BIOEKOLOGI HAMA
Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) PADA TANAMAN JABON
(
Anthocephalus cadamba
Miq.)
SELVI CHELYA SUSANTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioekologi Hama
Arthroschista hilaralis (Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Selvi Chelya Susanty
RINGKASAN
SELVI CHELYA SUSANTY. Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh NOOR FARIKHAH HANEDA dan IRDIKA MANSUR.
Arthroschista hilaralis merupakan hama defoliator yang banyak menyerang tanaman jabon dengan tingkat kerusakan yang tinggi. Informasi mengenai aspek biologi dan ekologi A. hilaralis diperlukan dalam menentukan strategi pengelolaan hama yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dan neraca kehidupannya, serta aspek ekologi A. hilaralis terkait serangannya pada tanaman jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda.
Penelitian biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dilakukan dengan mengamati setiap tahap perkembangan hidup A. hilaralis, meliputi waktu yang diperlukan dan ukuran tubuh pada setiap stadium. Penelitian neraca kehidupan dilakukan dengan mencatat mortalitas individu A. hilaralis dan keperidian setiap individu imago setiap harinya. Data mortalitas dan keperidian A. hilaralis
dimasukkan ke dalam tabel neraca kehidupan yang kemudian digunakan untuk menghitung parameter pertumbuhan populasi A. hilaralis, meliputi laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), rataan masa generasi (T), dan laju pertumbuhan instrinsik (r). Penelitian ekologi A. hilaralis dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap serangan A. hilaralis di tegakan Jabon pada umur tanaman 0.5; 1.0 dan 1.5 tahun, serta pada tegakan jabon yang berada di dataran rendah dan dataran tinggi, kemudian dilakukan perhitungan persentase serangan (K) dan intensitas serangan (IS) hama A. hilaralis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siklus hidup A. hilaralis pada tanaman jabon memerlukan waktu 25.1 hari, dengan lama stadium telur 2.7 hari; larva 12.6 hari, pupa 6.9 hari dan masa praoviposisi imago 2.9 hari. GRR A. hilaralis
adalah 141 individu/generasi, Ro sebesar 70 individu/induk/generasi, T selama 23.5 hari, dan r sebesar 0.18 individu/induk/hari. Tindakan pengelolaan hama secara berkala sangat diperlukan dalam mengontrol perkembangan hama ini, karena tingginya tingkat perkembangan dan cepatnya laju pertumbuhan
A. hilaralis. Persentase serangan A. hilaralis pada umur tanaman jabon 0.5; 1.0 dan 1.5 tidak berbeda nyata, sedangkan intensitas serangan A. hilaralis pada umur tanam 1.5 tahun berbeda nyata dengan umur tanam 0.5 dan 1 tahun. Sementara itu serangan A. hilaralis pada tegakan jabon di dataran rendah dan dataran tinggi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hama
A. hilaralis bersifat kosmopolit, oleh karena itu tindakan pengelolaan hama
A. hilaralis perlu dilakukan pada tegakan jabon baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi, dan tidak hanya pada saat awal penanaman namun juga saat tegakan jabon telah berumur dewasa. Beberapa parasitoid yang ditemukan menyerang hama A. hilaralis yaitu Phanerotoma sp., Chelonus sp., Apenteles sp.,
Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp.
SUMMARY
SELVI CHELYA SUSANTY. Bioecology of Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae)on Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Supervised by NOOR FARIKHAH HANEDA and IRDIKA MANSUR.
Arthroschista hilaralis is a defoliator of Anthocephalus cadamba with a high level of damage. The information about bioecology of A. hilaralis is needed to determine the appropriate pest management strategies. The aim of this study is to review the biology (life cycle and life table) and ecology of A. hilaralis
(attack of A. hilaralis on jabon in different plantation age and altitude).
The study of life cycle was conducted by observing the development of life stage A. hilaralis, such as time of life cycle and body size. The study of life table was conducted by calculating the mortality of A. hilaralis individual and the number of offspring hatched by individuals at each age. There are some terms used to calculated the parameters of population growth like gross reproductive rate (GRR), net reproductive rate (Ro), mean generation time (T), individual per female per day (r). The ecology research of A. hilaralis has been done by observing attacks of A. hilaralis on jabon stands at the planting age 0.5; 1.0 and 1.5 years, as well as in the jabon stands in the lowlands and highlands, then calculate the percentage of damage level (K) and pest incidence level (IS) of A. hilaralis.
The results show that life cycle of A. hilaralis is about 25.1 days, while egg stadium is 2.7 days, larvae 12.6 days, pupae 6.9 days and praoviposisi of adult 2.9 days. Life table of A. hilaralis show that GRR of A. hilaralis on jabon is 141 individual per generation, Ro revealed 70 individual per female per generation, T is 23.5 days, and the innate capacity for increase (r) 0.18 individual per female per day. Periodic pest management is needed in the development of pest control, due to the high level of development and the rapid rate of growth of A. hilaralis. Percentage of damage level of A. hilaralis on jabon at the planting age of 0.5, 1, and 1.5 is not significantly different, whereas pest insidence level of A. hilaralis at planting age 1.5 years was significantly different than the planting ages 0.5 and 1 year. Percentage of damage level and pest incidence level of A. hilaralis on Jabon stands in the lowlands and highlands showed no pronounce differences. This mean that the A. hilaralis are cosmopolitan, therefore pest management actions
A. hilaralis needs to be done on both jabon stands in lowland and upland, and not just at the beginning of planting but also when standing jabon have grown old. The parasitoid in A. hilaralis are Phanerotoma sp., Chelonus sp., Apenteles sp.,
Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika
BIOEKOLOGI HAMA
Arthroschista hilaralis
(Lepidoptera: Pyralidae) PADA TANAMAN JABON
(
Anthocephalus cadamba
Miq.)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
Judul Tesis : Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis (Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
Nama : Selvi Chelya Susanty NIM : E451110071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS Ketua
Dr Ir Irdika Mansur, MForSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 3 Februari 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah Hama, dengan judul Bioekologi Hama Arthroschista hilaralis (Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS dan Bapak Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si yang telah banyak memberi saran. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Beasiswa Unggulan dari DIKTI serta kepada Dr Akhmad Rizali, SPMSi atas saran yang diberikan dalam penulisan hasil penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, seluruh keluarga, dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE 3
Waktu dan Tempat 3
Alat dan Bahan 3
Metode Penelitian 3
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Biologi Arthroschista hilaralis 7
Ekologi Arthroschista hilaralis 20
Parasitoid pada Arthroschista hilaralis 22
4 SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 29
DAFTAR TABEL
1 Neraca kehidupan 5
2 Kriteria klasifikasi intensitas serangan hama 7 3 Rata-rata lama stadia dan ukuran pada setiap tahap perkembangan
hidup Arthroschista hilaralis 8
4 Perbedaan stadium pradewasa dan lama hidup Arthroschista hilaralis
di Malaysia, India, dan Indonesia 10
5 Perbedaan ukuran tubuh Arthroschista hilaralis di India dan Indonesia 17 6 Parameter demografi Arthroschista hilaralis 18 7 Persentase serangan (%) Arthroschista hilaralis pada tanaman jabon
berumur 0.5; 1.0; dan 1.5 tahun 20
8 Intensitas serangan Arthroschista hilaralis pada tanaman jabon berumur
0.5;1.0; 1.5 tahun 20
DAFTAR GAMBAR
1 Plot pengamatan pada setiap lokasi penelitian (Seo 2013) 6 2 Ukuran telur Arthroschista hilaralis: a) panjang; b) lebar 9 3 Telur Arthroschista hilaralis : a) awal peletakan; b) siap menetas 9 4 Proses ganti kulit Arthroschista hilaralis: a) sebelum ganti kulit; b)
eksuvia; c) setelah ganti kulit 10
5 Larva Arthroschista hilaralis instar I 11
6 Larva Arthroschista hilaralis instar II 11
7 Larva Arthroschista hilaralis instar III 12
8 Larva Arthroschista hilaralis instar IV 12
9 Larva Arthroschista hilaralis instar V 12
10 Sebaran panjang tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V 13 11 Sebaran lebar tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V 13 12 Kerusakan tanaman jabon akibat serangan A. hilaralis: a) kerusakan
pada daun; b) penampakan kerusakan pada pohon 14 13 Pupa Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina 15 14 Pupa Arthroschista hilaralis: a) awal berwarna coklat muda; b) siap
menjadi imago berwarna coklat tua kehijauan 15
15 Imago Arthroschista hilaralis 16
16 Ujung abdomen imago Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina 16
17 Kurva kesintasan Arthroschista hilaralis 17
18 Persentase serangan dan intensitas serangan Arthroschista hilaralis
pada tegakan jabon di dataran rendah dan dataran tinggi 21 19 Parasitoid larva Arthroschista hilaralis: Phanerotoma sp. 22 20 Parasitoid telur-larva Arthroschista hilaralis: Chelonus sp. 23 21 Parasitoid larva Arthroschista hilaralis: Apanteles sp. 24 22 Parasitoid larva-pupa Arthochista hilaralis: a). Tetrastichus sp.;
b). pupa inang yang terserang Tetrastichus sp. 24 23 Parasitoid larva Arthochista hilaralis: a) Ooencyrtus sp.; b) larva inang
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan hutan tropis yang luas, dan merupakan negara anggota International Tropical Timber Organization (ITTO) penghasil kayu terbesar di dunia. Meski demikian, jumlah pasokan kayu Indonesia belum dapat memenuhi permintaan kayu dalam negeri. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut, Indonesia mengimpor kayu dari negara lain seperti Cina, Jepang, Malaysia dan lainnya (ITTO 2011). Berdasarkan data kebutuhan kayu nasional, tercatat bahwa pada tahun 2009 produksi kayu bulat Indonesia sebesar 31.980.000 m3 dan impor kayu bulat mencapai 79.833 m3 (Mansur dan Tuheteru 2010). Deforestasi yang terjadi pada hutan alam mengakibatkan pasokan kayu yang berasal dari hutan alam semakin menurun, sehingga pemenuhan kayu saat ini pun bergantung kepada Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat.
