• Tidak ada hasil yang ditemukan

Litterfall Productivity, Decomposition Rate, And Nutrient Release of Anthocephalus cadamba Miq

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Litterfall Productivity, Decomposition Rate, And Nutrient Release of Anthocephalus cadamba Miq"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN

PELEPASAN HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON

(

Anthocephalus cadamba

Miq.)

RIFA’ ATUNNISA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

RINGKASAN

RIFA’ ATUNNISA. Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan OMO RUSDIANA.

Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman. Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan penting bagi ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input, simpanan dan output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar tegakan (pohon) dikembalikan ke dalam tanah (input hara) oleh serasah yang jatuh, tanaman bawah yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan melalui proses dekomposisi. Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menghitung produktivitas, laju dekomposisi, kandungan hara dan pelepasan hara serasah jabon, dan menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon terhadap pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang batubara.

Penelitian dilakukan pada tegakan jabon umur 4 tahun. Metode pengumpulan produktivitas serasah menggunakan litter trap dilakukan setiap satu minggu sekali selama 12 minggu. Metode pengumpulan data laju dekomposisi menggunakan 120 kantung serasah yang diletakkan di atas tanah tegakan jabon yang diambil setiap minggu sekali selama 12 minggu. Pengumpulan data pertumbuhan semai jabon yang diaplikasikan kompos serasah daun jabon dilakukan selama 10 minggu.

Hasil penelitian menunjukkan total produktivitas serasah selama 12 minggu sebesar 22.25 g m-2 minggu-1 atau setara dengan 11.57 ton ha-1 tahun-1. Konstanta

laju dekomposisi (k) sebesar 0.09 (minggu) dan laju dekomposisi relatif adalah 0.086 g g-1 minggu-1. Waktu yang dibutuhkan serasah jabon untuk terdekomposisi 50 % dari berat kering awal (paruh waktu) adalah 53 hari. Besarnya kandungan hara serasah berturut turut dari yang terbesar adalah Ca, N, Mg, K dan P yaitu sebesar 238 kg ha-1, 230 kg ha-1, 151 kg ha-1, 110 kg ha-1, dan 44 kg ha-1. Persentase pelepasan hara serasah terbesar pada unsur Mg yaitu sebesar 98.11 % selama proses dekomposisi 12 minggu.

Pemberian kompos serasah daun jabon pada media tanam tanah bekas tambang batubara berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter, laju pertumbuhan relatif tinggi dan diameter, biomassa total, pucuk dan akar, namun tidak berpengaruh nyata pada rasio pucuk akar pada tingkat kepercayaan 95 %. Dosis pemberian kompos 30 % dapat meningkatkan pertambahan tinggi sebesar 69 %, tinggi sebesar 74 %, dan meningkatkan biomassa total sebesar 193 % jika dibandingkan dengan kontrol.

(4)

SUMMARY

RIFA’ ATUNNISA. Litterfall Productivity, Decomposition Rate, and Nutrient Release of Anthocephalus cadamba Miq. Supervised by IRDIKA MANSUR and OMO RUSDIANA.

Maintaining the nutrient supply in soil is crucial for sustaining productivity. Nutrient cycling in ecosystem provide available nutrient through inputs, storage pools, and outputs. In nutrient cycle, plant nutrient uptake from soil and return to soil from litterfall, coverground species, and remain harvest plant through decomposition process. Jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.) is one of Indonesia native species which has high prospect for plantation forest and revegetation in degraded ecosystem, such caused by mining operations. The soil of overburden dumps in coal mining are physically, nutritionally and biologically poor. This study was conducted to calculate productivity, decomposition rate, nutrient content and nutrient release to 4-year-old jabon plantation, also to test the application of jabon compost that applied to jabon seedling with soil from coal mine as planting media.

Research was conducted at 4-year-old jabon plantation. Method of Litterfall productivity use litterfall collection traps every week during 12 weeks. Decomposition rate was used litter bag technique, with 120 of bags which placed above soil floor. Collecting data for use application of jabon compost was held during10 weeks.

Total productivity during 12-week is 22.25 g m-2 week-1 or 11.57 ton ha-1 yr-1. Rate decay constant (k) is 0.09 week-1 and relative decomposition rate was 0.086 g g-1 week-1. Nutrient input from leaf litter, from highest to lowest, in the

following order: Ca (238 kg ha-1 )> N (230 kg ha-1)> Mg (151 kg ha-1)> K (110 kg ha-1)> P (44 kg ha-1). Magnesium has the highest percentage of nutrient release that is 98.11 % during 12-week decomposition.

Application of jabon compost to soil from coal mine has significant effects on height and diameter growth, total biomass, and shoot and root biomass, but it did not significantly effected on shoot-root ratio. Combination between media and 30 % jabon compost increased plant height by 69 %, diameter by 72 %, and biomass total by 193 % compared with control treatment.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN PELEPASAN

HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON

(

Anthocephalus cadamba

Miq.)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah serasah daun jabon, dengan judul Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Irdika Mansur dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sukanto Tanoto melalui Tanoto Foundation telah memberikan beasiswa kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, seluruh keluarga, dan teman-teman seperjuangan atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1  PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 2 

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis 3

2  METODE 3 

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 3

Waktu dan Tempat Penelitian 4 

Alat dan Bahan 4 

Metode Pengambilan Data 4

Analisis Data 7

3  HASIL DAN PEMBAHASAN 10 

Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) 10

Karakteristik Tegakan Jabon 13 

Produksi Serasah 15 

Efisiensi Penggunaan Hara 17

Dekomposisi Serasah 18

Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon 26

4  SIMPULAN DAN SARAN 35 

Simpulan 35 

Saran 36 

DAFTAR PUSTAKA 36 

LAMPIRAN 40

(11)

DAFTAR TABEL

1. Hasil analisis tanah tegakan jabon 13 

2. Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur

pengamatan 4 tahun 16

3. Sumbangan unsur hara dari serasah jabon 17

4. Laju dekomposisi serasah daun jabon 20

5. Rata-rata produksi serasah dan laju dekomposisi

beberapa jenis tanaman tropis 24

6. Akumulasi nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium pada

beberapa tanaman tropis 25

7. Kandungan hara serasah daun segar dan kompos jabon 27 8. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon 28 9. Uji lanjut Duncan pertambahan tinggi semai jabon 29 10.Uji lanjut Duncan pertambahan diameter semai jabon 29 11.Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan tinggi semai jabon 30 12.Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan diameter semai jabon 30 13.Uji lanjut Duncan biomassa total semai jabon 31 14.Uji lanjut Duncan biomassa pucuk semai jabon 31 15.Uji lanjut Duncan biomassa akar semai jabon 32

16.Rasio pucuk akar semai jabon 32 

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram siklus hara 2 

2. Litter trap 5

3. Kantong serasah 6

4. Pembuatan kompos alami 6

5. Diagram alir penelitian 9

6. Serapan hara dan NUE biomassa serasah daun jabon 18 7. Persamaan laju dekomposisi serasah tanaman jabon 20

8. Perubahan serasah daun jabon 21

9. Persentase pelepasan hara serasah selama proses dekomposisi 22 10.Bagan analisis hubungan langsung dan tidak langsung dari beberapa

faktor yang mempengaruhi nilai konstanta laju dekomposisi (k) 23 11.Kompos daun jabon selama pengomposan 3 bulan 27

12.Pertumbuhan diameter semai jabon 28

13.Pertumbuhan tinggi semai jabon 29

14.Perlakuan tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos 32 15.Bibit tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos 33 16.Perakaran pada media tanpa pemberian kompos

dan dengan pemberian kompos 34

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Hasil analisis tanah tambang

40 

(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman. Keberadaan hara yang dapat diserap oleh tanaman sangat penting digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan dan proses reproduksi tanaman tersebut.

Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan penting bagi ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input, simpanan dan output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar tegakan (pohon) dikembalikan ke dalam tanah (input hara) melalui serasah yang jatuh, tanaman bawah yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan. Output hara dapat diakibatkan oleh hasil panen yang dibawa keluar lahan, erosi, aliran permukaan, dan pencucian hara, sedangkan simpanan hara merupakan ketersediaan hara di tanah pada waktu tertentu (Gambar 1). Hilangnya beberapa unsur hara ini, dapat menyebabkan kesuburan tanah menurun sehingga pada tingkat tertentu tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara normal. Serasah menjadi sumber bahan organik tanah dimana melalui proses dekomposisi, yaitu saat serasah jatuh ke lantai tanah terjadi proses perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil sehingga menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan mikroorganisme (Thaiutsa dan Granger 1979; Fisher dan Binkley 2000).

Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Keberadaan serasah selain sebagai sumber bahan organik, juga mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan produktivitas tegakan yaitu mencegah erosi dan peningkatan porositas tanah sehingga proses penyerapan air ke dalam tanah akan berlangsung dengan baik (Fisher dan Binkley 2000). Oleh karena itu, jenis-jenis tanaman yang serasahnya mudah terdekomposisi sangat baik ditanam pada lahan-lahan kritis seperti lahan bekas pertambangan.

(13)

2 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruhiyat (1989) dalam Folster dan Khanna (1997), implikasi dari penanaman jenis cepat tumbuh, terjadi pengurasan unsur hara yang lebih cepat daripada jenis tanaman dengan rotasi yang lebih panjang. Oleh karena jabon adalah salah satu jenis cepat tumbuh yang sangat potensial bagi pengembangan hutan tanaman dan dapat digunakan untuk keperluan rehabilitasi dan reboisasi, maka diperlukan studi yang mempelajari aliran input dan output neraca hara agar simpanan hara dapat diketahui.

Gambar 1 Diagram siklus hara

Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang melalui pengembalian unsur hara oleh tanaman ke tanah menjadi kunci penting kesuburan tanah, terutama bagi jenis cepat tumbuh (Ngao et al. 2009). Produktivitas serasah dan kecepatan laju dekomposisi dapat digunakan sebagai penduga masukan hara yang berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam strategi pengelolaan nutrisi hara pada hutan tanaman, agar kelestarian produksi terus terjamin.

Perumusan Masalah

Serasah sebagai bahan organik merupakan bagian dari organ tumbuhan mati yang terdapat di lapisan atas permukaan tanah, yang berkontribusi sebagai sumber unsur hara dan sangat mempengaruhi kesuburan tanah. Produktivitas serasah diartikan sebagai jumlah serasah yang jatuh pada permukaan tanah pada periode waktu tertentu per satuan luas areal. Produktivitas serasah dan kecepatan laju dekomposisi pada tegakan jabon dapat digunakan sebagai penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut :

(14)

3 3. Bagaimana kandungan hara dan potensi pelepasan hara nutrisi dari serasah

daun jabon

4. Apakah kompos serasah daun jabon dapat membantu meningkatkan pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang batubara

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk:

1 Menghitung produktivitas serasah daun pada tegakan jabon 2 Menghitung laju dekomposisi serasah daun jabon

3 Menganalisi kandungan hara serasah dan pelepasan hara serasah daun jabon pada tegakan jabon

4 Menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon terhadap pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang batubara

Hipotesis

1. Jenis jabon memiliki nilai produktivitas serasah daun yang tinggi 2. Jenis jabon memiliki nilai laju dekomposisi serasah daun yang tinggi 3. Sejumlah hara dilepaskan serasah jabon melalui proses dekomposisi

4. Kompos serasah daun jabon dapat meningkatkan pertumbuhan semai jabon

2 METODE PENELITIAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Letak Geografis dan Wilayah Administrasi

Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48 BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya dekat dengan Ibu Kota Negara. Bappeda (2012) luas wilayah Kota Bogor adalah 11 850 ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Secara administrasi kota Bogor terdiri 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 32 desa, 210 dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak di Jalan Cifor, Dusun Tawakal RT 01/RW 05, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat.

Iklim dan Topografi

(15)

4

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2012 sampai dengan Mei 2013. Penelitian ini dilakukan pada tegakan jabon yang merupakan tanah milik masyarakat dengan luas lahan 1000 m2 dan umur tegakan empat tahun sejak

tanam, berlokasi di Dusun Tawakal RT 01/RW 05, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat. Pada pengamatan respon pertumbuhan semai jabon terhadap kompos serasah daun jabon dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Analisis tanah, media tanam, dan kompos dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP. Analisis sifat biologi tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah daun dari tegakan jabon dan media tanam bekas pertambangan batubara dari tanah timbunan PT. Bukit Asam. Tanaman yang digunakan dalam pengukuran respon pertumbuhan terhadap kompos daun jabon adalah bibit jabon yang berumur dua bulan .

Alat yang digunakan pada penelitian ini pita meter, litter trap (alat penampung serasah) yang terbuat dari nylon berukuran 1 m x 1 m, litter bag (kantong serasah) dari nylon berukuran 30 cm x 30 cm, timbangan digital, oven, polibag (20 cm x 20 cm), penggaris, haga hypsometer, kaliper, kamera, dan alat tulis.

Metode Pengambilan Data

Pengumpulan Data Sekunder

Data-data penunjang seperti curah hujan harian, suhu dan kelembaban harian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Gofisika (Stasiun Klimatologi Dramaga) sebagai penunjang analisis data produktivitas serasah dan laju dekomposisi serasah.

Pengumpulan Data Primer a. Pengambilan Data Pohon

Pengambilan data pohon dilakukan dengan metode sensus pada seluruh areal penelitian yaitu dengan luasan 1000 m2 dan jarak tanam 3 m x 2.5 m. Data

yang diukur adalah tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter setinggi dada (1.3 m). Data tersebut diolah kemudian dihitung rata-rata tinggi dan diameter.

b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Kandungan Hara dan Biologi Tanah

(16)

5 mudah dilakukan dan dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain yang sudah dilakukan.

Untuk mendapatkan contoh yang dapat mewakili dari seluruh area, contoh tanah yang diambil merupakan hasil komposit yang diambil secara acak. Jumlah contoh komposit yang diambil berasal dari 5 titik secara acak. Contoh tanah diambil sebanyak 2 kg berat basah (kondisi tanah segar) dan kemudian dibawa ke Laboratorium Tanah dan Tanaman untuk analisis biologi tanah. Pengambilan contoh tanah disimpan dalam wadah plastik yang tidak ditutup rapat agar tidak terjadi perubahan karakteristik tanah yang cukup signifikan, khususnya yang berhubungan dengan aktivitas jasad renik tanah. Untuk analisis kandungan hara, contoh tanah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan terlebih dahulu dan diproses pada Laboratorium Tanah.

c. Pengukuran Produktivitas Serasah

Kegiatan pengukuran produktivitas serasah dilakukan dengan menggunakan alat bantu litter trap sebagai alat penangkap serasah. Alat ini berupa kain kasa nylon yang berukuran 1 m x 1 m persegi yang ditopang dengan kayu di keempat sudutnya dan berjarak 0.5 m dari atas tanah.

Langkah-langkah pelaksanaannya (Hilwan 1993), adalah:

a. Pada tegakan jabon dibuat plot yang berukuran 20 m x 10 m persegi secara sistematik, sehingga didapatkan 5 plot

b. Litter trap ditempatkan pada setiap plot

c. Serasah yang tertampung litter trap dikumpulkan setiap minggu untuk ditimbang

d. Serasah dikeringkan dalam oven dengan suhu 65 °C hingga beratnya konstan ± 48 jam yang dinyatakan dalam satuan g/m2/periode. Pengambilan serasah daun dilakukan selama 12 minggu.

Gambar 2 Litter trap d. Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengamatan dekomposisi serasah (Hilwan 1993), yaitu meliputi:

a. Kantung serasah dengan pori ukuran diameter 1.5 mm, diisi dengan serasah segar sebanyak 40 g

(17)

6 c. Jumlah kantong serasah yang ditempatkan dalam lokasi penelitian

sebanyak 24 kantong serasah pada setiap plot. Sebagai data untuk berat kering awal serasah, dalan satu kantong seberat 40 g dikeringkan pada suhu 65 °C hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Pada perhitungan laju dekomposisi, diambil 15 kantong serasah, masing-masing 40 g setiap seminggu sekali selama satu bulan pertama, sedangkan untuk bulan kedua hingga akhir pengamatan, pengambilan kantong serasah dilakukan setiap dua minggu sekali. Pengambilan kantong serasah dilakukan lebih sering pada saat awal pengamatan karena diasumsikan bahwa kecepatan dekomposisi akan terjadi lebih cepat saat proses dekomposisi tersebut dimulai. Serasah yang diambil kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 65 °C hingga beratnya konstan dan ditimbang.

