• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Fonem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Teori Fonem"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI FONEM

1

Paitoon M. Chaiyanara

Nanyang Institute of Education Singapore

Abstract

Theory of phoneme is a phonological theory well-known at the end of the nineteenth century (1870) whose objective is to find out the abstract representation of phonemes of a certain language. In order to find out whether a phone is a phoneme, a phonemic analysis rule is used which formulates: (1) mutually exclusive environment of complementary distribution known as an allophone of the same phoneme, (2) a phone in a minimal pair known as a different phoneme, such as /p/ and /b/, (3) a phone in an analogous environment, such as /Z/, (4) a phone as a free variation is not a different phoneme, but a variation of a phoneme of /c/ that phoneme /č/ and /čh/ are variations of phoneme /č/. A prosodic phoneme is recognized by a toneme and a chroneme. Daniel Jones consonantal and vowel analysis rule proven unable to solve all problems dealing with consonantal Trubetskoy and Jacobson made a breakthrough in analyzing a phoneme through a distinctive feature and opposition. The components analyzed are: opposition system, bilateral and multilateral opposition system, prepositional opposition system, and emoted opposition including the formation of neutralized phoneme and phoneme archie in German.

Key words: theory of phoneme, complementary distribution, minimal pair, analogous environment

1. PENDAHULUAN

Teori fonem merupakan teori fonologi yang paling ulung yang mulai diperlihatkan pada akhir abad ke-19 (1870). Tujuan munculnya teori ini adalah semata-mata untuk mencari unsur bunyi realisasi abstrak (abstract representation) yang berlaku dalam suatu bahasa. Unsur tersebut dikenal sebagai fonem (phoneme). Dengan demikian, fonem sebenarnya bukan suatu bunyi yang mempunyai ciri-ciri asal dalam sesuatu bahasa, tetapi adalah bentuk bunyi andaian yang dilihat oleh ahli fonologi berdasarkan berbagai pendapat yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Di Rusia, kumpulan Jan Baudouin de Courtenay yang mengkaji bunyi bahasa sejak tahun 1870 M telah melihat fonem dalam bentuk imej (image) yang dapat dipahami melalui keadaan artikulasi dan keadaan akustik. Di Inggris sekitar tahun 1870 M Henry Sweet juga telah melihat prinsip fonem untuk tujuan transkripsi bunyi. Pandangan yang terkait dengan prinsip fonem yang disampaikan oleh Henry Sweet dapat dilihat dalam uraian beliau pada transkripsi kasar (broad transcription) dan transkripsi halus (narrow transcription). Transkripsi kasar dimanfaatkan untuk mencari sebab-sebab praktis dalam mendeskripsi sesuatu bahasa dan menentukan yang simbol bunyi berkenaan dengan kaidah sistem kontras yang dapat menyebabkan perbedaan makna pada suatu pasangan kata. Transkripsi halus

dimanfaatkan untuk mentranskripsi tuturan-tururan yang benar-benar berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu untuk digunakan sebagai data dalam kajian bunyi secara ilmiah. Dalam tahun 1930 Daniel Jones telah menerapkan prinsip de Courteney dalam mentranskripsi bunyi bahasa untuk pengajaran bahasa asing.

Di Prancis, pada tahun 1880 Paul Passy mengkaji kembali karya-karya de Courteney dan akhirnya lambang IPA diciptakan oleh Persatuan Fonetik Internasional (International Phonetic Association). Di Eropa Timur, pada tahun 1920 terdapat sarjana aliran Praha (Prague School) khususnya Trubetzkoy dan Jakobson yang telah memperlihatkan bunyi dalam bentuk fitur distingtif (distinctive features) yang digolongkan dalam sistem pertentangan (opposition) dan tidak dapat diklasifikasi ke tahap bunyi yang lebih kecil lagi. Di Amerika Serikat, Edward Sapir mulai mengkaji pada tahun 1921 dengan memperlihatkan perbedaan dan imej psikologi (psychological image). Selanjutnya, dalam tahun 1935, Bloomfield menetapkan fonem sebagai unsur yang dapat membedakan makna. Kemudian pada tahun 1947, Pike telah memperlihatkan fonem dalam bentuk bunyi terpenting yang dapat ditentukan dari hasil analisis bunyi dalam sesuatu bahasa.

