Interview Guide
Kepada Yth.
Bapak/Ibu/Saudara
Di tempat
Dengan hormat, Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
penyelesaian pendidikan pada Program Studi Antopologi Sosial Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sebagai bahan penulisan
skripsi saya melaksanakan penelitian di daerah tempat tinggal Bapak/Ibu/Saudara.
Sehungan dengan itu, kami mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara, untuk
memberikan jawaban kuesioner ini sesuai dengan petunjuk pengisiannya. Perlu
kami sampaikan bahwa hasil penelitian ini hanya untuk kepentingan akademik
dan tidak akan berpengaruh pada status Bapak/Ibu/Saudara sebagai seorang
masyarakat Kabupaten Simalungun.
Mohon bantuan dari Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi kuesioner ini
dengan sejujur-jujurnya, secara objektif, dan apa adanya. Untuk itu saya ucapkan
terima kasih.
Peneliti,
Fritz Octo Saragih
Etnis Simalungun
Responden:
Nama responden: Gender:
Agama: Usia:
Alamat:
Jalan: RT/RW/NAGORI/DUSUN:
Tamatan terakhir: Pekerjaan:
sudah berapa lama di Sei Mangkei?
Pertanyaan:
1. Apakah bapak/ibu bergabung/ikut dalam sebuah ormas? jika ya, apa nama ormas tersebut?
2. Menurut bapak/ibu permasalahan apa yang harus segera ditangani Pemerintah Simalungun? Khususnya daerah tempat tinggal bapak/ibu?
3. Sebagai orang/masyarakat yang tinggal di Simalungun, apa yang bapak/ibu ketahui tentang “Ahap” Simalungun?
4. Jika bapak/ibu adalah Etnis Simalungun, apakah bapak/ibu tahu tentang visi dan misi budaya
Simalungun?
5. Jika bapak/ibu adalah Etnis Simalungun, apa tanggapan bapak/ibu terhadap banyaknya
pendatang yang pastinya meningkatkan persaingan dalam kehidupan?
6. Jika bapak/ibu adalah Etnis Simalungun, bagaimana cara bapak/ibu mempertahankan identitas
sebagai orang Simalungun?
7. Jika bapak/ibu adalah Etnis Simalungun, apakah bapak/ibu setuju jika dipimpin oleh seseorang
yang bukan Etnis Simalungun? Beri alasan?
8. PERNYATAAN: “Orang Simalungun memiliki sifat yang tertutup, sehingga tidak suka berbaur dengan masyarakat Etnis lain”. Apakah bapak/ibu setuju dengan pernyataan tersebut? Beri alasan?
9. PERNYATAAN: “Orang Simalungun memiliki sifat budaya yang membuat Orang Simalungun selalu ketinggalan dibandingkan Etnis Batak lainnya, yaitu sifat yang terlalu berhati-hati dalam setiap bertindalk, mengambil keputusan dan lain sebagainya”. Apakah bapak/ibu setuju dengan pernyataan tersebut? Beri alasan?
11. PERNYATAAN: “isunya Kabupaten Simalungun akan dibagi/ melaukan pemekaran menjadi Simalungun dan Simalungun Hataran”. Bapak/ibu setuju atau tidak dengan adanya pemekaran tersebut? Beri alasan?
NB: Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti terhadap responden berbeda, mengacu pada Etnis Simalungun dan Non Simalungun. Diutamakan yang sudah tinggal selama tiga (3) generasi di Sei Mangkei/Simalungun.
NON SIMALUNGUN
Responden:
Nama responden: Gender:
Agama: Usia:
Alamat:
Jalan: RT/RW/NAGORI/DUSUN:
Tamatan terakhir: Pekerjaan:
Sudah berapa lama tinggal di Sei Mangkei?
Pertanyaan:
1. Apakah bapak/ibu bergabung/ikut dalam sebuah ormas? jika ya, apa nama ormas tersebut?
2. Menurut bapak/ibu permasalahan apa yang harus segera ditangani Pemerintah Simalungun? Khususnya daerah tempat tinggal bapak/ibu?
3. Sebagai orang/masyarakat yang tinggal di Simalungun, apa yang bapak/ibu ketahui tentang “Ahap” Simalungun?
4. Apakah bapak/ibu tahu tentang visi dan misi budaya Simalungun?
5. Apa tanggapan bapak/ibu melihat cara berkomunikasi Orang Simalungun terhadap yang bukan Simalungun di daerah tempat tinggal bapak/ibu?
6. Sebagai masyarakat yang bukan Etnis Simalaungun, bagaimana cara bapak/ibu dalam mempertahankan identitas?
7. Apakah bapak/ibu setuju jika dipimpin oleh seseorang yang bukan berasal dari Etnis Simalungun? Beri alasan?
9. PERNYATAAN: “Orang Simalungun memiliki sifat budaya yang membuat Orang Simalungun selalu ketinggalan dibandingkan Etnis lainnya, yaitu sifat yang terlalu berhati-hati dalam setiap bertindalk, mengambil keputusan dan lain sebagainya”. Apakah bapak/ibu setuju dengan pernyataan tersebut? Beri alasan?
10. Menurut bapak/ibu, mengapa masyarakat Etnis Simalungun sedikit yang mau tinggal di Sei Mangkei ini?
11. Apakah Bapak/Ibu/Saudara setuju dengan adanya kebijakan pemerintah melakukan pemekaran Kabupaten Simalungun? Beri alasan?
Sekian dan Terimakasih.
NB: Pertanyaan-pertanyaan yang diatas merupakan pertanyaan yang diberikan
kepada seluruh informan pada saat dilapangan. Tidak menutup kemungkinan ada
pertanyaan lain yang diberikan kepada informan yang berasal dari cerita-cerita
informan. Ada juga petanyaan-pertanyaan yang tidak difokuskan tetapi terkait
Gambar-Gambar Penelitian
Gambar: Mesjid Simpang Mayang, persimpangan menuju Kecamatan Bosar Maligas dan Kelurahan Sei Mangkei
Gambar: Denah lokasi penelitian (Desa Sei Mangkei) dan Denah Sei Mangkei dari citra satelit
Gambar: Jalan desa dan perkampungan perumahan sipil Sei Mangkei
Gambar: Peneliti bersama ibu Sariah Damanik sambil berdiskusi (foto ini diambil oleh anak ibu Sariah sewaktu pulang bekerja)
Gambar: Peneliti bersama bapak Oni Suriono (foto ini diambil rekan bekerja bapak Oni di warung dalam perkebunan PTPN III)
Gambar: Peneliti bersama bapak Candra Damanik sewaktu hendak berpamitan setelah penelitian. (foto ini diambil rekan kerja bapak Canda yang ikut berdiskusi dengan peneliti)
Gambar: Peneliti sewaktu berada di Kerajaan
Pematang Purba (foto ini diambil Jon Purba, penjaga Kerajaan)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2009
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a) bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pembangunan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi;
b) bahwa untuk mempercepat pengembangan ekonomi diwilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembanganekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangankemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional,perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus;
c) bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur dengan Undang-Undang
d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksuddalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentukUndang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus;Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27ayat (2), dan Pasal 33Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentangPenanaman Modal (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4724);Dengan . .
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK, adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yangditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomiandan memperoleh fasilitas tertentu.
2. Zona adalah area di dalam KEK dengan batas tertentu yangpemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya.
3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkatnasional untuk menyelenggarakan KEK.
4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkatprovinsi untuk membantu Dewan Nasional dalampenyelenggaraan KEK.
6. Badan Usaha adalah perusahaan berbadan hukum yangberupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha MilikDaerah, koperasi, swasta, dan usaha patungan untukmenyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
7. Pelaku Usaha adalah perusahaan yang berbentuk badanhukum, tidak berbadan hukum atau usaha orangperseorangan yang melakukan kegiatan usaha di KEK.
BAB II
FUNGSI, BENTUK, DAN KRITERIA
Bagian Kesatu Fungsi
Pasal 2
KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsiuntukmenampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatanekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
Dayasaing internasional.
Bagian Kedua Bentuk
Pasal 3
1. KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona: a) pengolahan ekspor;
h) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukungdanperumahan bagi pekerja.
2. Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usahamikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baiksebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukungkegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.
Bagian Ketiga Kriteria
Pasal 4
Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harusmemenuhi kriteria:
a. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidakberpotensi mengganggu kawasan lindung;
b. pemerintah pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutanmendukung KEK;terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdaganganinternasional atau dekat dengan jalur pelayaraninternasional di Indonesia atau terletak pada wilayahpotensi sumber daya unggulan; dan
c. mempunyai batas yang jelas.
BAB III
Bagian Kesatu Pengusulan
Pasal 5
1. Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh: a. Badan Usaha;
b. pemerintah kabupaten/kota; atau c. pemerintah provinsi.
2. Dalam hal usulan diajukan oleh Badan Usahasebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, usulandisampaikan melalui pemerintah provinsi setelahmemperoleh persetujuan pemerintah kabupaten/kota.
3. Dalam hal usulan diajukan oleh pemerintahkabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf b, usulan disampaikan melalui pemerintahprovinsi. 4. Dalam hal usulan diajukan oleh pemerintah provinsisebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, usulandisampaikan setelah mendapat persetujuan pemerintahkabupaten/kota.