Gambar 3 Kantong serasah

e. Pengujian Kandungan Hara Serasah

Analisa ini dilakukan pada serasah daun segar, serasah yang telah terdekomposisi selama 12 minggu dan kompos daun jabon. Unsur hara yang dianalisa yaitu N, P, K, Ca, dan Mg.

f. Percobaan Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon

Pembuatan kompos dilakukan secara alami di bawah tegakan jabon. Metode yang digunakan adalah modifikasi dari metode pengomposan Djamaludin dan Wahyono (2008) yaitu serasah jabon segar dipotong kecil-kecil kemudian dicampur dengan top soil (5:1) pada tegakan tersebut sebagai aktivator dan dimasukkan ke dalam kantong nylon. Pembuatan kompos dilakukan ± selama 4 bulan, hingga daun jabon menyerupai bentuk tanah baik warna maupun bentuknya.

(18)

7 Penanaman menggunakan bibit jabon hasil persemaian dua bulan (tinggi ± 20 cm), selanjutnya dipindahkan ke dalam polibag berukuran 20 cm x 20 cm yang sudah diisi media tanam tanah bekas tambang batubara yang dicampur kompos serasah daun jabon, dengan perbandingan komposisi kompos sebagai perlakuan yaitu 0% sebagai kontrol, 10%, 20%, dan 30%. Masing-masing perlakuan dilakukan 5 kali ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 unit tanaman.

Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman, diameter tanaman, jumlah ruas daun, perhitungan biomassa kering tanaman, kekompakan media, dan perhitungan nisbah pucuk akar pada setiap tanaman. Pengukuran tinggi, diameter, dan jumlah ruas tanaman dilakukan setiap minggu selama 10 minggu.

Pada pengukuran pengaruh kompos digunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model rancangan yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan program Statistik SAS . Bila perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Analisis Data

Analisis Data Produktivitas Serasah

Nilai tengah (rata-rata) produktivitas serasah per plot setiap pengamatan dengan rumus :

X

gr/m2/periode

Dimana:

X : rata-rata produksi serasah per plot setiap periode Xi : produksi serasah per plot setiap periode

N : 10

Analisis Data Efisiensi Penggunaan Nutrisi / Nutrient Use Efficiency (NUE)

NUE merupakan konsep yang secara umum mendiskripsikan seberapa baik tanaman menggunakan hara yang ada di dalam tanah untuk menghasilkan

(19)

8 biomassanya. Adapun penghitungannya didapatkan dari perhitungan rumus (Binkley dan Vitousek 1996):

NUE = g/m /tahun

g/m /tahun

Analisis Data Laju Dekomposisi

a. Penurunan bobot didapat dengan rumus (Guo dan Sim 2001):

L(%) = × 100 Dimana:

W : penurunan bobot

Wo : bobot kering awal serasah (40 g)

Wt : bobot kering akhir serasah (g) per periode waktu

b. Laju dekomposisi relatif / relative decomposition rate (RDR) (Dutta dan Agrawal 2001)

RDR = Ln W Ln Wt interval pengamatan Dimana:

RDR : nilai dekomposisi relatif (g g-1 minggu-1) W0 : bobot pada awal pengamatan

Wt : bobot pada akhir pengamatan

c. Pendugaan Nilai Konstanta Laju Dekomposisi Serasah

Kecepatan dekomposisi serasah daun jabon dapat diduga dengan menggunakan persamaan Olson (1963) sebagai berikut:

Wt = Wo e-kt

Sesuai dengan rumus tersebut pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah dapat diturunkan melalui rumus sebagai berikut:

Ln (Wt/Wo) = -kt Dimana:

Wt : berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g) Wo : berat kering serasah awal (g)

(20)

9 d. Pelepasan Hara dari serasah

Berkurangnya berat serasah dan pelepasan hara dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Guo dan Sim 2001):

R(%) =

x 100

Dimana:

R : hara yang terlepas

Wt : berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g) Wo : berat kering serasah awal (g)

Co : konsentrasi hara pada serasah awal

Ct : konsentrasi hara pada waktu t pengamatan

Analisis Data Laju Pertumbuhan Relatif Bibit / Relative Growth Rates (RGR)

Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan menghitung pertambahan tinggi dan diameter tanaman. Pertumbuhan relatif tanaman didapatkan dengan formula (Hunt 1990):

RGR = Ln X Ln X interval pengamatan

Dimana:

RGR : nilai pertumbuhan relatif (cm cm-1 minggu-1)

X1 : tinggi atau diameter pada akhir pengamatan X0 : tinggi atau diameter pada awal pengamatan

Diagram Alir Penelitian

Secara ringkas, alur dari penelitian yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5.

(21)

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

Jabon merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan nama dagang Kadam. Nama ilmiah A. cadamba Miq. ini bersinonim dengan Anthocephalus chinensis (Lamk.) A. Rich. Ex. Walp., Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser, Sarcocephalus cadamba (Roxb.) Kurz., Anthocephalus indicus A. Rich., Anthocephalus morindaefolius Korth.. Nama lokal di Indonesia: galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampain, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian, serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua, suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire, masarambi (Papua) (Martawijaya et al. 1989). Nama lokal di negara lain: bangkal, kaatoan bangkal (Brunei); mau-lettan-she, maukadon, yemau (Birma); thkoow (Kamboja); kadam, cadamba, common burr-flower tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos); kelempayan, laran, selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan bangkal (Filipina); krathum, krathum-bok, taku (Thailand); c[aa]y g[as]o, c[af] tom, g[as]o tr[aws]ng (Vietnam) (Soerianegara dan Lemmen 1993).

Taksonomi jabon digolongkan sebagai berikut (Martawijaya et al. 1989): Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub-kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Familia : Rubiaceae (suku kopi-kopian) Genus : Anthocephalus

Spesies : Anthocephalus cadamba Miq.

Sifat Botani

(22)

11 Tanaman jabon sudah dikenal masyarakat sejak lama, namun popularitasnya semakin menanjak karena serangan penyakit yang terjadi pada tanaman sengon (Falcataria moluccana). Adanya kasus ini menyebabkan petani mencari alternatif tanaman lain yang pertumbuhannya cepat dengan kualitas kayu yang bagus dan tahan terdapat serangan hama penyakit. Tanaman jabon berasal dari daerah beriklim muson tropika. Tanaman ini lebih menyukai tempat yang lembab, misalnya di tepi sungai dan rawa (Mansur dan Tuheteru 2010).

Daun jabon merupakan daun tunggal, bertangkai panjang 1.5-4 cm dengan helaian daun agak besar (panjang 15-30 cm dan lebar 7-8 cm). Di awal pertumbuhannya, yakni 2-3 bulan setelah tanam, pada tanah yang subur dan cukup air daun jabon dapat berkembang hingga berukuran panjang 68 cm dan lebar 38 cm. Permukaan daun jabon tidak berbulu atau kadang-kadang di sebelah bawah pada tulang daun terdapat rambut halus yang mudah lepas dan bertulang daun sekunder jelas (10-12 pasang). Secara fisiologi, daun tanaman jabon umur 12 hari mulai memiliki kemampuan untuk melakukan fotosintesis, yakni melalui perluasan daun secara penuh (full leaf expansion=FLE), 15% FLE daun yang masih muda berwarna merah, 56% FLE daun berwarna hijau kemerahan, 100% FLE berwarna hijau cerah dan pada daun tua berwarna hijau. Pada daun jabon mengandung total klorofil 7.92 mg/g berat kering daun (Mansur dan Tuheteru 2010).

