• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Nilai Parameter Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) Pada Pasien Pria Sepsis HIV dan Non HIV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Nilai Parameter Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) Pada Pasien Pria Sepsis HIV dan Non HIV"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN NILAI PARAMETER BIOELECTRICAL

IMPEDANCE ANALYSIS (BIA) PADA PASIEN PRIA SEPSIS

HIV DAN NON HIV

TESIS

OLEH

T. ISKANDAR RIZAL

067101002

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

DEWAN PENGUJI TESIS :

1.

Prof. Dr. Sutomo Kasiman SpPD-SpJP

2.

Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH

3.

Dr. Alwinsyah Abidin SpPD-KP

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Perbedaan Nilai Parameter Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) Pada Pasien Pria Sepsis HIV dan Non HIV” yang merupakan

persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Armon Rahimi SpPD-KPTI dan Dr. Franciscus Ginting SpPD sebagai pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian ini, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini.

2. Dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH, dan Dr. Refli Hasan SpPD-SpJP(K) selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H.Adam Malik Medan yang telah memberikan kemudahan dan dorongan bagi penulis selama melaksanakan pendidikan.

3. Dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Dr. Zainal Safri SpPD-SpJP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang dengan sungguh-sungguh telah

membantu dan membimbing penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

4. Dr. Krishna Wardhana Sucipto, SpPD-KEMD dan Dr. M. Riswan SpPD selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam UNSYIAH ketika penulis diterima sebagai peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan banyak bimbingan, dorongan dan bantuan dalam menjalani pendidikan

(5)

Harris Hasan SpPD SpJP (K), Dr. A Adin St Bagindo SpPD-KKV, Dr. Lufti Latief SpPD-KKV, Dr. Betthin Marpaung SpPD-KGEH, Dr. Sri M Sutadi SpPD-KGEH, Dr. Mabel Sihombing SpPD-KGEH, DR.Dr. Juwita Sembiring SpPD-KGEH, Dr. Alwinsyah Abidin SpPD-KP, Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH, Dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD, Dr. Yosia Ginting SpPD-KPTI, Dr. Umar Zein

SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr. R Tunggul Ch Sukendar (Alm), SpPD-KGH, Dr. Pirma Siburian SpPD, Dr. EN Keliat KP, DR. Dr. Blondina Marpaung KR, Dr. Leonardo Dairy SpPD-KGEH, Dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM, Dr. Zuhrial Zubir SpPD, Dr. Fauzi Yusuf SpPD-KGEH, Dr. Maimun Syukri SpPD-KGH, Dr. Samsu Umar SpPD, Dr. Azhari Ganie SpPD-KKV, Dr. M. Diah SpPD-KKV, Dr. Kurnia F Jamil SpPD-KPTI, yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

6. Dr. Tambar Kembaren SpPD, Dr. Saut Marpaung SpPD, Dr. Mardianto SpPD-KEMD, Dr. Daud Ginting SpPD, Dr. Dasril Efendi, SpPD, Dr. Ilhamd, SpPD, Dr. Calvin Damanik, SpPD, Dr. Rahmat Isnanta SpPD, Dr. Santi Syafril, SpPD, Dr. Jerahim Tarigan, SpPD, Dr. Endang Sembiring, SpPD, Dr. T Abraham, SpPD, Dr. Savita Handayani SpPD, Dr. Soegiarto Gani SpPD, Dr. Haryani Addien SpPD, Dr. Safrizal nasution SpPD, Dr. Suhartono SpPD, selaku dokter kepala ruangan / senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.

7. Kepada teman-temanku yang telah memberikan dorongan semangat: Dr. Vera Abdulah, Dr. Medina Yuliza, Dr. Roni R Ginting Dr. Restuti H Saragih, Dr. Riri A Muzasti, Dr. Hendra Adiputra, Dr. Doharman S. Juga para sejawat dan PPDS Interna lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, paramedis serta pak Syarifudin Abdullah, Kak Leli, Yanti, Wanti, Fitri, Deni, Ita, dan Tika, terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama ini.

8. Para pasien rawat inap dan rawat jalan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H.Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan / RSUD dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menjalani pendidikan ini.

9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

(6)

terima kasih atas segala jasa-jasa ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Demikian juga dengan almarhum ayah mertua dr. H.T. Hanafiah MS dan ibu mertua Cut Lely Rika Abbas yang telah memberikan dorongan semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini, saya ucapkan terima kasih yang setulusnya, kiranya Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kita semua.

Teristimewa kepada istriku tercinta Cut Mayana, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang telah kita capai ini dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkahi oleh Allah SWT. Demikian juga buah hatiku tersayang Cut Rima Adeliana dan T. Muhammad Taufik yang selalu menjadi penambah semangat serta pelipur lara di kala senang dan susah semoga apa yang telah kita jalani bersama selama ini menjadi pendorong untuk mencapai cita-cita yang lebih baik lagi.

Terima kasihku yang tak terhingga untuk kakanda Ir. T. Iskandar Mirza, Dra. Cut Lilian Hanum, T. Iskandar Faisal SKep, MKes, dan Adinda Cut Silvia Hanoum, serta seluruh anggota keluarga yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terimakasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Oktober 2011 Penulis

(7)

D A F T A R I S I

Halaman

KATA PENGANTAR………..… i

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL………... vii

DAFTAR SINGKATAN……..………. viii

ABSTRAK……… x

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Perumusan Masalah………. 3

1.3 Hipotesis……… 3

1.4 Tujuan Penelitian………... 3

1.5 Manfaat Penelitian………. 4

1.6 Kerangka Konsepsional………. 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 5

2.1 Sepsis: Patogenesis dan Patofisiologi……… 5

2.2 Sepsis pada infeksi HIV dan Kaitan dengan Status Nutrisi………... 6

2.3 Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan Aplikasi Klini………….... 8

2.4 Beberapa Parameter Yang Dihasilkan Oleh BIA.………. 9

2.4.1 Status Volume Cairan Tubuh………. 10

2.4.1.1 Total Body Water (TBW)………. 11

2.4.1.2 Intracellular Water (ICW)………. 11

2.4.1.3 Extracellular Water (ECW)……….. 11

2.4.2 Status Nutrisi………. 11

2.4.2.1 Body Cell Mass (BCM)……… 11

2.4.2.2 Free Fat Mass (FFM)………... 11

2.4.2.3 Fat Mass (FM)……….. 11

2.4.2.4 Resting Metabolic Rate (RMR)……… 12

(8)

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi BIA………..……….. 13

2.5.1 Jenis Kelamin……… 13

2.5.2 Etnik / Ras………. 13

2.5.3 Umur………. 13

2.6 Aplikasi BIA Pada Sepsis……….……... 14

2.7 Aplikasi BIA Pada Pasien Infeksi HIV/AIDS………. 15

BAB III. METODOLOGI……….……….. 16

3.1 Desain Penelitian..……… 16

3.2 Tempat dan Waktu………... 16

3.3 Subjek Penelitian..……….…... 16

3.4 Kriteria Inklusi….………. 16

3.5 Kriteria Eksklusi……….….. 16

3.6 Sampel……….………...….. 16

3.6.1 Metode Pengambilan Sampel..………...…... 16

3.6.2 Besar sampel……….. 16

3.7 Cara Kerja…….……… 17

3.8 Identifikasi Variabel…..……….…... 17

3.8.1 Variabel Bebas……….. 17

3.8.2 Variabel Tergantung……….. 17

3.9 Definisi Operasional.………... 17

3.10 Kerangka Operasional.………... 18

3.11 Analisa Data..……….…..… 19

BAB IV. HASIL PENELITIAN ………..……… 20

BAB V. PEMBAHASAN……….….. 25

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN…..………...… 30

6.1 KESIMPULAN……… 30

6.2 SARAN……… 30

KEPUSTAKAAN………... 31

LAMPIRAN 1. Master Tabel penelitian………. 34

2. Contoh Nilai Parameter BIA……… 38

3. Persetujuan Komite Etik………... 39

(9)

5. Lembar Informed Consent…………..………. 41

(10)

DAFTAR GAMBAR / TABEL

Halaman

Gambar 2-1 Hubungan Antara Infeksi HIV/AIDS, Malnutrisi, dan Infeksi……….. 7

Gambar 2-2 Arus Listrik yang Dipengaruhi Panjang dan Tebal Jaringan………….. 8

Gambar 2-3 Tehnik Pengukuran Komposisi Tubuh dengan BIA……….. 9

Gambar 2-4 Diagram Skematik Komposisi Tubuh………. 9

Gambar 2-5 Diagram Sumber Penetapan Nilai Phase Angle……… 13

Gambar 4-1 Distribusi Pasien Berdasarkan Diagnosa etiologi Sepsis……… 23

Gambar 4-2 Etiologi Sepsis Sesuai dengan hasil Kultur Darah………. 24

Tabel 2-1 Nilai Resting Metabolic Rate Berdasarkan Jenis Kelamin………. 12

Tabel 2-2 Nilai Phase Angle Berdasarkan Jenis Kelamin……….. 13

Tabel 4-1 Karakteristik Dasar Sampel Penelitian……… 20

Tabel 4-2 Parameter Laboratorium Kelompok Sepsis HIV dan Sepsis Non HIV.. 21

Tabel 4-3 Perbedaan Parameter Status Nutrisi yang Diukur dengan BIA pada Kelompok Sepsis HIV dengan Sepsis Non HIV……….. 22

