• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil dan Kolesterol Darah Domba Lokal yang Mendapat Ransum yang Mengandung Sabut Kelapa Sawit Hasil Fermentasi dengan Pleurotus ostreatus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil dan Kolesterol Darah Domba Lokal yang Mendapat Ransum yang Mengandung Sabut Kelapa Sawit Hasil Fermentasi dengan Pleurotus ostreatus."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

FRIESGINA WISKA. D24080115. 2012. Profil dan Kolesterol Darah Domba Lokal yang Mendapat Ransum yang Mengandung Sabut Kelapa Sawit Hasil Fermentasi dengan Pleurotus ostreatus. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS., M.Sc Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr. Sc.

Sabut kelapa sawit (SS) merupakan hasil samping industri yang dapat digunakan sebagai alternatif pakan ruminansia. Kandungan nutrisi yang rendah terutama tingginya kandungan lignin menyebabkan SS perlu mendapatkan pengolahan khusus dengan memfermentasi secara padat menggunakan Pleurotus ostreatus. Kandungan β-D glukan dan lovastatin dalam Pleurotus ostreatus juga mempunyai efek positif dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan kadar kolesterol darah. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi perubahan mutu nutrisi sabut kelapa sawit (SS) yang difermentasi dengan Pleurotus ostreatus dan mengevaluasi kemampuan sabut kelapa sawit hasil fermentasi (SSf) tersebut untuk menggantikan peran rumput gajah dalam ransum serta pengaruhnya terhadap kekebalan tubuh dan kolesterol darah domba ekor gemuk jantan lokal.

Penelitian ini menggunakan domba ekor gemuk jantan lokal sebanyak 12 ekor dengan rataan bobot badan 23,32 ± 1,68 kg. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan dan empat kelompok ternak. Perlakuan yang diberikan meliputi R0 (kontrol) = 30% rumput gajah (RG) + 70% konsentrat, R1 = 15% RG + 15% sabut kelapa sawit fermentasi (SSf) + 70% konsentrat dan R2 = 30% SSf + 70% konsentrat. Data yang diperoleh, diuji dengan analisis sidik ragam dan untuk data yang berbeda nyata diuji lebih lanjut dengan uji tukey dan polinomial ortogonal. Peubah profil dan kolesterol darah juga dianalisis secara statistika deskriptif. Peubah yang diamati meliputi konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO), BK tercerna dan BO tercerna, profil darah yang meliputi jumlah eritrosit, hematokrit, hemoglobin, leukosit beserta diferensiasinya dan kolesterol darah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi BK dan BO metabolis, BK dan BO tercerna dan kolesterol darah domba. Ransum perlakuan juga tidak mempengaruhi profil darah domba, kecuali leukosit yang menunjukkan hasil yang semakin menurun mendekati normal secara signifikan (P<0,05) dengan semakin meningkatnya penambahan SS fermentasi dalam ransum. Kadar limfosit domba setelah diberi ransum R1 dan R2 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dalam menuju kondisi normal dibanding kontrol. Dapat disimpulkan bahwa Pleurotus ostreatus mampu meningkatkan mutu nutrisi SS melalui proses fermentasi. Penggunaan SSf sampai taraf 30% atau menggantikan penggunaan 100% rumput gajah di dalam ransum, dapat meningkatkan imunitas domba ditandai dengan meningkatnya kadar limfosit darah sampai 22%, yang didukung oleh peningkatan performa metabolis ternak. Penggunaan 15% SSf di dalam ransum lebih efektif dalam menurunkan kolesterol darah domba sampai 27,04%.

(2)

ABSTRACT

Blood Profile and Cholesterol in Local Rams Offered Fermented Palm Press Fiber Using Pleurotus ostreatus

F. Wiska, D. Evvyernie, T. Toharmat

Palm press fiber (PPF) can be used as an alternative forage for ruminants. The aim of this experiment was to evaluate the nutritive value of PPF fermented by Pleurotus ostreatus and to evaluate the potency of the fermented PPF (PPFm) to replace elephant grass as a component of ration for rams. A randomized block design experiment was used to allocate randomly three experimental rations into four groups of twelve rams. Rams have an average of initial life weight of 23.32 ± 1.68 kg. The experimental rations consisted of R0 = 30% elephant grass (EG) +70% concentrate (control), R1= 15% EG + 15% PPFm + 70% concentrate and R2= 30% PPFm + 70% concentrate. Dry matter consumption, digestibility, blood profile and blood cholesterol were observed. The results showed that there were no differences in dry matter consumption, digestibility, blood profile and blood cholesterol of rams, except the leukocytes count showed a decrease with increasing number of additions PPFm in the ration (P<0.05). It was concluded that fermentation using Pleurotus ostreatus increased the nutritive value of PPF and the inclution of 30 % PPFm in the ration of rams could replace the elephant grass, can increase the immunity of rams characterized by increasing levels of blood lymphocytes to 22%, which is supported by increase in the metabolic performance of rams. The use of PPFm in the ration of 15% more efeective in lowering blood cholesterol sheep to 27,04%.

(3)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan salah satu jenis ternak yang tergolong dalam jenis ruminansia. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2009), populasi domba di Indonesia setiap tahunnya meningkat pada tahun 2009 mencapai 10.199.000 ekor. Domba ekor gemuk (DEG) termasuk ternak lokal yang populasinya cukup banyak di Indonesia yaitu sekitar 1.415.083 ekor pada tahun 2006. DEG merupakan sumber daya genetik ternak yang mudah dikembangkan sebagai bibit murni. Selain bernilai ekonomis tinggi, keunggulan dari domba ini adalah mampu bertahan dalam kondisi lingkungan kering dan mempunyai tingkat reproduksi yang bagus. Ketersediaan dan kualitas pakan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan DEG (Tiesnamurti dan Asmarasari, 2006).

Ketersediaan dan kualitas pakan yang semakin menurun dan berfluktuasi menyebabkan pertumbuhan dan produktifitas ternak khususnya ruminansia seperti DEG menjadi terganggu. Sampai saat ini, telah banyak usaha-usaha yang dilakukan peternak untuk mempertahankan atau meningkatkan ketersediaan dan kualitas pakan, namun keberhasilan aplikasinya sangat terbatas. Hal ini tidak hanya menghambat pertumbuhan dan reproduksi ternak ruminansia namun menyebabkan efisiensi usaha menjadi menurun terutama dalam musim kemarau, dimana pakan berkualitas sulit diperoleh dan harganya mahal.

(4)

2 1.026.000 ton bungkil kelapa sawit, 5.394.000 ton sabut kelapa sawit dan 6.818.000 ton tandan kosong (Liwang, 2003).

Sabut kelapa sawit (SS) memiliki kandungan nutrisi yang rendah. Tingginya kandungan selulosa 45,71% dan lignin 17,77% yang membentuk ikatan lignoselulosa (Purwaningrum, 2003) menyebabkan SKS perlu mendapatkan pengolahan khusus untuk memutuskan ikatan antara kedua komponen tersebut agar bernilai gizi baik dan dapat digunakan lebih optimal sebagai bahan pakan ruminansia. Salah satunya dengan memfermentasi secara padat (solid fermentation) menggunakan jamur pelapuk putih (white rot fungi) misalnya Pleurotus ostreatus atau yang biasa dikenal oleh masyarakat dengan nama jamur tiram putih.

Pleurotus ostreatus memiliki kemampuan mendegradasi substrat kayu menjadi bahan-bahan organik sederhana melalui proses hidrolisis enzimatis sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme atau mahluk hidup lainnya (Herliyana et al., 2008). Jamur ini memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dibanding jenis jamur kayu lainnya (Djarijah dan Djarijah, 2001). Pleurotus ostreatus mengandung senyawa aktif berupa polisakarida khususnya β-D glukan yang mempunyai efek positif dalam meningkatkan sistem kekebalan dalam tubuh. Selain itu, Pleurotus ostreatus memiliki kandungan lovastatin yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Kandungan senyawa - senyawa aktif ini juga terdapat pada bagian miselium yang merupakan akar pertumbuhan tubuh buah jamur tiram.

Penelitian ini mengkaji pemanfaatan jamur Pleurotus ostreatus dalam pengolahan SS melalui bioproses yang diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya nilai nutrisi yang terkandung di dalam SS tersebut, sehingga SS dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pakan serat bagi domba lokal. Selain itu, produk bioproses SKS hasil fermentasi jamur Pleurotus ostreatus diharapkan mampu meningkatkan kesehatan dan produktivitas domba lokal.

Tujuan

(5)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Domba Ekor Gemuk

Domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia. Domba memiliki beberapa keunggulan sebagai ternak yaitu mempunyai adaptasi dan daya tahan yang baik terhadap serangan beberapa penyakit/parasit (Diwyanto dan Inounu, 2001). Domba juga memiliki sifat progesif yang artinya dapat tumbuh secara berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap mutu lingkungan hidup (Budiman 2001; Dirjen Peternakan 2000). Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2009), populasi domba di Indonesia setiap tahunnya meningkat hingga tahun 2009 mencapai 10.199.000 ekor. Menurut Salamena (2003), domba lokal Indonesia dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu domba ekor tipis, domba ekor gemuk dan domba priangan atau dikenal dengan domba garut.

