• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

DI BAWAH TEGAKAN TANAMAN AGROFORESTRI JABON

(

Anthocephalus cadamba

Miq.) DI PURWAKARTA JAWA BARAT

LIA FAUZIAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

LIA FAUZIAH. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat. Dibimbing oleh SRI WILARSO BUDI R.

Anthocephalus cadamba merupakan salah satu jenis tanaman dari famili Rubiaceae yang dapat bersimbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Adanya FMA sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, K, Mg, Fe, dan Mn untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis keanekaragaman spora FMA dari bawah tegakan tanaman agroforestri jabon serta status FMA pada berbagai pola penanaman tanaman jabon. Isolasi spora dari sampel tanah dilakukan dengan metode tuang basah. Spora hasil isolasi secara morfologi diidentifikasi dengan melihat reaksi spora terhadap larutan Melzer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kimia tanah pada ketiga pola penanaman jabon tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap persentase kolonisasi akar FMA. Terdapat tiga genus FMA yang ditemukan pada lokasi pengamatan, yaitu Glomus sp., Acalauspora sp., dan Scutellospora sp. Berdasarkan analisis statistik, pola penanaman tumpangsari jabon dengan tanaman timun memiliki nilai pertumbuhan tertinggi baik diameter maupun tinggi pada berbagai pola penanaman jabon.

Kata kunci: fungi mikoriza arbuskula, jabon, kolonisasi akar, pola penanaman

ABSTRACT

LIA FAUZIAH. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi under Stand of Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Agroforestry Plants in Purwakarta, West Java. Supervised by SRI WILARSO BUDI R.

Anthocephalus cadamba is a one of tree species from Rubiaceae family that may symbiotic with arbuscular mycorrhizal fungi (AMF). The presence of AMF is very important for the soil nutrient existence, such as P, K, Mg, Fe, and also Mn to increase the growth of plants. The purpose of this research is to identify the diversity of AMF spores under stand of jabon agroforestry plants and to analyze the AMF status on various jabon planting patterns. Spores isolation was taken from soil sample using wet sieving method and decanthing method. Spores from the isolation morfologically identified by observing spores reaction through Melzer’s liquid. The result of this research indicated that soil chemical characteristic on three planting patterns of jabon do not give any concrete effects to the percentage of AMF’s root colonization. There are three genus of AMF found on the research location consist of Glomus sp., Acalauspora sp., and Scutellospora sp. Based on statistical analysis result, the jabon intercropping planting patterns which combining cucumber plants resulting the highest value of both diameter and height growth on various jabon planting patterns.

(5)
(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

DI BAWAH TEGAKAN TANAMAN AGROFORESTRI JABON

(

Anthocephalus cadamba

Miq.) DI PURWAKARTA JAWA BARAT

LIA FAUZIAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat

Nama : Lia Fauziah NIM : E44090052

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang dilaksanakan sejak bulan November 2012, dengan judul Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat.

Dalam penelitian ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingannya sehingga dapat terselesaikannya penyusunan skripsi ini dengan lancar, terutama kepada Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS selaku dosen pembimbing serta ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah banyak memberikan saran dalam penulisan skripsi. Ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga yang telah memberi doa dan dukungannya. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MScFTrop selaku kepala Laboratorium Silvikultur yang telah memberikan izin dalam penggunaan Laboratorium Silvikultur, beserta Ibu Puja dan Bi Ita sebagai staf Laboratorium Silvikutur serta seluruh staf Laboratorium Bioteknologi PAU IPB. Kepada teman-teman satu bimbingan Tria dan Tina, terimakasih atas segala semangat dan kebersamaannya selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi. Terimakasih juga kepada Terry, Rian, Dewi, Devi, Destia, Erfan, Khalid, Ikbal dan Jamal serta seluruh teman-teman Silvikultur 46 dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2

Waktu dan Tempat 2 Alat 2 Bahan 3

Prosedur Analisis Data 3

Pengambilan Sampel Tanah dari bawah tegakan Anthocephalus cadamba 3

Pemisahan Akar dan Tanah 3

Clearing (Penjernihan) dan Staining (Pewarnaan) 3

Persentase Kolonisasi Akar FMA 3

Isolasi Spora 4

Identifikasi Spora FMA 4

Pengamatan 4

Rancangan Penelitian 5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Fisik dan Kimia Tanah di Purwakarta, Jawa Barat 5

Persentase Kolonisasi Akar 7

Kepadatan Spora 9

Keragaman Spora 10

Identifikasi dan Karakterisasi Spora FMA 10

Kelimpahan dan Frekuensi Spora 12

Pertumbuhan Tanaman Jabon 13

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam 14

Pertumbuhan Diameter 15

(12)

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 20

RIWAYAT HIDUP 21

DAFTAR TABEL

1 Kondisi fisik tanah di Purwakarta, Jawa Barat 5

2 Karakteristik kimia tanah di Purwakarta, Jawa Barat 6 3 Hasil analisis regresi antara sifat kimia tanah dengan nilai kolonisasi

akar 8

4 Keragaman spora di Purwakarta, Jawa Barat 10

5 Pertumbuhan jabon di Purwakarta, Jawa Barat 14

6 Hasil sidik ragam setiap parameter 14

7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola penanaman terhadap diameter 15 8 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola penanaman terhadap tinggi 15

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase kolonisasi akar pada berbagai pola penanaman 7 2 Infeksi FMA pada contoh akar tegakan tanaman Jabon di Purwakarta,

Jawa Barat 8

3 Kepadatan spora pada berbagai pola penanaman 9

4 Spora Glomus sp. 11

5 Spora Acalauspora sp. 11

6 Spora Scutellospora sp. 12

7 Kelimpahan genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di

Purwakarta, Jawa Barat 12

8 Frekuensi genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di

Purwakarta, Jawa Barat 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria sifat penilaian kimia tanah 20