Tabel 4-4 Perbedaan Status Volume Cairan Tubuh yang Diukur Dengan BIA pada Kelompok Sepsis HIV dengan Sepsis Non HIV………. 22

(11)

DAFTAR SINGKATAN

• AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome • ARV : Antiretroviral

ACCP/SCCM : American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine

• BIA : Bioelectrical Impedance Analysis • BCM : Body Cell Mass

• BMI : Body Mass Index • CO2

• Cm : centi meter : Carbon Dioxide

• Elisa : Enzyme linked immunoassay

• ELFA : Enzyme linked fluorescent immunoassay • ECM : Extracellular Mass

• FFM :Fat Free Mass

• FM : Fat Mass

• ECW : Extracellular Water

• g : Gram

• ICW : Intracellular Water • IMT : Indeks Massa Tubuh • IL : Interleukin-1

• IFN- γ : Interferon-γ

• Hb : Hemoglobin

• Kg : kilogram

• KHz : Kilo Hertz

• L ; Liter

• LPS : Lipopolisakarida

• MODS : Multiple Organ Dysfunction Syndrome

• m : Meter

• mm3

• ng : nanogram

: millimeter kubik

(12)

• RMR : Resting Metabolic Rate

• R : Resistance

• SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome • TBW : Total Body Water

• TBK : Total Body Kalium • TNF : Tumor necrosis factor • ul : Mikroliter

(13)

Abstrak

PERBEDAAN NILAI PARAMETER BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS (BIA) PADA PASIEN PRIA SEPSIS HIV DAN NON HIV

T. Iskandar Rizal, Franciscus Ginting, Armon Rahimi Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Latar belakang : Sepsis terjadi akibat komplikasi infeksi berat dengan karakteristik inflamasi sistemik dan jejas pada jaringan yang luas. Insidensi dan mortalitas sepsis sangat tinggi, terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Sepsis pada infeksi HIV atau non HIV akan menyebabkan perubahan pada komposisi tubuh dalam tingkat keparahan yang berbeda. Perubahan komposisi tubuh dapat dievaluasi dengan menggunakan BIA, yang dapat menilai status nutrisi, status cairan tubuh, dan phase angle sebagai indikator keparahan penyakit, sehingga diharapkan bermanfaat untuk tatalaksana pasien sepsis ke depan.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan nilai parameter BIA antara pasien pria sepsis pada infeksi HIV dengan sepsis pada non HIV

Metode : Penelitian dilakukan secara potong lintang mulai Juli – September 2011 di RSUP H.Adam Malik Medan dengan subjek penelitian kelompok sepsis HIV dan non HIV, jenis kelamin pria, usia 20-60 tahun. Sepsis ditegakkan berdasarkan SIRS ditambah kultur darah dan prokalsitonin, infeksi HIV ditegakkan dengan ELISA 3 metode. Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan alat BIA, hasil kalkulasi akan keluar otomatis. Data berdistribusi normal dianalisa memakai uji t tidak berpasangan, yang tidak berdistribusi normal memakai Mann-Whitney test, dikatakan bermakna bila P < 0,05.

Hasil : Dari 42 sampel, terdiri atas 21 orang sepsis HIV dan 21 orang sepsis non HIV. Karakteristik dasar kelompok sepsis HIV dan non HIV: umur (29,5±5,8 dan 43,6±13,2 tahun), berat badan (49,2±6,5 dan 60,0±8,2 kg), IMT (17,8±2,2 dan 22,1 ±3,2 kg/m2), diagnosis etiologi sepsis antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Dijumpai perbedaan bermakna parameter status nutrisi, dimana kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV: BCM (19,5±2,9 vs 24,0±3,7 kg), FFM (43,6±5,8 vs 49,5±6,4 kg), FM (5,6±2,2 vs 10,4±6,1 kg), FM % (11,3±4,1 vs 16,9±7,8 %), muscle (19,3±3,0 vs 22,7±2,8 kg), dan glikogen (395,7±53,1 vs 450,5±57,9 g). Hanya FFM (%) yang nilainya lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV (88,7±4,1 vs 83,1±7,8 %). Status volume cairan tubuh juga berbeda bermakna, dimana parameter kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV: TBW (30,1±4,0 vs 35,9±6,4 liter), ICW (10,9±3,1 vs 15,5±4,6 liter), ICW % (36,8±11,0 vs 43,6±10,8 %), dan TBK (94,5±13,9 vs 115,9±17,7 g). Hanya ECW (%) yang nilainya lebih tinggi pada sepsis HIV (63,1±11,0 vs 56,4±10,8 %). Parameter phase angle juga berbeda bermakna, dimana pada sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV (3,4±1,0 vs 4,4±1,90

Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna parameter status nutrisi, volume cairan tubuh, dan

phase angle yang diukur dengan BIA, dimana nilai pada kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV. Hanya FFM (%) dan ECW (%) yang nilainya lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV.

).

(14)

Abstract

THE DIFFERENCE OF BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS (BIA) VALUE PARAMETER IN THE SEPSIS MALE PATIENT WITH HIV AND SEPSIS WITHOUT HIV

INFECTION

T. Iskandar Rizal, Franciscus Ginting, Armon Rahimi Division of Tropical Medicine, Departement of Internal Medicine

Faculty of Medicine, Sumatera Utara University, Medan

Background : Sepsis occurs by severe infection complication with systemic inflammation character and wide lesion over the tissue. The incidency and mortality of sepsis is quite high especially in HIV infection patient. Sepsis in the patient with HIV or without HIV infection would impact alteration in the body composition according to the difference of severity level. The alteration of body composition may be evaluated by BIA which it would assess of the nutritional state, the body fluid state and phase angle as the severity level indicator so it would be expected to be useful for management sepsis in the future.

Aim : To understand difference of BIA value parameter among the sepsis male patient with or without HIV infection.

Methode : The study was conducted as cross-sectional design between July until September 2011 at RSUP H Adam Malik Medan. Subjects were recruted in two male groups i.e. HIV sepsis and without-HIV sepsis, and the age was between 20 and 60 years old. Sepsis was established by SIRS with blood culture and procalsitonin while HIV infection was established by three-methode of ELISA. Then evaluation was done by BIA, the calculation result would be appeared automatically. The normal distribution of data would be analysed by independent t test, while the abnormal one would be analysed by Mann-Whitney test, it was statistically significant if P value of < 0.05.

Result : There were 42 samples which was consisted of 21-HIV sepsis patients and 21-without HIV sepsis patients. The baseline characteristics of both groups i.e. : age (29.5±5.8 and 43.6±13.2 years old), body weight (49.2±6.5 and 60.0±8.2 kg), BMI (17.8±2.2 and 22.1 ±3.2 kg/m2), respectively, the etiology of sepsis was not different significantly in two groups. There was significantly different of nutritional state parameter which HIV sepsis group was lower than another one : BCM (19.5±2.9 vs 24.0±3.7 kg), FFM (43.6±5.8 vs 49.5±6.4 kg), FM (5.6±2.2 vs 10.4±6.1 kg), FM % (11.3±4.1 vs 16.9±7.8 %), muscle (19.3±3.0 vs 22.7±2.8 kg) and glicogen (395.7±53.1 vs 450.5±57.9 g), respectively. There was only FFM (%) higher in HIV sepsis group (88.7±4.1 vs 83.1±7.8 %). Body fluid volume was also significantly different which HIV sepsis group was lower than another one : TBW (30.1±4.0 vs 35.9±6.4 litres), ICW (10.9±3.1 vs 15.5±4.6 litres), ICW % (36.8±11.0 vs 43.6±10.8 %), and TBK (94.5±13.9 vs 115.9±17.7 g), respectively. There was only ECW (%) higher in HIV sepsis group (63.1±11.0 vs 56.4±10.8 %). Parameter of phase angle was also significantly different which it was lower in HIV sepsis group than another one (3,4±1,0 vs 4,4±1,90

Conclusion : There was significantly different of nutritional state, body fluid volume and phase angle which it was measured by BIA and the result was lower in HIV sepsis patient than without HIV one. There was only FFM (%) and ECW (%) higher in HIV sepsis group.

).

