• Tidak ada hasil yang ditemukan

Assimilative Capacity of Tofu Tempe Industri Liquid Waste Load and it’s Effects on Macroinvertebrates Benthic in Ancar River, NTB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Assimilative Capacity of Tofu Tempe Industri Liquid Waste Load and it’s Effects on Macroinvertebrates Benthic in Ancar River, NTB"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

MAKROAVERTEBRATA BENTHIK DI SUNGAI ANCAR,

NUSA TENGGARA BARAT

NANDA DINIARTI

S

SEEKKOOLLAAHHPPAASSCCAASSAARRJJAANNAA I

INNSSTTIITTUUTTPPEERRTTAANNIIAANNBBOOGGOORR B

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis kapasitas asimilasi beban

pencemar limbah cair tahu-tempe dan pengaruhnya pada makroavertebrata

benthik di Sungai Ancar Nusa Tenggara Barat adalah karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftra Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2010

(3)

Waste Load and it’s Effects on Macroinvertebrates Benthic in Ancar River, NTB. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and YUSLI WARDIATNO.

Influence entry of organic material exceeding waters assimilative capacity can be seen at physical, chemical and biological water quality. Assessment of the influence of assimilative capacity exceed can using macro invertebrates benthic. The aim of this study are : 1) to know existence, total loading and quality of tofu-tempe making waste; 2) to know assimilative capacity of Ancar river and 3) to know status contamination of Ancar river with macro invertebrates benthic approach. Station 2, 3 and 4 get waste input from making of tofu-tempe directly. Total maximal pollutant burden from waste equal: BOD (9,10.10-2 ton/day), COD ( 3,58.10-1 ton/day) and TSS (2,54.10-2 ton/day). Measurable waste quality as follows: pH (5-7), BOD (639-3744 mg/l), COD (2283-13893 mg/l) and temperature (30-50 O C). Ancar river status is over capacity, hence concentration of BOD enabling admission is equal to 153,12 mg/l/day. Based on SIGNAL 2, Ancar river is included in medium to weight polluted waters, that marked by decline family number and loss of types benthic in clean waters.

(4)

NANDA DINIARTI,

Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar Limbah Cair Tahu-Tempe dan Pengaruhnya pada Makroavertebrata Benthik di Sungai Ancar, Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA dan YUSLI WARDIATNO.

Berbagai kegiatan dilakukan di Sungai Ancar oleh penduduk yang mendiami sepanjang alirannya. Saat ini air Sungai Ancar telah menurun kualitasnya. Kualitas air menurun karena banyaknya kandungan bahan organik yang membuat oksigen terlarut di air mencapai titik kritis. Bahan organik yang masuk pada bagian hilir terutama berasal dari industri kecil pengolahan tahu-tempe yang membuang limbahnya ke Sungai Ancar secara langsung tanpa perlakuan tertentu terlebih dahulu. Untuk mengatasi hal ini maka perlu pengendalian kualitas serta kuantitas masukan limbah organik agar tidak melebihi kapasitas asimilasi perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengetahui keberadaan, total beban dan kualitas limbah pembuatan tahu-tempe; 2) mengetahui status kapasitas asimilasi Sungai Ancar dan 3) mengetahui status pencemaran Sungai Ancar dengan pendekatan makroavertebrata benthik. Penelitian dilakukan di Sungai Ancar bagian tengah sampai muara. Lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan letaknya terhadap titik masukan limbah industri pembuatan tahu-tempe. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2009 yaitu mengambil musim kemarau. Analisa data yaitu meliputi: penentuan perkiraan beban pencemar dan kapasitas asimilasi, evaluasi terhadap struktur komunitas, penentuan tingkat pencemaran menggunakan SIGNAL 2, parameter kualitas air dianalisa secara deskriptif, sedang untuk melihat perbedaan digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjutnya dengan Beda Nyata Jujur (BNJ). Keterkaitan makroavertebrata dengan parameter kualitas air dilihat dari korelasi Pearson.

Stasiun 1 berlokasi di lingkungan Universitas Mataram (UNRAM) dan belum mendapat masukan limbah industri kecil pembuatan tahu-tempe. Stasiun 2 berada di Kelurahan Kekalik Jaya (Swadaya), mendapat masukan limbah pembuatan tahu-tempe pertama kali. Stasiun 3 berada di tengah-tengah lokasi masukan limbah tahu-tempe. Masukan limbah berasal dari Kekalik Gerisak sendiri dan Kekalik Timur. Stasiun 4 berlokasi di wilayah Arya Banjar Getas (ABG), mendapat limbah dari Kekalik Barat. Stasiun 5 merupakan akhir aliran Sungai Ancar. Karakteristik limbah cair tahu Lombok lebih mempunyai pH tinggi bila dibandingkan dengan yang di Jawa.

Kisaran nilai suhu, TSS, pH dan DO di semua stasiun masih dalam batas baku mutu. Rata-rata nilai COD Sungai Ancar mulai dari 122, 18- 254, 88 mg/l. Nilai COD dari semua stasiun telah di atas baku mutu yang disyaratkan untuk perikanan oleh PP No. 82 Tahun 2001 yaitu sebesar 50 mg/l. Konsentrasi BOD yang didapatkan pada penelitian ini mempunyai rentang nilai 19, 27- 29, 47 mg/l. Hasil penelitian mengukur kandungan amonia berkisar dari 1, 69-2, 16 mg/l.

(5)

dan 2 masih ditemukan makroavertebrata benthik dari ordo Ephemeroptera dan Tricophtera, walau kehadirannya jarang serta jumlah individu tidak banyak. Thiaridae merupakan famili yang mendominansi dengan katagori sedang di stasiun 2. Famili Tubificidae ditemukan dalam jumlah banyak pada stasiun 3 dan 5. Stasiun 4 mempunyai jumlah Diptera yang relatif tinggi. Berdasarkan cara makan makroavertebrata benthik didapatkan hanya tiga kelompok, yaitu; kelompok herbivora, karnivora dan kolektor. Stasiun 1 memiliki jumlah kelompok herbivora dan karnivora terbanyak di antara stasiun pengamatan. Jumlah kelompok kolektor tertinggi di stasiun 5.

Stasiun 1 menempati kuadran 2. Pada kuadran ini kondisi sungai telah berubah dari kondisi alaminya karena air sungai menjadi lebih keruh dibanding dengan di kuadran 1. Kuadran 3 diisi oleh stasiun 2. Stasiun yang ada di kuadran 3 diindikasikan sebagai perairan yang tercemar sedang. Stasiun 3, 4 dan 5 menempati kuadran 4. Stasiun yang berada di kuadran ini terindikasi telah tercemar berat karena tingginya pengaruh masukan limbah pembuatan tahu-tempe.

Chironomidae berkorelasi kuat dengan BOD, COD dan NH3, pada parameter TSS berkorelasi sempurna dan DO cukup. Korelasi negatif antara Chironomidae dengan DO memperkuat dugaan bahwa famili dari Diptera dapat hidup dengan normal pada konsentrasi DO rendah.

Masuknya bahan organik dalam hal ini limbah pembuatan tahu-tempe ke Sungai Ancar telah merubah kualitas air fisika maupun kimia. Perubahan ini direspon pula oleh makroavertebrata benthik. Awal masuk bahan organik oleh makroavertebrata benthik direspon dengan menurunnya jumlah famili, indeks keanekaragaman dan keseragaman. Anggota komunitas benthik yang tidak mentolerir kondisi bahan organik tinggi di perairan akan berkurang jumlahnya atau bahkan hilang di perairan. Kekosongan ini akan diganti oleh benthik yang mampu beradaptasi bahkan menyenangi kondisi bahan organik tinggi di perairan. Kondisi ini ditandai oleh naiknya, indeks keanekaragaman dan keseragaman.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

NUSA TENGGARA BARAT

NANDA DINIARTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

S

SEEKKOOLLAAHHPPAASSCCAASSAARRJJAANNAA I

INNSSTTIITTUUTTPPEERRTTAANNIIAANNBBOOGGOORR

B

BOOGGOORR 2

(8)
(9)

Nama : Nanda Diniarti

NIM : C251070061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir Enan .M. Adiwilaga Prof. Dr. Ir. Khairil .A. Notodiputro, M.S.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2009 ini adalah Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar Limbah Cair Tahu-Tempe dan Pengaruhnya pada Makroavertebrata Benthik di Sungai Ancar, Nusa Tenggara Barat

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan saran, arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc selaku penguji luar komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan arahan, serta Bapak Dr. Ir Fredinan Yulianda, M.Sc selaku wakil ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada suami penulis Yosi Pebriadi atas kasabaran, bantuan moril maupun material dan doanya serta Ibunda tercinta Baiq Wahidah yang dengan segala pengorbanannya, curahan kasih sayangnya telah merawat, membesarkan, dan mendidik penulis. Kepada adik ku satu-satunya Nuri Agustin dan seluruh sanak keluarga terima kasih atas segala dukungan moril dan doanya. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuannya selama penelitian, kiranya semua pengorbanan di atas tidak dapat penulis membalasnya, semoga semua jasa dan amal kebaikannya mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Karya ilmiah ini juga didedikasikan untuk Alm. Ayahanda Harjoso Moeljosoedirdjo, Alm Kakanda Aryananda dan Alm. Anakku Aulian Hanif, semoga Allah memberi tempat terindah di sana.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat pada

tanggal 5 Maret 1981, dari ayah drh. Harjoso Moeljosoedirdjo (almarhum) dan

Ibu Baiq Wahidah. Penulis merupakan putri ketiga.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Mataram dan diterima pada

tahun yang sama di Universitas Brawijaya di Fakultas Perikanan. Menamatkan

sarjananya pada tahun 2003.

