(Studi Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia
Serua, Bojongsari-Depok)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)
Oleh:
INTAN PRATIWI
1111044100081
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN
2004 TENTANG WAKAF
(STUDI PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF di YAYASAN YATIM DAN DHUAFA AL-AULIA SERUA, BOJONGSARI DEPOK)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)
Oleh
INTAN PRATIWI
NIM: 1111044100081
PEMBIMBING
Dr. H. Sumuran Harahap, M.Ag., MM., MH., M.Si
NIP: 195303261979031002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentan yang berlaku di Universitas Islm Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil
jiplakan atau plagiat dari karya orang lain, maka saya yang bersangkutan bersedia meneriama sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF (Studi Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Yatim dan Dhuaf Al-Aulia) Serua, Bojongsari-Depok. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Peradilan Agama.
Jakarta, 13 Juli 2015
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
NIP.196912161996031001
Disahkan oleh Tim Penguji Sidang Munaqasyah:
Ketua : Dr. Abdul Halim, MA (...)
NIP. 196706081994031005
Sekretaris : Arip Purkon, S.HI, MA. (...)
NIP. 197904272003121002
Pembimbing : Dr. Sumuran Harahap, M.Ag (...)
NIP. 195303261979031002
Penguji I : Prof. Dr.H. Salman Maggalatung (...)
NIP.195403031976111001
Penguji II : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA (...)
(Studi Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia) Serua Bojong sari-Depok. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum. Program Studi Peradilan Agama/ Ahwal Al-Syakhsiyyah. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Dr. Sumuran Harahap, MM, M.Ag, MH, M.Si.
Kata Kunci: Pengelolaan Wakaf Produkti Di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia Serua Bojongsari Depok.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pengelolaan wakaf produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia Serua Bojongsari Depok. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dari judul tersebut adalah: (1). Bagaimana pengelolaan wakaf produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia dan (2) Apa saja yang menjadi Hambatan dan Tantangan dalam pengelolaannya.
Temuan dalam penelitaian ini adalah Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia didirikan atas partisipasi para donatur dan masyarakat sehingga dari hasil partisipasi tersebut dibelikan lahan tanah dan kemudian dibangun yayasan di atas lahan tanah tersebut. Pada tahun pengurus membentuk wakaf produktif yang mana wakaf produktif tersebut dikelola dan dikembangkan di lahan tanah wakaf yayasan Al-Aulia, wakaf produktif ini secara maksimal sudah berjalan dengan baik sehingga mampu membangun kemandirian pendidikan dan menyantuni anak yatim, dhuafa serta lansia sebagaimana peruntukan wakaf dalam Undang-undang.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam
kita sanjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan
umatnya hingga akhir zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan dan
hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dan tentunya
dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbeda-beda dapat diminimalisir dengan
adanya nasihat dan dukungan yang diberikan oleh keluaga dan teman-teman penulis.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga
untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Tentunya kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, S.Ag, MA, Ph.D selaku Dekan fakultas syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pembantu Dekan 1, II,
III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, MA selaku Ketua program Studi Ahwal Assyakhsiyyah serta
Arif Purkon SH.I, MA. Selaku sekretaris Program Studi Ahwal Assyakhsiyyah yang
telah bekerja dengan masimal.
3. Dr. Sumuran Harahap, MM, M.Ag, MH, MS.I selaku pembimbing skripsi yang telah
banyak membimbing, memberikan pencerahan, motifasi semangat dan ilmunya
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu yang
dan Ibunda Irmawati yang telah memberikan motivasi dan arahan. Terimakasih untuk
kakanda Amir Mufti Syar’i S.pdi dan adik tersayang Muhammad Dzacky Aulia
Hikmatullah yang tidak pernah jenuh yang selalu memberikan doa, dukungan dan
semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara.
6. Penyemangat hidupku Muhammad Usman yang selama ini menyemangati jalannya
penulisan skripsi ini yang tidak kenal lelah untuk memberikan dukungan penuh
kepada penulis.
7. Sahabat-sahabatku yang terbaik Juniarti Harahap, Vemy Zauhara, Zahratul Kamilah,
Mundalifah, Ai siti Wasilah, Denis Silvia dan Devi Chairunissa, Fadly Khairuzahdi,
M. Ali Ashobuni, Savira Maharani, Lilis Sumiati, Epi yuliyanti, Robian Achmad, dan
Teman-teman KKN Bandhura 2014. yang telah memberikan masukan, saran, motivasi
dan menghibur penulis.
8. Teman-teman program studi Peradilan Agama angkatan 2011 dan Teman-teman
program studi Administrasi Keperdataan Islam yang telah memberikan saran dan
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang perlu
diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan setiap pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT.
Semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan dari Allah SWT.
Jakarta, 27 Juni 2015
LEMBAR PERNYATAAN...iii
ABSTRAK...iv
KATA PENGANTAR...v
DAFTAR ISI...vi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8
D. Metode Penelitian...10
E. Sistematika Penulisan...14
BAB II: TINJAUAN TEORITIS A. Wakaf 1. Pengertian Wakaf dsn Dasar Hukum...16
2. Sejara Wakaf...22
3. Macam-macam Wakaf...26
4. Syarat dan Rukun Wakaf...29
B. Wakaf Produktif 1. Konsep Wakaf Produktif...39
2. Macam-macam Wakaf Produktif...41
3. Sistem Manajemen pengelolaan...41
4. Strategi pengelolaan...43
BAB III: GAMBARAN UMUM YAYASAN AL-AULIA A. Sejarah Singkat...45
B. Visi dan Misi...46
C. Struktur Kelembagaan...52
B. Srategi Pemasaran...58 C. Pemanfaatan Hasil Wakaf...60
BAB V: PENUTUP
1
A. Latar Belakang Masalah
Tanah sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan
peranannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik maupun
budaya. Jumlah penduduk yang bertambah, sedangkan lahan tanah yang
sangat terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan sehingga
mengakibatkan fungsi tanah sanagat dominan karena lahan tanah tidak
sebanding dengan kebutuhan yang diperlukan.1 Oleh karena itu, masalah
pertanahan merupakan tanggung jawab secara nasional mewujudkan cara
pemanfaatkan penguasaan dan pemilikan tanah bagi kemakmuran rakyat
sebagaimana dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkadung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.2
Tanah erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia,
sehingga orang pasti memerlukan tanah tidak hanya dalam kehidupan,
bahkan dalam beribadah pun manusia memerlukan tanah. Dalam
kehidupan manusia salah satu dari persolaan yang banyak dijumpai pada
masyarakat menyangkut persoalan mengenai sengkata tanah.3
1
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal
12 2
Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan, ( Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 63 3
2
Masalah tanah tersebut sangatlah kompleks, karena tanah
merupakan sumber daya dan faktor produksi yang utama, baik bagi
pembangunan maupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi
anggota masyarakat. Persoalan mengenai tanah dan solusinya dalam
kehidupan masyarakat sangat penting, karena tanah merupakan sumber
kehidupan bagi manusia sehingga manusia sangat tergantung pada tanah.
