• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Kerentanan Aedes Aegypti Dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida Di Permukiman Kota Banda Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Kerentanan Aedes Aegypti Dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida Di Permukiman Kota Banda Aceh"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

i

STATUS KERENTANAN

Aedes aegypti

DAN KAITANNYA

DENGAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA DI PERMUKIMAN

KOTA BANDA ACEH

ZULFIKAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Kerentanan Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida di Permukiman Kota Banda Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)

ii

RINGKASAN

ZULFIKAR. Status Kerentanan Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida di Permukiman Kota Banda Aceh. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan FADJAR SATRIJA

Kota Banda Aceh merupakan satu diantara daerah endemis demam berdarah dengue (DBD) di Provinsi Aceh. Pengendalian Aedes aegypti sebagai vektor DBD lebih dititik beratkan pada pengendalian kimiawi dengan fogging focus menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida dapat menurunkan populasi vektor dengan cepat, namun aplikasi satu jenis insektisida dalam waktu yang lama dan frekuensi yang tinggi dapat menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya populasi nyamuk yang resisten terhadap insektisida yang digunakan. Tujuan penelitian ini untuk mengukur status kerentanan Ae. aegypti serta kaitannya dengan penggunaan insektisida rumah tangga di permukiman. Pengukuran status resistensi dilakukan sesuai standar WHO (1975) dengan impregnated paper berbahan aktif malation 0.8% dan sipermetrin 0.05%. Isolat Ae. aegypti diperoleh dengan memasang ovitrap pada 18 desa dari 9 kecamatan endemis DBD di Kota Banda Aceh. Telur yang terkumpul ditetaskan dan dipelihara hingga generasi kedua (F2) selanjutnya dilakukan pengukuran status resistensinya. Pengumpulan data penggunaan insektisida rumah tangga dilakukan melalui wawancara terhadap 180 responden pemilik rumah yang dipasang ovitrap. Pemilihan rumah berdasarkan keberadaan penderita DBD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 18 isolat Ae. aegypti terdapat 13 isolat yang telah resisten dan 5 isolat toleran terhadap malation. Isolat Ae. aegypti yang telah resisten memiliki persentase kematian antara 41.33 - 78.67%, sedangkan isolat Ae. aegypti berstatus toleran memiliki persentase kematian antara 80 - 90.67%. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk mematikan 95% populasi Ae. aegypti oleh malation adalah 75.79 jam (3 hari) terjadi pada isolat Kampung Keramat dan waktu tersingkat adalah 21.07 jam pada isolat Lampaseh Kota. Status kerentanan isolat Ae. aegypti terhadap sipermetrin menunjukkan bahwa semua isolat sudah resisten, berdasarkan persentase kematian nyamuk yang lebih kecil dari 80%. Waktu terlama untuk dapat mematikan 95% populasi Ae. aegypti adalah 150.15 jam (6 hari) pada isolat Bandar Baru dan waktu tersingkat adalah 35.21 jam (1.5 hari) pada isolat Punge Blang Cut.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa 98.89% responden adalah pengguna insektisida rumah tangga dan terutama untuk menghindari gigitan nyamuk. Frekuensi penggunaan insektisida sebagian besar setiap hari (71.91%), dengan lama penggunaan insektisida lebih dari satu tahun sebesar 87.64%. Hampir semua insektisida rumah tangga yang digunakan responden berbahan aktif piretroid sintetik (90.45%).

Hasil uji korelasi menunjukkan penggunaan insektisida rumah tangga (p=0.027 dan R=0.237), frekuensi penggunaan insektisida (p=0.005 dan R=0.211) dan lama penggunaan insektisida (p=0.010 dan R=0.213) memiliki hubungan yang signifikan tetapi berkekuatan lemah terhadap angka kematian Ae. agypti terhadap sipermetrin 0.05%.

(5)

iii

SUMMARY

ZULFIKAR. Status of Aedes aegypti Resistance and Its Relationship to Use of Household Insecticide in Settlement of Banda Aceh City. Supervised by SUSI SOVIANA and FADJAR SATRIJA.

Banda Aceh is one of dengue hemorrhagic fever (DHF) endemic areas in Aceh province. As a dengue vector, Aedes aegypti control was focused on chemical controlling by fogging using insecticides. Actually, insecticides application can reduce vector population rapidly, but long time effect and frequent insecticides application can cause new problems, such as appearance of resistant mosquitoes population. This research was conducted to measure the vulnerabilty status of Ae. aegypti and its relation due to the use of household insecticides. Resistance status measurement was carried out based on WHO Standard (1975) using impregnated paper which has active ingredient of 0.8% malathion and 0.05% sipermethrin. Ae. aegypti isolates were collected by installing ovitrap in 18 villages in nine endemic districts in Banda Aceh City. Eggs collected by ovitrap then reared and hatched up to be second generation (F2), which were conducted for resistance status measurement. Data on the use of household insecticides were collected by interviewing to 180 respondents who were installed ovitrap in their house. The selected houses were based on the presence of family members who ever suffering from DBD.

The result showed that from 18 isolates of Ae. aegypti, 13 of them were resistant and 5 others were tolerant to malathion. The resistant Ae. aegypti isolates had mortality of 41.33 – 78.67%, meanwhile tolerant isolates had 80 – 90.67%. The longest time to kill 95% of the total population of Ae. aegypti by malathion was 75.79 hours (3 days) occured on isolates from Keramat Village and the shortest was 21.07 hours on isolates from Lampaseh City. Measurement of susceptibility status to cypermethrin showed that all isolates were resistant based on mortality less than 80.0%. The longest duration to kill 95% of total population was 150.15 hours (6 days) happened on isolates from Banda Baru and the shortest was 35.21 hours (1.5 days) on isolates from Punge Blang Cut.

