• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper) dalam Limbah Minyak Goreng serta Dampaknya terhadap Keawetan dan Sifat Mekanisnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper) dalam Limbah Minyak Goreng serta Dampaknya terhadap Keawetan dan Sifat Mekanisnya"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

MINYAK GORENG SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP KEAWETAN DAN SIFAT MEKANISNYA

YOMI HANNA R. SINAGA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

INTRODUCTION : Bamboo is a good substitutive material for wood in

furniture production. Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) and betung (Dendrocalamus asper) bamboos are commonly used by Indonesia society for furniture and mechanical properties. But in the fact, bamboos mostly have low durability which are prone to termite attacks. Therefore bamboo preservation is very important in furniture production to optimize its utilization. Nowadays, preservation should be more environmental safe and more affordable to community. In this regard, this research aimed to know oil heat treatment effect on the durability from termite and mechanical properties of andong and betung bamboos. This research also aimed to determine the optimum temperature and periode of oil heat treatment for the purpose of durability improvement without significant effect on the mechanical properties of the andong and betung bamboos.

MATERIAL AND METHODS : The samples from andong dan betung bamboos

were made for termite test best on JIS K 1571-2004 with some modification. The mechanical test samples were made refering to ASTM D143. The bamboo samples dried at temperature of 60 °C for 6 days. After filtering, waste cooking oil was used to heat the bamboo samples at temperature 100 °C, 150 °C, and 200 °C for about 30 and 60 minutes separately. After heat treatment, the durability test and mechanical properties (MOE and MOR) tests were executed for the two bamboo spesies.

RESULT AND DISCUSSION : The results showed that heat treatment in waste

cooking oil significantly increased the durability of andong and betung bamboos from subterranean termites. This heat treatment also caused a slight increase of MOE the two bamboo spesies, while their MOR were not significantly changed. The recommended oil heat treatment for the both bamboo spesies was at temperatuter of 150 ° C for 30 minutes, which the significantly increased the termite mortality and minimized the weight loss of bamboo spesies.

KEYWORDS : Oil heat treatment, Betung bamboo, Andong bamboo, durability, subterranean termite.

1)

Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB 2)

Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB E/THH

Heat Treatment of Andong (Gigantochloa

pseudoarundicaea) and Betung (Dendracalamus asper) Bamboos in Waste Cooking Oil and Its Impact on the Durability

and Mechanical Properties By:

1)

(3)

RINGKASAN

YOMI HANNA R. SINAGA. E24060111. Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa

pseudoarundinacea) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper) dalam Limbah Minyak Goreng serta Dampaknya terhadap Keawetan dan Sifat Mekanisnya. Dibawah bimbingan TRISNA PRIADI.

Bambu merupakan sumber daya alam yang baik untuk menggantikan kayu dalam produksi mebel. Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan bambu betung (Dendrocalamus asper) adalah jenis bambu yang umumnya digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan baku konstruksi dan mebel. Namun pada kenyataannya, bambu tersebut memiliki dayan tahan yang rendah terhadap serangan rayap. Maka pengawetan bambu sangat penting dalam produksi mebel untuk mengoptimalkan pemanfaatannya. Saat ini, proses pengawetan yang dibutuhkan adalah yang ramah lingkungan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sifat keawetan bambu andong dan bambu betung terhadap serangan rayap tanah tanpa menurunkan sifat mekanis setelah diberi perlakuan pemanasan dengan limbah minyak goreng. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui suhu dan waktu terbaik untuk meningkatkan sifat keawetan dan sifat mekanis bambu andong dan bambu betung.

Bambu andong dan betung dipotong sesuai dengan ukuran contoh uji keawetan pada standar JIS K 1571-2004 yang dimodifikasi dan ukuran contoh uji mekanis yang mengacu pada ASTM D 143. Proses selanjutnya, contoh uji keawetan dan mekanis bambu dikeringudarakan lalu dioven dengan suhu 60 °C selama 6 hari. Sebelum pemanasan contoh uji, minyak yang akan digunakan disaring terlebih dahulu untuk membersihkan dari kotoran sisa penggorengan kemudian setelah itu dilakukan pemanasan contoh uji dengan minyak. Suhu yang digunakan dalam proses pemanasan bambu yaitu 100 °C, 150 °C, dan 200 °C. Sedangkan waktu pemanasan bambu adalah 30 dan 60 menit. Setelah perlakuan pemanasan dilakukan pengujian keawetan dan sifat mekanisnya (MOE dan MOR).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan bambu dalam limbah minyak goreng telah meningkatkan keawetan bambu andong dan bambu betung dari rayap tanah. Perlakuan pemanasan ini juga cenderung meningkatkan MOE kedua jenis bambu tetapi nilai MORnya tampak tidak banyak mengalami perubahan. Perlakuan pemanasan yang direkomendasikan untuk kedua jenis bambu ini adalah pada suhu 150 °C selama waktu 30 menit karena terbukti meningkatkan nilai mortalitas rayap secara nyata dan menghasilkan nilai penurunan berat yang nyata lebih kecil dibandingkan dengan contoh uji kontrolnya.

(4)

PEMANASAN BAMBU ANDONG (

Gigantochloa pseudoarundinacea

)

DAN BAMBU BETUNG (

Dendrocalamus asper

) DALAM LIMBAH

MINYAK GORENG SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP KEAWETAN DAN SIFAT MEKANISNYA

YOMI HANNA R. SINAGA

E24060111

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper) dalam Limbah Minyak Goreng serta Dampaknya terhadap Keawetan dan Sifat Mekanisnya adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Yomi Hanna R. Sinaga

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan

Bambu Betung (Dendrocalamus asper) dalam Limbah Minyak Goreng serta Dampaknya terhadap Keawetan dan Sifat Mekanisnya Nama Mahasiswa : Yomi Hanna R. Sinaga

NRP : E24060111

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng. Sc NIP: 19670425 199302 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 1966 0212 199103 1 002

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 18 Mei 1988 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga Bapak Antonius Sinaga dan Ibu Murniaty Simorangkir. Tahun 1993-1994 penulis memulai pendidikan di TK Fajar Medan. Pendidikan sekolah dasar di SD St. Antonius 1 Medan, dilanjutkan ke pendidikan menengah pertama di SLTP Putri Cahaya Medan. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA St. Thomas 1 Medan dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis diterima S1 Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2009 penulis memilih Teknologi Peningkatan Mutu Kayu sebagai bidang keahlian.

