ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN
KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH ( APBD )
DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DAERAH
( Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai )
Tesis
Oleh
DANI SINTARA
087005026
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN
KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH ( APBD )
DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DAERAH
( Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai )
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DANI SINTARA
087005026
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTAN- GUNGJAWABAN KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAND AN BELANJA DAERAH
(APBD) DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH.
(Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai). Nama Mahasiswa : Dani Sintara.
NIM : 087005026.
Program Studi : Magister Ilmu Hukum.
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) K e t u a
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada
Tanggal : 09 Agustus 2010.
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat kecuali yang ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat. Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
dalam APBD yang pada gilirannya menghilangkan makna sistem saling mengawasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai hambatan bagi kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu: hambatan yang bersifat politis dan hambatan yang berasal dari materi peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya pada masa yang akan datang adanya peraturan yang mengatur secara tegas terhadap fungsi pengawasan DPRD khususnya pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan disamping itu juga adanya sebuah peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan daerah dimana kepala daerah dan DPRD sama-sama mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan oleh masing-masing lembaga, hal ini dilakukan adalah dalam rangka sistem saling mengawasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya adalah perlu dibentuk suatu lembaga sebagai pusat peraturan perundang-undangan (law center) agar peraturan perundang-undangan yang ada atau yang akan ada tidak bersifat tumpang tindih.
Kata kunci : Pertanggungjawaban.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintahan daerah.
ABSTRACT
With the implementation of the decentralization as a principle in the composition of the regional administration of Indonesian state, of course, will give birth to the authority or power to the areas and rights-regions to manage their own affairs that are peculiar (specific) as a business / power to domesticate the region without should be regulated more by the central government except those defined by law as the central government authority. One of the formats in the framework of the regional administration was marked by a regional chief responsibility for budget implementation. Given that the financial statements of government as a means of financial accountability of government submitted to parliament each year end the budget is a manifestation of the democratic system of government. It must be recognized that during the validity of Act No. 22 of 1999 regarding regional governance is no longer the regent responsible to parliament, which eventually brought vagueness of accountability in the implementation of regent budgets and seat parliament as a watchdog agency.
This research is a normative legal research with the analytical nature of descriptive research. In the normal course of data collection was done by two (2) ways, namely: library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judicial interpretation is expected to answer the legal issues raised in this papper.
Result showed that in responsible regent of realized revenue budget expenditure (APBD) after the entry into force of Law No. 32 Year 2004 brought problems to the of local governance are: first, lack of clarity about legislative oversight function as supervisory institutions, especially the implementation of the budget conducted by the regent, followed by not closing the possibility of regional heads will be easier to make the abuse of authority on budget execution, the second, there is no control of the parliament which also use finance as stipulated in the budget which in turn eliminates the meaning of each system in order to supervise the administration. In addition, based on research result indicate that there are various barriers to the head area in the budget to account for, among others: the obstacles are political and material constraints arising from legislation.
utilization of the area where the regental financial and legislative equally accountable for the use of funds by each institution, this is done is in order to watch an inter-regional administration. Next is necessary to from an institution as the center of legislation (Law Center) to legislation that exists or that there will be no overlap.
Key Words: Accountability.
Budget Revenue And Expenditure.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan
syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis
Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung
Balai)”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah
SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran
berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang
ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya
rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam
melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian
dariMu, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa
mengharap ridho dan pertolonganMu, karena penulis yakin bahwa Engkau tidak akan
membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis
menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
yang penulis muliakan, yaitu:
1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH selaku ketua komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam
memperluas wawasan penulis.
2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku pembimbing II
dan juga Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan
kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. Mhum selaku pembimbing
III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan
waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat
bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.
4. Yang Terpelajar Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan
sekaligus telah berkenan sebagai penguji dari mulai kolokium hingga meja hijau.
5. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku penguji dari
kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya
6. Yang terpelajar Bapak Dr. Marzuki, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak
Gunadi, SH. MHum yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah banyak
memberikan bimbingan, petunjuk dan pengetahuan yang sangat bermanfaat dan
menambah cakrawala pengetahuan penulis.
7. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu
persatu.
8. Seluruh jajaran Pemerintah Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Tanjung Balai yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan
data-data penelitian.
9. Seseorang yang terdekat dihati penulis, Nova Mutiara Sari, SPd yang dengan
ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta
senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis
mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga nova senantiasa berada dalam
lindungan ALLAH SWT.
10.Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara (Ijal, Ruly, Ya’thi, Moral, Abel, Franky, Mardia, Kiki, Pristi,
Leni, Yani, Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan
Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal
saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.
Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada saudara-saudara kandung penulis, yakni: Evi Sundari, Wina Devriana, Irfan,
Hendra Panjaitan, SH dan Rudi Apriadi, serta tak ketinggalan penulis mengucapkan
terimakasih kepada saudara-saudara penulis yang sudah penulis anggap sebagai
saudara kandung, yakni: H. Ahmad Sholihin, SH, H. M. Rinaldi, SHI, Muhammad
Hasrul, Hj. Hasnida Safitri, SH, Fadillah Mandala Putra, dan Darmawan Muhammad.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan
tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan
kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda Darwin
dan Ibunda Sri Suatmiati, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu
untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Serta
penulis megucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang yang telah
penulis anggap sebagai orang tua kandung penulis, yakni: Bapak H. Hasanuddin,
SH dan Ibunda Hj. Zulianijar.
Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak
Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap
kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih
Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.
Terimakasih.
Medan, Juli 2010. Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR SKEMA ... xiv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka teori ... 13
2. Kerangka konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 31
1. Spesifikasi penelitian ... 32
3. Analisis data ... 33
BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH
DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ... 35
A. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 108
Tahun 2000 ... 37
B. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2007 ... 54
BAB III : MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN
KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH (APBD) ... 67
A. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Dikota Tanjung Balai ... 67
1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) ... 67
2. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Dikota Tanjung Balai ... 71
B. Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan
Prinsip Good Financial Governance ... 75
C. Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan
D. Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah (APBD) ... 99
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH KEPALA DAERAH DALAM MEMPERTANGGUNGJAWABKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) ... 109
A. Hambatan Yang Bersifat Politis ... 110
B. Hambatan Materi Peraturan Perundang-undangan ... 114
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 123
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I : Perbandingan Antara UU No. 22 Tahun 1999
Dengan UU No. 32 Tahun 2004 Berkaitan Dengan
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema I : Proses Penyusunan Strategis dan
Prioritas APBD ... 79
Skema II : Mekanisme Pertanggungjawaban Terhadap
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dani Sintara.
Tempat / Tanggal Lahir : Tanjung Balai / 21 Mei 1983.
Alamat : Jl. Dwikora No. 87 C Marendal-Medan.
Agama : Islam.
Status Pribadi : Belum Menikah.
Pendidikan : 1. SD Neg. No. 132415 T. Balai : Tahun 1995.
2. SLTP Neg. I T. Balai : Tahun 1998.
3. SMU Neg. I T. Balai : Tahun 2001.
4. Fakultas Hukum UISU : Tahun 2005
Nama Orang Tua Laki-Laki : Darwin.
Nama Orang Tua Perempuan : Sri Suatmiati.
Anak Ke : 2 dari 3 bersaudara.
ABSTRAK
Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat kecuali yang ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat. Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
dalam APBD yang pada gilirannya menghilangkan makna sistem saling mengawasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai hambatan bagi kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu: hambatan yang bersifat politis dan hambatan yang berasal dari materi peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya pada masa yang akan datang adanya peraturan yang mengatur secara tegas terhadap fungsi pengawasan DPRD khususnya pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan disamping itu juga adanya sebuah peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan daerah dimana kepala daerah dan DPRD sama-sama mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan oleh masing-masing lembaga, hal ini dilakukan adalah dalam rangka sistem saling mengawasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya adalah perlu dibentuk suatu lembaga sebagai pusat peraturan perundang-undangan (law center) agar peraturan perundang-undangan yang ada atau yang akan ada tidak bersifat tumpang tindih.