The result of interviews showed that 98.89% of respondents were insecticides users. Mostly to prevent mosquito bites. 71.91% of respondents used insecticides everyday, in which 87.64% of respondents have already used insecticides for more than a year. Most of the respondents used synthetic pyrethroid insecticides.

The result of correlation test showed that the use of household insecticide (p=0.027 and R=0.237), the frequency of insecticide used (p=0.005 and R=0.211) and duration in the use of insecticides (p=0.010 and R=0.213) had a significant but weak relationship to Ae. aegypti mortality by 0.05% cypermethrin.

(6)

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

STATUS KERENTANAN

Aedes aegypti

DAN KAITANNYA

DENGAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA DI PERMUKIMAN

KOTA BANDA ACEH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

ii

(9)
(10)

iii Judul Tesis : Status Kerentanan Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan

Insektisida di Permukiman Kota Banda Aceh Nama : Zulfikar

NIM : B252140011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Drh Susi Soviana, MSi Ketua

Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(11)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah Status Kerentanan Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida di Permukiman Kota Banda Aceh.

Terima kasih yang sangat besar penulis ucapkan kepada yang terhormat komisi pembimbing Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi dan Bapak Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD atas bimbingan, arahan dan motivasi semangat yang diberikan kepada penulis selama penulisan tesis serta Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian tesis. Terima kasih dan penghormatan penulis sampaikan kepada seluruh dosen di Mayor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK), Bapak Prof Dr Drh Singgih Harsojo Sigit MSc, Bapak Dr Drh FX. Koesharto MSc, Ibu Dr Drh Dwi Jayanti Gunandini MSi, dan Bapak Dr Drh Ahmad Arif Amin MSc yang selama ini telah memberikan ilmunya. Selanjutnya, terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Kesbangpol dan Linmas Kota Banda Aceh, Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Kepala Puskesmas yang telah memberi izin dan mendukung pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf di Bagian PEK, Drh Supriyono MSi, Ibu Juleiha, Bapak Heri Lukman Taher, Bapak Taufik, Bapak Nanang Mulyadi, Bapak Guspriyadi, Ibu Een serta teman-teman seperjuangan, Kursianto, Lalu Simbawara, Wirokartiko S Wardhana, R Irpan Pahlevi, M Umar Riandi, M Rasyid Ridho, Nurhadi E Firmansyah, Yuni Nindia, Evi Sulistyorini, Lisa Hidayati D, Milda Lestari, Noviriliensi, Wendy Afrianda, Wa Ummayah Imran dan Isfanda serta semua pihak atas bantuan, motivasi dan keceriaan selama ini.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda (Alm) Zainal Abidin HS dan Ibunda Siti Hawa, Isteri Novi Andrilia serta aneuk inoeng loen 3S (Shiffaunnisa, Shulha Haffafa dan Suheila Ilma Nafia) atas segala doa, kasih sayang dan pengorbannya serta saudara-saudariku (Wirda Hayati, M Fadhiel, Mardiana, Al Kautsar, Nauvan Ghazepna) atas segala bantuan moril dan materil sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini.

Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat, khususnya di bidang Parasitologi dan Entomologi Kesehatan.

Bogor, Januari 2017

(12)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Aedes aegypti Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue 3

Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti 4

Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida 5

3 METODE 8

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Pemasangan Perangkap Telur 8

Penetasan Telur dan Pemeliharaan 8

Pengukuran Status Kerentanan Aedes aegypti 9

Pengumpulan Data Penggunaan Insektisida di Permukiman 9

Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti 10

Analisis Data 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 12

Angka Indeks Ovitrap 13

Status Kerentanan Ae des aegypti Terhadap Malation 14 Status Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Sipermetrin 16

Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti 18

Penggunaan Insektisida Rumah Tangga di Permukiman 19 Hubungan Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Dengan Status Kerentanan

Aedes aegypti Terhadap Sipermetrin 31

5 SIMPULAN 33

Simpulan 33

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 39

(13)

vi

DAFTAR TABEL

1 Indek ovitrap dan jumlah telur Ae. aegypty yang terdapat pada ovitrap di

Kota Banda Aceh, 2015 13

2 Status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di Kota Banda Aceh, 2015. 14 3 Status kerentanan Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Kota Banda Aceh,

2015 16

4 Titik koordinat pengambilan sampel telur Ae. aegypti di Kota Banda Aceh,

2015 18

5 Karakteristik responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, 2015 20

6 Persentase kombinasi kandungan bahan aktif dan jenis formuasi insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh, 2015 30 7 Hasil uji chi-square penggunaan insektisida, frekuensi penggunaan

insektisida dan lama penggunaan insektisida terhadap angka kematian Ae.

aegypti terhadap sipermetrin 31

8 Hasil uji korelasi penggunaan insektisida, frekuensi penggunaan insektisida dan lama penggunaan insektisida terhadap angka kematian Ae. aegypti

terhadap sipermetrin 32

DAFTAR GAMBAR

1 Peta adminitrasi pemerintahan Kota Banda Aceh Provinsi Aceh, Indonesia ... 12 2 Peta sebaran status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di Kota Banda

Aceh, 2015 ... 18 3 Peta sebaran status kerentanan Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Kota

