• Tidak ada hasil yang ditemukan

Comparative Analysis of Techincal Efficiency of Semi Organic and Conventional Rice Farming in Bogor [Case in Situ Gede and Sindang Barang Villages].

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Comparative Analysis of Techincal Efficiency of Semi Organic and Conventional Rice Farming in Bogor [Case in Situ Gede and Sindang Barang Villages]."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMPARASI EFISIENSI TEKNIS PADI SEMI

ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI KOTA BOGOR

[KASUS: KELURAHAN SITU GEDE DAN SINDANG BARANG]

YUYUN KURNIA LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Komparasi Teknis Padi Semi Organik dan Konvensional di Kota Bogor (Kasus Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

YUYUN KURNIA LESTARI. Analisis Komparasi Efisiensi Teknis Padi Semi Organik dan Konvensional di Kota Bogor [Kasus di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang]. Dibimbing oleh HARIANTO dan SITI JAHROH.

Beras merupakan subsektor pertanian dan ekonomi yang sangat penting dan strategis. Kebutuhan akan pangan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah kebutuhan menyebabkan pemerintah menerapkan program revolusi hijau untuk meningkatkan produktivitas padi. Namun penerapan revolusi hijau memberikan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Dampak pencemaran akibat penggunaan bahan kimia untuk pertanian menyebabkan masyarakat sadar akan kelestarian lingkungan dan kesehatan.

Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil beras di Indonesia. Namun, budidaya padi di Jawa Barat masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia dan baru beberapa daerah yang mengembangkan pertanian organik. Daerah yang telah memulai pertanian organik salah satunya di Kota Bogor, yaitu di Kelurahan Situ Gede, Kelurahan Sindang Barang, dan Kelurahan Mulyaharja. Dikarenakan masih banyak kendala dalam menuju padi organik sehingga hanya Kelurahan Situ Gede yang masih mengembangkan padi semi organik hingga saat ini. Produksi dan pendapatan petani padi semi organik belum sepenuhnya sesuai dengan harapan karena produksi padi semi organik masih rendah (sekitar 5-6 ton/ha) sehingga pendapatan petani pun rendah. Selain itu, harga padi organik atau semi organik terkadang masih sama dengan harga padi konvensional dikarenakan pemasaran yang belum pasti. Diindikasikan pula bahwa luas tanam yang sempit menyebabkan petani kurang efisien dalam budidaya. Budidaya padi secara organik yang dilakukan oleh petani padi semi organik diindikasikan masih belum efisien dikarenakan biaya memproduksi padi organik tinggi, tingkat pendapatan petani yang masih rendah, produksi padi yang masih di bawah potensi produksi dan harga beras organik yang tidak jauh berbeda bahkan sama dengan beras konvensional. Untuk menuju pertanian padi organik membutuhkan waktu dan proses yang lama dan berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani padi semi organik dan konvensional, (2) menganalisis perbedaan efisiensi teknis padi semi organik dan konvensional dan (3) menganalisis perbedaan pendapatan usahatani padi semi organik dan konvensional di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier cobb douglas. Hasil estimasi fungsi produksi stochastic frontier, model fungsi produksi dianggap telah fit karena memenuhi asumsi Cobb-Douglas.

(6)

1% akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.99% dimana faktor lain dianggap konstan. Variabel unsur kalium berpengaruh positif dan signifikan. Nilai elastisitas unsur K terhadap produksi sebesar 0.01 menunjukkan bahwa penambahan unsur K sebesar 1% akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.005% dimana faktor lain dianggap konstan. Variabel pestisida nabati berpengaruh positif dan signifikan pada taraf 10% terhadap produksi padi semi organik. Nilai elastisitas pestisida terhadap produksi sebesar 0.019 menunjukkan bahwa penambahan pestisida nabati sebesar 1% akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.019%.

H asil pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas padi konvensional dengan metode MLE hasil dari output Frontier 4.1 dianggap telah fit karena memenuhi asumsi Cobb-Douglas. Hasil pendugaan fungsi produksi dengan metode MLE yang menunjukkan bahwa ada dua variabel signifikan terhadap produksi padi konvensional. Variabel yang berpengaruh positif dan signifikan yaitu luas lahan dan tenaga kerja. Penggunaan luas lahan berpengaruh positif dan signifikan dengan nilai elastisitas 0.463. Tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi konvensional dengan elastisitas tenaga kerja yaitu 0.599.

Nilai rata-rata efisiensi teknis padi semi organik dan konvensional masing-masing sebesar 0.75 dan 0.79. Dari hasil pendugaan dengan model MLE diketahui hanya faktor pengalaman dalam usahatani padi yang signifikan dengan tanda koefisien negatif sesuai dengan harapan. Pada padi konvensional variabel yang berpengaruh positif dan signifikan adalah pendidikan. Pendapatan tunai per hektar usata tani padi semi organik lebih besar dibandingkan petani padi konvensional tetapi pendapatan total petani usaha tani padi semi organik lebih kecil daripada padi konvensional. Hal ini disebabkan oleh pada usaha tani padi semi organik biaya tetap dan biaya tunai dikeluarkan secara berurutan sedangkan pada usaha tani padi konvensional dikeluarkan tidak berurutan. Dan pendapatan total usaha tani padi konvensional lebih tinggi dari pada semi organik.

(7)

SUMMARY

YUYUN KURNIA LESTARI. Comparative Analysis of Techincal Efficiency of Semi Organic and Conventional Rice Farming in Bogor [Case in Situ Gede and Sindang Barang Villages]. Supervised by HARIANTO and SITI JAHROH.

Rice is a sub sector of agriculture and economic that very important and strategics. The needed for food is increasing from year to year. This is because increasing of population. An increasing number of needs caused the government to implement the green revolution program to increase rice productivity. However, the application of green revolution give impact to environmental pollution due to the use of chemical fertilizers and pesticides. Impact of pollution caused by use of chemicals for agriculture cause people aware with environment and health.

West Java is one of Indonesia's rice-producing areas. However, rice cultivation in West Java still use chemical fertilizers and pesticides and several new areas to develop organic farming. Areas that have started organic farming one of them in the city of Bogor, which is in Situ Gede Village, Sindang Barang Village, and Mulyaharja Village.Because there are still many problems to become the organic rice so that only Situ Gede village that is still developing semi organic rice until now. Nevertheless, Bogor city government is developing organic rice farming program again. However, because there are some provisions that must be fulfilled to be organic rice so few producers called the organic rice with semi organic or healthy rice. Production and income of semi organic rice farmers organic not fully in line with expectations. Semi organic rice production is still low (about 5-6 tonnes/ha) so that farmers incomes were low. Besides that, sometimes semi organic rice prices are still the same as conventional rice prices because of marketing uncertain. Indicated that a narrow planting area causing less efficient farmers in cultivation. Organic rice cultivation by semi-organic rice farmers indicated was not efficient due to the high cost of producing organic rice, farmers' income levels are still low, rice production is still below potential output and the price of organic rice that is not much different even with rice conventional. To reach organic rice farming takes time, long proces and sustainable process.

This study aims: (1) to analyze the factors that influence semi organic and conventional rice farming, (2) to analyze technical efficiency semi organic and conventional rice farming and (3) to analyze rice farming income between semi organic and conventional rice farming. To answer these research purposes the data were analyzed qualitatively and quantitatively with stochastic frontier Cobb Douglas production function.

(8)

pesticides variable positive and significant effect on the level of 10% of the semi-organic rice production. The elasticity of pesticides on the production of 0.019 indicates that the addition of 1% pesticide plant would increase rice yield by 0.019%.

The estimation results of the Cobb-Douglas production function conventional rice farming with MLE method outputs the result of Frontier considered fit for fulfilling the assumption of Cobb-Douglas. In conventional rice, significant variabels are land and labor. Land use positively and significantly with the elasticity of 0.463. Labor positively and significantly with the elasticity of 0.599.