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah merupakan suatu sistem kehidupan yang kompleks yang mengandung berbagai jenis organisme dengan beragam fungsi untuk menjalankan berbagai proses vital bagi kehidupan terestrial. Mikroba bersama-sama fauna tanah melaksanakan berbagai metabolisme yang secara umum disebut aktivitas biologi tanah. Dalam kaitannya dengan tanaman, mikroorganisme sangat berperan dalam membantu pertumbuhan tanaman melalui penyediaan hara (mikroorganisme penambat N dan pelarut P), membantu penyerapan hara (fungi mikoriza arbuskula), dan dapat memacu pertumbuhan tanaman (penghasil hormon). Masing-masing biota tanah tersebut memiliki peran yang besar dalam ekosistem, terutama terkait dengan aliran energi dan siklus unsur hara sebagai akibat dari aktivitas utama organisme hidup (Ahemad et al. 2009).Perannya yang penting dalam perombakan bahan organik dan siklus hara menempatkan organisme tanah sebagai faktor sentral dalam memelihara kesuburan dan produktivitas tanah.

Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi akan bersimbiosis dengan fungi dalam tanah untuk meningkatkan penyerapan unsur hara dan menjaga kelembaban perakaran. Simbiosis ini dinamakan mikoriza dan bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan fosfor (Ulfa et al. 2011). FMA merupakan salah satu tipe asosiasi mikoriza dengan akar tanaman. Kehadiran fungi mikoriza arbuskula (FMA) penting bagi ketahanan suatu ekosistem, stabilitas tanaman dan pemeliharaan serta keragaman tumbuhan dan meningkatkan produktivitas tanaman (Moriera et al. 2007). FMA dapat ditemukan hampir pada semua ekosistem di dunia, bahkan lebih dari dua per tiga spesies tanaman yang ada di dunia membentuk simbiosis dengan fungi ini (Fitter dan Merryweather 1992). Salah satu jenis tanaman kehutanan yang dapat berasosiasi dengan FMA, yaitu jabon (Anthocephalus cadamba).

Dalam simbiosis tersebut, fungi membantu menyerap dan mentranslokasikan unsur hara terutama fosfor dari tanah ke dalam akar tanaman, sedangkan fungi memperoleh karbohidrat dari tanaman sebagai hasil fotosintesis untuk pertumbuhannya. Telah banyak diketahui bahwa FMA merupakan salah satu agen hayati yang berasosiasi dengan akar dari tumbuhan hidup terutama untuk transfer hara (Brundrett 2004). Interaksi simbiosis mutualisme yang erat antara tumbuhan dengan FMA memungkinkan adanya peranan yang sangat besar dari tumbuhan dalam menentukan struktur keanekaragaman dan fungsi FMA dalam komunitas alami tersebut. Sebaliknya, keanekaragaman FMA merupakan faktor penentu dalam terpeliharanya keanekaragaman tumbuhan dalam komunitas alaminya.

(14)

2

keberagaman dari organisme tersebut. Isolasi jenis-jenis FMA di bawah tegakan jabon merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat mengidentifikasi dan memetakan jenis-jenis FMA dominan dan spesifik yang ada. Kegiatan ini sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang keanekaragaman jenis-jenis FMA sebagai sumber material penting untuk memperoleh isolat FMA yang potensial dan efektif, serta mampu beradaptasi pada kondisi lahan yang terbatas pada tanaman jabon.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi keanekaragaman spora FMA hasil isolasi dari bawah tegakan tanaman agroforestri jabon (Anthocephalus cadamba).

2. Menganalisis status FMA pada berbagai pola penanaman tanaman jabon (Anthocephalus cadamba).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang status dan keanekaragaman spora FMA dari bawah tegakan jabon dengan berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat serta bertambahnya pengetahuan mengenai genus-genus spora indigenous yang dapat dikembangkan sebagai sumber inokulum untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman jabon.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai dengan Februari 2013 kemudian dilanjutkan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Juli 2013. Lokasi pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan di Purwakarta, Jawa Barat, sedangkan penelitian mulai dari perhitungan kolonisasi akar hingga pengidentifikasian FMA dilakukan di Laboratorium Silvikultur Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Bioteknologi PAU IPB, serta Laboratorium Mikrobiologi Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hutan Bogor.

Alat

(15)

3

pipet, plastik, gunting, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, cawan petri, kamera digital, label, alat tulis, software minitab 16 dan SAS 9.1.3 portable.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar jabon, tanah sampel, alkohol, aquades, KOH 2.5%, HCL 0.1 N, trypan blue, gliserin 50%, larutan glukosa 60%, dan larutan Melzer.

Prosedur Penelitian dan Analisis Data

Pengambilan Sampel Tanah dari bawah tegakan Anthocephalus cadamba

Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit dari bawah tegakan tanaman agroforestri jabon berumur tujuh bulan di daerah Purwakarta, Jawa Barat. Pengambilan sampel diambil di tiga lokasi, yaitu tegakan jabon dengan tumpangsari timun, tumpangsari jagung, dan tumpangsari singkong. Dari masing-masing lokasi diambil tiga plot dan dari masing-masing-masing-masing plot diambil tiga pohon. Contoh tanah diambil dari empat arah sisi yang berbeda di masing-masing bawah tegakan setiap tanaman jabon dan kemudian dikompositkan, sehingga setiap lokasi akan didapatkan sembilan sampel rizosfer tanah untuk ekstraksi FMA dan analisis sifat tanah, sebanyak ± 150 gram dengan kedalaman 0–20 cm. Pengambilan contoh tanah komposit ditujukan untuk mendapatkan gambaran umum (unbiased estimation) mikoriza di suatu areal atau petak tanah yang relatif homogen.