Tanah dapat dinilai pula suatu harta yang permanen, berbagai jenis
hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan
ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. Tanah dapat juga untuk
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya. Indonesia sebagai
Negara yang sedang berkembang menyadari betapa pentingnya
permasalahan tentang tanah, dan berupaya untuk membuat aturan tentang
hukum agraria nasional yang bersandar pada hukum adat tentang tanah,
yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.4
Mengingat penting persoalan mengenai pertanahan yang
berdasarkan hukum agama, sudah diatur dalam ketentuan Pasal 49
Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, sebagai berikut :
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang
dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial,
4
diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan
perolehan tanah yang cukup untuk banguanan dan usahanya dalam
bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai
dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
Pemerintah.5
Kata wakaf berasal dari “waqafa” dengan makna berhenti atau
diam di tempat atau tetap berdiri atau penahanan. Sedangkan wakaf
menurut bahasa Arab berarti “al-Habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa,yahbisu,habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau
memenjarakan, kemudian kata ini berkembang menjadi “habasa” dan
berarti mewakafkan harta karena Allah SWT.6 Sedangkan dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang
dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan
sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.7
5
Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 79 6
Fuad Irfan al-Bustani, Munjid al-Lughah, (Beirut : dar al-Masriq), Cet. ke-21, hal.935
7
Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan Undang-Undang No. 41
4
Dalam buku ke III Bab I Pasal 215 angka (1) Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan bahasa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda dari
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.8
Dari penjelasan di atas, bahwa yang dimaksud wakaf adalah
perbuatan seseorang atau badan hukum (Wakif) yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakan
untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Sehingga, dengan
adanya wakaf diperuntukkan untuk memfasilitasi sarana ibadah,
membantu fakir miskin serta anak-anak yang terlantar, yatim piatu,
beasiswa, pendidikan, kesehatan, kemajuan dan peningkatan ekonomi
umat dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan Perundang-undangan.
Dilihat dari segi ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, wakaf
masih kurang dapat dirasakan manfaatnya, ini terbukti selain masih
banyaknya umat Islam yang mewakafkan hartanya hanya untuk tempat
beribadah, dan juga masih banyak yang beranggapan bahwa wakaf
peruntukanya hanya tempat ibadah menandakan masih kurangnya
pemahaman masyrakat terhadap wakaf itu sendiri. Dan ini juga
dikarenakan anggapan indahnya tempat ibadah menjadi tolak ukur status
8
sosial sebagian umat Islam. Kondisi muncul karena dalam pembinaan
yang berhubugan dengan wakaf para ulama, da’i, atau penceramah dewasa
ini berkisar hanya pada tempat ibadah saja.9
Wakaf sebagai bagian dari ajaran Islam tidak dijumpai secara
eksplisit dalam Al-Qur’an namun secara implisit terdapat ayat-ayat yang
memberikan petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber dalil wakaf itu
sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur;an surat Ali
Imran ayat 92.
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang
kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Al-Imran:92)
Dalam konteks wakaf di Indonesia, wakaf yang selama ini banyak
dipahami oleh masyarakat cenderung dan terbatas pada benda tidak
bergerak tanah dan bangunan. Padahal wakaf juga berupa benda bergerak
9
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Penyelenggara Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta, Departemen
6
seperti wakaf kendaraan, wakaf uang, wakaf logam mulia, hak sewa, surat
berharga, wakaf hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang.10
Wakaf tanah ini bagi sebagian masyarakat Indonesia, menempati
kedudukan penting dalam kehidupan mereka, terutama bagi masyarakat
pedesaan yang pekerjaan pokoknya bertani. Tanah juga tidak kalah
pentingnya di daerah perkotaan, baik untuk tempat pemukiman,
perkantoran, maupun sebagai lokasi usaha atau tempat bisnis. Naiknya
harga jual tanah ini disebabkan tanah tidak bertamabah populasi penduduk
semakin bertamabah serta pesatnya pembangunan di berbagai bidang
dewasa ini, sehingga muncul berbagai perbedaan. Dan perebutan dalam
bentuk tanah yang sudah diwakafkan keluarga karena tidak ada bukti
otentik atau sertifikat seringkali diambil oleh ahli warisnya.
Wakaf sebagai lembaga yang telah diatur dalam Islam, wakaf telah
dikenal dan dilaksanakan sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Akan
tetapi data mengenai jumlah seluruh aset wakaf diseluruh Indonesia belum
diketahui secara akurat. Ini mengingat data-data tentang seluruh aset
wakaf di Indonesia tidak terkoordinir secara baik dan terpusat di institusi
profesional. Kemudian, aset wakaf tersebut belum dikelola secara
produktif, padahal bisa menjadi instrumen yang kontributif bagi upaya
peningkatan kualitas hidup umat Islam dan umat manusia. Dengan
demikian aset wakaf tersebut tidak likuid dan mati karena tidak
10 Adijani al-Alabij,
termanfaatkan dengan baik. Bahkan banyak tanah wakaf yang belum dan
tidak bersertifikat sehingga menjadi objek sengketa untuk nantinya dijual
belikan dengan harga murah.