Jabon memiliki daun yang saling berhadapan, tumpul, kira-kira duduk hingga bertangkai. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan ukuran panjang 15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk agak menyerupai jantung, bagian ujung lancip di ujungnya. Penumpu antar tangkai berbentuk segitiga sempit dan mudah rontok. Perkembangbiakan jabon dimungkinkan dengan regenerasi alam dari biji, dengan semai yang ditumbuhkan di tempat pembibitan, dengan tunggul dan stek batang. Diperlukan teknik-teknik khusus untuk memperoleh biji jabon yang sangat kecil (Soerianegara dan Lemmens 1993).

Perbungaan jabon terdiri atas kepala-kepala bulat, menyendiri di ujung tanpa daun gagang. Bunga agak duduk pada penyangga lokus, berkelamin dua, aktinomorf, terbagi menjadi 5 bagian. Tabung kelopak berbentuk corong, mahkota gamopetal, jumlah benang sari 5 yang menipis pada tabung mahkota, tangkai sari pendek dan kepala sari melekat di pangkal (Soerianegara dan Lemmens 1993). Produksi benih tanaman jabon biasanya dimulai pada umur 5 tahun. Pohon mulai berbunga pada umur 4 tahun. Periode berbunga biasanya sekitar 2-5 bulan. Di Indonesia, musim berbunga umumnya terjadi pada bulan April-Agustus, kadang-kadang Maret-November dan musim berbuah terjadi pada bulan Juni-Agustus (Martawijaya et al. 1989).

(23)

12

Penyebaran Alami dan Syarat Tumbuh

Pohon jabon tumbuh secara alami di India, Nepal dan Bangladesh ke arah timur melalui Malaysia hingga Papua Nugini. Jenis ini telah ditanam sebagai pohon hias dan pohon perkebunan dan telah berhasil diperkenalkan ke Afrika Selatan, Puerto Rico, suriname, Taiwan, dan Negara-negara lainnya di kawasan tropika dan subtropika. Sebaran tumbuh di Indonesia sebagaian besar di Jawa Barat dan jawa Timur, seluruh Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, NTB, dan Irian Jaya. Jabon dapat tumbuh pada kondisi lahan marginal dengan drainase yang cukup baik. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan banyak terdapat di hutan sekunder (Soerianegara dan Lemmens 1993).

Habitat alami jabon memiliki karakteristik, antara lain: ketinggian tempat tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ºC, curah hujan rata-rata 1500-5000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah. Produktivitas jabon optimal pada ketinggian tempat kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang baik untuk jabon ialah: tanah lempung, podsolik cokelat, dan alluvial lembab yang biasanya terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah dan rawa, dan tanah kering yang terkadang tergenang air. Umumnya, jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010).

Kegunaan

Jabon merupakan jenis tumbuhan lokal yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Jabon merupakan jenis kayu yang mempunyai berat jenis rata-rata 0.42 (0.29-0.56), kelas kuat III-IV dan kelas awet V. Kayu jabon banyak digunakan untuk korek api, kayu lapis, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp dan kertas, kelompen dan konstruksi darurat yang ringan. Kayunya mudah dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan dengan sudut kupas 92º untuk tebal 1.5 mm. Perekatan venir kayu jabon dengan urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya et al. 1989).

Jabon memiliki riap yang besar dengan daur pendek. Di Indonesia daur maksimal jabon adalah 30 tahun yang menghasilkan riap kayu pertukangan rata-rata 24 m3ha-1tahun-1. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1980) untuk menghasilkan venir dan kayu lapis diperkirakan daur pada umur 20 tahun. Sedangkan untuk keperluan pulp dan kertas hanya diperlukan daur 10 tahun.

Jika dikeringkan dengan baik, kayu jabon dapat digunakan untuk membuat sampan atau perabot. Kayu jabon baik digunakan sebagai lapisan permukaan maupun lapisan ini dalam industri kayu lapis dan sesuai untuk membuat papan partikel, papan bersemen, dan papan kertas. Kegunaan kayu jabon terpenting ialah untuk membuat kertas bermutu rendah hingga sedang. Jabon juga berfungsi sebagai pohon peneduh yang digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan. Papagan (kulit batang) yang sudah dikeringkan digunakan untuk mengurangi demam dan sebagai tonik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Daun tanaman jabon dapat dijadikan sebagai obat kumur dan makanan ternak sedangkan buahnya dapat dikonsumsi (Lembaga Biologi Nasional 1980).

(24)

13 sebagai obat pelangsing dan obat kumur. Ekstrak daun jabon dipercaya mengandung senyawa yang bersifat antimikroba. Selain itu daun jabon digunakan juga sebagai alas makanan dan pakan tenak. Bunga jabon dapat digunakan sebagai sumber bahan parfum khas India yang disebut ‘attar’. Selain itu, pohon jabon juga menjadi salah satu jenis yang bunganya dikembangkan untuk mendukung usaha lebah madu. Getah kuning dan kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan pewarna kuning yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kerajinan tangan. Kulit kayu yang telah kering dapat dimanfaatkan untuk mengobati demam dan sebagai obat kuat. Campuran bubuk kulit kayu jabon dengan kulit mangga (Mangifera indica) dan tanaman meranti (Shorea robusta) dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kolera dan sroke, sedangkan seduhan kulit batangnya dipercaya dapat menyembuhkan penyakit disentri (Mansur dan Tuheteru 2010).

Karakteristik Tegakan Jabon

Tegakan jabon yang digunakan dalam penelitian ini ditanam dengan pola monokultur yaitu tidak mencampurkan dengan jenis lain. Pada lokasi tegakan seluas 1000 m2 yang ditanam dengan jarak 3 m x 2.5 m terdapat 92 pohon. Diameter rata-rata tegakan jabon umur 4 tahun adalah 18.60 cm dengan nilai dimater terbesar 34.10 cm. Sedangkan untuk rata-rata tinggi total pohon adalah 15.50 m dengan tinggi total terbesar adalah 20.25 m. Rata-rata tinggi bebas cabang adalah 10.50 m dengan tinggi bebas cabang terbesar 14.25 m.

Menurut penelitian Seo (2013) dimana dalam penelitian tersebut membandingkan 20 lokasi tegakan jabon, termasuk salah satunya adalah lokasi penelitian ini, pada beberapa lokasi penanaman di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Sumedang dan Purwakarta) dikelompokan dalam tiga katagori baik, sedang dan buruk. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa lokasi penelitian ini termasuk dalam katagori baik. Menurut Seo (2013), hasil dari perbandingan antara lokasi baik dan buruk, tampak kondisi lokasi dan kesuburan tanah lebih memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan jabon, dibandingkan dengan praktek silvikultur seperti pemupukan dan pemeliharaan. Hasil analisis tanah tegakan jabon di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis tanah tegakan jabon

No Parameter Pengujian Satuan Nilai Katagori (Sulaeman et al. 2005)

(25)

14 dapat mengubah struktur tanah sehingga dapat mempengaruhi infiltrasi, aerasi dan yang paling utama mempengaruhi kesuburan tanah.

Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan penyumbang bahan organik tanah yang besar, yaitu berkisar 100 kg/ha (0.005 %) dengan populasi 7000 ekor hingga 1000 kg/ha dengan populasi 1 juta ekor (Foth 1984 dalam Hanafiah 2005). Menurut Tian et al. (1995) peranan cacing tanah, baik secara langsung maupun tak langsung dalam meningkatkan kesuburan tanah dalam kaitannya terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yaitu menguraikan bahan organik dan meningkatkan laju siklus nutrisi, memindahkan bahan organik dan mikroorganisme ke dalam tanah, membentuk struktur tanah dan mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan porositas tanah sehingga dapat meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi run off serta dapat meningkatkan respirasi tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, dan membuka lapisan subsoil sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman.