Clearing (Penjernihan) dan Staining (Pewarnaan)

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman dilakukan melalui teknik pewarnaan akar (staining), yang dilakukan dengan metode Brundrett et al. (1996). Akar yang telah direndam dengan larutan alkohol dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir, kemudian akar yang telah dicuci dimasukkan kedalam gelas kaca yang telah berisi larutan KOH 2.5% hingga seluruh akar terendam. Setelah itu dipanaskan dalam oven ± 90 °C selama 40 menit. Setelah dipanaskan di dalam oven maka dapat dilihat warna akar dalam larutan KOH 2.5% tersebut, apabila warna larutan belum bening maka ditambahkan H2O2 kemudian kocok hingga warna larutan tersebut menjadi bening. Setelah warna larutan telah bening, maka buang larutan H2O2, kemudian dicuci dengan air mengalir dan akar yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam gelas kaca yang telah berisi HCl 0.1 N sampai seluruh akar terendam selama ± 10 menit. Setelah perendaman tersebut, HCl 0.1 N diganti dengan trypan blue dan dimasukkan ke dalam oven untuk dipanaskan ± 90 °C selama 40 menit. Akar yang telah dipanaskan lalu dicuci kembali dan dimasukkan ke dalam gelas kaca yang akan diberi gliserin 50% hingga seluruh akar terendam di dalamnya.

Persentase Kolonisasi Akar FMA

(16)

4

berisi 15 akar jabon yang telah dipotong-potong sebanyak 2 ulangan pada setiap sampel akar, sehingga terdapat 54 sampel akar jabon yang siap untuk diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui persentase kolonisasi akar oleh FMA. Bidang pandang yang terinfeksi ditunjukan dengan adanya tanda-tanda seperti hifa, arbuskula maupun vesikula. Persentase akar terinfeksi dihitung dengan rumus Giovannetti dan Moose (1980), sebagai berikut:

∑ bidang pandang yang terinfeksi

%Terinfeksi = x 100%

∑ keseluruhan bidang pandang Isolasi Spora

Isolasi spora FMA dilakukan dengan menggunakan metoda tuang basah menurut Gerdermann dan Nickolson (1963) yang dimodifikasi, dilanjutkan dengan metode sentrifugasi menurut Brundrett et al. (1996). Tanah ditimbang terlebih dahulu sebanyak 10 gram tiap sampel tanah. Kemudian tanah tersebut dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan ditambah 2/3 air. Lalu diaduk rata menggunakan sudip dan didiamkan ± 1 menit. Tanah tersebut kemudian diletakkan di atas saringan spora tiga tingkat dengan diameter lubang masing-masing saringan sebesar 250 µm, 125 µ m, dan 63 µm. Masing-masing-masing sampel tanah dihancurkan terlebih dahulu yang kemudian akan dialirkan dengan air ke dalam saringan spora tiga bertingkat tersebut sampai 3 kali ulangan. Tanah yang menempel pada saringan yang berukuran 125 µ m dan 63 µ m dikumpulkan dalam tabung gelas secara terpisah.

Tanah-tanah dari kedua saringan bertingkat tersebut dimasukkan ke dalam tabung sentrifius, dan di dalamnya dituangkan larutan glukosa 60% hingga terisi 2/3 isi tabung. Selanjutnya tanah dan larutan glukosa 60% tersebut dikocok hingga rata dan dimasukkan ke dalam sentrifius. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 3000 rpm selama ± 1 menit. Supernatan disedot lalu disaring pada saringan berukuran 63 µm. Lalu dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan gula yang masih tertinggal. Spora yang menempel pada saringan dipindahkan ke dalam cawan petri untuk diidentifikasi jenis dan dihitung jumlahnya di bawah mikroskop stereo.

Identifikasi Spora FMA

Spora diidentifikasi dengan pengamatan morfologi spora dan preparat slide spora yang telah diwarnai terlebih dahulu dengan larutan Melzer. Berdasarkan keberadaan struktur spora, FMA ditentukan genusnya (INVAM 2013).

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini ialah (1) kepadatan spora, (2) keragaman spora, (3) kelimpahan relatif, dan (4) frekuensi spora. Masing-masing peubah dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kepadatan spora = Jumlah spora

(17)

5

Kekayaan spora = Jumlah genus pada 10 gram tanah

Kelimpahan relatif = Jumlah genus

total spora x 100%

Frekuensi =jumlah sampel ditemukan spora

total sampel x 100%

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap untuk mengetahui pengaruh kombinasi pola penanaman jabon dengan tanaman pertanian (tumpangsari timun, tumpangsari jagung, dan tumpangsari singkong) terhadap respon parameter yang diamati, seperti diameter dan tinggi di lokasi tersebut. Pada masing-masing lokasi terdiri dari 3 plot dan masing-masing plot terdiri dari 3 anak contoh, sehingga jumlah unit sampel sebanyak 3 x 3 x 3 = 27 satuan percobaan.

Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan pada taraf kepercayaan 95%. Apabila F hitung > F tabel maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SAS 9.1.3 portable dan minitab 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik dan Sifat Kimia Tanah di Purwakarta, Jawa Barat

Pertumbuhan tanaman tidak hanya bergantung pada tersedianya unsur hara yang cukup dan seimbang, tetapi juga harus ditunjang oleh keadaan fisik dan kimia tanah yang baik. Data mengenai kondisi fisik tanah dan sifat kimia tanah pada berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Kondisi fisik tanah di Purwakarta, Jawa Barat

Pola penanaman Kedalaman Kelas lahan Kondisi tanah Tekstur Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

(18)

6

sifat-sifat mekanis tanah serta rejim temperaturnya (Hillel 1980). Singkatnya, untuk kesuburan kimia, tanah harus memiliki kesuburan fisik. Jika ditinjau dari kondisi fisik tanah, lahan di ketiga lokasi memiliki tekstur tanah yang sama, yaitu liat dengan kondisi tanah bekas sawah. Tanah liat merupakan jenis tanah yang sulit menyerap air, sehingga dalam keadaan kering butiran tanah tersebut akan terpecah-pecah sangat keras. Pola penanaman jabon dengan tumpangsari singkong tergolong ke dalam kelas lahan yang miskin, sedangkan pola penanaman jabon secara tumpangsari baik dengan jagung maupun dengan timun tergolong ke dalam kelas sedang.