The average value of technical efficiency of semi-organic and conventional rice are 0.751 and 0.788. Factors affecting the level of technical efficiency of farmer respondents were analyzed using a model of technical inefficiency effects stochastic frontier production function. From the results of the estimation with MLE in semi-organic models known only factor farming experience significant with a negative coefficient signs in line with expectations. In the conventional rice, positive and significant variable effect of education. Cash income per hectare of organic rice farming semi larger than conventional rice farmers but farmers' total income semi-organic rice farming is smaller than conventional rice. This is caused by the organic rice farming semi fixed costs and cash costs incurred in sequence while the conventional rice farming is not issued sequentially.And conventional rice farming in total income is higher than the semi-organic.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

ANALISIS KOMPARASI EFISIENSI TEKNIS PADI SEMI

ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI KOTA BOGOR

[KASUS: KELURAHAN SITU GEDE DAN SINDANG BARANG]

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, MS

(13)
(14)

Judul Tesis : Analisis Komparasi Efisiensi Teknis Padi Semi Organik dan Konvensional di Kota Bogor [Kasus: Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang]

Nama : Yuyun Kurnia Lestari

NIM : H451110431

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Harianto, MS Ketua

Dr Siti Jahroh, BSc MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul Analisis Komparasi Efisiensi Teknis Padi Semi Organik dan Konvensional di Kota Bogor [Kasus Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang] dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Siti Jahroh, BSc, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal yang telah memberikan banyak kritikan membangun dalam penyempurnaan tesis.

3. Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Suharno, M.ADev selaku Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis atas saran dan kritikan membangun dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

5. Bapak Inta, Bapak Abidin dan Bapak Iwan selaku Ketua Kelompok Tani di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

6. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bapak Surono dan Ibu Sri Wahyuningsih dan adik-adik tercinta.

7. Teman-teman di Program Studi Magister Sains Agribisnis atas saran, diskusi, dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Padi 7

Pertanian Konvensional 7

Perkembangan Pertanian Organik 8

Sejarah Revolusi Hijau 8

Sejarah Pertanian Organik di Dunia 10

Sejarah Pertanian Organik di Indonesia 11

Penelitian Efisiensi 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Konsep dan Pengukuran Efisiensi 16

Konsep Fungsi Produksi 16

Konsep Efisiensi 21

Kerangka Pemikiran Penelitian 24

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Jenis dan Sumber Data 26

Metode Pengambilan Sampel 26

Metode Analisis Data 26

Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 27

Analisis Efisiensi Teknis 28

Analisis Pendapatan Usahatani 30

Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C ratio) 31

Definisi Variabel 31

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Daerah Penelitian 32

Keadaan Umum Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang 32

Gambaran Umum dan Geografis 32

Kependudukan dan Karakteristik Petani 33

Gambaran Umum Budidaya Padi Semi Organik dan Konvensional 33

Tenaga Kerja Budidaya Padi 41

Input dan Output pada Usahatani Padi Semi Organik dan

Konvensional 41

(17)

DAFTAR TABEL

1 Data luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di

Indonesia 2

2 Data luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di Jawa

Barat 2

3 Tanda yang diharapkan dari variabel-variabel efek inefisiensi 29 4 Perbandingan penggunaan benih pada usahatani padi semi organik

dan konvensional 34

5 Rata-rata penggunaan pupuk kimia pada padi semi organik dan padi konvensional di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor 38 6 Rata-rata penggunaan pupuk organik pada padi semi organik dan

padi konvensional di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor 39 7 Perbandingan produktivitas usahatani padi semi organik dan padi

konvensional 40

8 Perbandingan penggunaan tenaga kerja usahatani padi semi organik

dan padi konvensional per ha 41

9 Input dan output pada usahatani padi semi organik dan padi

konvensional 42

10 Perbedaan teknik budidaya padi organik, padi semi organik dan padi

Konvensional 42

Pemasaran Beras Semi Organik dan Beras Konvensional 44 Keragaan Usahatani Padi Semi Organik dan Padi Anorganik di

Daerah Penelitian 45

Deskripsi dan Karakteristik Petani Responden 45 Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Teknis 48 Analisis Fungsi Stochastic Production Frontier Usahatani Padi

Semi Organik 49

Analisis Fungsi Stochastic Production Frontier Usahatani Padi

Konvensional 50

Tingkat Efisiensi Teknis Padi Semi Organik dan Padi Konvensional 52 Sumber Inefisiensi Teknis Padi Semi Organik dan Padi

Konvensional 53

Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Semi Organik

dan Padi Konvensional 54

Biaya Usahatani Padi Semi Organik dan Padi Konvensional 54 Pendapatan Usahatani Padi Semi Organik dan Padi Konvensional 57 6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 58

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 58

LAMPIRAN 63

(18)

konvensional 43 11 Karakteristik responden petani padi semi organik dan padi

konvensional berdasarkan umur di Kelurahan Situ Gede dan Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor

2013 45

12 Karakteristik responden petani padi semi organik dan padi konvensional berdasarkan pendidikan formal di Kelurahan Situ Gede dan Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota

Bogor 2013 46

13 Karakteristik responden petani padi semi organik dan padi konvensional berdasarkan pengalaman usahatani padi di Kelurahan Situ Gede dan Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat,

Kota Bogor 2013 47

14 Karakteristik responden petani padi semi organik dan padi konvensional berdasarkan status usahatani padi Kelurahan Situ Gede dan Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota

Bogor 2013 47

15 Karakteristik responden petani padi semi organik dan padi konvensional berdasarkan luas usahatani padi Kelurahan Situ Gede dan Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota

Bogor 2013 48

16 Pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani padi semi

organik dengan metode MLE 49

17 Pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani padi

konvensional dengan metode MLE 51

18 Efisiensi teknis usahatani padi semi organik dan padi konvensional 53 19 Pendugaan parameter MLE faktor-faktor inefisiensi teknis fungsi

produksi stochastic frontier pada petani padi semi organik dan padi

konvensional 53

20 Biaya usahatani padi semi organik dan padi konvensional per hektar

per musim tanam 56

21 Perbandingan pendapatan usahatani padi semi organik dan padi

konvensional per hektar per musim tanam 57

DAFTAR GAMBAR

1 Tahapan pengembangan pertanian organik 2001-2010 12 2 Program pengembangan pangan organik 2010-2014 13

3 Fungsi produksi 17

4 Fungsi produksi stochastic frontier 21

5 Pengukuran efisiensi teknis dan alokatif berorientasi input 22 6 Pengukuran efisiensi teknis dan alokatif berorientasi output 23

7 Kerangka pemikiran penelitian 25

8 Lahan persemaian benih padi 35

9 Pengolahan lahan 35

10 Pupuk bokashi 36

(19)

12 Penanaman bibit padi 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Output frontier 4.1 padi semi organik 63

2 Output frontier 4.1 padi konvensional 69

3 Output minitab dan frontier 4.1 padi semi organik dalam ha 74

4 Hasil restriksi padi semi organik 81

5 Output minitab dan frontier 4.1 padi konvensional dalam ha 82

(20)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan tanaman pangan pokok utama di dunia dan erat kaitannya dengan budaya miliaran orang di seluruh dunia khususnya di Asia dan Afrika. Menurut data arkeologi, padi sudah ditanam sejak 6 000-7 000 tahun lalu di negara-negara seperti China dan Thailand. Pembangunan sistem irigasi untuk budidaya padi membentuk satu pilar untuk pengembangan beberapa peradaban besar di Asia Tenggara. Tanaman padi mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat dan karena manusia telah berhasil memodifikasi agroekosistem lokal, sehingga hingga saat ini padi dapat ditemukan di semua benua di dunia (Augstburger et al. 2002).