Pada lokasi penelitian rata-rata bobot basah cacing tanah adalah 82.4 g m -2. Dalam hal ini bobot basah cacing tanah yang diperoleh lebih besar jika

dibandingkan dengan hasil penelitian Fragoso dan Lavelle (1992) di hutan-hutan hujan tropik di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Tengah dan Barat serta Asia Tenggara yang hanya mencapai 12.9 g m-2. Besarnya bobot basah

cacing dapat diduga berhubungan dengan besarnya bahan organik tanah dan iklim mikro kondisi tegakan tersebut. Tingginya bahan organik tanah dapat diduga dari jatuhan serasah daun jabon yang melimpah. Hal ini didukung oleh pendapat Lavelle (1988) bahwa serasah daun-daunan dianggap sebagai sumber yang baik bagi cacing tanah karena relatif tinggi kandungan karbohidrat yang dapat diasimilasi dan rendah kandungan lignoselulosanya. Selain itu besarnya bobot basah dapat pula diduga karena aktivitas, pertumbuhan, respirasi dan reproduksi cacing tanah sangat dipengaruhi oleh suhu. Hasil penelitian Sihombing et al. (1982) juga menyatakan bahwa perkembangan cacing tanah lokal lebih baik pada suhu 26.5 ºC dibandingkan pada suhu 29 ºC pada kisaran pH 6.0-7.5 dan tanah tempat hidupnya tidak terkena sinar matahari langsung. Pernyataan ini sesuai dengan kondisi lokasi penelitian dimana suhu ratarata berkisar antara 24.7 ºC -26.8 ºC dan pH berkisar 5.5 sehingga kondisi ini sesuai bagi perkembangan cacing tanah hingga didapatkan bobot cacing yang besar.

Aspek biologi tanah yang juga dianalisis adalah mikroorganisme tanah. Mikroorganisme tanah merupakan jasad hayati tanah yang keberadannya bisa menguntungkan maupun merugikan. Jasad hayati yang menguntungkan ini, berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan pengikatan atau penyediaan unsur hara yang keduanya bermuara pada penyediaan hara tersedia bagi tanaman. Indikator yang dapat digunakan untuk mencerminkan populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah secara umum adalah dengan mengetahui jumlah total mikroorganisme dan laju respirasi.

(26)

15 dibandingkan dengan tegakan Acacia crassicarpa umur 4 tahun yaitu jumlah mikroorganisme tanahnya hanya 4.9 x 106 SPK/g (Aprianis 2011).

Pengukuran respirasi (mikroorganisme tanah) merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas miroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah didasarkan pada dua penetapan yaitu jumlah CO2 yang

dihasilkan, dan jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan

respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik daripada jumlah, tipe atau perkembangan mikroorganisme tanah (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analilis laboratorium pada tanah tegakan jabon umur 4 tahun memiliki kecepatan respirasi 14.7 mg C-CO2/kg tanah/hari.

Produksi Serasah

Serasah merupakan lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah di bawah hutan sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Departemen Kehutanan 1997). Menurut Nasoetion (1990), serasah dapat diartikan berasal dari lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Spurr dan Burton (1980) mengemukakan bahwa serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang terdapat di atas permukaan tanah yang tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati.

Soerianegara (1964), menjelaskan bahwa serasah yang jatuh di permukaan tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati dan belum mengalami dekomposisi dan meneralisasi. Bahan organik yang hilang melalui jatuhan serasah dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat dipakai untuk mengetahui nilai produktivitas primer netto. Serasah berfungsi sebagai penyimpan air sementara dimana secara berangsur-angsur akan melepaskan ke tanah bersama dengan bahan organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan kapasitas penyerapan (Arief 1994).

Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan 1997). Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan dalam ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1.

Soerianegara (1964) mengemukakan bahwa pengukuran produktivitas serasah dapat dinyatakan dalam berbagai satuan. Dalam kehutanan, produksi hutan dinyatakan dalam m3 atau m3ha-1, sedangkan dalam ekologi, produktivitas

diukur pada suatu waktu dan disebut biomassa dinyatakan dalam satuan bobot per satuan luas, misalnya g m-2 atau kg ha-1 tahun-1atau g m-2 hari-1.

(27)

16 hingga hutan boreal di daerah kutub dimana produksi serasah tahunannya paling rendah (Bray dan Gorham 1964).

Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan sebagai penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah lingkungan sekitarnya (Odum 1971). Studi mengenai produktivitas digunakan untuk membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran produksi serasah. Tujuan utamanya untuk menyediakan informasi dasar dalam memahami serasah, karbon, dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan sesuai dengan fungsinya. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi tentang bagaimana ekosistem hutan beraksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi juga memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap lingkungannya (Spurr dan Burton 1980).

Dalam penelitian ini yang dimaksudkan serasah hanya berfokus pada sesasah daun saja. Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan 1997). Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan dalam ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1.

Hasil pengamatan produksi serasah pada umur tegakan 4 tahun disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur pengamatan 4 tahun

Parameter

Berat kering serasah daun A.cadamba selama 12 minggu

Rata-Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas serasah suatu ekosistem adalah iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air, dan ketinggian dari permukaan laut (Odum 1971). Selain itu produktivitas serasah juga dipengaruhi oleh umur pohon, kualitas tempat tumbuh serta kerapatan tegakan dan tumbuhan bawah (Spurr dan Burton 1980).

(28)

17 pada saat curah hujan sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa produksi serasah diduga ada kaitannya dengan ketersedian air. Menurut Sallata et al. (1990) produktivitas serasah akan meningkat dan mencapai maksimum pada musim kemarau dan menurun pada musim hujan. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau persaingan diantara tanaman dan antar organ dalam satu tanaman untuk mendapat air sehingga akan menyababkan terjadinya efisiensi dalam proses fotosintesis dan tanaman akan cepat melakukan regenerasi. Selain itu, jenis penyusunan, tingkat kerapatan pohon, dan luas bidang dasar suatu tegakan diketahui akan berpengaruh terhadap produktivitas serasah suatu tegakan (Departemen Kehutanan 1997).

Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas serasah menurut Bray dan Gorham (1964), adalah:

1. Tipe hutan, dimana hutan gymnospermae lebih banyak menggugurkan serasah dibandingkan hutan angiospermae walaupun hutan angiospermae cenderung menduduki lahan yang lebih subur.

2. Kondisi linkungan seperti iklim, derajat lintang, ketinggian, kesuburan tanah dan kelembabab tanah.

3. Sistem pengelolaan hutan seperti hutan alam, hutan tanaman, pengaruh kerapatan pohon dan luas bidang dasar serta penjarangan.

4. Faktor waktu seperti variasi musim dan umur tegakan.

Untuk mengetahui besarnya sumbangan hara dari serasah jabon dilakukan analisis kandungan hara serasah. Besarnya sumbangan unsur hara serasah jabon dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sumbangan unsur hara dari serasah jabon

Umur

Jumlah unsur hara ini akan mensubsidi ke dalam tanah apabila serasah tersebut telah terdekomposisi seluruhnya. Berdasarkan data dari Tabel 3 diketahui bahwa unsur Ca memberikan hara terbanyak bila dibandingkan dengan unsur hara lain kemudian diikuti oleh unsur N, Mg, K, dan P. Hal ini berbeda dengan sumbangan hara oleh jenis A. crassicarpa dimana secara berturut-turut besar sumbangan hara yang diberikan mulai dari yang terbesar adalah unsur K, N,Ca, P, dan Mg (Aprianis 2011).

Efisiensi Penggunaan Hara / Nutrient Use Efficiency (NUE)

(29)

18 jumlah biomassa yang diproduksi per unit hara menunjukkan nilai yang tinggi pula.

Penggunaan kompos atau slow release fertilizer dapat meningkatkan NUE. Menurut Ma et al. (1999) salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan hara N yaitu dengan pemakaian slow release fertilizer. Selain itu ditambahkan pula bahwa proses mineralisasi akibat penambahan bahan organik akan meningkatkan ketersediaan N, meningkatkan N NUE serta mengurangi hilangnya N dari tanah. Pada Gambar 6 disajikan data mengenai NUE terhadap biomassa serasah daun jabon.

Gambar 6 Serapan hara dan NUE biomassa serasah daun jabon

Dalam penelitian ini diketahui NUE unsur P menunjukkan nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain. Aplikasi kompos yang secara alami dengan terdekomposisinya serasah daun jabon diduga memberikan kontribusi terhadap peningkatan NUE.