Tahun 2005 penulis resmi menjadi dosen Universitas Mataram pada

Fakultas Pertanian. Penulis juga berkontribusi pada lahirnya Program Studi

Budidaya Perairan Universitas Mataram. Mendapat beasiswa BPPS dari

Depdiknas pada tahun 2007 untuk melanjutkan studi Magister Sains pada Mayor

Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Program Pascasarjana Institut Pertanian

(12)

DAFTAR ISI Penentuan perkiraan beban pencemar dan kapasitas asimilasi ... 22

Analisa struktur komunitas ... 24

Analisa penentuan tingkat pencemaran dengan SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Number Average Level) ... 25

Analisa parameter kualitas air ... 29

(13)

Kualitas kimia perairan ... 40

Keterkaitan Kualitas Air dengan Stasiun Pengamatan ... 43

Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi ... 47

Komposisi Jenis dan Kepadatan Makroavertebrata Benthik ... 50

Indeks Ekologi ... 54

SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average level) ... 56

Korelasi Makroavertebrata Benthik Dominan dengan Kualitas Air ... 59

Pengelolaan Limbah Cair Tahu-Tempe ... 60

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 62

Saran ... 62

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi makroavertebrata bentik berdasarkan ketahanannya terhadap

bahan pencemar (Wilhm 1975) ... 10

2 Pengelompokan makroavertebrata benthik berdasarkan kebiasaan makan (Cummins 1974) ... 11

3 Penggolongan air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Lee et al. 1978) ... 13

4 Tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 (Lee et al. 1978) ... 14

5 Karakteristik limbah cair tahu (Haryono 1997) ... 17

6 Parameter dan metode pengukuran kualitas air sungai ... 21

7 Parameter dan metode pengukuran kualitas air limbah pembuatan tahu-tempe ... 21

8 Contoh perhitungan SIGNAL 2 ... 27

9 Nilai faktor pembobotan berdasarkan jumlah individu yang ditemukan (Chessman 2003b) ... 27

10 Analisa sidik ragam ... 30

11 Kualitas limbah cair tahu di Jawa dan Lombok ... 36

12 Hasil uji beda nyata jujur pada parameter DO, BOD dan COD ... 43

13 Total beban limbah pembuatan tahu-tempe ... 48

14 Nilai indeks ekologi tiap stasiun ... 55

15 Kesimpulan penilaian indeks ekologi ... 58

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur perumusan masalah ... 4

2 Denah lokasi penelitian ... 19

3 Penentuan kuadran untuk nilai SIGNAL 2 ... 28

4 Pemplotan dari nilai SIGNAL 2 dan jumlah jenis makroavertebrata untuk stasiun contoh. Contoh pada penggunaan versi Ordo-Klas-Phylum dan data dari Tabel 7 ... 29

5 Diagram alir pembuatan tahu kedelai di Lombok ... 35

6 Nilai rerata suhu dan padatan tersuspensi (TSS) tiap stasiun ... 38

7 Nilai rerata kecepatan arus tiap stasiun ... 39

8 Nilai rerata kualitas kimia perairan tiap stasiun ... 41

9 (A) Biplot komponen utama faktor kualitas air. (B) Biplot komponen utama faktor stasiun ... 46

10 Rerata jumlah famili makroavertebrata benthik tiap stasiun ... 51

11 Rerata kepadatan makroavertebrata benthik tiap stasiun ... 52

12 Jumlah makroavertebrata benthik berdasarkan cara makan tiap stasiun ... 54

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Situasi stasiun penelitian ... 69

2 Sidik ragam kualitas air ... 70

3 Analisa PCA ... 72

4 Perhitungan kapasitas asimilasi ... 73

5 Tabel skor SIGNAL 2 ... 75

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai merupakan sumber air tawar yang mengalir satu arah ke suatu tempat sebagai akhir dari aliran. Muara dari aliran suatu sungai dapat berupa danau, waduk atau laut. Sungai juga berperan sebagai wadah suatu ekosistem alami yang merupakan penunjang bagi kehidupan yang ada di muka bumi ini, terutama bagi manusia yang lebih banyak menggunakannya untuk menyelenggarakan kelangsungan hidup.

Peran utama sungai adalah sebagai sumber air tawar untuk keperluan rumah tangga, irigasi pertanian, industri, pembangkit listrik, budidaya perikanan. Selain itu sungai juga menjadi penyedia sumberdaya hayati lain yang hidup di dalam badan air sungai seperti ikan, tanaman air dan lain sebagainya.

Dalam pemanfaatan fungsi sungai yang sangat beragam seperti di atas, maka dengan mudah badan air sungai mendapat masukan dari lingkungan luar. Masukan yang sering terdapat di badan air sungai adalah bahan organik. Bahan ini dapat menggeser keseimbangan dalam kualitas air sungai. Pada jumlah tertentu, sungai masih dapat menetralisir masukan bahan organik karena mempunyai kemampuan pulih diri/self purification. Jika jumlah bahan organik yang masuk

melampaui kemampuan pulih diri, maka kualitas air sungai akan menjadi buruk. Kualitas air yang buruk akan membatasi atau mengurangi fungsi dari sungai

tersebut. Masuknya bahan dan atau suatu organisme yang membuat berkurangnya fungsi dari suatu badan air disebut dengan pencemaran.

(18)

Beberapa tahun belakangan ini, masyarakat yang menetap di sekitar pengolahan tahu-tempe sering mengeluhkan tentang menurunnya kualitas air Sungai Ancar yang ditandai oleh terhentinya kegiatan budidaya ikan sistem karamba di sepanjang alirannya. Hal ini menandakan bahwa pembuangan limbah bahan organik yang berasal dari pengolahan tahu-tempe telah membuat perubahan kualitas perairan Sungai Ancar yang semula masih bisa menyokong kehidupan ikan menjadi tidak memenuhi syarat lagi.

Perubahan pada kualitas air sungai telah mengganti peruntukannya, maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas asimilasi sungai ancar telah terlampaui. Kapasitas asimilasi sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan suatu perairan dalam menerima beban pencemar tanpa menyebabkan penurunan kualitas air yang sesuai dengan peruntukannya.

Terlampauinya kapasitas asimilasi perairan Sungai Ancar akan memberikan dampak secara langsung pada biota yang mendiami perairannya baik kolom maupun dasar. Bagi biota yang berada pada kolom air akan lebih mudah untuk menghindari dampak buruk terlampauinya kapasitas asimilasi, sedangkan untuk biota dasar atau benthik akan terkena dampaknya. Akibat yang paling nyata adalah perubahan komunitas makroavertebrata bentik yang ada, sehingga organisme ini dipilih untuk melihat secara nyata tentang pengaruh perubahan

kualitas air. Selain itu makroavertebrata benthik merupakan parameter biologis yang mempunyai persyaratan yang diajukan yaitu mudah dalam sampling, murah biayanya dan lebih akurat dalam mencerminkan sesuatu yang terjadi di badan air.

(19)

Perumusan Masalah

Berbagai kegiatan dilakukan di Sungai Ancar oleh penduduk yang mendiami sepanjang alirannya. Saat ini air Sungai Ancar telah menurun kualitasnya. Penurunan ini disebabkan banyaknya kandungan bahan organik yang membuat

oksigen terlarut di air mencapai titik kritis. Bahan organik yang masuk pada bagian hilir terutama berasal dari industri kecil pengolahan tahu-tempe yang membuang limbahnya ke Sungai Ancar secara langsung tanpa perlakuan tertentu terlebih dahulu.

Bahan organik yang masuk ke dalam perairan sungai pada jumlah tertentu masih dapat dinetralisir oleh sungai karena adanya kapasitas asimilasi. Tetapi pada jumlah yang melebihi kapasitas asimilasi maka bahan organik itu akan didegradasi secara tidak sempurna seiring dengan habisnya kandungan oksigen terlarut yang berfungsi sebagai oksidator. Untuk mengatasi hal ini maka perlu pengendalian masukan limbah organik agar limbah yang masuk tidak melebihi kapasitas asimilasi perairan.

