasan
Philiphus M. Hadjon, menjelaskan bahwa metode deduksi sebagaimana
silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi
commit to user
xxxiii
Kemudian diajukan premis minor (penyataan bersifat khusus), dari kedua
premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud
Marzuki, 2010 : 47). Jadi pengelolaan bahan hukum dengan cara deduktif
adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya
menarik kesimpulan dari hal yang sifatnya khusus.
Dalam penelitian ini bahan hukum yang diperoleh dengan melakukan
inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian kepustakaan, peraturan
perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu
menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan data, kemudian data diolah
dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Kemudian tahap
yang terakhir menarik kesimpulan yang telah diolah.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam
sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori
dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan
menguraikan tinjauan tentang putusan, tinjauan tentang upaya
hukum kasasi, tinjauan tentang Tindak Pidana Perdagangan
commit to user
xxxiv
kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka
pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam hal ini penulis membahasa dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya:
1. Untuk mengetahui secara jelas mengenai kesesuian
pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan
bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau
dalam perkara perdagangan orang dengan ketetuan Pasal 244
KUHAP.
2. Untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum Sebagai
dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh
Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan
orang.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang
kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan
atas permasalahan yang diteliti.
commit to user
xxxv BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Putusan
a. Pengertian Putusan
Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-11 KUHAP, “Putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang”.
Sedangkan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang
dikerluarkan oleh Kejaksaan agung RI tahun 1985 adalah hasil kesimpulan
dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya
yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan
putusan merupakan terjemahan dari kata “vonis”, yaitu hasil akhir dari
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan (Lilik Mulyadi, 2006 : 52).
Dalam ketentuan Pasal 182 ayat 6 KUHAP bahwa putusan sedapat
mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang
bulat, kecuali hal ini telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai,
maka ditempuh dengan dua cara yaitu:
1) Putusan diambil dengan suara terbanyak
2) Jika dengan cara ini tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih
adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
b. Jenis-jenis Putusan
Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil
musyawarah yang bertitik tolak pada surat dakwaan dengan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan meliputi apa yang
didakwakan dalam surat terdakwa terbukti, atau tindak pidana yang
kemungkinan-commit to user
xxxvi
kemungkinan di atas, putusan yang dijatuhkan pengadilan mengenai suatu
perkara bisa berbentuk sebagai berikut :
1) Putusan Bebas
Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspaark) atau acquittal.
Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari
tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya
terdakwa ”tidak dipidana”.
Berikut beberapa pengertian putusan bebas (vrijspraak) yang
dikemukakan oleh kalangan doktrina, diantaranya:
Djoko Prakoso mengemukakan, Vrijspraak adalah putusan
hakim yang mengandung pembebasan terdakwa, karena
peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan setelah diadakan
perubahan atau penambahan selama persidangan, bila ada sebagian
atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti (Djoko Prakoso,
1985: 270).
Menurut Soekarno, bahwa Vrijspraak adalah, Salah satu dari
beberapa macam putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari
segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan (Soekarno, 1978: 15).
Harun M. Husein berpendapat sesuai dengan rumusan
pengertian bebas dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP, maka dapat kita
definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah putusan
pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena
menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya (Harun M. Husein, 1992: 108).
Sehubungan dengan putusan bebas ini, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro yang dikutip oleh Harun M.
commit to user
xxxvii
(dakwaan) seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak
terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan
(vrijgesproken)” (Harun M. Husein, 1992: 108).
Dalam praktek peradilan, putusan bebas dibagi menjadi :
a) Putusan bebas Murni (de “ zuivere vrijspraak”)
Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim
mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S.
Soemadipradja. 1981:89 ).
Pandangan Mahkamah Agung, bahwa hanya pembebasan
murnilah yang tidak dapat diajukan dalam pemeriksaan kasasi
(Oemar Seno Adjie, 1985:163).
b) Putusan Bebas Tidak Murni (niet zuivere vrijspraak)
Oleh Prof. Van Bemellen pernah diajukan beberapa putusan
bebas tidak murni, yang mestinya bersifat lepas dari segala
tuntutan hukum. Pembebasan tidak murni pada hakikatnya
merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang
terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur
delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam
perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak
terbukti (Oemar Seno Adjie, 1985:167).
