• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) TERHADAP

ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

NOVALINA KRISTINAWATI MANURUNG 067005019/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L A H

P A

S C

(2)

KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) TERHADAP

ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVALINA KRISTINAWATI MANURUNG 067005019/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KEBIJAKAN KRIMINAL ( CRIMINAL POLICY ) TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Novalina Kristinawati Manurung Nomor Pokok : 067005019

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Alm. Prof. Muhammad Daud, SH) Ketua

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Alm. Prof. Muhammad Daud, SH

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Berdasarkan data statistik Polda Sumut dari tahun 2004-2007 ada 13.456 pelaku yang terlibat dengan narkoba, sedangkan untuk Poltabes Medan khusus anak yang memakai narkoba yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian ada 578 orang selama kurun waktu tahun 2005–2007. Berdasarkan data statistik tersebut dapat diketahui bahwa begitu pesat perkembangan narkoba di Kota Medan dalam beberapa tahun terakhir ini. Data di atas juga menunjukkan bahwa mayoritas pengguna narkoba adalah orang yang berusia muda. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika generasi muda yang diharapkan menjadi penerus bangsa terkontaminasi oleh pengaruh yang buruk, selain itu pada umumnya pelaku tindak pidana terutama kelompok pemakai adalah orang yang berusia muda. Meningkatnya tindak pidana narkotika pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu: bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang sangat besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap risiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya menimbulkan keberanian.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab sehingga anak menggunakan narkoba di Kota Medan.Untuk mengetahui Kebijakan kriminal (criminal policy) apa yang selama ini dilakukan di Kota Medan untuk anak pemakai narkoba serta untuk mengetahui kebijakan kriminal (criminal policy) apa yang dapat dibangun di masa yang akan datang untuk anak yang menggunakan narkoba di Kota Medan. Lokasi Penelitian adalah di Kota Medan yaitu Kepolisian Kota Besar Medan, Kejaksaan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Medan, Bapas Medan, Lapas Anak Medan serta PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), alas an pemilihan lokasi di Kota Medan karena Kota Medan termasuk ke dalam pusat peredaran narkoba di Indonesia. Data yang diambil berdasarkan studi dokumen, observasi, dan wawancara. Sedangkan responden yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah anak pemakai narkoba yang ada di Lapas Anak Medan, petugas Kepolisian, Jaksa yang ada di Kejaksaan Negeri Medan, Hakim, petugas Bapas, petugas Lapas Anak Medan, pemerhati anak di PKPA Medan. Dengan demikian metode penelitian yang dilakukan adalah dengan cara menggabungkan antara penelitian yuridis normative dan yuridis sosiologis (empiris), dianalisis secara kualitatif dan ditulis dengan menggunakan penulisan diskriptif analitis.

(6)

dan sarana non penal. Adapun sarana penal yang dipergunakan selama ini di kota Medan dari pihak Kepolisian adalah dengan menerapkan sarana penal (hukum pidana) itu sebagai upaya terakhir untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba, yang paling diutamakan adalah dengan menerapkan sarana non penal untuk menanggulangi anak yang memakai anak yang memakai narkoba. Pihak Kejaksaan juga menerapkan sarana penal dan sarana non penal bagi anak pemakai narkoba. Pihak Bapas Medan tidak menyetujui diterapkannya sarana penal bagi anak pemakai narkoba, anak pemakai narkoba hendaknya diatasi dengan menggunakan sarana non penal karena masa depan masih cukup panjang selain itu anak pemakai narkoba adalah juga merupakan korban atas perbuatannya sendiri. Sementara Hakim berpendapat bahwa terhadap anak dapat diterapkan sarana penal dan non penal dengan lebih mengutamakan sarana non penal tapi pada umumnya kepada semua pemakai umumnya diterapkan sarana penal. Lapas anak Medan berpendapat bahwa kepada anak pemakai narkoba hendaknya ditempatkan di suatu tempat yang khusus untuk merehabilitasi anak pemakai narkoba, karena umumnya Lapas Anak Medan banyak dihuni untuk kasus narkoba, selain itu menurut PKPA Medan mengemukakan bahwa anak adalah merupakan generasi bangsa di masa yang akan datang oleh karena itu kepada anak hendaknya diterapkan sarana non penal sebab anak sebagai pemakai adalah merupakan korban juga atas perbuatannya sendiri. Di masa yang akan datang politik kriminal yang dapat diprgunakan bagi anak pemakai narkoba adalah dengan menerapkan saran penal dan non penal tetapi dengan lebih mengutamakan penerapan sarana non penal, sementara penerapan sarana non penal adalah merupakan sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium), hendaknya pemerintah mendirikan satu tempat khusus bagi anak pemakai narkoba.

(7)

ABSTRACT

Based on the data of the statistic from 2004 to 2007 provided by Sumatera Utara Police Department, there were 13.456 persons got involved in the case of narcotic and drug while from 2005 to 2007, Medan Police Department succeeded in arresting 578 children using narcotic. This statistic data shows that the development of narcotic and drug in Medan is so fast in the past few years and majority of the narcotic and drug users are young persons. This condition is very much worried about because it can ruin our young generation. In general, the incident of narcotic and drug criminal act is caused by two things: it promises a big financial benefit to the narcotic and drug dealers and to the users, it promises a peace that can terminate the psychological and mental problems they are facing. These promises lessen the fear of getting arrested and instead, it even creates a nerve in them.

The purpose of this normative juridical and sociological (empirical) juridical study is to analyze the factors which cause the children to narcotic and drud in Medan, to find out the criminal policy which has been applied to the children using narcotic and drug in Medan, and to analyze and formulate the kind of criminal policy that can be made in the future in Medan for the children using narcotic and drug. This study was conducted in the offices of Medan Police department, Medan Court of First Instance, Medan Correctional Institution, Medan Child Penitentiary and the Center for Child Protection Studies. Medan was chosen as the research location because Medan is regarded one of the narcotic and drugs distribution hubs in Indonesia. The data for this study were obtained through documentation study, field observation and interviews while the respondents for this study were the narcotic and drug users being arrested in Medan Child Petinentiary, police officers, the public procecutors serving in Medan Attorney Office, judges, the officers of Medan Correctional Institution, the officers of Medan Child Petinentiary, and the child observers of the Medan Center for for Child Protection Studies. The data obtained were qualitatively analyzed and then analytical descriptively written.