Dekomposisi Serasah

Dekomposisi merupakan suatu proses yang dialami oleh bahan organik, yaitu proses perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil sehingga menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan mikroorganisme (Satchell 1974; Thaiutsa dan Granger 1979; Fisher dan Binkley 2000). Dekomposisi adalah istilah untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dalam biokimia, wujud fisik, dan bobot bahan organik. Para ahli ekologi sangat menaruh perhatian yang besar terhadap proses dekomposisi serasah dalam hubungannya dengan daur hara dan kesuburan tanah. Hal ini disebabkan perombakan serasah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara, dan ketersediaan unsur hara lain sangat menentukan pertumbuhan pohon dan produksi kayu (Thaiutsa dan Granger 1979).

Dekomposisi terbentuk melalui proses fisika dan kimia yang mereduksi secara kimia bahan organic mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar dipecah menjadi bagian yang lebih kecil

(30)

19 dan dapat direduksi secara kimia. Kedua, bagian hasil pecahan kecil dari bahan organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme atau dihanyutkan oleh sistem (Golley 1983).

Mason (1977), membagi proses dekomposisi menjadi tiga, yaitu pelindian (leaching), pelapukan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara stimulan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organic oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor fisik, seperti pengikisan oleh angin, es atau pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan bahan organik (detritus) secara bertahap oleh makhluk hidup. Makhluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai decomposer, pengurai atau saprobe. Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi yang dilakukan oleh organisme dan mikroorganisme, sehingga kecepatan dekomposisi sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme dan mikroorganisme tersebut (Fisher dan Binkley 2000).

Mason (1977) memberikan batasan berbeda antara dekomposisi dan penghancuran serasah. Penghancuran serasah diartikan sebagai tahapan dalam proses dekomposisi, berupa kehilangan berat dari materi (organik) yang sering kali terukur dalam percobaan (misalnya kehilangan berat daun) dan umumnya berupa penghancuran jaringan berukuran besar menjadi partikel-partikel kecil.

Kecepatan dekomposisi bahan organik secara umum bergantung pada kualitas dan umur organik itu sendiri (Westrich dan Berner 1984). Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah mineral bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Pada komunitas tumbuhan tertentu produksi serasah tinggi dan kecepatan pelapukan lambat. Dalam hal ini serasah terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix dan Webster 1995). Dekomposisi menjadi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada yang sampai bertahun-tahun (Spur dan Burton 1980).

Dix dan Webster (1995), mengatakan lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan kandungan fenol besar, dan nisbah C : N yang tinggi sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dimanfaatkan sebagai makanan oleh fauna tanah. Dekomposisi maksimum terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur hara penting lainnya (terutana fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah berlimpah (Moor 1990). Produk akhir dihasilkan oleh mikroorganisme pelapuk (microbial decay) daun adalah “humus” secara perlahan menyatu dengan tanah mineral pada horizon A di bawah lapisan fermentasi. Humus adalah campuran kompleks sisa polimer fenol yang berasal dari tumbuhan berkombinasi dengan karbohidrat dan bahan nitrogen tumbuhan, hewan dan mikroba (microbial origin).

(31)

20 4 tahun hanya kehilangan bobot sebesar 40.86% dengan rata-rata laju dekomposisi perbulan 4.16% (Aprianis 2011).

Tabel 4 Laju dekomposisi serasah daun jabon

Parameter

Pengamatan dekomposisi berat kering minggu ke-

0 1 2 3 4 6 8 10 12

Berdasarkan nilai laju dekomposisi, maka serasah yang tersisa atau waktu untuk mendekomposisi serasah jabon umur tegakan 4 tahun dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut, dimana Xt adalah jumlah serasah pada

waktu t dan t adalah waktu yang dibutuhkan: Xt = 18.83 e -0.09 t

Persamaan laju dekomposisi A.cadamba pada umur tegakan 4 tahun disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Persamaan laju dekomposisi serasah tanaman jabon umur tegakan 4 tahun

Berdasarkan dari persamaan tersebut maka dapat diketahui besarnya konstanta laju dekomposisi (k) per minggu adalah 0.09. Sedangkan pada perhitungan laju dekomposisi relatif yang dihitung berdasarkan persamaan dari Dutta dan Agrawal (2001), besarnya laju dekomposisi relatif serasah daun jabon adalah 0.086 g g-1 minggu-1. Berdasarkan konstanta laju dekomposisi dapat

digunakan untuk mencari waktu paruh yaitu waktu yang diperlukan biomassa serasah untuk mereduksi bobotnya hinggi 50%. Menurut perhitungan Olson

(32)

21 (1963) t 50% = 0.693/k, maka diketahui waktu paruh serasah daun jabon adalah 53

hari.

Berdasarkan katagori yang dibuat oleh Petersen dan Cummins (1974), jenis daun yang terkatagori “cepat” terdekomposisi memiliki nilai konstanta laju dekomposisi per minggu lebih dari 0.07 , sedangkan untuk katagori “sedang” memiliki konstanta laju dekomposisi 0.035-0.07, dan “lambat” terdekomposisi memiliki konstanta laju dekomposisi kurang dari 0.035, sehingga daun jabon termasuk dalam katagori cepat terdekomposisi.

Perubahan kondisi serasah yang mengalami dekomposisi setiap minggunya dapat dilihat melalui Gambar 8, dimana dalam waktu 12 minggu terlihat serasah jabon sudah menjadi remahan yang halus.

Gambar 8 Perubahan serasah daun jabon selama minggu ke-0 (a), minggu ke-2 (b), minggu ke-4 (c), minggu ke-6 (d), minggu ke-8 (e), minggu ke-10 (f),

minggu ke-12 (g)

Faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Manan (1978) adalah keadaan lingkungan selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun. Keadaan tersebut menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan mineralisasi.

(33)

22 Dari analisis laboratorium pada tegakan jabon umur 4 tahun menunjukkan jumlah mikroorganisme tanah sebesar 49 x 106 SPK/g, dengan respirasi 14.7 mg

C-CO2/kg tanah/hari. Nilai ini lebih besar bila dibandingkan dengan tegakan A. crassicarpa yaitu jumlah mikroorganisme tanahnya hanya 4.9 x 106 SPK/g (Aprianis 2011). Dari data ini dapat diketahui bahwa jabon yang memiliki konstanta laju dekomposisi lebih besar dari jenis A. crassicarpa ternyata berhubungan dengan jumlah mikroorganisme yang lebih besar pula jika dibandingkan dengan jumlah mikroorganisme pada tegakan A. crassicarpa.

Whitmore (1984) mengemukakan peran makrofauna sebagai organisme penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah menjadi partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan akibatnya penguraian serasah oleh bakteri dan fungi menjadi lebih mudah. Dari data yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai bobot basah cacing tanah pada tegakan jabon diketahui bahwa bobot basah cacing yang besar diduga pula mempengaruhi kecepatan dekomposisi serasah jabon.

Faktor dominan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim. Efek terhadap jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan ditentukan oleh sifat fisik dan kimia daun, yang keduanya tercermin dalam C/N rasio (Thaiutsa dan Granger 1979). Menurut Sutedjo et al. (1991), proses dekomposisi bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara. Kondisi iklim kota bogor dimana tegakan jabon berada dimana rata-rata suhu mingguan berkisar antara 24.7 ºC-26.8 ºC, memiliki curah hujan mingguan yang tinggi pula yaitu mencapai 259.6 mm, serta kelembaban relatif hingga 91% turut mendukung kondisi yang baik dalam proses dekomposisi serasah jabon.

Jumlah hara yang dilepaskan selama proses dekomposisi dihitung berdasarkan rasio dari konsentrasi hara saat pengambilan contoh yang dikoreksi dengan berat kering (pada waktu t) dibanding dengan konsentrasi serasah saat mulai penelitian dan dinyatakan dalam persen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui unsur Mg memiliki persentase pelepasan hara serasah terbesar. Magnesium diketahui merupakan material organik yang termasuk kation mudah bergerak di dalam cairan sel, sehingga mudah tercuci (Zaharah dan Bah 1999). Adapun jumlah hara yang dilepaskan selama proses dekomposisi selama 12 minggu disajikan dalam Gambar 9 .