2. KAIDAH ANALISIS FONEM

(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 (i) Mempertimbangkan fonem dari bunyi yang

berlaku dalam lingkungan saling menyertai (matually exclusive environment) atau berlakunya penyebaran saling melengkapi (complementary distribution). Dalam bahasa Persia misalnya, bunyi [r], [R], [r8] berlaku dalam lingkungan yang berbeda atau dikenal sebagai penyebaran bunyi saling melengkapi. Dengan kata lain, [r] berlaku pada posisi suku kata awal pada kata

bersuku satu seperti dalam kata [riS] ‘roti’. Pada kata bersuku dua, bunyi tersebut berlaku setelah vokal pada suku kata pertama dan akan diikuti oleh konsonan seperti dalam kata [farsi] ‘Parsi’.

[R] berlaku pada posisi di antara dua vokal seperti dalam kata [beRid] ‘pergi’.

[r•] berlaku pada posisi akhir suku kata seperti dalam kata [Sir•].

Ketiga bunyi tersebut dikenal sebagai alofon (allophones) dari fonem yang sama yaitu fonem /r/.

(ii) Mempertimbangkan fonem yang berlaku dalam lingkungan yang sama (identical environment) atau berlaku dalam pasangan terkecil (minimal pair) seperti dalam bahasa Melayu dalam pasangan kata [pagi] ‘pagi’ dan [bagi] ‘bagi’. Pasangan ini merupakan pasangan terkecil yang mempunyai pola yang sama yaitu KV-KV dan berbedanya bunyi konsonan awal, yakni [p] dan [b] berlaku dalam lingkungan yang sama. Perbedaan kedua konsonan tersebut menyebabkan makna pasangan kata di atas menjadi berbeda. Dengan demikian, kedua konsonan tersebut dianggap sebagai dua fonem yang berbeda yaitu fonem /p/ dan fonem /b/.

(iii) Memperlihatkan fonem sebagai bunyi yang berlaku dalam lingkungan analogis (analogous environment) atau berlaku dalam pasangan analogis (analogous pair). Bunyi konsonan [Z] dalam bahasa Inggris misalnya, dengan menggunakan kedua kaidah penentuan bunyi akan ditemukan kesukaran untuk menyatakan sebagai fonem atau tidak. Tidak ada data yang dapat dibandingkan sesuai dengan ciri-ciri di atas. Perhatikan pasangan analogis yang mungkin terdapat dalam bahasa Inggris.

[viZn] “vision” [miSn] “mission”

Pasangan kata di atas dapat dikatakan sebagai pasangan analogis, yaitu [Z] dan [S] yang

berlaku pada posisi yang sama, tetapi pada kedua kata tersebut masih mempunyai dua pasangan bunyi yang juga berbeda, yaitu [v] dan [m]. Kedua bunyi tersebut dapat dikatakan mempunyai sifat bunyi yang sama, yaitu sama-sama bersuara dan dihasilkan di daerah artikulasi yang hampir sama, yakni pada bibir-gigi untuk bunyi [v] dan pada dua bibir untuk bunyi [m]. Bahkan dapat dilihat pada pasangan-pasangan analogis lain yang dapat menyatakan bahawa /v/ dan /m/ merupakan dua fonem yang berbeda. Misalnya, pasangan kata /mine/ dan /vine/. Dengan demikian, dapat dirumuskan bawa bunyi [Z] dan [S] dapat berlaku dalam lingkungan yang sama yang boleh dianggap sebagai dua fonem yang berbeda, yaitu fonem /Z/ dan fonem /S/.

(iv) Memperlihatkan fonem sebagai bunyi yang bergeser dalam lingkungan yang sama, tetapi makna asal katanya masih dapat dipertahankan. Ini dapat dikatakan sebagai variasi bebas (variation free). Bunyi yang bergeser seperti itui dapat dianggap sebagai variasi bebas dari fonem yang sama. Misalnya, pada kata /cinta/ yang dalam bahasa disebut sebagai [c&inta] atau sebagai [c&hnta] oleh sebagian orang, tetapi makna asalnya tidak berubah. Dengan demikian, bentuk [c&] dan [c&h] adalah dua bentuk variasi bebas yang berasal dari fonem /c&/ dalam bahasa Melayu.