Pasal 6
1. Usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalamPasal 4.
2. Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapipersyaratan paling sedikit:
a. peta lokasi pengembangan serta luas area yangdiusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
b. rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapidengan peraturan zonasi; c. rencana dan sumber pembiayaan;
d. analisis mengenai dampak lingkungan yang sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial; dan f. jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis.
Bagian Kedua Proses Penetapan
Pasal 7
1. Dewan Nasional dapat menyetujui atau menolak usulanpembentukan KEK setelah melakukan pengkajian atasusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
2. Dalam hal Dewan Nasional menyetujui pembentukanKEK, Dewan Nasional mengajukan rekomendasipembentukan KEK kepada Presiden.
3. Dalam hal Dewan Nasional menolak usulanpembentukan KEK, penolakan disampaikan kepadapengusul disertai dengan alasan.
4. Pembentukan KEK ditetapkan dengan PeraturanPemerintah.
Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan suatuwilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulansebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapanKEK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pembangunan dan Pengoperasian Pasal 10
1. Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (4), pemerintah provinsi atau pemerintahkabupaten/kota menetapkan Badan Usaha untukmembangun KEK sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan. 2. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilaksanakan oleh:
a. pemerintah provinsi dalam hal lokasi KEK beradapada lintas kabupaten/kota; dan
b. pemerintah kabupaten/kota dalam hal lokasi KEKberada pada satu kabupaten/kota.
Pasal 11
Dalam hal usulan berasal dari Badan Usaha sebagaimanadimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, pemerintahprovinsiatau pemerintah kabupaten/kota menunjuk langsung BadanUsaha pengusul untuk membangun KEK.
Pasal 12
1. KEK harus siap beroperasi dalam waktu paling lama 3(tiga) tahun sejak ditetapkan.
2. Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimanadimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional melakukanevaluasi setiap tahun.
3. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)disampaikan kepada pengusul untuk ditindaklanjuti.
4. Dalam hal setelah 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksudpada ayat (1) KEK belum siap beroperasi, DewanNasional:
a. melakukan perubahan atas usulan sebelumnya;
b. memberikan perpanjangan waktu paling lama 2 (dua)tahun; dan/atau c. mengambil langkah penyelesaian masalahpembangunan KEK.
5. Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksudpada ayat (4) huruf b KEK belum siap beroperasi karenabukan dari kelalaian atau karenaforce majeure. DewanNasional dapat memberikan perpanjangan waktu setelahmendapat pertimbangan dari Dewan Kawasan.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan waktusebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur denganPeraturan Pemerintah.
Pasal 13
1. Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK dapat berasal dari:
a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; b. swasta;
c. kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,dan swasta; atau
2. Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaaninfrastruktur di dalam KEK.
Daftar Pustaka:
Abdulah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Jakarta
Azhar. Muhamad Ali. 2013. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan
Pembangunan, Vol.4: Marjinalisasi Masyarakat di Daerah Pariwisata Kuta Selatan, Kabupaten Bandung. Universitas Udayana
Drs. Muzairi H, MA. 2002. Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Giring, 2004. Madura di Mata Dayak: Dari Konflik ke Rekonsiliasi.
Yogyakarta: Galang Press
Gorpas, 2010.Pesta Rondang Bintang Pesta Rakyat Simalungun. Simalungun Pers.
Hadiluwih, Subanindyo. 2008. Konflik Etnik di Indonesia: Suatu Kajian Kes
di Bandaraya Medan. Medan: USU Press
Hidayanti, Dyah, 2015. Istana Pematang Purba. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata & Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh.
Iswandi. 2015. Garis Tepi Masyarakat Melayu Riau:Marjinalisasi Nelayan
Melayu di Pulau Kijang Kabupaten Indragiri Hilir Yogyakarta:
Universitas Islam Sunan Kalijaga
Jupriono. D. 2010. Marginalisasi dan Revitalisasi Parikan di Era Kelikanan
Sekunder. Surabaya: Universitas Surabaya
Linda Thomas, Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Martin, Vincent. 2001. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Marzali, Amri. 2005. Antropologi dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Group
Nezar Patria dan Andi Anif. 2003. Anthonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saodoran, Tim Lima. 2013. Mengenal Nusantara Kabupaten Simalungun. Medan: Cv. Mitra
Saragih, Sortaman, 2007. Orang Simalungun, Jakarta: Citama Vigora
Siantar, Pemerintah Kota. 2003. The Profil of Pematangsiantar City: Profil
Simalungun. 2010. Simalungun Dalam Angka, Pematangsiantar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Simalungun dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Simalungun
Spradlay, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Sukidin. 2000. Jurnal Penelitian dan Evaluasi: Marjinalisasi Pekerja Wanita
Pada Industri Rumah Tangga Sandang di Pedesaan. Jakarta
Suparlan, Parsudi. 1993. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
T Sinaga, Moesa. _____. Ungkapan Adat Simalungun. Partuha-Partuha Maujana Simalungun
Pelly, Usman. 2013. Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi Budaya
Minangkabau dan Budaya Mandailing di Perkotaan. Medan:
(UNIMED) Universitas Negeri Medan Press
Verhar, John W.M. 1989. Identitas Manusia: Menurut Psikologi dan Psikiatri
Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius
Referensi Website
Referensi Artikel
Ricky. Dampak Migrasi Suku Batak Toba ke Simalungun.Pematangsiantar Purba.David E. 2012.Ahap Simalungun.Pematang Raya
Referensi Media Cetak
METROSIANTAR.& SIMALUNGUN. 2012. Warga Tuntut Transparansi
Rekruitmen Tenaga Kerja di PT. Unilever KEK. Simalungun
METROSIANTAR & SIMALUNGUN.2012. Mahasiswa Unjuk Rasa
Tunutut Janji Penerimaan 60 Persen Tenaga Kerja Putra-Putri Daerah.Simalungun
SIB SIANTAR SIMALUNGUN.2013. Pemekaran Kabupaten Simalungun
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Budaya Simalungun
3.1.1. Falsafah / Ideologi Etnis Simalungun
Setiap Etnis yang ada di Indonesia memiliki dasar landasan budayanya
masing-masing dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kebudayaan
antar bangsa menjadikan setiap budaya harus memiliki ciri khas yang akan
digunakan dan membedakannya dengan budaya yang lainnya. Termasuk pula
sikap, sifat, perilaku, aturan-aturan hidup yang dimiliki dalam suatu Etnis
Kebudayaan harus memiliki ciri khas tersebut.Pasti ada Falsafah atau Ideologi
yang dijadikan sebagai dasar landasan kebudayaan tersebut dalam menentukan
sikap, sifat, perilaku, aturan-aturan kebudayaan dan lain sebagainya.
Etnis Simalungun sendiri memiliki sebuah dasar Falsafah atau Ideologi
seperti yang sudah dikemukaan pada bagian depan, yaitu: “habonaron do bona”
yang digunakan masyarakat Simalungun dalam berkebudayaan. Dalam
memberikan pengertian dari “habonaron do bona” tersebut tidak jauh berbeda
dengan pemberian makna terhadap kata “ahap” bagi Etnis Simalungun, artinya
pengartian falsafah tersebut tergantung dari sudut pandang kebudayaan,
pemahaman kosa kata, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, peneliti meberikan pengartian berdasarkan kosa kata dan
batas pengetahuan akan budaya Simalungun yang masih dikategorikan minim.
Peneliti: ”habonaron do bona” artinya adalah kebenaran adalah dasarnya atau
Masyarakat Simalungun sendiri (dalam: Lima Saodoran Tim, Mengenal
Nusantara Simalungun, hal:44-45) sangat akrab dengan “habonaron dobona,
hajungkaton do sapata” yang artinya segala sesuatu harus berpangkal dari yang
benar. Orang Simalungun yakin bahwa orang yang tidak konsisten menjunjung
tinggi falsafah ini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga
berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam
mengambil keputusan.Sebuah keputusan barulah diambil setelah dipikirkan
masak-masak, dan sekali telah memberikan keputusan jarang untuk menarik
kembali keputusannya tersebut.
Hal ini juga tergambar dalam kata-kata penatua yang berbunyi, “Parlobei
idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”.Ungkapan
ini menunjukan bahwa orang Simalungun bukanlah tipikal manusia yang
sembrono atau terburu-buru dalam mengambil dan menentukan sebuah kebijakan
dan keputusan. Seluruhnya harus dipikirkan masak-masak dan keputusan itu
adalah tetap, artinya tidak akan pernah diubah kembali.
Akan tetapi, disisi lain dasar ideologi satau falsafah itu berpengaruh pada
sikap dan tabiat sehari-hari orang Simalungun yang kerap dipenuhi ketakutan
untuk berbuat kesalahan, lebih suka berpasrah kepada Ompung Naibata daripada
mengandalkan perlawanan yang spontan47
47
Dikutip dari: Lima Saodoran Tim, 2011, Mengenal Nusantara Simalungun, hal 44
. Jadi, dalam menjalani kehidupan
berbudaya, Etnis Simalungun percaya bahwa hidup itu hanya untuk dijalani apa
karena kebenaran dalam setiap kehidupan yang akan dijalani atau terjadi pasti
baik dan akan ditampakkan sebagaimana yang sebenarnya.