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Baturaden – Cilacap, Praktek Pengenalan Hutan (P2H) di Gunung Walat Sukabumi serta melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Sindangwangi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena yang telah melimpahkan berkat dan anugerah-Nya. Ucapan terima kasih dan penghargaan tak luput penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng. Sc. selaku dosen pembimbing atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan motivasi kepada penulis.

2. Orangtua tercinta (Almarhum Bapak Antonius Sinaga dan Ibu Murniaty Simorangkir), Adik-adikku (Eci, Jeri, dan Lala) dan segenap keluarga penulis atas kasih sayang, cinta, doa, dan dukungan yang telah diberikan baik moril maupun spiritual.

3. Segenap jajaran staf pengajar Departemen Hasil Hutan IPB yang telah

memberikan ilmu dan pelayanan terbaik selama kuliah.

4. Segenap laboran yang telah memberikan bantuan untuk kelancaran kegiatan penelitian, Pak Kadiman di Laboratorium Pengerjaan Kayu, Pak Abdullah di Laboratorium Biokomposit, Mas Irfan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, dan Pak Atin di Laboratorium Kimia Hasil Hutan.

5. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 43 Departemen Hasil Hutan: Dea, Poppy, Yeti, Ify, Siska, Gigit, Ferry, Dicky, Imam, Ricky, Mamo, Rahma dan mahasiswa Fahutan Angkatan 43, 44 dan 45 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas perhatian, dukungan, dan kesetiakawanan yang selalu kalian berikan.

6. Sahabat-sahabat yang terkasih Corry, Dina, Desma, Kartika, Wiwi, Pia, Icha, Didi, Eko, Hunter, Sandro, Eka, Hezron, Herman, Bambang, Sintong, Putri, dan Kurniadi yang selalu memberikan perhatian, motivasi dan doa kepada penulis.

(9)

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran studi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan serta memajukan kehutanan Indonesia.

Bogor, Februari 2013

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul Pemanasan Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) dalam Limbah Minyak Goreng serta Dampaknya terhadap Keawetan dan Sifat Mekanisnya. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2013

(11)

DAFTAR ISI 2.1 Sifat Umum dan Pemanfaatannya... 4

2.1.1 Bambu Andong... 5

2.1.2 Bambu Betung... 6

2.2 Pemanasan Bambu dengan Limbah Minyak Goreng...7

2.3 Rayap Tanah... 8

2.4 Sifat Mekanis Bambu...10

BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...11

3.2 Alat dan Bahan Penelitian...11

3.3 Persiapan Bahan Bak...11

3.4 Pemanasan Contoh Uji dengan Limbah Minyak Goreng...12

3.5 Pengkondisian Contoh Uji...13

3.6 Pengujian Keawetan terhadap Rayap Tanah...13

(12)

ii

4.2 Pengujian Sifat Mekanis Bambu...21

4.2.1 Modulus Patah (MOR)...,...21

4.2.2 Modulus Elastis (MOE)... 22

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...24

5.2 Saran...24

DAFTAR PUSTAKA...25

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan minyak inti

kelapa sawit...…... 7

2. Peningkatan berat bambu setelah perlakuan

pemanasan (%)... 17

3. Peningkatan nilai mortalitas rayap pada uji keawetan

bambu setelah proses pemanasan dibandingkan dengan contoh

uji kontrol......……... 19

4. Analisis ragam mortalitas rayap padauji keawetan

bambu... 19

5. Hasil uji lanjut Duncan faktor waktu terhadap nilai mortalitas

rayap... 19

6. Analisis ragam penurunan berat contoh uji bambu setelah

pengumpanan terhadap rayap...…... 20

7. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh faktor suhu terhadap penurunan

berat contoh uji bambu akibat serangan rayap... 21

8. Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOR bambu... 22

(14)

iv

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pembuatan contoh uji...……… 12

2. Limbah minyak goreng...……… 13

3. Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah

berdasarkan metode JIS K 1571-2004 yang dimodifikasi... 14

4. Rayap pekerja dan rayap prajurit...……… 14

5. Pengujian MOE dan MOR... 15

6. Perubahan warna bambu andong dan bambu betung setelah

perlakuan pemanasan...…... 17

7. Mortalitas rayap setelah proses pemanasan pada bambu andong dan bambu betung...… 18

8. Nilai rata-rata penurunan berat akibat serangan rayap pada bambu

andong dan bambu betung... 20

9. Nilai rata-rata MOR contoh uji bambu setelah perlakuan pemanasan pada bambu andong dan bambu betung ... 21

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Hasil pengujian sifat keawetan dan sifat mekanis bambu

andong dan bambu betung... 28

2. Persentase kenaikan mortalitas rayap...….………….. 30

3. Persentase nilai penurunan berat...…...… 31

4. Analisis ragam mortalitas rayap pada uji keawetan bambu...32

5. Analisis ragam mortalitas rayap pada uji keawetan bambu dibandingkan dengan contoh uji control...…. 32

6. Hasil uji lanjut Duncan faktor waktu terhadap nilai mortalitas rayap dibandingkan dengan contoh uji kontrol...…...……...….. 32

7. Analisis ragam penurunan berat contoh uji bambu setelah pengumpanan terhadap rayap...……...…… 33

8. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh faktor suhu terhadap penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap...… 33

9. Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOR bambu...…. 34

10. Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOR bambu dibandingkan dengan contoh uji kontrol...34

11. Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOE bambu... 35

12. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh faktor jenis terhadap nilai MOE bambu... 35

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat, maka kebutuhan kayu sebagai bahan baku bangunan dan industri perkayuan semakin meningkat. Di pihak lain, kemampuan hutan sebagai penyuplai kayu cenderung menurun sehingga semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan kayu, baik untuk bahan bangunan maupun sebagai bahan baku industri perkayuan. Kementrian Kehutanan (2011) mencatat bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama

periode 2009 – 2010 mencapai 832.126,9 hektar per tahun.