Berdasarkan analisis bunyi di atas dapat disimpulkan bahwa bunyi bahasa yang yang dapat dianalisis berdasarkan cara (i) dan (vi) dapat dianggap sebagai alofon dari satu fonem yang sama, tetapi jika dapat dianalisis berdasarkan cara (ii) dan (iii) dapat dikatakan sebagai sebuah fonem yang berbeda bentuk. Kaidah di atas pada umumnya dapat digunakan untuk menentukan fonem vokal dan konsonan dalam semua bahasa di dunia.

(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 maknanya menjadi ‘tepung’. Dalam bahasa Thai

ada kata [ma&:] ‘anjing’ diucapkan dengan nada bunyi naik tak datar, sedangkan kata [ma@:] yang diucapkan dengan nada bunyi tinggi datar akan bermakna ‘kuda’.

Apabila ada perubahan prosodi yang tidak melibatkan perubahan makna kata (lexical meaning), tidak akan disebut sebagai sebuah fonem. Walaupun sifat makna atau jenis tatabahasa bergeser, tetap tidak dianggap sebagai fonem yang berbeda. Ini dapat dilihat dalam bahasa Inggris pada kata deêsrease [di:kH®i:s] (KN) dengan kata decreêase [dikH®i:s] (KK) atau preêsent [pH®ezent] (KN) dengan preseênt [pH®izent] (KK). Walaupun kedua pasangan kata tersebut mempunyai ciri-ciri pengucapan yang berbeda, perubahan posisi tekanan suku kata tidak membedakan makna, tetapi hanya mengubah kelas kata, yaitu dari kata benda menjadi kata kerja. Intonasi bunyi yang menurun (falling) dan intonasi bunyi yang naik (rising) apabila terdapat pada kata yang sama seperti kata no hanya akan membedakan tekanan bunyi, tetapi tidak mengubah makna kata tersebut. Bentuk itu hanya membuat konotasi yang berbeda. Melihat kenyataan ini, para ahli bahasa tidak mengategorikan tekanan bunyi atau intonasi dalam bahasa Inggris sebagai fonem.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa walaupun keempat kaidah analisis bunyi yang dijelaskan di atas dapat diterapkan dalam analisis bunyi vokal dan konsonan, tetapi belum memadai untuk menganalisis bunyi-bunyi prosodi yang ada di samping bunyi vokal dan konsonan. Apa yang paling kentara dalam bunyi prosodi ialah dapat menentukan unit pemanjangan rentang waktu yang merupakan bagian pernyataan panjang-pendek sesuatu vokal, bahkan dapat membentuk unit nada yang merupakan asal usul klasifikasi bahasa nada dengan bahasa-bahasa jenis lain. Ini tidak dapat diselesaikan dengan hanya menggunakan teori fonem. Melihat masalah yang demikian, ahli bahasa aliran Praha berusaha mencari dasar-dasar lanjutan untuk mengatasi masalah uraian fenomena bunyi.

3. ALIRAN PRAHA DALAM ANALISIS

TEORI FONEM

Seperti yang dinyatakan di atas, aliran Praha menekankan fitur distingtif (feature distinctive) dan sistem pertentangan (opposition) dalam analisis bunyi bahasa. Dengan kata lain aliran ini tidak menekankan analisis bahasa berdasarkan kaidah yang digunakan oleh aliran Pike, tetapi berusaha memperlihatkan semua fenomena yang ada dalam sistem bunyi suatu bahasa. Komponen penting yang dipantau oleh aliran Praha adalah sebagai berikut.

3.1 Sistem Oposisi

Trubetzkoy (1890-1938) dalam kumpulan Praha berpendapat bahwa kepentingan unsur “bunyi” dapat memperlihatkan ciri-ciri distingtif yang dapat membedakan ucapan dengan makna. Dengan demikian, usaha menentukan unsur oposisi dalam bentuk apa dan bagaimana sifatnya yang mungkin berlaku di dalam sesuatu bahasa telah ditelitinya. Di antara sistem oposisi yang diteliti adalah sebagai berikut.