Domba ekor gemuk (DEG) termasuk ternak lokal yang ketersediaannya cukup banyak di Indonesia yaitu sekitar 1.415.083 ekor pada tahun 2006. DEG merupakan sumber daya genetik ternak yang tidak memiliki resiko sehingga mudah dikembangkan sebagai bibit murni. Selain bernilai ekonomis tinggi, keunggulan dari domba ini adalah mampu bertahan dalam kondisi lingkungan kering dan mempunyai tingkat reproduksi yang bagus. Ketersediaan dan kualitas pakan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan DEG (Tiesnamurti dan Asmarasari, 2006).

Sabut Kelapa Sawit

(6)

4 Menumpuknya hasil samping ini dapat menimbulkan masalah lingkungan apabila tidak dilakukan pengolahan secara optimal.

Gambar 1. Produksi Minyak Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)

Tabel 1. Rataan Produksi per tahun Kelapa Sawit dan Limbahnya Jenis Limbah Rata – rata

Sabut kelapa sawit (SS) 12 1.177.311

Limbah cair (m3/ton FFB) 0,66 6.478.819

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2004)

Uji biologis menunjukkan bahwa limbah kelapa sawit tersebut cocok digunakan untuk pakan ruminansia, karena serat kasarnya yang tinggi menyamai komposisi rumput-rumputan. Namun, produksi sabut kelapa sawit yang tinggi tidak diikuti dengan kualitas nutrisinya sebagai alternatif pakan. Faktor yang menyebabkan limbah ini miskin akan nutrien, antara lain tingginya kandungan selulosa 45,71% dan lignin 17,77% (Purwaningrum, 2003), kadar mineral yang tidak seimbang, serta kecernaannya rendah. Limbah ini mengandung ikatan lignoselulotik, dimana selulosa tidak terdapat dalam bentuk bebas melainkan berikatan secara kristalin dengan lignin sehingga menjadi sulit untuk dicerna oleh ternak. Kelapa sawit merupakan tanaman

0

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(7)

5 yang disusun oleh substansi yang dapat memberikan ketahanan terhadap degradasi secara biologi.

Tabel 2. Komposisi Nutrisi Sabut Kelapa Sawit (%)

Komposisi Serat Kelapa Sawit

(8)

6 Serat Kasar dan Peranannya

Tidak semua komponen karbohidrat dapat dihidrolisa oleh enzim-enzim pencernaan. Sisa bahan yang tidak tercerna ini dinamakan serat kasar. Serat kasar merupakan suatu bahan yang tertinggal setelah bahan makan telah mengalami proses pemanasan dengan menggunakan asam keras dan basa keras selama 30 menit berturut-turut. Serat terdiri dari sel tanaman yang sebagian besar mengandung senyawa polisakarida yaitu selulosa, zat pektin dan hemiselulosa. Selain itu juga mengandung zat bukan karbohidrat yang tidak dapat dicerna yaitu lignin (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).

Lignoselulosa adalah komponen utama dari tanaman yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lainnya. Lignoselulosa umumnya terdapat pada tanaman dengan kandungan komponen 23%-53% selulosa, 20% hemiselulosa, dan 10%-25% lignin (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Kandungan komponen lignoselulosa dipengaruhi oleh umur dan tempat tumbuh tanaman (Branov dan Mazza, 2008).

Serat dasar yang terjalin secara literal akan membentuk mikrofibril. Struktur dan orientasi mikrofibril pada setiap lapisan dinding sel berbeda-beda (Perez et al., 2002). Struktur serat menyilang pada lapisan dinding sel sekunder terluar. Pada lapisan berikutnya, mikrofibril tersusun paralel terhadap poros lumen dan mikrofibril lainnya berbentuk heliks. Mikrofibril ini dikelilingi oleh lignin dan hemiselulosa, dimana hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin sehingga biasanya selulosa terproteksi secara alami dari degradasi. Lignoselulosa dapat diperoleh dari berbagai macam residu atau limbah, baik dari limbah pertanian maupun limbah industri (Knauf dan Moniruzzaman, 2004; Demirbas, 2005).

(9)

7 sehingga menjadikan molekul selulosa berpasangan dan saling berdekatan (Zhang dan Lynd, 2004).

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dan relatif lebih mudah dihidrolisis oleh asam menjadi monomer-monomer yang mengandung asam glukuronat, arabinosa, xilonosa, galaktosa, asetil dan asam ferulat (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa dan membentuk mikrofibril serta berikatan silang dengan lignin membentuk struktur yang kuat.

Lignin adalah polimer yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan dan berstruktur aromatik (Siorberg, 2003). Strukturnya yang kompleks dan heterogen serta berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa menyebabkan lignin sulit untuk didegradasi. Lignin dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu lignin kayu keras, lignin kayu lunak, dan lignin rerumputan. Menurut Branov dan Mazza (2008), struktur lignin dari bahan non kayu belum banyak diketahui namun akhir-akhir ini menjadi fokus penelitian.

Fermentasi

Salah satu faktor yang membuat lignoselulosa sulit dimanfaatkan adalah kompleksitas struktur selulosa sehingga perlu dilakukan perlakuan awal untuk mengubah struktur rumit lignoselulosa agar meningkatkan digesitibilitas enzim (Kim dan Holtzapple, 2006). Perubahan terhadap struktur lignoselulosa yang diberi perlakuan awal berupa pemisahan selulosa dengan materi yang melindunginya (hemiselulosa dan lignin). Struktur awal selulosa yang berbentuk kritalin berubah menjadi amorf sehingga mudah dihidrolisis. Sumber lignoselulosa dan proses yang dilakukan akan sangat mempengaruhi komposisi hasil perlakuan awal. Proses perlakuan awal dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Perlakuan secara biologis dianggap lebih efektif dalam memutuskan ikatan lignoselulosa. Perlakuan ini dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada substrat lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa.

(10)

8 produk samping lainnya. Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi umumnya menggunakan glukosa (Demirbas, 2005).

Teknik pengolahan dengan menggunakan jamur dapat dilakukan dengan fermentasi substrat secara padat dan sistem kultur rendam. Namun, penggunaan sistem kultur rendam memiliki banyak persoalan seperti diperlukannya banyak air, kesulitan dalam aerasi (sirkulasi) karena ketersediaan oksigen terlarut yang terbatas yang disebabkan oleh kenaikan viskositas akibat metabolit yang dihasilkan selama proses fermentasi, penggunaan energi lebih besar, kontaminasi risiko lebih tinggi, penyumbatan sistem perpipaan oleh miselium jamur. Sedangkan fermentasi menggunakan substrat padat memiliki beberapa keuntungan antara lain, substrat atau medium yang berbentuk padat dalam jumlah bahan yang sama memerlukan reaktor yang lebih kecil. Terbentuknya rongga partikel memudahkan difusi oksigen ke dalam sistem sehingga upaya aerasi lebih mudah dilakukan. Umumnya fermentasi substrat padat lebih sederhana dibandingkan sistem kultur rendam (Sardjono, 2011). Selama pertumbuhan jamur dihasilkan uap air dan panas. Uap air tidak boleh terakumulasi dalam sistem karena akan mengganggu difusi oksigen yang diperlukan oleh jamur. Hal ini dikarenakan uap air mengisi rongga antar partikel bahan yang difermentasi. Laju produksi karbondioksida berkorelasi linier dengan laju kehilangan bobot kering bahan yang bisa mencapai 30% (Sardjono, 2008).

Pleurotus ostreatus

Pleurotus ostreatus atau yang lebih dikenal dengan jamur tiram putih merupakan dekomposer primer atau jamur pertama penyerang media kayu yang sudah lapuk secara enzimatis (Herliyana et al., 2008). Jamur Pleurotus ostreatus bersifat aerobik dan secara umum memiliki dua fase siklus hidup yaitu fase vegetatif dan fase generatif. Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan miselium sedangkan fase generatif merupakan fase pertumbuhan tubuh buah (Chang dan Miles, 1997). Reproduksi jamur terbagi dalam dua metode yaitu aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terdiri dari fission (pemisahan), budding (penguncupan), fragmentasi miselium, dan spora aseksual. Sedangkan reproduksi seksual dengan menghasilkan basidiospora dengan proses plasmogami, karyogami, meiosis (Kaul, 1997).

(11)

9 Gambar 2. Pleurotus ostreatus

Sumber : Ailani (2011)

Faktor Nutrisi :

1) Sumber karbon, sebagai unsur pembentuk sel dan sumber energi bagi jamur. Sumber karbon seperti monosakarida, polisakarida, selulosa dan lignin (serbuk gergaji).

2) Sumber nitrogen, dibutuhkan untuk pembuatan protein. Sumber nitrogen ini diperoleh dari selulosa dan lignin substrat.

3) Vitamin, sebagai tambahan suplemen seperti vitamin B1 dan B12 (dedak padi dan tepung tapioka).

4) Mineral, sebagai suplemen dalam melengkapi nutrisi jamur dan sumber kalsium seperti kapur.