Secara total kebutuhan kayu per tahun di Indonesia sekitar 75 juta meter kubik, sementara kayu yang dapat ditebang hanya sekitar 20 juta meter kubik atau hanya memenuhi kurang dari sepertiga kebutuhan kayu. Kondisi kritisnya

ketersediaan kayu di Indonesia dan di dunia turut dipengaruhi oleh tingginya kerusakan hutan di dunia. Kerusakan hutan di dunia mencapai 13,7 juta hektar setiap tahun. Kondisi ini juga terjadi di negara berkembang dengan angka kerusakan hutan sampai 12.9 juta hektar setiap tahun (Mabulan 2012)

Sumber daya alam yang sangat berpotensi menggantikan kayu yaitu bambu. Bambu sudah banyak digunakan dalam berbagai kebutuhan rumah tangga seperti furniture dan bahan konstruksi bangunan. Dari hasil Sensus Pertanian 2003 (ST03) menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 4,73 juta rumah tangga yang menggunakan tanaman bambu dengan populasi yang dikuasai mencapai 37,93 juta rumpun atau rata-rata penguasaan per rumah tangganya sebesar 8,03 rumpun. Dari total sebanyak 37,93 juta rumpun tanaman bambu, sekitar 27,88 juta rumpun atau 73,52 % diantaranya adalah merupakan tanaman bambu yang siap tebang. Dilihat dari pemanfaatannya yang semakin meningkat dan mempunyai nilai guna yang tinggi di masyarakat, bambu yang dipakai harus memiliki sifat keawetan dan sifat mekanis yang baik. Sifat keawetan alami bambu tergolong rendah. Pengawetan bambu merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan pemanfaatannya. Bahan pengawet yang dibutuhkan sekarang ini

(17)

Pemanfaatan limbah minyak goreng digunakan dalam pengolahan/pemanasan bambu untuk meningkatkan keawetan bambu.

Limbah minyak goreng bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak ini

merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga yang dapat digunakan kembali untuk keperluan kuliner. Bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan (Wikipedia 2012). Dari limbah minyak goreng yang semakin banyak sekarang ini tentunya dapat dikembangkan menjadi hal lain yang berguna misalnya untuk peningkatan keawetan bambu.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tingkat keawetan bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinace) dan bambu betung (Dendrocalamus asper) setelah diberi perlakuan pemanasan dengan limbah minyak goreng.

2. Mengetahui pengaruh proses pemanasan bambu betung (Dendrocalamus asper) dan bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dengan limbah minyak goreng terhadap sifat mekanis.

3. Mengetahui variasi waktu dan suhu pemanasan yang terbaik untuk meningkatkan sifat keawetan dan sifat mekanis bambu betung (Dendrocalamus asper) dan bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea).

1.3 Manfaat Penelitian

1. Meningkatkan umur pakai bambu setelah diberi perlakuan pemanasan dengan limbah minyak goreng.

2. Menambah nilai guna minyak goreng yang sudah tidak digunakan (limbah).

1.4 Hipotesis

(18)

3

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Sifat Umum Bambu dan Pemanfaatannya

Bambu adalah tumbuhan yang memiliki batang yang beruas-ruas, berbuluh, berbuku serta berongga dan percabangannya berupa rimpang dan daun yang berbuluh. Bambu yang termasuk famili Graminae yang terbagi atas bagian rimpang, pucuk, buluh, percabangan, daun dan perbungaan (Heyne 1987). Tanaman bambu hidup merumpun, mempunyai ruas dan buku. Pada setiap ruas

tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan ruasnya, di samping tunas-tunas rumpunnya (Batubara 2002).

Tanaman bambu tumbuh alami di seluruh benua kecuali Eropa. Sebanyak 80% dari jumlah tanaman ini berada di Asia Tenggara (Tim ELSPPAT 1997). Dari 1000 spesies bambu dalam 80 negara, sekitar 200 spesies dari 20 negara ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja 1995), sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Bambu adalah tanaman yang cepat tumbuh. Bambu mencapai ketinggian maksimum setelah 2-4 bulan. Kemudian pertumbuhan pada percabangannya dimulai. Kebanyakan bambu berbunga dalam interval waktu yang lama dalam beberapa dekade. Setelah berbunga dan berbuah, rumpunnya mati. Ketika bunga dan buahnya mati, rhizoma-nya tetap hidup dan menghasilkan rumpun yang baru. Diameter rumpunnya pada kebanyakan spesies di daerah subtropis adalah 8-15 cm dan panjangnya 2-4 m. Di daerah tropis, diameternya 15-20 cm dan panjangnya mencapai 40 m (Tim ELSPPAT 1997).

Menurut Anonim (1977) dalam Ross (1993) batang bambu berbentuk silindris dengan ukuran diameter 2-30 cm dan panjangnya 3-35 m. Batang ini umumnya berongga dan terbagi atas ruas (internode) yang dibatasi oleh buku (node), dan rongga antar bambu dipisahkan oleh diafragma. Panjang, ketebalan

dinding dan garis tengah dari bambu tergantung dari umur bambu itu.

(20)

5

waktu setahun. Sedang tahun-tahun berikutnya merupakan proses penuaan dan pada akhir tahun ketiga batang bambu tersebut sudah dapat ditebang. Sedangkan pada akhir tahun kedua sudah banyak buluh yang ditebang untuk kebutuhan barang kerajinan anyaman. Oleh karena itu pembudidayaan bambu sebenarnya

merupakan usaha yang cepat menghasilkan, karena dalam waktu 4 tahun sudah dapat melakukan pemanenan yang pertama (Widjaja et al. 1994).

Negara-negara yang memperdagangkan bambu adalah Philipina, Malaysia, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, Thailand, India, China, Taiwan, Hongkong, dan beberapa neagara Afrika. Bambu yang diperdagangkan adalah bambu yang dibudidayakan oleh masyarakat. Jarang sekali yang diambil dari hutan alami. Perkiraan jumlah total rumpun bambu dari perkebunan di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi Selatan adalah 33-146 juta (Tim ELSPPAT 1997).