(8)

and they are the victims of their own acts. In their opinion, the judges think that both penal and non penal system can be applied to the children using narcotic and drug but the non-penal system should be prioritized, yet in general, the penal system is applied to all of the children using narcotic and drug. The officers of Medan Child Petinentiary suggests that the children using narcotic and drug should be placed in a special place for the rehabilition of the children using narcotic and drug such as the Medan Child Petinentiary because , in general most of its inmates are those with narcotic and drug cases. The officers of the Medan Center for Child Protection Studies said that children are our future national generation therefore it should be better if the non penal system is applied to them who became the victim of their own acts.

It is suggested that the criminal politic in the forms of penal and non-penal systems can still be applied to the children using narcotic and drug yet the application of the non penal system is more prioritized. While the application of the non penal system is a last attempt (ultimum remedium), the government should estabilish a special place for the rehabilitation of the children using narcotic and drug.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas segala rahmad dan karunianya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) terhadap Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan.

Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh Ujian Sarjana (Strata-2) guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan material maupun bantuan moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Muhammad Daud, SH, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan curahan ilmu yang diberikan selama penulisan tesis ini dengan penuh ketelitian dan kesabaran.

Selanjutnya Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:

(10)

2. Seluruh Penyidik dan Responden di Satuan Narkoba Poltabes Medan yang telah membantu mendapatkan bahan-bahan untuk penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas IA Medan, beserta seluruh staff dan responden yang sudah diwawancarai serta sudah membantu memberikan bahan-bahan untuk penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Medan beserta seluruh staff yang sudah memberikan bantuan bahan untuk penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Kepala Pengadilan Negeri Medan beserta seluruh staff yang sudah memberikan bantuan bahan untuk penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Medan beserta seluruh staff yang sudah memberikan bantuan bahan untuk penyelesaian tesis ini.

7. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Para Dosen dan Staff Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dibidang Ilmu Hukum.

(11)

10.Secara Khusus dengan penuh rasa kasih sayang penulis sampaikan terimakasih kepada Orang Tua yang tercinta : St. B. Manurung dan R. Sinambela, S. Pd, atas cinta dan do’anya yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua, Amin.

Medan, Juni 2009 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Novalina Kristinawati Manurung Tempat/ Tgl Lahir : Balige, 14 Februari 1982

Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Kristen Protestan Pekerjaan : CPNS Kejaksaan

Pendidikan : Sekolah Dasar Negeri 064962 Medan, Sumatera Utara (Lulus Tahun 1996).

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 10 Medan, Sumatera Utara (Lulus Tahun1998).

Sekolah Menengah Umum Swasta Raksana Medan, Sumatera Utara (Lulus Tahun 2000).

Fakultas Hukum UNIKA St. Thomas Medan (Lulus Tahun 2004)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. i

ABSTRACT ………. iii

KATA PENGANTAR ………. v

RIWAYAT HIDUP ………. viii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang Masalah ………. 1

B. Perumusan Masalah ……….. 15

C. Tujuan Penelitian ………. 16

D. Manfaat Penelitian ………... 16

E. Keaslian Penelitian ………... 17

F. Kerangka Teori dan Konsep ……… 18

1. Kerangka Teori ………. 18

2. Kerangka Konsep ………... 31

G. Metode Penelitian ……….. 34

a. Pendekatan Masalah ………. 34

(14)

c. Analisis Data ………... 36

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGGUNAKAN NARKOBA ... 37

A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan dari Sudut Pandang Kriminologi ..……… 37

1. Faktor Biologis ………. 38

2. Faktor Sosiologis……….……….. 40

a. Teori Anomie ………… ……… 41

b. Teori Sub Kultur Delinkuen ……….. 43

c. Differential Association Theory……….. 44

B. Faktor-faktor Anak Menggunakan Narkoba………. 62

1. Faktor Internal ……… ………. 64

a. Reaksi Frustasi Negatif/ Kegonjangan Jiwa ...….…. 64

b. Perasaan Egois/ Emosional Pada Anak... 66

c. Kehendak Ingin Bebas ……….. 66

d. Rasa Keingintahuan ………. 66

2. Faktor Eksternal ………... 67

a. Faktor Keluarga ...………... 67

b. Faktor Lingkungan Sekolah ... 70

c. Faktor Milieu (Lingkungan sekitar) ………... 72

C. Tahapan Penyalahgunaan Narkoba ... 84

D. Dampak Penyalahgunaan Narkoba ... 85

(15)

BAB III KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) YANG SELAMA INI DILAKUKAN TERHADAP ANAK

PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN ... 91

A. Tindak Pidana Narkoba ……… 91

a.Perbuatan Pidana ………... 91

b.Sanksi Pidana ………... 97

c.Pertanggungjawaban Pidana ……… 101

B. Kebijakan Penal (Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan ... 112

1. Peranan Sistem Peradilan Pidana dalam Menanggulangi Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan ... 113

a. Tahap Pemeriksaan sebelum Persidangan ... 115

b. Tahap Pemeriksaan di Persidangan ……… 126

c. Tahap Pemeriksaan sesudah Persidangan ……….... 129

2. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanggulangan Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan ... 137

C. Kebijakan Non Penal dalam Menanggulangi Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan ... 144 BAB IV KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN DI MASA YANG AKAN DATANG ... 150

A. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ... 150

1. Tinjauan Umum Kebijakan Kriminal ...………. 150

(16)

B. Perspektif Ke Depan Kebijakan Kriminal yang dilakukan Terhadap

Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan ... 173

1. Kebijakan Penal ( Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan ... 173

2. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan di masa yang akan Datang ...……… 178

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....……….. 190

A. Kesimpulan ……….. 190

B. Saran ……… 193

(17)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Data Kasus Tindak Pidana Narkoba Di Indonesia Tahun

2001-2006 (Akhir November) ... 4 2 Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Menurut Status

Pekerjaan Tahun 2001-2006 ... 5 3 Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba berdasarkan Usia

Tahun 2001-2006 ... 7 4 Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran Poltabes MS

Dalam Kurun Waktu 3 (tiga) Tahun (2005-2007)