Beras yang termasuk dalam tanaman pangan merupakan subsektor pertanian dan ekonomi yang sangat penting dan strategis, karena merupakan salah satu subsektor bagi pemenuhan pangan bagi rakyat Indonesia, salah satu sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia, dan sekaligus sebagai sumber pendapatan bagi bangsa Indonesia (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2012). Hak memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum dalam pasar 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma 1996. Hal tersebut yang mendasari UU No. 7/1996 tentang pangan. Ketersediaan pangan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, gejolak sosial dan politik. Kondisi ketidakstabilan pangan bahkan dapat membahayakan stabilitas nasional yang dapat meruntuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Indonesia menetapkan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional (Abubakar 2008). Beras memiliki peran strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, dan ketahanan stabilitas politik nasional. Hal tersebut terlihat seperti pada tahun 1966 dan 1998 terdapat perubahan dari goncangan politik menjadi krisis politik yang dahsyat karena harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat (Suryana dan Sudi 2001).

Beras mendominasi pola konsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi konsumsi beras yang masih 95%. Sebagai sumber energi dan nutrisi, beras dipandang lebih baik dibandingkan dengan jenis makanan pokok lainnya (Suryana dan Sudi 2001). Berdasarkan data tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebesar 237 556 363 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1.49% mulai tahun 2011 maka jumlah penduduk pada tahun 2014 sebesar 252 034 317 jiwa. Konsumsi beras pada tahun 2010 sebesar 139.5 kg/kapita/tahun dan dengan laju penurunan konsumsi beras sebesar 1.5%/kapita/tahun sehingga kebutuhan beras pada tahun 2014 sebesar 33 013 214 ton (Dinas Tanaman Pangan 2012).

(21)

2

menjadi 51.19 kw/ha. Peningkatan produktivitas nasional diiringi oleh peningkatan produksi tanaman padi nasional dari 60 325 925 ton pada tahun 2008 menjadi 68 956 292 ton pada tahun 2012.

Tabel 1.1 Data luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di Indonesia

Tahun Luas Panen

Sumber: Badan Pusat Statistik 2013; ha: hektar, kw: kwintal.

Sektor pertanian di Jawa Barat merupakan salah satu motor penggerak perekonomian. Selain itu, sentra produksi padi terbesar di Indonesia terdapat di propinsi Jawa Barat. Pada Tahun 2009, lahan panen di Jawa Barat seluas 1 950 203 ha. Luas lahan, produktivitas, dan produksi padi di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.2. Luas panen tanaman padi di Jawa Barat pada tahun 2009 sebesar 1 950 203 ha meningkat menjadi 2 037 657 ha pada tahun 2010 namun mengalami penurunan kembali pada tahun 2011 menjadi 1 964 466 ha. Produktivitas tanaman padi pada tahun 2009 sebesar 58.06 kw/ha meningkat menjadi 59.22 kw/ha. Namun peningkatan produktivitas padi di Jawa Barat tidak diiringi oleh peningkatan produksi tanaman padi di Jawa Barat yaitu dari 11 322 682 ton pada tahun 2009 meningkat menjadi 11 737 071 ton pada tahun 2010 kemudian menurun kembali menjadi 11 633 891 ton pada tahun 2011.

Tabel 1.2 Data luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di Jawa

(22)

3 sebagainya. Produk rekayasa genetika rentan terhadap hama penyakit sehingga keberadaan pestisida mutlak diperlukan. Pemakaian pestisida menyebabkan kerusakan lingkungan. Hama yang lolos dari pestisida menjadi resisten dan memiliki kemampuan berkembangbiak berlipat ganda dan menghasilkan generasi serangga yang resisten pula. Sehingga diperlukan pestisida yang lebih mematikan dan petani harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membeli pestisida (Prabowo 2006).

Asumsi bahwa penggunaan input pupuk kimia sintetik dan pestisida yang semakin tinggi dapat meningkatkan produktivitas lahan adalah tidak selalu benar. Hal ini dikemukakan oleh Pretty berdasarkan hasil penelitian di tujuh negara di Eropa dan Amerika Utara (IFOAM 2012). Revolusi hijau memberikan dampak negatif yaitu semakin menurunnya daya dukung lahan pertanian, meningkatnya pencemaran residu kimia berbahaya, terganggunya keseimbangan ekosistem dan munculnya sikap ketergantungan petani pada sarana produksi pertanian sintetik dengan harga yang semakin mahal. Cara bertani yang tidak efisien, mahal dan berbahaya bagi kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup harus segera diubah. Sehingga perlu diperkenalkan kepada para petani mengenai sistem bertani alternatif yang ekonomis, berkelanjutan dan keseimbangan alam, mengembalikan produktivitas lahan pertanian dan menghadapi kompetisi agribisnis global (ecoagribusiness).

Dampak dari penggunaan bahan kimia mendapatkan perhatian pemerintah dan masyarakat sehingga muncul gaya hidup sehat menjadi trend baru masyarakat dunia melalui slogan “back to nature”. Hal ini menjadikan peluang bagi pembangunan pertanian dalam memproduksi padi. Pandangan baru tentang gaya hidup sehat menyebabkan permintaan produk pertanian organik meningkat secara signifikan. Terdapat peningkatan preferensi konsumen terhadap produk organik, secara umum tingginya tingkat pertumbuhan permintaan produk pertanian organik di seluruh dunia mencapai rata-rata 20 persen per tahun. Data WTO menunjukkan bahwa dalam tahun 2000-2004 perdagangan produk pertanian organik dunia telah mencapai nilai rata-rata US$ 17.5 milyar (Darmardjati 2005). Diprediksi pasar beras organik di Indonesia senilai 28 miliar rupiah dengan pertumbuhan 22%/tahun. Volume produksi beras organik meningkat dari 1 180 ton pada tahun 2001 menjadi 11 000 ton pada tahun 2004. Jumlah kelompok petani yang membudidayakan beras organik di Indonesia pada tahun 2001 sebanyak 640 kelompok dan pada tahun 2004 naik menjadi 1 700 kelompok (suaramerdeka.com 2012).

(23)

4

Namun, untuk menuju pertanian organik memerlukan waktu yang lama dan proses yang berkelanjutan. Pertanian organik merupakan pertanian dengan biaya yang rendah dan upaya yang efektif untuk membantu warga miskin di dunia untuk mendapatkan nutrisi yang baik dan kualitas hidup yang lebih baik (IFOAM 2012). Menurut data BPS Jawa Barat tahun 2011, luas tanam padi di Jawa Barat seluas 2 032 586. Kota Bogor memiliki luas tanam padi seluas 1 605 ha dengan luas panen 1 565 ha. Menurut data Dinas Pertanian Kota Bogor tahun 2012, luas lahan tanam padi seluas 1 347 ha dengan produktivitas 6.05 ton/ha. Di Kota Bogor telah dilaksanakan penanaman padi organik di tiga Kelurahan yaitu Kelurahan Sindang Barang, Mulyaharja, dan Situ Gede. Luasan sawah yang telah dilaksanakan untuk penanaman padi organik antara lain di Kelurahan Sindang Barang seluas 20 ha, di Kelurahan Mulyaharja seluas 100 ha, dan di Kelurahan Situgede seluas 50 ha (Pemerintah Kota Bogor 2011).