Beberapa kelebihan bambu yaitu kekuatannya yang tinggi dan dapat ditebang pada umur 3-5 tahun dengan kualitas yang bagus, mudah ditanam, tidak membutuhkan perawatan yang khusus serta mudah ditemukan di sekitar pedesaan. Hal ini yang semakin memperkuat bambu sebagai pengganti kayu yang baik dalam penggunaannya sebagai bahan baku konstruksi dan furniture. Bambu yang dapat dipanen dalam kurun waktu antara 2-5 tahun dapat menggantikan sebagian manfaat kayu yang baru dapat ditebang pada umur antara 6-80 tahun. Selain itu, bambu juga digunakan untuk mebel, kerajinan tangan, bahan dalam industri

kertas, alat musik, senjata, obat-obatan, landscaping taman, bahan makanan, dan batangnya dapat dijadikan arang (Tim ELSPPAT 1997). Menurut Dransfield dan Widjaja 1995 bermanfaat sebagai bahan pembuatan perkakas rumah tangga, dinding rumah dan anyaman.

Purwito (2008) mengemukakan ada beberapa kelemahan bambu seperti, rentan terhadap serangan hama perusak kayu (rayap, bubuk, dan jamur) sehingga umur pakainya pendek, rentan terhadap api, panjang dan ukurannya tidak seragam, sulit peyambungannya pada kontstruksi, dan lain-lain.

2.1.1 Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea)

(21)

Rumpunnya yang hijau dengan garis-garis kuning yang tertutup bulu cokelat sampai hitam, dan buluhnya lurus tinggi mencapai 7-30 m. Percabangan bambu andong terletak jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang lainnya, dan ujungnya melengkung. Buluh mudanya tertutup

bulu cokelat, dan ketika tua gundul dan buluh menjadi hijau dengan garis kuning, ruas panjangnya 40-45 cm (kadang mencapai 60 cm), berdiameter 5-13 cm, tebal dinding mencapai 20 mm. Biasanya bambu andong banyak digunakan untuk bahan bangunan, pipa air, dan alat musik tradisional. Perusahaann bambu telah menggunakannya sebagai bahan baku sumpit (Widjaja 2001).

2.1.2 Bambu Betung (Dendracalamus asper)

Bambu betung mempunyai rumpun yang sedikit rapat. Tinggi buluhnya sampai 20 m dan berdiamerter sampai 20 cm. Buku-bukunya sering mempunyai akar-akar pendek yang menggerombol. Panjang ruas 40-60 cm, dinding buluhnya cukup tebal sekitar 1-1,5 cm. Cabang-cabang yang bercabang lagi hanya terdapat di buku-buku bagian atas. Cabang primer lebih besar dari cabang-cabang lain, dan sering dominan. Bambu ini dapat dijumpai dan tumbuh baik di tempat-tempat mulai dari dataran rendah sampai daerah ketinggian 2000 m dpl. Jenis ini akan tumbuh dengan baik bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering.

(22)

7

2.2 Pemanasan Bambu dengan Limbah Minyak Goreng

Keawetan bambu adalah daya tahan bambu terhadap faktor perusak bambu, misalnya ketahanan bambu terhadap serangan rayap, bubuk kayu kering, dan jamur perusak bambu. Pengawetan bambu dilakukan dengan tujuan menaikkan

umur pakai dan meningkatkan nilai ekonomisnya (Tim ELSPPAT 1997).

Minyak berguna sebagai media penghantar panas selain pemanggangan dan perebusan tetapi prosesnya lebih efisien. Minyak goreng yang biasa digunakan berasal dari tanaman kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis

JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam family Palmae. Kelapa sawit dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran 22°-32 °C. Minyak goreng mengandung dua jenis lemak, yaitu asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid). Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Rata-rata komposisi lemak minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit

Asam lemak Minyak kelapa sawit (%) Minyak inti sawit (%)

Asam kaprilat - 3 - 4

Sumber : Eckey, S. W. (1955) dalam Ketaren (2005)

(23)

berulang-ulang dimana mengakibatkan kandungan lemak jenuhnya meningkat. (Ketaren 2005). Beberapa jenis tanaman yang kerap digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng mengandung asam lemak jenuh cukup tinggi, misalnya kelapa sawit dan kelapa. Sedangkan bahan baku kedelai, jagung, dan bunga

matahari mempunyai kadar asam lemak jenuh yang relatif rendah. Sebagai perbandingan, minyak sawit memiliki kadar lemak jenuh sekitar 52%, sementara minyak kedelai hanya 15%. Sisi negatifnya, konsumsi berlebihan terhadap makanan gorengan yang menggunakan minyak dengan kadar lemak jenuh tinggi berpotensi menyebabkan penyakit kanker dan jantung (Suaramerdeka 2009).

Pemanasan bambu dengan limbah minyak goreng sebelumnya sudah dilakukan oleh Andiasri (2010) yaitu meneliti teknik pemanasan pada bambu tali dan bambu hitam untuk melihat keawetannya terhadap rayap kayu kering menggunakan suhu 100 °C dan 150 °C dalam waktu 30 menit dan 60 menit. Hasil dari penelitian tersebut adalah Perlakuan waktu dan suhu pemanasan yang terbaik adalah pemanasan selama 30 menit dengan suhu pemanasan 150 °C.

2.3 Rayap Tanah

Menurut Borror dan De Long (1945) dalam Nandika (1986), rayap yang termasuk dalam ordo Isoptera adalah serangga yang berukuran kecil sampai sedang, hidup dalam kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang telah

berkembang. Kondisi iklim dan tanah, serta banyaknya ragam jenis tumbuhan di Indonesia mendukung kehidupan 200 jenis rayap di Indonesia (Nandika et al. 2003)

Menurut Kofoid (1946) dalam Nandika (1986) setiap koloni rayap, pada umumnya terdapat tiga kasta yang dinamai menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif yang terdiri dari kasta primer (raja dan ratu). Dalam hal ini bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing.

(24)

9

memelihara sarang. Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepala yang besar dengan penebalan kulit yang nyata, mempunyai rahang yang besar dan kuat. Sedangkan fungsi kasta prajurit melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta reproduktif terdiri dari serangga-serangga dewasa bersayap dan menjadi

pendiri koloni (raja dan ratu).