Tabel 2 Karakteristik kimia tanah di Purwakarta, Jawa Barat Pola Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

Berdasarkan hasil analisis kimia tanah (Tabel 2) dapat dilihat bahwa kandungan C-organik, N-total, dan P-tersedia di ketiga pola penanaman tergolong pada kelas sangat rendah, sedangkan derajat kemasaman tanah atau pH ketiga pola penanaman tersebut tergolong ke dalam pH masam, yaitu antar 4.5–5.5 (Hardjowigeno 1995). Penggolongan kriteria penilaian sifat kimia tanah dapat dilihat pada Lampiran 1. Faktor pembatas bagi pertumbuhan jabon dari ketiga lokasi penanaman ini adalah rendahnya unsur P dan tanah yang tergolong masam.

Dengan demikian, tanah pada ketiga lokasi tersebut dapat diketahui memiliki karakteristik fisik dan kimia yang tergolong rendah, sehingga tingkat kesuburan tanahnya rendah dan kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman. Namun, tanaman jabon dengan berbagai pola penanaman dengan tanaman pertanian (Tabel 1) tetap dapat tumbuh di kondisi tanah yang kering. Hal itu dimungkinkan karena adanya simbiosis antara tanaman jabon tersebut dengan mikoriza. Jaringan hifa eksternal FMA yang menginfeksi akar tanaman akan memperluas bidang serapan akar terhadap air dan unsur hara. Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza juga akan membawa unsur hara seperti N, P, dan K sehingga serapan hara oleh tanaman akan meningkat. Dari beberapa penelitian dapat diketahui bahwa simbiosis FMA dipengaruhi oleh level P, sumber P, pH, efektifitas isolat FMA, dan kebergantungan tanaman inang terhadap mikoriza (Setiadi 1995).

(19)

7

Persentase Kolonisasi Akar

Hasil pengamatan kolonisasi akar di bawah mikroskop dari masing-masing contoh tanah memiliki persentase yang berbeda-beda. Persentase kolonisasi akar pada masing-masing pola penanaman tegakan jabon dengan tanaman pertanian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase kolonisasi akar pada berbagai pola penanaman (Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon)

Fungsi yang paling menonjol dari FMA dibandingkan dengan tipe-tipe fungi mikoriza lainnya, adalah kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis-jenis tanaman, sehingga FMA berperan penting dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tanaman ke akar tanaman yang lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut dengan “bridge hypha” (Allen and Allen 1992). Kolonisasi akar yang terjadi di tegakan tanaman jabon pada berbagai pola penanaman di Purwakarta didapatkan hasil yang bervariasi dari tingkat infeksi akar terendah, yaitu pada tumpangsari jagung sebesar 35.93% hingga tertinggi, yaitu pada tumpangsari timun sebesar 66.67%. Klasifikasi banyaknya infeksi akar FMA digolongkan ke dalam lima kelas infeksi berdasarkan pengelompokkan dari The Institute of Mycorrhizal Research and Development USDA Forest Service, Athena, Gregoria, dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada ketersediaan hara yang rendah (Tabel 1), hifa dapat menyerap hara dari tanah yang tidak dapat diserap oleh akar sehingga pengaruh FMA terhadap serapan hara di sekitar jabon akan tinggi. Khususnya untuk ketersediaan P yang rendah akan menjaga kolonisasi akar tetap tinggi dan meningkatkan manfaat dari transfer P ke inang, sedangkan unsur-unsur lain yang tinggi akan meningkatkan ketersediaan fotosintat yang penting untuk pembentukan spora. Selain itu, kolonisasi FMA pada tanaman berhubungan dengan situasi tanaman inang sebagai responnya terhadap kondisi lingkungan. Karakteristik perakaran timun yang memiliki akar tunggang dengan jangkauan bulu-bulu akarnya yang hanya dapat menembus hingga kedalaman 30–60 cm dari permukaan tanah mengakibatkan terjadinya kebergantungan perakaran timun yang tinggi terhadap FMA untuk mendapatkan unsur hara dan air yang dibutuhkan

(20)

8

tanaman tersebut dalam proses pertumbuhan baik untuk tanaman timun maupun untuk tanaman tumpangsarinya, yaitu jabon.

Terjadinya asosiasi antara FMA dengan tanaman dapat diketahui dengan keberadaan infeksi yang terjadi pada akar, yaitu dengan adanya struktur-struktur yang dihasilkan oleh FMA antara lain, yaitu hifa, arbuskula, dan vesikula. Hifa adalah salah satu struktur dari FMA berbentuk seperti benang-benang halus yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dari luar. Menurut INVAM (2013) arbuskula adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Vesikula berfungsi sebagai organ reproduktif atau tempat penyimpanan makanan yang berbentuk lonjong dan berasal dari menggelembungnya hifa internal FMA. Dengan adanya satu atau lebih struktur FMA tersebut, maka dapat dikatakan telah terjadi asosiasi oleh FMA terhadap tanaman inangnya, dalam hal ini yaitu tanaman jabon. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk struktur kolonisasi akar yang ditemukan dari hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Infeksi FMA pada contoh akar tegakan tanaman jabon di Purwakarta, Jawa Barat (A: vesikula, B: hifa, dan C: arbuskula)

Adanya perbedaan tingkat kolonisasi pada masing-masing pola penanaman diakibatkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi mikoriza terhadap tanaman, yaitu seperti kebergantungan tanaman terhadap mikoriza, efektivitas isolat, maupun kondisi nutrisi terutama unsur P (Setiadi 1995). Oleh karena itu, diperlukan suatu regresi linier untuk mengetahui hubungan antara tingkat kolonisasi akar dengan sifat kimia tanah pada berbagai pola penanaman tumpangsari.