3.1.1 Sistem Oposisi Bilateral dan Oposisi Multilateral

Dalam bahasa Melayu misalnya, terdapat fonem /p/ dan /b/ yang mempunyai ciri bunyi distingtif yang sama, yaitu bunyi letupan dua bibir dan ciri oposisi yang khusus, yaitu tak bersuara untuk fonem /p/ dan bersuara untuk fonem /b/. Ini dapat digolongkan sebagai sistem oposisi bilateral atau pertentangan dua sisi.

Dalam bahasa Thai terdapat fonem /p/, /pH/ dan /b/ yang masing-masing mempunyai ciri distingtif yang sama, yaitu bunyi letupan dua bibir. Akan tetapi, terdapat ciri-ciri yang bertentangan, yaitu tidak bersuara untuk fonem /p/dan /pH/, bersuara suara untuk fonem /b/, beraspirasi untuk fonem /pH/ dan tidak beraspirasi untuk fonem /p/ dan /b/. Perbedaan ini dapat digolongkan sebagai sistem oposisi multilateral.

3.1.2 Sistem Oposisi Proposi dan Oposisi Terpencil

Dalam bahasa Inggris misalnya, apabila pasangan oposisi pada fonem /p/-/b/ diperhatikan, akan terdapat ciri oposisi tak bersuara-bersuara. Ciri oposisi seperti ini berkesinambungan dengan pasangan oposisi lain yang berbeda daerah artikulasi, yaitu pasangan fonem /t/-/d/ dan /k/-/g/. Semua pasangan tersebut dapat digolongkan sebagai sistem oposisi proposi (proportional opposition). Sebaliknya, pasangan fonem /l/-/r/ mempunyai berbedaan hanya pada pasangan itu dan tidak dapat dibandingkan dengan pasangan lain. Pasangan ini dapat digolongkan sebagai sistem oposisi terpencil.

3.2 Ciri-Ciri Distingtif

Selain Trubetzkoy yang memperhatikan sistem oposisi pada suatu fonem, Jacobson (1896-1982), sahabatnya, menyarankan agar sistem oposisi yang dikemukakan Trubetzkoy dititikberatkan kepada oposisi yang dapat diramalkan dalam sebuah bahasa. Sistem oposisi ini disebut sebagai “fitur distingtif”.

(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 artikulasi terdiri atas daerah penghasil bunyi,

tindakan langit-langit lembut, dan kotak suara. Pendekatan fonetik artikulasi tersebut ada kalanya tidak dapat memaparkan semua ciri yang ada dalam beberapa bunyi. Pendekatan ini harus pula menggunakan pendekatan fonetik akustik untuk menyempurnakan pemaparan yang terkait. Bunyi [p] dan [k] misalnya, memiliki daerah artikulasi yang beroposisi antara satu sama lain, yaitu bunyi [p] yang dihasilkan di daerah dua bibir, sedangkan [k] dihasilkan di daerah langit- langit lembut. Jika dilihat dari sudut fonetik akustik diketahui bahwa kedua bunyi tersebut masing-masing memiliki ciri bunyi yang sama, yaitu dihasilkan pada posisi tepi (periphery). Bunyi [p] dihasilkan di tepi bagian depan rongga mulut sedangkan [k] dihasilkan di tepi bagian belakang rongga mulut yang dapat menghasilkan tenaga bunyi pada bagian frekuensi rendah (low tonality) yang dapat dilihat pada spektrogram bunyi. Dengan kata lain, kedua bunyi ini memiliki ciri rendah (graveness: berasal daripada kata “gravis” dalam bahasa Latin yang artinya ‘berat’ atau ‘dalam’).

Sebaliknya, bunyi yang dihasilkan pada daerah gusi dan ujung lidah (alveolar) dengan bunyi yang dihasilkan di daerah langit-langit keras dan lidah bagian depan (palatal) tidak pula terletak pada daerah tepi dan tidak mengizinkan rongga mulut dibuka lebar. Sebaliknya, akan menyebabkan terbentuk dua ruang kecil di dalam mulut yang disebabkan pembentukan daun lidah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua bunyi yang dihasilkan di daerah tersebut sama-sama memiliki ciri bunyi yang mempunyai tenaga pada bagian frekuensi tinggi (high tonality). Ciri ini dikenal sebagai fitur tirus (acuteness: berasal dari kata “acutus” yang berarti “tajam”).