(15)

Abstrak

PERBEDAAN NILAI PARAMETER BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS (BIA) PADA PASIEN PRIA SEPSIS HIV DAN NON HIV

T. Iskandar Rizal, Franciscus Ginting, Armon Rahimi Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Latar belakang : Sepsis terjadi akibat komplikasi infeksi berat dengan karakteristik inflamasi sistemik dan jejas pada jaringan yang luas. Insidensi dan mortalitas sepsis sangat tinggi, terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Sepsis pada infeksi HIV atau non HIV akan menyebabkan perubahan pada komposisi tubuh dalam tingkat keparahan yang berbeda. Perubahan komposisi tubuh dapat dievaluasi dengan menggunakan BIA, yang dapat menilai status nutrisi, status cairan tubuh, dan phase angle sebagai indikator keparahan penyakit, sehingga diharapkan bermanfaat untuk tatalaksana pasien sepsis ke depan.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan nilai parameter BIA antara pasien pria sepsis pada infeksi HIV dengan sepsis pada non HIV

Metode : Penelitian dilakukan secara potong lintang mulai Juli – September 2011 di RSUP H.Adam Malik Medan dengan subjek penelitian kelompok sepsis HIV dan non HIV, jenis kelamin pria, usia 20-60 tahun. Sepsis ditegakkan berdasarkan SIRS ditambah kultur darah dan prokalsitonin, infeksi HIV ditegakkan dengan ELISA 3 metode. Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan alat BIA, hasil kalkulasi akan keluar otomatis. Data berdistribusi normal dianalisa memakai uji t tidak berpasangan, yang tidak berdistribusi normal memakai Mann-Whitney test, dikatakan bermakna bila P < 0,05.

Hasil : Dari 42 sampel, terdiri atas 21 orang sepsis HIV dan 21 orang sepsis non HIV. Karakteristik dasar kelompok sepsis HIV dan non HIV: umur (29,5±5,8 dan 43,6±13,2 tahun), berat badan (49,2±6,5 dan 60,0±8,2 kg), IMT (17,8±2,2 dan 22,1 ±3,2 kg/m2), diagnosis etiologi sepsis antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Dijumpai perbedaan bermakna parameter status nutrisi, dimana kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV: BCM (19,5±2,9 vs 24,0±3,7 kg), FFM (43,6±5,8 vs 49,5±6,4 kg), FM (5,6±2,2 vs 10,4±6,1 kg), FM % (11,3±4,1 vs 16,9±7,8 %), muscle (19,3±3,0 vs 22,7±2,8 kg), dan glikogen (395,7±53,1 vs 450,5±57,9 g). Hanya FFM (%) yang nilainya lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV (88,7±4,1 vs 83,1±7,8 %). Status volume cairan tubuh juga berbeda bermakna, dimana parameter kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV: TBW (30,1±4,0 vs 35,9±6,4 liter), ICW (10,9±3,1 vs 15,5±4,6 liter), ICW % (36,8±11,0 vs 43,6±10,8 %), dan TBK (94,5±13,9 vs 115,9±17,7 g). Hanya ECW (%) yang nilainya lebih tinggi pada sepsis HIV (63,1±11,0 vs 56,4±10,8 %). Parameter phase angle juga berbeda bermakna, dimana pada sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV (3,4±1,0 vs 4,4±1,90

Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna parameter status nutrisi, volume cairan tubuh, dan

phase angle yang diukur dengan BIA, dimana nilai pada kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding non HIV. Hanya FFM (%) dan ECW (%) yang nilainya lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV.

).

(16)

Abstract

THE DIFFERENCE OF BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS (BIA) VALUE PARAMETER IN THE SEPSIS MALE PATIENT WITH HIV AND SEPSIS WITHOUT HIV

INFECTION

T. Iskandar Rizal, Franciscus Ginting, Armon Rahimi Division of Tropical Medicine, Departement of Internal Medicine

Faculty of Medicine, Sumatera Utara University, Medan

Background : Sepsis occurs by severe infection complication with systemic inflammation character and wide lesion over the tissue. The incidency and mortality of sepsis is quite high especially in HIV infection patient. Sepsis in the patient with HIV or without HIV infection would impact alteration in the body composition according to the difference of severity level. The alteration of body composition may be evaluated by BIA which it would assess of the nutritional state, the body fluid state and phase angle as the severity level indicator so it would be expected to be useful for management sepsis in the future.

Aim : To understand difference of BIA value parameter among the sepsis male patient with or without HIV infection.

Methode : The study was conducted as cross-sectional design between July until September 2011 at RSUP H Adam Malik Medan. Subjects were recruted in two male groups i.e. HIV sepsis and without-HIV sepsis, and the age was between 20 and 60 years old. Sepsis was established by SIRS with blood culture and procalsitonin while HIV infection was established by three-methode of ELISA. Then evaluation was done by BIA, the calculation result would be appeared automatically. The normal distribution of data would be analysed by independent t test, while the abnormal one would be analysed by Mann-Whitney test, it was statistically significant if P value of < 0.05.

Result : There were 42 samples which was consisted of 21-HIV sepsis patients and 21-without HIV sepsis patients. The baseline characteristics of both groups i.e. : age (29.5±5.8 and 43.6±13.2 years old), body weight (49.2±6.5 and 60.0±8.2 kg), BMI (17.8±2.2 and 22.1 ±3.2 kg/m2), respectively, the etiology of sepsis was not different significantly in two groups. There was significantly different of nutritional state parameter which HIV sepsis group was lower than another one : BCM (19.5±2.9 vs 24.0±3.7 kg), FFM (43.6±5.8 vs 49.5±6.4 kg), FM (5.6±2.2 vs 10.4±6.1 kg), FM % (11.3±4.1 vs 16.9±7.8 %), muscle (19.3±3.0 vs 22.7±2.8 kg) and glicogen (395.7±53.1 vs 450.5±57.9 g), respectively. There was only FFM (%) higher in HIV sepsis group (88.7±4.1 vs 83.1±7.8 %). Body fluid volume was also significantly different which HIV sepsis group was lower than another one : TBW (30.1±4.0 vs 35.9±6.4 litres), ICW (10.9±3.1 vs 15.5±4.6 litres), ICW % (36.8±11.0 vs 43.6±10.8 %), and TBK (94.5±13.9 vs 115.9±17.7 g), respectively. There was only ECW (%) higher in HIV sepsis group (63.1±11.0 vs 56.4±10.8 %). Parameter of phase angle was also significantly different which it was lower in HIV sepsis group than another one (3,4±1,0 vs 4,4±1,90

Conclusion : There was significantly different of nutritional state, body fluid volume and phase angle which it was measured by BIA and the result was lower in HIV sepsis patient than without HIV one. There was only FFM (%) and ECW (%) higher in HIV sepsis group.

).

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sepsis merupakan suatu sindroma klinis akibat komplikasi infeksi yang berat dengan karakteristik inflamasi sistemik dan jejas pada jaringan yang luas.1 Menurut Bone et al, sepsis adalah systemic inflamatory response syndrome (SIRS) ditambah dengan bukti tempat infeksi yang diketahui. Sedangkan SIRS yaitu pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut: 1) suhu >380C atau <360C; 2) denyut jantung >90 kali/menit; 3) respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg; 4) hitung leukosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau sel imatur

(band) >10%.2 Kemudian pada konferensi internasional tahun 2001 dilakukan penambahan kriteria diagnostik sepsis yang baru yaitu prokalsitonin (PCT), yang nilainya meningkat pada pasien sepsis dan semakin tinggi sesuai keparahan sepsis.

Inflamasi sebenarnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan / eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi. Apabila tidak tercapai keseimbangan kerja yang sempurna antara mediator proinflamasi dengan antiinflamasi maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh.

3

2

Pada sepsis, jaringan dan organ yang jauh dari sumber infeksi memperlihatkan tanda-tanda inflamasi berat, termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas, dan akumulasi leukosit.1 Konsekuensi dari reaksi inflamasi sistemik yang berlebihan akan menimbulkan kerusakan endotelial, disfungsi mikrovaskular, gangguan oksigenasi jaringan, dan kerusakan pada

organ.

Di Amerika Serikat pada tahun 1970-an terdapat 164.000 kasus sepsis pertahun. Secara dramatis terus meningkat, saat ini menjadi 650.000 kasus pertahun. Pada pasien rawat di ruangan diperkirakan angka kejadian sepsis ± 2%, sedangkan di ruang perawatan intensiv mencapai 75%, dengan angka mortalitas berkisar antara 20-50%.

4

1

Angka kejadian dan mortalitas semakin tinggi pada pasien dengan penurunan sistem imun seperti pada infeksi HIV (human immunodeficiency virus).1,3 Joseph dkk (2005) yang menganalisa 74.020 pasien sepsis (7.638 menderita HIV) mendapatkan angka mortalitas sepsis pada infeksi HIV/AIDS sebesar 29% berbanding 20% pada sepsis non HIV.

Selama 30 tahun terakhir angka mortalitas yang menyertai sepsis tidak banyak berubah, kemajuan teknologi yang meliputi pemakaian peralatan monitoring invasiv, sarana diagnostik yang lebih canggih, obat vasopresor dan inotropik yang lebih baik, antibiotik yang lebih kuat, serta obat antiretroviral (ARV) pada pasien sepsis HIV belum mampu berperan

(18)

optimal dalam mengubah angka kematian tersebut. Sehingga saat ini mulai dilakukan pendekatan tambahan optimalisasi terapi suportiv yang selama ini sering terabaikan.6,7

Sepsis pada non HIV umumnya suatu proses yang bersifat akut, secara patofisiologi akan menyebabkan kerusakan pada jaringan dan organ yang luas. Inflamasi dan gangguan permeabilitas pada sepsis akan mengakibatkan perubahan pada komposisi cairan tubuh, komponen-komponen hasil proses infeksi dan inflamasi juga akan mempengaruhi metabolisme dan nutrisi.