Tabel 3 Hasil analisis regresi antara sifat kimia tanah dengan nilai kolonisasi akar

Sifat kimia tanah Persamaan

C-org P-tersedia

pH

Nilai kolonisasi akar = - 128 + (351*C-org), R2 = 1.7% Nilai kolonisasi akar = 56.8 - (6.1*P tersedia), R2 = 1.7% Nilai kolonisasi akar = - 124 + (35*pH), R2 = 1.7% Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

Berdasarkan hasil regresi linear, pada Tabel 3 terlihat bahwa nilai R2 dari sifat kimia tanah yang diuji tidak mencapai selang kepercayaan 95% (α=5%). Hal

(21)

9

ini menunjukkan bahwa sifat kimia tanah tidak berpengaruh nyata terhadap persentase kolonisasi akar FMA pada berbagai pola penanaman tanaman jabon di Purwakarta, Jawa Barat. Untuk nilai N-total dalam tanah tampaknya tidak berhubungan dengan tingkat kolonisasi akar di bawah tegakan jabon, yaitu adanya peningkatan kolonisasi akar tidak diikuti oleh peningkatan maupun penurunan kandungan N-total. Tidak adanya penyebaran data secara normal mengenai kandungan N-total di ketiga pola penanaman merupakan salah satu faktor tidak dapat diketahuinya hubungan regresi linier antara kandungan N-total dengan tingkat kolonisasi akar di bawah tegakan tanaman jabon tersebut.

Kepadatan Spora

Kepadatan spora merupakan jumlah seluruh spora yang ditemukan pada masing contoh tanah. Jumlah spora FMA yang dijumpai pada masing-masing pola penanaman per 10 gram sampel tanah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kepadatan spora pada berbagai pola penanaman (Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon)

Kepadatan spora pada ketiga pola penanaman memiliki persentase yang berbeda-beda. Kepadatan spora didapat dari jumlah spora yang ditemukan dibagi dengan tanah sebanyak 10 gram per sampel tanah. Kepadatan spora pada masing-masing pola penanaman, yaitu tumpangsari timun 51 spora/10 gram tanah, tumpangsari jagung 32 spora/10 gram tanah, dan tumpangsari singkong 58 spora/10 gram tanah. Jumlah FMA tergolong banyak jika dalam 50 gram tanah terdapat 5–100 spora berukuran besar atau 50–500 spora berukuran kecil (Brundrett et al. 1996). Berdasarkan itu, kepadatan spora per 10 gram dengan berbagai pola penanaman di Purwakarta tergolong banyak.

Pada diagram tersebut dapat diketahui bahwa kepadatan spora tertinggi terdapat pada pola penanaman tumpangsari singkong. Hal ini disebabkan lahan tumpangsari singkong termasuk ke dalam kelas lahan miskin yang mengalami cekaman kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi dikedua lahan lainnya. Ukuran hifa yang sangat halus pada bulu-bulu akar memungkinkan hifa dapat menyusup kepori-pori tanah yang paling halus, sehingga hifa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Kilham 1994). Di samping itu, sesuai dengan pernyataan Delvian (2006) bahwa kondisi kering akan merangsang

(22)

10

pembentukan spora yang banyak sebagai respon alami dari FMA serta upaya untuk mempertahankan keberadaannya di alam.

Secara deskriptif dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa besarnya persentase kolonisasi akar tidak berbanding lurus dengan kepadatan spora, yaitu tingginya persentase kolonisasi akar tidak selalu memperbesar kepadatan spora. Hal ini sesuai dengan Tuheteru (2003) bahwa antara infeksi akar dan jumlah spora yang dihasilkan tidak memiliki korelasi yang erat, sehingga spora yang banyak belum tentu persentase infeksi akar akan tinggi pula. Persentase kolonisasi akar adalah faktor yang bebas dari jumlah spora yang ada di tanah, disebabkan setiap jenis FMA mempunyai pola kolonisasi yang berbeda (Delvian 2003).

Keragaman Spora

Keragaman spora merupakan kekayaan jenis spora dari hasil identifikasi hingga tingkat genus dari berbagai pola penanaman jabon di Purwakarta, Jawa Barat. Pengamatan spora yang ditemukan di lapangan memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik ditemukan pada bentuk spora, permukaan spora, tangkai spora (hypal attachment), dinding spora, dan warna spora (INVAM 2008). Hasil isolasi, pengamatan, dan identifikasi yang dilakukan terdapat 3 genus spora FMA, yaitu Glomus, Acaulospora, dan Scutellospora dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Keragaman spora di bawah tegakan jabon

Pola penanaman Nilai keragaman FMA Jenis spora FMA

Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

Nilai keragaman FMA (Tabel 4) pada pola penanaman tumpangsari singkong memiliki nilai keragaman tertinggi dengan tiga genus, yaitu Glomus sp., Acalauspora sp., dan Scutellospora sp.. Genus Glomus terdapat pada ketiga jenis pola penanaman jabon, sedangkan genus Acalauspora terdapat pada pola penanaman tumpangsari jagung dan singkong, dan genus Scutellospora yang juga ditemukan pada dua jenis pola penanaman, yaitu tumpangsari timun dan singkong. Hal ini menunjukkan kemampuan simbiosis dan adaptasi Glomus terhadap kondisi setempat (Delvian 2006).

Identifikasi dan Karakterisasi Spora FMA

(23)

11

obovoid dengan ukuran spora rata-rata 85–259 μm, jumlah, biasanya terdapat dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder, dan permukaan spora halus dan tidak memiliki ornamentasi. Spora Glomus yang belum dewasa memiliki reaksi warna Melzer yang lemah,dan tidak terjadi pada spora yang lebih tua (INVAM 2013). Jenis-jenis Glomus sp. yang ditemukan dalam pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Spora Glomus sp. (A–E: Glomus sp. tanpa subtending hyphae, F: Glomus sp. secara utuh, dan G–I: Glomus sp. dengan subtending hyphae

Acaulospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam famili Acaulosporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas, seperti spora berbentuk bulat hingga agak bulat dengan ukuran rata-rata 175–279 µm, dinding spora terdiri dari dinding luar berwarna cokelat, biasanya terdapat cicantrix (location of hyphal attachment) dan lapisan dinding dalam yang tipis, terdapat perhiasan berupa lubang-lubang halus pada permukaan spora. Lapisan luar tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tetapi lapisan dalam bereaksi dengan larutan Melzer (INVAM 2013). Jenis-jenis Acalauspora sp. yang ditemukan dalam pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.