Oleh karena itu penulis melihat bahwa permaslahan ini menarik
untuk dikaji lebih mendalam dan melakukan penelitian, membahas dan
mencari solusinya dengan menuangkannya dalam bentuk Skripsi yang
berjudul : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN
2004 (STUDI PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF DI YAYASAN
AL-AULIA SERUA,BOJONGSARI-DEPOK).
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan kondisi tersebut, penulis merinci kedalam beberapa
identifikasi permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana sistem pengelolaan wakaf produktif dapat berjalan
dengan baik di yayasan ?
b. Apa yang mendasari yayasan tersebut sehingga tanah wakaf dapat
diproduktifkan ?
c. Bagaimana eksistensi dan kontribusi tanah wakaf di Yayasan
terhadap masyarakat ?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempersempit dan mempermudah penelitian serta
8
Skripsi ini, maka penulis membatasi masalah tersebut pada
Implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
pada pasal 5, pasal 7, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 28 dan
diteliti pada Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia di Serua Bojongsari
Depok.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf di Yayasan Yatim dan Dhuafa
Al-Aulia ?
b. Faktor apa yang menjadi hambatan dan solusi terhadap
masalah-masalah dalam pengelolaan wakaf produktif tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini:
a. Mengetahui pengelolaan wakaf produktif pada Yayasan Yatim
dan Dhuafa Al-Aulia
b. Mengetahui pengelolaan wakaf produkitif, hambatan, tantangan
dan solusinya
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini selain dilakukan untuk memperoleh
gelar sarjana (S-1), hasil penelitian ini juga dapat dijadikan
referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji dan
membahas lebih lanjut tentang Implementasi Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
b. Bagi penulis, menambah wawasan dan pemahaman tentang
pengelolaan wakaf produktif
c. Bagi akademis, untuk menambah literatur wakaf supaya lebih
dikembangkan sebaik mungkin.
d. Bagi masyarakat, untuk peningkatan kesejahteraan umat terutama
bagi masyarakat yang kurang mampu dan menambahkan
kepercayaan masyarakat untuk mewakafkan harta atau uang yang
dimiliki untuk kemaslahatan umat.
e. Bagi Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia, untuk meningkatkan
pengelolaan terhadap wakaf tersebut sehingga berlanjut dan
berdayaguna.
D. Review Studi Terdahulu
Review hasil penelitian yang terdahulu yang berhubungan dan
sesuai dengan aspek-aspek dalam penelitian tentang wakaf produktif
sebagai berikut:
1. Badru Rochmat, 2010. Strategi Pengelolaan Wakaf Uang
Secara Produktif Pada Bitul Mal Muamalat. Dari hasil
10
bagaimana strategi pengelolaan wakaf uang tersebut dengan
menguraikan indikator sebagai alat ukurnya. Penelitian ini sama
dengan penelitian penulis dengan tujuan memberikan penjelasan
kepada masyarakat tentang wakaf produktif tetapi berbeda pada
lembaga yang akan diteliti.
2. Idik Komarudin, 2010. Efektivitas Pengelolaan Dan
Pemberdayaan Wakaf Tunai Pada Tabungan Wakaf
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa
peneliti hanya menekankan kepada bagaimana wakaf tersebut
dapat berjalan dengan baik sesuai manfaatnya dengan ketentuan
yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari sudut pandang sifat yang dihimpun, penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan instrumen
penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan yang
didasarkan pada suatu pembahasan degan menggunakan metode studi
kepustakaan (library research), yaitu metode yang dilakukan dengan
mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penelitian melalui studi
kepustakaan yang diperoleh melalui kajian undang-undang dan
berhubungan dengan data-data penelitian.11 Sedangkan metode yang
digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif, yakni metode yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di
lapangan berupa kata-kata tertulis dari orang-orang atau pelaku yang
diamati.12
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini yang dilakukan yaitu selain
dengan metode penulisan deskriptif dan juga menggunakan metode
pendekatan normatif-sosiologi, yaitu merupakan proses pengungkapan
kebenaran yang didasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar.
3. Kriteria dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang penulis gunakan:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung
dari subjek penelitian. Data penelitian ini diperoleh dari hasil
wawancara dan survei yang dilakukan penulis terhadap sebuah
lembaga yang akan diteliti.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan
mengadakan studi kepustakaan atas pembahasan yang
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta,2006) hal. 20
12 Lexi J Maelong,
12
berhubungan dengan masalah yang diajukan yang memberikan
penjelasan tentang bahan data primer.13Data sekunder ini bersifat
pelengkap yang diperoleh dari lembaga yang ingin diteliti dan
tulisan-tulisan berbagai referensi pada saat kuliah serta sumber
lainnya yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang
terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis
lainnya.
c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini,
penulis menggunakan beberapa instrumen pengumpulan data,
diantaranya sebagai berikut :
a. Observasi
[image:22.595.123.513.203.589.2]Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mendapatkan
gambaran secara langsung tentang informasi yang
berhubungan dengan bentuk komunikasi yang dikembangkan.
Teknik observasi paling sesuai dengan penelitian sosial, karena
pengamatan dapat dilakukan dengan melihat kenyataan dan
mengamati secara dalam, lalu mencatat yang dianggap penting.