Menurut Umur ... 12 5 Pendapat Narapidana Anak terhadap alasan Memakai

Narkoba ... 73 6 Jumlah Penghuni Lapas Anak Medan berdasarkan Jenis

Kejahatan ... 134

(18)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Distribusi Peredaran Narkoba ... 2 2 Grafik Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Perbuatan dan Sanksi pidana yang ada dalam UU Psikotropika

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Belakangan ini berjuta-juta remaja di Asia telah menggunakan narkoba, mulai dari menghirup bahan-bahan kimia (ngelem) oleh anak jalanan, kemudian ekstasi oleh remaja sampai kepada pecandu berat heroin (putaw). Dikalangan anak jalanan usia 7-8 tahun sudah ada yang menggunakan lem atau ganja. Meningkatnya kasus orang yang meninggal akibat over dosis adalah gejala yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia disebut-sebut sebagai produsen sebenarnya dapat dihindari, paling tidak dibatasi produksinya, bila ada tindakan ketat dari aparat keamanan untuk melakukan pengawasan di bandara, khususnya terhadap warga negara tertentu yang diduga kuat menjadi kurir.1 Indonesia yang semula menjadi negara transit atau pemasaran, sekarang sudah meningkat menjadi salah satu negara tujuan bahkan telah pula merupakan negara eksportir atau negara produsen benda berbahaya tersebut.

Perkembangan masyarakat dewasa ini telah membawa kemudahan dalam segala aspek kehidupan didorong secara ekstra pesat oleh sistem informasi dan komunikasi beserta permasalahannya di berbagai bidang yang didukung oleh teknologi canggih dan kemajuan serta perkembangan sosial budaya telah mencapai titik yang menakjubkan. Namun kemajuan ini berdampak dalam dua belahan yang

1

(21)

tidak sama yaitu ada yang positif dan memberi kesejahteraan hidup manusia dan belahan yang lain membawa manusia kehidupan yang sengsara dan maut.2

Membawa kesengsaraan maksudnya adalah hasil teknologi canggih di dunia medis dan farmatologis yaitu narkotika dan psikotropika (tanpa kedua zat ini dunia kedokteran akan lumpuh). Zat ini dipergunakan untuk membius pasien yang akan dioperasi atau menghilangkan nyeri pada pasien yang menderita luka parah pada tubuhnya.

Keadaan semacam inilah yang menyebabkan terciptanya kemudahan bagi terbentuknya mata rantai peredaran narkotika. Dan hal ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan tidak menutup kemungkinan di kota-kota besar di Indonesia terdapat mata rantai perdagangan narkotika internasional. Seperti gambar distribusi peredaran narkoba di bawah ini, yang bersumber dari Badan Narkotika Kota Banyumas.

Gambar 1. Distribusi Peredaran Narkoba

2

O.C. Kaligis dan Soedjono Dirjosisworo, Narkoba dan Perdilan di Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2002), hlm. XI.

B

BAANNGGKKOOKK

M

MEEDDAANN S

SUURRAABBAAYYAA BBAALLII

J

J

AK

A

K

A

A

R

R

T

T

A

A

G

(22)

Golden Triangle (segitiga emas) adalah negara-negara Birma-Thailand-Laos

(melalui Hongkong). Narkoba dari Hongkong masuk ke Indonesia melalui Surabaya, Medan, Bali dari ke tiga kota ini masuk ke Jakarta, seperti yang terlihat dalam peta distribusi di atas. Berdasarkan peta distribusi tersebut dapat diketahui bahwa Medan adalah merupakan jalur masuknya narkoba.

Perkembangan teknologi dan kemampuan manusia mengemas narkoba penggunaannya bukan lagi sekedar untuk pengobatan tapi melainkan sebagai perangsang yang memberi efek halusinasi sehingga orang yang menggunakanya merasa senang, gembira, dan terbebas dari masalah atau beban yang menimpa pikirannya. Padahal dampak yang ditimbulkannya sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga pemakai maupun orang lain. Ini terjadi karena hasil teknologi yang gemilang disalahgunakan.

(23)

Tabel 1. Data Kasus Tindak Pidana Narkoba Di Indonesia Tahun 2001-2006 ( Akhir November)

No Kasus 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Jumlah Total

1 Narkotika 1907 2040 3929 3874 8171 9422 29343

2 Psikotropika 1648 1632 2590 3887 6733 5658 22148

3 Bahan Adiktif 62 79 621 648 1348 2275 5033

Jumlah 3617 3751 7140 8409 16252 17355 56524

% Kenaikan - 3,7 90,3 17,8 93,3 6,8 205

Sumber : Data Statistik BNN Tahun 2007

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa, tindak pidana narkoba di Indonesia tahun 2001 sampai dengan akhir November 2006 secara keseluruhan berjumlah 56.524. Jumlah ini telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, untuk narkotika pada tahun 2001 ada sebanyak 1.907 kasus, tahun 2002 ada 2.040 kasus, 3929 kasus untuk tahun 2003, tahun 2004 ada 3.847 kasus, 8171 kasus untuk tahun 2005 dan 9.422 kasus pada tahun 2006 (bulan 11), jumlah total untuk narkotika 29.343 kasus. Hal ini berarti untuk pemakai narkotika mengalami kenaikan yang cukup signifikan..

(24)

Indonesia disebut-sebut sebagai produsen sebenarnya dapat dihindari, paling tidak dibatasi produksinya, bila ada tindakan ketat dari aparat keamanan untuk melakukan pengawasan di bandara, khususnya terhadap warga negara tertentu yang diduga kuat menjadi kurir.3 Ancaman narkoba sekarang ini cukup mengkhawatirkan bukan hanya kalangan dewasa yang menikmati barang haram tersebut melainkan juga pelajar yang jumlahnya mencapai 1.920, seperti yang dapat di lihat dalam Tabel 2 di bawah ini

Tabel 2. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Menurut Status Pekerjaan Tahun 2001-2006