Pengaruh masuknya bahan organik yang melebihi kapasitas asimilasi perairan dapat terlihat pada parameter kualitas air baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Faktor fisik dan kimia perairan memang lebih mudah ditera dan langsung dapat diketahui nilainya. Namun terkadang tidak memberikan gambaran yang sebenarnya terjadi di perairan. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan lain dalam penilaian pasti pengaruh terlampauinya kapasitas asimilasi yang telah mengubah peruntukan suatu perairan salah satunya yaitu dengan makroavertebrata benthik.

Makroavertebrata benthik akan mengadakan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi, sehingga organisme toleran akan bertahan. Begitu pula sebaliknya

(20)

Gambar 1 Alur perumusan masalah.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui keberadaan, total beban dan kualitas limbah pembuatan tahu-tempe yang masuk ke Sungai Ancar.

2. Mengetahui kapasitas asimilasi perairan Sungai Ancar dalam menampung bahan pencemar (limbah pembuatan tahu-tempe) yang masuk

3. Mengetahui status pencemaran Sungai Ancar dengan pendekatan makroavertebrata benthik.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengendalian beban masukan limbah industri tahu-tempe tanpa melebihi kapasitas

(21)

Ekosistem Sungai

Sungai merupakan tempat dan wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara yang dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai sebagai suatu ekosistem perlu dikelola namun pengelolaan sungai harus disesuaikan dengan fungsinya. Menurut PP No. 35 tahun 1991 tentang sungai, pasal 7, fungsi utama sungai ada 2 (dua) yaitu: pertama sebagai sumber air merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan dan penghidupan manusia; kedua sungai dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsinya dan manfaatnya serta dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan (Yuwono 2002).

Perairan mengalir disebut juga habitat lotik, habitat ini berbeda dengan danau dan waduk yang tergenang (habitat letik). Habitat lotik terbagi menjadi 2

zona yaitu (1) zonasi yang dingin, dangkal, dasar sungai batuan atau kerikil atau liat (silty). Sungai-sungai dataran tinggi (streams) cirinya jernih, aliran air mengalir di atas kerikil (riffle). Zona (2) adalah bagian dalam, umumnya tergenang dan menjadi daerah akumulasi organik debris, cirinya dataran rendah (river) adalah berlumpur lebih lebar dan lebih dalam, umumnya tidak mempunyai riffle (Sudaryanti 1997).

Menurut Welcomme (1985) diacu dalam Mulyanto (1992), ekosistem sungai merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai macam habitat. Berdasarkan kemiringanya dapat dibedakan menjadi dua zona, yaitu:

Rithron, yang mempunyai ciri antara lain airnya curam, cepat bergolak, ada selang seling antara aliran dan genangan, berair terjun, riam dan jeram. Tempat yang dangkal mempunyai dasar batuan besar, kecil atau kerikil,

sedang tempat yang dalam mempunyai dasar halus dari pasir atau lumpur. Suhu rata-rata bulanan kurang dari 20OC, konsentrasi oksigen terlarut selalu tinggi. Zona ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

Epirithron, yang didominasi oleh aliran deras, air terjun dan

(22)

Hyporithron, mempunyai kelokan-kelokan dan genangan air,

dasarnya berupa lumpur atau detritus, secara ekologis diversitasnya lebih besar.

Metarithron, yang mempunyai ciri-ciri antara epirithron dan

hyporithron.

Potamon, yang mempunyai ciri antara lain aliran airnya pelan berkelok-kelok, dasar perairan didominasi oleh lumpur dan pasir. Mempunyai dua komponen yaitu saluran dan aliran, dapat juga berupa anak-anak sungai kecil yang membawa endapan lumpur alluvial membentuk tepian sungai berliku-liku dan daerah genangan yang berasal dari kelokan-kelokan sungai.

Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilasi

Beban pencemar adalah jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan oleh suatu industri atau kelompok industri pada area tertentu dalam kurun waktu tertentu (Rafni 2004). Pada kasus limbah rumah tangga dan perkotaan, istilah beban pencemar berkaitan dengan jumlah total limbah yang masuk ke dalam lingkungan dari komunitas kota selama periode tertentu. Adapun

besar kecilnya nilai beban pencemar tergantung pada jumlah dan jenis aktivitas manusia di sekitar sungai.

Selain dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar sungai, nilai beban pencemar juga tergantung pada keadaan tinggi muka air sungai. Pada musim kemarau nilai beban pencemar akan lebih tinggi dibanding musim penghujan yang mana tinggi muka air akan meningkat. Beban masukan pada sungai merupakan fungsi konsentrasi limbah dengan debit limbah pada waktu tertentu.

(23)

membutuhkan pengembangan model skala hidrolik dan komputer modeling yang menggunakan metode elemen terbatas dari persamaan penyebaran larutan. Walaupun demikian metode ini masih tetap memiliki kelemahan karena badan air di lokasi penelitian diasumsikan berbentuk empat persegi panjang (UNEP 1993).

Menurut Quano (1993) diacu dalam Anna (1999) menguraikan beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi diantaranya adalah:

1. Metode penghitungan pengurangan limbah awal, dispersi dan penguraian Metode ini dapat menentukan nilai kapasitas asimilasi melalui penggabungan nilai pengurangan limbah awal, nilai dispersi limbah dan nilai pengurangan limbah. Limbah awal ditentukan dengan beberapa faktor antara lain: kecepatan percampuran antara limbah dan air sungai, kedalaman air limbah yang mengalir di badan air dan lebar penyebaran limbah serta debit air limbah.

Kelebihan dari metode ini adalah perhitungan lebih ditekankan pada faktor-faktor fisik sehingga ketepatan perhitungannya tinggi. Adapun kelemahan metode ini adalah kurang memperhitungkan faktor-faktor kimia, artinya jenis limbah yang masuk ke sungai tidak diperhitungkan.

2. Metode arus bermuatan partikel

Kapasitas asimilasi pada metode ini ditentukan dengan cara membandingkan konsentrasi limbah dengan konsentrasi air sungai yang menerima limbah. Hal-hal yang diperhitungakan antara lain: kecepatan aliran, perbedaan konsentrasi dan debit air sungai.

Kelebihan metode ini adalah adanya perbandingan antara konsentrasi limbah dengan konsentrasi air sungai yang sangat penting bagi penentuan kapasitas asimilasi. Kelemahan metode ini adalah perhitungan konsentrasi bahan kimia limbah yang membutuhkan waktu.

3. Metode penurunan oksigen dari Streeter-Phelps

(24)

Kelebihan metode ini adalah analisa lebih teliti karena adanya perhitungan waktu perjalanan limbah. Metode ini menganggap hanya ada satu sumber pencemar yang tertentu (point source) sebagai kelemahannya.

Pada KepMen LH No. 110 Tahun 2003 tentang pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air diberikan dua metode perhitungan standar, yaitu: metode neraca massa dan metode Streeter-Phelps. Selain itu ada pula metode QUAL2E. QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang komprehensif dan dikembangkan oleh US Environmental Protecion Agency.

Kemampuan suatu badan air menerima limbah yang masuk ditentukan oleh kemampuan pembilasan (flusing time) dan proses purifikasi perairan dalam menampungnya dan dikhawatirkan bila kondisi ini tidak berjalan maka dapat menimbulkan pencemaran. Velz (1947) diacu dalam Nemerow (1974) membagi dua faktor yang mempengaruhi self–purification di sungai menjadi: faktor negatif dan faktor positif. Faktor negatif terdiri dari: suhu, waktu tempuh lintasan sungai, masukan limbah dan pengaruh dari deposit bungin. Faktor positif atau yang membantu proses self-purification adalah pengenceran, reaerasi, oksigen terlarut dari hasil fotosintesa alga (termasuk faktor negatif) dan oksigen dalam bentuk nitrat.

Penentuan kapasitas asimilasi di Sungai Ancar menggunakan metode Streeter-Phelps. Dari Penggunaan metode ini akan didapatkan jarak defisit

oksigen kritik dan seberapa besar konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan. Indikator yang digunakan untuk melihat apakah kapasitas asimilasi telah terlampaui adalah kondisi kualitas air yang kemudian dihubungkan dengan kualitas biologi perairan (makroavertebrata benthik).

Makroavertebrata Benthik

Penggunaan komunitas biotik untuk pengawasan lingkungan perairan terutama kualitas air, sebagian besar telah diketahui keuntungannya dibandingkan dengan penggunaan pengawasan fisika-kimia. Pada perairan dinamis (cepat

(25)

digunakan dalam pengawasan kualitas air adalah makroavertebrata benthik. Makroavertebrata benthik telah digunakan secara luas dalam penilaian perairan dinamis di beberapa negara Eropa (Soininen & Könönen 2004).