Faktor Lingkungan :

1) Suhu, pertumbuhan miselium membutuhkan suhu 25–28 °C dengan kelembaban 80%–90%. Sedangkan pertumbuhan tubuh buah Pleurotus ostreatus membutuhkan suhu lebih rendah yaitu 18–24 °C dengan kelembaban 80%–90%.

2) Cahaya, pertumbuhan miselium tidak banyak membutuhkan cahaya sedangkan pertumbuhan tubuh buah sangat membutuhkan cahaya.

3) Aerasi (sirkulasi), merupakan proses pertukaran udara yaitu antara O2 dan CO2.

Pertumbuhan miselium membutuhkan konsentrasi karbondioksida yang lebih tinggi sedangkan pertumbuhan tubuh buah memerlukan konsentrasi oksigen lebih tinggi.

4) Tingkat keasaman (pH) bag log adalah 5,4–6.

(12)

10 peroksidase, selulase dan xylanase. Pleurotus ostreatus mampu mendegradasi berbagai macam bahan lignoselulosa dalam periode yang lebih pendek dibanding jamur edible lainnya (Kues dan Liu, 2000). Pada penelitian sebelumnya dilakukan fermentasi sabut kelapa sawit dengan menggunakan tiga jenis jamur yang berbeda yaitu jamur P.ostreatus, P. Flabellatus dan S. Commune secara in situ belum mampu meningkatkan mutu sabut kelapa sawit (Sutrisna, 1993).

Pleurotus ostreatus merupakan jamur yang dapat dikonsumsi oleh manusia maupun hewan karena tidak berbahaya bagi tubuh. Jamur tiram memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dibanding jenis jamur kayu lainnya (Djarijah dan Djarijah, 2001). Jamur tiram kaya akan protein, fiber, karbohidrat, vitamin dan mineral (Chang, 1999).

Tabel 3. Kandungan Nutrien Pleurotus ostreatus (% b/b)

Nutrien Jumlah (% b/b)

Kadar air 89,60

Kadar abu 0,82

Serat Kasar 3,44

Lemak 0,10

Protein 3,15

Karbohidrat 0,63

Sumber : Widyastuti dan Koesnandar (2005)

(13)

11 C24H36O5 menjadikan jamur Pleurotus ostreatus sebagai antikolesterol karena zat ini

merupakan agen hipolipidemik yang dapat menurunkan kolesterol (Gunde dan Cimerman., 1995). Asam lemak tidak jenuh yang tinggi (72% dari total lemak) pada jamur ini juga memiliki efek penurun kolesterol (Bobek dan Galbavy, 1999).

Tabel 4. Kandungan Asam Amino dan Vitamin Pleurotus ostreatus

Nutrien Jumlah

Asam Amino (g/100 g protein)

Histidin 2,80

Metionin 3,00

Penilalanin 3,50

Treonin 6,10

Lisin 9,90

Triptopan 1,10

Valin 6,90

Isoleusin 5,20

Leusin 7,50

Vitamin (mg/100 g kering)

Tiamin 4,80

Riboflavin 4,70

Niasin 108,70

Kalsium 33,00

Fosfor 134,80

Besi 15,20

Natrium 85,70

Sumber : Widyastuti dan Koesnandar (2005)

Konsumsi Pakan

(14)

12 ternak. Sedangkan faktor makanan meliputi tingkat kecernaan bahan pakan, kualitas pakan dan pH. Temperatur, kelembaban, sinar matahari, kadar air bahan makanan dan nutrien lainnya juga mempengaruhi tingkat konsumsi ternak (Parakkasi, 1999).

Kecernaan Pakan

Kecernaaan zat makan merupakan bagian nutrien yang masuk ke dalam saluran pencernaan dan diserap oleh tubuh serta tidak dibuang melalui feses. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan, rasio konsentrat, penyiapan ransum, faktor hewan dan juga level pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Menurut Parakkasi (1999), ada 3 kemungkinan hubungan antara kecernaan dengan tingkat konsumsi yaitu 1) konsumsi tidak ada hubungan dengan kecernaan (memberikan silase yang banyak mengandung cairan (juice)-silase yang mengandung zat yang dapat menurunkan kecernaan), 2) konsumsi memiliki hubungan yang positif dengan kecernaan (makanan berkualitas tinggi, kecernaannya meningkat) dan 3) konsumsi memiliki hubungan negatif dengan kecernaan (bahan pakan bernutrisi tinggi dengan kandungan serat yang tinggi dapat menurunkan kecernaan).

Darah

(15)

13 status gizi, suhu tubuh dan siklus estrus. Sedangkan secara eksternal perubahan darah dapat disebabkan oleh infeksi kuman dan perubahan suhu lingkungan sekitar (Guyton dan Hall, 1997).

Eritrosit

Eritrosit merupakan sel darah merah yang berperan sebagai pembawa hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Eritrosit merupakan produk proses erithropoesis yang terjadi di dalam sumsum tulang belakang. Proses erithropoesis membutuhkan beberapa bahan dasar antara lain protein, glukosa, dan berbagai aktivator. Aktivator yang berperan dalam proses erithropoesis meliputi mikromineral Cu, Fe, dan Zn. Unsur Cu dan Fe yang diberikan dalam rasio tertentu mampu meningkatkan status hematologi dan pertumbuhan ternak (Praseno, 2005). Unsur Cu, Fe, dan Zn berperan dalam metabolisme protein. Fungsi utama Cu adalah membantu pembentukan protein kolagen. Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme. Sedangkan Zn memiliki peran dalam pembentukan protein (Praseno, 2005). Selain di sumsum tulang belakang, eritrosit juga diproduksi di dalam hati dan limpa.

Produksi eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit di dalam darah. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah jenis kelamin, umur, nutrisi, aktifitas, produksi, bangsa, suhu lingkungan, panjang hari dan faktor iklim. Sel darah merah dapat mengalami lisis yang disebabkan oleh obat dan infeksi (Ganong, 1995).

Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) merupakan senyawa yang terdiri atas protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Suatu rangsangan dapat mempengaruhi konsentrasi hemoglobin, hematokrit dan juga eritrosit per unit volume. Peningkatan produksi Hb dan jumlah eritrosit disebabkan oleh rendahnya ketersediaan oksigen di dalam darah. Sedangkan penurunan Hb dapat disebabkan oleh adanya gangguan dalam pembentukan eritrosit (erithropoesis). Di dalam sumsum tulang, kadar oksigen di dalam jaringan bertugas mengendalikan erithropoesis (Frandson, 1992).

Hematokrit

(16)

14 eritrosit dan kadar hemoglobin. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang bertambah jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah dalam tubuh meningkat) sehingga jumlah hematokrit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton, 1996). Hematokrit memiliki nilai yang berbanding lurus dengan nilai viskositas (kekentalan) darah. Semakin meningkatnya nilai viskositas darah, maka nilai hematokrit akan semakin meningkat pula (Frandson, 1992). Penyakit diare menurunkan jumlah cairan dalam tubuh yang dapat mempengaruhi viskositas pada darah sehingga darah menjadi kental dan nilai kisaran hematokrit menjadi meningkat. Selain itu, nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel dan suhu lingkungan.

Leukosit dan Diferensiasinya

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit mobil dari sistem pertahanan tubuh yang secara umum bersifat non-fungsional dan hanya diangkut ke jaringan pada saat dibutuhkan saja. Sel darah putih dibagi menjadi dua kelompok yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri atas neutrofil, eosinofil dan basofil. Sedangkan agranulosit terdiri atas limfosit dan monosit (Frandson, 1992). Pada saat tubuh mengalami infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme, jumlah sel darah putih dalam darah akan meningkat. Peningkatan ini dikarenakan sel darah putih yang biasanya berada di dalam getah bening masuk ke dalam sistem peredaran darah untuk melindungi dan mempertahankan tubuh terhadap serangan infeksi (Radji dan Biomed, 2010). Jumlah leukosit juga dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pakan, hormon, obat, dan lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada gambaran diferensiasi darah, dimana komponennya memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam pertahanan tubuh (Guyton,1996).

(17)

15 limfosit T pembantu yang berkemampuan sebagai pengingat sehingga pada saat benda asing yang sama masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya, respon yang terjadi akan lebih cepat dan hebat (Ganong, 2002). Limfosit T diperantarai oleh sel (imunitas seluler) melalui cara nonfagositik menghancurkan sel-sel yang terinvasi oleh virus dan sel mutan (Radji dan Biomed, 2010). Menurut Kresno (2001), sebanyak 65%-80% dari jumlah limfosit yang ada dalam sirkulasi merupakan sel limfosit-T dan sel limfosit-B sebanyak 5%-15% dalam sirkulasi.

Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama yang berperan dalam melawan mikroorganisme asing terutama dalam melawan infeksi bakteri (Meyer, 2004). Neutrofil diproduksi di sumsum tulang dan setelah matang dikirimkan ke pembuluh darah. Neutrofil adalah sel polimorfonuklear (PMN) yang diperlukan pada saat terjadinya infeksi, dimana sel ini memberi respon imun nonspesifik (Kresno, 2001) yang dapat menelan dan membunuh mikroorganisme secara intraseluler. Selain itu, adanya PMN ini juga berperan dalam kerusakan jaringan koleteral selama proses inflamasi terjadi (Radji dan Biomed, 2010). Neutrofil akan bereaksi cepat terhadap rangsangan, jumlah neutrofil akan meningkat jika terjadi penyakit infeksius dan peradangan. Fungsi lain neutrofil adalah memulai dan membatasi durasi dan besaran dalam proses peradangan akut (Guyton dan Hall, 1997).