Hal ini membutuhkan evaluasi tentang karakteristik komposisi tubuh dan status nutrisi, namun bagaimana perbedaan komposisi tubuh dan status nutrisi antara pasien sepsis pada non HIV dengan sepsis pada infeksi HIV belum sepenuhnya diketahui.

3,8

Sedangkan sepsis pada penderita HIV pada dasarnya telah diawali oleh suatu proses yang bersifat kronis, sehingga pengaruh yang ditimbulkannya akan lebih kompleks. Kerusakan jaringan dan organ akibat proses infeksi HIV dan infeksi opurtunistik, gangguan metabolisme, malabsorbsi, dan asupan makanan yang berkurang akan menyebabkan perubahan pada komposisi tubuh dan malnutrisi yang lebih berat.

Bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah metode non invasif dalam

mengevaluasi komposisi tubuh secara sederhana, aman, murah, mudah digunakan dan hasilnya segera didapat dengan tingkat kesalahan dibawah 1 %. Selain mengukur komposisi tubuh, BIA juga dapat digunakan untuk menentukan status nutrisi dan mengukur nilai phase

angle.

6,9,10

11,12,13

Di mana phase Angle berfungsi sebagai indikator fungsi membran sel, yang merupakan indikator kesehatan secara global.

Parameter BIA yang digunakan untuk menilai status volume cairan tubuh adalah

Total Body Water (TBW), Extracellular Water (ECW), Intracellular Water (ICW), dan Total

Body Kalium (TBK). Sedangkan untuk menilai status nutrisi adalah Body Cell Mass (BCM),

Fat Free Mass (FFM), Fat Mass (FM), Resting Metabolic rate (RMR), total protein, mineral

dan glikogen.

14

BIA merupakan pengukuran yang berguna untuk menilai komposisi tubuh pada pasien sepsis dan infeksi HIV, pengukuran komposisi tubuh adalah penting pada penilaian status

nutrisi pada pasien tersebut. BIA juga dapat menggambarkan derajat keparahan suatu penyakit, yang dapat mempengaruhi intervensi terapi. Nilai phase Angle pada BIA dapat memberi nilai prognostik dan indikator nutritional.

14

Beberapa studi yang memakai parameter BIA pada pasien sepsis dan pasien infeksi HIV telah dilakukan, namun studi yang membandingkan parameter BIA antara pasien sepsis pada infeksi HIV dengan pasien sepsis non HIV belum ada. Studi tersebut antara lain: Swaraz dkk (2003) yang memakai parameter BIA sebagai prediktor survival pada pasien SIRS dan

(19)

sepsis dengan jumlah sampel 30 orang mendapatkan nilai awal phase angle >4o berhubungan bermakna dengan survival pasien selama 28 hari.16 Tsoros dkk (2005) melakukan evaluasi perbandingan extracellular mass (ECM) dan body cell mass (BCM) pada pasien SIRS dan sepsis berat dengan jumlah sampel 12 orang pasien SIRS dan 18 orang pasien sepsis berat, mendapatkan BCM berkurang pada kedua kelompok namun tidak berbeda bermakna.17 Ludy

dkk (2005) yang menilai komposisi tubuh pasien infeksi HIV di Thailand menyimpulkan parameter BIA dapat digunakan dalam menilai status nutrisi pasien-pasien dengan infeksi HIV, dan status nutrisi ini berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas.

Berdasarkan uraian di atas sampai saat ini sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang parameter BIA pada pasien sepsis dan infeksi HIV/AIDS masih sangat sedikit, dan data tentang perbandingan parameter BIA antara pasien sepsis pada HIV dengan pasien sepsis pada non HIV belum pernah diteliti. Oleh karenanya penulis berminat untuk meneliti hal tersebut.

18

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat perbedaan nilai parameter BIA antara pasien sepsis pada infeksi HIV dengan sepsis pada non HIV?

1.3 HIPOTESIS

Terdapat perbedaan nilai parameter BIA antara pasien sepsis pada infeksi HIV dengan pasien sepsis pada non HIV.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan nilai parameter BIA antara pasien sepsis pada infeksi HIV dengan pasien sepsis pada non HIV.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik BIA pasien sepsis pada infeksi HIV dengan pasien sepsis pada non HIV.

(20)

1.5. MANFAAT PENELITIAN

a. Dengan mengetahui nilai parameter BIA pasien sepsis pada infeksi HIV dan pasien sepsis pada non HIV, maka para klinisi dapat menggunakan nilai parameter BIA untuk menentukan beratnya penyakit pada pasien yang menjalani perawatan tersebut. b. Dengan memperhatikan kondisi cairan tubuh, status nutrisi, dan elektrolit, diharapkan

parameter BIA dapat bermanfaat untuk tatalaksana ke depan pasien sepsis pada infeksi HIV dan pasien sepsis pada non HIV secara konferehensif.

c. Parameter BIA ke depan dapat menjadi data indikator prognostik untuk pasien sepsis pada infeksi HIV dan pasien sepsis pada non HIV yang menjalani perawatan.

1.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

Pasien sepsis pada HIV dan pasien sepsis pada non HIV

Perubahan komposisi tubuh, status volume cairan tubuh, status nutrisi, dan kerusakan

organ

Perbedaan nilai parameter BIA, yaitu :

Total Body Water (TBW), Extracellular Water (ECW), Intracellular Water (ICW), Body Cell Mass (BCM), Fat Free Mass (FFM), Fat Mass (FM), Resting Metabolic rate (RMR), Total Body Kalium (TBK),Total Protein, Mineral dan Glikogen,

dan Phase angle.

 Diagnosa sepsis: SIRS + Kultur & PCT.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI SEPSIS

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.

Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut systemic inflamation respons syndrome

(SIRS), sedangkan sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun

sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia. Berdasarkan konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda procalcitonin (PCT) sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis

3

3

. Purba D (2010) di Medan, pada penelitian prokalsitonin sebagai petanda sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.

Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-faktor proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari sinyal yang saling berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Ketika keseimbangan

proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini akan menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut sehingga menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).

19

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah

tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas

(22)

untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.

Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem

imun seluler dan humoral, bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator.

2,3

Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell dan kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan CD4

2

+

(limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor (TCR).

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ meransang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E)

2,3

2 dan meransang ekspresi intercellular adhesion

molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksidan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel.

2,3

2.2 SEPSIS PADA INFEKSI HIV DAN KAITAN DENGAN STATUS NUTRISI 2,3

(23)

pengendalian saprofit sehingga meningkatkan risiko infeksi sekunder. Konsekuensi infeksi pada individu imunokompromise adalah peningkatan kejadian sepsis berat.

Berbagai faktor ikut menentukan terjadi dan progresivitas HIV dan AIDS ke sepsis. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor eksternal dan internal. Faktor internal yang sangat menentukan adalah faktor imun, status nutrisi dan proses apoptosis. Akibat intervensi

HIV terhadap limposit T akan menyebabkan sistem imun terdesak ke posisi imunokompromise, akan terjadi kematian sel patologis, difus, dan dipercepat. Individu menjadi rentan terhadap infeksi sekunder dan potensial berkembang ke arah gradasi infeksi berat, sepsis, MODS, serta kematian.

6

Penurunan berat badan dan malnutrisi merupakan hal yang umum terjadi pada infeksi HIV atau AIDS, dan hal ini akan mengakibatkan percepatan progresivitas penyakit, meningkatkan morbiditas, dan mengurangi survival karena malnutrisi akan mempengaruhi imunitas.

6

9

Malnutrisi pada pasien infeksi HIV/AIDS meliputi gejala-gejala sebagai berikut: penurunan berat badan; berkurangnya jaringan otot dan lemak sub kutan; defisiensi vitamin dan mineral; penurunan kemampuan imun; dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Status nutrisi yang jelek dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti: penurunan nafsu makan, asupan makanan yang rendah, infeksi kronis, malabsorbsi, gangguan metabolisme, katabolisme otot dan jaringan, demam, mual-muntah, diare, depresi, dan efek samping obat-obatan.

Gangguan nutrisi pada pasien infeksi HIV/AIDS menyebabkan defisiensi pada komponen makronutrient (karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikronutrient (vitamin dan mineral), hal ini akan berpengaruh terhadap survival pasien.

10

9,10

Hubungan antara infeksi HIV/AIDS, malnutrisi, dan infeksi/sepsis dapat dilihat seperti pada gambar berikut.

(24)

2.3 BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS DAN APLIKASI KLINIS

BIA menganalisa komposisi cairan tubuh secara tidak langsung dengan mencatat perubahan impedance arus listrik segmen tubuh.

Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk.