(34)

23 Gambar 9 Persentase pelepasan hara serasah selama proses dekomposisi

(12 minggu)

Gambar 10 Bagan analisis hubungan langsung dan tidak langsung dari beberapa faktor yang mempengaruhi nilai konstanta laju dekomposisi (k). Garis tebal menunjukkan pengaruh positif, dan garis putus-putus menunjukkan pengaruh negatif (Zhang 2008)

Zhang et al. (2008) membandingkan dengan berbagai studi mengenai dekomposisi serasah pada lokasi yang berskala besar sehingga membuat suatu analisis mengenai hubungan langsung dan tidak langsung terhadap lima variabel penting yaitu ketinggian, rata-rata temperatur tahunan, rata-rata curah hujan tahunan, rasio C : N, dan kandungan hara serasah. Hubungan antara berbagai faktor ini disajikan dalam Gambar 10. Dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi (k) akan cenderung menurun akibat ketinggian dan kandungan lignin, namun akan meningkat dengan suhu atau temperatur, curah hujan, dan kandungan hara. Disebutkan pula bahwa faktor ikilm dan kualitas serasah merupakan komponen penting yang berpengaruh secara langsung dalam dekomposisi serasah pada area dengan skala yang besar.

(35)

24

Tabel 5 Rata-rata produksi serasah dan laju dekomposisi beberapa jenis tanaman tropis (O’Connell dan Sankaran 1997; De Costa & Atapattu 2001)

Jenis Umur Lokasi Produksi Serasah

(ton ha-1)

Umur Lokasi Konstanta Dekomposisi

k (yr-1)

Waktu Paruh t 50%

(hari)

Rata-rata Selang Rata-Rata Selang

Eucalyptus sp. 2-27 India,Congo,Puerto Rico, New South Wales (Australia)

8.2 0.8-21.6 2-40 Congo,Ethiopia,

New South Wales (Australia), India

0.90 0.38-1.5 260

Pinus sp. 7-31 Nigeria, Puerto Rico, Indonesia, Louisiana Utara (USA), India

14.5 10.5-21 7-57 Poerto Rico, North

Lousiana (USA), India

0.88 0.38-1.5 266

Tectona grandis 15-56 India 7.7 5.5-12.1 25-57 India 1.62 1.21-2.0 144

Acacia sp. 4-11 India, Malaysia,

Congo

7.7 3.0-14.8 4-11 India, Malaysia,

Congo

1.04 0.72-1.4 225

Leucaena leucocephala

4-8 Puerto Rico, India 8.1 6.5-12.3 2-8 India 6.24 0.11-0.89 38

Anthocephalus cadamba

(36)

25

Tabel 6 Akumulasi nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium dari serasah pada beberapa tanaman tropis (O’Connell dan Sankaran 1997)

Jenis Umur Lokasi N

(kg ha-1)

P (kg ha-1)

K (kg ha-1)

Ca (kg ha-1)

Mg (kg ha-1)

Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang

Eucalyptus sp. 4-75 Australia, India, Puerto Rico

81.6 22-222.5 5.5 2-18.7 18.6 4-34.6 91 18-206.6 16.3 1-42.3

Pinus sp. 7-26 Nigeria, Puerto Rico, Indonesia, Louisiana Utara (USA), India

154.9 59.9-276.9

18.5 2.3-38.3 36.4 3.5-55.4 82.2 66.6-113.7

29.4 4.1-40.7

Leucaena leucocephala

4-8 India 227.7

147.5-297.9

17.7 11.6-23.7 40.3 25.1-55.4 80.7 57-104.4 12.2 7.8-16.6

Acacia nilotica 4-8 India 96.8 85-108.6 5.7 4.8-6.5 14.1 11.4-16.8 31.6 27.2-35.9 5.9 5.0-6.7

Casuarina equisetifolia

6-34 Senegal 661.2 245-1567 4.1 1.7-9.5 11.4 5.5-12.9 120.5 56-276 31.6 13.1-63.8

Anthocephalus cadamba

(37)

26

Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon

Kompos Daun Jabon

Kematangan suatu kompos ditunjukan dengan penurunan volume adonan kompos, perubahan warna menjadi kehitaman, berbentuk remah, bentuk awal sudah melapuk, tumpukan adonan kompos mendekati suhu ruangan bila diraba, dan tidak berbau (Murbandono 1994). Kompos jabon yang telah matang ditunjukan pada Gambar 11. Setelah kondisi kompos daun jabon menunjukan tanta-tanda kematangan, maka kompos tersebut dianalisa kandungan haranya. Adapun kandungan hara dari kompos daun jabon disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan hara serasah daun segar dan kompos jabon

Parameter Daun Segar Kompos

N (%) 2.01 0.86

P (%) 0.38 0.24

K (%) 0.95 0.21

Ca (%) 2.06 0.65

Mg (%) 1.31 0.29

C-organik (%) 40 10.86

Rasio C/N 20 13

Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai C/N tanah. Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Pada dasarnya prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan rasio C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik, maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberpa tahun tergantung bahan dasar. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan oleh tanaman (Setyorini et al. 2006; Hanafiah 2005).

Gambar 11 Kompos daun jabon selama pengomposan 3 bulan

(38)

27 mineralisasi dan immobilisasi N akan seimbang. Pada awal dekomposisi, N tersedia yang ada segera diimmobilisasikan ke dalam sel-sel mikroba untuk memperbanyak diri, kemudian dengan meningkatnya aktivitas mikroba mineralisasi N juga meningkat tetapi selaras dengan kebutuhan N untuk perbanyakan mikroba tersebut. Pada tahap akhir, selaras dengan menipisnya cadangan bahan organik yang mudah dirombak, sebagian mikroba mati dan N penyusun sel-sel mikroba tersebut segera mengalami mineralisasi melepaskan N dan hara-hara lain, sehingga ketersediaan N meningkat apabila rasio C/N di bawah 30 (Hanafiah 2005).

Uji kandungan hara yang dilakukan pada serasah daun jabon segar dan kompos daun jabon, nampak bahwa selama proses pengomposan terjadi pelepasan unsur hara dan penurunan C/N rasio. C/N rasio pada kompos daun jabon mencapai 13, dimana nilai ini mendekati C/N rasio tanah, sehingga ketika kompos ini diaplikasikan ke tanaman dapat digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman. Adanya penurunan rasio C/N dan pelepasan hara, dikarenakan proses pengomposan bahan segar yang dikomposkan mengalami beberapa penguraian seperti: (1) penguraian hidrat arang, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air; (2) terjadinya penguraian amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak; (3) adanya pengikatan beberapa jenis unsur hara di dalam tubuh jasad-jasad renik, terutama N disamping P, K dan lain-lain yang akan terlepas kembali bila jasad renik itu mati; dan (4) adanya pembebasan unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang tersedia bagi tumbuh-tumbuhan (Murbandono 1994). Menurut Hanafiah (2005) C/N rasio dapat mengendalikan nitrifikasi dan nitrat dalam tanah melalui pengaruh selektifnya terhadap jasad renik. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah sampai stabil umumnya mempunyai nilai C/N sekitar 10. Berdasarkan hasil uji kompos, kandungan unsur N pada kompos daun jabon memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan unsur P, K, Ca, dan Mg. Unsur N berperan sebagai penyususn semua protein, klorofil dan asam-asam nukleat, serta berperan penting dalam pembentukan koenzim (Hanafiah 2005), sehingga semai jabon yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan kompos daun jabon menunjukkan pertumbuhan yang baik.

Pertumbuhan Semai Jabon

Beberapa parameter yang diamati dalam pertumbuhan semai jabon yang telah diberi perlakuan kompos diantaranya adalah pertumbuhan tinggi tanaman, pertumbuhan diameter tanaman, dan pengukuran berat kering.