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan salah satu jenis tanaman asli Indonesia yang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat, memiliki batang yang lurus dan silindris. Selain itu tanaman ini memiliki kemampuan beradaptasi yang luas dan relatif tahan terhadap serangan hama penyakit. Kayu jabon dapat digunakan untuk lapisan depan dan belakang kayu lapis, bahan konstruksi, bahan baku papan partikel atau bubur kertas, dan lainnya (Mulyana dan Fahmi 2011).
Saat ini jabon tidak hanya dikembangkan di Jawa tetapi juga telah dikembangkan Kalimantan Timur dan Sumatera (Junaedi dan Pribadi 2011). Tanaman jabon tengah dikembangkan oleh masyarakat baik pada kawasan rehabilitasi, HTI, maupun pada hutan rakyat. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki tanaman jabon diharapkan tanaman ini dapat menjadi salah satu tanaman alternatif dari tanaman sengon yang saat ini banyak terserang penyakit karat puru. Serangan karat puru pada sengon menyebabkan seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh puru, tanaman menjadi mengering dan menyebabkan kematian.
Penanaman jabon secara monokultur dalam skala luas berpeluang menjadikan jabon rentan akan serangan hama. Beberapa hama defoliator yang menyerang jabon di HTI dan hutan rakyat Riau antara lain Arthroschista hilaralis,
Cosmoleptrus sumatranus, Coptotermes, ulat kantong (Pychidae) dan Dysdercus cingulatus (Pribadi 2010).
A. hilaralis merupakan salah satu hama defoliator yang banyak menyerang tanaman Jabon. Hama ini menjadi hama dominan dan menyebabkan kerusakan yang tinggi pada tanaman jabon di Riau dan Kalimantan Timur (Nair 2000; Pribadi 2010). Serangan A. hilaralis dapat memperlambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan terjadinya dieback (mati pucuk) dan terbentuknya cabang epikormik (Nair 2007). Pada puncak musim kering serangan A. hilaralis menjadi lebih tinggi dibandingkan pada pertengahan musim kering (Junaedi dan Pribadi 2011).
2
strategi pengelolaan hama A. hilaralis yang tepat. Informasi terkait ekologi
A. hilaralis seperti serangan A. hilaralis pada umur tanaman dan altitude berbeda diperlukan dalam pengambilan keputusan silvikultur yang akan dilakukan.
Perumusan Masalah
Jabon merupakan salah satu tanaman kehutanan yang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat. Tanaman ini dapat dipanen secara komersial pada umur 5-6 tahun. Tanaman jabon memiliki batang yang silindris dan dapat digunakan untuk pembuatan kayu lapis, bahan konstruksi, bahan baku papan partikel atau bubur kertas dan lainnya.
Jabon memiliki kemampuan adaptasi yang luas. Meskipun tanaman ini optimal tumbuh pada ketinggian kurang dari 500 m dpl (Mansur 2012), namun tanaman ini memiliki tingkat toleransi pada ketinggian 0-1000 m dpl. Selain itu tanaman ini memiliki daerah penyebaran alami di seluruh wilayah Indonesia (Mansur dan Tuheteru 2010). Penanaman jabon saat ini telah banyak dilakukan baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi.
Penanaman jenis pohon secara monokultur rawan terhadap serangan hama dan penyakit. A. hilaralis merupakan hama defoliator yang pada saat ini banyak menyerang tanaman jabon. Dilaporkan bahwa di Riau hama ini menjadi hama dominan yang menyerang tanaman jabon dengan tingkat kerusakan yang tinggi yaitu sebesar 63% (Pribadi 2010). Hama ini juga pernah menyerang jabon di Kalimantan Timur dan menyebabkan kerusakan yang serius (Nair 2000).
Serangan A. hilaralis jarang menyebabkan kematian tanaman, namun serangan hama ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Serangan
A. hilaralis mempengaruhi pertumbuhan jabon sebesar 46% pada tegakan jabon berumur 2 tahun (Junaedi dan Pribadi 2011). A. hilaralis yang menyerang daun akan mengganggu proses fotosintesis sehingga akan menghambat pertumbuhan tanaman.
Penelitian mengenai A. hilaralis belum banyak di lakukan di Indonesia. Informasi mengenai aspek biologi dan ekologi A. hilaralis diperlukan dalam upaya pengelolaan hama tersebut. Informasi mengenai aspek biologi seperti siklus hidup dan neraca kehidupan diperlukan sebagai dasar dalam menentukan strategi pengelolaan yang tepat. Informasi siklus hidup dapat digunakan untuk mengetahui waktu yang tepat dalam melakukan pengendalian sedangkan informasi mengenai neraca kehidupan dapat digunakan untuk mengetahui laju perkembangan dari populasi hama tersebut. Informasi ekologi A. hilaralis terkait serangan pada berbagai umur tanaman dan altitude berbeda dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan silvikultur yang dilakukan.
Atas dasar uraian di atas, maka penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana aspek biologi dari A. hilaralis, terkait siklus hidup dan neraca kehidupannya?
3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah :
1. Mengkaji aspek biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dan neraca kehidupan. 2. Mengkaji aspek ekologi A. hilaralis terkait serangan A. hilaralis pada tegakan
jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan informasi mengenai aspek biologi A. hilaralis mencakup siklus hidup dan neraca kehidupan yang dapat digunakan dalam menentukan strategi pengelolaan hama yang tepat.
2. Memberikan informasi mengenai aspek ekologi A. hilaralis terkait serangan pada tanaman jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan silvikultur yang dilakukan.
2
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Hutan Rakyat tanaman jabon yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012 hingga Juni 2013.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu wadah plastik, kurungan imago, kuas, mikroskop stereo, kamera mikroskop optilab, tally sheet, meteran, dan pita penanda pohon. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu serangga uji A. hilaralis, daun jabon (A. cadamba), kertas tisu, kapas dan cairan madu 10% yang digunakan sebagai bahan makanan bagi imago.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua bagian, yaitu penelitian mengenai aspek biologi dan penelitian menganai aspek ekologi A. hilaralis. Penelitian aspek biologi A. hilaralis terkait siklus hidup dan neraca kehidupan dilakukan di laboratorium dan analisis data dilakukan secara deskriptif. Penelitian mengenai aspek ekologi dari A. hilaralis terkait persentase serangan dan intensitas serangan
4
membandingkan serangan pada ketiga umur tanaman, dan uji Independent Sample t Test untuk membandingkan serangan pada altitude berbeda.