Sampai saat ini telah tercatat kira-kira 2000 jenis rayap tersebar di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia telah ditemukan kurang lebih 200 jenis rayap (Tarumingkeng 2001). Dari sekian banyak jenis rayap, diketahui bahwa kerusakan kayu lebih banyak ditimbulkan oleh golongan rayap subteran. Rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan yang membangun liang-liang kembara yang berfungsi untuk menghubungkan sarang dengan benda yang diserang.

Golongan rayap subteran selalu menghindari cahaya dan membutuhkan kelembaban yang tinggi dalam kehidupannya. Karena sifatnya yang cryptobiotic

dan membutuhkan air untuk melembabkan kayu, liang kembara biasanya tertutup dengan bahan-bahan tanah. Jenis rayap yang termasuk dalam golongan rayap subteran adalah anggota-anggota famili Rhinotermitidae (Coptotermes dan Schedorhinotermes) serta sebagian anggota famili Termitidae (Macrotermes dan Odontotermes). Rayap Coptotermes curvignathus lebih sering dikenal dengan sebutan rayap tanah. Coptotermes curvignathus merupakan rayap tanah yang

berukuran besar dan memiliki serangan yang paling luas di Indonesia.

Coptotermes curvignathus Holmgren dapat bersarang di dalam kayu yang mati atau yang masih hidup serta di dalam tanah. Sistematika jenis rayap ini adalah :

Kelas : Insekta Ordo : Blaktodea Famili : Rhinotermitidae subfamili : Coptotermitinae Genus : Coptotermes

(25)

2.4 Sifat Mekanis Bambu

Batang bambu terdiri dari atas bagian buku (node) dan bagian ruas (internode). Pada bagian ruas, orientasi selnya aksial tidak ada yang radial sedangkan sklerenkim pada bagian buku dilengkapi oleh sel radial. Bagian terluar

terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam tertutup lapisan sklerenkim (Liese 1980)

Janssen (1981) dalam Noermalicha (2001) menyatakan kekuatan mekanis bambu sangat bergantung pada lapisan sklerenkim, yang dimaksud dengan lapisan sklerenkim adalah jaringan yang berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskuler yang di dalamnya terdapat sklerenkim dan bukan pada parenkim.

Sifat mekanis adalah kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimampatkan, terpuntir, atau terlengkungkan oleh suatu bahan yang mengenainya. MOR adalah saat (dimana) bambu mengalami pengujian hingga uji mengalami patah. Sifat mekanis MOR penting karena akan mempengaruhi kualitas bambu yang akan digunakan sebagai komponen struktural. Sedangkan MOE merupakan ukuran kemampuan atau tingkat

kekakuan bambu untuk mempertahankan perubahan bentuk akibat beban yang mengenainya (Haygreen dan Bowyer 1996).

(26)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Mei 2012.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari timbangan, oven, desikator, panci, kaliper, Universal Testing Machine merk Instron, paralon dental semen, saringan teh, kain lap, corong, gelas ukur, moisture meter, kain kasa,

thermometer dan kompor gas.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) yang berumur 5 tahun dan bambu betung (Dendracalamus asper)yang berumur 4 tahun. Bambu andong dan bambu betung diperoleh dari tanaman bambu yang tumbuh di kampung Carangpulang, desa Cikarawang, kecamatan Dramaga, kabupaten Bogor. Minyak goreng bekas lima kali penggorengan diperoleh dari pedagang ayam dan ikan Babakan Raya, Darmaga, Bogor. Rayap tanah (Coptotermes curvignathus) yang digunakan berasal dari biakan rayap di Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

3.3 Persiapan Bahan Baku

(27)

2 cm

2 cm (B)

30 cm

(A) (C)

2 cm

Gambar 1 Pembuatan contoh uji.

Keterangan : (A) Batang bambu

(B) Contoh uji pengujian rayap tanah (C) Contoh uji pengujian mekanis

Proses selanjutnya, contoh uji keawetan dan mekanis bambu dikeringudarakan, dioven dengan suhu 60 °C selama 6 hari. Kemudian contoh uji keawetan bambu ditimbang.

3.4 Pemanasan Contoh Uji dengan Limbah Minyak Goreng

Minyak goreng bekas lima kali penggorengan (Gambar 2) yang akan digunakan disaring terlebih dahulu menggunakan kain tipis untuk membersihkan dari kotoran sisa penggorengan. Proses selanjutnya yaitu pemanasan contoh uji dengan limbah minyak goreng. Seluruh bagian contoh uji terendam minyak goreng. Suhu yang digunakan dalam proses pemanasan bambu yaitu 100 °C, 150

(28)

13

Gambar 2 Limbah minyak goreng.

3.5 Pengkondisian Contoh Uji

Contoh uji yang telah digoreng ditiriskan kemudian didiamkan sekitar 15 menit dan dilakukan proses membersihkan sisa minyak menggunakan kain. Kemudian dikeringkan di ruangan terbuka. Setelah proses pemanasan bambu dan pengeringan, contoh uji dioven selama 6 hari dengan suhu 60 °C kemudian ditimbang.

3.6 Pengujian Keawetan terhadap Rayap Tanah

Pengujian keawetan bambu terhadap rayap tanah mengikuti standar JIS K 1571 2004 yang dimodifikasi. Contoh uji bambu dimasukkan ke dalam paralon yang telah diberi dasar dental cement dengan posisi bidang radial kayu menyentuh jaring tipis (Gambar 3). Kemudian dimasukkan 150 ekor rayap tanah dari kasta

pekerja dan 15 ekor rayap prajurit. Setelah itu, paralon ditutup dengan aluminium foil dan diberi lubang kecil-kecil, kemudian ditempatkan dalam wadah yang telah diberi alas kapas basah. Paralon ditempatkan di atas kapas basah, kemudian diletakkan di tempat gelap selama 3 minggu.

(29)

Gambar 3 Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan metode JIS K 1571-2004 yang dimodifikasi.

A B

Gambar 4 Rayap pekerja (A) dan rayap prajurit (B).