Penulis tidak hanya mencatat kejadian atau peristiwa, akan
tetapi juga mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini yang diamati sesuai
13 Ipah Farihah,
dengan kebutuhan yaitu komunikasi, interaksi, pemenuhan
kebutuhan, dan pemecahan masalah.
b. Interview/ Wawancara
Interview atau wawancara adalah teknik pengumpulan
data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh
pewawancara kepada responden, dan jawaban responden
dicatat serta direkam. Wawancara adalah teknik yang cukup
efektif dalam meneliti, karena akan dapat menggunakan lebih
dalam informasi dari partisipan, mengkrontuksi mengenai
orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perassaan, motivasi, dan
sebaginya.14
c. Dokumentasi
Dilakukan untuk pengumpulan data degan mencari
data mengenai variable yang berupa catatan, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen, dan sebagainya.
d. Teknis Analisa Data
Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Setelah
dipelajari dan ditelaah maka langkah penulis selanjutnya meruduksi data,
dengan jalan merangkum masalah yang penulis teliti. Dalam menganalisa
data penulis menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Dianalisis secara
kualitatif dan dicari pemecahannya, kemudian disimpulkan dan digunakan
14
14
untuk menjawab permasalahan yang ada. Proses analisa data dengan
mendeskripsikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan menghubungkan bagaimana implementasi Undang-Undang tersebut
terhadap studi pengelolaan wakaf di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia
agar diketahui implementasi Undang-Undang tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulis dalam Skripsi ini diklasifikasikan dalam lima
bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan.
Dalam bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, review studi
terdahulu, sistematika penulisan.
BAB II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf:
Dalam bab ini dibahas meliputi pengertian wakaf dan dasar
hukumnya, rukun dan syarat wakaf, macam-macam wakaf,
fungsi wakaf, dan tujuan wakaf, serta implementasi
Undang-undang wakaf dalam praktek pengelolaannya.
BAB III Profil Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-aulia.
Bab ini merupakan inti dari Skripsi ini dan dibahas meliputi
melihat pada inti persoalan, pandangan, wawasan, atau
angan-angan ataupun impian terhadap sesuatu yang sangat
indah dan mempesona sehinga diperlukan usaha keras untuk
mewujudkannya.
dan misi ialah tujuan utama yang harus dicapai atau
prioritas yang harus dicapai seringkali misi juga diartikan
sebagai pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan untuk
mewujudkan visi.15 Struktur kelembagaan yayasan
Al-Aulia, dan lainnya.
BAB IV Analisa Pembahasan.
Bab ini membahas bagaimana pengelolaan wakaf produktif
di yayasan Al-Aulia begitu juga di bahas tentang hambatan
dan tantangan dalam pengelolaannya.
BAB V Penutup.
Bab penutup ini merupakan bab akhir dari Skripsi. Bab ini
terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
15
Sumuran Harahap, Wakaf Uang dan Prospek Ekonominya di Indonesia, (Jakarta: Mitra
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perwakafan Dalam Perspektif Fiqih
1. Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata
“waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau diam ditempat atau tetap
berdiri. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “
Habasa-Tajbisu-Tahbisan”.1
Wakaf menurut etimologis yang bermakna menahan harta dan
memaanfaatkan hasilnya dijalan Allah atau ada juga yang bermaksud
menghentikan seperti telah disebutkan di atas. Makna disini,
menghentikan manfaat keuntungannya dan diganti untuk amal kebaikan
sesuai dengan tujuan wakaf. Menghentikan segala aktifitas yang pada
mulanya diperbolehkan terhadap harta (ain benda itu), seperti menjual,
mewariskan, menghibahkan, dan mentransaksikannya untuk keperluan
agama semata, bukan untuk keperluan si Wakif.
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf,
sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakekat wakaf itu
sendiri. Berbagai pandangan dan pendapat tentang wakaf itu dapat dilihat
menurut istilah sebagai berikut:
1 Peter Salim MA.
a. Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan benda atas milik orang yang
berwakaf dan mendermakan (mensedekahkan) manfaatnya untuk
tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.2
b. Mazhab Malikiyah
Wakaf adalah penahanan suatu benda dari bertasarruf
(bertindak hukum seperti memperjual-belikannya) terhadap benda
yang dimiliki serta benda itu tetap dalam pemilikan si Wakif, dan
memproduktifkan hasilnya untuk keperluan kebaikan.3
c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad Hambal
Kedua mazhab ini berpendapat bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan Wakif. Setelah
sempurna prosedur perwakafan. Seperti perlakuan pemilik dengan
cara memindahlan kepemilikannya kepada yang lain, baik yang
diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif
menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih
(yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana Wakif
tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila
2
Muhammad Mustafa Tsalabi, al-ahkam al-washaya wal awqaf, (Mesir: Dar
al-Ta’lif, 00 ) hal.
3 Abdul Halim,
18
Wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar
memberikannya kepada mauquf alaih, karena itu mazhab Syafi’i
mendefinisikan wakaf adalah Tidak melakukan suatu tindakan atas
suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebijakan sosial, mazhab
ini juga berpendapat bahwa wakaf itu berupa penahanan harta
bertasarruf dan mensedeqahkan hasilnya serta berpindahnya
kepemilikan dari orang yang berwakaf kepada orang yang menerima
wakaf dan tidak boleh bertindak sehendak hati mauquf. Imam Syafi’i
juga berpendapat bahwa wakaf ialah suatu ibadah yang disyariatkan.