(24)

12

Scutellospora sp. adalah genus mikoriza dari famili Gigasporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas, seperti spora berbentuk bulat hingga agak bulat dengan ukuran rata-rata 130–165 µm, berwarna kuning dengan perisai (shield), dan dinding spora terdiri dari dinding luar tebal berwarna cokelat. Terdapat perhiasan berupa lubang-lubang halus pada permukaan spora. Bereaksi terhadap larutan Melzer (INVAM 2013). Jenis-jenis Scutellospora sp. yang ditemukan dalam pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Spora Scutellospora sp. Kelimpahan dan Frekuensi Spora

Kelimpahan dan frekuensi spora berkaitan dengan penyebaran spora per genus pada lokasi tempat pengambilan contoh tanah. Persentase kelimpahan spora di Purwakarta, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan frekuensi spora pada berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.

(25)

13

Gambar 8 Frekuensi genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat (Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon)

Nilai kelimpahan relatif (Gambar 7) dan frekuensi spora (Gambar 8) berbanding lurus dengan nilai keragaman spora, yaitu genus yang paling dominan pada pada tumpangsari timun, tumpangsari jagung, dan tumpangsari singkong adalah genus Glomus dengan nilai kelimpahan relatif masing-masing sebesar 95.95%, 85.26%, dan 66.01% serta nilai frekuensi atau penyebaran spora masing-masing sebesar 94.44%, 83.33%, dan 72.22. Dominannya Glomus ini sesuai dengan pernyataan Bagyaraj (1991) yang melaporkan bahwa genus Glomus memiliki penyebaran yang lebih luas daripada genus lain. Pada berbagai laporan penelitian, Glomus juga merupakan genus yang dominan ditemukan diberbagai tanaman kehutanan, seperti di jati ambon (Karepesina 2007) dan Dipterocarpaceae (Prasetia 2011).

Pertumbuhan Tanaman Jabon

Fungi mikoriza arbuskula merupakan simbion obligat, sehingga semua faktor yang mempengaruhi tanaman inang juga akan mempengaruhi kondisi FMA di sekitar inang tersebut. Adanya faktor keanekaragaman FMA yang dipengaruhi oleh kondisi tanaman inang, maka perlu diketahui mengenai pertumbuhan tanaman inangnya, yaitu jabon. Data mengenai pertumbuhan tegakan tanaman jabon di ketiga pola penanaman dapat dilihat pada Tabel 5.

(26)

14

Tabel 5 Pertumbuhan jabon di Purwakarta, Jawa Barat

Pola penanaman Ukuran Umur DBH Tinggi total Volume Volume Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

Tanaman jabon merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh hampir diberbagai kondisi tanah mulai dari tanah kering sampai tanah-tanah yang kadang-kadang tergenang. Jenis perakaran lateral yang dimiliki jabon menjadikan tanaman jabon salah satu tanaman yang dapat bersimbiosis dengan FMA. Dengan demikian, maka aplikasi FMA tidak terbatas untuk pola tanaman monokultur saja, tetapi dapat diintegrasikan dalam suatu unit manajemen pola tanaman campuran seperti agroforestri (tumpangsari, alley cropping, sistem lorong), agrosilvapastura, dan pola tanaman campuran lainnya.

Berdasarkan Tabel 5, ketiga pola penanaman tersebut memiliki umur jabon yang sama dengan ukuran plot masing-masing sebesar 0.02 ha. Pola penanaman tumpangsari jagung memiliki dbh dan tinggi total jabon terbesar, sehingga volume tegakan tanaman jabon baik volume per ha maupun volume per plot dengan tumpangsari jagung memiliki nilai paling besar dibandingkan dengan kedua tumpangsari lainnya. Hal itu dikarenakan tanaman jagung merupakan tanaman pertanian dengan umur relatif pendek dan jenis perakaran serabut yang baik, sehingga memiliki daya adaptasi yang tinggi di lahan dengan kondisi yang kering serta miskin hara.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

Asosiasi antara jabon dengan FMA akan mempengaruhi pertumbuhan jabon di berbagai pola penanaman yang ada. Pertambahan diameter dan tinggi pohon merupakan indikator morfologi yang dapat diduga untuk mengetahui kualitas tegakan suatu jenis tanaman, dalam hal ini yaitu tegakan tanaman jabon pada berbagai pola penanaman yang ada. Peranan dari FMA terhadap tanaman inang khususnya dalam hal ini tanaman jabon tidak hanya dilihat dari kemampuan FMA tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman inang, tetapi juga perlunya mengetahui tingkat ketergantungan tanaman itu sendiri terhadap FMA. Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh pola penanaman terhadap diameter dan tinggi jabon dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil sidik ragam setiap parameter

Parameter Fhitung Pr > F Pola penanaman

Diameter 88.19 <0.0001 *

Tinggi 27.46 0.0010 *

(27)

15

Pertumbuhan Diameter

Hasil sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bahwa pola penanaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman jabon, maka dilakukan uji lanjut Duncan (Tabel 7). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa pola penanaman terbaik yang memiliki rata-rata pertumbuhan diameter tertinggi adalah pola penanaman jabon dengan tumpangsari timun, yaitu sebesar 5.14 cm.

Tabel 7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola penanaman terhadap diameter Pola penanaman Rata-rata pertumbuhan diameter (cm)

Ts. Timun 5.14a

Ts. Jagung 3.93b

Ts. Singkong 2.46c

Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%; Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

Pertumbuhan Tinggi

Hasil sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bahwa pola penanaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman jabon. Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa pola penanaman terbaik yang memiliki pertumbuhan tinggi tertinggi adalah pola penanaman jabon dengan tumpangsari timun, yaitu 2.88 m.

Tabel 8 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola penanaman terhadap tinggi Pola penanaman Rata-rata pertumbuhan tinggi (m) Ts. Timun 2.88a

Ts. Jagung 2.01b Ts. Singkong 1.30c

Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%; Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon.