20

Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam BIA yaitu impedance, resistance (R) dan capacitance (Xc). Impedance adalah perubahan frekuensi arus listrik yang melewati jaringan tubuh dimana frekuensi arus listrik diperlambat atau dihambat. Impedance merupakan kombinasi dari resistance (R) dan capacitance (Xc). Resistance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intra dan ekstrasel sedangkan

capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh jaringan dan

membran sel. Resistance dan capacitance berbanding lurus dengan panjang jaringan dan

berbanding terbalik dengan tebal jaringan tubuh.

11,20

11,21,22

Gambar 2-2. Arus listrik yang dipengaruhi panjang dan tebal jaringan.

Resistan dan kapasitan dapat diukur dengan berbagai tingkat frekuensi. Pada frekuensi nol gelombang tidak dapat menembus membran sel yang berfungsi sebagai insulator, dan karenanya gelombang hanya melewati cairan ekstraseluler, sedangkan

(25)

dan karenanya gelombang melewati cairan intraseluler dan ekstraseluler. Pada frekuensi gelombang 50 kHz, gelombang melewati cairan intra dan ekstraseluler, dengan proporsi berbeda dari jaringan ke jaringan lain.

Elektroda BIA umumnya ditempelkan pada permukaaan tangan dan kaki, pengukuran dilakukan pada temperatur ruangan normal dimana pasien tidak merasa kedinginan atau

kepanasan.

11

11,23

Pasien tidak boleh makan atau minum sekurangnya 4 jam sebelum pengukuran.15

Gambar 2-3. Tehnik pengukuran komposisi tubuh dengan BIA.24

2.4 BEBERAPA PARAMETER YANG DIHASILKAN OLEH BIA

(26)

Gambar 2-4. Diagram skematik komposisi tubuh.

2.4.1 STATUS VOLUME CAIRAN TUBUH. 11

BIA sangat berguna ketika diketahui dapat mengetahui jumlah cairan dalam sel dan di luar sel. Cairan yang berada dalam sel disebut ICW sedangkan cairan yang berada di luar sel disebut ECW. Total cairan tubuh disebut dengan TBW. Tiga nilai ini mencakup:

25,26

1. Fungsi integritas dari sel membran, yang mana bertanggung jawab terhadap gradient elektro-osmotik yang melewati membran sel. Cairan intrasel harus seimbang dengan jaringan sekitarnya yang berfungsi sebagai nutrisi sel dan detoksifikasi.

2. Di dalam sel berisi elektrolit. Untuk menjaga supaya cairan tetap didalam sel, jumlah elektrolit harus cukup untuk menjaga tekanan osmotik agar air tetap bertahan didalam sel. Kalium adalah elektrolit yang utama di intrasel sedangkan Natrium adalah elektrolit yang utama di ekstrasel.

3. Asam lemak berada dalam membran sel. Jika tidak terdapat lapisan lemak di setiap sel dalam tubuh kita, maka semua cairan akan keluar. Lemak menolak air (seperti minyak dan asam cuka) dan menjaga air tetap dalam sel.

(27)

2.4.1.1 Total Body Water (TBW)

Adalah jumlah seluruh cairan tubuh yang terdiri dari cairan intrasel dan ekstrasel, jumlahnya berkisar 50-60% berat badan. Dehidrasi atau kehilangan cairan dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan menurunnya total cairan tubuh. Jika dijumpai adanya infeksi maka total cairan tubuh umumnya akan meningkat bila dibandingkan dengan kondisi normal.

2.4.1.2 Intracellular Water (ICW)

Adalah cairan yang berada di dalam sel, jumlahnya berkisar 60% dari TBW. Sel seperti otot dan beberapa organ (hati, ginjal, dan otak) berisi lebih banyak air dibanding sel lemak. ICW yang ideal memiliki fungsi menjaga metabolisme tubuh tetap normal.

2.4.1.3 Extracellular Water (ECW)

Adalah cairan yang berada di luar sel. Ini meliputi cairan yang berada di antara sel (interstitial), darah, cairan limfe, cairan spinal, dan cairan yang terdapat di saluran cerna. ECW ini termasuk dalam komponen extracellular mass (ECM). Haruslah dicatat bahwa kandungan oksigen terhadap sel dengan jelas akan berkurang ketika terdapat kadar cairan yang berlebihan di ekstrasel (edema).

2.4.2 STATUS NUTRISI

2.4.2.1 Body Cell Mass (BCM)

25,26

Didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh. Konsumsi oksigen, produksi CO2, oksidasi glukosa, sintesa protein dan kerja metabolisme lain berlangsung di dalam BCM. BCM pada hakekatnya merupakan massa dari seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh karena itu merupakan komponen aktif dari metabolisme tubuh. Pada individu normal, sekitar 60% BCM terdapat pada jaringan otot, 20% terdapat pada jaringan organ, dan sisanya 20% terdapat pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposa, tendon, tulang dan tulang rawan.

2.4.2.2 Free Fat Mass (FFM)

Adalah kombinasi dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM).

2.4.2.3 Fat Mass (FM)

(28)

2.4.2.4 Resting Metabolic Rate (RMR)

Energi merupakan kebutuhan pokok proses biologik. Tanpa energi, proses dasar biologik untuk kehidupan tidak terjadi. Metobolisme terjadi melalui 2 fase yang berbeda: 1) Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan energi. 2) Anabolisme, di mana bagian komponen makanan dan energi digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan

melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang dibutuhkan setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup.

RMR adalah suatu cara untuk mengetahui seberapa cepat pembakaran kalori dalam tubuh. Rendahnya metabolisme, maka berat badan akan tetap. Pembakaran kalori yang lebih besar dari pemasukan, akan menyebabkan penurunan berat badan.

Tabel 2-1. Nilai Resting Metabolic Rate berdasarkan Jenis Kelamin.26

2.4.3 PHASE ANGLE

Phase angle bergantung dari total resistan dan reaktan tubuh dan tidak bergantung dari

tinggi dan berat badan serta lemak tubuh. Phase angle yang rendah timbul pada keadaan adanya kematian sel dan kerusakan membran sel. Tingginya nilai phase angle timbul pada keadaan dimana banyak jumlah membran sel dan BCM yang masih baik. Semua unsur hidup mempunyai nilai phase angle.

11,14,26

Phase angle merupakan prediktor outcome dan mengindikasikan adanya penyakit atau

(29)

Gambar 2-5. Diagram sumber penetapan nilai phase angle; merupakan hubungan antara

resistance (R), reactan (Xc), impedance (Z), dan frekuensi arus yang digunakan.

Tabel 2-2. Nilai Phase Angle berdasarkan Jenis Kelamin.

11

25

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIA

2.5.1 Jenis kelamin

Terdapat perbedaan total massa tubuh antara pria dan wanita, dimana pria memiliki total massa tubuh 8% lebih tinggi dibandingkan wanita.27 Sungkar T (2010) dalam penelitian

tentang perbedaan parameter BIA berdasarkan jenis kelamin pada populasi sehat di Medan mendapatkan umumnya parameter pada pria lebih tinggi dari wanita, kecuali parameter FM yang lebih tinggi pada wanita.

2.5.2 Etnik / Ras

28

Faktor yang bertanggung jawab terhadap perbedaan etnik, yang dapat mempengaruhi akurasi hasil pengukuran komposisi tubuh dengan BIA yaitu seperti: distribusi lemak, densitas tubuh, dan perbedaan proporsi panjang kaki.

2.5.3 Umur

14

(30)

2.6 APLIKASI BIA PADA SEPSIS

BIA merupakan pengukuran yang berguna untuk menilai komposisi tubuh pada pasien sepsis, pengukuran komposisi tubuh adalah penting pada penilaian status nutrisi pada pasien tersebut. BIA juga dapat menggambarkan derajat keparahan suatu penyakit, yang dapat mempengaruhi intervensi terapi.

Pada sepsis, konsekuensi dari inflamasi sistemik yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskular, gangguan oksigenasi jaringan, dan kerusakan organ.

14

4

Hal ini akan menyebabkan perubahan pada parameter BIA, terutama parameter phase

angle.14

Pada sepsis terjadi perubahan pada komposisi cairan tubuh. Inflamasi akan

menyebabkan total body water bertambah.

25

Pada saat bersamaan juga terjadi kerusakan sel dan peningkatan permeabilitas sehingga akan disertai pergeseran cairan tubuh dari intraselular dan intravaskular ke intertisial / interselular.29 Pada keadaan ini parameter komposisi cairan tubuh BIA dapat merefleksikan perubahan tersebut.

Seperti infeksi lain, pada sepsis juga terjadi perubahan metabolisme, di mana proses katabolisme akan semakin meningkat. Kebutuhan energi basal akan bertambah yang dicerminkan oleh peningkatan nilai RMR, dan RMR akan semakin tinggi pada pasien dengan penyakit infeksi berat. Gangguan metabolisme ini dan ditambah asupan makanan yang kurang akan berpengaruh terhadap status nutrisi tubuh yang meliputi perubahan pada BCM, FFM, FM, total protein, mineral, dan glikogen. Perubahan komposisi tubuh yang ringan umumnya bisa tergambar melalui parameter nutrisi BIA.