Biologi A. hilaralis
Penelitian mengenai aspek biologi A. hilaralis meliputi kegiatan persiapan serangga, pengamatan siklus hidup, pengamatan neraca kehidupan dan pengolahan data.
Persiapan Serangga
Larva A. hilaralis yang ditemukan pada tanaman jabon di lapang diambil beserta daun yang terserang kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik untuk dibawa ke laboratorium. Larva yang telah diperoleh dari lapang dipelihara dengan diberi pakan daun jabon yang masih segar dan diganti setiap hari. Imago yang dihasilkan dari pemeliharaan di laboratorium dimasukkan dalam kurungan tersendiri. Imago diberi makan larutan madu 10% yang diserapkan pada kapas yang digantung di dalam kurungan. Di dalam kurungan tersebut juga diletakkan daun jabon sebagai tempat bertelur bagi imago betina. Telur-telur yang berumur sama dikumpulkan dan diletakkan dalam wadah plastik yang dilapisi tisu lembab. Telur- telur tersebut digunakan dalam memulai penelitian siklus hidup.
Siklus Hidup
Telur. Telur imago yang memiliki umur yang sama dipindahkan ke dalam satu wadah plastik yang telah diberi alas tisu lembab. Stadium telur diamati sejak telur diletakkan sampai menetas menjadi larva instar I. Pengamatan dilakukan terhadap bentuk, warna, diameter, dan lama stadium telur. Pengukuran diameter dilakukan pada bagian terpanjang dan terlebar. Pengamatan dilakukan sebanyak 30 ulangan.
Larva. Sebanyak 30 larva yang baru keluar dari telur diletakkan satu per satu dalam wadah plastik. Stadium larva diamati mulai dari instar pertama sampai instar terakhir. Pengamatan larva meliputi warna tubuh, panjang dan lebar tubuh, serta lama stadium larva tiap instar.
Pengukuran panjang tubuh larva diukur dari ujung kepala sampai ujung abdomen terakhir, sedangkan lebar tubuh diukur dari lebar maksimum thoraks. Pengukuran panjang kepala larva diukur dari ujung kepala sampai berbatasan dengan thoraks dan lebar kepala diukur dari lebar maksimum kepala larva (Boror et al. 1976). Lama stadium larva tiap instar dihitung sejak keluar dari telur atau ganti kulit hingga terjadi pergantian kulit berikutnya.
Pupa. Pengamatan stadium pupa dilakukan saat pupa terbentuk sampai menjadi imago. Pada pengamatan ini dibedakan antara pupa jantan dan pupa betina. Pengamatan pupa meliputi bentuk, warna, lama stadium pupa, panjang dan lebar pupa yang diukur pada bagian terpanjang dan terlebar.
5
Tabel 1 Neraca kehidupan
x ax lx mx lxmx xlxmx
1
2
kurungan. Pengamatan imago meliputi warna, ukuran, masa praoviposisi dan lama hidup imago. Pengukuran panjang tubuh dan rentang sayap dilakukan langsung setelah imago mati. Siklus hidup A. hilaralis dihitung dari awal stadium telur
A. hilaralis hingga menjadi imago dan mulai meletakan telur. Neraca Kehidupan
Penelitian mengenai neraca kehidupan dimulai dengan menggunakan 30 telur A. hilaralis yang siap menetas, kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan terhadap mortalitas individu A. hilaralis dan keperidian setiap individu imago setiap harinya. Data mortalitas dan keperidian A. hilaralis dimasukkan ke dalam tabel neraca kehidupan.
Keterangan:
x : kelas umur kohort (hari).
ax : jumlah individu yang hidup pada setiap umur pengamatan.
lx : peluang hidup (survivorship) pada setiap kelas umur (l: living, lx= ax/a0).
mx : keperidian spesifik individu- individu pada kelas umur x atau jumlah
anak betina perkapita yang lahir pada kelas x. lxmx : banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x
∑ lxmx :proporsi banyaknya anak dilahirkan oleh semua individu (betina)
sepanjang generasi kohort dan disebut laju reproduksi bersih (R0).
Neraca kehidupan yang berisi data daya bertahan hidup (lx) dan keperidian
spesifik umur (mx) tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menghitung
parameter pertumbuhan populasi. Perhitungan nilai parameter neraca kehidupan dengan menggunakan rumus (Price 1984):
6
Ekologi A. hilaralis
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian aspek ekologi A. hilaralis terkait dengan serangan A. hilaralis pada tegakan jabon dengan umur tanaman dan altitude berbeda meliputi: penentuan lokasi, pembuatan plot pengamatan, perhitungan persentase serangan dan intensitas serangan.
Penentuan Lokasi
Penelitian mengenai serangan A. hilaralis pada tanaman jabon dengan umur tanam dan altitude berbeda dilakukan pada lokasi yang berbeda yang telah ditentukan. Hal tersebut dilakukan karena beragamnya kondisi tegakan jabon yang ditemukan. Penelitian mengenai serangan A. hilaralis pada berbagai umur tanam, dilakukan pada tegakan jabon berumur 0.5; 1.0; dan 1.5 tahun (tinggi tanaman 2.73 m; 6.16 m; dan 6.32 m). Sementara itu untuk mengkaji serangan A. hilaralis
pada altitude berbeda, penelitian dilakukan pada 2 lokasi tegakan jabon yang berada di dataran rendah dan 2 lokasi tegakan jabon yang berada di dataran tinggi yang berada di Kabupaten Bogor (Jawa Barat) dan Pemalang (Jawa Tengah). Lokasi penelitian di dataran rendah berada di Kecamatan Ampel Gading Pemalang (30 m dpl) dan Kecamatan Sukamakmur Bogor (410 m dpl), sedangkan lokasi penelitian di dataran tinggi berada di Kecamatan Megamendung Bogor (900 m dpl) dan Kecamatan Penakir Pemalang (1160 m dpl).
Pembuatan Plot Pengamatan
Pada tiap lokasi penelitian yang telah ditentukan masing-masing dibuat 3 (tiga) plot pengamatan, namun pada lokasi penelitian di Kecamatan Ampel Gading hanya dapat dibuat 2 plot pengamatan karena luasan lahan yang terbatas. Plot pengamatan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran luas plot 0.02 ha, dengan sistem Random Sampling. Dalam setiap plot dilakukan pengamatan terhadap serangan A. hilaralis, kemudian dilakukan perhitungan terhadap persentase serangan dan intensitas serangan.
0.02 ha
Gambar 1 Plot pengamatan pada setiap lokasi penelitian (Seo 2013)
Perhitungan Persentase Serangan (K) dan Intensitas Serangan (IS)
7
K = �
�× 100%
Keterangan:
K : Persentase serangan
n : Jumlah pohon terserang dalam plot N : Jumlah total pohon yang diamati
Intensitas serangan A. hilaralis ditentukan dengan mengamati dan menghitung jumlah daun yang rusak pada setiap pohon kemudian dilakukan penilaian dengan menggunakan teknik skoring berdasarkan kriteria klasifikasi Unterstenhofer (1963).
Tabel 2 Kriteria klasifikasi intensitas serangan hama
Intensitas serangan Tanda Kerusakan pada Tanaman Nilai
Sehat Kerusakan daun < 5% 0
Ringan Kerusakan daun antara 5% - 25% 1 Agak Berat Kerusakan daun antara 26% - 50% 2 Berat Kerusakan daun antara 51% - 75% 3 Sangat Berat Pohon gundul/hampir gundul > 75% 4
Kemudian perhitungan intensitas serangan hama A. hilaralis dilakukan dengan menggunakan rumus:
IS =∑(ni. vi)
N. Z × 100%
Keterangan:
IS : Intensitas Serangan
ni : Jumlah tanaman terserang dengan kategori tertentu vi : Kategori kerusakan
A. hilaralis memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan sayap depan memanjang dan berbentuk segi tiga dengan sayap belakang yang lebar, serta memiliki palpus labialis yang mencuat kedepan seperti moncong. Borror et al. (1976) menjelaskan bahwa famili Pyralidae merupakan famili terbesar ketiga dalam ordo Lepidoptera. Umumnya spesies pada family ini memiliki ukuran tubuh kecil dan agak halus, berwarna tidak menarik, memiliki organ timpanum yang berfungsi sebagai alat pendengaran di abdomen, memiliki sebuah probosisi yang bersisik dan palpus labialis yang mencuat kedepan. Imago aktif pada malam hari dan hampir sebagian besar spesies dari famili ini merupakan hama penting pada tanaman.