TAHUN

NO PEKERJAAN 2001 2002 2003 2004 2005 2006

JUMLAH

TOTAL

1 PNS 39 31 57 64 137 121 449

2 POLRI & TNI 6 40 54 112 233 201 646

3 SWASTA 1288 1766 2991 3548 8143 13914 31650

4 WIRASWASTA 769 656 1029 1580 3504 4663 12201

5 TANI 127 99 132 222 323 478 1381

6 BURUH 833 582 1111 1774 4389 4675 13364

7 MAHASISWA 202 257 345 356 610 678 2448

8 PELAJAR 141 153 309 214 393 710 1920

9 PENGANGGURAN 1579 1726 3689 3453 5048 6195 21690

JUMLAH 4924 5310 9717 11323 22780 31635 85689

Sumber : Data Statistik BNN Tahun 2007

3

(25)

Tabel data di atas menunjukkan bahwa PNS yang menggunakan narkoba dalam kurun waktu tahun 2001-2006 ada sebanyak 449. Sementara untuk POLRI dan TNI ada 646 orang, untuk yang kalangan swasta ada 31.650, selain itu untuk wiraswasta ada 12201, buruh 13.364, mahasiswa yang menggunakan narkoba ada sebanyak 2448 orang, dan untuk kalangan pelajar yang menggunakan narkoba ada sebanyak 1920 dan untuk kalangan yang penggangguran ada 21.690 orang. Berdasarkan data yang diungkapkan di atas bahwa bahwa penggunaan narkoba diantara masing-masing kalangan selalu terjadi kenaikan dari tahun ke tahun. Perkembangan terakhir ini menunjukkan bahwa tampaknya masalah narkoba telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Peredarannya telah menyusup ke sendi-sendi masyarakat, mulai dari anak sampai dewasa.

(26)

Tabel 3. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba berdasarkan Usia Tahun 2001-2006

TAHUN

NO USIA 2001 2002 2003 2004 2005 2006

JUMLAH

TOTAL

1 < 16 Thn 25 23 87 71 127 175 508

2 16-19 501 494 500 763 1668 2447 6373

3 20-24 1428 1755 2457 2879 5503 8383 22405

4 25-29 1366 1386 2417 2888 6442 8105 22604

5 >29 1604 1652 4256 4722 9040 12525 33799

JUMLAH 4924 5310 9717 11323 22780 31635 85689

Sumber : Data Statistik BNN Tahun 2007

Tabel di atas menunjukkan bahwa yang menggunakan narkoba di bawah usia 16 tahun ada sebanyak 508 orang, sementara untuk yang berusia antara 16-19 tahun ada 6373. Masa remaja dianggap sebagai masa yang kritis karena dalam masa periode ini sedang terjadi gejolak untuk mencari jati dirinya menjelang dewasa karena belum memiliki pegangan dan masih labil.

(27)

ekstasi (42%), dan penenang (22%). Di sisi lain yang menjadi masalah di Indonesia ada sekitar 572.000 pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik.4

Penyalahgunaan narkoba serta zat adiktif lainnya sudah menjadi isu umum di kalangan masyarakat. Peredaran serta penggunaan narkoba dari waktu ke waktu sudah semakin meluas, saat ini konsumennya sudah semakin beragam mulai dari anak-anak, remaja sampai dengan orang yang sudah dewasa. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika generasi muda yang diharapkan menjadi generasi penerus telah terkontaminasi hal yang buruk

Penggunaan narkoba umumnya dimulai sejak masa anak-anak atau remaja. Penelitian dari Dadang Hawari, psikiater yang banyak menangani korban narkoba, sekitar 90% korbannya adalah remaja usia sekolah atau mulai terlibat dengan masalah narkoba pada usia sekolah. Tak sedikit dari mereka yang sudah mulai mengenal dan menggunakan pada kelas 5-6 SD. Para pengedar memang mengincar anak-anak yang masih polos ini karena keingintahuan yang tinggi dan tidak mau dianggap ketinggalan dari kelompoknya.5

Keberadaan anak memang perlu mendapat perhatian terutama mengenai tingkah lakunya. Proses perkembangan seseorang kearah dewasa, kadang-kadang menimbulkan perbuatan yang lepas kontrol, mulai dari anak-anak menuju remaja sering sekali mencoba hal-hal yang baru misalnya saja mencoba narkotika yang pada akhirnya menimbulkan kecanduan. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena

4

http;//www.sinarharapan.com/ diakses 31 Januari 2008.

5

(28)

dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak yang belum stabil dan juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan pergaulannya.

Kepala Pusat Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN), Muji Waluyo mengungkapkan, saat ini ribuan anak sekolah telah mengkomsumsi narkoba. Siswa yang mengkonsumsi narkoba ada 15.800 orang, 11.000 diantaranya berada dijenjang sekolah menengah atas. Sisanya, empat ribu orang di sekolah menengah pertama, 800 siswa di sekolah dasar.6

Ketua pelaksana BNN Sutanto mengemukakan bahwa salah satu permasalahan bangsa ini adalah meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia. Berdasarkan survey nasional tahun 2003 di 26 propinsi, yang dilaksanakan BNN bersama UI dengan sampel 13.710 responden, diperoleh data sebagai berikut: Prevalensi penyalahgunaan narkoba terdeteksi sebesar 3,9 % atau 4 dari 100 pelajar adalah penyalahguna narkoba, usia rata-rata pertama kali menyalahgunakan narkoba adalah 15 tahun.7

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia terbukti mengakibatkan kerugian di segala bidang. Selama 2004 saja, besaran biaya ekonomi dan kriminal akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 23,6 triliun, jumlah itu 78 persennya merupakan kontribusi biaya ekonomi. Biaya terbesar timbul dari konsumsi narkoba, sebanyak Rp 11,3 triliun. Begitulah sepenggal isi hasil penelitian BNN tentang biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba pada 10 kota

6

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional diakses 28 Januari 2008

7

(29)

besar di Indonesia tahun 2004 yang disosialisasikan kepada para pengurus dan staf Badan Narkotika Provinsi .8

Berdasarkan data di atas sungguh sangat mengejutkan, belum lagi mereka yang terkena dampak lain akibat narkoba yaitu orang yang terkena penyakit AIDS(acquired immune deficiency syndrome) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh yang hingga kini belum ditemukan obatnya karena penggunaan jarum suntik yang sudah terkontaminasi penyakit tersebut. Narkoba adalah zat yang apabila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi susunan syaraf pusat, sehingga menimbulkan perubahan aktivitas mental, emosional, dan perilaku penggunanya dan sering menyebabkan ketagihan dan ketergantungan kepada zat tersebut.