Kata kunci : Pertanggungjawaban.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintahan daerah.
ABSTRACT
With the implementation of the decentralization as a principle in the composition of the regional administration of Indonesian state, of course, will give birth to the authority or power to the areas and rights-regions to manage their own affairs that are peculiar (specific) as a business / power to domesticate the region without should be regulated more by the central government except those defined by law as the central government authority. One of the formats in the framework of the regional administration was marked by a regional chief responsibility for budget implementation. Given that the financial statements of government as a means of financial accountability of government submitted to parliament each year end the budget is a manifestation of the democratic system of government. It must be recognized that during the validity of Act No. 22 of 1999 regarding regional governance is no longer the regent responsible to parliament, which eventually brought vagueness of accountability in the implementation of regent budgets and seat parliament as a watchdog agency.
This research is a normative legal research with the analytical nature of descriptive research. In the normal course of data collection was done by two (2) ways, namely: library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judicial interpretation is expected to answer the legal issues raised in this papper.
Result showed that in responsible regent of realized revenue budget expenditure (APBD) after the entry into force of Law No. 32 Year 2004 brought problems to the of local governance are: first, lack of clarity about legislative oversight function as supervisory institutions, especially the implementation of the budget conducted by the regent, followed by not closing the possibility of regional heads will be easier to make the abuse of authority on budget execution, the second, there is no control of the parliament which also use finance as stipulated in the budget which in turn eliminates the meaning of each system in order to supervise the administration. In addition, based on research result indicate that there are various barriers to the head area in the budget to account for, among others: the obstacles are political and material constraints arising from legislation.
utilization of the area where the regental financial and legislative equally accountable for the use of funds by each institution, this is done is in order to watch an inter-regional administration. Next is necessary to from an institution as the center of legislation (Law Center) to legislation that exists or that there will be no overlap.
Key Words: Accountability.
Budget Revenue And Expenditure.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, demikian
bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ini berarti bahwa negara yang
bersusunan negara kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta tanggung
jawab pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan
hidup bangsa berada dibawah kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang
terdapat pada pemerintah pusat. Dengan demikian corak pemerintahan yang demikian
cenderung bersifat sentralisasi. Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat
(federasi) dimana corak pemerintahannya lebih cenderung bersifat desentralisasi.
Namun demikian, karena wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya
dan didiami berbagai suku bangsa yang beranekaragam (Bhineka Tunggal Ika) serta
diperkaya lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan diri dari
belenggu kekuasaan penjajahan bangsa selama berabad-abad lamanya, menyebabkan
corak pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal sistem pemerintahan
yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan
beragam itu.
Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah yang
menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak pemerintahan
di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat
dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya menciptakan
Pemerintahan Daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana yang tercermin
dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Secara Ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk
menggambarkan usaha dalam melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan jalan
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah
tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus kepentingan rumah
tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk melepaskan diri dari
pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan negara (apalagi dalam negara
Indonesia), melainkan dengan diserahkannya beberapa kekuasaan dari pemerintah
pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan agar tidak terlalu bergantung sama sekali
kepada pusat.1
Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan
wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk
mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai
urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur
1
lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan
pengertian otonomi daerah.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini pemerintah pusat menyerahkan
kepada masyarakat daerah (pemerintahan daerahnya) sejumlah urusan yang kelak
akan menjadi urusan rumah tangganya sendiri dengan mengingat kondisi dan
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan,
luas daerah, pertahanan dan keamanan, serta faktor-faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah,2 dari daerah yang bersangkutan dalam rangka
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara
merata diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan diserahkannya sesuatu urusan menjadi urusan rumah tangga daerah,
mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan daerah adalah menjadi
urusan pemerintahan daerah kecuali yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang
sebagai wewenang pemerintah pusat.
Salah satu yang paling esensial dalam isi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah (Presiden) dan pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan, kecuali urusan
pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
2
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan.3
Sesuai isi Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan
pemerintah yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah adalah :
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional;dan
f. Agama
Berarti bidang-bidang lain diluar 6 (enam) bidang diatas menjadi urusan
pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata.
Kemudian untuk mewujudkan dan menyelenggarakan pemerintahan daerah
sebagaimana tersebut diatas secara efektif dan efisien tidaklah mudah, karena selain
dibutuhkannya lembaga eksekutif daerah tetapi juga keterlibatan lembaga legislatif
daerah dan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian untuk
mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local government) akan sangat
ditentukan oleh format lain dan pola hubungan antara lembaga eksekutif daerah dan
lembaga legislatif daerah serta seluruh elemen masyarakat.
3
Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengingat bahwa laporan
keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan
yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setiap akhir
tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Tanpa
sarana seperti itu hilanglah arti demokrasi karena pemerintah telah berubah menjadi
penguasa yang tidak perlu memberikan pertanggungjawaban keuangan. Hal ini
dianggap perlu karena ciri khas dari demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya,
pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu
sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi.
Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh
seorang ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa
pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa
kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termashur
bunyinya sebagai berikut: ”power tends to corrupt, but absolute power corrupts
untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan
tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.4
Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam
melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang terkait dengan
masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara,
disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas
kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara
lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila keberasaan keuangan
negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan
keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dalam
melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya,
suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi problema pelik dalam memperlancar
pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi
keuangan yang baik pula.5
Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam mencapai keberhasilan suatu
daerah, maka dalam pelaksanaannya harus pula dibarengi dengan
pertanggungjawaban sebagai bentuk pengawasan agar tidak terjadinya
penyalahgunaan wewenang.
4
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Jakarta, 1977), hlm. 53.
5
Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan
kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Untuk itulah,
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran perlu dilaksanakan sedini mungkin, agar
diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan apabila terdapat
kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki.
Selanjutnya, Muchsan menyatakan bahwa untuk adanya tindakan pengawasan
diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas.
b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.
c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut. d. Tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut, baik secara
administratif maupun secara yuridis.6
Berkaitan dengan unsur-unsur pengawasan tersebut diatas, maka pengawasan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pengawasan intern (internal control).
Pengawasan yang dilakukan suatu badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah. Misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis. Bentuk kontrol semacam itu dapat dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis-administratif atau built-in control.
b. Pengawasan ekstern (eksternal control).
Pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ yang secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, kontrol yang dilakukan secara langsung, seperti kontrol keuangan yang dilakukan BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat yang berminat pada bidang tertentu, dan kontrol politis yang dilakukan oleh DPR (D) terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan
6
peradilan administrasi, maupun badan lain seperti Komisi Ombudsman Nasional.7
Pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD tidak
semata-mata dimaksudkan sebagai upaya untuk menemukan kelemahan plaksanaan
pemerintahan daerah melainkan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas,
produktivitas, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kalau pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, salah satu
bentuk hubungan kewenangan antara badan legislatif daerah dan badan eksekutif
daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik itu pertanggungjawaban akhir tahun
anggaran, pertanggungjawaban akhir masa jabatan, maupun pertanggungjawaban
karena hal tertentu. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disebabkan oleh karena dalam hal pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi dilaksanakan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat.
Memang harus diakui, bahwa pertanggungjawaban kepala daerah dalam
pelaksanaan APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan
penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil yang salah satu cirinya adalah
Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwaklilan Rakyat, namun dengan
7
tidak bertanggungjawabnya kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
maka pengawasan dalam pelaksanaan APBD akan lebih sulit untuk dilakukan.
Arifin P Soeria Atmadja mengatakan:
Dari segi mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara dalam arti luas dijumpai kelemahan sebagai berikut:
a. Tidak jelasnya akhir pertanggungjawaban keuangan negara, mengurangi rasa tanggung jawab pelaksanaan anggaran.
b. Adanya berbagai lembaga pengawas dan tumpang tindih fungsi pengawasan disebabkan oleh tidak jelasnya ruang lingkup pengawasan.
c. Pengawasan yang kurang berdaya guna sebagai akibat tidak jelasnya tindak lanjut, memberikan peluang bagi kebocoran anggaran negara.
d. Pertanggungjawaban keuangan negara yang tidak didukung oleh mekanisme yang jelas mengakibatkan pertanggungjawaban yang tidak jelas pula, dan tidak dapat dipergunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. e. Usaha koordinasi pengawasan akan tidak berdaya guna bilamana tidak
diletakkan pada mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara yang jelas.8
Pendapat diatas seakan-akan menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana banyaknya kepala daerah yang tidak
dapat mempertanggungjawabkan keuangan daerah yang dikelolanya sehingga
berakhir dimeja hijau dan sudah tentu membawa akibat kerugian pada keuangan
negara/daerah.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya
keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk APBD dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang harus dipertanggungjawabkan oleh kepala daerah, maka
penulis tertarik memilih dan menetapkan judul tentang ”Analisis Yuridis Terhadap
8
Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), hlm. 7.
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana APBD Dalam Rangka
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintah Kota Tanjung Balai)”
untuk diteliti.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis
membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan pertanggungjawaban kepala
daerah dalam pelaksanaan APBD, sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD diatur
dengan Undang-Undang?
2. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan
APBD?
3. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah dalam
mempertanggungjawabkan APBD?
C. Tujuan Penelitian
Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD
2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam
pelaksanaan APBD.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah
dalam mempertanggungjawabkan APBD.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan
ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada
gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh pertanggungjawaban kepala
daerah dalam pelaksanaan APBD.
2. Secara praktis.
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah
dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
penegakan dan pengembangan ilmu hukum.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan
dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan,
penelitian yang mengangkat judul tentang “Analisis Yuridis Terhadap
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana APBD Dalam Rangka
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintah Kota Tanjung Balai)”
ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama.
Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan
keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa
keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.
Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan
sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah:
1. Tesis Saudari Alida dengan judul : “Akuntabilitas Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)”.
2. Proposal Saudara Rijaluddin dengan judul : “ Analisis Yuridis Fungsi
Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Kabupaten Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori.
a. Teori Kedaulatan Rakyat.
Dalam teori ini terdapat 2 (dua) istilah yang terlebih dahulu harus dipahami
maknanya, yakni: kedaulatan dan rakyat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara yang berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat negara tertentu.
Sedangkan rakyat suatu negara adalah semua orang yang berada didalam wilayah
negara dan tunduk kepada kekuasan negara.9
Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance yang mendasarkan
hukum pada akal dan rasio. Dasar ini pada abad ke-18 Jeans Jacque Rousseau
memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah
”perjanjian masyarakat” (contract social) yang diadakan oleh dan antara anggota
masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Adapun teori Jeans Jacque Rousseau
tersebut dikemukakannya dalam bukum karangannya yang berjudul Le Contract
Social. Teori ini menjadi dasar faham kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa
negara berstandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua
peraturan-peraturan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.10
Demokrasi sebagai asas yang dipergunakan dalam kehidupan ketatanegaraan
dewasa ini banyak dianut oleh negara-negara didunia, yakni suatu negara dengan
sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.
9
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 109.
10
Menurut paham kedaulatan rakyat, rakyat memerintah dan mengatur diri
mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan
pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam
penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan
melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undang-undang.11
Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.12
Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi
(kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena
kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu
terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang
sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara
kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik,
negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh
golongan-golongan dalam lapangan apapun.
11
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992), hlm. 41.
12
Seiring dengan itu, negara Indonesia juga menganut paham kedaulatan rakyat.
Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam negara Indonesia adalah
rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar,
pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitusional
democracy).
Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan bahan retorika
belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan-gagasan
luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga merupakan
persoalan tradisi dan budaya politik dan egaliter dalam realitas pergaulan hidup
yang berkeragaman atau plural, dengan saling menghargai perbedaan satu sama
lain. Oleh karena itu, perwujudan demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum.
Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektifitas dan
keteladanan kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan masyarakat, serta basis
kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan.13
Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum
(nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari
mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik
13
Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara
demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa
Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.14
Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang
Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia,
yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:
1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.
2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. 3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi
juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa
satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan
memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini
14
menghendaki perwujudan keikutsertaan masyarakat baik dalam ikut merumuskan
kebijakan maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.15
b. Teori desentralisasi.
Istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu kata ”de” yang berarti
lepas dan ”centrum” artinya pusat. Desentralisasi merupakan lawan kata dari
sentralisasi sebab kata ”de” maksudnya untuk menolak kata sebelumnya. Jadi
menurut istilah katanya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.16
Secara yuridis pengertian desentralisasi dapat diperhatikan dalam Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
yang berarti bahwa penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Inti dari desentralisasi pemerintahan daerah ini adalah bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Dengan demikian pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dapat
mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang
15
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang: UNSIKA, 1993), hlm. 47.
16
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 19 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Sedangkan istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa latin yakni
kata ”autonomos atau autonomia” yang terdiri dari 2 (dua) kata, ”auto” yang
berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti aturan. Maka secara etimologi otonomi
berarti mengatur sendiri.17 Secara Harfiah, Logeman memberikan pengertian
lebih bebas sebagai ”kebebasan” atau ”kemandirian” tetapi bukan
”kemerdekaan”.18 Hal yang sama dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh J.
Wajong yang memberikan pengertian otonomi daerah sebagai kebebasan untuk
memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan sendiri,
menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.19
Sedangkan pengertian otonomi daerah secara yuridis dapat diperhatikan
dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah: hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Kata mengatur dan mengurus sebagaimana pengertian diatas maksudnya
adalah fungsi mengurus yang ditujukan kepada badan eksekutif daerah adalah
17
Hasim Purba, Nurlisa Ginting dan Afrizon Alwi, Hubungan Pemerintah Provinsi Dengan Kabupaten/Kota, Perspektif Otonomi Daerah, (Medan: Kemitraan, 2004), hlm. 4.
18
Ibid, hlm. 5.
19
kepala daerah dan perangkat daerah otonom sesuai dengan hak dan kewajibannya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepala daerah untuk
melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,
dapat menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.
Kemudian maksud dari fungsi mengatur adalah ditujukan kepada badan legislatif
daerah yakni Dewan DPRD. Oleh karena itu DPRD pada masing-masing daerah
provinsi, kabupaten dan kota dapat membuat peraturan daerah yang berlaku bagi
masing-masing daerahnya.20
Konsep desentralisasi dan tugas pembantuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, apabila dikaji dari sudut peraturan perundang-undangan
didaerah-daerah dalam suatu negara kesatuan, mengenai penyerahan wewenang,
pelimpahan (delegasi) atau penugasan wewenang perundang-undangan dalam arti
luas, maka terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Penyerahan wewenang perundang-undangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah atas inisiatif dan menurut kebijaksanaannya sendiri (otonomi). 2. Pelimpahan (delegasi) wewenang perundang-undangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah menurut garis kebijaksanaan dari pemerintah pusat (tugas pembantuan).21
De Guzman dan Taples dalam Tjahja Supriatna menyebutkan unsur-unsur
pemerintahan daerah yaitu:
1. Pemerintahan daerah adalah subdivisi politik dari kedaulatan bangsa dan negara.
20
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, op.cit, hlm. 91.
21
2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum.
3. Pemerintahan daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh penduduk setempat.
4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya.22
Dengan merujuk uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
berhubungan dengan pemerintahan daerah otonom (self local-government).
Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang badan
pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional.
Oleh karena itu, hubungan pemerintahan daerah yang satu dengan pemerintahan
daerah lainnya tidak bersifat hierarkis akan tetapi sebagai sesama badan publik.
Demikian pula hubungan antara pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat
merupakan hubungan antar organisasi, namun keberadaannya sub-ordinat dan
dependent terhadap pemerintah pusat.23
The Liang Gie menjelaskan isi dan luas rumah tangga dapat dilihat dalam 3
(tiga) bentuk:24
1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip).
22
Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 215.
23
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), hlm. 26.
24
Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya.
Misalnya, kewenangan tersebut terdiri atas urusan a, b, c, d, dan seterusnya.
Kewenangan-kewenangan tersebut lalu dibagi secara tegas antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, contoh: kewenangan untuk mengurus a dan b
merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan kewenangan untuk
mengurus c dan d merupakan kewenangan pemerintahan daerah.
2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip).
Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dilakukan atas dasar pertimbangan rasional dan praktis. Disini tidak ada
perbedaan yang tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah.
Daerah diserahi urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil
urusan-urusan tersebut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan
tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah
daerah. Jadi, urusan-urusan rumah tangga tidak diperinci secara normatif
dalam undang-undang pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan
umum. Rumusan umum ini hanya mengandung prinsip-prinsip saja,
sedangkan pengaturan selanjutnya diserahkan kepada prakarsa daerah yang
bersangkutan. Lalu bagaimana menentukan urusan pusat dan urusan daerah?
Masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif daerah.
mengambil inisiatif, memilih alternatif, dan mengambil keputusan disegala
bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip).
Ajaran ini merupakan jalan tengah antara ajaran rumah tangga materiil dan
rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa
pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada faktor-faktor
riil didaerah, seperti kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan
penduduk. Dalam ajaran ini dikenal adanya kebijakan pemberian urusan
pokok dan urusan tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya
undang-undang yang mengaturnya telah mencantumkan beberapa urusan
rumah tangga yang merupakan urusan pokok sebagai modal awal disertai
segala atribut, wewenang, personal, perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan
dengan kemampuan dan kesanggupan serta perkembangan daerah yang
bersangkutan, secara bertahap urusan-urusan tersebut dapat ditambah.
Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan kedalam 2 (dua)
perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi
administrasi. Satu diantara perbedaan mendasar dari dua perspektif ini terletak
pada rumusan defenisi desentralisasi itu sendiri. Perspektif desentralisasi politik
mendefenisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power)
desentralisasi administrasi mendefenisikan desentralisasi sebagai delegasi
wewenang administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Adanya perbedaan antara 2 (dua) perspektif dalam
mendefenisikan desentralisasi telah memiliki implikasi pada perbedaan dalam
merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik
menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan
demokratisasi ditingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan
kepekaan lokal. Disisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih
menekankan pada asfek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan ekonomi didaerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi.25
Dari pengertian diatas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual functions).
3. Penerima wewenang adalah daerah otonom.
4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.
5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit.
7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat.
8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.
9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system politik.26
25
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Ditingkat Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 5.
26
Kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep otonomi
daerah, maka keberhasilan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut tidak
dapat dilepaskan dari kemampuan daerah dalam bidang keuangan yang dalam hal
ini dapat dikatakan sebagai automoney, karena faktor keuangan adalah merupakan
salah satu indicator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah.27
Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk
mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan.
Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan facktor essensial dalam
mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini
berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan
dana atau uang, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat
menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta
dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat tanpa
tersedianya dana untuk itu.28
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, S. Pamudji mengatakan:
Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan biaya pelayanan dan pembangunan dan keuangan adalah merupakan salah satu yang menjadi dasar
27
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 283.
28
criteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.29
Dari pendapat diatas bahwa untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangganya sendiri daerah membutuhkan biaya atau uang. Tanpa adanya biaya
yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat
menyelenggarakan tugas dan kewajiban serta kewenangan yang ada padanya
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tetapi juga cirri pokok dan
mendasar dari suatu daerah otonom menjadi hilang.
c. Teori pertanggungjawaban keuangan daerah.
Pertanggungjawaban berarti sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Istilah
pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab. Dalam bahasa Inggris
disebut dengan istilah ”responsibility” dan istilah ”liability”. Kedua istilah ini
menurut Pinto mempunyai pengertian yang berbeda, yaitu:
Istilah responsibility ditujukan bagi adanya indikator penentu atas lahirnya suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat lahirnya tanggungjawab itu. Sedangkan istilah liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Perbedaan antara istilah responsibility dengan liability juga dapat dilihat: Istilah responsibility menunjukkan suatu standard perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu, sedangkan terminologi liability lebih menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat kegagalan didalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam hal ini untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan.30
29
S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1980), hlm. 61.
30
Atas dasar uraian tersebut diatas, maka tanggungjawab mempunyai 2 (dua)
arti. Pertama, yaitu tanggungjawab dalam arti responsibility terhadap
tanggungjawab dalam artian ini maka tanggungjawab dititik beratkan pada
pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi
aturan-aturan standard yang telah ditentukan. Kedua, tanggungjawab dalam arti liability,
tanggungjawab dalam artian ini dititik beratkan pada kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya
aturan-aturan standard yang telah ditentukan.31
Sedangkan Prajudi Atmosudirjo mengatakan:
Tanggungjawab dan pertanggungjawaban dapat dibedakan dalam 3 (tiga) batasan, yaitu: responsibility, accountability dan liability. Tanggungjawab dalam arti responsibility adalah tanggungjawab yang berlaku antara bawahan dan atasan. Liability menunjukkan tanggungjawab hukum atau tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui pengadilan (hukum), sedangkan tanggungjawab accountability adalah pertanggungjawaban yang dibuat oleh mereka yang menerima kuasa atau mendapat kewenangan yang diterima digunakan untuk kebaikan (kesejahteraan) mereka yang memberi kuasa (rakyat).32
Atas dasar pengertian akuntabilitas diatas, maka istilah akuntabilitas lebih luas
pengertiannya dari istilah responsibility dan liability. Hal tersebut dikarenakan
akuntabilitas tidak hanya dititik beratkan pada pemenuhan kewajiban oleh
penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan standard yang telah
ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya dititik beratkan pada
31
Ibid.
32
pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya
aturan-aturan standard yang telah ditentukan (liability), melainkan suatu bentuk
pertanggungjawaban secara keseluruhan yang meliputi responsibility, liability dan
ditambah dengan suatu kewajiban untuk membuktikan manajemen, pengendalian,
kinerja yang baik, yang harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut.
Kemudian apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban kepala daerah
dalam melaksanakan tugasnya, maka menurut ketentuan bunyi Pasal 17 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantuan, dinyatakan bahwa: ”Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) memuat asfek pembiayaan, sarana dan prasarana, dan
sumber daya manusia berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Ketentuan tersebut diatas menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra bahwa pada
penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya
dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikaji dalam
arti luas dan dalam arti sempit, maka ada 3 (tiga) ketentuan, yaitu:
1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang menyangkut kriminal (kejahatan dan pelanggaran jabatan) dalam rangka tugas pembantuan dapat dipidana, misalnya UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang merugikan masyarakat (onrechtmatige overheidsdaad), maka pemerintah daerah atau pemerintah pusat harus mengganti kerugian tersebut.
a. Dalam pelaksanaannya terdapat perubahan kebijaksanaan baru dari pemerintah, propinsi dan kabupaten
b. Berdasarkan hasil penilaian, evaluasi dan pembinaan dari pemberi tugas pembantuan bahwa penerima tugas pembantuan tidak mampu menyelenggarakan tugas pembantuan.
c. Penyelenggaraan tidak sesuai dengan rencana/program yang telah ditetapkan oleh pemberi tugas pembantuan.
d. Pelaksanaan tugas pembantuan telah selesai.33
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan akuntabilitas publik pengelolaan
keuangan daerah yang merupakan sebuah pertanggungjawaban administrasi dan
politik, maka pertanggungjawaban kepala daerah dalam pengelolaan keuangan
daerah, dapat dikatakan bahwa tujuan umumnya adalah:
1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship).
2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.34
Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala
daerah adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah.
2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya.
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan.
33
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (bandung: Alumni, 2000), hlm. 128.
34
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional.
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.35
2. Kerangka konsepsi.
Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan terhadap
istikah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:
Pertanggungjawaban kepala daerah adalah Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ
adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah selama
1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah
kepada DPRD (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan
Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Masyarakat).
Sedangkan yang dimaksud dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kepada Pemerintah yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala daerah
kepada Pemerintah (Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintahn Nomor 3 Tahun 2007
35