8
Siklus Hidup
Tahap perkembangan A. hilaralis terdiri dari stadium telur, larva, pupa, dan imago. Siklus hidup A. hilaralis mulai dari stadium telur hingga masa praoviposisi memerlukan waktu 25.1 hari dengan rata-rata stadium telur 2.7 hari; larva 12.6 hari, pupa 6.9 hari dan masa praoviposisi 2.9 hari. Perkembangan hidup
A. hilaralis disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata lama stadium dan ukuran pada setiap tahap perkembangan hidup Arthroschista hilaralis Total siklus A.hilaralis 25.1
9
Gambar 2 Ukuran telur Arthroschista hilaralis: a) panjang; b) lebar
Gambar 3 Telur Arthroschista hilaralis : a) awal peletakan; b) siap menetas Larva. Larva A. hilaralis memiliki tubuh berbentuk silindris dengan tiga pasang tungkai sejati pada bagian thoraks dan terdapat 4 pasang tungkai semu pada ruas ketiga hingga keenam abdomen. Stadium larva merupakan fase perkembangan terlama dalam siklus hidup A. hilaralis. Rata-rata waktu yang diperlukan A. hilaralis pada stadium ini adalah 12.6 hari dengan kisaran waktu 11-15 hari. Di Sabah (Malaysia) rata-rata waktu yang diperlukan pada stadium larva 12-16 hari sedang di West Bengal (India) 13-15 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa dan Bhandari 1976).
Selama stadium larva A. hilaralis mengalami 4 kali ganti kulit (ekdisis) sehingga terjadi 5 periode instar. Ganti kulit merupakan cara yang dilakukan oleh serangga untuk menanggalkan rangka luarnya (eksoskeleton) agar ukuran tubuhnya dapat menjadi lebih besar (Gullan dan Cranston 2000). Proses ganti kulit dikontrol oleh tiga hormon yaitu PTTH (hormon protorasikotropik), ekdison, dan JH (hormon juvenil). Hormon protorasikotropik dihasilkan oleh sel-sel neurosekretorik dalam otak dan merangsang kelenjar-kelenjar protoraks untuk menghasilkan hormon ekdison yang merangsang apolisis dan mendorong pertumbuhan JH yang dihasilkan oleh sel-sel dalam korpola allata (Hidayat dan Sosromarsono 2003). Hormon JH pada fase pradewasa ini berfungsi untuk
10
menghambat pertumbuhan karakter dewasa sehingga larva mengalami pertumbuhan lebih lanjut dalam bentuk larva.
Tabel 4 Perbedaan stadium pradewasa dan lama hidup Arthroschista hilaralis
di Malaysia, India, dan Indonesia
Fase Sabah
Periode larva 12-16 hari 13-15 hari 11-15 hari Larva instar 1 4 hari 2-3 hari 2-4 hari
** Thapa dan Bhandari (1976)
Larva A. hilaralis yang akan berganti kulit ditandai dengan adanya perubahan warna tubuh yang menjadi lebih suram, selain itu larva menjadi kurang aktif dalam bergerak maupun makan. Larva yang telah selesai ganti kulit akan tetap berdiam diri. Kepala dan tubuh larva akan berwarna lebih terang dan lebih bening dibandingkan dengan sebelumnya (Gambar 4). Beberapa saat setelah larva aktif makan kembali, tubuh larva akan menjadi lebih besar dan integument tubuh menjadi lebih keras. Kulit tubuh larva yang lama biasanya tidak ditemukan karena sering kali dimakan oleh larva itu sendiri.
Gambar 4 Proses ganti kulit Arthroschista hilaralis: a) sebelum ganti kulit; b) eksuvia; c) setelah ganti kulit
11 Instar I. Larva instar I terhitung mulai pada saat telur menetas hingga terjadi pergantian kulit pertama. Instar ini rata-rata berlangsung selama 2.5 hari dengan kisaran 2-4 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar I berlangsung selama 4 hari sedangkan di West Bengal (India) 2-3 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa dan Bhandari 1976). Rata-rata panjang tubuh A. hilaralis pada instar I adalah 2.76 mm dan lebar 0.33 mm dengan rata-rata panjang dan lebar kepala sebesar 0.22 mm dan 0.28 mm (Gambar 5).
Gambar 5 Larva Arthroschista hilaralis instar I
Instar II. Larva instar II rata-rata berlangsung selama 2.2 hari dengan kisaran waktu 2-3 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar II berlangsung selama 2-3 hari sedangkan di West Bengal (India) 2 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa dan Bhandari 1976). Saat instar II rata-rata panjang tubuh A. hilaralis 5.02 mm dan lebar tubuh 0.60 mm. Rata-rata panjang dan lebar kepala mencapai 0.41 mm dan 0.47 mm (Gambar 6).
Gambar 6 Larva Arthroschista hilaralis instar II
Instar III. Larva instar III rata-rata berlangsung selama 2.3 hari dengan kisaran waktu 2-3 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar III berlangsung selama 2-3 hari sedangkan di West Bengal (India) 2 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa dan Bhandari 1976). Rata-rata panjang tubuh A. hilaralis pada instar ini mencapai 8.71 mm dan lebar tubuh 1.00 mm dengan rata-rata panjang dan lebar kepala mencapai 0.73 mm dan 0.82 mm (Gambar 7).
1 mm
12
Gambar 7 Larva Arthroschista hilaralis instar III
Instar IV. Larva instar IV rata-rata berlangsung selama 2.2 hari dengan kisaran waktu 2-3 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar IV berlangsung selama 2-3 hari sedangkan di West Bengal (India) 2 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa dan Bhandari 1976). Pada instar ini rata-rata panjang tubuh larva A. hilaralis
mencapai 14.12 mm dan lebar tubuh 1.62 mm. Rata-rata panjang dan lebar kepala mencapai 1.29 mm dan 1.22 mm (Gambar 8).
Gambar 8 Larva Arthroschista hilaralis instar IV
Instar V. Larva instar V rata-rata berlangsung selama 3.4 hari dengan kisaran waktu 2-5 hari. Di Sabah (Malaysia) larva instar V berlangsung selama 4-6 hari sedangkan di West Bengal (India) 3-4 hari (Tabel 4) (Thapa 1970; Thapa dan Bhandari 1976). Pada instar ini rata-rata panjang tubuh A. hilaralis
20.26 mm dan lebar 2.51 mm. Rata-rata panjang dan lebar kepala mencapai 1.97 mm dan 1.82 mm (Gambar 9).
Gambar 9 Larva Arthroschista hilaralis instar V
1 mm
1 cm
13 Sebaran panjang dan lebar tubuh dari 30 ulangan larva A. hilaralis pada instar I hingga instar V disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 10 Sebaran panjang tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V
Gambar 11 Sebaran lebar tubuh larva Arthroschista hilaralis pada instar I s.d V Stadium larva merupakan fase merusak dari hama A. hilaralis. Pada stadium ini A. hilaralis menyerang dan mengganggu pertumbuhan tanaman jabon. Larva A. hilaralis memakan daun jabon sehingga menggangu proses fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman. Serangan A. hilaralis pada tanaman
14
jabon berumur muda di persemaian dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Larva A. hilaralis memakan daun jabon dari pintalan daun yang dibuatnya.
A. hilaralis memintal daun jabon dengan menggunakan jaring benang sutra yang berasal dari mulutnya. Pintalan daun ini berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi A. hilaralis dari musuh dan keadaan yang tidak menguntungkan. Saat larva instar 1-2 A. hilaralis hanya memakan jaringan epidermis daun, lipatan daun yang dijalin dengan jaring benang sutra tidak begitu rapat (agak terbuka). Saat instar 3-5 A. hilaralis memakan semua bagian daun hingga yang tersisa hanyalah tulang daun, lipatan daun yang dijalin sudah tertutup. Upaya pengendalian hama A. hilaralis yang dilakukan pada saat stadium larva dengan menggunakan insektisida kontak tidak akan efektif, karena larva A. hilaralis berada di dalam lipatan daun. Insektisida sistemik akan lebih efektif dibandingkan dengan insektisida kontak. Insektisida sistemik akan diserap dan diedarkan oleh jaringan tanaman dan dalam beberapa waktu lamanya akan tersimpan dalam jaringan tanaman dalam jumlah tertentu dan aktif sebagai insektisida. Larva A. hilaralis yang memakan daun jabon akan terkena insektisida sistemik, meskipun berada dalam lipatan daun.