Rumus untuk menghitung mortalitas rayap (MR) :

Keterangan:

D = Jumlah rayap yang mati (ekor)

150 = Jumlah rayap pada awal pengujian (ekor)

Uji penurunan berat contoh uji bambu dihitung dengan rumus :

Keterangan :

P = Persentase penurunan berat contoh uji (%)

W1 = Berat kering oven contoh uji sebelum diumpankan (gram) W2 = Berat kering oven contoh uji setelah diumpankan (gram)

rayap

(30)

15

3.7 Pengujian Sifat Mekanis

Pengujian sifat mekanis bambu, baik modulus elastisitas (MOE) maupun modulus patah (MOR) mengacu pada ASTM D 143 menggunakan Universal Testing Machine merk Instron. Contoh uji berukuran lebar dan panjang 2 x 30 cm pada kondisi kering udara dengan jarak sangga 28 cm. Nilai MOR dan MOE dihitung dengan rumus:

Keterangan :

MOR = Modulus patah (kg/cm2) MOE = Modulus elastisitas (kg/cm2) Pm = Beban maksimum (kg) L = Jarak sangga (cm)

Δ P = Beban sebelum batas proporsi (kg)

Δ Y = Besarnya perubahan defleksi akibat perubahan beban P (cm) b = Lebar contoh uji (cm)

h = Tebal contoh uji (cm)

L (cm)

Gambar 5 Pengujian MOE dan MOR.

3.8 Analisis Data

Analisis pengaruh perlakuan pemanasan pada sifat-sifat bambu menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan pemanasan pada suhu (100 oC, 150 oC, dan 200 oC) dan waktu pemanasan (30 menit dan 60 menit), masing-masing terdiri dari 3 kali ulangan.

(31)

Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk= μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan :

Yijk = Nilai respon dari unit percobaan yang mendapatkan perlakuan suhu ke-i, dan waktu pemanasan ke-j pada ulangan ke-k

μ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan suhu pada taraf ke-i

βj = Pengaruh perlakuan waktu pemanasan pada taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan waktu pemanasan suhu pada taraf ke-i, dan perlakuan waktu pemanasan pada taraf ke-j

αβ ij = Pengaruh interaksi faktor pengaruh pengaruh faktor suhu ke-i dan pengaruh faktor waktu pemanasan ke-j

ijk = Nilai galat (kesalahan percobaan) dari unit percobaan suhu ke-i, dan waktu pemanasan ke-j pada ulangan ke-k

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap pengujian keawetan dan mekanis bambu yang diuji maka dilakukan analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA). Nilai F-hitung yang diperoleh dari ANOVA tersebut dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayan 95% dengan kaidah

keputusan :

1. Apabila F-hitung < F-tabel, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pengujian keawetan dan mekanis bambu pada selang kepercayaan 95%.

2. Apabila F-hitung > F-tabel, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap pengujian keawetan dan mekanis bambu pada selang kepercayaan 95%.

(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanasan contoh uji dengan limbah minyak goreng menyebabkan perubahan warna (Gambar 6). Pada bambu andong, perubahan warna yang terjadi dari cokelat kekuningan menjadi cokelat. Sedangkan perubahan warna pada bambu betung adalah dari cokelat muda menjadi cokelat gelap. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan menyebabkan perubahan warna pada bambu menjadi semakin gelap.

Gambar 6 Perubahan warna bambu andong (A) dan bambu betung (B) setelah perlakuan pemanasan pada suhu 100 °C dan waktu 30 menit (P1); suhu 100 °C dan waktu 60 menit (P2); suhu 150 °C dan waktu 30 menit (P3); suhu 150 °C dan waktu 60 menit (P4); suhu 200 °C dan waktu 30 menit (P5); suhu 200 °C dan waktu 60 menit (P6) terhadap contoh uji kontrol (C).

Tabel 2 Peningkatan berat bambu setelah perlakuan pemanasan (%)

Suhu 100 ºC Suhu 150 ºC Suhu 200 ºC

Bambu Waktu 30 menit 60 menit 30 menit 60 menit 30 menit 60 menit

Andong 5,56 8,11 4,60 7,21 9,72 15,08

(33)

Perlakuan pemanasan bambu dengan limbah minyak goreng juga menyebabkan peningkatan berat. Rata-rata peningkatan berat bambu setelah diberi perlakuan adalah 4,60% sampai 20,10% (Tabel 2). Rata-rata peningkatan berat pada bambu betung lebih tinggi daripada bambu andong.

4.1 Pengujian Keawetan Bambu

Indikator dalam pengujian bambu dapat dievaluasi berdasarkan nilai mortalitas rayap dan penurunan berat contoh uji setelah pengumpanan. Pengujian keawetan bambu pada penelitian ini menggunakan rayap tanah.

4.1.1 Mortalitas Rayap

Waktu (menit) Waktu (menit)

A B

Gambar 7 Mortalitas rayap setelah proses pemanasan pada bambu andong (A) dan bambu betung (B).

(34)

19

Tabel 3 Peningkatan nilai mortalitas rayap pada uji keawetan bambu setelah proses pemanasan dibandingkan dengan contoh uji kontrol

Suhu 100 ºC Suhu 150 ºC Suhu 200 ºC setelah perlakuan pemanasan dengan limbah minyak goreng memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan nilai mortalitas rayap pada contoh uji kontrol.

Tabel 4 Analisis ragam mortalitas rayap pada uji keawetan bambu

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Jenis 78.2 1 78.2 2.0 0.16

Perlakuan 22,317.9 6 3,719.6 95.6 0.00

Jenis x Perlakuan 71.8 6 11.9 0.3 0.92

Dari hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 5 terlihat bahwa respon pada kontrol

berbeda dengan respon setelah diberikan perlakuan. Mortalitas rayap pada bambu yang diberi perlakuan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas bambu kontrol. Perlakuan pemanasan bambu dengan limbah minyak goreng pada suhu 100 ºC selama 30 menit sudah bisa meningkatkan nilai mortalitas rayap.

Tabel 5 Hasil uji lanjut Duncan faktor waktu terhadap nilai mortalitas rayap

Perlakuan Nilai Tengah Kelompok N

(35)

4.1.2 Penurunan Berat

A B

Gambar 8 Nilai rata-rata penurunan berat akibat serangan rayap pada bambu andong (A) dan bambu betung (B).