Kapolda Sumut Irjen Pol Nurdin Usman mengungkapkan, bahwa kasus penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara (Sumut) dari tahun ke tahun terus menunjukkan grafik menaik. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 terjadi trend peningkatan yang cukup signifikan. Hingga akhir November tercatat kasus penyalahgunaan narkoba yang ditangani Polda Sumut sepanjang tahun 2007 mencapai 2.769 kasus dengan jumlah tersangka 3.875 orang. Grafik penanganan kasus narkoba yang cenderung menaik tersebut terhitung dari tahun 2004 sebanyak1.303 kasus dengan tersangka 1.757 orang, tahun 2005 sebanyak 2.089

8

(30)

kasus dengan tersangka 2.982 orang, tahun 2006 sebanyak 3.207 kasus dengan tersangka 4.842 orang, dan tahun 2007 hingga akhir November tercatat 2.769 dengan jumlah tersangka 3.875 orang.9 Seperti yang dapat dilihat dalam grafik 1 berikut ini.

13031757 2089

2982 3207 4842

2769 3875

0 1000 2000 3000 4000 5000

2004 2005 2006 2007

Grafik 1. Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba di Sumatera Utara

KASUS TERSANGKA

Gambar 2. Grafik Jumlah kasus Tindak Pidana Narkoba di Sumatera Utara

Berdasarkan gambar grafik di atas, maka segenap komponen masyarakat sangat dituntut untuk mewaspadai bahaya dari narkoba. Tahun demi tahun, terus berganti angka pengguna narkoba di kota Medan pun terus mengalami peningkatan. Bahkan, diduga telah menjangkiti semua kalangan, baik itu pelajar, PNS, hingga kalangan professional. Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari segi medis, psikiatrik, psikolosial (ekonomi, politik, sosial budaya, kriminal, dan sebagainya). Pada dasarnya narkotika maupun zat adiktif merupakan zat yang sangat bermanfaat di bidang kedokteran. Zat ini dapat

9

(31)

digunakan untuk membius pasien yang akan dioperasi guna menghilangkan rasa nyeri atau sakit pada pasien.

Seiring dengan bertambahnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan karena perkembangan zaman serta kemampuan manusia untuk mengolah, mengemas untuk penggunaan zat tersebut, bukan lagi untuk pengobatan tapi untuk penenang atau perangsang yang dapat menimbulkan efek halusinasi sehingga setiap orang yang menggunakannya merasa senang dan gembira dan dapat meringankan beban pikiran. Padahal dampak dari penggunaannya sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa maupun raga si pemakai, selain itu dapat menimbulkan ketergantungan.

Penyalahgunaan narkoba sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu setiap mayarakat diharapkan partisipasinya untuk menanggulangi bahaya narkoba. Pengguna narkoba untuk kalangan anak dan remaja sudah mencapai peningkatan yang cukup mengkuatirkan. Sedangkan berdasarkan usia untuk mereka yang terlibat kasus narkoba dapat dilihat di dalam tabel 5 di bawah ini.

Tabel 4. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran Poltabes MS Dalam Kurun Waktu 3 (tiga) Tahun (2005-2007) Menurut Umur

TAHUN

NO UMUR 2005 2006 2007 JUMLAH

1 < 15 9 18 12 39

2 16-19 130 244 165 539

3 20-24 436 754 425 1615

4 25-29 297 606 454 1357

5 30 > 508 685 610 1803

Jumlah 1380 2307 1666 5353

(32)

Berdasarkan tabel di atas tahun 2005, untuk anak yang berusia kurang dari 15 tahun ada 9 orang, sementara untuk tahun 2006 ada 18 orang dan untuk tahun 2007 ada 12 orang, antara tahun 2005 sampai tahun 2006 ada kenaikan 2 kali lipat. Sementara untuk dari tahun 2006 sampai ke tahun 2007 terjadi sedikit penurunan.

Untuk anak yang berusia 16-19 pada tahun 2005 ada 130 orang, tahun 2006 ada 244 orang, dari sini dapat kitahui ada terjadi kenaikan antara 2005 sampai ke tahun 2006. Tahun 2007 (akhir November) ada sebanyak 165 orang, di sini terjadi penurunan angka orang yang menggunakan narkoba. Usia 20-24, pada tahun 2005 ada 436 orang dan tahun 2006 ada 754 orang di sini terjadi kenaikan yang cukup signifikan dan pada tahun 2007 terjadi penurunan menjadi 425 orang.

Tahun 2005, untuk yang berusia 25-29 ada sebanyak 297 orang, tahun 2006 ada kenaikan yang cukup pesat yaitu 606 orang, dan terjadi penurunan menjadi 454 orang. Usia di atas 30 tahun pada tahun 2005 ada sebanyak 508 orang dan ada kenaikan sedikit pada tahun 2006 ada sebanyak 685 orang dan pada tahun 2007 ada penurunan menjadi 610 orang.

(33)

1. bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang sangat besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan.

2. janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap risiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya menimbulkan keberanian.10

Menurut Kasat Narkoba Sundarti, kasus narkoba dikalangan pelajar akan tetap tetap diproses secara hukum. Tapi jika usianya belum sampai 17 tahun, maka akan didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas).11

Kapolda Sutanto mengemukakan suatu diskresi agar pengusutan anak-anak pemakai narkoba tidak diperkenankan sebagai tersangka. Dia menegaskan selaku penyidik polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana. Sedangkan menurut Hendarman Supanji hal tersebut harus dilaksanakan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapatkan diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran Oleh karena itu sebelum hal tersebut disepakati maka kasus demi perkasus harus dibahas secara komprehensif. Kebijakan yang dikemukakan oleh Kapolri mendapat dukungan dari Komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.12

10

Ibid

11

http://www.kapanlagi.com senin, 14 Mei 2007 diakses 28 Januari 2008

12

(34)

Diskresi Polri ini dari segi kemanusian adalah merupakan hal yang mengembirakan karena anak adalah generasi muda yang masih panjang masa depannya dan sudah sepantasnya anak mendapatkan perlindungaan. Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dimana anak-anak berhak mendapat peraturan yang melindunginya. 13

Pemberian perlindungan juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak. Anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu pembinaan yang diterapkan kepadanya tidak dapat disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa justru akan berdampak negatif bagi anak-anak.14

Berdasarkan alasan di atas, maka penulis tertarik untuk menyajikannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagi berikut:

13

Ibid.