(28)

16

dominan, sehingga pertumbuhan tanaman pokok menjadi terganggu. Hal ini sesuai dengan penelitian Wjayanto dan Rifa’i (2010) yaitu pertumbuhan Gmelina arborea dengan pola agroforestri singkong memiliki pertumbuhan dimensi tinggi dan diameter paling rendah dibandingkan dengan pola agroforestri tanaman pertanian lain. Lebih lanjut Salam et al. (1997) menyebutkan, tanaman singkong dikenal sangat boros dalam penyerapan unsur hara khususnya unsur P dan K serta beberapa unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, dan Zn).

Adanya hubungan antara pertambahan baik tinggi maupun diameter jabon dengan keanekaragaman FMA di bawah tegakan jabon pada berbagai pola penanaman yang diberikan. Peran FMA dalam hal ini yaitu sebagai simbion obligat mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan inang. Menurut Wilarso (1990) FMA adalah fungi yang dapat bersimbiosis dengan akar tanaman dan melalui hifa eksternal mampu meningkatkan serapan hara immobil dari dalam tanah (terutama fosfor), sehingga dapat mengurangi gejala defisiensi dan menghemat penggunaan pupuk TSP 70–90%. Oehl et al. (2003) melaporkan bahwa intensifikasi pertanian akan mempengaruhi kelimpahan FMA dan struktur komunitasnya. Oleh karena itu, kondisi terbaik bagi pertubuhan dan perkembangan inang akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan yang baik juga bagi FMA.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari tiga lokasi pengambilan sampel dengan pola penanaman tumpangsari yang berbeda memiliki jenis serta populasi FMA yang berbeda. Hasil ini memberikan data dan informasi mengenai status keberadaan mikroorganisme tanah, khususnya FMA di bawah tegakan tanaman jabon. Kepadatan spora dengan keragaman tiga genus yang ditemukan dapat berkembang baik terhadap pola penanaman jabon dengan tanaman pertanian. Genus Glomus sp. yang ditemukan dapat berkembang baik di semua pola penanaman, Acalauspora sp. ditemukan pada pola penanaman tumpangsari jagung dan singkong, serta Scutellospora sp. yang juga ditemukan pada dua jenis pola penanaman, yaitu tumpangsari timun dan singkong. Selain itu, Corryanti et al. (2007) menyatakan bahwa adanya perbedaan keanekaragaman dan jumlah spora ditentukan oleh lingkungan dan tata kelola lahan serta tipe lahan. Status genus-genus indigenous hasil isolasi telah dibuktikan juga dalam penelitian Setiawan (2011), yang menyatakan bahwa adanya genus-genus indigenous seperti Glomus sp, Acalauspora sp., dan Scutellospora sp. yang dapat berkembang baik di areal rehabilitasi pasca penambangan dan persemaian PT INCO Tbk.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Terjadinya asosiasi FMA terhadap tegakan tanaman agroforestri jabon pada berbagai pola penanaman tumpangsari di Purwakarta, Jawa Barat, yaitu dengan ditemukannya keanekaragaman spora seperti Glomus sp., Acalauspora sp., dan Scutelospora sp.

(29)

17

3. Berdasarkan analisis statistik, pola penanaman tumpangsari timun memiliki nilai pertumbuhan tertinggi baik terhadap diameter maupun tinggi tanaman jabon.

4. Genus-genus yang ditemukan terbukti dapat berkembang biak dengan baik di semua pola penanaman. Glomus sp. dapat dikatakan sebagai genus indegenous yang mempunyai kemampuan adaptasi dengan jenis tanaman jabon yang lebih luas dibandingkan dengan Acalauspora sp. dan Scutellospora sp. pada ketiga pola penanaman tumpangsari di Purwakarta, Jawa Barat.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan isolat FMA potensial yang efektif terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman jabon di berbagai pola penanaman tumpangsari dengan tanaman pertanian. Selain itu, perlu adanya pengaplikasian secara langsung kepada masyarakat agar dalam pengombinasian tanaman jabon sebaiknya dilakukan secara tumpangsari dengan tanaman pertanian yang memiliki karakteristik perakaran seperti tanaman timun untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jabon yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ahemad M, Almas Z, Saghir MD, Mohammad O. 2009. Factors affecting the variation of microbial communities in different agro-ecosystems. Di dalam: Khan MS, Zaidi A, Musarrat J, editor. Microbial Strategies for Crop Improvement. Jerman (DE): Springer Berlin Heidelberg.

Allen EB, Allen MF. 1992. Development of mycorrhizal patches in a successional arid ecosystem. Di dalam: Read DJ, Lewis DL, Fitte AH, Alexander IJ, editor. Mychorrhizas in Ecosystem. United Kingdom (UK): CAB International.

Bagyaraj DJ. 1991. Ecology of vesicular-arbuscular mycorrhizae. Di dalam: Arora DK, Rai B, Mukerti KG, Knudsen GR, editor. Soil and Plants Handbook of Applied Mycology. New York (US): Marcell Dekker Inc.

Brundrett M, Boucher N, Dell NB, Gove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra (AU): Australian Centre for International Agriculture Research.

Brundrett M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal association. Society Biol. 79:473-495.

Corryanti J, Soedarsono B, Radjagukguk, Widyastuti SM. 2007. Perkembangan mikoriza arbuskula dan pertumbuhan bibit jati (Tectona grandis Linn F.) yang diinokulasi spora fungi mikoriza arbuskula asal tanah tanaman jati. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 1(2):1-7.

(30)

18

Delvian. 2003. Keanekaragaman dan potensi pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutan pantai [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Delvian SP. 2006. Dinamika sporulasi cendawan mikoriza arbuskula [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Gerdemann JW, Nicolson TH. 1963. Spores of mycorrhizal endogene spesies extracted from soil by wet sleving and decanting. Trans Brit Mycol Soc. 46:235-244.