Eosinofil mempunyai sifat anuboid dan fagositik. Sel ini sangat efektif dalam membunuh berbagai macam parasit tertentu dan berperan penting dalam manifestasi reaksi alergi (Radji dan Biomed, 2010). Eosinofil menjalankan fungsi sebagai sistem imun dengan bekerja secara enzimatik melisiskan mikroorganisme dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Moyes dan Schute, 2008). Selain itu, eosinofil juga berfungsi mengendalikan atau mengurangi hipersensitivitas (Kresno, 2001). Jumlah eosinofil akan meningkat, pada kondisi terjadinya reaksi alergi di dalam tubuh.

(18)

16 Sistem Imun

Sistem imun merupakan suatu sistem pertahanan tubuh yang kompleks dan memberikan perlindungan terhadap adanya invasi zat-zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Menurut Radji dan Biomed (2010), sistem pertahanan dalam tubuh dibagi menjadi dua yaitu lini pertama disebut “innate” atau sistem imun nonspesifik dan lini kedua disebut“adaptive” atau dikenal dengan sistem imun spesifik. Sistem imunitas tubuh berperan penting dalam membedakan antara sel tubuh sendiri (self) dan sel yang berasal dari luar tubuh (non-self). Semua sel yang berperan dalam sistem imun tubuh berasal dari sumsum tulang belakang yang terdiri dari (i) sel myeloid (neutrofil, basofil, eosinofil, makrofag dan sel dendrit), (i) sel limfoid (limfosit B, limfosit T dan sel pembunuh alami/natural killer cells).

Di dalam sistem imun terjadi proses produksi antibodi yang secara spesifik berkaitan dengan antigen yang masuk. Hal ini akan memicu pergerakan sel-sel spesifik lainnya sehingga dapat mengenali dan memusnahkan benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Jika ada antigen spesifik yang masuk kembali ke dalam tubuh, terjadi proses aktifasi yang cepat pada memori sel B dan sel T sehingga dapat merespon lebih cepat antigen tersebut (Radji dan Biomed, 2010).

Ada beberapa perbedaan antara sistem imunitas spesifik dan nonspesifik. 1) Sistem imun spesifik memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap serangan

mikroorganisme asing sedangkan sistem imun nonspesifik langsung dan segera bertindak dalam mengatasi infeksi.

2) Sistem imun spesifik bersifat antigen spesifik yang hanya bereaksi dengan organisme yang memiliki kemampuan menginduksi respon imunitas terhadap jenis antigen tertentu, sedangkan sistem nonspesifik tidak bersifat antigen sehingga dapat bereaksi dengan berbagai mikroorganisme.

(19)

17 Gambar 3. Sistem Kekebalan Tubuh

Fagositosis adalah suatu mekanisme sel kekebalan tubuh dalam melawan invasi mikroorganisme yang terjadi di luar sel. Sel yang berperan penting dalam mekanisme ini adalah sel makrofag dan leukosit polimurfonuklear (PMN). Ketika tubuh terinfeksi oleh mikroorganisme, jumlah sel darah putih akan meningkat dari jumlah normalnya. Sel darah putih yang berada di dalam kelenjar getah benih masuk ke dalam sistem peredaran darah guna untuk mempertahankan tubuh dari serangan infeksi. Begitu pula dengan sel darah putih yang berada di sumsum tulang belakang, semuanya dikeluarkan ke dalam darah. Sel sistem imun ini akan tersebar luas di seluruh tubuh dan melindungi berbagai jaringan (Radji dan Biomed, 2010).

Kolesterol

Menurut Almatsier (2006), kolesterol adalah suatu komponen esensial dari semua membran struktural sel otak dan saraf. Kolesterol memiliki fungsi ganda di dalam tubuh. Kolesterol berperan dalam pertumbuhan dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Kolesterol digunakan untuk mensintesis hormon - hormon steroid, garam-garam empedu dan vitamin D. Menurut Arora (2007), kolesterol berperan dalam pengangkutan lemak yang sudah diolah dari hati ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Proses ini akan berlangsung secara terus menerus di dalam tubuh. Namun, kolesterol juga dapat membahayakan tubuh jika keberadaannya melebihi kapasitas normal dan terdapat dibagian tertentu. Kolesterol disintesa oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Di dalam tubuh

(20)

18 hewan, kolesterol terdiri atas kolesterol endogenus dan kolesterol eksogenus (Parakkasi, 1999).

(21)

19 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan dan Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan.

Materi Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba jantan ekor gemuk berumur 1 tahun sebanyak 12 ekor yang mempunyai rataan bobot badan 23,32 ± 1,68 kg/ekor. Domba jantan ekor gemuk dikelompokkaan berdasarkan bobot badan.

Gambar 4. Domba Ekor Gemuk Penelitian

Kandang

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang metabolis dengan penggunaan satu kandang ditempati oleh satu ekor domba. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum.

Ransum

(22)

20 molases, CPO (crude palm oil), CaCO3, dan premix. Ransum perlakuan berbentuk mash (tepung). Ransum dibedakan menjadi 3 jenis ransum sesuai dengan perlakuan yang diberikan.

Tabel 5. Komposisi Ransum Perlakuan

Bahan Pakan (%) R0 R1 R2

Rumput Gajah 30,00 15,00 0,00

SSf 0,00 15,00 30,00

Dedak 10,00 10,00 11,90

Onggok 15,00 18,50 19,00

Bungkil kedelai 14,90 15,00 14,00

Bungkil kelapa 22,00 18,40 16,50

Molases 4,00 4,00 4,50

CPO 3,00 3,00 3,00

CaCO3 1,00 1,00 1,00

Premix 0,10 0,10 0,10

Protein Kasar 16,09 16,05 16,07

Total Digestible Nutrient 73,07 73,60 73,85

Keterangan : Berdasarkan perhitungan formulasi ransum.

Peralatan

(23)

21 Prosedur

Pengambilan Sabut Kelapa Sawit

Sabut kelapa sawit (SS) diambil dari PT. Perkebunan Nusantara VIII, pabrik minyak kelapa sawit PT. Kertajaya, Kecamatan Malingping, Banten.

Pengukusan Sabut Kelapa Sawit

Salah satu penyebab kurang optimalnya proses fermentasi Pleurotus ostreatus adalah substrat yang tidak memenuhi syarat pertumbuhan jamur. Tingginya kadar lemak atau minyak sisa press biji pada SS menjadi masalah dalam pertumbuhan jamur sehingga pada penelitian ini dilakukan teknik pengukusan. Pengukusan bertujuan untuk meluruhkan sisa-sisa lemak/minyak yang masih menempel di bagian luar SS hasil pemerasan buah kelapa sawit. SS yang digunakan untuk media tumbuh bagi jamur Pleurotus ostreatus dikukus terlebih dahulu selama ± 60 menit. Kemudian dilakukan pengeringan dengan bantuan panas matahari dan oven 60 °C selama 24 jam.

Pembuatan Rumah Jamur

Pembuatan rumah jamur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Perah Fakultas Peternakan IPB. Pembuatan rumah jamur ini disesuaikan dengan keadaan budidaya jamur Pleurotus ostreatus di lapang. Rumah jamur terdiri dari rak-rak bertingkat sebagai tempat inkubasi jamur, ruang untuk inokulasi dan ruang pendinginan. Kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jamur adalah suhu 25-28 ºC dan kelembaban 80%-90%. Untuk mengkondisikan ruangan yang cocok untuk pertumbuhan jamur, maka ruang inkubasi dilengkapi dengan kipas angin yang berfungsi untuk memperlancar sirkulasi udara di dalam ruangan, paranet berfungsi untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke ruangan dan penggunaan karung goni basah yang bertujuan untuk menjaga suhu dan kelembaban ruangan. Di dalam ruangan juga dilengkapi dengan thermo-hydrometer untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan. Sebelum digunakan rumah jamur ini disterilisasi dengan menggunakan karbol dan formalin.

Pembuatan Media Substrat dan Tahap Fermentasi Jamur

(24)

22 bagian SS. Selama inkubasi tempat tumbuh dijaga tetap sejuk, lembab dan bersih. Miselium memenuhi seluruh media substrat setelah 60 hari berada di ruang inkubasi. Setelah itu, media tumbuh berupa SS fermentasi tersebut dimanfaatkan sebagai pakan sumber serat untuk ternak domba.

Gambar 5. Skema Alur Pembuatan Sabut Kelapa Sawit Fermentasi (SSf)

Pembuatan Ransum

Sebelum proses pencampuran dilakukan, SSf dan rumput gajah dicacah terlebih dahulu hingga berukuran 1-2 cm lalu dijemur di bawah panas matahari dan dikeringkan pada oven suhu 60 ºC. Kemudian SSf dan rumput gajah yang telah kering, dicampur dengan konsentrat secara homogen menurut persentase penggunaan bahan pakan sesuai perlakuan. Ransum dibuat sesuai kebutuhan domba yaitu 73% TDN dan 16% protein (NRC, 1975).