3.1.2. Sistem Kekerabatan Etnis Simalungun
Untuk mengetahui Susunan Masyarakat Adat di Simalungun dapat kita
ketahui dari falsafah adat Simalungun yaitu “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”
artinya 3 (tiga) kedudukan di sandang oleh 5 (lima) manusia.Ketiga (3)
kedudukan itu adalah Tondong, Sanina, dan Anak Boru.Kemudian kelima (5)
Manusia itu adalah Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, Anak boru
Mantori48
Kedudukan Tondong adalah yang tertinggi dari kedudukan manusia
lainnya dalam fungsi Adat Simalungun.Tondong itu dianggap “Tuhan” di bumi
yang begitu mulia, begitu dihormati dan kedudukannya yang tertinggi di dalam
suatu kekerabatan.Tondong yang memberikan Restu (pasu-pasu) kepadaanak
borunya, selain dari hak dan kewajibannya menurut Adat yang berlaku.
.
Untuk memperjelas pengetahuan kedudukan tesebut akan peneliti jelaskan
satu persatu berdasarkan pengetahuan dalam (Lima Saodoran Tin, Mengenal
Nusantara Simalungun) :
Suhut :
Suhut adalah tuan rumah yg mengadakan pesta atau pekerjaan yg berkaitan
dengan Adat.Misalnya: Suhut hendak mengawinkan anak Pria atau Wanita.Tuan
Rumah (Suhut) bersama dgn saudara2 se-Bapak dan se-Nenek disebut juga “Suhut
Sapangakkonon” artinya saudara-saudara se-ayah dan se-nenek, teman bersantap.
Tondong :
Tondong merupakan kumpulan keluarga dari istri dan saudara-saudaranya,
terdiri dari :
- Orang tua (Paman) dan saudara dari Pengantin Wanita
- Saudara laki-laki dari Ibu (Tulang Pamupus)
- Paman dari Paman (Tondong ni Tondong)
Sanina :
Merupakan saudara kandung, saudara dari lain nenek, dan saudara
semarga. Semarga tapi tidak mempunyai hubungan darah, pariban dari marga
lain, teman sepergaulan.
Anak Boru:
Adalah sebagai pembantu utama didalam melaksanakan suatu pesta atau
kerja juga sebagai protokol dalam pelaksanaan acara adat dari pihak
Tondong.Anak Boru mempunyai kewajiban memberikan perlengkapan berupa
barang-barang yang diperlukan, kata-kata nasehat dan petuah-petuah yang
berguna. Anak boru berhak menerima jambar boli (menerima boli ni boru) apabila
“Suhut” mengawinkan anak boru. Anak Boru berkewajiban memberi bantuan
(manumpaki) “Suhut” berupa uang tunai untuk Sinamot (uang Mas Kawin) yang
akan diserahkan “Suhut” kepada pihak mempelai wanita, dan berhak menerima
jambar sesuai degan ketentuan Adat.
Anak boru terdiri dari :
a. Anak Boru Jabu yaitu: Ipar (suami dari adik perempuan), menantu dan
anak Wanita dari keluarga amboru dan suaminya (Anak boru Sintua)
anaknya disebut Panogolan
b. Anak Boru Mantoriyaitu: Kelompok keluarga dari suami saudara Wanita
dan ipar-iparnya.
Dari penyelenggaraan pesta perkawinan ini, Keluarga Pengantin Pria
menyebut “Tondong” kepada pihak Keluarga Pengantin Wanita dan sebaliknya
Pihak Keluarga Pengantin Wanita menyebut “Anak Boru” kepada Pihak
Pengantin Pria, dan kedua belah pihak sama kedudukannya sebagai “Suhut” di
keluarga masing-masing.
Didalam pelaksanaan Adat posisi kedua belah pihak jugadiatur :
Pihak Pengambil yang terdiri dari :
a. Suhut dan Sanina berkelompok di satu sudut.
b. Tondong berkelompok di satu sudut
c. Anak boru (jabu & Mantori) berkelompok di satu sudut.
Pihak Pemberi yang terdiri dari :
a. Suhut dan Sanina berkelompok di satu sudut
b. Tondong berkelompok di satu sudut
c. Anak Boru (jabu & Mantori ) berkelompok di satu sudut.
Duduknya pihak “Tondong” (pemberi) ditempatkan pada kedudukan
terhormat (Iluluan) dan duduknya pihak “Anak Boru” (pengambil) ditempatkan
berhadapan.Posisi tersebut diatas dalam upacara adat disebut “Horja
Marhajabuon” yaitu Acara Adat dalam pesta perkawinan Simalungun.
Martutur artinya bercerita mengenai hubungan kekerabatan antara diri
sendiri dengan orang lain sehingga dapat ditentukan kedudukan dirinya dengan
lawan bicaranya, didalam kedudukan Adat.
Masing-masing saling bertanya bergantian atau berselang seling diantara
pembicaraan mereka dan baru berakhir apabila kedua belah pihak telah dapat
menentukan sebutan atau panggilan dalam hubungan pertalian kekerabatan antara
mereka dikedua belah pihak.
Tutur didalam “Tolu Sahundulan Lima Saodoran” : Tondong:
Tulang Pamupus = Paman kandung (Saudara Pria dari
Ibu)
Tondong Bona = Kelompok ibu dan saudaranya dari
bapak.
Tondong ni tondong = Paman dari paman kandung
Sanina ni tondong = Keseluruhan kerabat dari keluarga
tondong.
Sanina :
Suhut Bona = Tuan rumah dan saudara kandung
dari satu nenek
Suhut Bolon/sapangangkonon = Anak keturunan nenek dan saudara
kandung
Sanina = Saudara tuan rumah dari nenek yang
Sebutan Kekeluargaan pada Etnis Simalungun : Tutur Langsung (Manorus)
Bapa = Bapak / Ayah
Inang = Ibu
Abang = Saudara laki-laki yang lebih tua dari kita
Anggi = Adik laki-laki
Botou (nasibotou) = Saudara perempuan
Ompung = Orang tua Ayah/ibu
Tulang = Saudara laki-laki dari pihak ibu/pariban ibu,
ayah dari besan.
Ambou = Saudara perempuan bapak/pariban bapak.
Untuk wanita : ibu dari suami, ambou suami,
mertua dari ipar perempuan
Mangkela (Makkela) = Suami dari saudara perempuan ayah
Atturang = Ibu mertua, istri tulang, ibu dari besan
Anak boru = Pihak Ipar
Anggi/Ambia = Adik laki-laki/panggilan kepada anak
Besan (nasibesan) = Istri dari saudara lelaki istri kita (lawei) dan
saudara istri kita.
Kaha = Panggilan kepada istri saudara laki-laki yang
lebih tua.
Lawei = Tutur laki-laki kepada suami dari saudara
perempuannya, tutur laki-laki kepada suami
dari anak perempuan ambounya (botou banua)
Botou banua = Anak perempuan ambou, bagi perempuan =
putra tulang
Gawei = Tutur perempuan kepada istri saudara
laki-lakinya
Niombah = Anak
Panogolan = Anak dari saudara perempuan
Parumaen = Menantu perempuan, istri keponakan,
panggilan amboru dan makela kepada istri
kita.
Hela = Suami dari anak perempuan kita (menantu
laki-laki) dan dari kakak/adik kita.
Pahompu = Cucu
Nono = Cucu dari anak laki-laki
Nini = Cucu dari anak perempuan/boru
Sima-sima = Anak dari Nono/nini
Siminik = Cucu dari Nono/nini
Pargotong = Suami (lelaki yang sudah berkeluarga)
Pariban = Panggilan kepada sesama suami dari istri-istri
mereka yang bersaudara kandung.
Tutur Kelompok (Holmouan)
Ompung Martinodohon = Saudara kandung dari ompung
Bapa Godang = Saudara laki-laki tertua dari Bapak
Bapa Tua = Abang bapak
Bapa Tongah = Saudara laki-laki Bapak yang urutannya
ditengah
Bapa Anggian/Gian = Saudara laki-laki Bapak yang di bawahnya
(adik)
Tulang Pamupus = Saudara laki-laki kandung dari ibu
Tondong = Saudara laki-laki dari istri atau kelompok
keluarga istri juga ibu kita
Tondong Bolon = Orang tua atau saudara laki-laki dari
istri/suami
Tondong Pamupus = Pambuatan ayah kandung kita
Tondong Mata ni Ari = Pambuatanompung kita
Panogolan = Anak laki-laki/perempuan dari saudara
perempuan
Boru Ampuan = Hela (suami dari anak perempuan kita)
Anak boru Mintori = Suami/istri dari Panogolan
Anak boru Mangihut = Ipar dari sasudara perempuan
Tutur Kehormatan (Natipak)
Kaha = Panggilan kepada istri saudara laki-laki yang
lebih tua
Nasi Kaha = Panggilan istri kepada sasudara laki-laki kita
Nasi Anggiku = Panggilan utk istri dari adik .