Budidaya padi yang selama ini dilakukan oleh petani diindikasikan masih belum efisien. Hal tersebut dilihat dari penggunaan sumber daya yang tidak sesuai anjuran, tingkat pendapatan petani yang rendah, dan produksi padi yang masih di bawah potensi produksinya. Teknik budidaya padi organik akan mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani. Petani yang dapat mengelola penggunaan sumberdaya yang ada dapat mencapai output maksimum atau meminimalkan penggunaan input untuk mencapai output yang sama. Variabel-variabel tersebut akan menentukan tingkat efisiensi yang akan dicapai. Namun, petani harus mengerti dan mampu mengalokasikan secara optimal semua faktor produksi yang ada sehingga dapat mengetahui faktor apa saja yang penggunaanya sudah optimum atau belum. Penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien akan mempengaruhi biaya produksi sehingga akan mempengaruhi pendapatan petani. Dengan peningkatan produksi diharapkan padi organik dapat dikembangkan secara luas. Menurut Khan et al. (2010) pengukuran efisiensi produktif dalam produksi pertanian merupakan isu penting dari sudut pandang pembangunan pertanian di negara-negara berkembang karena memberikan informasi terkait yang berguna untuk membuat keputusan manajemen yang baik dalam alokasi sumber daya dan untuk merumuskan kebijakan pertanian.

(24)

5 Permintaan akan beras organik yang meningkat menyebabkan pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Pertanian Kota Bogor melakukan program pengembangan padi semi organik atau lebih dikenal sebagai padi sehat. Daerah yang menjadi target pengembangan padi sehat adalah Kelurahan Situ Gede dan Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat dan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pelaksanaan pertanian padi sehat diharapkan dapat meminimumkan biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan efisiensi usahatani padi semi organik dan padi konvensional.

Perumusan Masalah

Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian telah menyususn agenda Nasional Pengembangan Pertanian Organik dengan jargon “Go Organic 2010”. Program ini merupakan salah satu program untuk mempercepat terwujudnya pembangunan agribisnis berwawasan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Misi program “Go Organic 2010” adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam Indonesia dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan. Goal yang ingin dicapai dalam program tersebut adalah mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen dan pengekspor pangan organik utama di dunia pada tahun 2010. Namun, dalam perjalannya hingga saat ini, pengembangan produk pertanian terutama pangan organik tidak berkembang sesuai dengan harapan pemerintah oleh karena itu perlu diketahui penyebab program tersebut belum sesuai dengan harapan, mungkinkah disebabkan karena produktivitas padi organik yang lebih rendah, biaya produksi padi organik lebih tinggi, kualitas beras organik yang lebih rendah, atau karena harga beras organik yang lebih mahal bila semua hal tersebut dibandingkan dengan padi konvensional.

(25)

6

produksi, dan harga beras organik yang tidak jauh berbeda bahkan sama dengan beras konvensional. Menurut Haryani (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani tidak hanya ditentukan oleh kemampuan manajerial dari petani untuk memutuskan besaran input produksi yang akan digunakan, namun juga ditentukan oleh berbagai faktor yang berada di luar kendali petani seperti ketersediaan air irigasi, iklim, tingkat kesuburan tanah, harga input, harga output, kelembagaan usahatani, dan lainnya. Persoalan tentang produktivitas sebenarnya mengkaji mengenai efisiensi teknis. Hal ini dikarenakan ukuran produktivitas mempengaruhi tingkat efisiensi teknis budidaya yang dilakukan petani yang menunjukkan pada seberapa besar keluaran (output) maksimum yang dapat dihasilkan per unit masukan (input) yang tersedia. Tingkat efisiensi teknis budidaya terlihat dari kemampuan manajerial dari aspek budidaya yang tercermin dalam aplikasi teknologi usaha budidaya dan pasca panen serta kemampuan petani dalam mengelola informasi dan pengambilan keputusan. Tingkatan pendapatan yang diperoleh petani dan efisiensi usahatani merupakan indikator kelayakan pengembangan agribisnis padi dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani. Teknik budidaya, efisiensi teknis, dan pendapatan usahatani merupakan hal yang berkaitan. Teknik budidaya yang dilakukan petani akan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani. Efisiensi teknis yang dilakukan petani akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan petani. Sehingga efisiensi teknis dan pendapatan usahatani yang dilakukan petani dapat digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan pengkombinasian input usahatani yang optimal dan kebijakan pertanian kedepannya.

Dari uraian tersebut maka pertanyaan penelitian yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi padi semi organik dan padi konvensional di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor?

2. Bagaimana perbedaan efisiensi teknis padi semi organik dan padi konvensional di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor?

3. Bagaimana perbedaan pendapatan usahatani padi semi organik dan usahatani padi konvensional di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan maka tujuan penelitian adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi semi organik

dan padi konvensional di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

2. Menganalisis perbedaan efisiensi teknis padi semi organik dan padi konvensional di Kelurahan Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

(26)

7

Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi kepada pihak yang terkait dalam peningkatan pendapatan petani dan perkembangan usahatani padi semi organik dan sebagai pertimbangan dalam prospek pengembangan usahatani padi organik. 2. Memberikan manfaat bagi pembaca, baik sebagai tambahan pengetahuan

maupun sebagai informasi untuk melaksanakan studi yang relevan di masa mendatang.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Situ Gede dan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Komoditas yang akan diteliti adalah padi sehat dan padi konvensional. Analisis kajian ini dibatasi untuk melihat (1) perbedaan sistem budidaya padi semi organik terhadap dan padi konvensional dimulai dari cara perolehan faktor produksi hingga pemanenan, serta perbedan perlakuan pada budidaya (2) faktor-faktor produksi padi sehat dan padi konvensional, (3) efisiensi teknis padi semi organik dan padi konvensional, dan (4) perbedaan pendapatan usahatani padi semi organik dan usahatani padi konvensional.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Padi

Genus Oryza termasuk dalam rumpun Orizeae dalam famili Gramineae (rumput-rumputan). Padi yang banyak dibudidayakan saat ini termasuk genus Oryza dengan spesies utama yaitu Oryza sativa (De Datta 1981). Kultivar padi yang ada saat ini digolongkan berdasarkan bentuk morfologinya ke dalam tiga tipe, yaitu Indica, Japonica, dan Javanica. Padi Japonica memiliki karakteristik bentuk biji yang pendek dan bulat, warna daunnya hijau tua, jumlah anakan banyak, jumlah gabah per malai banyak, dan bobot gabahnya berat, tersebar di Jepang, Korea, dan Penin. Padi Indica memiliki karakteristik bentuk biji yang ramping dan panjang, warna daun hijau muda, jumlah anakan banyak, jumlah gabah per malai banyak, tetapi bobot gabahnya ringan, tersebar di Cina Selatan, Taiwan, India, dan Sri Lanka. Sedangkan padi Javanica memiliki karakteristik bentuk biji oval, warna daun hijau muda, jumlah anakan sedikit, jumlah gabah per malai sedikit, dan bobot gabah berat, tersebar di Jawa dan Bali (Katayama 1993).

Pertanian Konvensional

(27)

8

pertanian konvensional tinggi namun berdampk negatif terhadap lingkungan. Produk pertanian konvensional berbahaya bagi kesehatan manusia karena penggunaan pestisida kimia (Susanto 2002).

Penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus tanpa penggunaan pupuk organik dapat menyebabkan ketidakseimbangan kandungan unsur hara dalam tanah, rusaknya struktur tanah, dan rendahnya mikrobiologi tanah. Menurut Prihantoro (1999), pemberian pupuk anorganik secara terus menerus akan menyebabkan tanah menjadi cepat mengeras, kurang mampu menyimpan air, dan menjadi asam. Penggunaan pupuk organik dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Selain itu, penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Keberhasilan pertanian konvensional diukur dari banyaknya produksi panen yang dihasilkan. Semakin tinggi produksi maka dianggap maju. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia di Indonesia merupakan bagian dari Revolusi Hijau (Ayatullah 2012).