25

Terdapat beberapa penelitian yang memakai parameter BIA pada pasien sepsis. Studi yang dilakukan oleh Schwenk dkk (1998) dengan memakai parameter BIA pada pasien sepsis mendapatkan adanya perubahan pada komposisi cairan tubuh, dimana terjadi perpindahan cairan dari intraselular ke ekstraselular dan ini berhubungan dengan prognosis yang jelek.

8,14

29

(31)

2.7 APLIKASI BIA PADA PASIEN INFEKSI HIV/AIDS

Pada malnutrisi pasien infeksi HIV/AIDS, salah satunya terjadi mobilisasi protein dari BCM (terutama massa otot rangka) untuk memenuhi kebutuhan glukoneogenesis, menyebabkan wasting klasik seperti yang terlihat pada infeksi HIV stadium lanjut. Malnutrisi pada pada HIV/AIDS pada akhirnya ditandai oleh berkurangnya BCM namun disertai

ekspansi ECF. Karena berkurangnya BCM bersamaan dengan bertambahnya ECF, maka FFM dan berat badan bisa hanya sedikit berubah. Oleh karena itu penilaian antropometrik konvensional sering tidak bisa mendeteksi perubahan komposisi tubuh terutama pada stadium awal infeksi HIV. Pada stadium lanjut infeksi HIV perubahan komposisi tubuh ini lebih jelas.

Pada pasien dengan penyakit infeksi HIV juga terjadi peningkatan RMR, namun pada pasien infeksi HIV nilai RMR yang berubah tidak begitu berpengaruh terhadap total pengeluaran energi harian karena umumnya telah terdapat pengurangan aktivitas harian. Pasien HIV dengan infeksi sekunder memiliki RMR yang lebih tinggi daripada tanpa infeksi sekunder.

15

Adanya kerusakan jaringan dan organ akibat kematian sel yang patologis, difus, dan dipercepat, infeksi sekunder serta gangguan nutrisi akan menyebabkan perubahan pada nilai

phase angle. Nilai phase angle pada pasien infeksi HIV dapat mencerminkan keparahan

penyakit secara umum, serta juga dapat mengambarkan keadaan status nutrisi. Nilai phase

angle yang rendah mengambarkan keadaan penyakit yang lebih parah.

9

Christine dkk (1996) menilai komposisi tubuh pasien laki-laki dengan infeksi HIV yang secara klinis kondisinya stabil mendapatkan data bahwa pasien dengan infeksi yang lebih berat mengalami penurunan massa otot dan lemak lebih banyak.

14.15

30

Barbara dkk (2000) yang menilai komposisi tubuh pada pasien wanita dengan infeksi HIV mendapatkan korelasi bermakna antara fat mass dan BCM dengan jumlah CD4+ absolut, namun antara parameter komposisi tubuh dengan viral load tidak berkorelasi secara bermakna.

Sedangkan Ampel dkk (1998) yang meneliti hubungan antara komposisi tubuh dengan

status nutrisi dan keadaan infeksi HIV mendapatkan bahwa phase angle berhubungan dengan status nutrisi, namun tidak berhubungan dengan status imunologik (CD4), virologik, ataupun status klinis.

31

32

(32)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Desain Penelitian

Penelitian observasional dengan jenis pengukuran secara cross-sectional.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik, Medan mulai bulan Juli 2011 s/d September 2011.

3.3 Subjek Penelitian

Pasien sepsis pada infeksi HIV dan pasien sepsis pada non HIV, jenis kelamin pria, yang dirawat di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam, RSUP H. Malik, Medan.

3.4 Kriteria Inklusi

Pasien sepsis pada HIV, pasien sepsis pada non HIV yang dirawat di Ruang Rawat Penyakit Dalam, jenis kelamin pria, berusia 20 - 60 tahun, dan bersedia ikut serta dalam penelitian.

3.5 Kriteria Eksklusi

Pasien sepsis pada HIV dan non HIV yang disertai dengan edema anasarka, atau asites permagna.

3.6 Sampel

3.6.1 Metode pengambilan sampel

Sampel diambil dengan menggunakan metode consecutive sampling. 3.6.2 Besar Sampel

Sd = standar deviasi BCM pada penderita sepsis = 6,28 (kepustakaan) = deviat baku beta, untuk β = 0,10 → Zß = 1,282

d = beda rata-rata yang bermakna = 4,5 (ditetapkan peneliti)

(33)

n ≥ 20,47 ≈ 21 n1=n2

3.7 Cara Kerja

= 21, jadi masing-masing kelompok diperlukan minimal 21 sampel.

• Seluruh subyek penelitian dimintakan persetujuan untuk mengikuti penelitian

(informed consent).

• Terhadap semua subjek yang termasuk dalam penelitian dilakukan:

a) Dicatat nama, umur, jenis kelamin, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Semua sampel ditegakkan diagnosa sepsis berdasarkan kriteria The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee American College of chest Physicians/Society of Critical Care Medicine, dan ditambah nilai prokalsitonin >0,80 ng/ml.

b) Diagnosa infeksi HIV/AIDS ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan Elisa 3 metode yang reaktif.

c) Dilakukan pemeriksaan rapid test pada penderita non HIV. d) Pemeriksaan kultur darah dengan media agar Bactec 9050.

e) Pemeriksaaan prokalsitonin secara kuantitatif dengan mengunakan metode ELFA

(Enzyme linked fluorescent immunoassay).

f) Dilakukan pemeriksaan BIA, dengan syarat pasien telah dipuasakan selama 4 jam dan tidak berada dalam status dehidrasi.

g) Pemeriksaan BIA menggunakan alat Maltron Bio Scan 916 pada suhu kamar, dengan frekuensi 50-kHz dan amplitude 800-μA, elektroda ditempelkan pada kaki dan tangan. Hasil akan keluar otomatis.

3.8 Identifikasi Variabel

3.8.1 Variabel bebas

- Sepsis pada HIV

- Sepsis pada non HIV

3.8.2 Variabel tergantung

- Parameter BIA

3.9 Definisi Operasional

(34)

 Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui, dibuktikan dengan biakan positif terhadap mikroorganisme dari tempat tersebut, dan/atau kultur darah positif, atau nilai prokalsitonin >0,80 ng/ml.

 Penderita infeksi HIV positif adalah penderita dengan hasil pemeriksaan ELISA 3 metode reaktif.

Penderita non HIV adalah penderita dengan hasil pemeriksaan rapid test negativ.

Prokalsitonin adalah petanda sepsis yang disebabkan oleh bakteri.

Phase Angle yaitu menyatakan keadaan dimana jumlah membran sel dan BCM yang

masih baik.

Status nutrisi adalah keadaan gizi seseorang.

 Total protein meliputi semua komponen yang mengandung nitrogen, dari asam amino sampai nukleoprotein.

 Glikogen adalah polisakarida, dijumpai pada sitoplasma sel, distribusinya terutama pada hati dan otot rangka.

Total Body Kalium (TBK) adalah konsentrasi kalium total dalam tubuh baik

intraseluler maupun ekstaseluler.

Perbedaan nilai parameter BIA, yaitu :

Total Body Water (TBW), Extracellular Water (ECW), Intracellular Water (ICW), Body Cell Mass (BCM), Fat Free Mass (FFM), Fat Mass (FM), Resting Metabolic rate (RMR), Total Body Kalium (TBK),Total Protein, Mineral & Glikogen, &

(35)

3.11 Analisis Data

1. Analisis univariat: untuk memperoleh gambaran distribusi rerata, standar deviasi masing-masing variabel.

2. Analisis bivariat: untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel bebas dan terikat. Uji statistik yang digunakan untuk data berdistribusi normal adalah uji

t tidak berpasangan, sedang untuk yang tidak terdistribusi normal menggunakan

Mann-Whitney test, dikatakan bermakna bila P < 0,05, Uji statistik menggunakan

(36)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada tabel 4-1 dapat dilihat karakteristik dasar dan perbandingan masing masing kelompok sampel penelitian. Dari 42 orang sampel penelitian, semuanya berjenis kelamin pria, yang terbagi atas 21 orang pada kelompok sepsis HIV dan 21 orang sepsis non HIV, dengan tinggi badan rata-rata 165,9±4,3 cm pada kelompok sepsis HIV dan 164,8±4,2 cm pada kelompok sepsis non HIV. Umur rata-rata adalah 29,5 ±5,8 tahun pada kelompok sepsis HIV dan 43,6 ±13,2 tahun pada kelompok sepsis non HIV.