(39)

28 Tabel 8 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon

Parameter Anova

F Hitung P

Pertambahan tinggi (cm) 14.31 0.0001

Pertambahan diameter (cm) 11.94 0.0002

Laju pertumbuhan diameter (cm cm-1 minggu-1) 4.29 0.0219

Laju pertumbuhan tinggi (cm cm-1 minggu-1) 6.15 0.0055

Biomassa total (g) 24.29 < 0.0001

Biomassa pucuk (g) 20.16 < 0.0001

Biomassa akar 9.20 0.0009

Rasio pucuk akar 2.04 0.159

Keterangan: p>0,05: tidak nyata; p<0,05: nyata, pada selang kepercayaan 95%

a. Tinggi dan Diameter

Pertumbuhan diameter dan tinggi semai jabon selama 10 minggu dapat dilihat melalui Gambar 12 dan Gambar 13. Dari tren penambahan diameter dan tinggi setiap minggunya terlihat perlakuan kompos 30% lebih unggul dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Gambar 12 Pertumbuhan diameter semai jabon

(40)

29

Gambar 13 Pertumbuhan tinggi semai jabon

Adapun uji lanjut Duncan untuk parameter tinggi dan diameter disajikan dalam Tabel 9 dan 10.

Tabel 9 Uji lanjut Duncan pertambahan tinggi semai jabon

Perlakuan Rata-rata (cm)

Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 7.40 a 69

Kompos 20% 5.89 b 34

Kompos 10% 5.31 b c 21

Tanpa Kompos 4.38 c 0

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Tabel 10 Uji lanjut Duncan pertambahan diameter semai jabon

Perlakuan Rata-rata (cm) Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 0.43 a 72

Kompos 20% 0.35 b 40

Kompos 10% 0.28 c 12

Tanpa Kompos 0.25 c 0

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.

(41)

30

b. Laju Pertumbuhan Relatif Diameter dan Tinggi Tanaman

Melalui formula Hunt (1990), kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan menghitung pertambahan tinggi dan diameter tanaman. Percobaan yang dilakukan selama 10 minggu menunjukan bahwa setiap minggunya, laju pertumbuhan relatif diameter tanaman pada perlakuan yang diberikan kompos 30% lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan pemberian tanpa kompos, yaitu sebesar 0.068 cm cm-1 minggu-1 (Tabel 11 ). Laju pertumbuhan relatif tinggi tanaman, menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan yang diberikan kompos dan tanpa diberikan kompos, yaitu pada pemberian kompos sebanyak 30% besarnya laju pertumbuhan relatif tinggi tanaman adalah 0.033 cm cm-1 minggu-1.

Tabel 11 Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan tinggi semai jabon

Perlakuan Rata-rata (cm cm-1 minggu-1)

Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 0.033 a 50

Kompos 20% 0.029 a 31.82

Kompos 10% 0.028 a 27.27

Tanpa Kompos 0.022 b 0

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Kecepatan pertumbuhan relatif tinggi tanaman merupakan akibat pertumbuhan tunas muda, umumnya dipusatkan pada bagian apeks (ujung) yang terdapat tunas terminal (terminal bud). Pertumbuhan yang lebih tinggi pada dominansi apikal merupakan suatu adaptasi evolusioner untuk meningkatkan pemaparan terhadap cahaya matahari utamanya pada habitat yang sesuai atau lokasi yang padat (Campbell et al. 2003).

Tabel 12 Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan diameter semai jabon

Perlakuan Rata-rata (cm cm-1 minggu-1)

Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 0.068 a 44.68

Kompos 20% 0.064 a 36.17

Kompos 10% 0.051 b c 23.08

Tanpa Kompos 0.047 c 0

(42)

31 Pada pertumbuhan relatif diameter batang tanaman nampak lebih besar daripada laju pertumbuhan relatif tinggi. Hal ini menunjukkan adanya upaya adaptasi pada kondisi lingkungan yang ekstrim. Salah satu strategi yang dilakukan dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungannya, dalam hal ini media tanam yang miskin hara dan sangat liat adalah dengan memperbesar diameter batang. Perluasan sel meristem pada batang tanaman dikendalikan oleh sifat plastis dan elastis dari dinding sel. Pemecahan material dinding sel terjadi setelah sel sudah mencapai ukuran tertentu sehingga dinding sel menjadi lebih tebal. Penebalan dinding sel berdampak pada proses peningkatan ukuran diameter batang (Campbell et al . 2003).

c. Biomassa Semai Jabon

Uji lanjut Duncan pada parameter biomassa total dan pucuk ditunjukkan pada Tabel 13 dan Tabel 14.

Tabel 13 Uji lanjut Duncan biomassa total semai jabon

Perlakuan Rata-rata (g) Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 16.23 a 193

Kompos 20% 11.86 b 114

Kompos 10% 10.56 b 91

Tanpa Kompos 5.53 c 0

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Tabel 14 Uji lanjut Duncan biomassa pucuk semai jabon

Perlakuan Rata-rata (g) Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 8.58 a 283

Kompos 20% 5.89b 163

Kompos 10% 4.83 b 116

Tanpa Kompos 2.24 c 0

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.

(43)

32

Gambar 14 Perlakuan tanpa pemberian kompos (a), kompos 10% (b), kompos 20% (c), kompos 30% (d)

Tabel 15 Uji lanjut Duncan biomassa akar semai jabon

Perlakuan Rata-rata (g) Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%)

Kompos 30% 7.66 a 133

Kompos 20% 5.97 a b 81

Kompos 10% 5.73 b 74

Tanpa Kompos 3.29 c 0

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Pada uji lanjut biomassa akar (Tabel 15) nampak perlakuan yang diberikan kompos memiliki pengaruh nyata dengan perlakuan yang tidak diberi kompos. Tabel 16 Rasio pucuk akar semai jabon

Perlakuan Rata-rata (g)

Kompos 30% 1.13

Kompos 20% 1.03

Kompos 10% 0.89

Tanpa Kompos 0.71

Pada perhitungan rasio pucuk akar (Tabel 16) diketahui tidak menunjukkan nilai beda nyata pada selang kepercayaan 95%. Namun dari perhitungan rata-rata maka dapat diketahui nilai yang menunjukkan perlakuan pemberian kompos sebanyak 30% dan 20% memiliki nilai rasio pucuk akar yang seimbang. Tanaman yang memiliki nilai nisbah pucuk akar tinggi dengan biomassa total yang besar secara tidak langsung menunjukkan bahwa akar relatif sedikit, cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang relatif besar dalam penyediaan air dan unsur hara. Jika tanaman berada pada kondisi kekurangan unsur hara dan air, tanaman membentuk akar lebih banyak yang ditujukan untuk

c d

Gambar

Gambar 1 Diagram siklus hara
Gambar 3 Kantong serasah
Gambar 5 Diagram alir penelitian
Tabel 2 Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bibit jabon yang diberi pupuk daun organik Saputra menunjukkan pertumbuhan yang paling baik (tinggi bibit, diameter batang, berat basah/kering pucuk dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur laju dekomposisi serasah daun B.gymnorrhiza pada berbagai tingkat salinitas dan mendeteksi kandungan unsur hara C, N,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur laju dekomposisi dan kandungan unsur hara karbon (C), nitrogen (N) dan fosfor (P) yang terdapat pada serasah daun

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur laju dekomposisi serasah daun B.gymnorrhiza pada berbagai tingkat salinitas dan mendeteksi kandungan unsur hara C, N,

Keadaan ini menunjukkan bahwa pada waktu pengamatan bulan ke-5, ke-6 dan ke-7 umur 3 tahun lebih tinggi menyumbangkan bahan organik berupa serasah ke lantai hutan bila

maka dilakukan penelitian mengenai Laju dekomposisi serasah daun Ceriops tagal pada berbagai tingkat salinitas dan kandungan unsur hara karbon, nitrogen, fosfor di Kampung

Penelitian ini bertujuan mengetahui kandungan unsur hara tanah, produksi, dan laju dekomposisi serasah daun serta keragaman makrofauna tanah pada HTI nyawai di tiga kelas umur

Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk menguji aplikasi pupuk organik cair dalam meningkatkan pertumbuhan Bibit Jabon, (2) mengetahui pengaruh dengan dosis yang