Perlakuan terhadap Ternak

Pemeliharaan domba dilakukan selama satu bulan dengan masa adaptasi selama 3 minggu di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Perah Blok A, Fakultas

Bahan Baku

(83% SS, 15% dedak halus, 2% kapur)

Ditambah air ±43% dari berat bag log dan dicampur homogen

Diwadahi dalam plastik polypropylen ukuran 1 kg & dipadatkan

Sterilisasi selama 15 menit (suhu 121oC tekanan 1 atm)

Didinginkan selama 24 jam

Inokulasi bibit Pleurotus ostreatus (5% dari berat bag log)

Substrat/media tanam jamur

Substrat siap diinkubasi

(25)

23 Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penimbangan domba dilakukan satu kali dalam seminggu. Jumlah pakan yang diberikan adalah 3% dari bobot hidup domba. Pakan diberikan pada pukul 07.00 WIB dan pada pukul 16.00 WIB. Air minum diberikan ad libitum. Setiap hari dilakukan penimbangan sisa pakan domba. Collecting feses dilakukan 24 jam selama 5 hari di akhir periode pemeliharaan domba. Di bagian bawah kandang metabolis dipasang kain kasa berukuran 2 x 0,9 meter untuk menampung feses yang keluar.

Pengambilan Darah

Pengambilan darah dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum perlakuan dimulai dan pada akhir pemeliharaan. Darah diambil dari bagian vena jugularis domba, tepatnya sekitar 1/3 bagian atas leher domba. Sebelumnya, bulu yang berada di daerah leher dipotong untuk memudahkan proses pengambilan darah dan selanjutnya bagian tersebut didesinfeksi menggunakan alkohol 70%. Darah diambil sebanyak 3-5 ml pada masing-masing domba dengan menggunakan 2 tabung venoject yang berbeda. Satu tabung vacuum berisi anti koagulan berupa EDTA digunakan untuk pengukuran profil darah dan satu tabung lagi tanpa antikoagulan digunakan untuk pengukuran kolesterol darah. Penggunaan EDTA adalah 1-2 mg/1 cc darah domba. Semua tabung yang telah berisi darah segera dimasukkan dan disimpan ke dalam termos yang berisi es untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium.

Pengukuran Performa Domba

1) Konsumsi Berdasakan Bobot Badan (BB) Metabolis

Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari selama masa pemeliharaan. Adapun rumus perhitungan konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) berdasarkan BB metabolis adalah sebagai berikut:

Konsumsi BK berdasarkan BB metabolis (g/kg BB0.75 /hari) = Total pemberian ransum BK – Sisa Ransum BK

BB akhir 0.75

Konsumsi BO berdasarkan BB metabolis (g/kg BB0.75 /hari) = Total pemberian ransum BO – Sisa Ransum BO

BB akhir 0.75

(26)

24 2) Pengukuran Nutrien Tercerna

Persentase bahan kering (BK) tercerna dan bahan organik (BO) tercerna berdasarkan bobot badan metabolis dihitung dengan rumus :

BK tercerna metabolis (g/kg BB0.75 /hari) = BK konsumsi – BK feses (g/ekor/hari)

BB 0.75

BO tercerna metabolis (g/kg BB0.75 /hari) = BO konsumsi – BO feses (g/ekor/hari) BB 0.75

Pengukuran Profil Darah

1) Pengukuran Jumlah Eritrosit

Sampel darah diambil dengan menggunakan pipet eritrosit sebanyak 2,5 µl. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tissu, lalu sebanyak 0,5 ml larutan Hayem dihisap menggunakan pipet tersebut. Fungsi dari larutan Hayem adalah sebagai pengencer yang dapat mempermudah dalam menghitung jumlah eritrosit pada mikroskop. Kemudian pipet diputar dengan membentuk angka 8 selama 3 menit, setelah homogen ujung pipet ditempelkan ke kertas tissu untuk membuang cairan yang tidak terkocok. Setelah itu, sebanyak satu tetes campuran dimasukkan ke dalam homositometer dan pengukuran dilakukan pada mikroskop dengan perbesaran 45 x 10. Jumlah eritrosit yang diperoleh dari hasil perhitungan mikroskop dikalikan 104 (Sastradiprajadja dan Hartini, 1989).

Jumlah eritrosit = jumlah eritrosit hasil perhitungan x 104 2) Pengukuran Kadar Hemoglobin (Metode Cyanmethemoglobin)

Pada pengukuran kadar hemoglobin dengan menggunakan Metode Cyanmethemoglobin, pereaksi (reagen) diambil sebanyak 2,5 ml dengan menggunakan pipet volumetrik 5 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian, sebanyak 10 µl sampel darah domba diambil dengan menggunakan mikropipet dan dicampur dengan pereaksi secara homogen. Campuran tersebut dibiarkan selama 3-5 menit dan serapannya dibaca dengan menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm dengan pereaksi sebagai blangko. Hasilnya berupa absorban dikalikan dengan 36,8 maka diperoleh nilai Hb (g/%).

(27)

25 3) Perhitungan Nilai Hematokrit (Packed Cell Volume)

Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui volume total eritrosit dalam 100 ml darah. Metode yang digunakan adalah metode mikrohematokrit. Sebanyak 6/7 bagian tabung mikrokapiler diisi dengan darah yang mengandung antikoagulan dan ujung masuknya darah ditutup dengan sumbatan. Kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung mikrokapiler untuk disentrifuse yang dilakukan selama 5 menit dengan kecepatan 12.000 rpm. Setelah itu, nilai hematokrit dibaca dengan menggunakan microhematokrit reader.

4) Perhitungan Jumlah Leukosit

Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet leukosit sebanyak 10 µl. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tissu lalu diambil larutan Turk sebanyak 190 µl. Larutan Turk berfungsi sebagai pengencer. Kemudian pipet diputar dengan membentuk angka 8 selama 3 menit. Setelah homogen, ujung pipet ditempelkan ke kertas tissu agar cairan yang tidak terkocok dapat terbuang, lalu meneteskan satu tetes cairan ke dalam homositometer. Cairan dibiarkan beberapa saat hingga mengendap, lalu perhitungan bias dimulai. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 45 x 10. Hasil perhitungan jumlah leukosit dikalikan 50 untuk mengetahui jumlah leukosit pada setiap mm3 volume darah (Sastradiprajadja dan Hartini, 1989).

Jumlah Leukosit = jumlah leukosit hasil perhitungan x 50 5) Perhitungan Deferensiasi Leukosit

(28)

26 Pengukuran Kadar Kolesterol darah

Sampel darah domba yang telah diambil, disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 4500 rpm. Setelah itu, sebanyak 10 µl sampel diambil dengan menggunakan mikropipet dan dicampurkan dengan 1 ml pereaksi, lalu dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer. Blanko diisi dengan pereaksi. Selanjutnya dinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang 25–28 ºC, lalu absorbansi dibaca menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 546 nm.

Kolesterol (mg/dl) =

x konsentrasi standar kolesterol

Rancangan dan Analisis Data Perlakuan

Sabut kelapa sawit (SS) yang digunakan sebagai komponen ransum terlebih dahulu difermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreatus selama 60 hari. Ratio hijauan dengan konsentrat dalam penelitian ini adalah sebesar 30% : 70%. Perlakuan ransum yang diuji dalam penelitian ini adalah: R0 = 30 % Rumput Gajah (RG) + 70 % konsentrat; R1 = 15% RG + 15% sabut kelapa sawit fermentasi (SSf) + 70% konsentrat; R2 = 30% SSf + 70% konsentrat.

Model Rancangan

Desain percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan empat kelompok ternak dimana ternak yang digunakan adalah domba jantan ekor gemuk. Model rancangan percobaan adalah sebagai berikut :

Y j = µ + τ + βj + єij

Keterangan : Yij = Nilai variabel hasil pengamatan; µ = Rataan umum; τi = Pengaruh perlakuan pemberian pakan ke-I; βj = Pengaruh kelompok ke-j; єij = Galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j; i = Perlakuan (0,1,2,3); j = Kelompok (1,2,3)

Peubah yang Diamati

(29)

27 tercerna metabolis, profil darah sebagai indikator kesehatan/ imunitas dan kadar total kolesterol darah.