Demikian halnya dengan bunyi [A] yang dihasilkan di daerah tepi, yaitu bahagian belakang lidah direndahkan, maka bunyi tersebut dianggap memiliki ciri distingtif rendah, sedangkan bunyi [a] tidak dihasilkan di daerah tepi, tetapi dihasilkan di bahagian tengah lidah yang menggunakan lidah bagian depan. Dengan demikian, bunyi [a] memiliki ciri distingtif tinggi (acute).

Dapat disimpulkan bahwa fitur distingtif pasangan rendah-tirus (grave-acute) dapat digunakan untuk menjelaskan bunyi vokal dan konsonan sebagai berikut.

Rendah Tirus Daerah tepi bibir

Daerah langit-langit lembut

Vokal belakang

Daerah gigi atau gusi Daerah langit-langit keras

Vokal depan

Dari pandangan yang demikian, Jacobson dan Halle (1956) kemudian memperluas idenya dan menentukan fitur distingtif berdasarkan sistem

pasangan (±) untuk menyatakan sistem oposisi dalam sebuah bahasa, misalnya:

[±konsonantal] atau [±kons] = ada atau tidak ada penyekatan udara di dalam rongga mulut

[±vokalik] atau [±vok] = pemaksaan makanisme udara secara luas atau tidak luas

Contohnya, luas di bagian sisi lidah)

Kemudian pada tahun 1968 Chomsky dan Halle telah menyesuaikan ciri-ciri fitur distingtif di atas dan menentukan istilah-istilah baru bagi setiap satu fitur bunyi untuk kepentingan teori fonologi generatif.

3.3 Netralisasi dan Arkifonem

Pandangan mengenai netralisasi dan arkifonem merupakan dasar untuk menjelaskan fenomena bunyi yang tidak dapat diuraikan oleh teori fonem. Trubetzkoy menggunakan pandangan netralisasi dan arkifonem dalam menguraikan fenomena bunyi dalam bahasa Jerman seperti berikut.

Dalam sistem bunyi bahasa Jerman terdapat fonem /t/ dan /d/ yang berfungsi untuk memaparkan perbedaan secara kontras atau pasangan terkecil berkontras pada posisi awal suku kata atau antara vokal. Ini dapat dilihat dalam contoh yang berikut.

Awal Suku Kata Antara Vokal

[ti˘r] tier “animal” [di˘r ] dir “to you ”

[lait´n] leiten “to lead” [laid´n] leiden “to suffer”

Pada posisi akhir suku kata kedua bunyi tersebut tidak terdapat sembarang fitur distingtif yang berbeda. Ini disebabkan pada posisi tersebut keduanya diucapkan sebagai bunyi /t/.

Perhatikan contoh di bawah ini: Rat ‘advice’

(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Dengan alasan inilah, Trubetzkoy

mengatasi masalahnya dengan mewujudkan konsep arkifonem dalam uraiannya. Beliau menyatakan bahwa dalam bahasa Jerman ternyata kontras bilateral bagi fonem /t/ dan /d/ dinetralisasikan hanya pada posisi akhir suku kata. Dengan kata lain, tidak perlu menyatakan perbedaan antara fonem /t/ dan /d/ dengan menyatakan bunyi letupan (atau hentian), bersuara dan tak bersuara, tetapi cukup menyatakan perbedaan arkifonem seperti “non-nasal stop” dan menentukan bentuk sebagai pengganti bentuk abstrak yang dilambangkan sebagai “/T/ arkifonem”. Konsep ini boleh dipergunakan untuk menguraikan asal-usul kata “Rat” dan “Rad”, yaaitu /ra˘T/. Ini berlaku apabila /T/ menghasilkan bunyi tak bersuara. Dengan demikian, arkifonem mempunyai ciri bunyi yang sama antara satu sama lain seperti fonem /t/ dan /d/ yang terjadi pada posisi akhir suku kata dalam bahasa Jerman.

Demikian pula halnya dalam bahasa Melayu seperti fonem /p, t, k/ dan /b, d, g/ yang setiap satu perangkatnya mempunyai fitur tak bersuara-bersuara, berkontras pada awal kata dan di antara vokal, sedangkan pada akhir suku kata tidak berkontras. Penerapan konsep arkifonem dapat digunakan untuk kata pinjaman dalam bahasa Melayu. Ini dapat dilihat dalam kata Melayu asli dan kata pinjaman seperti berikut.