Makroavertebrata merupakan salah satu organisme akuatik yang hidup di dasar perairan. Hewan ini ada yang seluruh hidupnya di air tapi tak jarang pula sebagian hidupnya di air dan pada waktu dewasa hewan tersebut berada di darat, jenis yang seperti ini biasanya didominasi oleh insekta. Insekta biasanya mendiami perairan yang terang dan oligotropik daripada perairan terang tapi eutropik. Pada perairan yang eutropik lebih didominasi oleh makroavertebrata benthik yang bukan insekta. Benthik pada umumnya dibagi menjadi tiga ukuran

yaitu makrobenthik (1000 m), mesobenthik (500-1000 m) dan mikrobenthik

(<500 m) (Anonim 2003).

Fauna benthik air yang mengalir termasuk representatif dari hampir semua taksa utama yang diketahui pada air tawar. Komposisi dari satu tempat ke tempat yang lain dalam perairan menunjukan perbedaan tergantung pada faktor pembatas (Sudaryanti 1995). Menurut Stewart et al. (2000); Viganö et al. (1999); Compin & Cereghino (2003); Georgudaki et al. (2003), faktor pembatas adalah kondisi

kimia dan fisika sungai. Hal serupa dikemukakan pula oleh Soininen & Könönen (2004), bahwa distribusi spesies makroavertebrata lebih berhubungan dengan lebar sungai, konduktivitas dan pH. Ditambahkan pula Böhmer et al. (2001), biondikator seperti komunitas benthik sangat berkorelasi dengan parameter pencemaran. Selain mempunyai peranan penting dalam rantai makanan, makroavertebrata bentik dapat juga digunakan sebagai alat pengelolaan sungai misalnya untuk klasifikasi (Sudaryanti 1997).

(26)

(2009), bahwa makroavertebrata juga mampu merespon konsentrasi nutrien yang ada di perairan.

Berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar, Wilhm (1975), mengklasifikasikan makroavertebrata benthik menjadi tiga kriteria, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi makroavertebrata bentik berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar (Wilhm 1975)

No. Kelompok Jenis Makroavertebrata Bentik

1 Sangat tahan terhadap pencemaran

Cacing, Tubifisida, Lintah, Larva nyamuk, Siput (mollusca dan fisidium) 2 Ketahanan sedang, lebih

menyenangi air jernih

Jenis-jenis siput, Serangga dan Crustacea

3 Tidak tahan pencemaran dan menyenangi air bersih

Siput famili Viviparidae, Amnicodae, Serangga, nimfa dan ordo Ephermecidae, Odonata, Hemiptera,

Neuroptera.

Secara umum makroavertebrata benthik dapat dikelompokkan berdasarkan kebiasaan makan (Tabel 2). Scraper adalah organisme yang memakan alga, shredder memakan sisa-sisa tumbuhan, collector memakan partikel detritus dan predator memangsa organisme hidup (Thornton 2008). Hily dan Bouteille (1999)

(27)

Tabel 2 Pengelompokan makroavertebrata benthik berdasarkan kebiasaan makan (Cummins 1974)

Tipe Kebiasaan Makan Makroavertebrata Benthik

Grazer/scraper Moluska (Ancylidae, Sphaeridae, Pleuraceridae, Planorbiidae, Physidae, Unionidae), Ephemeroptera

(Heptageniidae), Trichoptera (Glossosomatidae dan Phygareidae) dan Coleoptera (Psephenidae dan Elmidae).

Shredders Plecoptera (Nemouridae,

Pteronarcidae, Peltoperlidae), Diptera (Tipulidae) dan Trichoptera

(Limnephilidae)

Collectors Ephemeroptera (Heptageniidae, Baetidae, Siphlonurisae dan Caenidae), Trichoptera (Hydropsychidae), Diptera

(Simuliidae dan Chironomidae) dan Oligochaeta

Predator Plecoptera (Perlidae), Megaloptera (Corydalidae dan Sialidae), Odonata (Corduligasteridae, Petalaridae, Gomphidae dan Agrionidae)

Kualitas Air

1. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kelarutan oksigen dipengaruhi secara tidak linier oleh suhu dan pada rentang suhu yang dapat diterima sebagian besar biota, suhu akan mempengaruhi secara langsung laju dari metabolisme, reproduksi dan pertumbuhan (Wetzel 2001). Menurut Hynes (1963), suhu di

dalam perairan dipengaruhi oleh altitude (letak ketinggian dari permukaan aliran), musim serta cuaca. Dampak kenaikan suhu pada perairan yang tercemar

(28)

2. Total Padatan Tersuspensi

Total padatan tersuspensi/Total Suspended Solid (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0, 45 µm. Buangan padatan tersuspensi ke dalam aliran air dapat

berupa anorganik (misalnya dari penambangan mineral, kegiatan pengangkutan kayu) atau organik (Mason 1988).

Efek dari materi tersuspensi pada biota yang menerima ada secara langsung dan tidak langsung. Efek langsung termasuk abrasi fisik dari permukaan tubuh dan terutama pada struktur halus seperti insang. Tingginya level dari partikel yang tersuspensi dapat mempengaruhi mekanisme mencari makan dengan cara menyaring pada avertebrata. Efek tidak langsung secara garis besar akan meningkatkan kekeruhan dan efek selimut dari partikel ketika mereka berdiam. Meningkatnya kekeruhan akan mengurangi atau mencegah fotosintesa (Abel 1989). Ditambahkan pula oleh Mason (1988), ketika padatan tersuspensi mengendap akan mengubah karakteristik dasar sungai dan menjadikannya suatu habitat yang kurang layak untuk banyak organisme.

3. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) adalah satuan yang menunjukkan kadar asam dan basa dalam suatu larutan, melalui konsentrasi ion hydrogen H+ (Alaerts & Santika 1984). Menurut Hellawel (1986), pH 7 adalah pH perairan netral, pH 3,5 – 4 perairan asam, sedangkan pH 8 – 10 perairan akan bersifat basa.

Perubahan pH di perairan bisa terjadi karena reaksi biologis seperti oksidasi sulfat, nitrifikasi dan oksidasi karbon organik. Perubahan relatif besar dalam pH akan mempengaruhi kapasitas penyangga dari perairan (Jennie & Rahayu 1990).

(29)

4. Oksigen Terlarut/ Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah miligram per liter gas oksigen yang ada di dalam air. Suplai dari oksigen terlarut berasal dari atmosfir dan dari masukan fotosintesa (Wetzel 2001), reaerasi dari reaksi fisik antara udara dengan air serta

adanya masukan dari sungai yang belum tercemar (Nemerow 1974). Konsentrasi oksigen terlarut dikurangi oleh konsumsi metabolisme biota dan nonbiotik seperti reaksi kimia.

Kelarutan dari oksigen dipengaruhi secara tidak linier oleh suhu dan kelarutannya akan meningkat dalam air dingin. Selain itu kelarutan oksigen dipengaruhi pula oleh tekanan udara, ketinggian tempat serta nilai salinitas perairan (Wetzel 2001). Distribusi oksigen yang dinamis di perairan darat adalah hal yang mendasar untuk memahami distribusi, tingkah laku dan pertumbuhan dari organisme akuatik.

Pengaruh pengkayaan bahan organik mengakibatkan terjadinya proses deoksigenasi. Proses deoksigenasi biasanya disebabkan oleh aktivitas bakteri dalam merombak bahan organik. Dengan meningkatnya kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi, kandungan oksigen secara tajam menurun (Mulyanto 1992).

Lee et al. (1978), membedakan kualitas perairan berdasarkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Tabel 3).

Tabel 3 Penggolongan air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Lee et al. 1978)

No. Golongan DO (mg/l) Kriteria

1 I > 6,5 Tidak tercemar dan tercemar sangat ringan

2 II 4,5 – 6,4 Tercemar ringan

3 III 2,0 – 4,4 Tercemar sedang

4 IV < 2,0 Tercemar berat

5. Chemical Oxygen Demand (COD)

(30)

adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasikan bahan organik maupun bahan anorganik. Nilai COD dinyatakan dalam mg/l. Nilai COD umumnya lebih besar daripada nilai BOD. Hal ini disebabkan jumlah senyawa kimia yang bisa dioksidasi secara kimia lebih besar dibandingkan oksidasi secara biologis (Saeni 1989, Tchobanoglous & Burton 1991).

6. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical oxygen demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis (KOB) merupakan suatu analisa empiris yang menggambarkan secara global tentang proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air. Nilai BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air (Alaerts & Santika 1984).

Menurut APHA (1985), air yang diinkubasi pada suhu 20oC selama lima hari diperkirakan 75% bahan organik yang ada telah terurai. Penguraian bahan organik ini akan menghabiskan kandungan oksigen terlarut. Kadar BOD di perairan yang tinggi menunjukkan bahwa konsentrasi bahan organik juga tinggi (Tchobanoglous 1986).