Analisis Data

(30)

28 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Proses Fermentasi Sabut Kelapa Sawit

Sabut kelapa sawit (SS) yang difermentasi oleh jamur Pleurotus ostreatus pada penelitian ini dijadikan sebagai bahan pakan pengganti rumput gajah (RG). Biomasa SS yang telah mengalami fermentasi selama 60 hari ditunjukkan pada Gambar 6b dan 6c. Biomasa dalam gambar dipanen pada fase vegetatif yaitu pertumbuhan miselium sebelum tumbuh tubuh buah, dimana semua media SS dipenuhi oleh hifa berbentuk benang putih. Bahan organik dalam biomasa SS masih terkumpul dan belum tertranspormasi sehingga masih banyak nutrien yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan untuk ternak (Priono, 2007). Setelah SS difermentasi oleh Pleurotus ostreatus, struktur SS menjadi lebih rapuh dan warnanya menjadi lebih terang.

a) b)

c)

Gambar 6. (a) SS Sebelum Fermentasi (b) SS Setelah Fermentasi (c) Substrat SS yang Dipenuhi Miselium Pleurotus ostreatus

(31)

29 selulosa pada SS. Kandungan protein kasar pada SS (9,50%) hampir setara dengan protein kasar pada rumput gajah (8,56%). Namun, setelah difermentasi protein kasar SS mengalami peningkatan sebesar 49,02% sehingga kadar protein kasar menjadi 14,16%. Peningkatan tersebut lebih besar dibandingkan hasil fermentasi Pleurotus ostreatus menggunakan kulit kakao (39,90%) pada penelitian Alemawor (2009). Peningkatan kandungan protein substrat setelah fermentasi disebabkan adanya biokonversi gula menjadi protein miselium (Iyayi, 2004). Pertumbuhan hifa miselium awalnya akan memanfaatkan sumber nutrisi terutama sumber karbon yang terkandung pada bahan – bahan baku pembuatan bag log seperti dedak padi dan kapur. Begitu pula dengan kandungan selulosa, semakin meningkatnya jumlah selulosa pada sabut kelapa sawit fermentasi (SSf) menyebabkan semakin banyak pula jumlah selulosa yang dapat dimanfaatkan oleh domba yang mendapat ransum perlakuan. Peningkatan selulosa ini berkaitan dengan menurunnya kadar lignin SS setelah difermentasi.

Tabel 6. Kandungan Nutrien Sabut Kelapa Sawit dan Rumput Gajah

Nutrien Bahan (% BK)

(%) SS1 SSf1 RG3

BK 88,38 90,09 20,12

Abu 11,95 9,88 15,65

PK 9,50 14,16 8,56

SK 54,75 50,49 32,47

LK 6,76 0,80 2,92

BETN 17,04 24,67 40,40

Selulosa 31,822 54,89 30,79

Lignin 21,922 21,18 15,21

Keterangan : SS = Sabut kelapa sawit; SSf = Sabut kelapa sawit fermentasi. 1Hasil analisis proksimat Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Perternakan IPB, 2012. 2Hasil analisis Irawadi, et al., 1996. 3Hasil analisis Suparjo et al., 2008.

(32)

30 Pleurotus ostreatus dalam degradasi lignin dan selulosa pada SS (Cahyana, 2009). Begitu pula dengan kandungan lemak kasar pada SS, setelah dikukus kadar lemak kasar turun menjadi 4,81% dan setelah difermentasi menjadi 0,80%. Selain disebabkan adanya pengukusan sebelum fermentasi, rendahnya kandungan lemak kasar pada SS ini diduga karena kandungan nutrien tersebut luruh selama proses fermentasi. Hal ini ditandai dengan adanya minyak dibagian bawah bag log.

Tabel 7. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan (100% BK)

Nutrien

Berat media substrat (bag log) SS yang telah dipenuhi oleh miselium menjadi berkurang rata-rata sebanyak 20 g sehingga terjadi penyusutan sebesar 2,5%. Adanya penurunan berat ini menandakan bahwa terjadi degradasi lignin yang menyebabkan terbentuknya rongga antara ikatan lignoselulosa sehingga kekuatan bahan berkurang sampai level tertentu dan bahan menjadi rapuh. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6, kandungan lignin SS setelah fermentasi mengalami penurunan walaupun hanya sedikit. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata pertumbuhan miselium jamur Pleurotus ostreatus adalah 0,80 cm per hari.

(33)

31 Kebersihan dan optimalisasi proses sterilisasi ruangan juga merupakan hal yang penting dalam pertumbuhan Pleurotus ostreatus.

Grafik 2. Pertumbuhan Miselium Pleurotus ostreatus yang Tumbuh dalam Media Sabut Kelapa Sawit

Kondisi Kandang

Sistem ventilasi kandang yang lebih terbuka yang digunakan dalam penelitian ini menyebabkan sirkulasi udara berlangsung dengan baik sehingga terbentuk suhu dan kelembaban yang nyaman bagi domba. Kondisi ini menyebabkan ternak tidak mengalami stress panas sehingga berpengaruh terhadap performa dan keadaan fisiologis ternak yang semakin baik.

Profil Darah

Darah menggambarkan kondisi fisiologis terutama yang terkait dengan sirkulasi, metabolisme dan kesehatan ternak. Sel - sel darah terdiri atas leukosit, eritrosit, dan trombosit yang sering disebut sebagai benda-benda darah (Ganong, 2002). Darah mengandung faktor - faktor penting untuk pertahanan tubuh. Fungsi utama dari sistem pertahanan tubuh adalah kemampuan benda-benda darah tertentu dalam membedakan antara sel tubuhnya sendiri dengan sel yang berasal dari luar tubuh, yang merupakan hal penting dalam mempertahankan tubuh dari serangan benda-benda asing atau mikroorganisme dan sel-sel yang tidak dikehendaki tubuh (Radji dan Biomed, 2010). Sistem pertahanan tubuh yang baik dan kuat akan menjadikan tubuh dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik pula.

(34)

32 Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin

Eritrosit atau butir darah merah (BDM) merupakan bagian dari darah yang berfungsi sebagai pengikat oksigen serta mengedarkannya ke seluruh jaringan tubuh (Ganong, 2002). Jain (2010) menyatakan bahwa pada kondisi normal jumlah eritrosit untuk domba adalah 9–15 juta/mm3. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada domba perlakuan R1 berada dalam kisaran normal (Tabel 8). Jika dilihat dari jumlah eritrosit sebelum perlakuan, R1 mengalami penurunan sehingga berada kondisi normal setelah diberi perlakuan berupa penambahan SSf sebanyak 15% dari total ransum. Pada kontrol dan perlakuan R2 terjadi peningkatan jumlah eritrosit setelah diberi perlakuan sehingga jumlah eritrosit melebihi jumlah normal. Jumlah eritrosit yang melebihi normal diduga karena ternak mengalami dehidrasi sehingga kadar viskositas darah meningkat dan berdampak pada meningkatnya produksi eritrosit di dalam darah (Frandson, 1992).

(35)

33 penggunaan SSf sebagai pengganti rumput gajah tidak mengganggu viskositas darah dan fungsi hemoglobin.

Leukosit dan Diferensiasi

Leukosit atau sel darah putih merupakan bagian dari darah yang paling aktif dalam sistem kekebalan tubuh. Pemberian ransum mengubah jumlah leukosit pada domba percobaan (P<0,05). Pengaruh ransum perlakuan terhadap jumlah leukosit bersifat linear dengan persamaan y = -0,235x + 16,20 dan R2 = 0,964. Semakin tingginya persentase penggunaan SSf dalam ransum menyebabkan jumlah leukosit domba semakin menurun dan lebih mendekati kisaran normal yaitu 4-8 ribu/mm3 (Jain, 2010). Jumlah yang mendekati normal menunjukkan bahwa proses produksi leukosit di dalam sumsum tulang belakang juga berjalan dengan baik. Penurunan jumlah leukosit ini diduga karena adanya kandungan senyawa aktif pleuran di dalam ransum R1 dan R2 yang tersusun dari SSf. Pleurotus ostreatus memiliki senyawa yang bersifat antimikroba dan cukup besar efeknya terhadap peningkatan kekebalan tubuh (Daneshmand et al., 2011). Senyawa ini mengikat permukaan sel makrofag dan sel Natural Killer (NK) di dalam darah sehingga mengaktivasi makrofag untuk mencari dan membunuh benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Jumlah makrofag pun semakin banyak sehingga sistem pertahanan tubuh domba semakin meningkatkan.

Grafik 3. Hubungan antara Ransum Perlakuan dan Jumlah Leukosit pada Domba

(36)

34 Tabel 8. Rataan Komponen Darah pada Domba yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan SSf

Komponen Darah

Perlakuan

Nilai Normal R0 R1 R2

P0 P1 P0 P1 P0 P1

Eritrosit (juta/mm3) 13,32 ± 4,51 16,14 ±3,96 15,20 ± 6,19 13,76 ± 3,57 14,95 ± 3,69 16,60 ± 4,54 9 – 15

Hematokrit (%) 33,38 ± 5,30 31,81 ± 3,04 37,06 ± 2,97 26,94 ± 7,42 36.,35 ± 3,32 29,31 ± 3,96 27 – 45

Hemoglobin (g/%) 12,31 ± 2,01 11,57 ± 1,32 13,09 ± 2,66 11,31 ± 1,69 13,43 ± 1,09 10,90 ± 2,57 9 15

Leukosit (ribu/mm3) 12,48 ± 3,16 16,60 ± 1,47a

12,61 ± 3,75 11,90 ± 4,02b 9,43 ± 2,98 9,55 ± 2,14b 4 - 8 Limfosit (%) 42,25 ± 19,52 48,00 ± 12,83 29,75 ± 14,36 51,25 ± 8,42 23,00 ± 5,23 45,00 ± 18,09 40 - 55