Banda Aceh, 2015 ... 19 4 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, 2015 ... 21 5 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh sesuai dengan (A) formulasi dan (B) cara pemakaiannya, 2015 ... 22 6 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, sesuai dengan waktu penggunaanya, 2015 ... 23 7 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, sesuai dengan frekuensi penggunaan insektisida, 2015 ... 24 8 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di Kota Banda

Aceh, sesuai dengan pemakaian ruangan setelah aplikasi insektisida, 2015 ... 25 9 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di Kota Banda

Aceh, berdasarkan lama penggunaan insektisida, 2015 ... 26 10 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

(14)

vii 11 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, berdasarkan (A) alasan penggunaan insektisida dan (B) tujuan penggunaan insektisida, 2015 ... 28 12 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, berdasarkan (A) kebiasan membaca label dan (B) cara menyimpanan insektisida, 2015 ... 29 13 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman

Kota Banda Aceh, berdasarkan tempat penyimpanan insektisida, 2015 ... 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pemeliharaan dan pengukuran status kerentanan Aedes aegypti 40 2 Wawancara menggunakan kuesioner dengan seorang responden pemilik

rumah yang dipasang ovitrap 40

3 Hasil analisis Uji Chi-square dengan progam SPSS 41

4 Hasil analisis Uji pearson correlation dengan program SPSS 42 5 Persentase jawaban responden tentang penggunaan insektisida rumah tangga

di permukiman Kota Banda Aceh 43

6 Persentase responden berdasarkan produk insektisida rumah tangga yang

digunakan di permukiman Kota Banda Aceh 44

7 Persentase responden berdasarkan kandungan bahan aktif insektisida rumah

tangga di permukiman Kota Banda Aceh 44

8 Kuesioner penggunaan insektisida rumah tangga di permukiman Kota

(15)
(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dari famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Virus ini diketahui terdiri atas empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Gubler 2002; Halstead 2008). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, tetapi strain DEN-3 merupakan serotipe virus penyebab DBD yang paling luas distribusinya (Kemenkes RI 2013). Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan Aedes aegypti yang merupakan vektor utama dalam transmisi DBD. Nyamuk ini tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis, pada umumnya hidup dan berkembang biak di sekitar rumah. Ae. aegypti ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Hadi 2016).

Kasus DBD cenderung selalu terjadi bahkan semakin menyebar luas terutama di daerah perkotaan. Peningkatan kasus terjadi setiap tahun seringkali berulang di wilayah yang sama (Widiarti et al. 2011). Penderita DBD di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan berjumlah 112,511 kasus dengan case fatality rate (CFR) sebesar 0.77% dan insiden rate (IR) sebesar 45.85 per 100 000 penduduk dengan jumlah angka kematian sebesar 871 orang (Kemenkes RI 2014). Pada tahun 2014 kasus DBD menurun menjadi 100 347 kasus dengan CFR sebesar 0.90% dan IR sebesar 39.83 per 100 000 penduduk. Namun dilaporkan terjadi peningkatan angka kematian sebesar 907 orang (Kemenkes RI 2015).

Laporan kasus DBD di Provinsi Aceh pada 2013 berjumlah 1369 dengan angka kematian 13 orang (CFR=0.95%, IR=29 per 100 000 penduduk). Pada 2014 terjadi peningkatan kasus DBD menjadi 2210 kasus dengan CFR=0.36% dan IR=45 per 100 000 penduduk, namun jumlah orang yang meninggal mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 8 orang (DKP Aceh 2015). Tren kasus DBD di Kota Banda Aceh dilaporkan menunjukkan penurunan dari tahun 2012-2013 yaitu berturut-turut sebesar 506 dan 258 kasus. Namun pada tahun 2014 dilaporkan terjadi peningkatan kembali, menjadi 299 kasus (DKK Banda Aceh 2015).

Pengendalian DBD terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan penyakit dengan pengendalian vektornya. Salah satu cara yang sering digunakan adalah pengasapan (fogging) dengan insektisida terutama dalam keadaan darurat atau kejadian luar biasa (KLB). Kegiatan fogging masih menjadi pilihan utama untuk mengendalikan vektor DBD (Kemenkes RI 2013). Hal ini juga sering dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Riwayat pemakaian insektisida di Kota Banda Aceh dimulai dengan penggunaan insektisida golongan organofosfat (malation) kemudian digantikan dengan insektisida golongan piretroid sintetik (sipermetrin) pada tahun 2010 dan masih digunakan hingga sekarang.

(17)

2

aegypti terhadap insektisida merupakan fenomena global yang terutama dilaporkan oleh pengelola program pengendalian penyakit tular vektor di Indonesia. Resistensi dapat diturunkan dan merupakan rintangan tunggal dalam keberhasilan pengendalian vektor secara kimia (Kemenkes RI 2012).

Laporan adanya resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida golongan organofosfat (malation) dan piretroid sintetik (sipermetrin) telah ada di berbagai negera termasuk di Indonesia. Ae. aegypti telah resisten terhadap malation dilaporkan di Port Sudan City (Husham et al. 2012), di Selangor Malaysia (Hidayati et al. 2011) juga di Surat Thani Thailand walaupun tidak terjadi disemua wilayah (Ponlawat et al. 2005). Laporan Ae. aegypti telah resisten terhadap sipermetrin juga dilaporkan di Brazil (Lima et al. 2011). Sementara itu beberapa wilayah di Indonesia dilaporkan resistensi Ae. aegypti terhadap malation juga terjadi di tiga wilayah DKI Jakarta (Prasetyowati et al. 2016a), Jawa Tengah (Sunaryo et al. 2014), Sumatera Selatan (Ambarita et al. 2015), Kota Bogor (Nurjanah 2013) serta sembilan kabupaten di Jawa Tengah (Ikawati et al. 2015). Sementara Ae. aegypti telah resisten terhadap sipermetrin dilaporkan terjadi di Kota Cimahi (Pradani et al. 2011), Kota Semarang (Sayono et al. 2012) dan delapan kabupaten di Jawa Tengah (Ikawati et al. 2015).