Giovannetti M, Mosse B. 1980. An evaluation of techniques for measuring vesicular-arbuscular mycorrhizal infection in roots. New Phytol. 84:489-500. Fitter AH, Merryweather JW. 1992. Why are some plants more mycorrhizal than

others? an ecological enquiry. Di dalam: Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, Alexander IJ, editor. Mycorrhizas in Ecosystems. United Kingdom (UK): CAB International.

Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.

Hillel D. 1996. Introduction to Soil Physics. Massachusetts (US): Departement of Plant and Soil Sciences, University od Massachusetts, Armhest.

[INVAM] International culture collection of (vesicular) arbuscular mycorrhizal fungi. 2013. Reference cultures of species (vesicular) arbuscular mycorrhizal fungi [Internet]. [diunduh 2013 Jun 30]. Tersedia pada: http://invam.caf.wvu.edu/Myco-info/Taxonomy/classification. htm.

Karepesina S. 2007. Keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula dari bawah tegakan jati ambon (Tectona grandis Linn. F.) dan potensi pemanfaatannya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kilham K. 1994. Soil Ecology. Inggris (UK): Cambridge University Pr. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi

SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Pr.

Moreira M, Nogueira MA, Tsai SM, Gomes-Da-Costa SM, Cardoso EJBN. 2007. Sporulation and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi in Brazil pine in the field and in the greenhouse. Mycorrhiza 17(6):519-526.

Musfal. 2012. Potensi cendawan mikoriza arbuskula untuk meningkatkan hasil tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29(4):154-158.

Prasetia H. 2011. Keragaman spora FMA hasil isolasi dari bawah tegakan Dipterocarpaceae (di areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Salam AK, Iswati A, Yunaini S, Niswati A. 1997. Stastus kesuburan tanah dalam pertanaman singkong (Manihot esculenta Crantz) di Gunung Batim Lampung Utara. Jurnal Agotrop. 2:35-41.

Setiadi Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Setiadi Y. 1995. The pratical application of arbuscular mycorrizhae fungi for reforestation in Indonesia [tesis]. Kent (UK): Research School of Biosciences, University of Kent.

(31)

19

Tuheteru FD. 2003. Aplikasi asam humat terhadap sporulasi CMA dari bawah tegakan alami sengon [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ulfa M, Kurniawan A, Sumardi, Sitepu I. 2011. Populasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada lahan pasca tambang batubara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8(3):301-309.

Wjayanto N, Rifa’i M. 2010. Pertumbuhan Gmelina arborea Robx. pada beberapa pola agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika 1:29-34.

(32)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kriteria penilaian sifat kimia tanah* Sifat tanah Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat tinggi Karbon (%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 >5,00 Nitrogen (%) < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 >0,75

C/N <5,0 5,0-7,9 5,0-7,9 5,0-7,9 >17

P2O5 eks- HCl (%) <0,021 0,021-0,039 0,040-0,060 0,061-0,100 >0,100 P-avl Bray-II (ppm) <8,0 8,0-15 8,0-15 26-35 >35 P-avl Olsen (ppm) <10 10-25 26-45 46-60 >60 K2O eks-HCl (mg/100 ) <0,03 0,03-0,06 0,07-0,11 0,12-0,20 >0,20 KTK/CEC (me/100) <5 10-16 17-24 25-40 >40 K-tukar ( me/ 100 ) <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0 Na-tukar (me/ 100) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1,0 Mg-tukar (me/ 100) <0,4 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 >8,0 Ca-tukar (me/ 100) <2,0 2-5 6-10 11-20 >20 Kejenuhan Basa (%) <20 20-35 36-50 51-70 >70 Kejenuhan Al (%) <10 10-20 21-30 31-60 >60

*Sumber: Hardjowigeno (1995).

Lampiran 2 Penentuan tingkat kolonisasi dan kategori kolonisasi

Klasifikasi banyaknya infeksi akar FMA digolongkan ke dalam lima kelas infeksi berdasarkan pengelompokkan dari The Institute of Mycorrhizal Research and Development USDA Forest Service, Athena, Gregoria (Setiadi 1992), sebagai berikut:

Kelas Persen kolonisasi (%) Kategori

1 0–5 sangat rendah

2 6–25 rendah

3 26–50 sedang

4 51–75 tinggi

5 76–100 sangat tinggi

Sangat

masam Masam

Agak

masam Netral

Agak

alkalis Alkalis pH (H2O) <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5

(33)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Cirebon pada tanggal 24 Oktober 1991 dari ayah H Robbah Fedi (alm) dan ibu Nursa’adah. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Cirebon dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Gambar

Gambar 4 Spora Glomus sp. (A–E: Glomus sp. tanpa subtending hyphae, F:
Gambar 6 Spora Scutellospora sp.
Gambar 8 Frekuensi genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di

Referensi

Dokumen terkait

5 Histogram kepadatan spora pada 50 jenis tumbuhan bawah di tegakan sengon hasil kultur spora setiap 50 gram contoh tanah 16 6 Kekayaan genus spora fungi mikoriza

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula Dari Lokasi Berbeda Terhadap Pertumbuhan Bibit Jabon ( Anthocephalus

v Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Inokulasi Bakteri dan Fungi Mikoriza Arbuskula pada Semai Jabon ( Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) di Media Tanah Ultisol

Hasil penelitian status dan keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo memiliki 2 genus spora yaitu, Acalauspora 3

Keberadaan FMA dibuktikan dengan adanya jenis spora hasil isolasi yang ditemukan pada sampel tanah dari rizosfer tegakan E.. pellita

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman tanaman umbi dan fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada daerah rhizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan

Secara deskriptif, sifat kimia tanah yang terkandung di dalam tanah seperti unsur C-organik, N-Organik dan terutama fosfor yang rendah, ditambah lagi dengan kondisi tanah

5 Histogram kepadatan spora pada 50 jenis tumbuhan bawah di tegakan sengon hasil kultur spora setiap 50 gram contoh tanah 16 6 Kekayaan genus spora fungi mikoriza