Gambar 12 Kerusakan tanaman jabon akibat serangan A. hilaralis: a) kerusakan pada daun; b) penampakan kerusakan pada pohon
Pupa. Pupa A. hilaralis termasuk ke dalam tipe obtekta. Bagian bakal antena, bakal mulut, bakal sayap dan bakal tungkai melekat pada tubuh dan tidak dapat dipisahkan. Pupa A. hilaralis berwarna coklat muda dengan rata-rata panjang 14.50 mm dan lebar 3.01 mm. Perbedaan pupa jantan dan betina ditandai oleh adanya tonjolan pada sternum abdomen ruas terakhir pada pupa betina, sedangkan pada pupa jantan tidak terdapat tonjolan (Gambar 13). Stadium pupa rata-rata berlangsung salama 6.9 hari dengan kisran waktu 6-8 hari (Tabel 3). Di West Bengal (India) periode pupa berlangsung selama 5-7 hari (Tabel 4) (Thapa dan Bhandari 1976). Pupa yang siap menjadi imago dicirikan dengan perubahan warna dari coklat muda menjadi menjadi coklat tua kehijauan (Gambar 14).
15
a j
Gambar 13 Pupa Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina
Gambar 14 Pupa Arthroschista hilaralis: a) awal berwarna coklat muda; b) siap menjadi imago berwarna coklat tua kehijauan
Imago. Imago A. hilaralis berwarna hijau kebiruan dengan warna kuning oranye di sepanjang costa sayap (Gambar 15). Imago jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan pengamatan terhadap 10 pasang imago jantan dan betina, rata-rata panjang tubuh imago jantan mencapai 14.20 mm dengan rentang sayap 27.85 mm, sedangkan panjang tubuh imago betina 13.80 mm dengan rentang sayap 28.30 mm (Tabel 3). Lama hidup imago jantan lebih singkat dari imago betina. Rata-rata lama hidup imago jantan 4.0 hari, sedangkan imago betina 6.9 hari (Tabel 3). Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk ujung abdomennya. Pada imago jantan ujung abdomen ditumbuhi rambut-rambut yang lebat dan berwarna hitam, sedang pada imago betina tidak terdapat rambut-rambut pada ujung abdomen (Gambar 16). Departemen Kehutanan (1994) menjelaskan bahwa jenis kelamin imago pada serangga ordo Lepidoptera dapat dibedakan dari warna sayap, ukuran tubuh, atau melihat langsung alat kelamin serangga tersebut (dari bentuk abdomennya).
a b
a b
1 mm
1 mm
16
Gambar 15 Imago Arthroschista hilaralis
Gambar 16 Ujung abdomen imago Arthroschista hilaralis: a) jantan; b) betina Imago A. hilaralis aktif pada malam hari dan tertarik terhadap cahaya. Imago A. hilaralis meletakan telur pada malam hari pada pintalan benang sutra di permukaan daun yang dibuat oleh larva A. hilaralis. A. hilaralis meletakkan telurnya secara satu per satu atau berkelompok dua atau tiga telur. Masa praoviposisi A. hilaralis rata-rata 2.9 hari (Tabel 3) dengan kisaran waktu 2-4 hari. Rata-rata jumlah telur yang dihasilkan selama hidupnya mencapai 129 butir, sedangkan di West Bengal (India) imago betina A. hilaralis menghasilkan 60-70 butir telur. Perbedaan jumlah keperidian imago tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan kondisi lingkungan atau faktor makanan. Jayaraj (1981) menyatakan bahwa tingkat keperidian ditentukan oleh rangsangan kopulasi, kondisi lingkungan, sifat genetis, dan faktor makanan. Upaya pengendalian
A. hilaralis yang dilakukan pada stadium imago dapat dilakukan secara manual dengan memanfaatkan perilaku imago A. hilaralis yang aktif pada malam hari dan tertarik pada cahaya. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap lampu petromak dan air pada malam hari.
Berdasarkan penelitian ini ditemukan perbedaan dalam siklus hidup
A. hilaralis dengan siklus hidup A. hilaralis di Malaysia (Thapa 1970) dan India (Thapa dan Bhandari 1976) (Tabel 4). Selain perbedaan siklus hidup, juga terdapat perbedaan ukuran tubuh (Thapa dan Bhandari 1976) (Tabel 5).
Perbedaan siklus hidup tiap-tiap jenis serangga ditentukan oleh suhu, nutrisi makanan, kelembaban udara dan sebagainya selama perkembangan serangga (Wigglesworth 1972). Mavi dan Tupper (2004) menjelaskan bahwa pada suhu
a b
17 tinggi aktivitas serangga akan menjadi lebih cepat dan efisien, tetapi lama hidup serangga akan berkurang. Pertumbuhan serangga biasanya lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi (Atmosoedarjo et al. 2000).
Tabel 5 Perbedaan ukuran tubuh Arthroschista hilaralis di India dan Indonesia
Parameter
Ukuran (mm) West Bengal
(India) *
Bogor (Indonesia)
Panjang telur 0.6-0.7 0.34-0.50
Lebar telur 0.4-0.5 0.34-0.47
Panjang larva instar 1 4-6 2.76
Panjang larva instar 2 8-10 5.02
Panjang larva instar 3 16-18 8.71
Panjang larva instar 4 20-22 14.12
Panjang larva instar 5 25-27 20.26
Panjang pupa 15 14.5
Lebar pupa 4.5 3.01
Panjang tubuh Imago 15 14
Sumber: * Thapa dan Bhandari (1976)
Neraca Kehidupan
Neraca kehidupan A. hilaralis digunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan populasi dari A. hilaralis. Berdasarkan perhitungan neraca kehidupan dapat diperoleh informasi berbagai hal mengenai perikehidupan
A. hilaralis, salah satunya kurva kesintasan. Kurva kesintasan (survivorship) menggambarkan peluang individu A. hilaralis yang hidup pada semua stadium mulai dari telur, larva, pupa, dan imago (lx), dan keperidian dari imago betina per hari (mx). Price (1984) menjelaskan bahwa bentuk kurva survivorship ini diperlukan untuk memahami strategi reproduksi populasi dan langkah-langkah dalam penangannya.
Gambar 17 Kurva kesintasan Arthroschista hilaralis
18
yang tinggi seiring dengan bertambahnya umur. Menurut Price (1984) terdapat tiga tipe kurva keberhasilan hidup serangga di alam, yaitu tipe I, II, dan III. Kurva tipe I menggambarkan kematian organisme dalam jumlah sedikit ketika umur muda dan kematian dalam jumlah besar ketika berumur tua, tipe II menggambarkan laju kematian yang konstan, dan tipe III menggambarkan kematian yang lebih besar pada umur muda. Hasil pengamatan dari 30 serangga
A.hilaralis menunjukkan bahwa kurva perkembangan hidup serangga initermasuk tipe I yang memperlihatkan kematian yang tinggi pada umur tua. Morgan et al. (2001) menjelaskan bahwa neraca kehidupan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu spesies, inang, kondisi iklim tempat penelitian, dan metode perbanyakan serangga (rearing) yang digunakan.
Pengendalin hama A. hilaralis sebaiknya dilakukan saat A. hilaralis
berumur muda. Hal itu dikarenakan A. hilaralis memiliki tingkat kematian yang tinggi pada umur tua dan tingkat kematian yang rendah pada umur muda. Pengendalian hama yang dilakukan saat A. hilaralis berumur tua yaitu saat mencapai stadium imago menjadi kurang efektif karena tingginya tingkat kematian A. hilaralis meskipun tanpa usaha pengendalian. Sementara itu pengendalian A. hilaralis pada umur muda diperlukan karena rendahnya tingkat kematian A. hilaralis secara alami. Stadium larva merupakan stadium terlama dalam kehidupan A. hilaralis, dan pada stadium ini A. hilaralis aktif memakan daun jabon sehingga menimbulkan kerusakan daun dan mengganggu proses fotosintesis tanaman. Pengendalian A. hilaralis pada stadium sangat diperlukan.