Wakaf itu sah bila orang yang berwakaf itu (Wakif) telah menyatakan
lafadz, “saya wakafkan ini (waqaffu haza), sekalipun tanpa diputuskan
Hakim. Bila harta itu telah dijadikan harta wakaf, maka orang yang
berwakaf tidak berhak lagi atas benda itu, walaupum harta itu tetap
berada ditangannya.4
d. Mazhab Imamiyah
Mazhab Imamiyah dalam mendifinisikan wakaf sama dengan
mazhab Syafi’i dan Imam Hambal namun berbeda dari segi
kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu milik mauquf alaih
(yang diberi wakaf), meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan
4
suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau
menghabisknnya.5
Selain definisi menurut fikih klasik, di Negara Indonesia
sendiri terdapat rumusan wakaf dan diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.6 Dan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Pasal 215 ayat (1) wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya
untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.7 Sedangkan menurut
Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan, wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka
waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
5
Departemen Agama RI, Pradigma baru wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam,2007) hal. 2-4 6
Peraturan Pemerintah nomor 28 1977 tentang perwakafan tanah milik, Pasal 1 ayat (1)
7 Kompilasi Hukum Islam (KHI),
20
2. Dasar Hukum Dan Macam-macam Wakaf
1. Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit
tentang wakaf. Al-Quran hanya menyebutkan dalam pengertian
umum, tentang wakaf. Para ulama fikih menjadikan ayat-ayat
Al-Quran sebagai dasar hukum wakaf dalam Islam, seperti ayat-ayat
Al-Quran yang membicarakan tentang kebaikan shadaqah, infak,
dan amal jariyah. Para ulama menafsirkan bahwa wakaf sudah
mecakup dalam cakupan ayat Al-Quran tersebut diantaranya:
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta
yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj:77)
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
(QS. Al-Baqarah:261)
2. Sunnah Rasulullah SAW
Al-Qur’an tidak dituliskan suatu ayat atau katapun tentang
wakaf, dan secara eksplisit menjelaskan tentang wakaf dapat dilihat
dalam hadist Nabi Muhammad SAW dasar hukum wakaf dan
merupakan shadaqah jariyah. Adapun ketentuan dalam hadist yang
22
dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW,
bersabda: “Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka
putuslah amalnya kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akan kedua orang
tuanya.” (HR. Muslim).8
3. Sejarah Perwakafan
Manusia telah mengenal berbagai macam wakaf sejak terbentuknya
tatanan kehidupan bermasyarakat di muka bumi. Setiap masyarakat
menyediakan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh manusia secara
keseluruhan atau kebanyakan anggota masyarakat. Tempat peribadatan
adalah salah satu contoh wakaf yang dikenal oleh manusia sejak dahulu
kala. Demikian juga mata air, jalan-jalan, dan tempat-tempat yang sering
digunakan masyarakat seperti lahan tanah dan bangunan yang sering
dipergunakan masyarakat, namun kepemilikannya bukan atas nama
pribadi, karena itu tidak ada seorangpun yang mempunyai hak penuh
untuk mengatur tempat ini, kecuali telah diberi mandat untuk
pengelolaannya.
Pengertian wakaf telah berkembang di kalangan sebagian
masyarakat. Pada masa Fir’aun, masyarakat telah mengenal bentuk baru
wakaf yang tidak ada sebelumnya. Bentuk wakaf ini berupa tanah
pertanian yang diwakafkan oleh sebagian penguasa dan orang-orang kaya
8 Departemen Agama RI,
untuk tujuan bercocok tanam dan hasilnya diberikan kepada para tokoh
spiritual yang pada saat itu dikenal sebagai dukun, baik dipergunakan
untuk kepentingan pribadi mereka, mendanai tempat peribadatan yang
berada di bawah pengawasannya atau diberikan kepada fikir miskin. Ini
merupakan wakaf untuk kepentingan agama, karena penyalurannya
dilakukan oleh para pemuka agama, akan tetapi berbeda dengan wakaf
yang dipergunakan untuk kepentingan syiar agama.9
1. Wakaf Di Zaman Islam
Al-Quran menyebutkan bahwa Ka’bah merupakan tempat
ibadah yang pertama bagi manusia. Menurut pendapat sebagian
ulama yang mengatakan bahwa Ka’bah dibangun oleh Nabi Adam
AS, dan kaidah-kaidahnya ditetapkan oleh Nabi Ibrahim AS dan
Nabi Ismail AS, serta dilestarikan oleh Nabi Muhammad SAW,
maka dengan demikian Ka’bah merupakan wakaf. Wakaf pertama
yang dikenal oleh manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan
agama. Sedangkan menurut pendapat ulama yang lainnya
mengatakan bahwa Nabi Ibrahim yang membangun Ka’bah, maka
Ka’bah merupakan wakaf pertama kali dalam Islam, yaitu agama
Nabi Ibrahim yang benar, atau wakaf pertama untuk kepentingan
agama dan menegakkan tauhid. Wakaf di zaman Islam telah
dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad
SAW di Madinah yang ditandai dengan pembangunan Masjid
9
24
Quba yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama dan
menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama.
Peristiwa ini terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum
pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar.
Kemudian disusul dengan pembangunan masjid Nabawi yang
dibangun di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli
oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian Rasulullah SAW telah
mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid. Para sahabat juga
telah membantu beliau dalam menyelesaikan pembangunan ini,
termasuk pembuatan kamar- kamar bagi para istri beliau. Islam
adalah pengawas wakaf keluarga sebagaimana dinyatakan dalam
Ensiklopedia Amerika, dan tidak pernah dikenal sebelumnya dalam
Perundang-Undangan Negara Barat, kecuali pada abad ke-20.
Dengan demikian pula, maka wakaf sosial sebagimana yang
diperintahkan Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khatab
berasal dari wahyu kenabian dan tidak mencontoh pelaksanaan
wakaf yang dipraktikkan oleh orang-orang Mesir kuno maupun
orang-orang Yunani dan Romawi. Sebab pengetahuan Rasulullah
tentang keadaan mereka secara detail sangat sedikit. 10
2. Wakaf Di Zaman Eropa Dan Amerika
Wakaf di Barat hanya ada dalam satu bentuk yang berupa
Gereja hingga awal abad ke-13. Karena saat itu di Jerman, Eropa
10
Tengah, dan beberapa Negara lainnya telah muncul sebagi bentuk
wakaf sosial. Dalam peraturan Perundang-Undangan Barat, wakaf
telah disinyalir dalam Undang-Undang Inggris tentang kegiatan
sosial kemasyarakatan yang dikeluarkan pada tahun 1601, dimana
wakaf bisa diketahui dari definisi istilah yang mereka sebut sebagai
kegiatan sosial. Menurut Undang-Undang ini, kegiatan sosial
adalah kegiatan apapun yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk memberi pelayanan atau bantuan kepada
pihak umum. Kegiatan seperti ini mendapat perlakuan istimewa
berkenaan dengan masalah perpajakan. Lebih detail dijelaskan
dalam peraturan Perundang-Undangan tersebut, bahwa kegiatan
sosial, rumah sakit, gereja dan lembaga pendidikan serta kegiatan
yang mempunyai manfaat sejenisnya. Undang-Undang dan
keistimewaan tersebut telah muncul sebelum terbentuknya
pemahaman kontemporer mengenai badan wakaf dalam
Perundang-Undangan Barat yang baru muncul pada abad ke-19.