Berat badan rata-rata kelompok sepsis HIV adalah 49,2 ±6,5 kg dengan Index Massa Tubuh (IMT) 17,8 ±2,2 kg/m2, sedangkan pada kelompok sepsis non HIV berat badan rata-rata adalah 60,0 ±8,2 kg dengan IMT 22,1 ±3,2 kg/m2

Etiologi sepsis pada kelompok HIV sebanyak 21 orang (100%) adalah pneumonia, sedangkan pada kelompok non HIV terdiri dari pneumonia 15 orang (71,4%), gangren diabetikum 2 orang (9,5%), dan urosepsis 3 orang (14,3%). (Tabel 4-1)

. Berat badan dan IMT dijumpai berbeda bermakna secara statistik dimana pada kelompok sepsis HIV lebih rendah dibanding kelompok sepsis non HIV. (Tabel 4-1)

Tabel 4-1. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian

Karakteristik Sepsis HIV Sepsis Non HIV P

Jumlah (n) 21 21

Keterangan: HIV, Human Immunodeficiency Virus; IMT, index Massa Tubuh a

(37)

Tabel 4-2. memperlihatkan gambaran parameter laboratorium, dimana kadar rata-rata Hb pada kelompok sepsis HIV dan sepsis non HIV adalah 9,5 ±2,54 g% dan 9,86 ±3,25 g% secara berurutan. Jumlah rata-rata leukosit pada kelompok sepsis HIV dan sepsis non HIV adalah 9.154 ±7.218/mm3 dan 21.805 ±14.972/mm3

Tabel 4-2. Parameter Laboratorium Kelompok Sepsis HIV dan Sepsis Non HIV

secara berurutan. Nilai rata-rata PCT kelompok sepsis HIV adalah 6,7 ± 13,5 ng/ml dan sepsis non HIV 27,6 ±30,5 ng/ml. Nilai

leukosit dan PCT antar kelompok dijumpai berbeda bermakna secara statistik dimana lebih rendah pada kelompok sepsis HIV dibanding sepsis non HIV. Jumlah rata-rata CD4 absolut pada kelompok sepsis HIV adalah 19,5 ±31,7 sel/ul.

Parameter Laboratorium Sepsis HIV Sepsis Non HIV P

Hb (g %) a 9,59 ± 2,54 9,86 ± 3,25 0,773

Leukosit (/mm3) a 9.154 ±7.218 21.805 ±14.972 0,001*

Procalcitonin (ng/ml) b 6,7 ±13,5 27,6 ±30,5 0,007*

CD 4 absolut (sel/ul) 19,5 ±31,7 Keterangan: Hb, Hemoglobin

a

uji t Independent

b

* Signifikan

uji Mann-Whitney

(38)

Tabel 4-3. Perbedaan Parameter Status Nutrisi yang diukur dengan BIA pada kelompok Sepsis HIV dengan Sepsis Non HIV

Parameter Sepsis HIV

Keterangan: BCM, Body Cell Mass; FFM, Fat Free Mass; FM, Fat Mass; RMR, Resting Metabolic Rate.

a

Pada tabel 4-4. Dapat dilihat parameter status volume cairan tubuh yang diukur dengan BIA yaitu TBW (Liter), ECW (%), ICW (Liter), ICW (%) dan TBK berbeda bermakna, di mana nilai TBW (Liter), ICW (Liter), ICW (%) dan TBK (g) lebih rendah pada kelompok sepsis HIV dibanding kelompok sepsis non HIV. Hanya parameter ECW (%) yang nilainya secara bermakna lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV.

uji t Independent, * Signifikan

Tabel 4-4. Perbedaan Status Volume Cairan Tubuh yang diukur dengan BIA pada kelompok Sepsis HIV dengan Sepsis Non HIV

Parameter Sepsis HIV

Keterangan: TBW, Total Body Water;ECW, Extra Cellular Water; ICW, Intra Cellular Water; TBK, Total Body Kalium

(39)

Pada tabel 4-5. Dapat dilihat nilai phase angle yang diukur dengan BIA, secara statistik dijumpai perbedaan bermakna, dimana nilai pada kelompok sepsis HIV lebih rendah dibandingkan kelompok sepsis non HIV.

Tabel 4-5. Perbedaan Nilai Phase Angle yang diukur dengan BIA pada kelompok Sepsis HIV dengan Sepsis Non HIV

Pada gambar 4-1 dapat dilihat distribusi seluruh pasien berdasarkan diagnosa etiologi sepsis, dimana pneumonia adalah diagnosa penyebab sepsis terbanyak yaitu 36 pasien (86%), diikuti urosepsis 3 pasien (7%), ganggren diabetikum 2 pasien (5%), dan selulitis 1 pasien (2%).

Gambar 4-1. Distribusi Pasien Berdasarkan Diagnosa Etiologi Sepsis

Pada gambar 4-2 dapat dilihat etiologi sepsis sesuai dengan hasil kultur darah, dimana kultur darah yang positif sebanyak 9 sampel, dengan perincian Staphylococcus epidermidis sebanyak 5 sampel (56%), Streptococcus faecalis 3 sampel (33%), dan Staphylococcus

(40)

Gambar 4-2. Etiologi Sepsis Sesuai dengan Hasil Kultur Darah

Staph. epidemidis

56% Strep.

Faecalis 33%

Staph. Saprophytic

11%

(41)

BAB V

PEMBAHASAN

Sepsis merupakan suatu sindroma klinis akibat komplikasi infeksi yang berat, baik yang terjadi pada pasien infeksi HIV maupun non HIV akan menyebabkan perubahan pada komposisi tubuh namun dalam tingkat keparahan yang berbeda. Perubahan komposisi tubuh tersebut dapat dievaluasi dengan menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) yang merupakan suatu metode non invasiv dan mudah dilakukan. Dalam penelitian ini kami meneliti perbedaan nilai parameter BIA antara pasien sepsis HIV dengan sepsis non HIV yang berjenis kelamin pria.

Dari hasil pengukuran kami mendapatkan karakteristik dasar pasien kelompok sepsis HIV rata-rata berusia lebih muda (29,5±3,8 tahun) dibanding kelompok pasien sepsis non HIV (43,6±13,2 tahun). Hal ini sesuai dengan kepustakaan dimana jumlah insiden infeksi HIV pada orang dewasa sekitar 65% terjadi pada dewasa muda yang berusia <30 tahun, sehingga hal ini berpengaruh terhadap populasi sampel infeksi HIV yang mengalami sepsis. Ludy dkk (2005) di Thailand juga mendapatkan karakteristik penderita infeksi HIV kebanyakan adalah dewasa muda.

Penilaian status nutrisi orang dewasa pada dasarnya dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: 1) penilaian berdasarkan antropometri konvensional yang menggunakan parameter berat badan dan tinggi badan, seperti Indeks Massa Tubuh (IMT); 2) penilaian berdasarkan komposisi tubuh, dan; 3) penilaian berdasarkan parameter biokimia.

10,18

Pada penelitian ini kami mendapatkan karakteristik dasar berat badan dan IMT secara bermakna lebih rendah pada kelompok sepsis HIV (49,2 ±6,5 kg; dan 17,8 ±2,2) dibanding sepsis non HIV (60,0 ±8,2 kg; dan 22,1 ±3,2). IMT merupakan salah satu cara penentuan status gizi secara antropometrik yang umum digunakan, dimana dihitung dengan cara membandingkan berat badan (dalam kg) terhadap tinggi badan kuadrat (dalam meter).

9,33,34

33,35

(42)

akibat pengaruh berbagai faktor seperti nafsu makan yang menurun, asupan makanan yang rendah, infeksi kronis, malabsorbsi, gangguan metabolisme, katabolisme otot dan jaringan, demam, mual-muntah, diare, depresi, efek samping obat-obatan, dan lain-lain.

Pada penelitian ini kami mendapatkan parameter status nutrisi berdasarkan komposisi tubuh yang diukur dengan BIA dijumpai perbedaan bermakna pada nilai BCM, FFM (kg),

FM (kg), FM (%), muscle, dan glikogen, dimana nilai pada kelompok sepsis HIV lebih rendah dari sepsis non HIV. Perbedaan parameter tersebut karena pada pasien infeksi HIV telah terjadi malnutrisi akibat penyakit dasarnya, yang selanjutnya diperparah oleh sepsis akibat komplikasi infeksi akut. Kondisi hipermetabolik merupakan karakteristik pada infeksi sistemik seperti sepsis dan infeksi HIV. Lemak merupakan komponen pertama yang berkurang, kemudian diikuti oleh mobilisasi protein dari BCM (terutama massa otot rangka) untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan energi. Berkurangnya jumlah protein akan lebih jelas ketika cadangan lemak sudah sangat rendah.

10,33,36

9,37

BCM pada hakekatnya merupakan massa dari seluruh elemen sel dalam tubuh, pengurangan nilai BCM akan diikuti pengurangan komponen nutrisi lain. Jumlah BCM yang berkurang atau rendah berpengaruh terhadap outcome klinis yang jelek.11,15 Hasil yang kami dapatkan ini sesuai dengan yang didapat oleh Christine dkk (1996) bahwa penderita infeksi yang lebih berat akan mengalami penurunan massa otot dan lemak yang lebih banyak.30

Berdasarkan komposisi tubuh hanya parameter FFM (%) yang nilainya secara bermakna lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV (88,7±4,1%) dibanding sepsis non HIV (83,1±7,8%). Hal ini dijumpai karena jumlah FFM merupakan hasil pengurangan berat badan aktual terhadap jumlah FM, pada keadaan jumlah FM sangat rendah maka persentase komponen FFM akan meningkat. Namun persentase FFM yang tinggi ini tidak mencerminkan peningkatan BCM melainkan akibat berubahnya status volume cairan tubuh yaitu jumlah ECW yang bertambah. Swanson dkk (1998) mengatakan karakteristik malnutrisi pada infeksiHIV/AIDS adalah berkurangnya BCM yang disertai ekspansi ECF.