Keperidian imago betina dapat diketahui dengan cara menghitung banyaknya telur yang diletakkan setiap harinya. Nilai mx menunjukkan banyaknya telur yang dihasilkan oleh imago betina yang berumur x hari setelah memperhitungkan nisbah kelamin. Dari kurva kesintasan tampak bahwa peletakan telur A. hilaralis dimulai pada hari ke-20 hingga hari ke-30, dan puncak peneluran terjadi pada hari ke-25 dengan rata-rata jumlah telur yang diletakkan sebanyak 24 butir. Velasco dan Walter (1993) menyatakan bahwa keberhasilan perkembangan serangga dan fase reproduktif serangga sangat dipengaruhi oleh kualitas makanan.
Hasil perhitungan neraca kehidupan A. hilaralis meliputi laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), lama generasi (T), dan laju pertumbuhan intrinsik (r) ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter demografi Arthroschista hilaralis
Parameter Populasi Nilai
GRR 141 individu/generasi
Ro 70 individu/induk/generasi
T 23.5 hari
r 0.18 individu/induk/hari
Keterangan: GRR = Laju reproduksi kotor Ro = Laju reproduksi bersih T = Rataan masa generasi r = Laju pertumbuhan intrinsik
19 bahwa A. hilaralis mampu menghasilkan keturunan sebesar 141 individu per induk per generasi.
Nilai laju reproduksi bersih (Ro) menunjukkan rata-rata banyaknya keturunan yang dihasilkan oleh seekor induk betina setiap generasi setelah memperhitungkan kematian atau peluang hidup (lx) dari A. hilaralis. Price (1984) menjelaskan bahwa suatu populasi dikatakan stabil bila Ro = 0, tetapi bila Ro > 1 populasi akan bertambah dan bila Ro < 1 populasi akan berkurang. Nilai Ro
A. hilaralis sebesar 70 individu/induk/generasi menggambarkan bahwa pada keadaan lingkungan tersebut populasi A. hilaralis akan meningkat 70 kali populasi generasi sebelumnya. Tingginya angka pertumbuhan serangga apabila berada pada kondisi lingkungan yang optimum dapat menyebabkan dengan serangga tersebut dapat dengan cepet berkembang menjadi wabah.
Nilai rata-rata masa generasi (T) menggambarkan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan sampai saat imago betina yang berasal dari telur tersebut menghasilkan keturunannya. Nilai T yang semakin kecil menunjukkan semakin cepat suatu organisme untuk berkembang biak. Nilai T dari A. hilaralis sebesar 23.5 menunjukkan bahwa dalam waktu 23.5 hari induvidu betina A. hilaralis
mampu menghasilkan keturunan kembali. Berdasarkan nilai tersebut dapat diperkirakan bahwa dalam 1 tahun A. hilaralis mampu menghasilkan 15 generasi. Thapa dan Bhandari (1976) menyatakan bahwa A. hilaralis di West Bengal India dalam 1 tahun manghasilkan 11-12 generasi. Perbedaan jumlah generasi yang dihasilkan dalam penelitian dengan Thapa (1976) dapat disebabkan karena adanya perbedaan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) antara lokasi penelitian. Kondisi lingkungan mempengaruhi lamanya perkembangan serangga. Atmosoedarjo et al. (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan serangga biasanya lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi.
Laju pertumbuhan intrinsik (r) merupakan pertumbuhan populasi pada lingkungan konstan dan sumberdaya yang tidak terbatas (Birch 1948). Nilai yang diperoleh ditentukan oleh berbagai aspek yang berhubungan dengan siklus kehidupan organisme tersebut, yaitu kematian, kelahiran, dan waktu perkembangan. Nilai r A. hilaralis sebesar 0.18 menunjukkan bahwa tingkat kematian lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kelahiran. Dengan nilai r sebesar 0.18 menggambarkan adanya peningkatan populasi A. hilaralis sebanyak 0.18 individu/induk pada setiap periode kelas umur. Brewer (1979) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya nilai r dipengaruhi oleh jumlah keturunan per periode perkembangan, jumlah yang bertahan hidup dan selama masa reproduktif, usia saat reproduktif dimulai, dan lama usia reproduktif.
Harcourt (1969) menyatakan bahwa neraca kehidupan bukanlah nilai akhir dari analisis dinamika populasi, tetapi sekedar penampilan sistematik dari data ketahanan hidup, mortalitas dan fekunditas dalam populasi. Fungsi utama dari data ini adalah untuk memberikan informasi tentang gambaran kemapuan hidup suatu seranggapada kondisi lingkungan tertentu.
20
Ekologi A. hilaralis
Serangan A. hilaralis pada Umur Tanaman Berbeda
A. hilaralis menyerang tegakan jabon pada berbagai umur tanaman, baik pada umur tanaman 0.5; 1.0; maupun 1.5 tahun. Rata-rata persentase serangan
A. hilaralis pada ketiga kelas umur tanaman tersebut tergolong tinggi yaitu 77-100% (Tabel 7).
Tabel 7 Persentase serangan (%) Arthroschista hilaralis pada tanaman jabon berumur 0.5; 1.0; dan 1.5 tahun
Plot
Ukuran plot (ha)
Persentase serangan A. hilaralis (%) 0.5 tahun 1.0 tahun 1.5 tahun
1 0.02 100 97 90
2 0.02 100 50 71
3 0.02 100 84 86
Rata-rata 0.02 100 77 82
Persentase serangan menunjukkan banyaknya pohon di dalam plot yang terserang oleh hama A. hilaralis. Meskipun tinggi tanaman pada ketiga umur tanaman tersebut jauh berbeda (0.5 tahun= 2.73 m; 1.0 tahun= 6.16 m; 1.5 tahun= 6.32 m), namun hasil uji Anova menunjukkan bahwa persentase serangan A. hilaralis pada ketiga umur tanaman tersebut tidak berbeda nyata. Tingginya nilai persentase serangan A. hilaralis menunjukkan pemencaran
A. hilaralis yang tinggi dari satu pohon ke pohon lainnya. Andrewartha (1971) menjelaskan bahwa serangga memiliki 3 cara untuk pemencaran, yaitu dengan terbawa angin/air, berjalan/terbang, dan melekat pada obyek yang bergerak. Jaring benang sutra pada larva A. hilaralis ikut berperan dalam proses penyebaran hama ini. Larva A. hilaralis yang menggelantung di pohon jarring benang sutra dapat berpindah menuju bagian pohon lainnya. Selain itu dengan bantuan angin larva A. hilaralis yang menggelantung tersebut dapat terbawa dan berpindah menuju pohon di sekitarnya. Ukuran tubuh yang kecil dan kemampuan terbang yang cukup jauh dari imago A. hilaralis ini juga berperan dalam pemencaran hama ini .
Rata-rata intensitas serangan A. hilaralis pada umur tanam 0.5; 1.0; dan 1.5 tahun tergolong ringan yaitu 13-22%. Intensitas serangan menunjukkan derajat serangan hama A. hilaralis atau derajat kerusakan pohon yang disebabkan oleh hama A. hilaralis. Pada ketiga umur tanaman tersebut, intensitas serangan tertinggi terjadi pada umur tanam 1.5 tahun (22%) dan terendah pada umur tanaman 0.5 tahun (13%) (Tabel 8).
21 Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara intensitas serangan A. hilaralis pada umur tanaman 1.5 tahun dengan kedua umur tanaman lainnya, sedangkan intensitas serangan pada umur tanaman 0.5 dan 1.0 tahun tidak berbeda nyata. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan pengelolaan tegakan yang dilakukan oleh pengelola jabon. Pada tegakan jabon berumur 0.5 hingga 1.0 tahun pengelola melakukan upaya pengendalian hama dengan menggunakan insektisida semprot, namun setelah tegakan jabon berumur 1.0 tahun pengelola tidak lagi melakukan pengendalian hama baik secara fisik mekanik, kimia maupun terpadu. Pengendalian hama memegang peranan penting dalam mengontrol perumbuhan hama agar tetap berada di bawah ambang ekonomi dan tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Surachman (2007) menerangkan tindakan manusia merupakan salah satu faktor biotik yang mempengaruhi perkembangan dari hama tanaman.
Serangan A. hilaralis pada Altitude Berbeda
Serangga merupakan spesies poikilotermal yang suhu tubuhnya bergantung pada suhu udara lingkungan sekitar. Suhu udara sekitar akan sangat mempengaruhi proses metabolise dari serangga. Suhu udara akan mempengaruhi kelangsungan hidup, perkembangan, dan penyebaran serangga (Koesmaryono 1999).
Perbedaan geografi pada daerah tropik seperti ketinggian tempat dari permukaan laut akan menimbulkan perbedaan keadaan cuaca dan iklim. Dataran tinggi memiliki keadaan cuaca dan iklim yang sangat berbeda. Pada dataran rendah lama penyinaran lebih banyak dibandingkan dengan dataran tinggi, dikarenakan keawanan yang lebih besar pada daerah yang lebih tinggi.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa hama A. hilaralis menyerang tegakan jabon yang berada di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Rata-rata persentase serangan A. hilaralis di dataran rendah dan di dataran tinggi termasuk tinggi, yaitu 83-100%. Sementara itu, intensitas serangan hama A. hilaralis
tergolong agak berat, yaitu 28% pada dataran rendah dan 30% pada dataran tinggi (Gambar 18).
Gambar 18 Persentase serangan dan intensitas serangan Arthroschista hilaralis pada tegakan jabon di dataran rendah dan dataran tinggi
22
Hasil uji Independent Sample t Test pada persentase serangan dan intensitas serangan A. hilaralis pada dataran rendah dan dataran tinggi tersebut menggambarkan bahwa hama A. hilaralis ini memiliki daya adaptasi yang luas. Hama ini mampu hidup dan berkembang baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Mavi dan Tupper (2004) menyatakan bahwa semua spesies serangga mempunyai kisaran suhu udara tertentu dalam mempertahankan hidupnya. Kisaran ini akan berbeda pada setiap spesies serangga.
A. hilaralis bersifat kosmopolit. Hama ini dapat menyerang tanaman jabon baik yang di tanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi. A. hilaralis juga menyerang tegakan jabon yang berumur muda maupun yang telah dewasa. Oleh karena itu upaya pengelolaan hama A. hilaralis ini perlu dilakukan pada setiap tegakan jabon yang ditanam dimana pun baik saat awal penanaman maupun saat tegakan jabon telah berumur dewasa.
Parasitoid pada A. hilaralis
Pada penelitian ini ditemukan 5 spesies parasitoid yang menyerang hama
A. hilaralis. Parasitoid ini berasal dari ordo Hymenoptera famili Braconidae, Eulophidae, dan Encyrtidae. Parasitoid merupakan serangga yang pada stadium pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sedangkan pada stadium dewasanya hidup bebas mencari nektar atau embun madu sebagai makanannya. Parasitoid pada umumnya memiliki ukuran tubuh yang pada umumnya lebih kecil atau sama besar dengan inangnya dan akan memarasit serta mematikan inangnya. Selama satu siklus hidupnya parasitoid ini hanya membutuhkan satu inang (Sembel 2010). Kelima speseies yang menyerang
A. hilaralis adalah Phanerotoma sp., Chelonus sp., Apanteles sp., Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp.
Phanerotoma sp.
Phanerotoma sp. termasuk ke dalam dari ordo Hymenoptera, famili Braconidae dan subfamili Cheloninae. Phanerotoma sp. merupakan sejenis tawon kecil, dengan tubuh berwarna coklat muda (Gambar 19).
Gambar 19 Parasitoid larva Arthochista hilaralis: Phanerotoma sp.
23
Phanerotoma sp. merupakan ektoparasitoid, yaitu parasitoid yang meletakkan telurnya pada bagian luar dan progeninya berkembang pada bagian luar inang. Shepard et al. (1987) menerangkan bahwa imago betina
Phanerotoma sp. meletakkan sebutir telur di setiap larva inang. Waktu yang diperlukan telur parasitoid Phanerotoma sp. untuk mencapai dewasa berkisar antara 2 hingga 6 hari, sedangkan lama waktu hidup imago Phanerotoma sp. adalah 3 hingga 6 hari. Pada penelitian ini parasitoid Phanerotoma sp. ditemukan menyerang hama A. hilaralis pada stadium telur yang kemudian imago
Phanerotoma sp. muncul dari pada saat A. hilaralis mencapai stadium larva akhir atau pupa. Dalam satu inang A. hilaralis ditemukan satu parasitoid Phanerotoma
sp.
Chelonus sp.
Chelonus sp. termasuk ke dalam ordo Hymenoptera, famili Braconidae dan subfamili Cheloninae. Hents et al. (1997) menjelaskan bahwa Chelonus sp. merupakan parasitoid telur-larva, yaitu parasitoid yang meletakkan telurnya di dalam telur inang dan menyelesaikan tahap perkembangannya di dalam tubuh larva inang. Setelah keluar dari pupa, parasitoid betina sudah siap bertelur. Parasitoid ini meletakkan lebih dari satu telur pada satu inang (gregarius), namun hanya satu parasitoid yang mampu menyelesaikan tahap perkembangannya di dalam tubuh inang tersebut. Parasitoid Chelonus sp. ditemukan menyerang telur
A. hilaralis. Imago parasitoid Chelonus sp. muncul pada saat A. hilaralis
mencapai stadium pupa. Pada penelitian ini dalam satu pupa A. hilaralis
ditemukan satu imago Chelonus sp. yang muncul bersama dengan 40 parasitoid
Tetrastichus sp.
Gambar 20 Parasitoid telur-larva Arthochista hilaralis: Chelonus sp.
Apanteles sp.
Apanteles sp. berasal dari ordo Hymenoptera, famili Braconidae dan subfamili Microgastrinae. Sengupta (1967) menjelaskan bahwa larva parasitoid ini berada di dalam jaringan inang dan memakannya dari dalam tubuh inang (endoparasitoid). Larva parasitoid kemudian keluar dari tubuh inang sebelum berkepompong dan membuat kokon dari benang-benang sutera putih. Larva kemudian berkepompong di dalam kokon tersebut. Larva Apanteles sp. berwarna putih krem sampai hijau muda sedangkan pupa parasitoid ini berwarna putih
24
keruh.Dalam satu inang A. hilaralis ditemukan sebanyak 25 parasitoid Apanteles
sp.
Gambar 21 Parasitoid larva Arthochista hilaralis: a). imago Apanteles sp.; b). pupa Apanteles sp. diluar tubuh inang
Tetrastichus sp.
Tetrastichus sp. berasal dari ordo Hymenoptera, famili Eulophidae dan subfamili Tetrastichinae. Parasitoid ini memiliki tubuh berwarna hitam mengkilap. Parasitoid ini termasuk endoparasitoid gregarious, dan juga bersifat hiperparasitoid (Prütz et al. 2004). Hiperparasitoid dapat disebut juga dengan parasitoid sekunder, yaitu parasitoid yang memarasit parasioid primer di dalam tubuh inang (Godfray 1994). Pada satu pupa A. hilaralis ditemukan 40 parasitoid
Tetrastichus sp. bersamaan dengan parasitoid Chelonus sp. Sullivan dan Völkl (1999) menyatakan bahwa parasitoid Tetrastichus sp. ini dapat menjadi parasitoid primer dan parasitoid sekunder.
Gambar 22 Parasitoid larva-pupa Arthochista hilaralis: a). Tetrastichus sp.; b). pupa inang yang terserang Tetrastichus sp.
Ooencyrtus sp.
Ooencyrtus sp. termasuk ordo Hymenoptera, famili Encyrtidae. Parasitoid
Ooencyrtus sp. ini merupakan endoparasitoid gregarious. Selama perkembangan hidupnya dari telur sampai pupa berlangsung di dalam telur inang. Di dalam tubuh inang A. hilaralis ditemukan 418 parasitoid Ooencyrtus sp.
a b
a b
1 mm
1 mm
1 mm
25
Gambar 23 Parasitoid Arthochista hilaralis: a) Ooencyrtus sp.; b) larva inang yang terserang Ooencyrtus sp.