Anggi = Adik
Ham = Panggilan kepada orang tua kita (yang
memelihara kita) atau orang lain yang sebaya
tapi belum diketahui hubungan
kekerabatannya dengan kita.
Handian = Serupa penggunaannya dengan Ham, tetapi
menunjukkan lebih dari 1 orang.
Dosan = Panggilan sesama orang yang sudah tua.
Anaha = Panggilan orang-orang tua kepada anak
laki-laki yang masih muda.
Abang = Panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih
tua, atau derajatnya lebih tinggi
Kakak = Panggilan anak perempuan kepada saudara
laki-lakinya yang lebih tua.
Ambia = Panggilan sesama laki-laki yang sebaya atau
yang dibawahnya.
Ho = Panggilan kepada orang anyg derajatnya
rendah, atau panggilan bergurau karena akrab
Hanima = Sebutan kepada istri (kasar), kepada orang
banyak yang lebih rendah derajatnya.
Nasiam = Sebutan kepada banyak orang yang derajatnya
Akkora = Sebutan orang tua kepada anak perempuan
yang dekat kekerabatannya.
Tuan = Digunakan untuk keturunan Raja atau
Bangsawan (masa Kerajaan).
Sibursok = Panggilan kepada anak laki-laki yang baru
lahir.
Sitatap = Panggilan kepada anak perempuan yang baru
lahir.
Dalam perbincangan peneliti dengan bapak Drs. Djoman Puba (ketua
yayasan museum Simalungun sekaligus penatua adat Simalungun) dikatakan:
“Anggo dong horja-horja (adat) ni halak Simalungun, tomu lang maningon ijin ma: Suhut (pakon saninani); humbani tondong ni Suhut; dok ai bani Anakborujabu (pakon boru) ni Suhut. In ma na igoran “Tolu Sahundulan”. Ase gok (sempurna) horja-horja in, ijin ma homa tondong ni tondong nokkan, sonai boru ni boru nokkan, na igoran Anakborumintori. Lang be pitah Tolu Sahundulan tumang. Tapi ranggi ma ijin naginoran “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”, ai ma Suhut (pakon saninani), Tondong, Tondong-ni-tondong, Anakborujabu (pakon Boru), Anakborumintori.
Artinya: “kalau ada kegiatan-kegiatan adat pada orang Simalungun, haruslah terlebih dahulu meminta izin: tuan rumah yang akan melakukan kegiatan bersama saudaranya kepada paman dari tuan rumah tersebut, kemudian kepada iparbersama anak perempuan dari tuan rumah. Itulah yang dikatakan “tiga kedudukan” tadi.Supaya lebih baik lagi kegiatan-kegiatan itu, ijin juga kepada tulang dari tulang tadi, juga kepada saudara perempuannya, yang namanya kelompok keluarga dari suami saudara perempuan atau ipar. Tidak lagi hanya tiga kedudukan saja, tapi ijin kepada “tiga kedudukan disandang lima orang” itulah tuan rumah dengan saudaranya, tulang, tulang dari opung perempuan dari bapak, ipar dan kelompok saudara dari ipar.
Perlu diketahui pula, Etnis Simalungun sudah tidak terlalu mementingkan
soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) disimalungun adalah
dalam horja-horja (acara-acara) adat Simalungun.Karena seluruh marga raja-raja
Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep
perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah putri raja
tetangganya49
3.2. Interaksi Antara Etnis Simalungun Terhadap Pendatang .
Di Desa Sei Mangkei terdapat beberapa Etnis dari berbagai daerah di
Indonesia, terkhusus Sumatera Utara yang diantaranya Etnis Tapanuli, Etnis
Mandailing, Etnis Karo, Etnis Melayu, Etnis Jawa dan sebagainya. Di Sei
Mangkei, Etnis Simalungun sebagai etnis tuan rumah tidak menjadi etnis yang
dominan. Dari segi dominasi, Etnis Simalungun masih berada pada posisi tiga (3)
terbawah sementara Etnis Jawa yang berada pada posisi teratas.
Sejak dahulu Etnis Simalungun dikenal sebagai salah satu etnis yang
ramah di Sumatera Utara, oleh karenanya banyak tanggapan yang mengatakan
Etnis Simalungun itu sangat terbuka dan welcometerhadap siapapun yang juga
sopan terhadapnya. Hal ini dapat dibuktikan dari logat atau dialek bahasa yang
dimiliki oleh Etnis Simalungun. Dimana dalam setiap pelafalan bahasa
Simalungun dalam berbicara, logat atau dialek bahasanya sangat lembut dan
sedikit mengayun.
Sifat terbuka dan welcome ini tidak hanya terdapat pada satu daerah saja di
Simalungun, melainkan hampir merata kepada keseluruhan wilayah dan bagi
individu Etnis Simalungun itu sendiri. Begitu pula di Desa Sei Mangkei, keadaan
ini jelas terlihat degan sangat berbaurnya Etnis Simalungun dengan berbagai etnis
pendatang disana.Bahkan pula kebiasaan yang terbuka dan minimnya
jumlahsesama Etnis Simalungun membuat mereka cenderung mengikut terhadap
pendatang (Etnis Jawa). Dari segi bahasa yang sedikit ada persamaan dengan
Etnis Jawa membuat Etnis Simalungun di Sei Mangkei sangat cepat berbaur
dengan pendatang, begitupun Etnis Jawa sebagai pendatang terhadap Etnis
Simalungun.
3.3. Marjinalisasi Berdasarkan Sejarah di Simalungun
Sejak masuknya leluhur Simalungun (proto Simalungun) yaitu pada abad
kelima serta berdirinya monarhi tertua di Sumatera ”Nagur” (Dinasti Damanik)
dapat ditelusuri dari catatan perjalanan resmi petualang yang berasal dari luar
Indonesia, seperti Ying-yai Sheng-ian, (abad ke-XV) dan Marcopolo (1292 M).
Pada masa itu, Etnis Simalungun memegang teguh kekuasaan dan identitasnya
yaitu ”ahap Simalungun”, walaupun tidak diperoleh secara tersurat dalam
dokumen poestaha lahklak50yang ada, seperti Parpadanan Na Bolag (PNB),
Hikayat Bandar Hanopan (HBH), Parmongmong Bandar Syahkuda (PBS) dan
Hikayat Malasori (HM)51
Pada masa itu terdapat fase-fase kerajaan seperti harajaon nadua(dua
kerajaan) sampai harajaon na opat (empat kerajaan) di Simalungun yaitu kerajaan
dari marga Saragih, Sinaga, Purba dan Damanik .
52
50 Poestaha lahklak merupakan tulisan peninggalan sejarah
. Etnis Simalungun hidup
51 Dikutip dar
52
dengan tentram karena masing-masing kerajaan diikat oleh sistem pengambilan
silang puangbolon(permaisuri) kerajaan.
Bahasa yang digunakan adalah ’Bahasa Tinggi’ Simalungun seperti dialek
Raya, agama mereka adalah parhabonaron(pembenaran), denganmedia adat
istiadatnya adalah sirih (demban sayur), sajian utama perhelatan (penghormatan)
adatnya adalah ayam (dayok nabinatur), lelaki margotong (destar), perempuan
marbulang (tutup kepala khas Simalungun).Sistem kekerabatannya adalah ’tolu
sahundulan lima saodoran’, falsafah/ideologinya adalah ’habonaron do bona’,
marga utama adalah SiSaDaPur yaituSinaga, Saragih, Damanik, dan Purba.
Masa pertama ini berlanjut hingga memasuki masa perkebunan Sumatera
Timur (1863) yang disponsori oleh kolonial Belanda melalui Deli Mij yang
ditandai dengan masuknya kuli kontrak dari Jawa, China, India, Toba dan
Mandailing yang jumlahnya melebihi penduduk host cultural. Kuli kontrak asal
Mandailing dan khususnya Toba yang telah memperoleh pendidikan sebagai
dampak penyebaran agama Kristen, banyak diangkat serta mendominasi sebagai
bestur53
Keterkejutan yang luar biasa dialami oleh komunitas Etnis Simalungun
dimana mereka tidak pernah menduga sebelumnya.Kehidupan mereka yang
tentram mulai tercabik-cabik sebagai dampak agresifitas kaum pendatang. pemerintahan kolonial di Simalungun dan Melayu. Etnis Jawa dan India
ditempatkan di perkebunan sementara orang China diorganisir menjadi mitra
dagang kolonial.
Ironisnya, pemerintah Simalungun tidak mampu memberikan perlindungan serta
mengarahkan penduduknya, dan justru menelantarkan masyarakatnya dengan cara
memberikan tanah-tanah rakyat kepada pengusaha perkebunan. Pada periode ini,
nasib orang Simalungun mengalami marjinalisasi sama dengan yang dialami oleh
orang Melayu Sumatera Timur.