Yurisprudensi konstan dari Mahkamah Agung menyatakan
bahwa tidak bisa diajukan upaya hukum terhadap putusan bebas,
dan masih membuka untuk pemeriksaan dalam tingkat kasasi
terhadap putusan bebas tidak murni. Maka yurisprudensi ini
dijadikan dasar bagi Mahkamah Agung untuk mengadakan
pemeriksaan terhadap putusan bebas tidak murni.
Menurut Oemar Seno Adjie (Oemar Seno Adjie, 1985:164),
putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut
commit to user
xxxviii
a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru
terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan.
b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas
kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya.
Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk
putusan bebas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 191 ayat (1)
yang menjelaskan, apabila pengadilan berpendapat:
(1) Dari hasil pemeriksaan ”di sidang” pengadilan
(2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya ”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan
Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah
putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan:
a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang
secara negatif
Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan
terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh
hakim.
b) Tidak memenuhi asas batas minimun pembuktian
Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya
didukung oleh salah satu alat bukti saja, sedang menurut
ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan
seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah. Dalam ketentuan Pasal 183 sekaligus
terkandung dua asas. Pertama, asas pembuktian menurut
undang-undang secara negatif yang mengajarkan prinsip hukum
pembuktian, di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti
commit to user
xxxix
kesalahan terdakwa. Kedua, Pasal 183 juga mengandung asas
batas minimun pembuktian, yang dianggap cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Sedangkan di dalam KUHP, Buku Kesatu Bab III terdapat
beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal yang
mengahapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa.
a) Pasal 44, apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan
terdakwa ”tidak dapat dipertanggung- jawabkan” kepadanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, gila,
epilepsi, melankolik, dsb.
b) Pasal 45, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang
yang belum cukup umurnya 16 tahun.
c) Pasal 48, orang yang melakukan tindak pidana atau melakukan
perbuatan dalam keadaan ”pengaruh daya paksa” (overmacth)
baik yang bersifat daya paksa batin atau fisik.
d) Pasal 49, orang yang terpaksa melakukan perbuatan pembelaan
karena ada serangan ancaman seketika itu juga baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain atau terhadap
kehormatan kesusilaan.
e) Pasal 50, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana, terdakwa harus
diputus dengan putusan bebas.
Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana dan
yurisprudensi, akhirnya didapat suatu kesimpulan terkait dengan
pengertian dari putusan bebas murni (zuivere vrijspraak) dan
putusan bebas tidak murni (onzuivere vrijspraak), sebagai berikut,
commit to user
xl
bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni.
Kriteria dimaksud, adalah:
a) Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak
murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan
penafsiran atas suatu istilah dalam surat dakwaan, atau apabila
dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui
batas wewenangnya.
b) Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni,
apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu
unsur tindak pidana yang didakwakan.
2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hakim
Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan
hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya
dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum, berdasarkan kriteria:
a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara
sah dan meyakinkan;
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan
karena:
a) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);
b) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa atau overmacht (Pasal
48 KUHP);
c) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP);
d) Adanya ketentuan Undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan
commit to user
xli
Dan dapat dilihat juga hal yang melandasi putusan pelepasan,
terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti
tersebut ”tidak merupakan tindak pidana” tetapi termasuk ruang
lingkup hukum perdata atau hukum adat.
3) Putusan Pemidanaan
Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan
ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan
terhadap terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan
putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian
pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terdakwa, atau dengan
penjelasan lain apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
kesalahan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya sesuai dengan
sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang
ditentukan dalam Psasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi
keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidanya.
4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili
Berdasarkan ketentuan Pasal 147 KUHAP, yang berbunyi:
“Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari
penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya.”
Menurut M. Yahya Harahap (M. Yahya Harahap, 2000: 336) :
Yang pertama dan utama diperiksa adalah apakah perkara yang
dilimpahkan penutut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan