JENIS DAN KOMPOSISI KOMUNITAS AMFIBI DI TAMAN
WISATA ALAM/CAGAR ALAM SIBOLANGIT DAN DESA
SEMBAHE KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN
DELI SERDANG SUMATERA UTARA
SKRIPSI
AKHMAD JUNAEDI SIREGAR
050805063
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : JENIS DAN KOMPOSISI KOMUNITAS AMFIBI DI
TAMAN WISATA ALAM /CAGAR ALAM SIBOLANGIT DAN DESA SEMBAHE KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA
Kategori : SKRIPSI
Nama : AKHMAD JUNAEDI SIREGAR
Nomor Induk Mahasiswa : 050805063
Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI
Departemen : BIOLOGI
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diluluskan di
Medan, Nopember 2010
Komisi Pembimbing,
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Mayang Sary Yeanny S.Si, M.Si Drs Arlen Hanel John M.Si
NIP: 197211261998022002 NIP: 19581018199031001
Diketahui/disetujui oleh
Departemen Biologi FMIPA USU
PERNYATAAAN
JENIS DAN KOMPOSISI KOMUNITAS AMFIBI DI TAMAN WISATA ALAM/CAGAR ALAM SIBOLANGIT DAN DESA SEMBAHE KECAMATAN
SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Nopember 2010
PENGHARGAAN
Selayaknya insan yang selalu dianugrahi, sepantasnyalah penulis memanjatkan puja dan puji syukur ke Haribaan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas berkat, rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyusun Skripsi yang berjudul “Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.”
Pertama sekali, penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J., M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menyumbangkan bimbingan, motivasi serta dukungannya yang menstimulasi agar penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Ibu Mayang Sari Yeanny S.Si., M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang bersabar terus untuk memberikan yang terbaik demi kesempurnaan Skripsi ini. Tentunya terima kasih kepada Ibu Masitta Tanjung S.Si, M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga S.Si, M.Si sebagai dosen penguji yang telah banyak meluruskan tujuan dan langkah-langkah penelitian yang dilakukan.
Penghargaan juga penulis berikan kepada Ibu Dra Nunuk Priyani M.Sc, selaku Dosen Penasihat Akademik sekaligus sekretaris Dept Biologi FMIPA USU yang telah memberi arahan dan tuntunan kepada penulis selama masa perkuliahan hingga sekarang. Penghargaan penulis berikan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU. Bapak dan Ibu staf pengajar Dept Biologi FMIPA USU yang tidak bisa disebut satu per satu. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Dept Biologi, serta Ibu Nurhasni Muluk dan Bapak (Alm) Sukirmanto selaku analis dan laboran di Laboratorium Dept Biologi yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis juga tidak akan lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen-dosen yang menjadi orang tua penulis di Kampus USU. Kepada Ibu Prof Retno Widhiastuti, Ibu Erni Jumilawaty S.Si, M.Si, Ibu Nursahara Pasaribu S.Si, M.Sc dan Bapak Prof Syafruddin Ilyas M.Biomed serta dosen-dosen Biologi FMIPA USU secara keseluruhan, terima kasih untuk semuanya.
Kepada pihak otoritas konservasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA-SU), terima kasih kepada Bapak Simson Bukit selaku Kepala Resort Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit yang telah memberikan kemudahan dan fasilitas selama penelitian. Juga kepada Bapak Tarigan (polisi hutan) yang telah bersedia sebagai pemandu demi suksesnya penelitian.
Harus tetap penulis mengingat kepada Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS–IP) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk ikut serta mengerjakan penelitian Kelestarian Tuntong Laut (Batagur borneoensis) di Sumatera Bagian Utara walaupun masih duduk di bangku perkuliahan. Terima kasih kepada Kakanda Munawar Kholis dan Giyanto serta teman-teman staf lapangan WCS–IP yang telah banyak berbagi informasi yang dapat mempermudah dan memperkaya wawasan penulis selama ini.
Cinta, sayang dan salut kepada dua pahlawanku yang telah mendidik penulis ke jalan yang lebih baik dari yang mereka jalani. Kepada Ayahanda (Alm) Hasanuddin Siregar dan Ibunda Hj. Hasnah Harahap, tiada kata yang pantas bisa penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu. Penulis hanya bisa menjanjikan untuk memenuhi keinginan orangtua, memenuhi sholat lima waktu. Banyak yang penulis rindukan di masa lalu termasuk masa bertani yang kesemuanya sangat indah dan tidak terlupakan. Lebih jauh lagi, penulis menginginkan kumpul keluarga abadi nantinya di surga milik Allah. Amin.
Kepada Kakanda Tikwan Raya Siregar dan Wiras Tuti, terima kasih atas
dukungannya. Penulis telah banyak mencuri ilmu dari Abang dan Kakak, termasuk buku-buku yang belum penulis kembalikan. Tara Varadissa dan Pati Mulla Sadra, keponakan yang baik yang memberi semangat yang luar biasa untuk penulis. Tangis dan canda kalian adalah bahasa-bahasa inverbal yang selalu menghibur Uda. Tidak kurang kepada Kakanda Gong Matua Siregar dan Rafika serta Maura Divanka Siregar yang banyak memberikan dukungan dan bersedia memberi suntikan semangat. Serta Kakanda Lenni Haji Siregar beserta keluarga dan adik-adik kesayanganku Hartatika Siregar, Lailan Khoiriah Siregar dan Habibie Siregar. Mereka semua adalah energi pemicu untuk penulis sehingga penulis akhirnya memutuskan menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
Bengkel Fotografi Sains (BFS) dan Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Departemen Biologi FMIPA USU menjadi wadah mencurahkan ide dan melatih kreatifitas yang sangat membantu penulis untuk mendapatkan ilmu-ilmu di luar kajian akademis sekaligus sebagai penghubung ke dalam dunia luar kampus. Terima kasih kepada kakanda Panji, Edi, Agus Koto, Carya, Fakhrul, Diah, Andi, Tika dan jajaran adik-adikku di BFS. Begitu juga kepada Kakanda Giyanto, Hasri, Jamrud, Barita, David, F-Hot dan Mahya di Biopalas.
Tim ekpedisi yang sangat membantu penulis, Sidahin, Taripar, Umri, Incai, Jayana yang telah banyak membantu. Teman-teman stambuk 2005, Rahmad, Irfan, Kabul, Verta, Andi, Misran, Efendi, Rico, Diana, Ummi, Putri, Winda, Seneng, Widya, Fifi, Gustin dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan saran-sarannya. Adik-adik kebanggaanku Nikma, Zulpan, Ami, Jane, Rivo, Lia, Reni, Affan, Incai, Umri, Zuki, Kasbi, Jayana, Juventus, Aini, Reymond, Desi, Mispala dan Gilang, Surya serta Juhardi, kalian semua sangat potensial sebagai peneliti.
Demikianlah Skripsi ini penulis susun semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
ABSTRAK
Penelitian mengenai Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Februari 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe. Penelitian ini menggunakan Metode Visual Encounter Survey–Night Stream (VES–NS) dan Kuadrat Plot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 2 ordo, 13 genus, 23 spesies ditemukan di kedua lokasi penelitian di mana Polypedates leucomystax memiliki nilai kepadatan (K) paling tinggi (K=36,11 ind/ha) di TWA/CA Sibolangit dan Rana chalconota (K=26,67 ind/ha) di Desa Sembahe. Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Limnonectes kuhlii yakni tergolong kategori assesori (FK=25,64%). Sedangkan di Desa Sembahe ditempati spesies Bufo juxtasper dan Rana hosii masing-masing masuk kategori assesori (33,33%). Didapatkan 2 spesies amfibi yang memiliki nilai KR > 10% dan FK > 25% yakni Limnonectes kuhlii (KR=11,62%, FK=25,64%) di TWA/CA Sibolangit sedangkan Rana hosii (KR=11,58%, FK=33,33%) Desa Sembahe. Komposisi jenis tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Polypedates leucomystax sedangkan di sepanjang sungai Sembahe adalah Rana chalconota.
ABSTRACK
Research on the Species and Amphibian Community Composition in Nature Park/Nature Preserve (TWA/CA) Sibolangit and Sembahe Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang regency of North Sumatra have been carried out in February 2010. This study aims to determine the spesies and composition of amphibian communities in the TWA/CA Sibolangit and Sembahe Village. This research using Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS) and Square Plot Methods. The results showed that as much as 2 orders, 13 genera, 23 species are found at both sites where Polypedates leucomystax density value (K) the highest (K = 36.11 ind/ha) in the TWA/CA Sibolangit and Rana chalconota (K=26.67 ind/ha) in the Village Sembahe. Frequency of Presence (FK), the highest in the TWA/CA Sibolangit is Limnonectes kuhlii each category accessories (FK=25.64%). While in the Sembahe Village occupied by the species Bufo juxtasper and Rana hosii each category accessories (33.33%). Got 2 species of amphibians which have a value of KR>10% and FK>25% is Limnonectes kuhlii (KR=11.62%, FK=25.64%) in the TWA/CA Sibolangit while Rana hosii (KR=11.58%, FK=33.33%) in the Sembahe Village. The highest species composition in the TWA/CA Sibolangit is Polypedates leucomystax while along the river is Rana chalconota in the Sembahe Village.
DAFTAR ISI
1.4 Hipotesis Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
2.6 Hutan TWA/CA Sibolangit 10
2.6.1 Flora dan Fauna 10
4.3 Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi 36
4.4 Frekuensi Kehadiran (Konstansi) Amfibi 40
4.5 Amfibi yang Memiliki KR>10% dan FK>25% 42
4.6 Komposisi Jenis Amfibi 43
Bab 5 Kesimpulan dan Saran 44
5.1. Kesimpulan 44
5.2. Saran 45
Daftar Pustaka 46
DAFTAR TABEL
halaman Tabel 4.1 Jenis-jenis Amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa
Sembahe.
17
Tabel 4.2 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Lokasi Penelitian 18
Tabel 4.3 Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi 36
Tabel 4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) dan Konstansi Amfibi 40
Tabel 4.5 Amfibi yang Memiliki Nilai KR > 10 % dan FK > 25 % 42
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 4.1 Bufo asper 20
Gambar 4.2 Bufo divergens 21
Gambar 4.3 Bufo juxtasper 21
Gambar 4.4 Bufo melanostictus 22
Gambar 4.5 Leptophryne borbonica 23
Gambar 4.6 Pelophryne signata 23
Gambar 4.7 Limnonectes blythii 24
Gambar 4.8 Limnonectes kuhlii 25
Gambar 4.9 Megophrys nasuta 25
Gambar 4.10 Microhyla heymonsi 26
Gambar 4.11 Microhyla berdmorei 27
Gambar 4.12 Huia sumatrana 27
Gambar 4.13 Rana chalconota 28
Gambar 4.14 Rana debussyi 29
Gambar 4.15 Rana erithraea 29
Gambar 4.16 Rana glandulosa 30
Gambar 4.17 Rana hosii variasi hijau 31
Gambar 4.18 Nyctixalus pictus 32
Gambar 4.19 Polypedates leucomystax 32
Gambar 4.20 Rhacophorus cyanopuntatus 33
Gambar 4.21 Rhacophorus dulitensis 34
Gambar 4.22 Theloderma leprosum 34
DAFTAR LAMPIRAN
halaman Lampiran 1 Peta Penelitian
ABSTRAK
Penelitian mengenai Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Februari 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe. Penelitian ini menggunakan Metode Visual Encounter Survey–Night Stream (VES–NS) dan Kuadrat Plot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 2 ordo, 13 genus, 23 spesies ditemukan di kedua lokasi penelitian di mana Polypedates leucomystax memiliki nilai kepadatan (K) paling tinggi (K=36,11 ind/ha) di TWA/CA Sibolangit dan Rana chalconota (K=26,67 ind/ha) di Desa Sembahe. Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Limnonectes kuhlii yakni tergolong kategori assesori (FK=25,64%). Sedangkan di Desa Sembahe ditempati spesies Bufo juxtasper dan Rana hosii masing-masing masuk kategori assesori (33,33%). Didapatkan 2 spesies amfibi yang memiliki nilai KR > 10% dan FK > 25% yakni Limnonectes kuhlii (KR=11,62%, FK=25,64%) di TWA/CA Sibolangit sedangkan Rana hosii (KR=11,58%, FK=33,33%) Desa Sembahe. Komposisi jenis tertinggi di TWA/CA Sibolangit adalah Polypedates leucomystax sedangkan di sepanjang sungai Sembahe adalah Rana chalconota.
ABSTRACK
Research on the Species and Amphibian Community Composition in Nature Park/Nature Preserve (TWA/CA) Sibolangit and Sembahe Village, Sibolangit Subdistrict, Deli Serdang regency of North Sumatra have been carried out in February 2010. This study aims to determine the spesies and composition of amphibian communities in the TWA/CA Sibolangit and Sembahe Village. This research using Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS) and Square Plot Methods. The results showed that as much as 2 orders, 13 genera, 23 species are found at both sites where Polypedates leucomystax density value (K) the highest (K = 36.11 ind/ha) in the TWA/CA Sibolangit and Rana chalconota (K=26.67 ind/ha) in the Village Sembahe. Frequency of Presence (FK), the highest in the TWA/CA Sibolangit is Limnonectes kuhlii each category accessories (FK=25.64%). While in the Sembahe Village occupied by the species Bufo juxtasper and Rana hosii each category accessories (33.33%). Got 2 species of amphibians which have a value of KR>10% and FK>25% is Limnonectes kuhlii (KR=11.62%, FK=25.64%) in the TWA/CA Sibolangit while Rana hosii (KR=11.58%, FK=33.33%) in the Sembahe Village. The highest species composition in the TWA/CA Sibolangit is Polypedates leucomystax while along the river is Rana chalconota in the Sembahe Village.
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas tertinggi di dunia. Luas
hutan primernya saja sekitar 14.484.400 ha di mana luas kawasan lindung 29.960.600 ha.
Pulau Sumatera memiliki hutan primer seluas 1.949.200 sedangkan hutan lindungnya
3.696.400 di mana berbagai spesies hidupan liar berhabitat di dalamnya (Purnama, 2003).
Indonesia memiliki hutan hujan tropis paling luas untuk wilayah Indo-Malaya, di mana
hutan tropis basah Indonesia mewakili 9-10% dari keseluruhan hutan hujan tropis dunia,
atau 40 – 50 % dari hutan tropis basah Asia (Arlen, 2000). Kondisi hutan tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara pulau dengan biodiversitas paling tinggi nomor dua
di dunia setelah Brasil. Selain itu, Indonesia sangat kaya dan mendukung keberadaan dan
kehidupan vertebrata di antaranya amfibi.
TWA/CA Sibolangit, Sumatera Utara merupakan satu kesatuan dengan hutan
Tahura Bukit Barisan yang memiliki biodiversitas yang sangat tinggi. Fauna yang hidup di
sini antara lain kera (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis sp), rangkong (Buceros sp),
burung kutilang (Pycnonotus sp), kacer (Copsycus saularis), srigunting (Dicrurus sp), babi
hutan (Sus sp), kancil (Tragulus javanicus), trenggiling (Manis javanica) serta berbagai
jenis amfibi. Iskandar (1998) menyatakan bahwa di Sumatera terdapat ± 94 jenis amfibi
yang terdiri dari dua ordo, yaitu 1). Ordo Anura (katak dan kodok) dengan 89 jenis, sekitar
21 jenis di antaranya adalah endemik, 2). Ordo Gymnophiona (5 jenis). Selanjutnya
dijelaskan bahwa keberadaan jenis amfibi (katak, kodok dan sesilia) untuk kawasan
Sumatera telah banyak diteliti dan ditulis oleh Van Kampen, De Rooij, Cooger Harold, D.
Liswanto, Voris dan Kadarsan. Dari hasil penelitian Lubis (2007) di Hutan Suaka
Margasatwa Siranggas, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara didapatkan 17 jenis
Pengetahuan tentang keberadaan jenis dan jumlah individu suatu spesies hewan
pada suatu habitat tertentu belum banyak diketahui, hal ini disebabkan karena minimnya
penelitian, dokumentasi dan publikasi fauna tersebut (amfibi) secara umum, padahal
persentase endemiknya sangat besar. Inger dan Iskandar (2005) menjelaskan bahwa amfibi
di Sumatera belum banyak diketahui seperti pulau lainnya. Sehubungan dengan uraian di
atas maka dilakukanlah penelitian tentang ”Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di
Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.”
1.2 Permasalahan
Hutan TWA/CA Sibolangit merupakan luasan hutan lindung seluas 120 ha yang
dikelilingi pemukiman dan perkebunan lahan-lahan terbuka masyarakat dan Desa
Sembahe merupakan salah satu desa yang mengelilingi hutan TWA/CA Sibolangit yang
memungkinkan perbedaan jenis-jenis amfibi yang hidup di kedua lokasi tersebut. Namun
hingga saat ini belum diketahui bagaimanakah keberadaan jenis dan komposisi komunitas
amfibi di hutan TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui jenis-jenis amfibi yang terdapat di TWA/CA Sibolangit dan Desa
Sembahe.
b. Mengetahui komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe.
1.4Hipotesis Penelitian
b. Terdapat perbedaan komposisi komunitas amfibi di TWA/CA Sibolangit dan Desa
Sembahe.
1.5Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi tentang keberadaan jenis dan
komposisi komunitas amfibi di hutan TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe
Kecamatan Sibolangit Sumatera Utara untuk ilmuan, pelajar, masyarakat dan sebagai
dasar untuk instansi terkait dalam melakukan pengelolaan dan penjagaan kelestarian hutan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Amfibi.
Amfibi merupakan salah satu kelas dari vertebrata yang terdiri dari tiga ordo, yaitu ordo
Caudata, ordo Gymnophiona, dan ordo Anura (Simon & Schuster’s, 1989). Dari ketiga
ordo tersebut yang dijumpai di Indonesia adalah ordo Gymnophiona dan ordo Anura.
Klasifikasi amfibi sebagai berikut:
Ordo Urodela (Caudata), terdiri dari :
a. Famili Hynobiidae (meliputi salamander yang hidup di dataran Asia)
b. Famili Cryptobranchidae (meliputi salamander yang hidup di sungai)
c. Famili Ambystomidae (dalam keadaan larva hidup di perairan dan pada saat dewasa
ada sebagian yang tetap di perairan dan sebagian di daerah teresterial)
d. Famili Salamdridae
e. Famili Amphiumidae
f. Famili Plethodonthidae
g. Famili Proteidae (selalu dalam stadium larva)
h. Famili Serenidae (selalu dalam stadium larva tanpa ektremitas posterior)
Ordo Anura (salientia) terdiri dari :
a. Famili Liopelmidae (meliputi katak yang primitif, aquatik dan teresterial)
b. Famili Pipidae (meliputi katak yang bertubuh pipih, merupakan katak yang melakukan
penyesuaian terhadap lingkungan perairan)
c. Famili Discoglossidae
d. Famili Pelobatidae
e. Famili Brevicivitadae
g. Famili Rachoporidae
h. Famili Mycrohylidae
i. Famili Pseudidae (meliputi katak-katak aquatik dari Amerika Selatan)
j. Famili Bufonidae
k. Famili Hylidae
l. Famili Leptodactylidae
Ordo Apoda (Gymnophiona) hanyaterdiri dari 1 famili, yaitu famili Caecilidae.
2.2 Biologi Amfibi 2.2.1 Pengertian Amfibi
Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara
harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat dan air.
Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada
lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar
mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998).
2.2.2 Morfologi Amfibi
Amfibi memiliki beragam bentuk dasarnya tergantung ordonya. Ordo Anura (jenis
katak-katakan) secara morfologi mudah dikenal karena tubuhnya seperti berjongkok di mana ada
empat kaki untuk melompat, bentuk tubuh pendek, leher yang tidak jelas, tanpa ekor, mata
melotot dan memiliki mulut yang lebar (Inger, R.F & R.B, Stuebing, 1997). Tungkai
belakang selalu lebih panjang dibanding tungkai depan. Tungkai depan memiliki 4 jari
sedangkan tungkai belakang memiliki 5 jari. Kulitnya bervariasi dari yang halus hingga
kasar bahkan tonjolan-tonjolan tajam kadang ditemukan seperti pada famili Bufonidae.
Ukuran katak di Indonesia bervariasi mulai dari yang terkecil yakni 10 mm hingga yang
terbesar mencapai 280 mm (Iskandar, 1998). Katak di Sumatera diketahui berukuran antara
Umumnya ordo Anura memiliki selaput (webbing) walaupun sebagian didapatkan
tidak berselaput seperti genus Leptobrachium dan Megophrys. Ada tidaknya selaput sangat
sesuai dengan habitat yang ditempatinya. Ordo Anura memiliki warna bervariasi
berdasarkan familinya seperti famili Rhacophoridae cenderung berwarna terang sedangkan
famili Megophrydae cenderung berwarna gelap sesuai habitatnya di serasah (Mistar, 2003).
Ordo Gymnophiona (sesilia) merupakan satu-satunya ordo dari amfibi yang tidak
mempunyai tungkai. Sesilia sangat mirip dengan cacing tapi mempunyai mulut dan mata
yang jelas, biasanya terdapat garis kuning pada sisi bagian tubuhnya. Kemudian ordo
ketiga adalah ordo Caudata (salamander) mempunyai empat tungkai, mempunyai mata
yang jelas dan mulut yang jelas (Mistar, 2003).
2.2.3 Pola Makan Amfibi
Semua spesies amfibi dewasa tergolong dalam karnivora (Liswanto, 1998). Namun pada
fase berudu amfibi umumnya herbivora walaupun ada yang termasuk karnivora bergantung
jenisnya. Berudu yang dikenal karnivora adalah genus Occidozyga. Makanan amfibi
umumnya adalah arthropoda, cacing, dan larva serangga. Spesies amfibi yang berukuran
besar dapat memakan hewan yang vertebrata kecil seperti ikan kecil, bahkan kadal kecil
dan ular kecil (Iskandar, 1998).
Pola makan berudu amfibi diketahui berbagai cara bergantung spesiesnya. Berudu
genus Megophrys memiliki mulut segitiga seperti corong yang digunakan sebagai strategi
dalam mencari makan di permukaan air. Berbeda dengan berudu spesies Huia sumatrana
di mana berudu ini mempunyai mangkok penghisap untuk melekat pada batu ketika
mencari makan di sungai berarus deras dan jernih. Diketahui juga berudu yang tidak
mengambil makanan dari lingkungan, yakni berudu Kalophrynus sp dan Kaloula sp di
mana berudu tersebut mengandalkan kuning telur yang tersedia (Mistar, 2003).
Amfibi dikenal dengan makhluk dua alam. Amfibi tersebar di semua benua kecuali benua
Antartika, umumnya dijumpai pada malam hari atau pada musim penghujan seperti di
kolam, aliran sungai, pohon-pohon maupun di gua (Simon & Schuster’s, 1989). Iskandar
(1998) menyatakan bahwa amfibi selalu hidup berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu
hidup pada dua alam (di air dan di darat). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar
amfibi didapatkan hidup di kawasan hutan karena di samping membutuhkan air juga
membutuhkan kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk melindungi tubuh dari
kekeringan. Mistar (2003) menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi amfibi membutuhkan
air atau tempat untuk meletakkan telur hingga terbentuknya larva dan juvenil.
Berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan ke dalam empat
kelompok, yakni :
a. Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai hutan, jarang
sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan genangan air atau di kolam di lantai
hutan serta di antara serasah daun yang tidak berair tetapi mempunyai kelembaban
tinggi dan stabil untuk meletakkan telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan
Leptobracium sp.
b. Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan berkembang biak di
genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang pohon, kolam, danau,
sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak. Beberapa spesies arboreal
mengembangkan telur dengan membungkusnya dengan busa untuk menjaga
kelembaban, menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya terdapat air.
Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes hosii.
c. Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada badan air, sejak
telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada perairan mulai dari makan sampai
berbiak. Contohnya antara lain Occidozyga sumatrana dan Rana siberut.
d. Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini jarang dijumpai.
Amfibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah suku Microhylidae yaitu Kaloula sp
dan semua jenis sesilia (Mistar, 2003).
Menurut Iskandar (1998), kelompok amfibi ini hidup tersebar luas di mana amfibi
dapat hidup di tempat yang beragam, mulai dari hutan primer sampai tempat yang ekstrim
membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada juga yang tidak pernah meninggalkan
perairan sama sekali (Mistar, 2003).
2.4 Manfaat dan Peranan Amfibi
Manfaat amfibi sangat beragam baik itu untuk konsumsi, sibernetik maupun bahan
percobaan penelitian. Iskandar (1998), menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan
khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi adalah
Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang cukup bertubuh
besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi.
Selanjutnya Mistar (2003), menjelaskan bahwa amfibi mempunyai potensi yang
besar untuk menanggulangi hama serangga (sibernetik) karena pakan utama amfibi adalah
serangga dan larvanya. Beberapa perkebunan di Hawaii memanfaatkan jenis Bufo marinus
yang didatangkan dari Texas untuk memberantas serangga secara biologis, akan tetapi
metode ini harus diperhitungkan secara ekologi karena berbagai kasus seperti ketika Bufo
marinus diintroduksi ke Australia dengan tugas yang sama mereka berkembang biak secara
cepat dan tidak ada satwa yang mengontrol populasi kodok ini sehingga pada akhirnya
menjadi hama bagi tanaman tebu (Easteal, 2006).
Di samping sebagai sibernetik, amfibi berperan besar dalam dunia kedokteran di
mana amfibi telah lama digunakan sebagai alat tes kehamilan. Beberapa ahli pada saat
sekarang telah banyak melakukan penelitian untuk mencari bahan anti bakteri dari berbagai
spesies amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terdapat di bawah kulitnya.
2.5 Konservasi
Penyelamatan amfibi tidak bisa dilepaskan dari kerusakan habitat maupun pemanasan
praindustri (Murdiyarso, 2003). Terutama karena amfibi merupakan satwa yang
membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Secara umum diketahui amfibi memiliki
persebaran yang luas namun perlindungan mikrohabitatnya mutlak dilakukan karena
amfibi diketahui berendemisitas yang tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan
Iskandar (1998) bahwa ordo Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di
mana sekitar 21 jenis di antaranya adalah endemik.
Iskandar (1998) menjelaskan bahwa beberapa jenis hampir dikhawatirkan akan
habis karena manusia banyak memperjualbelikan dan juga mengkonsumsinya terutama
jenis Limnonectes macrodon. Salah satu kendala yang menghambat upaya konservasi
amfibi adalah minimnya data tentang status populasi dan penyebaran distribusinya
sehingga belum satu pun jenis amfibi di Sumatera yang masuk dalam daftar satwa
terancam punah dalam IUCN (Liswanto, 1998). Di dalam Peraturan Pemerintah No. 7
(1999) juga belum terdaftar satu jenis amfibi pada lampiran jenis-jenis satwa yang
dilindungi. Dengan tidak diketahuinya status populasi dan distribusi spesies-spesies amfibi
maka hilangnya satu spesies maupun laju penyusutan populasi menjadi sulit dipantau
sedangkan laju kerusakan dan alih fungsi hutan sangat cepat (Rahayuningsih et al, 2004).
Penelitian di Pulau Sumatera khususnya telah pernah diteliti dan dipublikasikan
oleh Van Kampen, De Rooij, Cooger Harold, D. Liswanto, Voris dan Kadarsan. Hasil
penelitian Lubis (2007) memperlihatkan bahwa di Hutan Suaka Margasatwa Siranggas,
Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara didapatkan 17 jenis amfibi yang tergolong ke
dalam 10 genus, 5 famili dan 2 ordo.
2.6 Hutan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit
Hutan Taman Wisata Alam Sibolangit/Cagar Alam Sibolangit (TWA/CA
Sibolangit merupakan satu kesatuan dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan di
mana Tahura Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh
1988. Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan
pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Tahura Bukit
Barisan adalah unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan
konservasi dengan luas seluruhnya 51.600 ha. Sebagian besar merupakan hutan lindung
berupa hutan alam pegunungan yang ditetapkan sejak jaman Belanda, meliputi Hutan
Lindung Sibayak I dan Simancik I, Hutan Lindung Sibayak II dan Simancik II serta Hutan
Lindung Sinabung. Bagian lain kawasan Tahura ini terdiri dari Cagar Alam (CA)/Taman
Wisata Alam (TWA) Sibolangit, Suaka Margasatwa (SM) Langkat Selatan, Taman Wisata
Alam (TWA) Lau Debuk-debuk dan Bumi Perkemahan (Bumper) Pramuka Sibolangit
(www.dephut.go.id).
2.6.1 Flora dan Fauna
Flora yang tumbuh di kawasan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit sebagian
adalah jenis asli dan sebagian lagi berasal dari luar negeri. Pada umumnya terdiri dari
pohon yang besar dengan diameter lebih dari 1 meter, seperti di antaranya jenis sono
kembang (Dalbergia latifolia), angsana (Pterococarpus indicus) dan kelenjar (Samanea
saman). Ada juga jenis tanaman palam dan pinang. Di samping itu terdapat pula tumbuhan
yang merambat seperti Philodendron sp. Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah
hujan yang cukup tinggi (diperkirakan antara 3000 sampai dengan 4000 mm/tahun).
Sedangkan tanaman bawah atau ground cover yang dipakai sebagai pembatas jalan setapak
pada umumnya didominasi jenis dari genus Anthurium dari famili Araceae.
Tumbuhan khas di kawasan ini juga ditemukan yakni salah satu tumbuhan yang
tergolong langka (tumbuh setiap 5 tahun sekali) dan mempunyai daya tarik tersendiri yaitu
bunga bangkai (Amorphophallus titanum).
Ada pun jenis fauna yang sering dijumpai adalah kera (Macaca fascicularis) dan
lutung (Presbytis sp) yang senang bermain-main di pohon. Apalagi pada musim buah duku
dan durian, frekuensi kunjungannya akan semakin sering. Keberadaan kera dan lutung ini
memberikan daya tarik tersendiri karena dapat beratraksi dan mengeluarkan bunyi suara
jenis-jenis burung seperti burung rangkong (Buceros sp), burung kutilang (Pycnonotus
sp), kacer (Copsycus sp), srigunting (Dicrurus sp) serta jenis hewan lainnya seperti babi
hutan (Sus sp), biawak (Varanus salvator) kancil (Tragulus javanicus) dan trenggiling
(Manis javanica) (www.dephut.go.id).
2.6.2 Sejarah
Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit yang terlihat saat ini mempunyai
perjalanan sejarah yang panjang. Dahulu, Pemerintah Belanda menganggap kawasan hutan
yang dikenal sebagai Kebun Raya (Botanical Garden) Sibolangit sebagai bentang alam
yang penting terutama dari sisi ekologi, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan
Kota Medan. Kebun Raya (KR) Sibolangit merupakan salah satu dari dua cabang Kebun
Raya Bogor yakni Kebun Raya Sibolangit dan Kebun Raya Setia Mulia di Sumatera Barat.
Kebun Raya Sibolangit resmi dibuka pada tahun 1914 oleh J.A Lorzing dan
didukung oleh Dr J.C. Koningsberger yang menjabat Direktur Kebun Raya Bogor di masa
itu. Untuk memperjelas statusnya, tahun 1916 diadakan pemetaan dan pembuatan tapal
batas Kebun Raya Sibolangit. Berdasarkan tapal batas, waktu itu kebun raya masuk dalam
kekuasaan Sultan Deli yang berpusat di Medan.
Pernah Hortus Sibolangit, sebutan lain berbahasa Belanda untuk Kebun Raya
Sibolangit mengalami masa kejayaan di era 1914 hingga 1928. Pendataan, pengoleksian
serta pengadaan herbarium layaknya kegiatan sebuah kebun raya dikerjakan dan kegiatan
ini memakan energi yang tidak sedikit. Hal ini antara lain dapat dilihat dari keberadaan
tungku pengeringan spesimen yang sudah tergolong maju waktu itu. Selain itu tumbuhan
koleksi sedang dalam tahap pengembangan.
Kekurangan dana operasional pada tahun 1928 memaksa kebun raya ini vakum
beberapa tahun. Praktis kegiatan perkebunrayaannya pun terhenti. Pada tanggal 24 Mei
1934, Kesultanan Deli menimbang bahwa luasan hutan tersebut dianggap penting lalu
mengubah statusnya menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Z.b No.85 PK.
kembali, namun dana yang minim akhirnya dipilih menyerahkan kebun raya kepengelolaan
Djawatan Kehutanan.
Tahun 2000-an tidak banyak yang berubah pada Cagar Alam Sibolangit.
Sebelumnya, CA Sibolangit pernah diperluas sebanyak 5,85 ha berasal dari bekas Hak
Guna Usaha Seng Hap dengan SKPT Menteri Pertanian Agraria No.104/KA/1957 Tanggal
11 Juni 1957. Kemudian pada tahun 1980, luasan hutan CA Sibolangit sebanyak 24,85 ha
dialihstatuskan menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit mengingat hutan tersebut
penting dan potensial dijadikan sebagai laboratorium alam dan sarana rekreasi.
Pengalihsatatusan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
636/Kpts/Um/9/1980 dengan harapan menjadi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan
serta pengembangan pariwisata sesuai fungsi Taman Wisata Alam. Saat ini luas CA
Sibolangit tinggal 95,15 ha.
Pada tahun 2001 Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit menjadi
perhatian masyarakat umum. Terutama dibangunnya Pusat Rehabilitasi Orangutan
Sumatera di Desa Batu Mbelin oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dengan suntikan
dana dari Yayasan Pan Eco, Swiss. Setahun setelahnya, menyusul Conservation
International (CI) memberikan perhatian yang serius dengan memperbaiki dan membangun
sarana seperti wisma tamu (guest house), pintu gerbang, perawatan jalan interpretasi,
pengadaan papan pendidikan, pendidikan pemuda setempat sebagai interpreter serta
menyusun program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah.
Program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah sangat bermanfaat dan bernilai
positif walaupun kunjungan dinilai masih sedikit. Berbagai usaha dilakukan agar tingkat
kunjungan meningkat di masa krisis moneter waktu itu. Poster-poster pendidikan pun
mulai ditingkatkan serta mengundang anak sekolah secara khusus. Namun, setelah
masa-masa itu berlalu, beberapa tahun belakangan ini kegiatan-kegiatan yang sama mulai
meredup seiring habisnya program lembaga pendukung dan minimnya dana operasional
sehari-hari (Sari & Widodo, 2004).
Obyek wisata yang menjadikan daya tarik di kawasan ini adalah pemandangan
alam yang indah dan tenang di samping aneka koleksi (kebun) botaninya. Banyak
pengunjung yang datang hanya menikmati keindahan, ketenangan dan kesejukan alam di
Taman Wisata Alam Sibolangit sembari melepaskan rasa penat/letih setelah melaksanakan
pekerjaan/tugas-tugas rutin sehari-hari. Namun banyak pula pengunjung yang datang di
samping untuk menikmati keindahan Taman Wisata Alam Sibolangit juga mempelajari dan
meneliti aneka koleksi vegetasi yang ada di kawasan tersebut. Sehingga tidak berlebihan
kalau dikatakan kawasan ini memiliki dwifungsi yaitu sarana rekreasi serta sekaligus
pendidikan dan penelitian.
Fasilitas wisata pendukung yang telah tersedia seperti jalan setapak mengelilingi
kawasan, pondok tedung (shelter), guest house dan pusat informasi (Kantor Resort KSDA
Sibolangit atau Sub Seksi KSDA Deli Serdang). Bagi yang ingin mempelajari dan meneliti
vegetasi yang ada, pada masing-masing pohon telah diberi nama daerah, Indonesia dan
ilmiah yang ditulis pada lempengan kaleng dan ditempelkan di pohon-pohon tersebut. Di
samping itu petugas-petugas KSDA setempat sebagai petugas pengelola juga akan
memandu para pengunjung yang memerlukan penjelasan tentang Kawasan Taman Wisata
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Deskripsi Area
Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit merupakan hutan yang terletak di
antara Jalan Raya Medan–Berastagi, sekitar 40 km dari Kota Medan dengan waktu tempuh
lebih kurang 1 jam. Sebagai jalur wisata, kondisi jalan sangat mulus sehingga dapat dilalui
oleh berbagai jenis kendaraan bermotor roda dua dan roda empat.
Secara administratif pemerintahan, Kawasan TWA/CA Sibolangit ini terletak di
Desa Sibolangit Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.
TWA Sibolangit merupakan Taman Wisata Alam yang disahkan dengan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 636/Kpts/Um/9/1980 seluas lebih kurang 24,85 ha.
Penelitian dilakukan pada 2 lokasi yang berbeda pada Kawasan Hutan TWA/CA
Sibolangit. Lokasi I berada pada hutan TWA/CA Sibolangit yang memiliki anak sungai.
Sedangkan lokasi II dilakukan pada Sungai Sembahe yang sudah ada aktifitas masyarakat
sekitar. Pengamatan amfibi dilakukan selama 3 hari masing-masing lokasi. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari 2010.
3.2 Bahan dan Metode
3.2.1 Alat dan Bahan Penelitian
Adapun alat yang digunakan adalah Kompas, GPS, jangka sorong, tali kambing,
tali rafia, headlamp (senter kepala), spidol, tupper ware, tisu gulung, jarum suntik, rol,
kamera, termometer, soiltester, higrometer, indikator pH, pulpen, pensil 2B, notebook,.
3.2.2 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode Visual Encounter Survey-Night Stream
(VES-NS) dan metode kuadrat plot. Metode VES-NS digunakan untuk membedakan
kekayaan suatu jenis di suatu area, membuat daftar jenis (mengumpulkan komposisi jenis),
dan memperkirakan kepadatan relatif jenis (Donnelly 1897 dalam Mistar, 2003). Metode
VES-NS merupakan metode pengamatan amfibi dengan menelusuri sungai maupun anak
sungai sebagai habitat amfibi. Motode VES-NS sangat baik digunakan dengan asumsi :
a. Setiap individu dari semua jenis mempunyai kesempatan yang sama untuk diamati.
b. Setiap jenis menyukai tempat atau habitat yang sama.
c. Semua individu hanya dihitung satu kali dalam pengamatan.
d. Hasil survei, merupakan hasil pengamatan lebih dari satu orang.
Sedangkan metode kuatrat plot dilakukan sebanyak 6 plot di beberapa tempat yang
dianggap sebagai habitat amfibi kemudian dilakukan pencarian intensif di dalam plot
tersebut. Menurut Mistar (2003), metode tersebut cocok untuk mendata jenis-jenis amfibi
kriptik dengan kepadatan yang tinggi.
3.2.3 Cara Kerja
Penelitian dilakukan pada lokasi I di sepanjang aliran sungai atau anak sungai yang
terdapat di kawasan hutan TWA/CA Sibolangit sepanjang 500 m dengan membuat plot
sampling berukuran ± 3 m (lebar sungai ditambah 1 m kiri kanan sungai) x 25 m sebanyak
20 plot sampling. Lokasi II diteliti di aliran sungai Sembahe Desa Sembahe sepanjang 500
m dengan plot sampling ± 10 m (lebar sungai 8 m ditambah 1 m kiri dan kanan sungai)
sebanyak 20 plot sampling.
Pengamatan di masing-masing lokasi sepanjang aliran sungai TWA/CA Sibolangit
pukul 19.30 WIB s/d 23.30 WIB, selama 3 hari berturut-turut sebagai ulangan. Sedangkan
kuadrat plot dilakukan setelah metode VES-NS.
Jenis amfibi yang terdapat di dalam plot sampling ditangkap, dikelompokkan (jika
memungkinkan langsung diidentifikasi di lapangan), dan dihitung jumlah individu
masing-masing jenis yang didapatkan, kemudian jenis amfibi yang masih diragukan jenisnya
dimasukkan ke dalam kotak sampel untuk diawetkan dengan larutan formalin 10 %,
kemudian dibawa ke laboratorium Taksonomi Hewan Departemen Biologi FMIPA USU.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku-buku identifikasi panduan lapangan
seperti Inger & R.T. Stuebing(1997), Iskandar (1998) dan Mistar (2003). Identifikasi berupa
pengamatan bentuk morfologi spesimen dengan bantuan mikroskop stereo dan lup. Kemudian
diawetkan dengan memasukkan masing-masing spesimen ke dalam botol selai yang sudah
berisi alkohol 70% yang akan disimpan di Laboratorim Taksonomi Hewan serta menjadi aset
laboratorium sebagai acuan identifikasi amfibi bagi peneliti selanjutnya.
Selanjutnya data lingkungan yang diukur adalah kelembaban udara, suhu udara,
suhu air, pH air, lebar sungai, ketinggian dan koordinat lokasi.
3.2.4. Analisis Data
Data-data yang didapatkan kemudian dianalisis. Analisis data yang dilakukan untuk
mendapatkan nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), Frequensi Kehadiran
(FK) dan komposisi komunitas dengan menggunakan rumus Suin (2002) sebagai berikut :
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
Jml. plot sampel yang ditempati suatu jenis
= X 100 %
Jml. total unit sampel
Di mana jika nilai FK :
0-25% = frekuensi kehadirannya tergolong sangat jarang (aksidental), 25-50% = frekuensi kehadirannya tergolong jarang (assesori),
50%-75% = frekuensi kehadirannya tergolong sering (konstan), >75% = frekuensi kehadirannya tergolong sangat sering (absolut).
Sedangkan untuk mengetahui bahwa suatu habitat dapat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan dan kehidupan suatu organisme, dapat ditentukan dari jenis amfibi yang memiliki nilai KR > dari 10 % dan FK > 25 %.
d. Komposisi Komunitas
Komposisi komunitas didapatkan dengan pengurutan nilai kepadatan relatif (KR)
tertinggi ke kepadatan relatif terendah.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis-jenis Amfibi
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi
di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit
Sumatera Utara didapatkan 2 ordo, 7 famili, 13 genus dan 23 spesies seperti terlihat pada
Tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Jenis-jenis Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe.
Ordo/Famili Genus Spesies Nama Daerah Lokasi
1 2
3. Pelophryne 6. Pelophryne signata Kodok Puru Kecil Dataran Rendah + -
2. Digroclossidae 4. Limnonectes 7. Limnonectes blythii Katak Panggul + +
8. Limnonectes kuhlii Bangkong Tuli + +
3. Megophryidae 5. Megophrys 9. Megophrys nasuta Katak Bertanduk + -
4. Microhylidae 6. Microhyla 10. Microhyla heymonsi Percil Bintik Hitam + -
11. Microhyla berdmorei Percil Berdmore’s + +
6. Rhacophoridae 9. Nyctixalus 18. Nyctixalus pictus Katak Pohon Kecil Bertotol + -
10.Polypedates 19. Polypedates leucomystax Katak Pohon Bergaris + +
11.Rhacophorus 20. Rhacophorus cyanopuntatus Katak Pohon - +
21. Rhacophorus dulitensis Katak Pohon Lumut + -
12.Theloderma 22. Theloderma leprosum Katak Pohon + -
Gymnophiona
7. Ichthyophiidae 13.Icthyophis 23. Ichthyophis sp Sesilia + -
Jumlah Jenis 20 13
Keterangan : Lokasi 1 di TWA/CA Sibolangit dan lokasi 2 di Desa Sembahe, (+) ditemukan, (-) tidak ditemukan.
Jenis-jenis amfibi yang didapatkan terdiri atas ordo Anura dan ordo Gymnophiona.
Jumlah famili, genus dan spesies yang didapatkan dari ordo Anura yakni 6 famili, 12 genus
dan 22 spesies, dan ordo Gymnophiona terdiri atas 1 famili, 1 genus dan 1 spesies. Ordo
Anura didapatkan memiliki jumlah spesies yang tinggi jika dibandingkan dengan ordo
Anura lebih banyak dibanding ordo Gymnophiona. Iskandar (1998), menjelaskan bahwa
ordo Anura merupakan ordo amfibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih
4.100 spesies katak dan kodok di dunia di mana sekitar 450 jenis tercatat di Indonesia
berarti 11% dari seluruh bangsa Anura di dunia. Sedangkan ordo Gymnophiona hanya
memiliki 163 spesies di dunia (Simon & Schuster, 1989). Selanjutnya Iskandar (1998)
menjelaskan sedikitnya perjumpaan di lapangan disebabkan ordo Gymnophiona hingga
saat ini masih tercatat 13 spesies yang berada di kawasan Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Tabel 4.1 menunjukkan perbedaan jumlah spesies di antara Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit dengan Desa Sembahe. Di TWA/CA Sibolangit
diperoleh 20 spesies amfibi dari dua ordo yakni Anura dan Gymnophiona, sedangkan di
Desa Sembahe diperoleh 13 spesies dari 1 ordo yakni ordo Anura. Hal ini disebabkan
kondisi habitat di TWA/CA Sibolangit lebih bervariasi seperti keberadaan kanopi pohon,
genangan air, serasah, anak sungai dan herba serta terlindungi dari penyinaran matahari
langsung sehingga memiliki kelembaban yang lebih tinggi, sedangkan di Desa Sembahe
memiliki lokasi variasi habitat yang lebih sedikit dan relatif terbuka. Keadaan ini sesuai
dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air dan
sebagian besarnya hidup di daerah berhutan karena amfibi membutuhkan kelembaban yang
tinggi serta amfibi tersebar luas mulai dari dalam tanah hingga di antara kanopi pohon.
Banyaknya spesies amfibi didapatkan di TWA/CA Sibolangit dibanding Desa
Sembahe dapat juga dilihat dari nilai faktor fisik dan kimia yang berbeda di kedua lokasi.
Di TWA/CA Sibolangit didapatkan habitat amfibi yang yang lebih cocok seperti terlihat
pada Tabel 4.2. Di antara faktor fisik dan kimia yang diukur, kelembaban udara memiliki perbedaan signifikan di mana TWA/CA Sibolangit didapatkan 95% sedangkan di Desa
Sembahe diperoleh 83%. Inger & Stuebing (1997) menjelaskan bahwa pada kondisi
lingkungan yang cocok, seperti kelembaban udara yang tinggi, yaitu berkisar antara 85–
95% dan suhu udara, air dan tanah berkisar antara 15–22ºC, serta banyaknya ketersediaan
sumberdaya makanan maka amfibi akan sering ditemukan. Iskandar (1998), menjelaskan
amfibi akan berkembang dengan baik pada kondisi pH 4,5–7.
Tabel 4.2 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Lokasi Penelitian
No. Parameter Lokasi 1 Lokasi 2
2 Suhu air (°C) 22,25 23,25
3 Suhu tanah (°C) 21,25 21,25
4 Kelembaban udara (%) 95,00 83,00
5 pH tanah 6,20 6,00
6 pH air 6,45 6,00
Keterangan : Lokasi 1 di TWA/CA Sibolangit dan lokasi 2 di Desa Sembahe
Famili yang paling banyak spesies yang ditemukan secara berurutan adalah
Bufonidae (6 spesies), Ranidae (6 spesies), Rhacophoridae (5 spesies), Dicroglossidae (2
spesies) dan Microhylidae (2 spesies) serta yang paling sedikit spesiesnya adalah
Megophrydae dan Ichthyophiidae masing-masing 1 jenis. Hal ini disebabkan famili
Bufonidae, Ranidae dan Rhacophoridae cocok hidup dan bereproduksi di TWA/CA
Sibolangit dan Desa Sembahe. Di samping itu, famili-famili tersebut diketahui mempunyai
persebaran yang luas. Famili Bufonidae dan Ranidae merupakan famili yang didapatkan
hampir di seluruh penjuru dunia (Ingram, 2006). Amfibi menempati habitat yang beragam
mulai dari permukiman penduduk, rawa, hutan sekunder, hutan primer, dari permukaan
laut hingga hutan pegunungan sedangkan famili Ranidae (katak sejati) diketahui memiliki
persebaran yang sangat luas dan menempati habitat yang beragam seperti hutan mangrove
hingga hutan pegunungan (Mistar, 2003). Sulitnya didapatkan famili Megophrydae pada
saat pengamatan di lapangan dikarenakan spesies dari famili ini mengandalkan kebiasaan
menyaru untuk menghindari pemangsaan sehingga sulit ditemukan pada saat penelitian dan
famili Ichthyophiidae merupakan famili yang dianggap langka dan jarang bisa ditemukan
karena hidupnya di dalam tanah dan jarang keluar (Iskandar, 1998).
4.2 Deskripsi Jenis-jenis Amfibi
Jenis-jenis amfibi yang ditemukan memiliki deskripsi masing-masing yang membedakan
antara satu jenis amfibi dengan amfibi yang lain.
1) Spesies : Bufo asper Gravenhort (River Toad, Kodok Puru Sungai) Famili : Bufonidae
Kodok puru ini memiliki ukuran yang besar, berkisar antara jantan 70–100 mm dan
betina 95–120 mm. Tekstur kulitnya relatif kasar dan berbenjol-benjol, diliputi bintil-bintil
berduri. Warnanya coklat tua yang kusam, keabuan (Gambar 4.1) atau kehitaman, bagian ventral biasanya terdapat titik-titik hitam, yang jantan biasanya memiliki kulit dagu
kehitaman atau kemerahan. Alur supraorbital dihubungkan dengan kelenjar paratoid oleh
alur supratimpanik.
Gambar 4.1 Bufo asper
2) Spesies Bufo divergens Peter (Crested Toad, Kodok Peter) Famili : Bufonidae
Tanda-tanda khusus :
Kodok puru ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 28–43
mm dan betina 36–55 mm. Tekstur kulitnya kasar. Warna kulit relatif abu-abu. Terdapat
lipatan kepala memanjang dari garis mata hingga ke garis paratoid. tympanum terlihat jelas
(Gambar 4.2)
3) Spesies : Bufo juxtasper Inger (Giant River Toad, Kodok Puru Besar) Famili : Bufonidae
Tanda-tanda khusus :
Kodok puru ini memiliki ukuran besar, berkisar antara jantan 90–120 dan betina
125–215 mm. Tekstur kulit berbintil di seluruh permukaan tubuh. Warnanya umumnya
abu-abu gelap, coklat atau hitam (Gambar 4.3), kadang-kadang dengan bintik gelap tidak jelas di bagian caudal, bagian sisi individu jantan berwarna kemerahan, kelenjar paratoid
memanjang dari mata ke belakang, biasanya dua sampai empat kali panjang lebar kelenjar
paratoid. Semua jarinya lebar pada bagian ujung, kecuali pada jari keempat.
Gambar 4.3 Bufo juxtasper
4) Spesies : Bufo melanostictus Schneider (Asian Toad, Kodok Puru Asia) Famili : Bufonidae
Tanda-tanda khusus :
Kodok puru ini memiliki ukuran sedang, berkisar antara jantan 55–80 mm dan
betina 65–85 mm. Tekstur kulitnya relatif berkerut dengan bintil-bintil yang jelas.
Warnanya coklat kusam (Gambar 4.4), kehitaman atau kemerahan, alur kepala biasanya coklat tua atau hitam, dagu umumnya merah pada individu jantan. Alur-alur supraorbital
dan supratimpanik menyambung, tidak ada alur parietal, jari-jari berselaput renang
Gambar 4.4 Bufo melanostictus \
5) Spesies : Leptophryne borbonica Kuhl & Van Hasselt (Hour Glass Toad, Kodok Jam Pasir)
Famili : Bufonidae Tanda-tanda khusus :
Kodok ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 20–30 mm dan betina 25–
45 mm. Tekstur kulitnya berbintil-bintil seperti pasir hampir di seluruh permukaan tubuh,
lebih kasar pada bagian sisi tubuh (Gambar 4.5). Warnanya coklat keabu-abuan di bagian dorsal, ventral, tenggorokan dan kaki, depan dan belakang paha berwarna kemerahan,
bagian atas kaki sama dengan warna tubuh. Kelenjar paratoidnya tidak jelas,
kadang-kadang dengan pola segi hitam di belakang mata, terdapat tanda berbentuk jam pasir di
bagian belakang. Selaput renangnya tidak mencapai tonjolan subarticuler jari kaki ketiga
dan kelima.
6) Spesies : Pelophryne signata Boulenger (Lowland Dwarf Toad, Kodok Puru Kecil Dataran Rendah)
Famili : Bufonidae
Tanda-tanda khusus :
Kodok puru ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 14–17 mm dan betina
16–18 mm. Tekstur tubuh bagian dorsalnya berbintil-bintil kecil. Warna bagian dorsalnya
coklat gelap atau hitam, warna kuning atau krem memisahkan bagian atas dan bawah
sampai lengan atas (Gambar 4.6). Kodok ini dicirikan oleh adanya selaput antara kaki depan pertama dan kedua, timpanumnya jelas.
Gambar 4.6 Pelophryne signata
7) Spesies : Limnonectes blythii Boulenger (Blyth’s Frog, Katak Panggul) Famili : Digroclossidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran besar, berkisar antara 85–200 mm dan betina 90–250
mm. Tekstur kulitnya halus di seluruh permukaan tubuh. Warnanya merah kecoklatan
sampai coklat, biasanya terdapat garis berwarna coklat gelap dari lubang hidung sampai
mata. Moncongnya menyudut tajam, kaki belakang panjang dan kuat, berselaput renang
penuh sampai piringan sendi. Ditemukan garis memotong berwarna gelap antar mata
Gambar 4.7 Limnonectes blythii
8) Spesies : Limnonectes kuhlii Tschudi (Kuhl’s Creek Frog, Bangkong Tuli) Famili : Digroclossidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran sedang, berkisar antara jantan 44–74 mm dan betina 51–
67 mm. Tekstur kulitnya berkerut, tertutup rapat oleh bintil-bintil berbentuk bintang yang
tersebar di seluruh permukaan tubuh. Warnanya hitam marmer di seluruh bagian atas
(Gambar 4.8). Cincin telinganya tidak jelas, kepala lebar, pelipis berotot, jari kaki belakang berselaput renang sampai ujung jari, kaki pendek dan berotot, lipatan
supratimpaniknya jelas.
Gambar 4.8 Limnonectes kuhlii
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran tubuh besar, berkisar antara jantan 70–105 mm dan
betina 89–130 mm, gemuk dan pendek. Tekstur kulitnya halus kecuali lipatan dorsolateral
dan beberapa tonjolan di bagian belakang. Warnanya umumnya coklat kemerahan atau
coklat di bagian belakang, bagian ventral dengan bercak-bercak hitam lebar, katak ini
sangat mirip dengan serasah daun kering. Kepalanya besar, mata tertutup oleh kelopak
mata berbentuk kerucut atau perpanjangan dermal, dermal mata sama dengan moncong
(Gambar 4.9).
Gambar 4.9 Megophrys nasuta
10) Spesies : Microhyla heymonsi Vogt (Dark-Sided Chorus Frog, Percil Bintik Hitam)
Famili : Microhylidae Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara 20–21,5 mm. Tekstur kulit halus di
bagian dorsal dan ventral. Warnanya kemerahan atau abu-abu di bagian dorsal dengan
garis putih memanjang dari ujung moncong sampai kunci paha (groin), biasanya terdapat
totol berwarna bintik hitam pada garis bagian tengah (Gambar 4.10). Moncongnya membulat, timpanum tersembunyi, piringan sendi jelas, jari pertama lebih pendek dari jari
kedua, ujung jari dengan lekuk sirkum marginal, jari kaki berselaput pada bagian dasar,
tonjolan antar ruas terlihat jelas, bintil metatarsal kecil, tibiotarsal panjang mencapai mata
Gambar 4.10 Microhyla heymonsi
11) Spesies : Microhyla berdmorei Blyth (Berdmore’s Narrow-Mouthed Frog, Percil Berdmore’s)
Famili : Microhylidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 24–28 mm dan betina 27–32
mm. Tekstur kulit halus. Warnanya coklat terang dengan warna abu-abu kecoklatan, motif
coklat gelap di bagian belakang antara mata, biasanya ada garis coklat gelap ke arah
ventral bagian sisi tubuh (Gambar 4.11), tenggorokan biasanya berwarna coklat dan perut putih. Moncongnya membulat, tungkai panjang, timpanum tersembunyi, jari keempat jelas,
semua ujung jari belakang melebar kecuali jari keempat (panjang) dan kaki belakang
berselaput pada bagian dasar.
12) Spesies : Huia sumatrana Yang (Sumatran Torrent Frog, Kongkang Jeram Sumatera)
Famili : Ranidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran sedang sampai besar, berkisar antara jantan 33–59 mm
dan betina 60–85 mm. Tekstur kulitnya halus dengan beberapa bintil. Warna bagian dorsal
berwarna coklat dengan bintik-bintik marmer, tetapi beberapa individu berwarna seragam
coklat tua, sisi kepala berwarna hitam di sekeliling timpanum.. Timpanumnya kecil dan
dalam, kaki ramping dan panjang (Gambar 4.12), jari kaki depan dan jari kaki belakang dengan piringan sendi lebar, terdapat lekuk sirkum marginal, lipatan dorsolateral sempit
dan tidak jelas.
Gambar 4.12 Huia sumatrana
13) Spesies : Rana chalconota Boulenger (White-Lipped Frog, Kongkang Kolam) Famili : Ranidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 30–40 mm
dan betina 45–65 mm. Tekstur kulit relatif tertutup oleh bintil-bintil yang sangat halus
menyerupai kertas pasir. Warna biasanya abu-abu kehijauan kotor sampai coklat
kekuningan (Gambar 4.13). Daerah dagunya biasanya tertutup oleh garis-garis memanjang tidak beraturan, garis-garis ini sering putus menjadi bercak-bercak.. Timpanum
coklat tua, kakinya panjang dan ramping, berselaput renang penuh sampai ujung jari,
Gambar 4.13 Rana chalconota
14) Spesies : Rana debussyi Kampen (Debussy’s Frog, Kongkang Siberut) Famili : Ranidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 38–50 mm
dan betina 43–65 mm. Tekstur kulitnya berbintil-bintil sangat halus. Warna bagian
dorsalnya coklat gelap sampai hitam dan sisanya berwarna abu-abu sampai putih (Gambar 4.14), warna abu-abu berubah berwarna hitam pada siang hari. Kepalanya panjang dan lebar, moncong membulat, antara mata dan hidung sedikit tajam, piringan sendi jari kaki
depan dan belakang kecil tetapi jelas, jari kaki depan pertama lebih panjang dari jari kedua,
kaki belakang berselaput pada bagian dasar, jari keempat dan kelima sedikit lebih panjang.
Gambar 4.14 Rana debussyi
Famili : Ranidae Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran kecil hingga sedang, berkisar antara jantan 30–40 mm
dan betina 50–75 mm. Tekstur kulitnya licin dan halus. Warnanya biasanya berwarna hijau
zaitun dengan sepasang daerah dorsolateral kuning dan lebar sedangkan individu muda
hijau kekuningan. Terdapat lipatan dorsolateral yang jelas dan menonjol yang lebar,
permukaan ventralnya licin, jari kaki dan tangan memiliki piringan pipih yang jelas.
Gambar 4.15 Rana erithraea
16) Spesies : Rana glandulosa Boulenger (Rough-Sided Frog, Kongkang Kulit Kasar)
Famili : Ranidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini memiliki ukuran sedang, berkisar antara jantan 58–84 mm dan betina 65–
93 mm. Tekstur kulitnya sedikit kasar. Warnanya coklat hingga coklat gelap dengan
titik-titik gelap di bagian dorsal. Didapati tonjolan kecil yang berawal dari belakang mata atas
hingga ke timpanum. Selaput jarinya hanya setengah, jari kakinya panjang, kepala lebar,
Gambar 4.16 Rana glandulosa
17) Spesies : Rana hosii Boulenger (Poisonous Rock Frog, Kongkang Racun) Famili : Ranidae
Tanda-tanda khusus :
Katak ini berukuran sedang sampai besar yakni ± 89 mm. Warnanya hijau zaitun
sampai hijau kecoklatan, sisi tubuh biasanya lebih gelap sampai hitam yang memanjang
antara mata dan hidung sampai ke pangkal paha, cukup banyak variasi warna jenis ini
seperti terlihat pada Gambar 4.17. Tekstur kulit halus, lipatan dorsalateral lemah tapi jelas, kulit dengan kelenjar racun yang memberikan bau busuk. Badannya ramping, kaki
belakang panjang, jari kaki depan dan belakang dengan piringan sendi datar dan jelas,
terdapat lekuk sirkum marginal dan jari kaki belakang berselaput sampai piringan sendi.
Gambar 4.17 Rana hosii
18) Spesies : Nyctixalus pictus Peter (Cinnamon Frog, Katak Pohon Kecil Bertotol) Famili : Rhacophoridae
Katak pohon ini memiliki ukuran kecil, berkisar antara jantan 45–68 mm dan betina
86–100 mm. Tekstur tubuh bagian dorsalnya berbintil-bintil halus, tenggorokan halus,
perut dengan bintil-bintil kasar. Tubuhnya berwarna coklat cerah atau kemerahan pada
bagian dorsal dengan bintik-bintik putih di seluruh permukaan tubuh, bintik-bintik
berwarna putih dari lubang hidung sampai penutup mata, bagian ventral tubuh berwarna
putih. Moncongnya tajam, piringan sendi kaki depan dan belakang lebar, tetapi lebih kecil
dari timpanum, kaki belakang berselaput separuh (Gambar 4.18).
Gambar 4.18 Nyctixalus pictus
19) Spesies : Polypedates leucomystax Gravenhorst (Striped Tree Frog, Katak Pohon Bergaris)
Famili : Rhacophoridae
Tanda-tanda khusus :
Katak pohon ini memiliki ukuran sedang, ukuran jantan mencapai 50 mm dan
betina mencapai 80 mm. Tekstur kulitnya halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau
lipatan, bagian ventral berbintil halus. Tubuhnya berwarna coklat kekuningan satu warna
atau bintik hitam, empat atau enam garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ventral,
bagian ventral tubuh kuning dengan bintik-bintik coklat, dagu berwarna coklat tua
(Gambar 4.19). Jari kaki depan dan belakangnya melebar dengan ujung rata, kulit kepala menyatu dengan tengkorak, jari kaki depan berselaput separuh dan jari kaki belakang
Gambar 4.19 Polypedates leucomystax
20) Spesies : Rhacophorus cyanopunctatus Manthey and Steiof (Blue-spotted Tree Frog, Katak Pohon Bergaris)
Famili : Rhacoporidae
Tanda-tanda khusus :
Katak pohon ini memiliki ukuran kecil sekitar ± 32 mm. Tubuhnya bertekstur
halus. Warnanya kuning hingga kecoklatan di bagian tubuh dorsal sedangkan di bagian
bawah berwarna putih kekuningan. Di sela-sela selaput jari terdapat totol putih kehijauan
hingga ke bagian paha. Kepalanya tumpul dan meruncing dengan mata besar (Gambar 4.20).
Gambar 4.20 Rhacophorus cyanopunctatus
21) Spesies: Rhacophorus dulitensis Harvey, Pemberton & Smith (Jade Tree Frog, Katak Pohon Lumut)
Famili : Rhacophoridae
Katak pohon ini memiliki ukuran kecil sampai sedang, berkisar antara jantan 33–40
mm dan betina 49–50 mm. Tekstur kulit bagian dorsalnya halus pada individu betina, dan
sedikit kasar pada individu jantan. Warna tubuh keseluruhan hijau lumut dengan totol
berwarna coklat muda di seluruh permukaan tubuh, selaput jari kaki belakang antara kaki
ketiga dan keempat, dan jari keempat dan kelima berwarna merah. Moncongnya tajam,
tubuh ramping, kaki depannya berselaput penuh, kaki belakang berselaput sampai bagian
dasar piringan sendi, tonjolan dermal berwarna putih memanjang dari lengan depan sampai
bawah kaki, terdapat tonjolan membulat di tumit, tonjolan kulit melintang di atas anus
(Gambar 4.21). Satu sifat yang aneh dari jenis ini adalah tulang tungkai hijau kebiruan dan nampak ke dalam daging dari bagian sisi, individu betina bagian ventral tubuh hijau
kekuningan, individu dewasa hanya terbatas pada bagian dada.
Gambar 4.21 Rhacophorus dulitensis
22) Spesies : Theloderma leprosum (Tree Frog, Katak Pohon) Famili : Rhacophoridae
Tanda-tanda khusus :
Katak pohon ini memiliki ukuran kecil, sekitar ± 40 mm. Tekstur kulitnya kasar.
Warnanya hitam kemerahan hingga hitam gelap. Tubuhnya berbentuk gepeng dengan
tonjolan kulit hampir menyelimuti semua bagian dorsal, bagian ventral bercorak warna
hitam putih. Moncong sedikit tumpul, bentuk tubuh ventral datar. Di ujung jari terdapat
bantalan berwarna coklat kemerahan dan terbagi dua (dikotomi) yang menjadi ciri khas
Gambar 4.22 Theloderma leprosum
23) Spesies : Ichthyophis sp (Yellow-Banded Caecilian, Sisilia) Famili : Ichthyophidae
Tanda-tanda khusus
Amfibi tidak bertungkai ini sekilas mirip ular karena bentuknya yang panjang,
ukuran tubuhnya ± 320 mm (Gambar 4.23). Amfibi ini terdiri dari segmen tubuh yang membedakan dengan ular yang mempunyai sisik, badan berbentuk silinder, mulut
membulat, jarak antara mata mudah dibedakan, tentakel berukuran kecil dan berada di
depan atau di bawah mata. Warna tubuh coklat gelap atau biru gelap, bagian sisi tubuh
berwarna kuning terang.
Gambar 4.23Ichthyophis sp.
4.3 Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi
Nilai Kepadatan (K) dan Kepadatan Relatif (KR) Amfibi di lokasi penelitian dapat
Tabel 4.3 Nilai Kepadatan (Ind/ha) dan Kepadatan Relatif (%) Amfibi 19 Polypedates leucomystax 36,11 16,41 25,0 14,97 20 Rhacophorus cyanopuntatus 0,00 0,00 0,33 0,19
Keterangan : Lokasi 1 di TWA /CA Sibolangit dan lokasi 2 di Desa Sembahe.
Dari hasil penelitian didapatkan nilai Kepadatan (K) dan Kepadatan Relatif (KR) amfibi di
TWA/CA Sibolangit dan Desa Sembahe pada setiap jenis cukup bervariasi. Secara umum
kepadatan di TWA/CA Sibolangit mempunyai nilai K lebih tinggi dibanding Desa
Sembahe yang mana perbandingan kepadatannya adalah 220,01 : 117,33 individu amfibi
per ha.
Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa secara keseluruhan nilai kepadatan dan jumlah jenis amfibi lebih banyak didapatkan di hutan TWA/CA Sibolangit (220,01 ind/ha dan terdiri
dari 20 spesies) daripada di Desa Sembahe (167 ind/ha dan terdiri dari 13 spesies).
Banyaknya jumlah individu dan jumlah jenis amfibi didapatkan pada hutan TWA/CA
Sibolangit disebabkan kondisi lingkungan di daerah ini tergolong baik dan dapat
mendukung kehidupannya, seperti kelembaban udara yang tinggi, yaitu berkisar antara 85–
95 %, dan suhu udara, air dan tanah berkisar antara 15–22 ºC, serta banyaknya ketersediaan
Nilai Kepadatan spesies yang paling banyak ditemuka n di TWA/CA Sibolangit
yaitu dari spesies Polypedates leucomystax sebanyak 36,11 ind/ha, sedangkan spesies
paling sedikit didapatkan adalah Pelophryne signata (1,11 ind/ha) dan Rana glandulosa
(1,11 ind/ha). Tingginya kepadatan Polypedates leucomystax di TWA/CA Sibolangit
disebabkan kondisi lingkungan di daerah ini sangat mendukung untuk kehidupan dan
pekembangbiakannya. Banyaknya spesies Polypedates leucomystax pada saat penelitian
disebabkan oleh sifat hidup spesies ini dapat hidup dekat dengan pemukiman manusia.
Lokasi penelitian ini sangat mendukung reproduksinya seperti umumnya genangan air
untuk melakukan aktivitas hidup dan berbiak. Di TWA/CA Sibolangit digolongkan
memiliki genangan air yang sering dijadikan tempat berbiak karena umumnya di samping
genangan tersebut memiliki tumbuhan yang dijadikan sebagai media meletakkan busa
telur. Dari hasil pengamatan lapangan waktu penelitian terlihat bahwa spesies tersebut
sedang berdekapan yang di sekitar genangan air menandakan katak tersebut sedang
berbiak, dan kemudian mengeluarkan busa sebagai media bertelur yang umumnya
diletakkan di helaian daun tumbuhan yang tergantung di samping genangan air. Keadaan
ini sesuai dengan yang dinyatakan Mistar (2003) bahwa spesies Polypedates leucomystax
selalu mendatangi kolam-kolam yang tergenang yang di sampingnya ditemukan daun
pohon-pohon sebagai tempat meletakkan telur dan umumnya tidak jauh dari kawasan
berhutan, dan saat bereproduksi mengeluarkan busa sebagai media bertelur yang umumnya
digantungkan di helaian daun tumbuhan di samping genangan air tersebut.
Spesies yang paling sedikit dijumpai di TWA/CA Sibolangit adalah Pelophryne
signata dan Megophrys nasuta. Pelophryne signata ditemukan hanya 1 individu di pinggir
aliran anak sungai di lantai hutan. Spesies ini sedikit karena hutan TWA/CA Sibolangit
tergolong hutan sekunder dan memiliki luasan hutan yang tidak banyak. Langkanya
penemuan spesies ini dijelaskan Mistar (2003), bahwa Pelophryne signata adalah spesies
katak yang jarang dijumpai dan umumnya dapat ditemukan di hutan-hutan lebat seperti di
Kawasan Ekosistem Leuser. Selanjutnya, Megophrys nasuta jarang ditemukan di lokasi
penelitian. Pada saat penelitian di lapangan, spesies ini menyaru di serasah daun di bawah
hutan TWA/CA Sibolangit sehingga sulit ditemukan walaupun suaranya sering terdengar.
Sulitnya mendapatkan spesies ini dijelaskan Iskandar (1998), bahwa Megophrys nasuta