Periode kedua adalah masuknya penyebar agama Kristen (1903)
khususnya dari Toba yang diutus oleh Nommensen untuk membantu tugas August
Theis dalam pengkristenan ”Batak Timur”. Penyebar agama Kristen dari Toba
tersebut, menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa resminya dan juga
menonjolkan budayanya tanpa mengindahkan bahasa dan budaya Etnis
Simalungun yang sangat berbeda dengan mereka. Inilah sebabnya, mengapa
pengkristenan ”Batak Timur” terkesan lambat walaupun telah mencapai lebih 20
tahun.
Disamping itu, Etnis Melayu Sumatera Timur terutama dari kesultanan
Serdang sangat gencar mengislamkan ’Dusun Timur’ dimana hampir separuh
penduduknya telah memeluk agama Islam sehingga mendorong pengkristenan
se-segera mungkin harus dilakukan (Tole!Den Timorlandend das
Evanggelium).Tidak ketinggalan pula orang Batak Selatan pada masa perkebunan,
aktif melakukan siar-siar agama Islam.Pada masa ini, Etnis Simalungun menjadi
lahan antara Tobanisasi versus Melayunisasi atau Kristenisasi versus Islamisasi
(Pelly Usman, 2003).
Etnis Simalungun yang mayoritas belum tersentuh pendidikan menjadi
EtnisSimalungun menjadi terombang ambing layaknya perahu tanpa
kemudi.Bahasa mereka mulai dikacaukan oleh bahasa Toba dan Melayu.Agama
mereka, parhabonaron, mulai ditinggalkan sebagai dampak masuknya Kristen
dan Islam.
Sementara itu, pemerintah kolonial membiarkan hal demikian terjadi agar
lebih mudah dalam menguasai Simalungun.Sebaliknya, pemerintah Simalungun
tidak juga mampu memberikan perlindungan pada masyarakatnya yang tengah
tercabik-cabik dan justru mendukung kolonial dengan menyerahkan tanah-tanah
rakyat serta membiarkan pendatang asing menggunakan tema-tema budanya
masing-masing di Simalungun. Periode ini berakhir pada waktu ledakan massa
yang meluluhlantakkan sistem pemerintahan Simalungun sekitar tahun 1946.
Periode ketiga, dimulai sejak tahun 1946 yang ditandai dengan punahnya
sistem pemerintahan Simalungun. Sejak penandatanganan perjanjian pendek
tahun 1907 sampai 1946, terdapat tujuh kerajaan (hajaon na pitu)yang
memerintah di Simalungun. Feodalisme yang menggejala pada saat itu telah
mendorong letupan massa terhadap sistem pemerintahan tradisional di Sumatera
Timur terutama pada Etnis Melayu dan Simalungun berupa pembakaran istana
dan pembunuhan raja/sultan.
Resink mencatat sekitar 90 kerabat sultan Melayu terbunuh dan istana
Sultan dibakar. Kejadian yang sama terjadi pada pemerintahan Simalungun dan
sejak saat itu pula peradapanrumah bolon (the big house civilization) punah
selama-lamanya dan hanya meninggalkan satu kerajaan saja. Seiring dengan
kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum pendatang untuk merebut tanah-tanah milik
orang Simalungun.Ditambah lagi dengan terjadinya pertukaran budaya sebagsai
tanda kekerabatan yang telah dijalin antara Simalungun dengan Madjapahit
sebelumnya juga ikut menyebabkan pembauran budaya di tanah Simalungun.
Bila wilayah Simalungun dipetakan berdasarkan penduduknya pada saat
ini maka nyatalah di daerah Bah Jambi, Serbelawan dan Perdagangan, Dolog
Masihol didominasi oleh orang Jawa. Sedang Tanoh Jawa, Girsang Sipangan
Bolon, Parapat dan Dolok Pardamean lebih didominasi oleh Batak Toba.
Demikian pula Pematangsiantar yang pada awalnya merupakan homeland
(ibukota)nyaorang Simalungun tercabik-cabik dengan terbentuknya residensi
beradasarkan nama suku seperti Karo, Banjar, Jawa, Kristen, Martoba dan
lain-lain sementara orang Simalungun lebih terkonsentrasi di Simalungun Atas yang
berbatas dengan Kabupaten Karo.
Pada saat itu,proses marjinalisasi semakin terasa bagi orang Simalungun
yang benar-benar mengalami kegoncangan Identitas sosial dan budayanya.Dengan
demikian, Simalungun hampir tersisih dinegerinya sendiri serta tercerabut dari
akar budayanya.
3.4. Proses Marjinalisasi Etnis Simalungun di Sei Mangkei 3.4.1. Sejarah Desa Sei Mangkei
Sejak masa kerajaan dahulu, Nagori Sei Mangkei merupakan bagian dari
daerah kekuasaan Kerajaan Sinaga dan merupakan daerah perbatasan dengan
di Kecamatan Bosar Maligas Kabupaten Simalungun.Berdasarkan hasil penelitian
di lapangan diketahui bahwa Desa Sei Mangkei berdiri antara tahun 1811 – 1820
dan hingga saat ini masih tercatat dan diakui berada dalam kekuasaan Kerajaan
Sinaga.
Bapak Edi Susanto (Kepala Desa Sei Mangkei) mengatakan:
“Kalau sejarah terbentuknya desa ini ga ada catatannya, dari cerita orang tua aja yang ada. Setahu saya itu sekitar tahun 1811. Dulu sebelum perkebunan dibangun disini masih perladangan orang-orang dari Timbaan, dari Dosin dan saya kurang tau juga apa sudah ada bagunan rumah disini. Semasa kecil saya disini juga sudah termasuk rame, karena disini ada sungai perbatasan Timbaan dan Sei Mangkei yang digunakan orang-orang untuk mandi, ngambil air, ngambil ikan, dan lain-lain. Jadi orang-orang banyak jumpa disungai ini, tapi ga tau dari mana-mana saja orangnya”.
Berdasarkan informasi dari Bapak Edi (Kepala Desa), tidak ada catatan
sejarah tentang desa di Desa Sei Mangkei.dan menurut beliau Desa Sei Mangkei
dulunya sebelum ada perkebunan merupakan daerah perladangan yang dimiliki
oleh orang-orang dari Desa Timbaan dan Dosin. Menyikapi keterbatasan
informasi dari Bapak Edi, peneliti melakukan wawanacara kembali dengan Bapak
Tuan Saragih yang juga telah direkomendasikan oleh Bapak Edi.
Tidak jauh berbeda, informasi yang diperoleh dari Bapak Tuan Saragih
juga terbatas.Hal ini karena tidak ada catatan sejarah tentang desa.Dari beliau
diperoleh informasi bahwa Sipkkah huta di Desa Sei Mangkei adalah orang
Simalungun dari Desa Timbaan yang bermarga Damanik.
Menurutnya: “dahulu sebenarnya Desa Sei Mangkei ini adalah tempat
daerah yang kosong maka itu mereka masuk ke Sei Mangkei.Tapi setelah masuk masa perkebunan orang-orang yang menentang Raja tadi ditangkapi semua, paling beberapa yang lolos dan tinggal di Timbaan dan Sei Mangkei”.
Dari perbincangan peneliti dengan Bapak Sony Bonata Purba (Antropolog
UI angkatan 81), mengatakan bahwa:
“Anggo jenges iboto ham aha ge artini sipukah huta ai, lang dasa pitah pembuka kampung, tapi ai ma sahap penghargaan bani sipukah huta ai”.
Artinya bahwa “kalau kamu tahu jelas arti dari “sipukah huta” itu, tidaklah hanya pembuka kampung tapi ucapan penghargaan kepada yang membuka kampung tersebut.
Kemudian beriring perkembangan dan pembauran kebudayaan Etnis
Simalungun dengan pendatang, kata “sipukah huta” menjadi bentuk ajakan,
dorongan, dan isyarat kepada Etnis Simalungun agar tidak tergeserkan
keberadaannya di Simalungun. Seperti yang diukngkapkan oleh Bapak Sony
Purba:
“dong do ibotoh ham laguni sipukah huta ai? Jenges ma anggo ibotoh
ham. Sonari aha ma ge maknani lagu ai? Dong do ijai fokus ni. Endehon ham ma lobei. Bait pertama ai, ai ma intini lagu ai. Ai ma na dong i fokus masalah penelitian mu ai. Jadi artini ai kan bait pertama ai Tanohta Simalungun, Ningon Rajaionta. Aima!. Doma ibotoh ham kan artini ai? Lagu ai dingat-dingat do banta ase botoh hita ija posisita sonari, ulang tarbador hita, akin ibuat halak nalegan ma tanohta, wilayahta, kebudayaanta, ganup ma ijai”.
3.4.2. Marjinalisasi Dari Aspek Kekuasaan
Potensi keterbelakangan Etnis Simalungun di Sei Mangkei dapat dilihat
dari aspek kekuasaan.Sejak masuknya pendatang pada perjanjianDer Mij oleh
Belanda, Etnis Simalungun tidak banyak yang menempati posisi-posisi penting di
Perkebunan.Dengan tidak banyaknya Etnis Simalungun yang menempeti posisi
penting tersebut membuat Etnis Simalungun tertinggal dari pendatang dalam
banyak hal termasuk pendidikan.