Gambar 8 menunjukkan penurunan nilai berat akibat serangan rayap pada bambu setelah pemanasan lebih kecil dibandingkan dengan penurunan berat

contoh uji bambu kontrol. Kecenderungan ini diduga disebabkan oleh pemanasan bambu terutama pada suhu 150 °C dan 200 °C menyebabkan perubahan kimia penyusun kayu. Selain itu adanya limbah minyak goreng yang tertinggal dalam bambunya menyebabkan kurang disukai rayap.

Tabel 6 Analisis ragam penurunan berat contoh uji bambu setelah pengumpanan terhadap rayap

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Jenis 0.1 1 0.1 3.2 0.08

Suhu 2.7 2 1.3 31 0.00

Waktu 0 1 0 0.1 0.71

Jenis x Suhu 0.1 2 0 0.7 0.47

Jenis x Waktu 0.1 1 0.1 2.2 0.15

Waktu x Suhu 0.1 2 0 0.9 0.39

Jenis x Waktu x Suhu 0.1 2 0.1 1.2 0.30

Hasil uji lanjut Duncan (Tabel 7) menunjukkan bahwa pemanasan 150 °C dan 200 °C menghasilkan nilai penurunan berat bambu yang nyata lebih kecil dibandingkan dengan hasil pemanasan bambu pada suhu 100 °C. Kimia penyusun kayunya terutama selulosa diduga mengalami perubahan yang lebih banyak pada

(36)

21

perlakuan pemanasan suhu 150 °C dibandingkan suhu pemanasan 100 °C. Sedangkan penurunan berat pada perlakuan suhu 150 °C dan 200 °C tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, sehingga pemberian suhu 200 °C mungkin tidak perlu dilakukan.

Tabel 7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh faktor suhu terhadap penurunan berat contoh uji bambu akibat serangan rayap

Suhu Nilai Tengah Kelompok N

1500 0.2 A 12

2000 0.2 A 12

1000 0.8 B 12

Pemanasan yang sebaiknya digunakan berdasarkan nilai mortalitas rayap dan nilai penurunan berat bambu pada penilitian ini adalah pada suhu 150 °C selama 30 menit karena telah meningkatkan nilai mortalitas rayap dan menyebabkan penurunan nilai berat bambu yang nyata lebih kecil.

4.2 Pengujian Sifat Mekanis Bambu 4.2.1 Modulus Patah (MOR)

Waktu (menit) Waktu (menit)

A B

Gambar 9 Nilai rata-rata MOR contoh uji bambu setelah perlakuan pemanasan pada bambu andong (A) dan bambu betung (B)

(37)

Tabel 8 Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOR bambu

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Jenis 3,935.6 1 3935.6 0 0.83

Suhu 36,223.7 2 18111.8 0.2 0.81

Waktu 170.9 1 170.9 0 0.96

Jenis x Suhu 211,779.8 2 105889.9 1.2 0.31

Jenis x Waktu 5,699.9 1 5699.9 0.1 0.80

Waktu x Suhu 112,815.1 2 56407.5 0.6 0.53

Jenis x Waktu x Suhu 6,421.6 2 3210.8 0 0.96

Pada Tabel 8 terlihat bahwa tidak ada satu pun faktor yang memberikan perbedaan pengaruh yang nyata terhadap respon MOR, baik suhu maupun waktu. Hal ini menyatakan bahwa proses pemanasan tidak banyak mengubah nilai MOR bambu betung dan bambu andong.

4.2.2 Modulus Elastis (MOE)

A B

Gambar 10 Nilai rata-rata MOE contoh uji bambu setelah perlakuan pemanasan pada bambu andong (A) dan bambu betung (B).

Dalam penelitian ini secara umum perlakuan pemanasan menggunakan limbah minyak goreng cenderung meningkatkan nilai MOE bambu andong maupun bambu betung (Gambar 10), walaupun secara statistik tidak nyata (Tabel 10). Peningkatan nilai MOE bambu andong setelah diberi pemanasan dengan minyak adalah hingga 21.9%, sedangkan peningkatan nilai MOE bambu betung adalah hingga 78,5%.

(38)

23

Tabel 9 Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOE bambu

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Jenis 8.204(109) 1 8.204(109) 5.123 0.03

Suhu 7.588(109) 2 3.794(109) 2.369 0.11

Waktu 8.487(108) 1 8.487(108) .530 0.47

Jenis x Suhu 1.371(109) 2 6.856(108) .428 0.65

Jenis x Waktu 1.792(108) 1 1.792(108) .112 0.74

Waktu x Suhu 1.930(109) 2 9.649(108) .603 0.55

Jenis x Waktu x Suhu 3.904(108) 2 1.952(108) .122 0.88

Jadi proses pemanasan ini relatif aman karena tidak menurunkan kekuatan

(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Perlakuan pemanasan bambu dalam limbah minyak goreng telah meningkatkan keawetan bambu andong dan bambu betung dari rayap tanah.

2. Pemanasan dengan limbah minyak goreng ini tidak mempengaruhi secara nyata nilai MOR bambu andong dan bambu betung, namun cenderung meningkatkan nilai MOE kedua bambu tersebut walaupun secara statistik

tidak nyata .

3. Perlakuan pemanasan yang direkomendasikan untuk kedua jenis bambu ini adalah pada suhu 150 °C selama waktu 30 menit karena terbukti meningkatkan nilai mortalitas rayap secara nyata serta menghasilkan nilai

penurunan berat contoh uji yang nyata lebih kecil dibandingkan dengan contoh uji kontrolnya.

5.2 Saran

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Batubara R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/970 [3 Oktober 2012]. Sutjipto A. Hadikusumo, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science : An. Introduction.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jakarta: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Janssen JJA. 1981. Bamboo in Building Structures, Doktor of Technical Science Thesis, Eindhoven University of Technology, Eindhoven, Netherlands.

[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2012. Statistik 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.

Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-Press

Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Dalam: Bamboo Research in Asia. Proceeding of a Workshop Held in Singapore, 28-30 May 1980.

Mabulan E. 2012. Rekayasa Rancang Bangun Laminasi Lengkungan Bambu [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Nandika D. 1986. Ancaman Rayap pada Bangunan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

_________, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta: Muhammadiah University press.

Noermalicha. 2001. Rekayasa Rancangan Bangunan Laminasi Lengkungan Bambu [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Purwito. 2008. Standarisasi Bambu Sebagai Bahan Bangunan Alternatif Pengganti Kayu. Dalam : Prosiding PPI, 5 November 2008. Puslitbang BSN.