Awal Suku Kata

Antara Vokal Akhir Suku Kata Walaupun aliran Praha dapat mengatasi masalah uraian fenomena bunyi bagi setiap pasangan bunyi, akan tetapi terdapat juga fenomena bunyi lain yang tidak berlandaskan teori fonem. Pergeseran bunyi misalnya, melibatkan perwujudan konsonan yang mempunyai bentuk pasangan fonetik. Ini disebabkan adanya artikulasi tambahan seperti, labialisasi, palatalisasi, nasalisasi, dan sebagainya atau asimilasi dan metatesis misalnya.

4. SIMPULAN

Terdapat empat kaidah dalam menganalisis fonem, yaitu

1. Memperhatikan fonem dari bunyi dalam lingkungan saling menyertai (matually exclusive environment) atau penyebaran saling melengkapi (complementary distribution).

2. Mempertimbangkan fonem yang berlaku dalam lingkungan yang sama (identical environment) atau dalam pasangan terkecil (minimal pair).

3. Memperlihatkan fonem sebagai bunyi yang berlaku dalam lingkungan analogis (analogous environment) atau dalam pasangan analogis (analogous pair). 4. Memperlihatkan fonem sebagai bunyi

yang bergeser dalam lingkungan yang sama, tetapi makna asal katanya masih dapat dipertahankan atau sebagai variasi bebas (variation free).

Namun, keempat kaidah tersebut belum memadai dalam menganalisis bunyi prosodi. Karena itu, aliran Praha menambahkan dalam analisis teori fonemnya dengan fitur distingtif (feature distinctive) dan sistem pertentangan (opposition)

DAFTAR PUSTAKA

Adnani, Dahnil. 1987. “Lafaz Ejaan dan Fonologi”. Dalam Farid Onn (ed). Bunga Rampai Fonologi Bahasa Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Fajar Bakti.

Aminurrashid, Harun. 1966. Kajian Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu. Singapura: Pustaka Melayu.

Chaiyanara, Paitoon M. 1990. “Kata-kata Sanskrit dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Thai: Suatu Kajian Perbandingan dari Segi Fonologi”. Tesis Ph.D.

Chaiyanara, Paitoon M. 2000. “Bahasa dan Percanggahan Pemikiran”. Dalam Kumpulan Makalah Kolokium Bahasa dan Pemikiran Melayu/Indonesia 1. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hock, Hans Henrich. 1986. Principles of Historical Linguistics. Berlin; New York; Amsterdam: Mouton de Gruyter.

Jakobson, R. 1982. Fundamental of Language. The Hague: Mouton.

(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Lapoliwa, Hans. 1981. A Generative Approach To

The Development of Bahasa Indonesia. Canberra : Pacific Linguistics.

Lapoliwa, Hans. 1982. “Phonological Problem of Loanwords in Bahasa”. Dalam Pacific Linguistics. Series C, 75.

Pike, K.L. 1962. Phonetics. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

Pike, K.L. 1963. Phonemics. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

Trubetskoy, NSC. 1938. Principles of Phonology. Berkeley: University of California Press. CATATAN

---

1 Artikel ini disunting sesuai keperluan LOGAT tanpa

Referensi

Dokumen terkait

Person Deixis Time Deixis Place Deixis Social Deixis Discourse Deixis. Gestural

[r]

Dari sinopsis kita bisa menentukan siapa saja yang harus kita wawancara, daftar pertanyaan untuk setiap wawancara, dan daftar gambar-gambar (footage) yang dibutuhkan di luar

Bukan tidak mungkin nasabah pindah ke lain bank karena pelayanan yang kurang, sehingga diperlukan hubungan yang baik antara bank dengan nasabah agar nasabah

Berdasarkan tabel di atas, kisi-kisi instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu observasi dan wawancara akan dipaparkan dalam tabel 3.2, 3.3 serta

Gambar 3.4 Rancangan Sistem Simulasi Estimasi SNR Untuk memperoleh analisis dari hasil estimasi yang didapatkan, maka dibandingkan dengan nilai SNR acuan yang diperoleh

Rhodamin B merupakan zat warna sintetis yang umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil atau tinta.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan uji

Mengenai sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pengelolaan limbah Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi temasuk ke dalam pelanggaran kerusakan lingkungan hidup