Keadaan tersebut berdampak pada kelanjutan keberadaan dan
keterbelakangan Etnis Simalungun di Sei Mangkei.Saat ini tidak satupun
ditemukan Etnis Simalungun yang menempati posisi penting baik di
Pemerintahan dan Perkebunan Sei Mangkei.Ditambah lagi dengan berdirinya
KEK yang tetap pula tidak menjadikan Etnis Simalungun mengambil peran
penting di dalamnya.
Mengamati keadaan tersebut dapat ditarik garis besar bahwa benar Etnis
Simalungun termarjinalkan. (Antonio Gramsci 1891-1973) : Marjinalisasi dalam
hal ini merujuk pada posisi dan keberadaan masyarakat Etnis Simalungun yang di
Sei Mangkei tertepikan, termarjinal, tidak berdaya, tidak dapat berkembang dan
tidak dapat bersaing dengan kelompok-kelompok etnis lain (pendatang).
3.4.3. Orientasi Nilai Budaya di Sei Mangkei
Masuknya pendatang dari berbagai etnis di Sei Mangkei menciptakan
sebuah proses pembauran antar etnis hingga dapat mempengaruhi dan merubah
bahwa sebuah perubahan dimulai dari budaya, bukannya budaya dimulai dari
perubahan. Dengan kata lain, keberadaan para pendatang membuat situasi-situasi
baru menjadi bermakna dalam kerangka masing-masing budaya.
Etnis Jawa menjadi kelompok etnis yang mendominasi dari segi fisik atau
jumlah yang persentasenya mencapai 64,17 % sekaligus menjadi budaya dominan
di Sei Mangkei. Dalam penelitian ini sangat terlihat bagaimana keseharian
kehidupan di Desa Sei Mangkei mengarah pada budaya Etnis Jawa, bahkan
hampir keseluruhan aktifitas baik oleh Etnis Jawa maupun Etnis Simalungun dan
Tapanuli sering mengikuti budaya Jawa. Hal yang paling mudah untuk dilihat
melalui bahasa, cara bekerja dan pola tatanan rumah.
Dalam kebiasaan sehari-hari Etnis Simalungun di Sei Mangkei tidak
menunjukan adanya jati diri yang kental dengan budaya Simalungun.Dengan tidak
adanya interaksi menggunakan bahasa Simalungun bahkan dalam keluarga
mereka.Dalam tingkat pengetahuan Etnis Simalungun di Sei Mangkei juga tidak
menunjukan kelugasan dalam kebudayaan Simalungun, serta tidak ada ditemukan
kegiatan-kegiatan adat Simalungun.Kelompok Etnis Simalungun di Sei Mangkei
menjadi lebih mengikut kepada budaya Etnis Jawa bahkan sampai tidak
menggunakan identitas sebagai Etnis Simalungun dan mengatakan diri sebagai
orang jawa.
Sangat terlihat jelas bagaimana proses akulturasi54hingga pada terjadinya
asimilasi55
54
Akulturasi merupakan suatu proses penyerapan unsur-unsur budaya asing (dalam hal ini masih belum meninggalkan budaya asli)
55
Asimilasi merupakan keadaan dimana suatu budaya mengikuti budaya lainnya
budaya oleh Etnis Simalungun (host cultural) dari Etnis Jawa
(host cultural) tidak dapat dengan tegas menunjukan jati diri mereka sebagai
seseorang dengan identitas Etnis Simalungun. Bruner (1974) dalam penelitiannya
terhadap Etnis Toba mencatat bahwa terdapat cara-cara memodifikasi budaya
tertentu supaya lebih mudah menyesuaikan diri dengan suatu kebudayaan yang
dominan berbeda. Keadaan yang sama dilakukan oleh Etnis Simalungun dengan
keadaan jumlah yang relative sedikit sehingga memaksa untuk mempelajari
kebudayaan yang asing seperti bahasa. Akan tetapi dalam hal ini Etnis
Simalungun tidak dapat mempertahankan budayanya dan terjerumus dalam
budaya baru yang telah mereka pelajari.
Dalam penelitiannya Bruner (1978:3) juga menjelaskan bahwa Etnis Toba
menggambarkan suatu ketahanan identitas etnis dengan adanya interaksi terus
menerus bagi mereka sesama perantau hingga pada kampung halaman.Dengan
memperbanyak ikatan bagi kelompok mereka seperti ikatan marga yang sama dari
etnis mereka. dengan kata lain penulis menyimpulkan bahwa semakin menjauh
dari kampung halaman maka Etnis Toba akan semakin memperkuat ikatan dan
semakin mempertahankan identitas mereka.
Keadaan yang berbeda dialami oleh Etnis Simalungun, dengan lemahnya
ikatan-ikatan yang terjalin baik dalam hubungan sosial kelompok Etnis
Simalungun bahkan hingga kegiatan adat Simalungun.Etnis Simalungun tidak
terlalu terikat dengan hubungan silsilah seperti Etnis Toba yang menguatkan
identitas dengan perkumpulan marga mereka.Simalungun lebih mengarah pada
sebuah perkumpulan yang berasal dari kampung halaman mereka dan baru-baru
Seperti yang disampaikan oleh Bapak Drs. Sony Bonata Purba
(Antropolog UI-81):
“Na salpu ai lang dong hita perkumpulan, hatahon ma arisan marga. Tapi
i Simalungun on di dong perkumpulan huta, misalni ikatan pemuda Sambual, perkumpulan pelajar hun Raya. Anggo perkumpulan marga i Simalungun on pe mangihut hanhalak Toba do ai. Dong homa sifatni halak hita on, ai ma hoison laklak asal ulang ahu, age mahua halak asal lang mahua ahu”
“Dulu tidak ada perkumpulan, katakanlah arisan marga.Tapi di Simalungun ini yang ada perkumpulan daerah asal, misalnya ikatan pemuda dari Sambual, perkumpulan pelajar dari Raya.Kalau perkumpulan marga kita orang Simalungun mengikut dari Etnis Toba.Ada juga sifat orang kita, itulah biarkan orang itu kenapa-kenapa asalhan tidak aku yang kenapa-kenapa”.
3.4.4. Peran Organisasi Simalungun di Sei Mangkei
Sei Mangkei merupakan salah satu daerah perbatasan Kabupaten
Simalungun dengan Kabupaten lain, sehingga seperti yang digambarkan dalam
pemaparan diatas menunjukan jumlah Etnis Simalungun minim. Dalam penelitian
Bruner (1978) mengatakan bahwa minimnya jumlah Etnis Toba membuat mereka
semakin kuat dengan adanya peran organisasi berupa ikatan-ikatan yang
dibangun. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan Etnis Simalungun
yang tidaklah demikian. Jumlah minim Etnis Simalungun tidak terlalu
berpengaruh terhadap pembentukan ikatan-ikatan tersebut.
Di Desa Sei Mangkei tidak terdapat organisasi atau ikatan khusus yang
dibentuk dan berdiri mengatasnamakan ikatan Etnis Simalungun. Di Desa Sei
pemerintah Simalungun dan terdapat di setiap Nagori yang ada di Simalungun
yaitu Partuha Maujana Simalungun (PMJ).
PMJ merupakan sebuah organisasi yang di bentuk dan di isi oleh
pemangku-pemangku adat Simalungun. PMJ berfungsi untuk mengatur
hubungan-hubungan adat Etnis Simalungun dengan kehidupan keseharian
masyarkat Simalungun diantaranya: melakukan penyelasian melalui hukum adat,
pemegang kekuasaan berdasarkan hukum adat, termasuk membuat program untuk
menjaga eksistensi Etnis Simalungun.
Hal yang membuat keadaan semakin menarik dalam penelitian ini bahwa,
di Sei Mangkei struktur kepengurusan PMJ yang seharusnya di isi oleh Etnis
Simalungun kini di isi oleh Etnis Jawa yang tidak lain adalah etnis pendatang.
Saat ini memang jelas tidak ada ketentuan yang mengharuskan jati diri Etnis
Simalungun hanya bagi orang bermarga Simalungun asli, melainkan kepada siapa
saja yang sudah mengakui diri sebagai Etnis Simalungun dan memahami budaya
serta mengakui “ahap” Simalungun.
Struktur PMJ yang ada di Sei Mangkei merupakan Etnis Jawa yang sama
sekali tidak mengerti kebudayaan Simalungun. Hal ini jelas menjadi pertanyaan
besar, mengapa seseorang tidak memahami kebudayaan Etnis Simalungun dapat
menjadi pengisi bahkan memimpin organisasi pemangku adat Etnis Simalungun.
Dalam teori Identitas Soaial dikatakan bahwa orang lebih memiliki preferensi
terhadap kelompoknya sendiri, dan tidak terhadap kelompok yang lain. Akan
dapat menjadi pengisi struktur organisasi pemangku adat Simalungun sedangkan
Etnis Simalungun cenderung lebih memilih untuk menjadi Etnis Jawa.
Juga sedikit tidak terdapat dari individu (citra) yang berasal dari proses
kategorisasi dan perbandingan sosial yang memperjuangkan positive in group
distinctiveness, (konsep diri yang positif) yaitu menggunakan sikap-sikap positif
dari kelompoknya dan mengemukakan sikap-sikap negative dari kelompok lain.