14

(35)

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi anak memakai narkoba di Kota Medan?

2. Bagaimana politik kriminal (criminal politic) yang selama ini dilakukan di kota Medan terhadap anak pemakai narkoba?

3. Bagaimana politik kriminal di masa yang akan datang terhadap anak yang memakai narkoba di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah yang menjadi faktor penyebab sehingga anak menggunakan narkoba.

2. Untuk mengetahui politik kriminal (criminal politic) apa yang selama ini dilakukan di Kota Medan untuk anak pemakai narkoba.

3. Untuk mengetahui desain politik kriminal (criminal politic) apa yang dapat dibangun dimasa yang akan datang untuk anak yang menggunakan narkoba.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

(36)

2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai desain politik kriminal untuk berbagai kalangan yaitu:

a. Aparat/ Praktisi hukum agar mengetahui politik kriminal (criminal politic) yang dapat dipergunakan untuk mengatasi maraknya

penggunaan narkoba.

b. Pelaku yaitu orang yang memakai atau menggunakan narkoba, agar mereka dapat mengetahui bahaya penggunaan narkoba.

c. Masyarakat umum agar dapat mengetahui efek negatif dari narkoba dan politik kriminal (criminal politic) apa yang dapat di gunakan untuk memberantas peredarannya di masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah ” Politik Kriminal (Criminal Politic) terhadap Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan”.

(37)

permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya kontruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Teori yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori politik criminal (criminal politic) dari G. Peter Hoefnagels. Menurut beliau, criminal politic is the rational organization of the social reaction to crime. 15Hal ini berarti bahwa politik criminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

Upaya menanggulangi kejahatan atau tindak pidana termasuk kedalam kerangka politik kriminal (criminal politic). Di sinilah peranan yang sangat penting dari politik kriminal, yaitu dengan mengerahkan semua usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan. Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu:16

1. criminal law application (penerapan hukum pidana); 2. prevention without punishment ( pencegahan tanpa pidana);

15

G. Peter hoefnagels, The Other Side of Criminology, (Holland : Kluwer Deventer), hlm. 57.

16

(38)

3. influencing views of society on crime and punishment (mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media).

Politik kriminal adalah sebahagian daripada kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat, baik dengan sarana penal maupun non penal. Upaya ini hakekatnya memberikan perlindungan masyarakat (social defence planning atau protection of society) untuk mencapai kesejahteraan. antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga keduanya harus berjalan beriringan. 17

Salah satu wacana yang mempengaruhi jalannya reformasi politik dan ekonomi di Indonesia adalah good governance, yang mana menekankan pentingnya suatu kepemerintahan kolaboratif yang mengikut sertakan stakeholder di luar negara dalam proses pengambilan kebijakan. Kolaborasi antar negara dan aktor lain di luar pemerintah menjadi sarat bagi efektifitas sebuah kebijakan. Negara tidak akan dapat memahami permasalahan masyarakat tanpa adanya dukungan dari aktor lain. Politik kriminal sebagai sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat dilepas dari perubahan wacana dalam suatu proses kebijakan. Dalam konteks kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik untuk menangulangi masalah kejahatan.18

17

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa Persada,1997), hlm. 24.

18

(39)

Politik kriminal tidak dapat berdiri sendiri mencakup berbagai hal baik itu penegak hukum yang mencakup hukum pidana, hukum perdata maupun administrasi, semua hal tersebut adalah bagian dari social policy (kebijakan sosial), yaitu usaha rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dikatakan sebahagian daripada kebijakan sosial (social policy), oleh karena untuk mencapai kesejahteraan masyarakat masih ada kebijakan sosial yang lainnya seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan hankam sebagaimana termuat dalam GBHN.19

Sehubungan dengan kebijakan kriminal adalah bagian dari politik sosial dapat diketahui dari rumusan yang terdapat dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat internasional maupun pendapat yang dikemukakan oleh W. Clifford pada”The 32 nd International seminar Course on Reform in Criminal Justice” tahun 1993 di Jepan: Kongres ke4 PBB mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders tahun 1970; kongres ke 5 Tahun 1975 Deklarasi Caracas yang dihasilkan kongres PBB ke 6 tahun 1980 Milan Plan of Action yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke 7 tahun 1995 di Milan; termasuk juga di dalam “Guiding Principles for Crime Prevention and criminal Justice in Context of Development and a News Internasional. Economic

Order di Kongres PBB ke 7 di Milan; Kongres PBB di Havana, Cuba. 20

Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai usaha yang

19

M. Hamdan, op. cit, hlm. 24.

20

(40)

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social politic” mencakup di dalamnya “social welfare politic” dan “social defence politic”. Jadi tujuan akhir dari politik kriminal

adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.21 Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, politik kriminal (criminal

politic) secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penal dan non

penal. Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah menggunakan hukum

pidana sebagai sarana utamanya; baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan sosial.22

Politik kriminal (criminal politic) dengan menggunakan sarana pidana (penal) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal politic) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman pada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal politic) tersebut

21

M. Hamdan, op. cit, hal 24.

22

(41)

merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping kriminologi dan criminal law.23

Dengan demikian, penal politic (politik hukum pidana) pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman pada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana. Selain itu jika politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menangulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan.

Hukum pidana di sini berfungsi ganda yaitu primer sebagi sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan kontrol sosial secara spontan dibuat oleh negara dan alat kelengkapannya.24 Menurut Muladi hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader straafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan.25

23

Teguh Prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), ( Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 18.

24

M. Hamdan, op. cit., hlm.49.

25

Sholehhuddin, Sistem sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track Sistem &

(42)

Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan yang rasional, karena jika tidak akan menimbulkan “the crisis of overcriminalization” (krisis kelebihan kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal law” (krisis pelampauan batas dari hukum pidana). Pentingnya pendekatan rasional telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi, antara lain: G.P Hoefnagels, Karl O. Christiansen, J. Andenaes, Mc. Grath W. T dan W. Clifford.26

Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam hal menggunakan sarana non penal adalah meliputi usaha yang sangat luas di seluruh sektor kebijakan sosial. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.