Kemudian wakaf ini ini dikelola oleh sebuah badan wakaf yang
disebut Foundation. Kegiatan dan bentuknya sangat jelas dan yang
paling nampak adalah bahwa yayasan tersebut bersifat independen
dan non-pemerintah, non-profit, dan bertujuan untuk memberikan
pelayanan umum kepada masyarakat, baik berupa pelayanan
kesehatan, pendidikan maupun bimbingan dan penyuluhan agama.
26
sosial atau public fundation, dan kedua yayasan pribadi atau private
fundation.11
4. Macam-Macam Wakaf
Wakaf ditinjau dari segi peruntukkan dan kepada siapa wakaf itu
diberikan, maka wakaf dapat dibagi menjadi (2) macam:
1. Wakaf Ahli
Wakaf Ahli ialah wakaf yang ditunjukkan kepada
orang-orang tertentu, seseorang-orang atau lebih, keluarga Wakif atau bukan.
Wakaf seperti ini juga disebut Wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang
yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada
cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya yaitu
mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini
(wakaf ahli/dzurri) terkadang disebut juga wakaf ‘alal aulad, yaitu
wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam
lingkungan keluarga. Wakaf seperti ini bertujuan membela nasib
mereka. Dalam konsepsi hukum Islam, seseorang yang punya harta
yang hendak mewakafkan sebagian hartanya, sebaiknya lebih dahulu
melihat kepada sanak family. Bila ada di antara mereka yang sedang
membutuhkan pertolongannya. Maka wakaf lebih afdal diberikan
kepada mereka yang membutuhkan.12
11Mundzir Qahaf,
Manajemen Wakaf Produktif, hal. 10 12
Dalam perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini
dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan
umum, karena sering menimbulkan ketidak jelasan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi wakaf. Di
beberapa Negara tertentu seperti: Mesir, Turki, Maroko, dan Aljazair,
wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan
dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak
produktif. Untuk itu, dalam pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir,
MA, bahwa keberadaan jenis wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau
kembali untuk dihapuskan.13
2. Wakaf Khairi
Wakaf Khairi ialah wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan keagamaan atau kemasyarakatan (kebijakan umum),
seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,
sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan yatim dan lain
sebagainya. Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih
banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena
tidak terbatas pada pihak-pihak yang mengambil manfaat. Dan jenis
wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan
perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis ini juga Wakif dapat
mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf
13
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf,(Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan
28
masjid maka si Wakif boleh beribadah di sana, atau mewakafkan
sumur maka si Wakif dapat pula mengambil air dari sumur tersebut
sebgaimana yang telah di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan
sahabat Utsman bin Affan. Secara substansinya, maka wakaf itulah
yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakannya harta
dijalan Allah SWT. Dan tentunya dilihat dari kegunaannya merupakan
salah satu sarana pembangunan, baik dibidang keagamaan, khususnya
peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, kemanan, dan
sebagainya.14
Wakaf Khairi ini juga pernah dilakuakan Umar bin Khatab
pada tanahnya yang berada di perkebunan Khaybar. Sebagaimana
yang terdapat dalam hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar sebagai
berikut:
Dari Abdullah bin Umar bin Khatab, Umar bin Kahatab berkata
kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku
memiliki sebidang tanah di Khaybar, yang aku belum pernah memiliki
tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku? Rasulullah
menjawab: “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkan
14 Departemen Agama RI,
hasilnya. “Lalu Umar mewakafkan tanahnya yang ada di Khaybar”.
(HR. Bukhari Muslim)15.
5. Syarat dan Rukun Wakaf
1. Wakif (Pemberi Wakaf)
Persyaratan seorang calon Wakif agar sah harus memiliki
kecakapan hukum atau kemalul ahliyah (legal competent) dalam
membelanjakan atau memanfaatkan hartanya, kecakapan bertindak
disini meliputi 4 (empat) kriteria:
a. Merdeka16
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya)
tidak sah, karena wakaf pengguguran hak milik dengan cara
memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba
sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang
dimilikinya kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah
mengatakan bahwa para fuqha sepakat, budak itu boleh
mewakafkan hartanya apabila ada izin dari tuannya, karena ia
sebagai wakil darinya.
b. Berakal Sehat
15
Sumuran Harahap, Wakaf Uang dan Prospek Ekonominya di Indonesia, (Jakarta: Mitra
Abadi Press, 2012) hal.1 16
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Proyek Pengembangan Zakat dan
30
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya,
sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan
akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah
mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau
kecelakann, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna
dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (Baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa
(baligh) hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap
melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak
miliknya.
d. Tidak Berada Di bawah Pengampuan (Boros/Lalai)
Orang yang berada dibawah pengampuan dipandang tidak
cakap untuk berbuat kebaikan (tabbaru), maka wakaf yang
dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan istishan, wakaf
orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri
selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan
untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk
sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak
menjadi beban orang lain.
Mauquf „Alaih tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat
Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang
mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT. Karena itu mauquf
‘alaih diisyaratkan harus hadir sewaktu penyerahan wakaf, harus ahli
untuk memiliki harta yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka
terhadap Allah SWT, dan orang yang menerima wakaf itu harus jelas
tidak diragui kebenarannya.17
3. Mauquf Bih (Harta Wakaf)
Benda yang dimanfaatkan disebut dengan mauquf bih. Seabagai
obyek wakaf, mauquf bih merupakan hal yang sangat penting dalam
perwakafan. Namun demikian, harta yang diwakafkan tersebut bisa
dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Benda harus memiliki nilai guna, Benda yang dapat disimpan dan
halal digunakan dalam keadaan normal bukan dalam keadaan
darurat. Karena itu menurut mazhab Hanafi tidak sah mewakafkan
sesuatu yang hukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah
sewaan untuk ditempati.
b. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahuai) ketika terjadi
akad wakaf. Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan
17
32
yakin, sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu
tidak sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dau rumah.
c. Benda tetap atau bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
d. Benda yang diwakfkan benar telah menjadi milik sempurna (
Al-milik At-tamm) si Wakif ketika terjadi akad wakaf.18
e. Sighat (Ikrar Wakaf), Segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang
yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa
yang diinginkannya. Namun shigat wakaf cukup dengan ijab saja
dari Wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf ‘alaih. Begitu
juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan juga tidak
menjadi syarat untuk berhaknya mauquf ‘alaih memperoleh
manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak tertentu.19
f. Nazhir (Pengelola Harta Wakaf), Nazhir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya. Posisi Nazhir
sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi
harta wakaf mempunyai kedudukan sentral dalam perwakafan.
Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan,
sehingga berfungsi atau tidaknya wakaf bagai mauquf ‘alaih sangat
bergantung pada Nazhir. Meskipun demikian Nazhir tidak berarti
Nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang
18
Departemen Agama RI, Fikih Wakaf, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan
Wakaf,2003) hal.44
19 Departemen Agama RI,
diamanahkan kepadanya. Seorang Nazhir haruslah memiliki
persyaratan sebagi berikut:
a. Syarat Moral
Paham tentang hukum wakaf dan zakat, infaq dan sedekah.
Baik dalam tinjauan syariah maupun perundang-undangan
Negara RI. Jujur, amanah, dan adil sehingga dapat dipercaya
dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran
wakaf.
b. Syarat Manajemen
Mempunyai kapabilitas yang baik dalam leadership,
mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan
pemberdayaan.
c. Syarat Bisnis
Mempunyai keinginan, mempunyai pengalaman dan
mempunyai ketajaman melihat peluang usaha sebagimana
layaknya enterpreunership.20
B. Perundang-undangan Wakaf
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960
tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) memberikan
20 Departemen Agama RI,
34
isyarat bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
dengan peraturan pemerintah”.21
2. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tanggal 23 Maret Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah, karena peraturan ini berlaku
umum, maka terkena juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah
wakaf.
3. Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1963 tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
4. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977
tentang Perwakafan Milik Tanah.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tanggal 26
november 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai
Perwakafan Tanah Milik.
6. Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tanggal 10
Januari 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik.
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.12 Tahun 1978 tanggal 3
agustus 1978 tentang Penambahan Ketentuan Megenai Biaya
Pendaftaran Tanah Badan-Badan Hukum Tertentu Pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1978
21 Departemen Agama RI
8. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Mentri Dalam Negeri No.1
Tahun 1978 tanggal 23 Januari 1978 Tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik.
9. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
No/Kep/D/75/787 tanggal 18 April 1978 tentang Formulir dan
Pelaksanaan Peraturan-Peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik.
10. Keputusan Menteri Agama No.73 Tahun 1978 tanggal 9 Agustus
1978 tentang Pendelegasian Wewenang Kepala-Kepala Kantor
Wilayah Negara Indonesia Untuk Mengangkat Atau
Memberhentikan Setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
11. Instruksi Menteri Agama No.3 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979
tentang Pelaksanaan Keputusan Mentri Agama No.73 Tahun 1978
12. Surat Direktorat Jendra Bimbingan Islam dan Urusan Haji
No.D11/5/Ed/`4/980 tanggal 25 Juni 1980 tentang Pemakaian
Bermaterai Dengan Lampiran Surat Dirjen Pajak No.5-624/Pj.
331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir
wakaf nama yang bebas materai, dn jenis formulir nama yang
dikenal Bea Materai dan beberapa besar Bea Materainya.
13. Surat Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Urusan
Haji No.D11/1981 tanggal 16 April 1961 Tentang Peruntukan
36
14. Surat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji No.D11/Ed/07/1981 Kepala Gurbenur, kepala Daerah Tingkat
1 diseluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah
Milik dan Permohonan Kegiatan Pembebasan Dari Semua
Pembebanan Biaya.22
15. Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 2006 tentang
Wakaf23
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 tahun 2006,
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.24
C. Strategi Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf
1. Pengelolaan Wakaf Tradisional
Dalam Periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang
murni dimasukkan dalam kategori ibadah Madhanah (pokok), yaitu
kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan
pembangunan fisik. Seperti masjid, mushollah, pesantren, kuburan,
yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum
memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk
kepentingan yang bersifat konsumtif.25
22 Abdul Halim,
Hukum Perwakafan Di Indonesia, hal. 83-85 23
Departemen Agama RI, Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2006, (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 272 24
Departemen Agama RI, Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf dan
peraturan pemerintah No.42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya, (Jakrta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,2007) hal. 109.110
25 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mitra
2. Pengelolaan Wakaf Semi Profesional
Periode Semi Profesional adalah masa dimana pengelolaan wakaf
secara umum sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini
sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif,
meskipun belum maksimal. Sebagai contoh pembangunan
masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah gedung untuk
pertemuan, pernikahan, seminar, dan acara lainnya. Seperti masjid
Sunda kelapa, masjid Pondok Indah, masjid At-taqwa Pasar Minggu,
masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang dan lain-lain. Selain hal tersebut
juga sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf
untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko
ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya yang
hasilnya untuk kepentingan pengembangan dibidang pendidikn (pondok
pesantren), meski pola pengelolaannya masih dikatakan tradisional.