Perkembangan Pertanian Organik

Pertanian telah memicu perdebatan yang kontroversial dalam dekade tahun teraktir, karena telah menjelaskan sisi lain dari akibat penggunaan secara intensif bahan kimia dalam pertanian konvensional dan menawarkan alternatif atau jalan keluar dalam penggunaan bahan kimia. Saat ini telah ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa pertanian organik lebih ramah lingkungan yaitu manfaat yang timbul dari peningkatan kesuburan tanah, kandungan bahan organik dan aktivitas biologis, baik struktur tanah dan pengurangan kerentanan terhadap erosi, berkurangnya polusi dari pencucian nutrisi dan pestisida, meningkatkan keanekaragaman hayati dan hewani (Kasperczyk dan Knickel 2006 dalam Nemes 2009). Perkembangan konsumsi pupuk anorganik terus meningkat sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1987. Kenaikan penggunaan pupuk anorganik rata-rata hampir 5 kali lipat (Sugito et al. 1995). Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan sintetis. Tujuan utama dari pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan (Karama 2012).

Pertanian organik bukan hanya sekedar bebas kimia saja, tetapi bagaimana pelakunya memahami bahwa ia adalah kesatuan alam ini Prawoto et al.(2005). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pertanian organik diantaranya tidak menggunakan rekayasa genetika, lahan bebas residu kimia, pengolahan dari budidaya hingga hasil bebas baha kimia, dan lingkungan yang mendukung dalam budidaya pertanian organik.

Budidaya tanaman pangan organik harus sesuai dengan standar yang diterapkan, menurut standar dari BioCert (2005) diantaranya yaitu pemilihan tanaman dan varietas berasal dari benih organik dan lingkungan budidaya dikondisikan bebas kontaminasi bahan kimia.

Sejarah Revolusi Hijau

(28)

9 terhadap penyakit. Keadaan tersebut membuat khawatir banyak pemimpin negara, terutama pemimpin negara di Eropa dan Amerika Serikat karena negara-negara tersebut pernah mengalami dampak krisis pangan yang terjadi di Eropa pada tahun 1845-1860, sehingga menjadi pembelajaran yang amat berharga bagi pemimpin negara-negara di Eropa (Saragih 2008).

Para pemimpin negara-negara Eropa dan Amerika serikat berkumpul dan membicarakan upaya-upaya yang perlu dilakukan agar produksi pangan dapat ditingkatkan dan kelaparan dapat dihindari. Pada tahun 1943, 44 negara berkumpul di Virginia, Amerika Serikat untuk membicarakan upaya-upaya tersebut. Berdasarkan kesepakatan 44 negara tersebut maka terbentuk food and agriculture organizaton (FAO) di Quebec, Kanada pada 16 Oktober 1945 (Saragih 2008).

Permasalahan kelaparan oleh para pemimpin 44 negara dikaitkan dengan ketidakcukupan produksi pangan di negara-negara yang jumlah penduduknya banyak dan mengalami kelaparan. Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan perluasan areal pertanaman. Produktivitas tanaman pangan ditingkatkan dengan menggunakan benih ajaib atau deikenal dengan benih unggul yang dapat berproduksi tinggi dan tahan terhadap penyakit (Saragih 2008).

Revolusi besar di bidang pertanian terjadi pada periode tahun 1943-1960 an. Revolusi ini dikenal sebagai revolusi hijau, yang merupakan sebuah istilah yang diperkenalkan oleh William Gaud, Direktur USAID. Untuk memperluas revolusi hijau maka pada tahun 1961 didirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina yang fungsi utamanya mengembangkan benih padi unggul dengan label IR. Benih padi tersebut saat diperkenalkan memang menghasilkan panen yang berlimpa tetapi hasil panen tersebut tidak membebaskan dunia dari kelaparan karena tidak semua orang dapat mengakses hasil panen tersebut (Saragih 2008). Revolusi hijau ditandai dengan adanya pemuliaan tanaman, pemupukan, serta pemberantasan hama dan penyakit secara Intensif. Pemuliaan tanaman ditandai dengan adanya tanaman hibrida. Pemupukan ditandai dengan munculnya pabrik pupuk kimia. Pemberantasan hama dan penyakit ditandai dengan menggunakan pestisida kimia yang efektif (Andoko 2002).

(29)

10

Dampak revolusi hijau bagi petani yaitu petani ketergantungan terhadap faktor produksi yang hanya bisa dihasilkan oleh pabrik seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Dampak bagi kesehatan yaitu penggunaan pestisida kimia dalam jangka waktu yang panjang tubuh dapat teracuni bahan kimia dan mengakibatkan penyakit kronis seperti kanker dan penyakit saraf. Dampak bagi lingkungan yaitu, residu yang tertinggal di tanah, air, dan udara dapat menjadi racun bagi makhluk hidup dan lingkungan, penggunaan bahan kimia untuk membunuh hama penyakit dapat menyebabkan lahirnya individu baru yang lebih resiten, intensifikasi pertanian menyumbang 20 persen dari emisi rumah kaca global (Saragih 2008). Menurut Andoko (2002), dampak paling mengkhawatirkan dari kemajuan teknologi pemuliaan tanaman adalah ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Dalam pertumbuhannya tanaman membutuhkan nutrisi berupa hara yang secara alami telah tersedia di dalam tanah. Namun, untuk memacu pertumbuhannya tanaman diberi zat tambahan yang kemudian dikenal sebagai pupuk. Awalnya pupuk digunakan untuk memacu pertumbuhan. Namun, karena pupuk kadang atau pupuk organik kurang memuaskan maka akhirnya ditemukan pupuk buatan (pupuk kimia) yang mengandung hara lengkap. Dalam perjalananya, penggunaan pupuk mempunyai efek merusak tanah. Struktur tanah yang remah setelah mendapat perlakukan pupuk secara terus menerus akhirnya menjadi keras.

Sejarah Pertanian Organik di Dunia

Istilah pertanian organik pertama kali dipakai oleh seorang ahli pertanian bernama Lord Northbourne dalam bukunya yang berjudul Look to the Land yang dipublikasi pada tahun 1940. Pertanian organik menjadi istilah perlawanan yang dikumandangkan oleh para pengkritik pertanian terhadap budidaya yang menggunakan bahan kimia sintetik. Sir Albart Howard sering disebut sebagai Bapak Pertanian Organik Modern. Kritikanya terhadap penggunaan bahan kimia sintetik di sektor pertanian mulai berdampak besar sejak dipublikasikan bukunya yang berjudul “An Agricultural Testamentí” pada tahun 1940. Buku tersebut berisi kritikan terhadap industralisasi pertanian yang mengakibatkan kerusakan bumi, terutama tanah dan berimplikasi terhadap kesehatan manusia (Saragih 2008).

Komunikasi antar penggagas pertanian organik di dunia melahirkan sebuah organisasi internasional pada tahun 1972 yang bernama International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) di Versailles, Perancis. IFOAM didirikan untuk mempersatukan informasi tentang prinsip dan taktik bertani organik lintas negara dan bangsa. IFOAM diakui menjadi satu-satunya organisasi yang mewakili gerakan pertanian organik secara global dan memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam pembentukan kebijakan pertanian organik di seluruh dunia (Saragih 2008).

(30)

11 pemerintah Kanada mengeluarkan peraturan pertanian organik. Menurut Huber (2007) dalam Saragih (2008), sekarang terdapat 64 negara yang telah memiliki peraturan tentang pertanian organik. Angka ini akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perdagangan produk pertanian organik di dalam negara maupun antarnegara.