Selain akibat penggunaan insektisida pada program fogging, resistensi Ae. aegypti juga dapat dipicu oleh penggunaan insektisida rumah tangga yang terus menerus terutama di perkotaan. Penggunaan insektisida rumah tangga merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat dalam upaya pencegahan penularan penyakit tular vektor terutama nyamuk (Kemenkes RI 2011). Insektisida rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat didominasi bahan aktif dari golongan piretroid sintetik. Penggunaan insektisida rumah tangga diduga ikut mempercepat terjadinya resistensi terhadap Ae. aegypti. Oleh sebab itu pengukuran status kerentanan Ae. aegypti dan kaitannya dengan penggunaan insektisida di Kota Banda Aceh perlu dilakukan. Data resistensi ini dapat menjadi dasar kebijakan program untuk menentukan insektisida yang tepat untuk pengendalian DBD.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis data status kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan sipermetrin serta kaitannya dengan penggunaan insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh.

Manfaat Penelitian

(18)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Aedes aegypti Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue

Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. Vektor utama DBD di Indonesia adalah Ae. aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder (Kemenkes RI 2010; Hadi dan Koerharto 2006; Sukowati 2010). Genus Aedes memiliki ciri ujung abdomen meruncing, sersi yang menonjol, bagian lateral terdapat rambut post-spiracular dan tidak mempunyai rambut spiracular. Ae. aegypti memiliki corak belang hitam putih pada toraks, abdomen dan tungkai. Corak putih pada dorsal torak Ae. aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shaped), sedangkan Ae. albopictus berbentuk lurus di tengah-tengah thoraks (median stripe) dan bewarna lebih gelap dari Ae. aegypti (Hadi 2010).

Perkembangan dari telur menjadi dewasa terjadi pada suhu ruangan antara 10 - 280C. Waktu perkembangan paling cepat 5.5 hari dan paling lambat 121 hari. Perkembangan tercepat terjadi pada rerata suhu ruangan 28.70C dan terlama pada rerata suhu ruangan 100C. Waktu perkembangan telur menjadi dewasa menjadi singkat dengan peningkatan suhu udara (Hidayati et al. 2012). Telur Ae. aegypti bewarna gelap, menetas secara bersamaan menjadi larva pada suhu optimum 25 - 300C. Larva hidup pada air yang jernih akan berkembang menjadi pupa dalam waktu 5-6 hari, sedangkan pada suhu di bawah 100C larva akan mati. Setelah 5 - 6 hari larva akan berubah menjadi pupa dengan temperatur optimum untuk perkembangan berkisar 27 - 320C. Pada temperatur tersebut pupa jantan membutuhkan waktu berkembang rata-rata 1 - 9 hari, sedangkan pupa betina membutuhkan waktu rata-rata 2.5 hari. Setelah 1 - 2 hari pupa berubah menjadi nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).

Ae. aegypti merupakan nyamuk di permukiman karena stadium pradewasanya mempunyai habitat di tempat penampungan air atau wadah yang berada di permukiman. Spesies ini mempunyai sifat antropofilik, artinya lebih suka menghisap darah manusia dan juga bersifat multiple feeding artinya menghisap darah beberapa kali untuk memenuhi kebutuhan darah dalam satu periode siklus gonotropik (Sukowati 2010; Hadi dan Koesharto 2006).

Perilaku Ae. aegypti betina lebih memilih dan menggigit manusia pada pagi hari pukul 09.00 - 10.00 dan sore hari pukul 16.00 - 17.00. Namun nyamuk ini akan menghisap darah sepanjang hari di dalam ruangan. Ae. aegypti betina adalah pemangsa gesit dan berespon cepat terhadap gerakan inang, dan akan kembali pada inang yang sama atau inang yang berbeda untuk melanjutkan proses menghisap darah. Hal ini disebabkan pada siang hari manusia beraktivitas, sehingga pengisapan darah akan terganggu dan nyamuk akan terbang dan menggigit lagi sampai cukup kenyang untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya (Kemenkes RI 2013).

(19)

4

pendarahan, leukopenia, trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Selama periode demam akut (minimal 2 hari dan maksimal 10 hari) virus dengue bersirkulasi dalam darah perifer manusia. Ae. aegypti lain menggigit manusia selama tahap viremia dan dapat menular kemudian menularkan virus dengue ke orang lainnya, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 - 12 hari (Gubler 2002).