Menanggapi hal tersebut ada rasa kekecewaan yang di rasakan oleh
pihak-pihak lain yang juga menjadi narasumber informasi dalam penelitian ini.Yaitu
dari salah satu pihak Pemangku adat Simalungun, organisasi-organisasi berbasis
Etnis Simalungun yang ada di Pematangsiantar dan pengamat kebudayaan
Simalungun.akan tetapi mereka juga tidak dapat berbuat banyak. Di Simalungun
terdapat beberapa organisasi yang eksis berbasis kedaerahan diantaranya PMJ,
Haruan Bolon, HIMAS dan lain sebagainya.Tetapi beberapa organisasi tersebut
masih belum bersentuhan dengan beberapa daerah di Simalungun, termasuk Desa
Sei Mangkei.
Di Desa Sei Mangkei tidak terdapat satu organisasi pun yang berbasis adat
Etnis Simalungun, oleh karenanya jika di gariskan dengan peran organisasi maka
jelas tidak ada sentuhan organisasi adat Etnis Simalungun disana.Hanya terdapat
perkumpulan orang Simalungun yang masih relefan berusaha menjaga eksistensi
Etnis Simalungun melalui peran gereja juga arisan marga ataupun daerah asal
tetapi perkumpulan ini tidak di Sei Mangkei melainkan di Desa Timbaan dan
BAB IV ANALISA
4.1. Pembahasan Berdasarkan Pengamatan
Dalam melakukan penelitian, peneliti mencoba untuk melakukan
pendekatan dan membangun rapport kepada masyarakat Desa Sei
Mangkei.Dalam tiga bulan pertama penelitian pertama, peneliti hanya
bermodalkan pendekatan secara kekeluargaan yang dibantu seorang masyarakat
tetangga desa lokasi penelitian. Bapak Tuan Saragih, yang memiliki hubungan
kekeluargaan dengan peneliti tinggal di desa Dolok Sinumba yang tidak jauh dari
lokasi penelitian.
Peneliti bersama Bapak Tuan Saragih, sebut saja rekan dalam penelitian,
bersama memasuki tempat-tempat istirahat (warung) yang ada di sekitaran lokasi
penelitian dalam beberapa waktu secara bergantian.Ini dilakukan peneliti dalam
upaya mencari kenalan/informan dan membangun rapport di lokasi penelitian.
Mengamati pergeseran budaya Etnis Simalungun di Desa Sei Mangkei,
peneliti tidak memberikan batasan hanya berdasasrkan pada bahasa.Jelas selama
beberapa hari pertama peneliti dilapangan sangat sulit mencari seseorang yang
bisa berbahasa Simalungun dan memang tidak ditemukan satu orangpun di Desa
Sei Mangkei yang fasih berbahasa Simalungun.
Marjinalisasi dalam hal ini beralih pada jangkauan yang lebih luas
mengacu pada pengetahuan masyarakat desa Sei Mangkei tentang
mencari tahu peralihan kebudayaan, peneliti melakukan pengamatan terhadap
Etnis Simalungun (asli) dalam kebiasaan-kebiasaan dan keseharian kehidupan
mereka. Peneliti memang tidak lama stay (tinggal) bersama dirumah informan,
dikarenakan ketidak bersediaan informan. Tetapi setiap hari peneliti sudah
melakukan pengamatan dengan mengikuti beberapa informan sejak pagi hingga
malam hari.
Pada penelitian di bulan kedua, peneliti mulai melakukan pengamatan
pada proses interaksi sosial di desa Sei Mangkei. Berdasarkan pengamatan dan
participant observation peneliti di Desa Sei Mangkei, peneliti mengamati
kebudayaan yang paling berpengaruh di Sei Mangkei.Peneliti melihat tidak ada
satu orang pun yang berbicara dan melakukan aktivitas berdasarkan kebudayaan
Etnis Simalungun.
Kebiasaan yang paling dominan lebih mengarah kepada kebudayaan Etnis
Jawa dan Batak Toba.Di setiap warung-warung dan tempat perkumpulan
masyarkat Sei Mangkei, selalu ada menemukan bahasa Jawa dengan logatnya
yang khas, bahasa Batak Toba juga dengan logatnya yang khas.Kemudian
selebihnya menggunakan bahasa Nasional yaitu bahasa Indonesia.
Mengingat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan setiap harinya dalam
setiap minggu di Sei Mangkei begitu-begitu saja, peneliti mulai mencari informasi
lebih dengan mertanya kepada siapa saja yang di temui dan mau di wawancara
tentang upacara adat yang pernah dilakukan masyarakat Desa. Hasilnya nihil,
hanya ada kegiatan gotong royong yang tidak menentu waktunya dan acara
Simalungun.Namun setelah di telusuri kembali, bahwa memang bukan adat
Simalungun yang dipergunakan, tetapi hanya terdapat gondrang dan seruling pada
beberapa acara-acara masyarkat seperti pesta pernikahan, sunatan, dan syukuran.
Pada hari minggu dalam penelitian di Gereja, peneliti mendapatkan
tambahan faktor yang mempengaruhi pudarnya kebudayaan Simalungun.Dalam
hal ini kegiatan-kegiatan agama juga menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi eksis atau tidaknya kebudayaan Simalungun di Sei Mangkei.
Pada kegiatan-kegiatan agama, kelompok masyarakat islam semakin
dipertajam dengan kebiasaan islamik, menggunakan bahasa arab, dan berinteraksi
dengan bahasa jawa. Sedangkan di Desa Sei Mangkei hanya terdapat satu gereja
saja dan gereja tersebut tidak berasal dari etnis manapun dengan megatas namakan
Gereja Nasionalis.Dalam kebiasaan di gereja juga tidak menggunakan bahasa dan
kebiasaan tradisi dari Etnis Simalungun.Berbeda dengan gereja yang
mengatasnamakan Etnis Simalungun yaitu GKPS, yang setiap kegiatan ibadahnya
pasti menggunakan bahasa dan tradisi Etnis Simalungun.
Selain mengamati interaksi sosial masyarakat Sei Mangkei, peneliti
menyempatkan menyinggahi tempat-tempat pemerintahan, kantor-kantor, sekolah
dan kelembagaan lainnya guna melihat design setiap bangunannya.Hal ini
dilakukan peneliti karena setelah diamati, tidak ada penanda wilayah atau
sedikitpun ukiran dan gambar khas dari Simalungun.seperti gorga Simalungun
pada ucapan Selamat datang, pahatan Cicak, dan sebagainya.
Tetapi setelah penelitian bulan ke empat (terakhir) peneliti melihat ada
bangunan pemerintah, termasuk sekolah di Sei Mangkei. Pengecatan tidak merata
selesai serentak tetapi bergiliran da nada dalam proses pengerjaan.
Sebelum kembali ke Desa Sei Mangkei, peneliti sempat menemui penatua
adat Simalungun yaitu Bapak Drs. Djoman Purba, dan kantor Disporabudpar
Simalungun. peneliti tidak mengetahui apakah pengecatan itu berkaitan dengan
kunjungan peneliti ke kantor pemerintahan dan yayasan Museum Simalungun
tersebut. Dari perbincangan peneliti dengan Bapak Edi Susanto (kepala desa Sei
Mangkei):
”Kami sendiri juga terkejut, tiba-tiba kemarin itu waktu sore-sore. Bapak
Rahmat (staff di kantor camat) bawa surat isinya itu untuk melakukan rehap bangunan. Sekalian juga itu dibawa sama tukang-tukangnya yang mau kerja. Sudah saya terima, sudah kemudian besoknya langsung itu dikerjakan mereka, ada empar (4) orang yang kerja. Itu mulai dari sekolah SD depan, yang pas pintu masuk Desa, itu di pinggir jalan besar, terus ini SD yang di perumahan perkebunan blakang masjid. Abis itu nanti ke sini juga. Terakhir kurasa di kantor ini, karena kan disini banyak surat-surat,atau memang udah gitu darisananya”.
Terkait dengan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sei
Mangkei, penulis mengambil data dasar hukum pembangunan KEK yang
mengacu pada Undang-Undang Repunlik Indonesianomor 39 tahun 2009 tentang
Kawasan Ekonomi Khusus. Dalam pasal tersebut dijelaskan bagaimana berdirinya sebuah
Kawasan Ekonomi Khusus baik dari tahap pengusulan, perencanaan, penetapan,
pembangunan, hingga pada pengoperasian dan seterusnya.
Dari pasal tentang pengusulan hingga perencanaan dikatakan bahwa proses
tersebut hanya dilakukan oleh badan usaha, pemerintah daerah, pemerintah provinsi
secara langsung ke pemerintah pusat. Jadi jelas bahwa tidak ada peran dari masyarakat
menambah banyaknya pendatang dan kemungkinan akan memberikan rasa takut kepada
Etnis Simalungun terhadap keutuhan budayanya.