4
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan dari penelitian ini:
1. Siklus hidup A. hilaralis pada tanaman jabon memerlukan waktu 25.1 hari, dengan lama stadium telur 2.7 hari; larva 12.6 hari, pupa 6.9 hari dan masa praoviposisi imago 2.9 hari. Neraca kehidupan A. hilaralis menunjukkan laju reproduksi kotor A. hilaralis 141 individu/generasi, laju reproduksi bersih 70 individu/induk/generasi, laju pertumbuhan instrinsik 0.18 individu/induk/hari, dan rata-rata masa generasi 23.5 hari. Tindakan pengelolaan hama secara berkala sangat diperlukan dalam mengontrol perkembangan dari hama ini, karena tingginya tingkat perkembangan dan cepatnya laju pertumbuhan hama
A. hilaralis.
2. Persentase serangan A. hilaralis pada umur tanaman jabon 0.5; 1.0 dan 1.5 tidak berbeda nyata, sedangkan intensitas serangan A. hilaralis pada umur tanam 1.5 tahun berbeda nyata dengan umur tanam 0.5 dan 1 tahun. Sementara itu serangan A. hilaralis pada tegakan jabon di dataran rendah dan dataran tinggi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hama A. hilaralis bersifat kosmopolit, oleh karenanya tindakan pengelolaan hama ini perlu dilakukan pada tegakan jabon baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi, dan tidak hanya pada saat awal penanaman namun juga saat tegakan jabon telah berumur dewasa.
3. Parasitoid yang menyerang A. hilaralis yaitu Phanerotoma sp., Chelonus sp.,
Apanteles sp., Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp.
Saran
1. Tindakan pengelolaan hama secara berkala sangat diperlukan dalam mengontrol perkembangan dari hama ini, karena tingginya tingkat perkembangan dan cepatnya laju pertumbuhan hama A. hilaralis.
2. Penelitian ini menemukan beberapa parasitoid yang menyerang A. hilaralis,
namun penelitian lebih jauh terkait dengan parasitoid tersebut belum
a b
26
dilakukan. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis-jenis parasitoid tersebut agar dapat dikembangbiakkan dan dimanfaatkan dalam pengendalian hama A. hilaralis secara hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Andrewartha, H.G. 1971. Introduction to the Study of Animal Populations. Chicago and London (GB): The University of Chicago Press and Methuen & Co. Ltd.
Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000.
Sutera Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Wana Jaya.
Birch LC. 1948. The intristic rate of natural increase of an insect population. The Journal of Animal Ecology 17:15-26.
Borror DJ, Delong DM, Triplehorn CA. 1976. An introduction to the study of insects. New York (US): Holt, Rinehart and Winston.
Brewer R. 1979. Principles of ecology. Phidelphia (US): W.B Sounders Co. Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penangkaran Kupu-kupu. Irian Jaya (ID):
Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
Goodfray HJC. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. New Jarsey (US): Princeton University Press.
Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. Secon Edition. London (GB): Blackwell Science Ltd.
Harcourt DG. 1969. The development and use of life table in the study of natural insect population. Ann. Rev. entomol. 14:96-175.
Hentz M, Ellsworth P, Naranjo S. 1997. Biology and Morphology of Chelonus sp. nr curvimaculatus (Hymenoptera: Braconidae) as a Parasitoid of
Pectinophora gossypiella (Lepidoptera: Gelechiidae). Annals of the Entomological Society of America 90: 631-639.
Hidayat P dan Sosromarsono S. 2003. Pengantar Entomologi. Bogor (ID): Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
[ITTO] International Tropical Timber Organization. 2011. Annual Review and Assessment of the World Timber Situation 2010, International Tropical Timber Organization.
Jayaraj S. 1981. Biological and Ecological Studies of Heliothis. India (IND): International Crops Research Institite for the Semi-Arid Tropical (ICRISAT). Junaedi A, Pribadi A. 2011. Hubungan antara Hama Daun Arthroschista hilaralis
dengan Aspek Iklim dan Pertumbuhan Pohon Jabon. Laporan hasil penelitian Balai Peneitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Riau (ID): Balai Peneitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok Riau.
Koesmaryono Y. 1999. Hubungan Cuaca-Iklim Dengan Hama dan Penyakit Tanaman. Kumpulan Makalah Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor (ID): 1-12 Febuari 1999.
27 Mansur I, Tuheteru D. 2010. Kayu Jabon. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Mavi HS dan Tupper GJ. 2004. Agrometeorology Principles and Applications of
Climate Studies in Agriculture. New York (US): Food Products Press. Morgan D, Walters KFA, Aegerter JN. 2001. Effect of temperatur and cultivar
on pea aphid, Acyrthosiphon pisum (Hemiptera: Aphididae) life history.
Bulletin of Entomological Research 91:47-52.
Mulyana D dan Fahmi I. 2011. Panduan Lengkap Bisnis dan Bertanam Kayu Jabon. Jakarta (ID): Agromedia.
Nair KSS. 2000. Insect Pest and Diseases in Indonesian Forest: An Assesment of The Major Threats, Research Efforts and Literature. Bogor (ID): CIFOR. Nair KSS. 2007. Tropical Forest Insect Pest: Ecology, Impact and Management.
New York (US): Cambridge University Press.
Opler P dan Strawn S. 2000. Children’s butterfly site. Midcontinent ecological science center [Internet]. [diunduh 2013 Okt 7]. Tersedia pada http://www.mesc.usgs.gov/butterfly-faq.html.
Pribadi A. 2010. Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun Akibat Hama Defoliator pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7(4) : 451-458. Riau (ID): Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok Riau.
Price PW. 1984. Insect Ecology. Ed ke-2. Canada (CAN): John Wiley and Sons. Prütz G, Brink A, Dettner K. 2004. Transgenic insect-resistant corn affects the
fourth trophic level: Effects of Bacillus thuringiensis-corn on the facultative hyperparasitoid Tetrastichus howardi. Naturwissenschaften 91(9): 451-454. Sengupta N. 1967. Natural enemies of flushworm (Laspeyresia leucostoma
Meyr.) and the tea leaf roller (Gracillaria theivora Walsm). Two and A Bud 14(1):179-182.
Sembel DT. 2010. Pengendalian Hayati: Hama-hama Serangga Tropis dan Gulma. Yogyakarta (ID): Andi Yogyakarta Press.
Seo J. 2013. Silvicultural Practices and Growth of Jabon Tree (Anthocephalus cadamba Miq.) in Community Forest West Java Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Shepard BM, Barrion AT, Litsinger JA. 1987. Helpful insects, and pathogens. Manila (PHI): International Rice Research Institute.
Sihombing DTH. 1999. Satwa harapan I. Pengantar ilmu dan teknologi budidaya. Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda.
Sullivan DJ, Völkl W. 1999. Hyperparasitism: Multitrophic ecology and behavior.
Annual Review of Entomology 44: 291-315.
Surachman E dan Suryanto WA. 2007. Hama Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan, Masalah dan Solusinya. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Thapa RS. 1970. Bionomic and control of laran defoliator, Margaronia hilaralis
Walk. (Lepidoptera: Pyralidae). The Malayan Forest. 33(1): 55-62.
Thapa RS and Bhandari RS. 1976. Biology, ecology and control of Kadam defoliator, Arthroschista hilaralis Walk. (Lepidoptera:Pyralidae) in plantation in West Bengal. Indian For. 102 (6): 333-401.
28
Velasco LRI, Walter GH. 1993. Potential of host switching in Nezara viridula
(Hemiptera: Pentatomidae) to enhance survival and reproduction.
Environmental Entomology 22: 327-333.
29 Lampiran 1. Tabel Neraca Kehidupan Tipe Kohort
x ax lx dx qx Lx Tx ex mx lxmx xlxmx
30
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 April 1986 dari ayah Syarif Hidayat dan ibu Emi Suhaemi. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2013 penulis menikah dengan Whyudha Kusuma Wijaya, S.Hum.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMAN 5 Bogor dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor. Tahun 2009 penulis telah menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan. Tahun 2009 penulis bekerja sebagai guru di SDIT Miftahul Ulum Depok. Tahun 2010 penulis bekerja sebagai guru di SDIT At-Taufiq Bogor. Tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.