Selain dapat ditularkan secara horizontal dari manusia kepada manusia lainnya melalui gigitan vektor, virus dengue dapat juga ditularkan secara vertikal dari induk kepada keturunannya (transovarial) (Joshi et al. 2002; Freier dan Rosen 1998). Penularan virus dengue secara transovarial seperti dilaporkan Ahmad et al. (1997) di Malaysia, virus dengue ditemukan pada Ae. aegypti dan Ae.

albopictus pada stadium larva. Wasinpiyamongkol et al. (2003) melaporkan di

Provinsi Chiang Rai dan Santun Thailand, Ae. aegypti yang diberi makan darah yang mengandung virus DEN-2 dengan titer 7.8 log 10 MID50/ml menunjukkan filial infection rate (FIRs) yang rendah sampai generasi F3. Joshi et al. (2002) menginjeksi Ae. aegypti dari Jodhpur City di bagian Rajasthan India yang berumur 4-5 hari dengan virus DEN-3 melalui intrathoraxic dengan dosis inokulasi 1.2 log/0.2 µl. Hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan virus dari generasi F1 ke F2 dan mulai stabil pada generasi F3 sampai F7. Selanjutnya Rohani et al. (2008) melaporkan bahwa Ae. aegypti dari Selangor Malaysia yang berumur 4-5 hari diberi darah yang mengandung virus DEN-2 menemukan virus dengue sampai generasi F5 dan tidak ditemukan pada generasi F6 dan F7. Sementara Satoto et al. (2013) melaporkan virus DEN-2 dapat ditransmisikan secara transovarial pada Ae. aegypti dengan laju infeksi lebih tinggi pada generasi F0 dari F1.

Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti

Pengendalian Ae. aegypti dapat dilakukan secara fisik, biologi, kimia dan secara terpadu. Pengendalian fisik merupakan alternatif utama pengendalian vektor DBD melalui upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara menutup, menguras dan mendaur uang (3M). Pengendalian biologi menggunakan agen biologi seperti predator (ikan pemakan jentik), parasit dan bakteri. Pengendalian cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang populer di masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lainnya (Hadi dan Soviana 2013; Kemenkes RI 2013).

Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka panjang secara terus menerus akan menimbulkan resistensi populasi nyamuk yang resisten. Pengendalian Ae. aegypti dengan cara kimiawi merupakan metode pengendalian yang menjadi pilihan karena beberapa kelebihan diantaranya mudah diaplikasikan, dapat menurunkan populasi Ae. aegypti dengan cepat dan mudah didapat. Pengendalian vektor DBD bertujuan untuk menurunkan populasi Ae. aegypti, dengan sasaran pengendalian baik stadium larva dan stadium dewasa.

(20)

5 digunakan adalah temefos dan pyriproxyfen yang diaplikasi langsung dalam tempat penampungan air (McCall dan Kittayapong 2006). Temefos 1% dengan dosis 1 ppm (10 gram untuk 100 liter air) dapat memberikan kontrol yang efektif selama 8 – 12 minggu, terutama dalam bak air tidak berpori, apabila volume air tidak berubah (WHO 2013).

Pengendalian Ae. aegypti perlu dilakukan ketika pengendalian larva tidak efisien. Metode yang paling umum di gunakan untuk pengendalian Ae. aegypti dengan penyemprotan ULV dan fogging (Kemenkes RI 2013; CDHS 2005). Insektisida yang umum digunakan pada upaya pengendalian Ae. aegypti pada saat ini organofosfat dan piretroid. Insektisida tersebut memiliki cara kerja mengganggu sistem saraf serangga. Penggunaan insektisida piretroid semakin meningkat setelah munculnya nyamuk yang resisten terhadap insektisida golongan organofosfat dalam beberapa tahun terakhir (WHO 2009).

Achmadi (2010) memperkenalkan konsep manajemen demam berdarah berbasis masyarakat. Konsep ini menggabungkan pengendalian penyakit pada sumbernya yakni penderita yang memiliki potensi sebagai sumber penularan, pengendalian pada nyamuk Ae. aegypti yakni pengendalian sarang nyamuk serta penyuluhan masyarakat untuk mendukung Gerakan Berantas Tuntas Penyakit Demam Berdarah (Getas DBD).

Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida

Resistensi merupakan proses pengembangan kemampuan suatu populasi serangga untuk mentolerir dosis racun yang mematikan bagi sebagian besar individu dalam populasi tersebut (IRAC 2006). Munculnya galur Ae. aegypti resisten dapat dipicu oleh adanya pajanan yang berlangsung lama terhadap insektisida tertentu. Hal ini terjadi karena Ae. aegypti mampu mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering digunakan sehingga terjadi peningkatan metabolisme insektisida dalam tubuh serangga dengan enzim mixed function oxidase, hidrolase, esterase dan glutathione-S-tranferase (Lima et al. 2011).

Insektisida masuk ke dalam tubuh serangga (mode of entry) melalui kultikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut) dan spirakel (racun pernafasan). Sehingga satu insektisida dapat mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam tubuh serangga (Kemenkes RI 2012). Insektisida memberikan pengaruh terhadap serangga akibat aktivitas insektisida di dalam tubuh serangga. Aktivitas insektisida terdiri atas lima cara yaitu mempengaruhi sistem saraf, menghambat produksi energi, mempengaruhi sistem endokrin, menghambat produksi kutikula dan menghambat keseimbangan air (Wirawan 2006).

(21)

6

Resistensi Ae. aegypti terhadap malation terjadi salah satunya akibat penggunaan insektisida ini dalam jangka waktu yang lama dan frekuensi yang tinggi. Resistensi yang disebabkan karena aktivitas enzim AChE terjadi pada saat enzim tersebut menghalangi senyawa insektisida untuk mencapai organ targetnya ditandai dengan peningkatan kosentrasi enzim AChE. Adanya peningkatan enzim AChE mengindikasikan adanya mekanisme detoksifikasi metabolis insektisida di dalam tubuh serangga (Selvi et al. 2007). Selain itu terjadi perubahan sensitifitas tempat sasaran dalam tubuh serangga, berupa insensitifitas saraf dan insensitifitas enzim asetikolinesterase (AChE) serta penurunan penetrasi insektisida ke arah tempat aktif yaitu saraf dan AChE.