Pola pemberdayaan wakaf seperti ini sudah dilakukan oleh pondok
pesantren Assalam Gontor, Ponorogo. Adapun secara khusus
mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan pendidikan seperti yang
dilakukan oleh yayasan wakaf Sultan Agung, secara intensif terhadap
pengembangan pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh
yayasan wakaf Paramadina.26
3. Pengelolaan Wakaf Profesional
26
38
Periode pengelolaan wakaf secara profesioanal ditandai dengan
pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif, keprofesionalan
yang dilakukan meliputi aspek: Manajemen, SDM kenadziran, pola
kemitrausahaan, bentuk benda seperti uang, saham, dan surat berharga
lainnya, dukungan polotical will pemerintah secara penuh salah satunya
lahir Undang-Undang wakaf. Dalam mengelola wakaf secra
professsional paling tidak, ada tiga filosofi dasar yang ditekankan
ketika kita hendak memberdayakan wakaf secara produktif, pertama
pola manajemennya harus dalam bingkai “Proyek terintegrasi”, bukan
bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Dengan bingkai proyek,
sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program
pemberdayaan dengan segala macam. Biaya yang terangkum
didalamnya. Kedua asas kesejahteraan Nazhir, sudah terlalu lama
Nazhir diposisikan kerja asal-asalan (dalam pengertiannya sisa waktu
dan bukan perhatian utama). Oleh karena itu saatnya kita menjadikan
Nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan
terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di
akhirat, tetapi juga di dunia. Dan Alhamdulillah, di Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, pada pasal
disebutkan bahwa Nazhir mendapatkan 10% dari hasil bersih
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Ketiga, Asas
transparasnsi dan accountabilitas dimana wakaf dan lembaga yang
kepada umat dalam bentuk autited financial termasuk kewajaran dari
masing-masing pos biayanya.27
D. Konsep Wakaf Produktif
1. Pengertian Wakaf Produktif
Pengertian wakaf produktif, wakaf produktif adalah sebuah skema
pengelolaan donasi wakaf dari umat, yaitu dengan memproduktifkan
donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan.
Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia,
maupun benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Surplus wakaf
produktif inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan
kebutuhan umat, seperti pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus
menghasilkan karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah
menghasilkan dimana hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya
(mauquf alaih). Orang yang pertama melakukan perwakafan adalah Umar
bin Khatab yang mewakafkan sebidang kebun yang subur di Khaybar.
Kemudian kebun itu dikelola dan hasilnya untuk kepentingan masyarakat.
Tentu wakaf ini adalah wakaf produktif dalam arti mendatangkan aspek
ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Ironinya, di Indonesia sendiri,
masyarakat masih banyak yang berasumsi bahwa wakaf adalah lahan yang
27
40
tidak produktif bahkan mati yang perlu biaya dari masyarakat, seperti
kuburan, masjid dll.28
Wakaf produktif juga diartikan sebagai wakaf harta yang
digunakan untuk kepentingan produksi, baik dibidang pertanian,
perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda
wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan
wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dengan
tujuan wakaf. Disini wakaf produktif ialah untuk dapat menghasilkan
barang atau jasa kemudian dijual hasilnya dan hasilnya dipergunakan
sesuai dengan tujuan wakaf.29
2. Macam-macam Wakaf Produktif
a. Wakaf Uang
Wakaf uang dalam konteks Indonesia sebagai
bangsa-negara (nation state), bahwa salah satu kemajuan penting dan
merupakan prestasi Indonesia yang perlu dicatat yang sekaligus
membawa perubahan fundamental dan monumental
pembangunannya dibidang perwakafan.30
Wakaf uang yang berupa dirham dan dinar saat itu juga
diwakafkan untuk dua tujuan yang pertama, untuk dipinjamkan
kepada orang-orang yang membutuhkannya, kemudian setelah
28
Wahyu, Pengertian dan Macam-Macam Wakaf, Di akses pada Rabu, 6 Mei 2015
19.25 pada http//www.google.com. 29
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, hal. 23
30 Sumuran Harahap
terpenuhi kebutuhannya uang tersebut dikembalikan lagi untuk
dipinjamkan kepada orang lain tanpa mengambil keuntungan berupa
apapun dari pinjaman ini. Kedua, wakaf uang untuk keperluan
produksi . Wakaf uang produktif ini telah ada sejak zaman sahabat
dan tabi’in.31
Wakaf uang tunai bagian dari objek wakaf selain tanah
maupun bangunan yang merupakan harta tidak bergerak. Wakaf
dalam bentuk uang tunai dibolehkan, dan dalam prakteknya sudah
dilaksanakan oleh umat Islam.
b. Wakaf Saham
Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang
mampu menstimulus hasil-hasil yang dapat didedikasikan untuk
umat, bahkan dengan modal yang besar, saham malah justru akan
memberi kontribusi yang cukup besar dibandingkan jenis
perdagangan yang lainnya.
3. Sistem Manajemen Pengelolaan Wakaf Produktif
Sistem manajeman pengelolaan wakaf produktif merupakan salah
satu aspek penting dalam pengembangan pradigma baru wakaf di
Indonesia. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek
kemanfaatannya, tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem
manajemen pengelolaan yang diterapkan. Pola manajemen pengelolaan
terhitung masih tradisioanal-konsumtif. Untuk itu, sebagai salah satu
31
42
elemen penting dalam pengembangan pradigma baru wakaf, sistem
manajemen pengelolaan wakaf harus dilaksanakan dengan lebih
profesioanal dan modern. Disebut profesional dan modern itu bisa
dilihat pada aspek pengelolaan sebagai berikut:
a. Kelembagaan
Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif,
yang pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan
suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada
dan bersifat nasional
b. Operasional Pengelolaan
Yang dimaksud dengan standar operasional pengelolaan
wakaf adalah batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf
agar menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat banyak.
c. Kehumasan
Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran
kehumasan (pemasaran) dianggap menempati posisi penting.
Fungsi dari kehumasan itu sendiri dimaksudkan untuk memperkuat
image bahwa wakaf yang dikelola oleh Nazhir betul-betul dapat
dalam mewakafkan harta bendanya, dan memperkenal aspek wakaf
yang tidak hanya berorientasi.32
4. Strategi Pengelolaan Wakaf Produktif
a. Peraturan Perundangan Perwakafan, sebelum lahir Undang-Undang
Nomor. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan di Indonesia
diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik dan tercover dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok Agraria.33
b. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia, untuk konteks wakaf di
Indonesia, lembaga wakaf secara khusus akan mengelola dana wakaf
dan beroperasi secara nasioanal itu berupa Badan Wakaf Indonesia
(BWI). Tugas dari lembaga