Neutrofil (%) 50,50 ± 22,17 46,25 ± 10,59 63,50 ± 15,11 44,25 ± 6,65 68,75 ± 10,40 50,00 ± 17,94 10 - 50

Monosit (%) 2,50 ± 0,58 2,25 ± 1,50 3,50 ± 1,29 2,00 ± 1,41 2,00 ± 1,41 2,25 ± 0,50 0 - 6

Eosinofil (%) 4,75 ± 4,86 3,50 ± 1,00 3,25 ± 2,06 2,50 ± 1,29 6,25 ± 6,65 2,75 ± 1,26 0 - 10 Selisih (∆)

Leukosit (ribu/mm3) +4,12 -0,71 +0,13

Limfosit (%) +5,75 +21,50 +22,00

Neutrofil (%) -4,25 -19,25 -18,75

(37)

35 Terjadi peningkatan jumlah leukosit yang relatif tinggi pada domba yang diberi ransum kontrol. Tingginya peningkatan jumlah leukosit domba pada kontrol yang melebihi batasan normal mengindikasikan adanya mikroorganisme asing yang masuk ke dalam tubuh. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang membentuk dan melepaskan lebih banyak sel darah putih sebagai respon terhadap infeksi (Radji dan Biomed, 2010). Menurut Jain (1993), kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional atau adanya penyakit atau infeksi menyebabkan peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang akhirnya menyebabkan peningkatan jumlah leukosit.

Limfosit merupakan antigen khusus dalam leukosit yang bersifat nonfagosit, terdiri dari limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawas kekebalan tubuh yang dapat mengenal dan membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Radji dan Biomed, 2010). Sedangkan limfosit B bertanggung jawab atas pembentukan antibodi dan berjumlah 5%-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah (Kresno, 2001). Ransum perlakuan yang diberikan tidak berbeda nyata terhadap pembentukan limfosit pada domba. Jumlah limfosit domba pada penelitian ini berada dalam kisaran normal yaitu 45,00%–51,25%. Jain (2010) menyatakan bahwa pada kondisi normal jumlah limfosit untuk domba adalah 40%-55%.

(38)

36 dan sejumlah kecil glukan lain seperti kitin dan galaktomannan yang mempunyai efek positif sebagai anti virus, anti bakteri, anti jamur dan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Jumlah konsumsi protein juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan antibodi pada tubuh domba. Protein merupakan bahan utama dalam memproduksi antibodi di dalam tubuh, dimana struktur dasar antibodi memiliki 4 rantai protein yaitu dua rantai ringan (light chain) dan dua rantai berat (heavy chain) yang identik (Radji dan Biomed, 2010).

Pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah neutrofil domba. Data pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar neutrofil domba (44,25%-50,00%) pada penelitian berada dalam kisaran normal yaitu 10%–50% (Jain, 2010). Hal ini berarti bahwa domba tidak berada dalam kondisi stress sehingga produksi neutrofil berlangsung dengan normal. Jumlah neutrofil pada domba yang mendapat ransum perlakuan R1 dan R2 mengalami penurunan yang tinggi (R1 19,25% dan R2 18,75%) dibanding kontrol (4,25%) dalam upaya memperbaiki kondisi neutrofil menuju kisaran normal. Ini menandakan ransum yang mengandung SSf memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibanding kontrol dalam memperbaiki sistem pertahanan tubuh domba.

Monosit juga merupakan bagian dari leukosit yang memiliki fungsi utama merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat menuju tempat terinfeksi. Monosit akan menjadi makrofag yang bersifat fagositik, memiliki ukuran besar dan terikat pada jaringan tubuh (Radji dan Biomed, 2010). Ransum perlakuan tidak mempengaruhi jumlah monosit domba. Penggunaan 30% SSf dalam ransum memiliki kemampuan yang setara dalam penyediaan nutrien untuk pembentukan monosit. Jumlah monosit domba pada keadaan normal 0%-6% (Jain, 2010) yang menandakan bahwa jumlah monosit domba percobaan berada dalam kisaran normal yaitu 2,00%-2,25%.

(39)

37 Total Kolesterol Darah

Kolesterol merupakan substansi berwarna putih dan memiliki bentuk seperti lilin yang mempunyai fungsi sangat penting bagi tubuh (Arora, 2007). Kolesterol merupakan komponen utama sel otak dan saraf, serta sebagai bahan antara pembentukan sejumlah steroid penting, seperti asam empedu, asam folat, hormon - hormon adrenal korteks, estrogen, androgen, dan progesterone. Namun, kolesterol juga dapat membahayakan tubuh jika keberadaannya melebihi kapasitas normal dan terdapat dibagian tertentu (Almatsier, 2006).

Tabel 9. Kadar Kolesterol Serum Darah pada Domba yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan SSf

Keterangan : Hasil Analisis Kolesterol Serum di Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan, IPB. Nilai normal berdasarkan Smith dan Mangkoewidjojo (1988).

Penggunaan SSf (Tabel 9) dalam ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol darah domba. Kadar kolesterol darah pada semua perlakuan berada dalam kisaran normal yaitu 54,96-63,55 mg/dl. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa kondisi normal kolesterol darah pada domba adalah 50–140 mg/dl. Kondisi kolesterol darah sebelum perlakuan yang lebih tinggi dibanding setelah perlakuan (Tabel 9) menunjukkan adanya peran ransum terhadap penurunan kadar kolesterol darah. Perlakuan R1 menunjukkan penurunan yang paling tinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan R2. Penurunan kadar kolesterol darah diduga memiliki hubungan yang erat dengan konsumsi karbohidrat, protein dan lemak pada makanan. Hal ini disebabkan ketiga komponen tersebut merupakan bahan baku untuk mensintesis kolesterol di dalam hati (Almatsier, 2006). Pleurotus ostreatus mengandung 2,8% lovastatin (C24H36O5) yang termasuk

(40)

38 kadar kolesterol darah (Gunde dan Cimerman, 1995). Obat sintesis ini bekerja sebagai inhibitor hydroxymethyl-glutaryl-CoA redutase (Vrecer et al., 2003). Namun, pada penelitian ini efek penurunan kolesterol yang disebabkan pemberian ransum belum terlihat jelas. Ini diduga karena masa perlakuan terhadap ternak hanya dilakukan selama 1 bulan. Menurut Parakkasi (1999), kolesterol pada ruminan merupakan kolesterol endogenus yang sedikit sekali dipengaruhi oleh kolesterol pakan (eksogenus).

Manfaat Sabut Kelapa Sawit Fermentasi dalam Ransum Domba

Menurut Aregheore (2001), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktifitas ruminansia. Konsumsi pakan dapat diekspresikan dengan satuan g/ekor/hari (van Hao dan Liden, 2001), g/kg BB/hari (Van et al., 2005) atau g/kg BB0.75/hari (Mandal et al., 2005). Pada penelitian ini, konsumsi yang diamati berdasarkan bobot badan metabolis (BB0.75). Pengukuran konsumsi berdasarkan bobot metabolis digunakan untuk mengetahui kebutuhan energi sesuai dengan berat badan 0,75. Selain itu, pengukuran tersebut juga dapat dijadikan sebagai petunjuk adanya perbaikan kecernaan zat makanan (Parakkasi, 1999).

Tabel 10. Rataan Konsumsi dan Nutrien Tercerna berdasarkan Bobot Badan Metabolis pada Domba yang Mendapat Ransum Percobaan (100% BK)

Parameter Perlakuan Rataan Standar

R0 R1 R2 Error

Konsumsi (g/kg BB0.75 /hari)

BK metabolis 80,05 77,81 86,10 81,32 2,20

BO metabolis 60,46 60,36 69,44 63,42 2,11

Nutrien tercerna (g/kg BB0.75 /hari)

BK tercerna metabolis 26,92 27,91 26,98 27,27 0,82 BO tercerna metabolis 36,69 36,68 38,85 37,40 1,01

Keterangan : R0 = 30% RG + 70% Konsentrat ; R1 = 15 % RG + 15 % SSf + 70% Konsentrat ; R2 = 30 % SSf + 70% Konsentrat.

(41)

39 dengan hasil penelitian Setyowati (2005) yang menggunakan ransum substrat serbuk gergaji yang difermentasi dengan jamur isolate HS yaitu 78,38-94,32 g/kg BB0.75/hari. Konsumsi bahan organik (BO) berdasarkan bobot badan metabolis menunjukkan hasil yang selaras dengan konsumsi BK berdasarkan bobot badan metabolis. Hal ini menunjukkan bahwa SSf dapat menggantikan peran rumput gajah sebagai hijauan pakan domba yang berkualitas. Rataan konsumsi BO selama penelitian adalah 60,36–69,44 g/kg BB0.75/hari. Perbedaan konsumsi BO dan BK diduga dipengaruhi oleh palatabilitas ransum dan kesehatan ternak. Pengaruh lingkungan seperti suhu dan kelembaban juga berperan dalam menentukan tingkat konsumsi.