Ae. aegypti telah resisten terhadap malation dilaporkan di Port Sudan City (Husham et al. 2012), di Selangor Malaysia (Hidayati et al. 2011) juga di Surat Thani Thailand walaupun tidak terjadi disemua wilayah (Ponlawat et al. 2005). Sementara itu beberapa wilayah di Indonesia dilaporkan resistensi Ae. aegypti terhadap malation juga terjadi di tiga wilayah DKI Jakarta (Prasetyowati et al. 2016a), Jawa Tengah (Sunaryo et al. 2014), Sumatera Selatan (Ambarita et al. 2015), Kota Bogor (Nurjanah 2013) serta sembilan kabupaten di Jawa Tengah (Ikawati et al. 2015).

Proses mengurangi resistensi terhadap insektisida organofosfat akan memerlukan waktu lebih dari tujuh tahun (Lima et al. 2011). Resistensi akibat penggunaan insektisida, spesifik atau mungkin cross resistance tergolong tipe resistensi reversible (dapat pulih seperti semula) ketika pemakaian insektisida dihentikan, akan tetapi nilai kerentanan tidak dapat kembali ke nilai sebelumnya dan menurun dengan cepat manakala penggunaan insektisida dimulai (Pradani et

al. 2011). Penelitian di DKI Jakarta menunjukkan meskipun semua Ae. aegypti

berstatus resisten terhadap malation 0.8% namun terdapat perbedaan persentase kematian nyamuk uji. Pada tahun 2006 persentase kematian nyamuk uji asal Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat masing-masing 2%, 16% dan 16% (Shinta et al. 2008) dan tahun 2016 persentase kematian meningkat menjadi 53%, 72% dan 33% (Prasetyowati et al. 2016a). Penurunan kepekaan titik tangkap Ae. aegypti terjadi pada 20 generasi nyamuk yang secara terus menerus di paparkan dengan temefos, bahwa LC50 akan semakin meningkat dengan

bertambahnya generasi (Gunandini 2002).

Penemuan piretroid merupakan terobosan penting dalam dunia insektisida karena memiliki sejumlah karakteristik seperti bekerja cepat pada serangga (knock down dan flushing), memiliki efek repelen, dapat diaplikasi dengan dosis rendah, toksisitas pada mamalia relatif rendah, tidak berbau, non-residual (generasi pertama) dan residual jangka panjang, kelarutan dalam air rendah dan toksik terhadap ikan. Penggunaan insektisida ini di Indonesia dimulai pada tahun 1980 dan mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir (Wirawan 2006).

(22)

7 secara terus menerus dan mengakibatkan serangga tremor dan gerakan tak terkendali (Wirawan 2006).

Mekanisme dasar yang berperan dalam proses terjadinya resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid sintetik (sipermetrin) karena adanya proses detoksifikasi insektisida oleh enzim mixed function oxidase (MFO) dan insensitifitas tempat target yang melibatkan gen kdr (Astari dan Ahmad 2005). Penelitian yang dilakukan Ghiffari et al. (2013) melaporkan terjadinya perubahan insensitifitas tempat target pada Ae. aegypti dari Palembang terjadi akibat mutasi gen pada titik tangkap Va1016Ile (kodon valine) gen VGSC dengan uji diagnostik molekuler.

(23)

8

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pengambilan sampel telur Ae.

aegypti di lapangan pada Agustus sampai Nopember 2015. Telur nyamuk

dikumpulkan dari 9 kecamatan dari setiap kecamatan dipilih 2 desa yang memiliki kasus DBD tertinggi. Desa-desa yang dipasang ovitrap adalah Desa Kampung Keramat dan Bandar Baru (Kecamatan Kuta Alam), Desa Kopelma Darussalam dan Jeulingke (Kecamatan Syiah Kuala), Desa Punge Jurong dan Blang Oi (Kecamatan Meuraxa), Desa Lhoong Raya dan Lam Ara (Kecamatan Banda Raya), Desa Punge Blang Cut dan Lamteumen (Kecamatan Jaya Baru), Desa Lambhuk dan Doy (Kecamatan Ulee Kareng), Desa Lampaseh Kota dan Peulanggahan (Kecamatan Kuta Raja), Desa Ateuk Pahlawan dan Sukaramai (Kecamatan Baiturrahman), serta Desa Bathoh dan Panteriek (Kecamatan Lueng Bata). Selanjutnya proses rearing dan pengujian resistensi di Laboratorium Lokalitbang Biomedis Aceh sejak April hingga Mei 2016.

Pemasangan Perangkap Telur

Setiap desa ditentukan 10 rumah berdasarkan keberadaan penderita DBD untuk pemasangan ovitrap. Ovitrap diletakkan pada tiap rumah selama 5-7 hari. Ovitrap yang digunakan berupa wadah kecil yang telah dicat hitam dan diletakkan di dalam rumah. Ovitrap tersebut diisi dengan air sebanyak ½ bagian, kemudian ditempelkan kertas saring mengelilingi dinding bagian dalam ovitrap yang berfungsi sebagai media bagi nyamuk meletakkan telur. Ovitrap diletakkan di tempat gelap dan lembab yang diduga sebagai tempat persembunyian nyamuk, seperti di bawah meja, kursi, tempat tidur dan tempat potensial lainnya. Jumlah ovitrap yang dipasang pada setiap rumah sebanyak 2 buah, secara keseluruhan jumlah ovitrap yang dipasang dalam penelitian ini sebanyak 360 ovitrap pada 9 kecamatan.

Penetasan Telur dan Pemeliharaan

(24)

9 setiap desa mewakili isolat Ae. aegypti yang diuji sehingga terdapat 18 isolat Ae. aegypti.