(41)

Sastrapradja S, Widjaja EA, Soehardjono P dan Soejatmi S. 1980. Beberapa Jenis Bambu. Jakarta: Lembaga Nasional LIPI.

Surjokusumo S, Nugroho N. 1994. Pemanfataan Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Dalam: Strategi Penelitian Bambu di Indonesia. PUSPITEK Serpong, 21-22 Juni 1994.

Tarumingkeng RC. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap. Bunga Rampai Jejak Langkah Pengabdian. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Tim ELSSPAT. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Jakarta : Puspa Swara.

Widjaja EA, Mien AR, Bambang S, Dodi N. 1994. Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari.

(42)

27

(43)
(44)

29

Jenis Suhu (ºC)

Waktu

(menit) Ulangan

MOR (Kg/cm2)

MOE

(Kg/cm2) M (%) P (%)

Betung 150 30 1 218,75 149765,55 98,00 0,03

Betung 150 30 2 591,89 133170,41 90,00 0,15

Betung 150 30 3 581,97 152562,90 85,33 0,24

Betung 150 60 1 228,92 148148,15 90,00 0,21

Betung 150 60 2 476,56 137200,78 100,00 0,32

Betung 150 60 3 1264,16 221269,40 96,00 0,06

Betung 200 30 1 192,94 144537,86 97,33 0,21

Betung 200 30 2 251,50 99262,76 94,67 0,26

Betung 200 30 3 760,13 164665,91 90,00 0,03

Betung 200 60 1 212,73 227219,83 94,00 0,28

Betung 200 60 2 260,88 128344,13 99,33 0,32

Betung 200 60 3 496,96 151171,47 91,33 0,13

Keterangan :

(45)

Lampiran 2 Persentase kenaikan mortalitas rayap

Jenis Bambu Suhu (ºC) Waktu (menit) % Kenaikan

Bambu andong 100 30 92,446

100 60 87,113

150 30 91,333

150 60 94,667

200 30 87,553

200 60 91,11

kontrol kontrol 25,776

Bambu betung 100 30 93,113

100 60 93,556

150 30 91,11

150 60 95,333

200 30 94

200 60 94,886

(46)

31

Lampiran 3 Persentase nilai penurunan berat

Jenis Bambu Suhu (ºC) Waktu (menit) % nilai penurunan

Bambu andong 100 30 1,139

100 60 0,716

150 30 0,205

150 60 0,197

200 30 0,278

200 60 0,262

kontrol kontrol 1,932

Bambu betung 100 30 0,631

100 60 0,726

150 30 0,137

150 60 0,194

200 30 0,166

200 60 0,247

(47)

Lampiran 4 Analisis ragam mortalitas rayap pada uji keawetan bambu

Perlakuan Nilai Tengah Kelompok N

(48)

33

Lampiran 7 Analisis ragam penurunan berat contoh uji bambu setelah pengumpanan terhadap rayap

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Jenis .141 1 .141 3.187 .087

Suhu** 2.749 2 1.374 31.039 .000**

Waktu .006 1 .006 .137 .714

Jenis x Suhu .069 2 .034 .776 .471

Jenis x Waktu .098 1 .098 2.208 .150

Waktu x Suhu .086 2 .043 .968 .394

Jenis x Waktu x Suhu .111 2 .055 1.252 .304

Error 1.063 24 .044

Total 10.458 36

* : nyata pada taraf 5% ** : nyata pada taraf 1%

Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh faktor suhu terhadap penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap

Suhu Nilai Tengah Kelompok N

1500 .1974 A 12

2000 .2382 A 12

(49)

Lampiran 9 Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOR bambu

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Jenis 3,935.680 1 3935.680 .045 .834

Suhu 36,223.762 2 18111.881 .208 .814

Waktu 170.956 1 170.956 .002 .965

Jenis x Suhu 211,779.875 2 105889.938 1.215 .314

Jenis x Waktu 5,699.998 1 5699.998 .065 .800

Waktu x Suhu 112,815.137 2 56407.569 .647 .532

Jenis x Waktu x Suhu 6,421.640 2 3210.820 .037 .964

Error 2,092,097.558 24 87170.732

Total 8,902,089.112 36

* : nyata pada taraf 5% ** : nyata pada taraf 1%

Lampiran 10 Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOR bambu dibandingkan dengan contoh uji kontrol

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 157,811.125 6 26,301.854 .306 .928

Error 2,404,029.306 28 85,858.190

Total 1.009(107) 42

(50)

35

Lampiran 11 Analisis ragam pengaruh pemanasan terhadap MOE bambu

Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Gambar

Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit
Gambar 1 Pembuatan contoh uji.
Gambar 2 Limbah minyak goreng.
Gambar 3  Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji sifat fisis dan mekanis OSB dan kandungan zat ekstraktif dari bambu betung dengan perlakuan pendahuluan steam dan berbagai

Histogram hasil pengamatan jumlah tunas setek cabang bambu betung pada akhir penelitian (bambu berumur 3 bulan setelah disemai) dengan diberi perlakuan AIB berkonsentrasi 0 ppm,1.

Pemilahan bambu menggunakan metode gelombang ultrasonik memiliki nilai MOEus lebih besar 2.83 kali daripada pemilahan defleksi (MOEp) dan lebih besar 2.91 kali

Judul Penelitian PENGARUH JENIS DAN LAMA PERENDAMAN BAMBU BETUNG {Delldrocaiamlls asper (schult f.) Backer ex Heyne} TERHADAP SERANGAN RA YAP TANAH

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran partikel bambu dan kerapatan papan partikel terhadap sifat akustik, sifat fisis dan mekanis panel akustik papan

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai perbanyakan bambu betung (Dendrocalamus asper) dengan cara setek cabang dan diberi zat pengatur

Tujuan dari penelitian ini ialah mengevaluasi pengaruh ukuran pelupuh (zephyr) dan keberadaan buku bambu (node) terhadap sifat fisis dan mekanis laminasi bambu, serta

Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung ( Dendrocalamus asper ( Schult.f) Backer ex Heyne ) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat.. Dibimbing oleh LUTHFI HAKIM dan