Lee et al. (1978) menggolongkan tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 (Lee et al. 1978) Kisaran konsentrasi BOD5 (ppm) Kriteria Kualitas Perairan

<2,9 3,0 - 4,9 5,0 – 14,9

> 15,0

Tidak tercemar Tercemar ringan Setengah tercemar

Tercemar berat

7. Amonia

(31)

1983). Di perairan alami sungai konsentrasi amonia cendrung rendah antara 7 – 60 µg N/l, Wetzel (2001) juga menambahkan bahwa pada perairan sungai umumnya konsentrasi nitrat berkisar antara 25 µg N/l pada lingkungan sub artik hingga amazon, dan 2000 µg N/l pada sungai tropis.

Amonia di perairan dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh bakteri, kegiatan pemupukan, dan ekskresi-ekskresi organisme yang ada di dalamnya. Setiap amonia yang dibebaskan ke suatu lingkungan akan membentuk reaksi keseimbangan dengan ion ammonium (NH4+). Amonia yang kemudian mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrit. Alabaster & Lloyd (1980) menyatakan bahwa amonia sangat toksik terhadap organisme dan toksisitasnya meningkat seiring dengan peningkatan pH dan suhu. Selanjutnya dinyatakan bahwa daya racun amonia meningkat dengan adanya CO2 di perairan dan bila kandungan O2 terlarut rendah.

8. Kecepatan Arus

Arus adalah pergerakan air non periodik yang disebabkan oleh bantuan dari luar. Bantuan itu antara lain; angin, perubahan tekanan udara dan perbedaan suhu secara horizontal di perairan (Wetzel 2001). Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi kehidupan akuatik terutama organisme benthik.

Menurut Welch (1980), kecepatan arus dapat dibagi menjadi arus sangat cepat (lebih dari 100 cm/detik), arus cepat (50-100 cm/detik), arus sedang (25-50 cm/detik), arus lambat (10-25 cm/detik) dan arus sangat lambat (kurang dari 10 cm/detik). Kecepatan arus sangat penting dalam perairan mengalir baik secara langsung maupun tidak langsung. Kecepatan arus mempengaruhi tipe dasar sungai dan jumlah endapan yang ada. Adanya batuan besar di antara kerikil dapat menyebabkan karakter sungai yang merupakan habitat organisme. Avertebrata mempunyai kebutuhan yang berbeda terhadap kecepatan arus untuk tujuan mencari makan dan respirasi (Hynes 1963).

(32)

Sebagian Tricoptera membangun kepompongnya di batu atau butiran pasir yang besar untuk meningkatkan berat tubuh agar tidak terseret arus deras (Sudaryanti 1995).

Tipe Substrat

Tipe dasar perairan dibedakan menjadi tipe eroding yang terdiri dari batuan kerikil dan tipe depositing yang berupa liat atau lumpur. Kondisi yang berbeda diantaranya adalah bentuk pasir (Hynes 1963). Menurut Odum (1993), substrat dasar perairan yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi benthos, sehingga akan mempengaruhi kelimpahan benthos menjadi lebih besar dan beragam. Ketika tipe substrat membentuk lumpur, karakteristik avertebratanya adalah Tubificidae, Chironomidae, Prosobranciata, Unionidae dan Sphaeridae (Hynes 1972).

Karakteristik Limbah Tahu

Tahu merupakan produk olahan dari kacang kedelai. Pengolahan kacang kedelai menjadi tahu biasanya termasuk sebagai industri rumahan dan dilakukan secara tradisional. Prinsip pembuatan tahu adalah menggumpalkan protein dari susu kedelai hasil ekstraksi kedelai yang telah dihancurkan dan ditambah air. Bahan penggumpal yang lazim digunakan ialah batu tahu (CaSO4) atau cioko, asam cuka (CH3COOH), dan MgSO4 (Pusbangtepa 1989 diacu dalam Ayu 2008).

Limbah pembuatan tahu berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah padat biasanya dimanfaatkan untuk bahan baku tempe gembus dan makanan ternak (Kastyanto 1994). Limbah cair biasanya tidak dimanfaatkan lagi dan dibuang ke lingkungan. Jumlah limbah cair diperkirakan 15-20 liter per kg kedelai (Haryono

(33)

Tabel 5 Karakteristik limbah cair tahu (Haryono 1997)

Parameter Kadar

pH 2-5

BOD 5000-7000 mg/l

COD 7000-12000 mg/l

Warna Putih Keruh

(34)

Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode ex-post-facto, yaitu metode yang merujuk pada perlakuan atau manipulasi variabel (parameter kualitas air) yang telah nyata terjadi di lapangan (fenomena alami) sehingga peneliti tidak perlu memberi perlakuan lagi tetapi hanya melihat efeknya pada variabel (kualitas air sungai dan makroavertebrata benthik) (Sudjana 1989). Dasar pendekatan sistematik penelitian adalah hubungan kausal tuntas dari objek yang dinilai, yaitu limbah organik indutri pembuatan tahu-tempe terhadap keberadaan makroavertebrata benthik yang terdapat di tiap stasiun pengamatan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sungai Ancar bagian tengah sampai muara yang berada di bagian barat Kota Mataram yaitu meliputi Kecamatan Dasan Agung, Kekalik Jaya dan Ampenan Selatan. Sungai Ancar merupakan salah satu sungai induk di Nusa Tenggara Barat (Gambar 2) dan memiliki panjang total kurang lebih 26,7 km. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2009 yaitu mengambil musim kemarau.

Penentuan Lokasi dan Titik Sampling

Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan dugaan telah terjadinya pencemaran berat yang dikarenakan oleh limbah industri pembuatan tahu-tempe. Lokasi pengambilan contoh air sungai ditentukan berdasarkan letaknya terhadap titik masukan limbah industri pembuatan tahu-tempe yang ada di perairan Sungai Ancar. Dengan dasar tata letaknya stasiun tersebut, ditentukan lima lokasi pengambilan contoh air di aliran utama Sungai Ancar. Lokasi tersebut adalah: Stasiun 1 : Jalan Majapahit (komplek UNRAM), merupakan daerah

sebelum terkena limbah

(35)

limbah tahu-tempe

Stasiun 3 : Kekalik Gerisak, merupakan pusat utama masukan limbah tahu-tempe.

Stasiun 4 : Arya Banjar Getas (ABG), merupakan daerah yang mendapatkan masukan limbah tahu-tempe terakhir.

Stasiun 5 : Muara Sungai Ancar.

Untuk sampling kualitas air limbah dari industri pembuat tahu-tempe digunakan sistem restricted random sampling. Sistem ini mengambil sampel dari populasi yang telah dikelompokkan terlebih dahulu (Nasir 2005). Mulanya populasi pengrajin dibagi berdasarkan lokasi pembuatan dan sampel ditarik dari satu pengrajin masing-masing lokasi dengan cara mengundi. Lokasi yang diambil adalah Kekalik Timur, Kekalik Barat dan Kekalik Gerisak.

Gambar 2. Denah lokasi penelitian.

(36)

Teknik Sampling

Pelaksanaan penelitian untuk pengumpulan data terdiri atas dua tahap, yaitu penelitian di lapangan dan pensortiran makroavertebrata bentik serta pengukuran beberapa kualitas air di laboratorium. Pengambilan makroavertebrata bentik dan

kualitas air dilakukan seminggu sekali sebanyak 6 kali pengambilan.

Jaring tangan/D frame-net dengan ukuran (20 x 30 cm, ukuran mata jaring

500 m) digunakan untuk mengambil contoh makroavertebrta benthik dengan

teknik traveling kick-net sampling, yaitu mengaduk-aduk dasar sungai menggunakan kaki di sepanjang jalur yang direncanakan. Daerah sungai yang dijadikan lokasi sampling meliputi panjang 5-10 m dan melihat keterwakilan zona. Waktu untuk tiap pengambilan sampel sekitar 10-20 menit. Untuk stasiun 5 pengambilan sampel langsung menyelam ke dasar mengambil dengan luasan transek 20 x 30 cm. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) contoh makroavertebrata bentik diambil menggunakan jaring tangan , dimasukkan dalam wadah plastik dan diawetkan dalam alkohol 70%, (2) dibawa ke laboratorium, dipisahkan antara kotoran dengan makroavertebrata benthik dan (3) diidentifikasi makroavertebrata bentik sampai tingkat famili, bila memungkinkan sampai tingkat genus atau species dengan buku identifikasi Edmonson (1959), Quigley (1977), Pennak (1978), dan McCaffery (1981) .

Pengambilan contoh kualitas air sungai dilakukan bersama-sama pada lokasi pengambilan contoh makroavertebrata. Pengambilan contoh air dilakukan dengan Kemmerer water sampler.