Pengukuran Status Kerentanan Aedes aegypti

Pengujian dilakukan dengan menggunakan impregnated paper mengacu kepada WHO (1975) dengan alat susceptibility test kit. Pengujian ini dilakukan dengan memaparkan nyamuk Ae. aegypti dengan kertas berinsektisida malation 0.8% dan sipermetrin 0.05%. Jumlah nyamuk yang digunakan 25 nyamuk.

Nyamuk betina berumur 2-3 hari dengan kondisi perut kenyang air gula diambil dari kandang pemeliharaan dengan menggunakan aspirator, dimasukkan ke dalam holding tube (tidak dilapisi impregnated paper) bertanda hijau, kemudian nyamuk dipindahkan ke dalam exposure tube (dilapisi impregnated paper) bertanda merah dengan cara meniup perlahan-lahan sampai semua nyamuk berada dalam tabung tersebut. Nyamuk dibiarkan dalam exposure tube (tabung kontak) selama 1 jam sambil diamati kematiannya pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 (1 jam). Setelah kontak selama 60 menit, nyamuk dipindahkan kembali

ke holding tube dan dimasukkan dalam paper cup dan diberi air gula 10%

kemudian disimpan pada kondisi yang baik. Kematian nyamuk diamati pada 1, 2, 3, 4, 5, 6, 12 dan 24 jam penyimpanan.

Nyamuk dinyatakan mati apabila nyamuk tersebut sudah tidak mampu bergerak lagi. Kematian nyamuk setiap uji insektisida dihitung persentase kematian dengan menggunakan rumus :

% kematian = a ya ya a

a ya ya x 100%

Setiap isolat Ae. aegypti diuji dengan 3 kali ulangan dan satu kontrol yang masing-masing terdiri atas 25 Ae. aegypti betina. Setelah 24 jam, jumlah nyamuk yang mati dihitung dan dicatat. Apabila kematian nyamuk pada kelompok kontrol (tidak dipaparkan dengan impregnated paper) lebih besar dari 20% maka harus dilakukan pengujian ulang dan bila kematian terjadi antara 5-20 % maka dilakukan koreksi dengan menggunakan rumus Abbot :

Rumus Abbot = % a a ya −% a a

−% a a x 100%

Pengumpulan Data Penggunaan Insektisida di Permukiman

(25)

10

Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti

Pemetaan status kerentanan dilakukan dengan memproyeksikan kriteria status kerentanan menurut WHO (1975) dari persentase kematian Ae. aegypti ke dalam peta, berdasarkan tempat pengambilan sampel telur nyamuk. Peta diperoleh dari Bappeda Kota Banda Aceh, tiap kriteria akan dibedakan berdasarkan warna pada setiap lokasi pengambilan sampel. Data status kerentanan Ae. aegypti diolah dengan program Microsoft Excel kemudian dimasukkan ke dalam program ArcGIS versi 10.2.

Analisis Data

Indeks Ovitrap

Indeks ovitrap merupakan satu di antara ukuran yang menyatakan kepadatan Ae. aegypti di suatu wilayah. Pengukuran indeks ovitrap dilakukan satu minggu setelah pemasangan ovitrap dengan memeriksa telur Ae. aegypti pada setiap ovitrap yang dipasang (Kemenkes RI 2013).

Ovitrap Indeks (OI) = J a �����

J a ����� a a x 100%

Menurut FEDH (2006), kriteria indeks ovitrap dinyatakan dalam empat level dengan masing-masing kategori, yaitu level 1 jika IO <5% (sangat rendah), level 2 jika 5% < IO < 20% (rendah), level 3 jika 20% < IO < 40% (sedang) dan level 4 jika IO > 40%.

Pengukuran Status Kerentanan dan Penggunaan Insektisida

Status kerentanan ditentukan berdasarkan persentase kematian Ae. aegypti. Apabila kematian nyamuk dibawah 80% maka populasi tersebut dinyatakan resisten, antara 80-97% dinyatakan toleran, dan antara 98-100% dinyatakan rentan (WHO 1975) dan dianalisis secara deskriptif. Penggunaan insektisida rumah tangga dari hasil wawancara dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

Analisis Kaitan Status Kerentanan Dengan Penggunaan Insektisida

Data status kerenatan Ae. aegypti dan data penggunaan insektisida rumah tangga dianalisis dengan uji bivariat dengan uji chi square dan korelasi menggunakan program SPSS 21.00. Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara penggunaan insektisida rumah tangga (jumlah pengguna, frekuensi penggunaan dan lama penggunaan insektisida) dengan angka kematian Ae. aegypti terhadap sipermetrin.

(26)

11 0.75; hubungan kuat, dan r = 0.76 – 1.00; hubungan sangat kuat. Analisis juga dilakukan dengan melihat kemaknaan hasil korelasi melalui nilai probabilitas yang didapat dengan hipotesis H0 = tidak ada hubungan (korelasi) antara dua

variabel dan H1 = ada hubungan (korelasi) antara dua variabel. Bila confident

level (CI) yang digunakan adalah 95%, maka probabilitas p-value yang didapat

lebih besar dari 0.05 maka H0 diterima dan jika probabilitas yang didapat kurang

dari 0.05 maka H0 ditolak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah hubungan

(27)

12

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Banda Aceh salah satu daerah otonom di Provinsi Aceh, secara geografis terletak antara 5016’15” - 5036’16” LU (NL) dan 95016’15” – 95022’35” BT (EL) dengan ketinggian 0.80 meter diatas permukaan laut. Kota Banda Aceh memiliki batas-batas daerah, sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kota Banda Aceh memiliki 9 kecamatan dengan jumlah desa (gampong) 90 desa dengan luas wilayah 61.36 km2 (Gambar 1).