Sejarah Pertanian Organik di Indonesia

Sebelum memasuki tahun 1970-an, sebagian lahan pertanian di Indonesia digarap secara konvensional dengan pengelolaan tanah secara sederhana. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang. Setelah tahun 1970-an, pertanian di Indonesia telah beralih menjadi era kimia. Pertanian organik pada era orde baru sulit untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena pada era ini mempromosikan pertanian organik merupakan langkah yang beresiko karena berarti menentang pemerintah dalam mengembangkan intensifikasi pertanian. Namun, seiring perjalanan yang memberikan kenyataan bahwa lingkungan sudah tidak lagi mendukung maka munculah petani dan penggiat yang mempromprosikan dan menguji coba cara bertani organik berdasarkan pengetahuan mereka. Ada tiga organisasi yang merupakan promotor gerakan pertanian organik yaitu wahana lingkungan hidup indonesia (WALHI)/pesticide action network Indonesia (PAN Indonesia), lembaga swadaya masyarakat (LSM) Internasional yang menjadi donor LSM Indonesia, dan kalangan rohaniwan (Saragih 2008).

Pertanian organik di Indonesia baru dikenal pada awal tahun 1990-an. Pada kenyataannya, pertanian organik bukanlah hal yang baru karena para leluhur bercocok tanam secara alami tanpa menggunakan pupuk buatan pabrik dan pestisida kimia. Pada tahun 1997 saat terjadi krisis ekonomi, pertanian organik menemukan momentumnya, karena pada saat itu harga saprotan (sarana produksi pertanian) seperti pupuk kimia dan pestisida kimia melambung tinggi. Harga saprotan yang mahal mengakibatkan keuntungan petani menurun hal ini yang menyebabkan petani beralih pada pertanian organik. Kegiatan pertanian organik di Indonesia berkembang pesat karena dukungan berbagai pihak, diantaranya LSM (Andoko 2002).

Pertanian organik berkembang secara pesat setelah tumbangnya pemerintahan orde baru. Permintaan produk organik baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor meningkat. Namun, perkembangan pertanian organik tidak berdampak positif terhadap petani kecil. Dampak positif hanya dirasakan oleh para pengusaha yang memiliki faktor produksi yang lebih besar dan pasar pun dikuasai oleh para pengusaha. Produk organik yang dijual harus memiliki sertifikasi. Perusahaan besar tersebut hanya mengambil peluang pasar dan tidak jarang perusahan besar memberikan iklan-iklan palsu produk organik. Sedangkan Petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar akan kesulitan dalam melakukan sertifikasi karena biaya yang dikelurkan sangatlah besar. Jika biaya sertifikasi satu musim sebesar lima juta rupiah maka secara proporsional biaya yang dikeluarkan sangatlah mahal. Sehingga pada 25 April 2002 didirikan BioCert yang berfungsi sebagai lembaga sertifikasi yang melindungi petani kecil di pasar produk pertanian organik (Saragih 2008).

(31)

12

/kemandirian masyarakat, pendekatan yang menghasilkan pendapatan, dan pendekatan konservasi alam (Jahroh 2010). Pada tahun 2000 Departemen Pertanian mencanangkan program “Go Organic β010” sebagai respon terhadap potensi pasar dan adanya potensi pengembangan pertanian organik yang besar. Tahapan pengembangan pertanian organik 2001-2010 terdapat pada Gambar 2.1.

Langkah Awal

Gambar 2.1 Tahapan pengembangan pertanian organik 2001-2010

Sumber: Sub Direktorat Pengelolaan Lingkungan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian (2005).

Gambar grafik tersebut menjelaskan bahwa tahapan pengembangan pertanian organik telah dimulai dari tahun 2001 dengan harapan pada periode 2006-2010 telah mencapai tahap industrialisasi dan perdagangan pertanian organik. Sosialisasi pertanian mulai gencar diperkenalkan pada tahun 2001 dengan kegiatannya berupa kampanye nasional tentang pertanian organik dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia. Kemudian pada tahun 2002 dibentuk regulasi dengan kegiatan utamanya yaitu penyusunan SNI pangan organik dan penyusunan buku pedoman usahatani organik. Pada tahun 2003 pemerintah memprogramkan bantuan teknis pertanian organik dengan kegiatannya berupa memberikan fasilitas penelitian dan pengembangan, fasilitas pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, serta fasilitasi pengembangan manajemen usaha. Pada tahun 2004, setelah pemerintah memberikan bantuan teknis pertanian orgnaik, mulai dilakukannya sertifikasi produk pertanian organik dengan kegiatannya berupa fasilitasi inspeksi usaha dan insentif ekonomi sertifikasi usaha kecil. Pada tahun 2005, diberlakukan program promosi produk pertanian organik dengan kegiatannya berupa promosi pasar dan layanan informasi. Sehingga pada akhir 2010 diharapkan Indonesia telah menjadi salah satu produsen dan pengekspor pangan organik utama dunia.

(32)

13 melalui SK Menteri Pertanian No. 432/Kpts/OT.130/9/2003 adalah Pusat Standarisasi dan Akreditasi (Saragih 2008).

SNI menetapkan standar proses produksi produk organik yang tertulis dalam dokumen BSN SNI 01-6729-2002. Di dalam dokumen ini tercantum prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam proses produksi dan bahan-bahan yang boleh digunakan dalam proses produksi. Untuk mendapatkan sertifikasi organik tidak mudah. Oleh karena itu, pemerintah membuat membuat draf empat jenis label yang menggambarkan tingkat keorganikan dari sistem produksi yang dilakukan. Keempat label tersebut adalah label biru, label kuning, label hijau organik, dan label hijau organically grown (Saragih 2008). Label biru untuk produk bebas dari pestisida, label kuning untuk produk yang sedang mengalami masa transisi dari bertani menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik, label hijau organik untuk produk yang sudah setara dengan standar SNI organik, label hijau organically grown untuk produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya (Red-PSA 2002).

Pada Gambar 2.2 menjelaskan bahwa pemerintah membuat program pengembangan pangan organik tahun 2010-2014 dengan visi kitchen of organic food in Asia. Komponen pengembangan pangan organik meliputi produksi, pengolahan, dan pemasaran. Sektor produksi berupa mendorong produksi organik berbasis sumberdaya lokal dan meningkatkan kapasitas petani dalam teknis, budiday, dan organisasi. Sektor pengolahan berupa meningkatkan nilai tambah produk dan mengembangkan teknologi pengolahan pangan organik beradaptasi lokal. Sektor pemasaran berupa penerimaan produk di pasar (akses pasar), meningkatkan kesejahteraan petani, dan mengembangkan pasar nasional dan ekspor.

Gambar 2.2 Program pengembangan pangan organik 2010-2014

Sumber: Kementerian Pertanian (2012).

(33)

14

terhadap SNI 01-6729-2002 meliputi pelabelan transisi dihilangkan, revisi lampiran mengenai bahan yang diperbolehkan, dibatasi dan dilarang digunakan dalam produksi pangan organik disesuaikan dengan kondisi di Indonesia dan ketentuan yang berlaku (Badan Standardisasi Nasional 2010).

Pangan organik adalah pangan yang berasal dari suatu lahan pertanian organik yang menerapkan praktek-praktek pengelolaan yang bertujuan untuk memelihara ekosistem dalam mencapai produktivitas yang berkelanjutan, dan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit, melalui berbagai cara seperti daur ulang sisa-sida tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, pengelolaan air, pengolahan lahan dan penanaman serta penggunaan bahan hayati (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2011).

Kendala yang dihadapi pertanian organik yaitu ketersediaan bahan organik yang terbatas dan takaranya harus dalam jumlah banyak, menghadapi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman dan limbah organik, dan tidak adanya nilai tambah dari harga produk pertanian organik (Sutanto 2002). Produk organik terutama di pasar-pasar maju mempunyai harga jual yang lebih tinggi. Produk organik juga sering dianggap memiliki manfaat kesehatan yang lebih besar (Badan Pengetahuan Padi Indonesia 2012).