Teknik Pengukuran Parameter Kualitas Air

(37)

Tabel 6 Parameter dan metode pengukuran kualitas air sungai

No Parameter Satuan Metode/Alat Tempat

Bukan Kualitas Air

1 Kecepatan Arus m/det Pelampung/stopwatch Lapangan

2 Kedalaman air m Tongkat penduga Lapangan

Faktor Fisika

3 Suhu OC Thermometer Lapangan

4 Total padatan tersuspensi (TSS)

mg/l Gravimetrik Laboratorium

Faktor Kimia

5 pH - pH metrik Lapangan

6 Oksigen terlarut (DO)

mg/l Titrimetrik Lapangan

7 Amonia (NH3) mg/l Spektrofotometrik Laboratorium

8 COD mg/l Spektrofotometrik Laboratorium

9 BOD5 mg/l Titrimetrik Laboratorium

Sedimen

10 Tipe substrat - Grain size analysis Laboratorium

Tabel 7 Parameter dan metode pengukuran kualitas air limbah pembuatan tahu-tempe

No Parameter Satuan Metode Tempat

Bukan Kualitas Air

1 Volume limbah Liter volumetrik Lapangan

Faktor Fisika

2 Suhu OC Thermometrik Lapangan

3 Total padatan

tersuspensi (TSS) mg/l Gravimetrik Laboratorium

Faktor Kimia

4 pH - pH metrik Lapangan

5 COD mg/l Spektrofotometrik Laboratorium

(38)

Analisa Data

Penentuan perkiraan beban pencemar dan kapasitas asimilasi

Merujuk pada penelitian Rafni (2004), beban pencemar merupakan fungsi dari volume limbah pada suatu segmen dan konsentrasi parameter yang diamati

dengan persamaan sebagai berikut:

BP = Q x Ci x 10-9...(1) (Rafni 2004) Keterangan:

BP = Beban Pencemar (ton/hari) Q = Volume Limbah (Liter/hari)

Ci = Konsentrasi parameter ke i max (mg/l) 10-9 = Konversi mg ke ton

Kapasitas asimilasi sebuah perairan merupakan ukuran untuk melihat seberapa besar beban pencemar yang dapat diterima oleh suatu perairan. Perhitungan nilai kapasitas asimilasi sungai menggunakan metode Streeter-Phelps. Pemodelan Streeter-Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi pada aliran sungai (KepMen LH No.110 Tahun 2003). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Penentuan suhu, DO dan BOD setelah pencampuran Suhu/DO/BODcamp =

2. Penentuan defisit DO setelah pencampuran

(39)

3. Pengkoreksian konstanta laju reaksi terhadap suhu campuran

jika bernilai minus (-) maka cari nilai BOD yang diperbolehkan

(40)

Analisa struktur komunitas 1. Kepadatan makroavertebrata

Kepadatan jenis makroavertebrata didefinisikan sebagai jumlah individu satu jenis per stasiun, biasanya dalam satuan meter persegi (Odum 1993). Dapat

Ki : Kepadatan makroavertebrata jenis ke-i (individu/m2)

ai : Jumlah individu mkaroavertebrata jenis ke-i pada setiap bukaan jaring tangan

b : Luas yang tercacah jaring tangan 10 000 : nilai konversi dari cm2 ke m2

2. Indeks dominansi/ indeks Simpson

Indeks ini digunakan untuk mengetahui dominansi jenis biota yang diteliti. Dominansi jenis dihitung berdasarkan rumus indeks dominansi Simpson, yaitu

C = Σ Pi 2 Pi = ni / N

Dimana :

ni = jumlah individu ke-i

N = jumlah individu dari seluruh jenis yang ada dalam contoh

3. Indeks keanekaragaman/ indeks Shannon & Weiner

Indeks ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati biota yang diteliti. Indeks keanekaragaman dihitung berdasarkan rumus Shannon & Weiner ( Abel 1989).

(41)

S = jumlah jenis biota dalam contoh

4. Indeks keseragaman

Keseragamanan adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Krebs 1989). Hal ini didapat dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai indeks maksimumnya, yaitu:

m aksim al

H H E

' '

Dari perbandingan tersebut maka akan didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1. Semakin rendah nilai E akan semakin rendah pula keseragaman populasi spesies. Nilai E yang besar maka populasi menunjukkan keseragaman yaitu bila jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh beda (Krebs 1989). Nilai E mendekati 0 artinya sebaran individu tidak merata.

5. Kebiasaan makan

Mengelompokkan makroavertebrata benthik berdasarkan kebiasaan makannya. Adapun pengelompokan berdasarkan studi literatur dari Cummins (1974).

Analisa Penentuan Tingkat Pencemaran dengan SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Number Average Level)

(42)

- Mengidentifikasi jenis makroavertebrata yang ditemukan hingga tingkat famili atau ordo, kemudian diberi skor 1 – 10 berdasarkan penetapan jenis famili yang ditemukan.

- Penentuan faktor pembobotan dari jumlah individu yang ditemukan pada tiap famili dari makroavertebrata yang ditemukan berdasarkan Tabel 9.

- Nilai faktor pembobotan yang telah dihitung dikalikan dengan skor dari tiap famili yang ditemukan, kemudian hasil perkalian itu dijumlahkan secara keseluruhan.

- Hasil penjumlahan perkalian tersebut dibagi jumlah total faktor pembobotan, dan didapatkan nilai SIGNAL 2 yang biasanya berkisar antara 3 – 7 (Chessman 2003b)

- Nilai SIGNAL 2 yang didapatkan diplotkan dalam grafik yang dihubungkan dengan jumlah famili yang ditemukan, contohnya ada pada Gambar 3.

- Dari grafik tersebut diperkirakan keberadaan nilai SIGNAL 2 tersebut dalam suatu kuadran. Penentuan kuadran berdasarkan pada keadaan geografis dari tempat pengambilan sampel makroavertebrata. Kuadran yang diperoleh dapat diketahui kriteria lingkungannya. Penentuan

(43)

Tabel 8 Contoh perhitungan SIGNAL 2

Skor SIGNAL= Total nilai sensitivitas X Faktor Pembobotan/Total Faktor Pembobotan

= 177/48 = 3.7

Tabel 9 Nilai faktor pembobotan berdasarkan jumlah individu yang ditemukan (Chessman 2003b)

Jumlah Individu Faktor Pembobotan

1 – 2 1

3 – 5 2

6 – 10 3

11 – 20 4

(44)

SIGNAL 2

0 3.5 7

0 10 20

JUMLAH FAMILI

S

K

O

R

S

IG

N

A

L

2

Gambar 3 Penentuan kuadran untuk nilai SIGNAL 2.

Dari Gambar 3, kuadran 1 menggambarkan nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili makroavertebrata. Jumlah famili yang tinggi menunjukkan keanekaragaman keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak terdapat faktor tekanan ekologis. Tingginya nilai SIGNAL 2 menunjukkan kekeruhan, salinitas

dan kandungan nutrien yang rendah.

Kuadran 2 menggambarkan nilai SIGNAL 2 yang rendah dan jumlah famili makroavertebrata yang tinggi. Jumlah famili yang tinggi menunjukkan keanekaragaman keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak terdapat faktor tekanan ekologis. Nilai SIGNAL 2 yang rendah menunjukkan tingginya kekeruhan, salinitas dan nutrien dibandingkan dengan kuadran 1. Pada kuadran ini keadaan sungai telah berubah dari kondisi alaminya, disebabkan telah ada pengaruh dari aktivitas manusia dan kegiatan pertanian.

(45)

Kuadran 4 menunjukkan nilai SIGNAL 2 yang rendah dan juga jumlah famili makroavertebrata yang rendah. Perairan yang berada pada kuadran 4 diindikasikan telah tercemar berat, karena tingginya pengaruh aktivitas manusia.

Gambar 4 Pemplotan dari nilai SIGNAL 2 dan jumlah jenis makroavertebrata untuk stasiun contoh. Contoh pada penggunaan versi Ordo-Klas-Phylum dan data dari Tabel 7.

Analisa parameter kualitas Air 1. Analisa deskriptif

Data-data yang diperoleh selama penelitian dianalisa secara deskriptif, yaitu menyajikan data dalam tabel maupun dengan grafik. Dari tabel dan grafik yang terbangun dilihat kecendrungan/trend data dari stasiun 1 sampai stasiun 5. Selain itu, data minimal dan/atau maksimal dibandingkan dengan PP No. 82 tahun 2001 untuk air golongan 3 serta literatur yang mendukung.

Hasil stasiun contoh (dari Tabel 7)

(46)

2. Rancangan acak lengkap

Analisa sidik ragam yang digunakan adalah analisa sidik ragam satu arah atau rancangan acak lengkap (RAL) dengan stasiun sebagai perlakuan dan ada 6 kali ulangan, sehingga terdapat 30 unit data.

Beberapa data parameter hasil penelitian dapat saja tidak menyebar normal (nilai ragam lebih besar dari rerata masing-masing nilai parameter kualitas air tiap stasiun), oleh karena itu digunakan transformasi data dalam bentuk log (nilai +1). Dengan transformasi ini diharapkan nilai ragam yang diperoleh menjadi lebih kecil dari rerata sehingga data yang didapat akan menyebar normal dan dapat dilakukan uji statistik.