Demikian pula dengan cara melakukan pembinaan media massa, pers yang bertanggungjawab sehingga media massa tidak menjadi faktor kriminogen. Media massa dapat menjadi faktor kriminogen (yang dapat menyebabkan terjadinya kriminal), diantaranya dapat terlihat dalam pemberitaan yang sensasional, pemberitaan yang cenderung menerangkan hal-hal yang negatif tentang terjadinya suatu peristiwa kejahatan, yang dapat mempengaruhi orang lain untuk dapat melakukan kejahatan.

26

(43)

Tujuan utama dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal tersebut sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.

Masalah utama adalah menginterpretasikan dan mengharmonisasikan kebijakan penal dan non penal kearah penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan. Dengan pendekatan kebijakan yang integral inilah diharapkan “social defence planning” benar-benar dapat berhasil.27 Pada dasarnya kebijakan penal policy lebih menekankan pada tindakan represif setelah terjadinya tindak pidana, sedangkan non penal policy menekankan kepada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak pidana.

Politik kriminal pada hakikatnya adalah merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. 28

Politik kriminal (criminal politic) telah menjadi pembicaraan dalam perkembangan pemikiran tentang hakikat tujuan pemidanaan. Ada beberapa teori

27

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hlm.160.

28

(44)

tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/ utilitarian), teori penggabungan (integratif), treatment dan perlindungan sosial (social

defence).

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi beriorentasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. 29 Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.30

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagi sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Tujuan

29

Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 90.

30

(45)

pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.31

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.32

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender. Namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaftasi baru. Oleh karena itu pengenaan sanksi

31

Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 96-97.

32

(46)

harus mendidik pula.33 Dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.

Treatment sebagai tujuan pemidaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran

ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun faktor kemsyarakatannya.34 Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk resosialisasi pelaku.

Social defence (perlindungan sosial) adalah merupakan perkembangan lebih

lanjut dari aliran modern dngan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, sedangkan menurut Marc Ancel tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.35

33

Teguh prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 100-101.

34

Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., hlm. 150

35

(47)

Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakkan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) secara singkat dapat diartikan sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen-komponen penyelenggara, diantaranya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya saling terkait dan diharapkan adanya kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada satu sistem maka akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi demikian.

Aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration of criminal justice sistem, sehingga terjadi koordinasi yang baik. Gambaran ini hanya salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana secara universal sehingga cakupan tugas sistem peradilan pidana dapat dikatakan luas, meliputi:36

36

(48)

1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2. menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah dipidana; dan

3. berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pembuat kejahatan (offender centered), dilatar belakangi pandangan bahwa sistem peradilan pidana diselenggarakan untuk mengadili tersangka dan bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan karena kejahatan adalah melanggar kepentingan publik (hukum publik) maka reaksi terhadap kejahatan menjadi monopoli negara sebagai representasi publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi praktik peradilan pidana, akibatnya orang yang dilanggar haknya dan menderita akibat kejahatan diabaikan oleh sistem peradilan pidana. 37

Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistematik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha menstranformasikan masukan menjadi keluaran yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah

37

(49)

pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.38

Menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku sub sistem kepolisian bertugas sebagai penyelidik dan juga penyidik; sub sistem kejaksaan bertugas sebagai penyidik dan penuntut, dan dalam tindak pidana khusus dapat juga bertindak sebagai penyidik; sub sistem pengadilan bertugas untuk mengadili suatu kasus atau peristiwa pidana yang dimajukan oleh pihak Kejaksaan; dan sub sistem lembaga pemasyarakatan pada dasarnya bertugas untuk pembinaan bagi terpidana, atau terhukum. Proses kerja dari sistem ini seolah-olah sebagai ban berjalan, yakni pelaku dari suatu peristiwa pidana bergerak dari satu tempat ketempat yang lain, dalam hal bergerak dan berpindah dari satu sub sistem ke sub sistem yang lain proses pergerakan maupun perpindahannya telah diatur suatu ketentuan yang berlaku. 39

Penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksana undang-undang, yang terdiri dari komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja yang terstruktur. Dari sini dapat diketahui bahwa komponen-komponen aparat penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya pelaksanaan penegakan hukum.

38

Mahmud Mulyadi, Diktat Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, (Medan : Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm. 42.

39

(50)

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tugas penegakan hukum tidak semata-mata hanya menjadi tugas aparat penegak hukum tapi juga merupakan tugas dari seluruh komponen masyarakat. Dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana, maka pemidanaan yang biasa juga diartikan pemberian pidana tidak lain merupakan proses kebijakan yang sengaja direncanakan.

Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal dalam arti keseluruhan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejateraan. Politik kriminal atau penanggulangan kejahatan harus rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain dari pada penerapan metode-metode yang rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan defenisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Pendekatan yang rasional merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan .

2. Kerangka Konsep

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan absraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus dan disebut sebagai defenisi operasional.

(51)

atribut-atribut tertentu. 40 Berkat definisi operasional dan fungsi logis konsep memungkinkan untuk menghindarkan perbedaan antara penafsiran mendua (dubius) dari istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk menjadi pegangan pada proses penelitian tesis ini, yaitu: politik kriminal (criminal politic), anak, anak nakal, psikotropika dan narkotika.

Menurut G. Peter Hoefnagels yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime. 41Hal ini berarti bahwa politik criminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy) adalah merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik untuk memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menetapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal law.42

Kebijakan non penal (non penal policy) adalah kebijakan penanggulangan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana43, misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggungjawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan

40

Jhonny Ibrahim, Theory & Metodologi Penelitian Normatif, (Malang: Penerbit Bayumedia Publishing, Cet. Ke-2, 2006), hlm. 306.

41

G. Peter hoefnagels, op. cit., hlm. 57.

42

Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit, hlm. 18. lihat pendapat Marc Ancel

tentang kebijakan hukum pidana (penal policy). 43

(52)

sebaginya, peningkatan usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan.