Meskipun pada penelitian ini kami mendapatkan nilai parameter nutrisi berbeda antar

ke 2 kelompok, namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian parameter BIA pada populasi sehat di Medan oleh Sungkar T (2010) yang mendapatkan: BCM 30,6±3,1 kg; FFM (kg) 54,9±4,2; FFM (%) 76,1±5,8; FM (kg) 17,8±6,1; FM (%) 23,9±5,8; protein 11,6±1,5 kg; mineral 4,1±0,5 kg; muscle 28,3±2,4 kg; dan glikogen 499,2±38 g,

15

28

(43)

yang lebih parah terjadi pada kelompok sepsis infeksi HIV. Ini terjadi akibat perbedaan penyebab dan proses yang mendasarinya dimana pada sepsis infeksi HIV telah didahului oleh infeksi kronis, sedangkan sepsis non HIV umumnya merupakan suatu proses bersifat akut.3,6,8,9,10 Pada penelitian ini juga terlihat meskipun pada kelompok sepsis non HIV nilai IMT masih dalam kisaran normal namun gambaran nutrisi berdasarkan komposisi tubuh telah

mulai berubah atau berkurang. Hasil ini sesuai dengan yang didapat oleh Tsoroz dkk (2005), dimana pasien SIRS dan sepsis mengalami pengurangan nilai BCM dan parameter nutrisi BIA lainnya.17 Beberapa peneliti lain seperti Lindsay (1998), Finn (1996), serta Plank dkk (2006) juga mendapatkan pada pasien sepsis akan terjadi perubahan komposisi tubuh.

Resting metabolic rate (RMR) adalah jumlah energi dalam tubuh yang dibutuhkan

setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup. RMR akan semakin tinggi pada pasien dengan penyakit infeksi berat.

38,39,40

25,26

Pada penelitian ini kami tidak mendapatkan perbedaan bermakna nilai RMR kelompok sepsis HIV (1446,2 ± 129,8 kkal) dibanding non HIV (1449,3 ± 156,5 kkal). Kemungkinan hal ini terjadi karena selain faktor infeksi, RMR juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: jenis kelamin, usia, suhu lingkungan, genetik, hormonal, dan komposisi tubuh (FFM dan FM). FFM merupakan tempat utama berlangsung proses metabolisme yang paling aktif, sehingga jumlah FFM yang rendah akan menyebabkan pemakaian energi basal menjadi relatif berkurang.

Cairan tubuh secara garis besar terdiri dari cairan yang berada dalam sel yang disebut sebagai intracellular water (ICW) dan yang berada di luar sel yang disebut extracellular

water (ECW). Gabungan antara ICW dan ECW menghasilkan total cairan tubuh atau disebut

total body water (TBW). Di dalam sel juga terdapat elektrolit, dimana kalium merupakan

elektrolit utama di intrasel dan natrium diekstrasel. Pada kondisi tubuh yang normal, jumlah dan komposisi cairan tubuh berada dalam perbandingan yang ideal. Infeksi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan perubahan pada jumlah, komposisi, dan perbandingan cairan tubuh.

41,42,43,44

Pada parameter status volume cairan tubuh yang diukur dengan BIA, parameter TBW

(Liter), ICW (Liter), ICW (%), dan TBK (g) didapatkan secara bermakna lebih rendah pada kelompok sepsis HIV dibanding kelompok sepsis non HIV, sedangan TBW (%) tidak berbeda bermakna. Hanya parameter ECW (%) yang nilainya lebih tinggi pada kelompok sepsis HIV. Salah satu faktor yang mempengaruhi volume total cairan tubuh (TBW) adalah berat badan, dimana jumlah kandungan rata-rata TBW berkisar 50-60% berat badan.

25,26

(44)

(%) tidak dijumpai perbedaan bermakna. Selain berat badan, jumlah TBW juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, status hidrasi, dan infeksi.

Pada kondisi normal jumlah ICW berkisar 60% dari TBW, sedangkan sisanya 40% adalah ECW. ICW terutama terdapat dalam BCM dan mengandung sebagian besar ion kalium, magnesium, dan fosfat. Kerusakan sel dan peningkatan permeabilitas akibat

inflamasi pada sepsis akan mendorong terjadinya pergeseran komposisi cairan tubuh dari intraselular dan intravascular ke intertisial/interselular. Malnutrisi pada penderita infeksi HIV juga menyebabkan ekspansi cairan ke ekstraselular, dan pergeseran cairan ini akan semakin diperparah oleh komplikasi sepsis. Hal ini akan menyebabkan perbandingan cairan tubuh intraselular (ICW) dan ekstraselular (ECW) berubah, dimana cairan intraselular menjadi berkurang namun cairan ekstraselular makin bertambah.

25,26

15,35

Hal ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Schwenk dkk (1998) serta Finn dkk (1996).29,39

Kami mendapatkan nilai TBK lebih rendah pada kelompok sepsis HIV (94,5±13,5 g) dibanding sepsis non HIV (115,9±17,7 g) dengan p<0,001. Hal ini kemungkinan karena pada pasien sepsis HIV telah terjadi kehilangan ion kalium yang lebih banyak akibat penyakit diare kronis yang sering menyertai pasien tersebut.

Pada penelitian ini kami mendapatkan nilai rata-rata ECW (%) pada kelompok sepsis HIV adalah (63,1 ±11) % dan pada sepsis non HIV (56,4 ±10,8) %, sedangkan nilai rata-rata ICW (%) pada kelompok sepsis HIV adalah (36,8 ±11,0) % dan pada sepsis non HIV (43,6 ±10,8) %.

33

Sungkar T (2010) mendapatkan nilai rata-rata TBK pria pada populasi sehat di Medan adalah 145,9±14,7 g.28 Jika hasil tersebut dibandingkan dengan hasil penelitian ini maka menunjukkan nilai TBK pada kedua kelompok sepsis di atas berada dibawah nilai normal, dimana pada kelompok sepsis non HIV juga telah terjadi penurunan jumlah total kalium tubuh. Penurunan TBK ini sesuai dengan studi oleh Finn dkk (1996) yang mendapatkan pada pasien sepsis terjadi penurunan TBK sekitar 20% selama perawatan, yang berkorelasi dengan proteolisis dan dehidrasi progresif intraselular.

Parameter phase angle merupakan refleksi hasil perhitungan nilai reaktan dan resistan

yang dapat diinterpretasikan sebagai indikator dari integritas membran dan distribusi cairan antara ruang intrasel dengan ekstrasel. Phase angle juga digunakan untuk memprediksi body

cell mass, oleh karena itu phase angle juga sebagai indikator status nutrisi. Phase angle yang

tinggi terdapat pada keadaan dimana banyak jumlah membran sel dan body cell mass yang masih baik, sedangkan phase angle yang rendah timbul pada keadaan adanya kerusakan membran sel dan kematian sel. Nilai phase angle dapat bervariasi berkisar antara 3

39

Gambar

Gambar 2-1. Hubungan antara infeksi HIV/AIDS, malnutrisi, dan infeksi.10
Gambar 2-2.  Arus listrik yang dipengaruhi panjang dan tebal jaringan.11
Gambar 2-3.  Tehnik pengukuran komposisi tubuh dengan BIA.24
Gambar 2-4.  Diagram skematik komposisi tubuh.11
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisa hubungan antara parameter volume cairan tubuh yang diukur dengan BIA dan skor kualitas hidup dimensi kesehatan fisik dan mental yang dinilai dengan SF-36

Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan pengaruh pemberian paracetamol 20 mg/kgBB intravena dan parecoxib 40 mg intravena terhadap kadar troponin I pada pasien Sepsis. Kata

Perbedaan pengaruh pemberian paracetamol intravena antara 10 dan 20 mg/kgBB terhadap kadar Troponin I pada pasien Sepsis.. Pembimbing

85 pasien yang diduga sepsis dan mencari perbedaan nilai rasio neutrofil limfosit pada. 2 kelompok PCT ≥2 dan PCT&lt;2 ng/ml serta korelasinya dengan

Bila penelitian ini mendapatkan hasil sensitifitas yang tinggi maka rasio neutrofil-limfosit dapat dijadikan sebagai cara mendiagnosa infeksi bakteri pada pasien sepsis..

Dijumpai perbedaan penurunan kadar IL-6 setelah pemberian cairan Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat pada pasien sepsis yang dilakukan EGDT 3 jam pertama di Rumah Sakit

saya lakukan adalah pada variabel bebas yaitu respons infeksi sekunder sistem integumen dan variabel terikat yaitu pasien HIV. Perbedaan lain terdapat pada desain

Penghematan biaya (cost containment) yang dapat dilakukan sebesar Rp 8.881.440,- dengan kombinasi antibiotik empirik seftazidim-levofloksasin pada pasien sepsis sumber