Jumlah konsumsi yang tinggi juga tidak berarti tanpa proses pencernaan yang baik di dalam tubuh. Nutrien tercerna merupakan bagian zat makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan dan diserap oleh tubuh serta tidak dibuang melalui feses (McDonald et al., 2002). Nutrien tercerna mencerminkan besarnya sumbangan nutrien dalam tubuh ternak yang menunjukkan kemampuan nutrien tersebut dalam memenuhi hidup pokok maupun produksi ternak (Yusmadi, 2008). Ransum perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) tercerna berdasarkan bobot badan metabolis. Nilai BK tercerna berdasarkan bobot badan metabolis pada penelitian ini adalah R0 = 26,92%; R1= 27,91%; R2 = 26,98%. Sedangkan hasil perhitungan BO tercerna berdasarkan bobot badan metabolis masing-masing perlakuan menunjukkan hasil R0 = 36,69%; R1 = 36,68%; R2 = 38,85%. Komposisi dan rasio bahan pakan yang hampir sama diduga menjadi penyebab tidak berbedanya pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap BK dan BO tercerna metabolis pada domba. Menurut McDonald et al., (2002) bahwa kecernaan ransum dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan, rasio konsentrat, penyiapan ransum, faktor hewan dan juga level pemberian pakan.

Pembahasan Umum

(42)

40 ternak. Salah satunya adalah untuk pembentukan sistem pertahanan tubuh yang kuat sehingga menghasilkan suatu individu ternak yang sehat. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara jumlah butir darah merah (BDM) dengan jumlah bahan organik (BO) yang dikonsumsi oleh ternak dengan persamaan BDM = - 18,32 + 0,045 konsumsi BO dan R2 = 0,586. Hasil ini selaras dengan penelitian Sutiarna (2010) yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah berkaitan erat dengan konsumsi BO. Kandungan nutrien yang terkandung di dalam ransum seperti protein dan beberapa mineral merupakan bahan dasar untuk memproduksi sel darah merah. Semakin banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi maka semakin banyak bahan nutrien yang ada di dalam tubuh untuk memproduksi sel darah merah sehingga jumlah sel darah merah semakin meningkat.

Dalam penelitian ini terlihat pula nilai profil darah terutama leukosit, limfosit, dan neutrofil (Tabel 8) pada domba yang mendapat ransum SSf (R1 dan R2) mendekati nilai normal dibandingkan dengan domba yang mengkonsumsi ransum ideal R0. Jika diamati dari selisih leukosit, limfosit dan neutrofil darah pada ternak antara sebelum dan sesudah perlakuan, domba yang mengkonsumsi ransum mengandung SSf selama 1 bulan mengalami peningkatan kekebalan tubuh yang cukup tinggi. Kondisi ini tergambar dari meningkatnya jumlah limfosit sampai 22% sebagai indikator imunitas. Hal ini menunjukkan bahwa peran senyawa aktif dalam ransum tersebut mampu meningkatkan kesehatan domba.

(43)

41 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pleurotus ostreatus mampu meningkatkan mutu nutrisi sabut kelapa sawit melalui proses fermentasi terutama kadar protein, namun belum mampu menurunkan kadar lignin secara optimal. Penggunaan SSf sampai taraf 30% atau menggantikan penggunaan 100% rumput gajah di dalam ransum, dapat meningkatkan imunitas domba ditandai dengan meningkatnya kadar limfosit darah sampai 22%, yang didukung oleh peningkatan performa metabolis ternak. Penggunaan 15% SSf di dalam ransum lebih efektif dalam menurunkan kolesterol darah domba sampai 27,04%.

Saran

(44)

PROFIL DAN KOLESTEROL DARAH DOMBA LOKAL

YANG MENDAPAT RANSUM YANG MENGANDUNG

SABUT KELAPA SAWIT HASIL FERMENTASI

DENGAN

Pleurotus ostreatus

SKRIPSI FRIESGINA WISKA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(45)

PROFIL DAN KOLESTEROL DARAH DOMBA LOKAL

YANG MENDAPAT RANSUM YANG MENGANDUNG

SABUT KELAPA SAWIT HASIL FERMENTASI

DENGAN

Pleurotus ostreatus

SKRIPSI FRIESGINA WISKA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(46)

PROFIL DAN KOLESTEROL DARAH DOMBA LOKAL

YANG MENDAPAT RANSUM YANG MENGANDUNG

SABUT KELAPA SAWIT HASIL FERMENTASI

DENGAN

Pleurotus ostreatus

FRIESGINA WISKA D24080115

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(47)

Judul : Profil dan Kolesterol Darah Domba Lokal yang Mendapat Ransum yang Mengandung Sabut Kelapa Sawit Hasil Fermentasi dengan Pleurotus ostreatus.

Nama : Friesgina Wiska NIM : D24080115

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS, M.Sc Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc NIP. 19610602 198603 2 001 NIP. 19590902 198303 1 003

Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr NIP. 19670506 199103 1 001

(48)

RINGKASAN

FRIESGINA WISKA. D24080115. 2012. Profil dan Kolesterol Darah Domba Lokal yang Mendapat Ransum yang Mengandung Sabut Kelapa Sawit Hasil Fermentasi dengan Pleurotus ostreatus. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS., M.Sc Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr. Sc.

Sabut kelapa sawit (SS) merupakan hasil samping industri yang dapat digunakan sebagai alternatif pakan ruminansia. Kandungan nutrisi yang rendah terutama tingginya kandungan lignin menyebabkan SS perlu mendapatkan pengolahan khusus dengan memfermentasi secara padat menggunakan Pleurotus ostreatus. Kandungan β-D glukan dan lovastatin dalam Pleurotus ostreatus juga mempunyai efek positif dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan kadar kolesterol darah. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi perubahan mutu nutrisi sabut kelapa sawit (SS) yang difermentasi dengan Pleurotus ostreatus dan mengevaluasi kemampuan sabut kelapa sawit hasil fermentasi (SSf) tersebut untuk menggantikan peran rumput gajah dalam ransum serta pengaruhnya terhadap kekebalan tubuh dan kolesterol darah domba ekor gemuk jantan lokal.

Penelitian ini menggunakan domba ekor gemuk jantan lokal sebanyak 12 ekor dengan rataan bobot badan 23,32 ± 1,68 kg. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan dan empat kelompok ternak. Perlakuan yang diberikan meliputi R0 (kontrol) = 30% rumput gajah (RG) + 70% konsentrat, R1 = 15% RG + 15% sabut kelapa sawit fermentasi (SSf) + 70% konsentrat dan R2 = 30% SSf + 70% konsentrat. Data yang diperoleh, diuji dengan analisis sidik ragam dan untuk data yang berbeda nyata diuji lebih lanjut dengan uji tukey dan polinomial ortogonal. Peubah profil dan kolesterol darah juga dianalisis secara statistika deskriptif. Peubah yang diamati meliputi konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO), BK tercerna dan BO tercerna, profil darah yang meliputi jumlah eritrosit, hematokrit, hemoglobin, leukosit beserta diferensiasinya dan kolesterol darah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi BK dan BO metabolis, BK dan BO tercerna dan kolesterol darah domba. Ransum perlakuan juga tidak mempengaruhi profil darah domba, kecuali leukosit yang menunjukkan hasil yang semakin menurun mendekati normal secara signifikan (P<0,05) dengan semakin meningkatnya penambahan SS fermentasi dalam ransum. Kadar limfosit domba setelah diberi ransum R1 dan R2 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dalam menuju kondisi normal dibanding kontrol. Dapat disimpulkan bahwa Pleurotus ostreatus mampu meningkatkan mutu nutrisi SS melalui proses fermentasi. Penggunaan SSf sampai taraf 30% atau menggantikan penggunaan 100% rumput gajah di dalam ransum, dapat meningkatkan imunitas domba ditandai dengan meningkatnya kadar limfosit darah sampai 22%, yang didukung oleh peningkatan performa metabolis ternak. Penggunaan 15% SSf di dalam ransum lebih efektif dalam menurunkan kolesterol darah domba sampai 27,04%.

Gambar

Gambar 1. Produksi Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
Tabel 2. Komposisi Nutrisi Sabut Kelapa Sawit (%)
Tabel 4. Kandungan Asam Amino dan Vitamin Pleurotus ostreatus
Gambar 3. Sistem Kekebalan Tubuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Guru memberikan contoh ekspresi untuk bertanya jawab dengan siswa yaitu contoh- contoh pertanyaan yang menanyakan like dan dislike.. - Siswa secara berpasangan

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Pengalaman Kerja Praktek

yang terjadi akibat gesekan antara drillstring dan formasi. Sumur X-01 merupakan sumur vertikal pada lapangan X yang akan dilakukan pemboran horizontal re-entries dengan membuat

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kripsi ini yang berjudul

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

Prinsip kerja dari relai tersebut ialah mendeteksi adanya arus lebih yang melebihi nilai setting yang telah ditentukan, baik yang disebabkan oleh adanya gangguan

Hasil penelitian pada parameter tinggi tanaman, perlakuan dengan perbedaan jenis media tanam sistem akuaponik memberikan efektivitas yang sangat nyata pada minggu

Menurut Houglum (2005), prinsip rehabilitasi harus memperhatikan prinsip- prinsip dasar sebagai berikut: 1) menghindari memperburuk keadaan, 2) waktu, 3) kepatuhan, 4)