Hal ini serupa dengan contoh kasus di Papua dimana pada tahun 1959
persentase pendatang masih kurang dari 2%, menjadi 4% pada tahun 1971, dan
menjadi lebih dari 35% pada tahun 2000. Pada tahun 2005 diperkirakan penduduk
pendatang menjadi 41% dan melonjak menjadi 53,3% pada tahun 2011. Pada
masa depan atau masa akan datang, dikhawatirkan orang asli Papua akan menjadi
minoritas di atas tanahnya sendiri. Sebagai akibatnya adalah adanya kekhawatiran
orang asli Papua akantermarjinalisasi. Dengan banyaknya pendatang, misalnya:
posisi politik orang asli Papua melemah karena suara mereka bisa jadi lebih kecil
daripada pendatang dalam pemilihan umum atau pemillihan kepada daerah56
4.2. Pembahasan Berdasarkan Wawancara
.
Eksistensi seperti dalam buku (Martin Vincent, 2001) diidentikan dengan
pilihannya, dengan keputusan yang diambil dan kebebasan.Karena tanggung
jawab yang menyeluruh, eksistensi lebih banyak digambarkan dengan
istilah-istilah rasa takut, kesedihan yang mendalam, ketidak beranian, dan diabaikan. Hal
ini sesuai dengan salah satu sifat Etnis Simlaungun yang ada rasa “takut”,
“ketidak beranian” serta lebih baik didiam-diamkan atau “diabaikan”
Setelah menjalani tiga bulan penelitian di Desa Sei Mangkei peneliti juga
membuat kuesioner guna melengkapi sekaligus penutup data secara kuantitatif di
lapangan. Dalam membuat kuesioner peneliti juga dibantu rekan-rekan dari LSM
Concervation Developmenr Forest (CDF) dan Centre Community Education
(CCE) dan LPM SULUH yang sebelimnya banyak melakukan pendampingan
terhadap masyarakat disekitaran lokasi penelitian. Mencari tanggapan dari
rekan-rekan LSM tersebut dilakukan agar pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih
mengarah dan tidak memberi dampak negative, menyinggung perasaan atau
merusak hubungan dengan informan.
Dalam teknik memilik responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang telah disusun oleh peneliti, peneliti menggunakan teknik sampling. Di desa
Sei Mangkei tempat peneliti melakukan penelitian dari sekitar 2000-an jiwa hanya
terdapat Sembilan (9) orang Etnis Simalungun asli. Olek karenanya peneliti
melakukan wawancara terhadap lima (5) dari Sembilan (9) orang Etnis
Simalungun tersebut, yang ke-limanya adalah informan peneliti. Kemudian
peneliti juga melakukan wawancara kepada masyarakat dari Etnis Lain yang
sudah berdomisili (tinggal) di Sei Mangkei kurang lebih selama tiga (3) generasi.
Proses wawancara dilakukan peneliti selama seminggu secara bergantian
dan dimulai dari istri kepala desa Sei Mangkei yang juga adalah Etnis Simalungun
asli. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa informan lainnya pada hari
berikutnya dan begitu seterusnya.
Responden 1
Responden Pertanyaan Jawaban
Sariah Damanik (50)
Perempuan
Islam
Guru (S1)
1. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang ahap Simalungun?
Tidak ada
2. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang visi-misi budaya Simalungun?
Tidak tahu, cuma tahu “Habonaron do Bona”= kebenaran dasarnya
3. Apa tanggapan bapak/ibu melihat banyaknya pendatang
Huta III
yang masuk ke daerah tempat tinggal
bapak/ibu?
kami yang orang setempat malah ga bisa kerja disana, kecewa la!!!
Ta tidak tahu, berbaur saja seperti biasa, dari marga kan tanda kalau saya Simalungun..
5. Setuju tidak kalau dipimpin oleh yang bukan Etnis
Simalungun?
Kurang setuju, orang luar kan tidak mengenal lokasi/simalungun, kalau pemimpin yang karena uang saja buat apa?
6. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang sifat orang Simalungun?
Orang Simalungun dikenal orang yang lambat dalam bertindak
7. Bapak/ibu setuju atau tidak kalau orang
Simalungun selalu kalah dengan pendatang (daerah perbatasan) seperti parapat?
Setuju, jadi terikut sama orang lain
8. Bapak/ibu setuju atau tidak kalau Simalungun dimekarkan?
Sangat setuju, karena kalau mengurus surat-surat kejauhan kami ke raya, kalau dimekarkan bisa lebih efisien
9. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang budaya Simalungun?
Sedikit, kalau pesta pernikahan pakaian adat
simalungun, pakai gondrang, pakai daun sirih
sama beras untuk acara adat
Dari hasil wawancara dengan Ibu Sariah Damanik, penulis menyimpulkan
bahwa informan masih mengetahui sedikit tentang Simalungun, memberikan
informasi apa adanya dengan sepengetahuan beliau.
Informan juga mengakui bahwa dirinya (Simalungun) tidak dapat
mempertahankan eksistensi Etnisnya dan lebih terikut terhadap pendatang
(Jawa).Informan juga mengiginkan adanya pemekaran Daerah Simalungun,
delakukan pemekaran maka pemimpin dan jajarannya harus dari Etnis
Simalungun.
Responden 2
Responden Pertanyaan Jawaban
Sofia
1. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang “ahap” Simalungun?
Tidak tahu
2. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang visi-misi budaya Simalungun?
Tidak tahu
3. Apa tanggapan bapak/ibu melihat banyaknya pendatang yang masuk ke daerah tempat tinggal bapak/ibu?
Biasa saja, pendatang ini kan karena KEK, Cuma kalau bisa harapannya jangan lah pekerjanya dari luar lagi yang kerja disitu, orang sini kan masih banyak sih..
4. Bagaimana cara bapak/ibu mempertahankan identitas sebagai Etnis
Simalungun?
Saat ini Cuma bisa dari marga, karena saya lama di pekanbaru, sambil-sambil belajar dari anak saya yang SD..
5. Setuju tidak kalau
dipimpin oleh yang bukan Etnis Simalungun?
Harus orang Simalungun, Putra daerah..
6. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang sifat orang Simalungun?
Terlalu nyaman, kalau bisa berharap hidup adem-adem saja, hampir sama dengan orang jawa.. 7. Bapak/ibu setuju atau
tidak kalau orang
8. Bapak/ibu setuju atau tidak kalau Simalungun dimekarkan?
Tidak tahu, mengikut saja
9. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang budaya Simalungun?
Ibu Sofia Damanik adalah salah satu informan peneliti yang paling muda,
dari jawaban-jawaban beliau dapat disimpulkan bahwa ibu Sofia memang hampir
kehilangan kebudayaannya yaitu Simalungun.Beliau sudah tidak bisa berbahasa
Simalungun, tetapi masih mempunyai kemauan untuk mempelajari kembali
bahasa Simalungun dan dibuktikan dengan caranya belajar dari anaknya yang
masih duduk di bangku SD.
Menurutnya, dia bukan tidak menghargai atau menghilangkan budayanya
serta identitasnya, hanya saja dia lama berada di Pekanbaru sehingga lingkungan
yang merubahnya. Dia juga tidak banyak kommentar terhadap pemerintahan dan
pengaruh dari Etnis lain yang masuk ke Sei Mangkei karena adanya KEK. Yang
penting tidak ada gangguan dalam kehidupannya, kedepan dia mau berusaha
untuk kembali mempelajari hasimalungunan dan bahasa Simalungun.
Responden 3
Responden Pertanyaan Jawaban
Sardi Siregar (39)
1. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang “ahap” Simalungun?
Sedikit, Orang yang mengakui dirinya Simalungun 2. Apa yang bapak/ibu
ketahui tentang visi-misi
Bisa sedikit bahasa Simalungun
5. Setuju tidak kalau dipimpin oleh yang bukan Etnis
Simalungun?
Tergantung, setuju-setuju saja
6. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang sifat orang Simalungun?
Kalau orang Simalungun nya disini kan Cuma sedikit, itupun tidak terlalu suka kumpul-kumpul disini jadi kurang tahu.. 7. Bapak/ibu setuju atau
tidak kalau orang kurang berani, gam au di kebon, kalau pendatang kayak kami harus berani, orang Simalungun suka mengalah tapi biasanya pendendam..
8. Bapak/ibu setuju atau tidak kalau Simalungun dimekarkan?
Setuju, biar bisa buka lapangan pekerjaan baru, saya juga pengen jadi PNS (kalau bisa), di daerah sini juga kalau ga bisa kerja di kebon banyak yang nganggur, perantau yang nganggur..
9. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang budaya Simalungun?
Budaya adat-adat kurang tahu, tapi kalau orang Simalungun itu kurang berani, banyak juga yang tidak bertahan dengan identitasnya (marga)..
Mengimbangi informan dari etnis lain di Sei Mangkei, Bapak Sardi
Siregar adalah informan saya yang bersedia untuk dimintai keterangan dari
pertanyaan yang sudah peneliti susun. Beliau sudah berada selama empat (4)
generasi di Simalungun dan daerah Sei Mangkei.
Informan peneliti yang satu ini ber-Etnis Batak Toba tetapi sedikit
mengetahui tentang Simalungun (ahap Simalungun), bapak ini juga memberi
masukan tentang adanya sifat peninggalan dari nenek moyang Simalungun yang