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah dan termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia).44 Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak).45

Anak Nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) 46

Psikotropika adalah zat atau obat, baik yang alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.47

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

44

Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice sistem) di Indonesia. Penerbit UNICEF Indonesia, hlm. 2-3.

45

Ibid.

46

Ibid.

47

(53)

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudia ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.48

G. Metode Penelitian

a. Pendekatan Masalah

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah kombinasi pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis yang bersifat kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan. Mengutip istilah Ronald Dworkin, penelitian ini disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as written in the book), maupun yang di putuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). 49

Penelitian yuridis sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat perilaku hukum sebagai pola perilaku masyarakat dan terlihat sebagai

48

UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Tim Pusaka Merah Putih tahun 2007 hlm.59.

49

Bismar Nasution (II), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum

(Makalah disampaikan dalam dialog interaktif tentang penelitian Hukum dan hasil Penulisan Hukum pada makalah Akreditasi, (Medan : Fakultas Hukum Universiatas Sumatera Utara, tanggal 18

(54)

kekuatan sosial. Dalam politik kriminal (criminal politic) selain pendekatan penal melalui penerapan hukum pidana, maka pendekatan non penal (non penal policy), berupa pemberdayaan masyarakat menjadi kekuatan besar untuk mencegah dan mengurangi angka kejahatan. Oleh sebab itu pendekatan yuridis sosiologis sangat besar peranannya untuk melihat pola-pola penanggulangan kejahatan yang ada dalam masyarakat yaitu dengan melakukan usaha-usaha yang rasional.

b. Sumber dan Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan (field research), kemudian studi data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka (documentary research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari berbagai konsepsi, teori, asas, doktrin-doktrin dan berbagai dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat responden tentang desain politik kriminal yang dipergunakan untuk mengatasi anak yang memakai narkoba, sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis permasalahan dalam tesis ini. Untuk itulah studi lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada para informan yang terdiri dari:

1. Kepolisian Kota Besar (Poltabes Medan); 2. Kejaksaan Negeri Medan;

3. Pengadilan Negeri Medan;

(55)

5. Balai Pemasyarakatan Medan

6. Lembaga Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA); 7. Anak yang memakai Narkoba.

c. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan asumsi kerja seperti yang disarankan oleh data.50 Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.51 Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

50

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 103.

51

(56)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGGUNAKAN NARKOBA

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan dari Sudut Pandang Kriminologi

Teori-teori dari perspektif biologis memiliki asumsi yang sama bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi fisik dan mental yang mendasari dan memisahkan penjahat dan bukan penjahat. Tindak kejahatan yang mewarnai kehidupan tidak terlepas dari latar belakang keadaan keluarga, tekanan ekonomi, ketiadaan lapangan kerja dan semakin kerasnya orientasi orang pada kebendaan, merupakan motivasi yang paling domain dari setiap tindak kejahatan.52 Kejahatan adalah suatu gejala sosial yang buruk, yang sebab-sebabnya demikian banyak dan beraneka ragam dan boleh dikatakan sukar ditentukan secara pasti, berlainan dengan ilmu pasti, ilmu sosial segalanya serba sukar ditentukan segalanya masih sangat relatif.53 Teori sebab-sebab suatu kejahatan dalam kriminologi adalah karena faktor-faktor biologis (kejahatan karena bakat yang diperoleh sejak lahir) dan faktor-faktor sosiologis (kejahatan karena pengaruh lingkungan masyarakat) yang dapat diuraikan di bawah ini.

52

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.10.

53

(57)

1. Faktor Biologis

Pemikiran bahwa perilaku dan juga perilaku kriminal ditentukan oleh faktor bakat yang diwariskan sudah sejak zaman kuno dikemukakan. Ini bukan hal yang menegherankan sebab dalam pandangan kebanyakan orang anak-anak bertindak seperti orang tuanya. Peribahasa “anak harimau tidak akan menjadi anak kambing” banyak dijumpai di mana-mana.54 Kejahatan timbul karena faktor biologis maksudnya adalah bahwa kejahatan ada karena memang sudah menjadi bakat seseorang. Faktor-faktor biologis meliputi keadaan, sifat-sifat antropologis (sifat-sifat jasmaniah) dan psikologis dari si pembuat dan memperhatikan kriminalitas sebagai pernyataan hidup si pembuat.

Cesare Lombroso, berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan membawa serta bakat-bakat tertentu. Kalau bakat seseorang itu sudah jahat, kapan saja dia bisa cenderung jahat. Sebab bakat jahat sudah ada sejak lahir dan bukan karena pengaruh lingkungan. 55 Teori Lambroso tentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang yang mirip kera dalam sifat bawaan dan watak dibandingkan dengan mereka yang bukan penjahat. Mereka dapat dibedakan dari non kriminal melalui beberapa atavistic stigmata, ciri-ciri fisik dari makhluk pada tahap awal perkembangan,

54

J.J.M. van Dijk, H.I. sagel-Grande, L.G. Toornvliet, Kriminologi Aktual, ( Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1998), hlm. 98-99.

55

Gambar

Gambar 1. Distribusi Peredaran Narkoba
Tabel 2. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Menurut Status Pekerjaan Tahun 2001-2006
Grafik 1. Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba di Sumatera Utara
Tabel 4. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran Poltabes MS Dalam Kurun Waktu 3 (tiga) Tahun (2005-2007) Menurut Umur

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan dikategorikan

Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Medan.. Medan:

Hasil penelitian menunjukan bahwa yang menjadi faktor penyebab anak putus sekolah di Lorong Melati Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan Kota Medan disebabkan oleh

Hasil penelitian menunjukan bahwa yang menjadi faktor penyebab anak putus sekolah di Lorong Melati Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan Kota Medan disebabkan oleh

apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab anak putus sekolah di daerah pesisir. Lorong Melati Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan

Hasil penelitian menunjukan bahwa peran pemerintah dinas sosial dalam pengawasan pusat rehabilitasi narkoba di kota medan sangat kurang efektif dan kuurang peduli terhadap

lingkungan sosial terhadap risiko penyalahgunaan narkoba pada anak remaja di Desa. Mabar Kecamatan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelajar Sekolah Menengah Atas di Kota Medan pernah mendapat informasi terkait dengan penyalahgunaan penggunaan