Padi organik merupakan padi yang disahkan oleh sebuah Badan Independen untuk ditanam dan diolah berdasarkan standar organik. Padi organik yang digunakan pada tanaman sawah pada umumnya memiliki arti: (1) tidak ada pestisida dan pupuk dari bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan, (2) kesuburan tanah dipelihara melalui proses alami seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau penggunaan pupuk kandang yang dikomposkan dan limbah tumbuhan, (3) tanah dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanman yang sama dari tahun ke tahun di sawah yang sama, (4) pergantian bentuk-bentuk bukan kimia, misalnya pengendalian hama dan gulma digunakan serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama serta daun jerami setengah busuk untuk menekan gulma, juga organise lain untuk menekan serangan penyakit (Bank Pengetahuan Padi Indonesia 2008). Petani Indonesia telah menerapkan pertanian konvensional selama lebih kurang 25 tahun dan sebagian besar lahan pertanian di Indonesia khususnya di Pulau Jawa tercemar bahan kimia dari pupuk dan pestisida kimia. Oleh sebab itu, persyaratan dan kendala yang ada di lapang untuk mencapai kondidi yang ideal pertanian organik bagi sebagian besar petani dirasa sangat berat (Samsudin 2008).

Penelitian Efisiensi

(34)

15 Indonesia telah efisien dengan rata-rata efisiensi 91.86%. Lahan merupakan faktor yang paling responsif dalam upaya peningkatan produksi. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi adalah umur petani, pendidikan petani, dummy musim, dummy kelompok tani, dummy status kepemilikan lahan, kepemilikan persil, dan dummy lokasi Jawa dan luar Jawa.

Penelitian Khai and Mitsuyasu (2011) mengenai analisis efisiensi teknis produksi padi di Vietnam bertujuan untuk mengukur efisiensi teknis (TE) produksi padi dan mengidentifikasi beberapa faktor penentu efisiensi petani padi di Vietnam. Alat yang digunakan adalah metode analisis stochastic frontier dalam fungsi produksi Cobb-Douglas. Efisiensi teknis dalam penelitian ini adalah 81.6%. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang paling berdampak positif pada tingkat efisiensi teknis adalah tenaga kerja, irigasi, dan pendidikan. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi peningkatan efisiensi teknis rumah tangga adalah utilitas tenaga kerja yang intensif dalam budidaya padi karena variabel tenaga kerja secara statistik signifikan dan lebih besar dibandingkan dengan variabel lain.

Penelitian Tiamiyu et al. (2010) mengenai efisiensi produksi antara pengembangan beras baru Afrika di Zona Savana dari Nigeria bertujuan untuk memprediksi tingkat efisiensi teknis yang akan digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan efisiensi ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi beras tidak elastis terhadap herbisida, tanah, pupuk, benih, tenaga kerja, dan secara statistik tidak signifikan. Peningkatan efisiensi produksi yang signifikan dipengaruhi oleh umur petani, pengalaman bertani, penyuluhan dan penggunaan kredit.

Penelitian Darwanto (2010) mengenai analisis efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah dengan penerapan analisis frontier bertujuan untuk mengetahui efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah. Hasil penelitian ini adalah usahatani padi di daerah penelitian tidak efisien secara teknis sehingga penggunaan input harus dikurangi. Variabel dalam usahatani yang berpengaruh secara signifikan adalah variabel luas lahan dan benih. Berdasarkan perhitungan R/C dihasilkan bahwa usahatani padi menguntungkan untuk diteruskan.

Penelitian Khan, et al. (2010) mengenai efisiensi teknis rumah tangga usahatani dengan studi kasus produsen beras di Bangladesh yang bertujuan untuk menguji efisiensi teknis petani padi dan faktor inefisiensi yang mempengaruhi produksi. Efisiensi produsen beras di Bangladesh sangat penting karena beras merupakan bahan makanan pokok di Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi beras boro dan beras aman sangat memuaskan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam produksi beras boro dan aman adalah luas lahan, tenaga kerja, pestisida, irigasi, dan listrik. Penelitian ini menunjukkan bahwa petani cukup efisien untuk usahatani dengan varietas yang ada.

(35)

16

produksi frontier dijumpai variabel benih, pupuk anorganik dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi baik pada petani program PTT, maupun pada petani bukan program PTT. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis pada petani program PTT adalah umur, pendidikan dan dummy sistem tanam, sedangkan pada petani bukan program PTT adalah pendidikan, dependency ratio, partisipasi dalam kelompok tani dan dummy sistem tanam.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu mengenai efisiensi, bahwa faktor produksi yang menentukan efisiensi antara lain benih, pupuk, tenaga kerja, umur petani, pendidikan, dan sistem tanam. Menurut Kusnadi et al. hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani padi di lima sentra di Indonesia telah efisien dengan rata-rata efisiensi 91.86% sedangkan menurut Khai efisiensi padi di vietnam memiliki nilai 81.6%.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Konsep dan Pengukuran Efisiensi

Teori Fungsi Produksi

Produksi adalah perubahan bentuk berbagai input atau sumber daya menjadi output berupa barang dan jasa (Salvatore 2005). Produksi merupakan proses mengkombinasikandan mengkoordinasikan input untuk menghasilkan barang dan jasa (Beattie and Taylor 1985). Penambahan input produksi mengikuti hukum The law of diminishing marginal returns merupakan dasar dalam ekonomi produksi. The law of diminishing marginal returns terjadi jika jumlah input variabel ditambah penggunaannya, maka output yang dihasilkan meningkat tetapi setelah mencapai titik tertentu penambahan output semakin lama semakin berkurang (Debertin 1986).

Total Product (TP) merupakan produksi total yang menghasilkan oleh suatu proses produksi. Marginal Product (MP) mengacu pada perubahan output yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan satu satuan input. Average Product (AP) merupakan perbandingan antara output dan input. Kegiatan produksi dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi. Fungsi produksi menerangkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dapat dihasilkan dari penggunaan sejumlah input. Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Menurut Hanafie (2010) pengertian tersebut dapat disebut sebagai factor relationship. Rumus matematis factor relationship (FR) dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi 2003):

Y = f (X1, X2, X3, ...Xn)

Dimana :

Y = Jumlah produksi yang dihasilkan

(36)

17 Menurut Soekartawi (1986) masukan X1, X2, X3, …, Xn dapat

dikategorikan menjadi dua, yaitu masukan yang dapat dikuasai oleh petani seperti luas lahan, jumlah pupuk, tenaga kerja, dan sebagainya; serta masukan yang tidak dapat dikuasai petani seperti iklim. Menurut Soekartawi (2003) tindakan petani yang dapat meningkatkan produksi adalah menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan atau menambah jumlah beberapa input yang yang digunakan.

Petani yang maju dalam usahatani akan berfikir bagaimana mengalokasikan input atau faktor produksi seefisien mungkin untuk memperoleh produksi yang maksimum. Hubungan antara tingkat produksi dengan jumlah input variabel yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga tahap daerah produksi seperti pada Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1 Fungsi produksi

Sumber: Doll and Orazem (1984)

TP

X Y

AP

MP

II III

(37)

18

Kurva total produksi selalu bermula dari titik nol. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun kontribusi variabel input maka tidak ada output yang dihasilkan. Bila proses produksi input termanfaatkan maka total produksi akan bergerak ke atas. Dengan bertambahnya input, kurva produksi total atau TP semakin meningkat tapi tambahannya atau MP mulai turun. Pola ini mengacu pada pertambahan hasil yang semakin menurun (The law of diminishing return). Saat AP meningkat, kurva produksi marginal bergerak meningkat dan melebihi besarnya produksi rata-rata. Pada MP dan AP berpotongan, merupakan awal dari tahap kedua dan produksi rata-rata mencapai pincak yang tertinggi. Pada produksi total mencapai titik puncak, kurva MP memotong sumbu horizontal dan selanjutnya mencapai nilai negatif. Penurunan total produksi menunjukkan bahwa semakin banyak input yang digunakan justru akan mengurangi produksi totalnya. Kondisi ini masuk pada tahap ketiga bahwa penambahan input menyebabkan penurunan produksi total.