Data yang telah ditransformasikan akan menghasilkan nilai rerata dan ragam dalam bentuk log, yang kemudian diolah dengan software SPSS 15. Hasil analisa akan disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam atau tabel ANOVA (Tabel 10). Pengaruh masukan limbah terhadap konsentrasi beberapa parameter kualitas air yang diukur dapat dilihat dengan uji hipotesis antara lain:

H0: α1=...= αa = 0 ; masukan limbah tidak berpengaruh terhadap konsentrasi parameter kualitas air X1, X2, X3, X4 dan X5.

H1: αi≠ 0 ; masukan limbah berpengaruh terhadap konsentrasi parameter kualitas air X1, X2, X3, X4 dan X5.

Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel pada tingkat kepercayaan 95% maka H0 ditolak dan terima H1 , namun bila sebaliknya maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Tabel 10 Analisa sidik ragam

(47)

Kesimpulan yang didapat pada tabel ANOVA sebagai berikut:

Jika Fhitung > Ftabel : maka tolak H0, berarti minimal ada satu perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0,05.

Jika Fhitung < Ftabel : maka terima H0, berarti tidak ada perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0,05.

Apabila terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan, maka dilakukan uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur).

3. Uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur) / Tukey

Uji BNJ atau disebut juga dengan uji Tukey merupakan pengujian perbandingan berbagai kelompok rata-rata. Uji Tukey menggunakan statistic range studentized untuk membuat semua perbandingan berpasangan antar group dan menentukan tingkat kesalahan kelompok percobaan untuk membuat perbandingan berpasangan. Hipotesis untuk BNJ adalah sebagai berikut : H0: μ1=

μ2; H1 : μ1 ≠ μ2, denngan μ adalah rataan umum. Nilai BNJ dinyatakan dengan rumus :

n KTS dbsisa P

q

BNJ ,

Keterangan:

BNJ = beda nyata jujur P = jumlah perlakuan dbsisa = derajat bebas sisa KTS = kuadrat tengah sisa n = jumlah ulangan

q = nilai tabel student (P, dbsisa, α)

Kriteria pengambilan keputusan adalah jika beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari BNJ (|Yi-Yj|) > BNJ ) maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan

tersebut berbeda nyata pada taraf α (tolak H0) (Steel & Torrie 1991).

4. Analisis Komponen Utama

(48)

besar variabilitas data matriks dimensional, sehingga dapat ditemukan hubungan antara variabel dan hubungan antar objek.

Analisa komponen utama berfungsi untuk : (1) mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda, (2) mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah biasanya terdiri dari peubah yang banyak dan saling berkorelasi, menjadi peubah baru yang tidak berkorelasi dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman dalam data dan menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi kecil. Dengan demikian hasil analisa komponen utama tidak direalisasikan dari nilai-nilai parameter inisial tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari korelasi linier parameter-parameter inisial (Legendre & Legendre 1983 diacu dalam Setiawan 2008).

Untuk memetakan beberapa kualitas air dengan stasiun pengamatan maka masing-masing kelompok data dibuat dalam matriks data. Dan untuk parameter kualitas air apa saja yang identik dengan tiap-tiap stasiun dilakukan pendekatan sidik peubah ganda yang dianalisa dengan menggunakan analisa komponen utama melalui perangkat lunak Statistica 6.

Analisa keterkaitan makroavertebrata dengan parameter kualitas air 1. koefisien korelasiPearson

Untuk korelasi antara kelimpahan makroavertebrata dan kualitas air pada tiap stasiun digunakan analisa koefisien korelasi Pearson. Analisa korelasi digunakan untuk mengetahui bagaimana keeratan hubungan antara makroavertebrata benthik dengan parameter kualitas air. Menurut Hasan (2008), koefisien korelasi Pearson diinterprestasikan sebagai berikut:

r ≈ 0 = tidak ada korelasi 0 < r < 0,2 = sangat lemah 0,2 < r < 0,4 = lemah 0,4 < r < 0,7 = cukup

0,7 < r < 0,9 = kuat r ≈ 1 = sempurna

(49)

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di bagian hilir Sungai Ancar. Stasiun pengambilan

sampel ada lima titik. Adapun deskripsi mengenai lokasi masing-masing sebagai berikut:

Stasiun 1 : Berlokasi di lingkungan Universitas Mataram (UNRAM). Stasiun ini belum mendapat masukan dari industri kecil pembuatan tahu-tempe. Kanan-kiri sempadan sungai ditumbuhi pohon. Rata-rata naungan sekitar 30 % dan pada beberapa titik naungan sampai 70%.

Stasiun 2 : Lokasi berada Kelurahan Kekalik Jaya (Swadaya). Bantaran sungai merupakan perumahan penduduk. Stasiun ini mendapat masukan limbah pembuatan tahu-tempe pertama kali.

Stasiun 3 : Stasiun ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk yang memproduksi tahu-tempe. Lingkungan ini dikenal dengan Kekalik Gerisak dan termasuk Kelurahan Kekalik Jaya. Masukan limbah berasal dari Kekalik Gerisak sendiri dan Kekalik Timur.

Stasiun 4 : Lokasi stasiun berada di wilayah Arya Banjar Getas (ABG). Aliran sungai melalui areal persawahan. Naungan pada stasiun ini sekitar 20%. Termasuk kelurahan Ampenan Selatan. Limbah yang masuk berasal dari Kekalik Barat. Stasiun 5 : Stasiun ini merupakan akhir aliran Sungai Ancar dan

(50)

Karakteristik Limbah Cair Tahu

Tahun 1970an industri rumahan pembuatan tahu-tempe mulai bermunculan di wilayah Kekalik. Industri rumahan ini tiap tahunnya semakin berkembang. Sungai Ancar mempunyai kontribusi yang besar dalam perkembangan industri ini, yaitu sebagai sumber air pada awalnya.

Pembuatan tahu-tempe selain menghasilkan produk juga menghasilkan limbah. Limbah pembuatan tahu berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah padat biasanya dimanfaatkan untuk bahan baku tempe gembus dan makanan ternak (Kastyanto 1994), sedang limbah cair biasanya tidak dimanfaatkan lagi dan dibuang ke lingkungan. Jumlah limbah cair diperkirakan 15-20 liter per kg kedelai (Haryono 1997).

Proses pembuatan tahu di Lombok berbeda dengan yang ada di Jawa. Perbedaannya ada pada bahan penggumpal. Bila di Pulau Jawa bahan penggumpal berupa asam cuka, sedang dalam pembuatan tahu di pulau Lombok menggunakan

”air tua”. Air tua merupakan air laut yang tidak mengkristal pada pembuatan

garam. Adapun cara pembuatan tahu di Lombok dijelaskan pada Gambar 5. Limbah cair pada pembuatan tahu di Lombok berasal dari proses pencucian, perendaman dan pengepresan (Gambar 5). Berdasarkan konsentrasi bahan organik yang dikandung, limbah dibagi menjadi dua kelompok yaitu limbah dengan bahan organik rendah berasal dari proses pencucian dan perendaman serta limbah dengan bahan organik tinggi dari proses pengepresan. Limbah cair pengepresan yang dihasilkan dengan penggumpal air tua mempunyai karakteristik yang berbeda dengan limbah pembuatan tahu di Pulau Jawa. Perbedaan karakteristik limbah cair tahu seperti tercantum pada Tabel 11.

(51)

Gambar 5 Diagram alir pembuatan tahu kedelai di Lombok.

Pemecahan

Pembersihan

Perendaman (1-1,5 jam)

Pencucian

Penggilingan

Perebusan

Penyaringan

Penambahan larutan garam (1l per 100 kg kedelai)

Pencetakan

Pengepresan

Pemotongan

Pengkusan Kedelai

Tahu

Limbah cair pencucian Limbah cair perendaman

(52)

Tabel 11 Kualitas limbah cair tahu di Jawa dan Lombok

Parameter Limbah cair tahu di P. Jawa *

Limbah cair tahu di P. Lombok** Bahan organik

rendah

Bahan organik tinggi

pH 3.94 – 4.28 6.5 – 7.2 5 – 6.4

BOD 5395-5643 mg/l 639 – 698 mg/l 3293 – 3744 mg/l COD 6870-7250 mg/l 2283 – 2795 mg/l 13546 – 13893 mg/l

TSS - 359 – 384 mg/l 896 – 921 mg/l

Warna - bening keruh bening keruh

Suhu - 29 – 30 O C 40 – 50 O C

N-total 153-169 mg/l - -

P-total 3.94 – 4.28 mg/l - -

Keterangan: * Damayanti et al. (2004)

** Penelitian ini

Dewasa ini badan sungai Ancar telah berubah fungsi menjadi tempat membuang limbah industri pembuatan tahu-tempe yang dahulu badan air mulanya digunakan sebagai sumber air. Limbah cair yang dibuang ke sungai mencapai volume maksimum pada waktu produksi tahu maksimun pula. Produksi tahu mencapai maksimum atau minimum berkaitan dengan banyaknya hasil tangkapan

nelayan. Bila hasil tangkapan nelayan minimum atau ikan laut mempunyai harga jual yang tinggi maka permintaan akan tahu-tempe di pasaran lokal Lombok

meningkat. Saat ini pula para pengrajin akan meningkatkan produksinya. Namun bagi pengrajin yang telah mempunyai saluran pemasaran tetap maka produksi sehari-hari tetap maksimum. Setiap pengrajin tahu-tempe mempunyai kemampuan pengolahan sebanyak 40 - 100 kg kedelai perhari.

Kualitas Air

(53)

MAB yaitu: kualitas fisika perairan (suhu dan TSS) serta kualitas kimia perairan (pH, DO, BOD, COD dan NH3).

Kualitas fisika perairan

Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme. Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Secara langsung suhu lingkungan berpengaruh terhadap penyebaran organisme di sungai (Hunter 1970) serta berpengaruh pada besar konstanta reaerasi (Nemerow 1974). Meningkatnya suhu lingkungan maka akan menurunkan nilai konstanta reaerasi. Streeter dan Phelps diacu dalam Nemerow (1974) mengadopsi hasil penelitian yang menyatakan bahwa kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan reaksi biologis sebesar 4.7%.

Hasil penelitian mendapatkan suhu perairan mempunyai rentang yang sempit yaitu: 25,5o– 26,4 O Celcius (Gambar 6). Suhu terendah terdapat di stasiun 5. Hal ini terjadi karena banyaknya naungan. Berbeda halnya dengan stasiun 2 yang mempunyai suhu tertinggi. Tingginya suhu perairan pada stasiun 2 disebabkan oleh dangkalnya sungai serta tidak ada naungan karena sekitar bantaran sungai telah berubah fungsi sebagai pemukiman penduduk. Selain itu

adanya variasi suhu karena perbedaan waktu pengambilan sampel air. Suhu yang relatif rendah didapatkan pada pengukuran sampel pada waktu pagi hari sedangkan suhu yang relatif tinggi didapatkan pada pengukuran sampel siang hari. Sehingga intensitas sinar matahari yang masuk ke badan air lebih tinggi.

Dari kisaran suhu yang didapat saat penelitian, nilainya masih dalam batas baku mutu untuk semua kelas menurut PP No. 82 Tahun 2001. Welch (1980), menjelaskan bahwa suhu di atas 35 – 40 oC merupakan lethal temperature bagi makroavertebrata benthik karena mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.

(54)

berarti seberapa besar jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan

Gambar 6 Nilai rerata suhu dan padatan tersuspensi (TSS) tiap stasiun.

Bila nilai TSS kecil maka penetrasi cahaya matahari akan memungkinkan sampai dasar perairan. Sungai merupakan penerima pertama erosi lahan, limbah dari domestik maupun industri yang menyumbang TSS, sehingga membuat warna perairan menjadi keruh. Padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengganggu mekanisme mencari makan dengan menyaring pada beberapa avertebrata.

Konsentrasi rata-rata TSS tertinggi pada stasiun 5 (Muara) sebesar 143.67 mg/l dan terendah di stasiun 1 dengan konsentrasi 92.17 mg/l (Gambar 6). Nilai konsentrasi TSS dari stasiun pertama ke stasiun terakhir trendnya semakin tinggi.

(55)

Rata-rata konsentrasi TSS pada lima stasiun ini masih di bawah ambang batas PP No. 82 Tahun 2001 untuk perikanan yaitu sebesar 400mg/l. Menurut Alabaster & Lloyd (1980) diacu dalam Abel (1989), menyatakan bahwa perairan yang mengandung TSS lebih dari 80 mg/l tidak baik bagi kegiatan perikanan.

Gambar 7 memberikan informasi bahwa stasiun 1 mempunyai kecepatan tertinggi sebesar 0.41 m/s dan terendah pada stasiun 5 sebesar 0.06 m/s. Pada stasiun 1 kecepatan arusnya termasuk sedang, karena pada bagian bantaran sungai dipersempit karena adanya pembangunan eksisting. Makroavertebrata benthik yang mendiami perairan berarus deras ditemukan Glososomatidae, Lepidostomatidae serta Tricoptera karena hewan ini menempel pada batuan (Sudaryanti 1995). Pada stasiun 1 ditemukan pula Glososomatidae dan Tricoptera. Sedang pada stasiun 5 termasuk perairan berarus sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan lebar penampang perairan (Muara) yang signifikan dan adanya tanaman air, sehingga arus yang semula relatif cepat akan melambat memasuki stasiun 5. Melambatnya kecepatan arus di Muara memberikan kesempatan mengendapnya bahan organik yang dikandung oleh badan air.

(56)

Kualitas kimia perairan

Derajat keasaman (pH) perairan merupakan salah satu parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap prose-proses kehidupan dan susunan spesies dalam komunitas organisme. Batas toleransi organisme sangat bervariasi tergantung suhu, DO, adanya anion dan kation serta stadium organisme. Hynes (1978) menyebutkan bahwa nilai pH yang tidak menguntungkan bagi makroavertebrata benthik bernilai di bawah 5 atau di atas pH 9.

Berdasarkan Gambar 8 ditemukan pH terendah ada pada stasiun 3 sebesar 6,44 dan yang tertinggi ada pada stasiun 1 dengan nilai 7,01. Nilai pH stasiun 3 relatif rendah dikarenakan oleh banyaknya masukan bahan organik yaitu limbah cair pembuatan tahu-tempe. Limbah yang masuk ke dalam perairan akan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme. Menurut Wetzel (2001), proses dekomposisi bahan organik akan menurunkan pH perairan. Proses dekomposisi yang terjadi tidak menyebabkan penurunan yang drastis dan masih dalam kisaran baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 untuk perikanan yaitu berada antara 6 – 9. Nilai pH mengalami kenaikan di stasiun 5 (Muara) karena adanya masukan air laut walau dalam jumlah relatif kecil. Percampuran air tawar dengan air laut akan menyebabkan suatu peningkatan pada nilai pH perairan (Phillips 1972, diacu dalam Abel 1989).

Oksigen terlarut di Sungai Ancar yang terukur selama penelitian berkisar 2,55 – 4,06 mg/l (Gambar 8). Nilai terendah pada stasiun 3, sedangkan nilai yang tertinggi terdapat pada stasiun 1.

(57)

0

Gambar 8 Nilai rerata kualitas kimia perairan tiap stasiun.

Stasiun 1 mempunyai nilai oksigen terlarut tertinggi. Stasiun ini belum mendapat masukan limbah pembuatan tahu-tempe. Nilai ini masih dalam baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 untuk perikanan sebesar 3 mg/l. Namun dalam kriteria Lee et al. (1978) telah termasuk perairan tercemar ringan.

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di perairan menggunakan oksidator kuat. Rata-rata nilai COD Sungai Ancar mulai dari 122,18- 254,88 mg/l (Gambar 8). Stasiun yang mempunyai nilai COD terendah adalah stasiun 1. Pada stasiun ini belum mendapat masukan limbah dari pembuatan tahu-tempe sehingga nilai CODnya relatif kecil dibanding dengan stasiun pengamatan lainnya. Stasiun yang memiliki nilai COD tertinggi adalah stasiun 5. Hal ini terjadi karena stasiun 5 merupakan tempat akumulasi limbah dari stasiun sebelumnya.

Gambar

Gambar 1 Alur perumusan masalah.
Tabel 1  Klasifikasi makroavertebrata bentik berdasarkan ketahanannya terhadap                     bahan pencemar (Wilhm 1975)
Tabel 2   Pengelompokan makroavertebrata benthik berdasarkan kebiasaan makan                     (Cummins 1974)
Gambar 2. Denah  lokasi penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sel-sel sperma dilepaskan ke dalam air, kemudian masuk ke tubuh spons lain bersama aliran air melalui ostium untuk melakukan fertilisasi. Hasil pembuahan berupa zigot

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis hasil penelitian

Pada pengolahan limbah secara netralisasi sebagian besar limbah cair dari industri mengandung bahan- bahan yang bersifat asam ( Acidic ) ataupun basa ( alkaline )

Since the research focuses on the figurative languages as the object of the study, the researcher most likely analysis the sentence on the English novel entitled “The

- Guru meminta agar para siswa sekali lagi tentang hikmah yang terkandung dalam 10 Sifat Allah dalam Asmaul Husna sebagai penutup

Untuk mempersingkat dalam mengakses shortcut Scanner and Cameras, Anda dapat menampilkan shortcut tersebut pada halaman utama desktop.. Berikut cara

berkilauan bermain dengan sosok mu yang naif), mengandung makna wanita bermain sendirian dengan air ombak yang terhempas.. Matahari oranye), mengandung makna matahari

.... Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia. Akan tetapi, dalam perwujudannya