Menurut Soekartawi (1986) hasil analisis fungsi produksi merupakan pendugaan. Analisis fungsi produksi adalah kelanjutan dari aplikasi analisis regresi. Berbagai macam model fungsi produksi menurut Soekartawi (1990) dalam Zamani (2008) antara lain model linear, kuadratik, Cobb-Douglas, dan Transdental. Model yang paling sederhana serta paling mudah dianalisis adalah model linear berganda dan model Cobb-Douglas.

Fungsi produksi linear menggambarkan hubungan yang bersifat linear antara peubah bebas (X) dan peubah tidak bebas (Y). Model ini menggambarkan model produksi yang bertambah atau berkurang secara linear jika faktor produksi diubah. Nilai elastisitas pada model ini selalu berubah sesuai dengan besarnya faktor produksi yang digunakan dan produksi yang diperoleh (Soekartawi 1990 dalam Zamani 2008). Soekartawi (2003) menyatakan bahwa fungsi produksi linear dapat dibedakan menjadi dua yaitu fungsi produksi linear sederhana dan linear berganda. Fungsi produksi linear sederhana (simple regression) digunakan pada saat jumlah variabel faktor atau X yang digunakan adalah satu, sehingga fungsi produksi linear yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi linear berganda.

Fungsi produksi yang sering digunakan untuk model analisis produksi dalam penelitian usahatani adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Namun fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki keterbatasan yaitu elastisitasnya konstan, elastisitas substitusi input bersifat elastisitas sempurna, elastisitas harga silang untuk semua faktor dalam kaitannya dengan harga input lain mempunyai arah dan besaran yang sama, elastisitas harga permintaan input terhadap harga output selalu elastis, dan tidak dapat menduga pengamatan yang bernilai nol atau negatif (Heady and Dillon 1964).

(38)

19 fase diminising return, yaitu fase produksi pada saat tambahan produksi yang dihasilkan sebagai akibat adanya tambahan faktor produksi, meningkat dengan peningkatan yang semakin lama semakin berkurang. Bentuk umum model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:

Y = bo X1b1 X2b2 X3b3... Xnbn eu

Dimana:

Y = Jumlah produksi yang diduga bo = Intersep

bi = Parameter penduga variabel ke-i dan merupakan elastisitas Xi = Faktor produksi yang digunakan (i = 1, 2, 3,..., n)

e = Bilangan natural (2.718) u = Kesalahan (disturbance term)

Pendugaan terhadap persamaan akan lebih mudah dilakukan jika persamaan diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Logaritma dari persamaan tersebut adalah sebagai berikut:

log Y = log b0 + b1 log X1 + b2 log X1 + b3 log X3 +...+ bn log Xn + u, atau

ln Y = ln b0 + b1 ln X1 + b2 ln X1 + b3 ln X3 +...+ bn ln Xn + u

Nilai b1, b2, b3,....bn pada fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sekaligus

menunjukkan elastisitas X terhadap Y. Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dalam bentuk fungsi linear, maka terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, yaitu: tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan, tiap variabel X adalah perfect competition, perbedaan lokasi seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan (u).

Hubungan faktor produksi (input) dengan produksi (output) dapat dianalisis dengan menggunakan analisis numeric dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Pendugaan OLS hanya berdasarkan rata-rata sebaran produksi petani. Metode ini dapat dilakukan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut (Gurajati 1993):

1. Variasi unsur sisa menyebar normal.

2. Harga rata-rata dan unsur sisa sama dengan nol atau bisa dikatakan nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value).

3. Homoskedastisitas atau ragam merupakan bilangan tetap. 4. Tidak ada korelasi diri (multikolinearitas).

5. Tidak ada hubungan linear sempurna antara peubah bebas.

6. Tidak terdapat korelasi berangkai pada nilai-nilai sisa setiap pengamatan Menurut Coelli et al. (1998) production fronteir memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi dan umumnya banyak digunakan saat menjelaskan konsep pengukuran efisiensi, frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan.

(39)

20

frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier).

Model fungsi produksi deterministic frontier dinyatakan sebagai berikut:

= ; � . − , i = 1,2,3,...N

dimana f(xi; ) adalah bentuk fungsi yang cocok (Cobb-Douglas atau

Translog), parameter adalah parameter yang dicari nilai dugaannya dan ui

adalah variabel acak yang tidak bernilai negatif yang diasosiaikan dengan faktor-faktor spesifik perusahaan yang memberikan kontribusi terhadap tidak tercapainya efisiensi maksimal dari proses produksi (Battese 1992). Kelemahan dari model ini adalah tidak dapat menguraikan komponen residual ui menjadi pengaruh efisiensi

dan pengaruh eksternal yang tidak tertangkap (random shock). Akibatnya nilai inefisiensi teknis cederung tinggi, karena dipengaruhi sekaligus oleh dua komponen error yang tidak terpisah (Kebede 2001 dalam Haryani 2009).

Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effects) di dalam batas produksi. Pada model Cobb-Douglas, model fungsi produksi stochastic frontier dinyatakan sebagai berikut:

ln = �0+ � + ( −( )

Stochastic frontier disebut juga sebagai composed error model karena error term terdiri dari dua unsur dan i = 1, β, .. ζ . Variabel i adalah spesifik error

term dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran

kesalahan dan faktor-faktor yang tidak pasti seperti cuaca, pemogokan, serangan hama dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak vi merupakan variabel random shock yang secara identik

terdistribusi normal dengan rataan (μi) bernilai 0 dan variansnya konstan atau

ζ(0, v2), simetris serta bebas dari ui. Variabel acak ui merupakan variabel non

negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Variabel ui disebut one-side

disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi.

Komponen yang pasti dari model batas yaitu f(xi; ) digambarkan dengan

asumsi memiliki karakteristik skala pengembalian yang menurun. Petani i menggunakan input sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi. Akan tetapi

output batasnya dari petani i adalah yi*, melampaui nilai pada bagian yang pasti

dari fungsi produksi yaitu f(xi; ). Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya

dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif.

Sementara itu petani j menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil

sebesar yj. Akan tetapi batas dari petani j adalah yj*, berada di bawah bagian

yang pasti dari fungsi produksi. Kondisi ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vi

bernilai negatif.

Gambar

Gambaran Umum Padi
Tabel 1.1  Data luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di Indonesia
Gambar 2.1  Tahapan pengembangan pertanian organik 2001-2010
Gambar 2.2  Program pengembangan pangan organik 2010-2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan dari tes kemampuan awal ke siklus I juga belum mencapai tingkat kemampuan atau ketuntasan klasikal secara keseluruhan, sehingga diberikan tindakan

parent:S..arelessI1kely i:okeep their daughter in.scnool. The analysis is based on indicators ..,of school a,ttendance; 'Hi particular we focus on the

pengerirgan 55 oC memiliki rerata sudut repos lebih tinggi dibandingkan dengan tepung rempah yang dilakukan dengan proses pengeringan 65 0C. Tepung dengan sudut

Variabel adversity quotient, lingkungan keluarga, dan minat berwirausaha diukur dengan skala Likert, yaitu skala dipergunakan untuk mengetahui setuju atau tidak

Sitti Murniati Muhtar, Stategi komunikasi dalam pelaksanaan program corporate social responsibility (CSR) oleh Humas PT semen tonasa terhadapkomunitas lokal di Kabupaten

dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya, sehingga dalam tugas akhir ini penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “ Potensi Monumen Pers

Salim No.46 KEBON SIRIH MENTENG JAKARTA PUSAT Masakan Indonesia <Rp..

Karakter pahlawan yang muncul yang sama adalah berkaitan dengan nilai, moral dan karakter positif yang melekat pada diri individu konkret (tidak fiksi) dan cenderung