Keadaan klimatologi dengan rata-rata suhu udara 27 0C per bulan dan rata-rata kelembaban nisbi 80.7% per bulan, kecepatan angin 5.1 knot per bulan, curah hujan 135.3 mm per bulan dengan puncak curah hujan pada bulan Desember dengan jumlah hari hujan 20 hari serta rata-rata penyinaran matahari 49.4% per bulan tertinggi pada bulan Maret 64.2%. Penduduk tahun 2013 berjumlah 249 282 jiwa dengan rata-rata kepadatan 4 063 jiwa per km2 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2013 penduduk laki-laki 128 333 jiwa dan penduduk perempuan 120 949 jiwa dengan perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan 106.11 jiwa. Pelayanan kesehatan masyarakat terdapat 11 puskesmas. Tahun 2013 kasus penyakit menular seperti diare 6301 kasus, demam berdarah dengue (DBD) 258 kasus dan malaria 1 kasus (Bappeda Kota Banda Aceh 2014).

(28)

13

Angka Indeks Ovitrap

Hasil pemasangan seluruh ovitrap di dalam rumah diperoleh telur Ae. aegypti berjumlah 897 butir. Ovitrap positif mengandung telur terbanyak adalah 8 (40%) masing-masing ditemukan di Desa Punge Blang Cut dan Lampaseh Kota. Selain itu paling sedikit ditemukan ovitrap yang mengandung telur yaitu di Desa Ateuk Pahlawan dan Kampung Keramat masing-masing berjumlah 2 (10%) (Tabel 1).

Sembilan dari 18 desa yang dipasangi ovitrap di Kota Banda Aceh memiliki nilai indeks ovitrap (IO) rendah, 38.89% memiliki nilai IO sedang dan 11.11% memiliki nilai IO tinggi. Ho et al. (2005) melaporkan bahwa indeks ovitrap tidak memberikan estimasi kepadatan populasi Ae. aegypti tetapi dapat memberikan informasi perubahan relatif pada populasi nyamuk betina. Karena IO lebih menggambarkan tingkat oviposisi dari Ae. aegypti yang gravid (penuh telur).

Lokasi penelitian merupakan daerah endemis DBD dan pemukiman padat penduduk dengan jarak antar rumah sangat berdekatan, sehingga nyamuk dapat berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya, untuk menghisap darah dan tersedia tempat perindukan. Mohiddin et al. (2015) melaporkan di Malaysia larva Ae. aegypti lebih banyak ditemukan di dalam rumah (72.37%). Harrington et al. (2005) melaporkan di Thailand dan Puerto Rico bahwa tempat tinggal perkotaan dengan penduduk yang padat dan terdapatnya tempat-tempat potensial sebagai breeding place untuk perkembangbiakan nyamuk sehingga memungkinkan nyamuk terkosentrasi pada lokasi tersebut.

Tabel 1 Indek ovitrap dan jumlah telur Ae. aegypty yang terdapat pada ovitrap di Kota Banda Aceh, 2015

No Desa

Terpasang Positif

(29)

14

Endemisitas DBD tidak terlepas dari keberadaan Ae. aegypti sebagai vektor penular. Kepadatan larva Ae. aegypti meningkat pada saat menjelang dan akhir musim penghujan, berhubungan erat dengan keberadaan kontainer di sekitar rumah. Nilai IO dengan kategori rendah, karena pelaksanaan penelitian dilakukan pada musim kemarau dimana puncak musim hujan pada lokasi penelitian terjadi pada bulan Desember. Mohiddin et al. (2015) melaporkan terdapat korelasi positif antara indeks ovitrap dengan curah hujan dan kelembapan namun berkolerasi negatif dengan suhu (temperatur).

Status Kerentanan Ae des aegypti Terhadap Malation

Hasil pengujian 18 isolat Ae. aegypti, 13 isolat telah resisten dan 5 isolat berstatus toleran terhadap insektisida malation (Tabel 2). Isolat Ae. aegypti yang berstatus resisten persentase kematian paling tinggi berasal dari isolat Punge Blang Cut sebesar 78.67% dan persentase kematian terendah dari isolat Kampung Keramat sebesar 41.33%. Sementara isolat Ae. aegypti yang berstatus toleran, persentase kematian paling tinggi sebesar 90.67% berasal dari isolat Lampaseh Kota dan terendah (80%) dari isolat Lamteumen Timur.

Status kerentanan isolat Ae. aegypti dapat juga dilihat dari nilai lethal time (LT). Nilai LT yang tinggi mengindikasi bahwa nyamuk tersebut sudah resisten (Astari dan Ahmad 2005). Nilai LT tinggi berarti waktu yang dibutuhkan untuk membunuh nyamuk uji semakin lama, nyamuk tidak segera mati akibat paparan insektisida atau sudah resisten. Pada penelitian ini dengan menggunakan malation 0.8% untuk dapat membunuh 95% populasi Ae. aegypti membutuhkan waktu *Status kerentanan: Kematian > 97% (rentan), 80-97% (toleran), < 80% (resisten)

**LT50 = waktu yang dibutuhkan untuk membunuh 50% sampel nyamuk dewasa, 95% Cofindent Level

(30)

15 75.79 jam (3 hari). Dengan demikian walaupun nyamuk akhirnya mati pada hari ketiga namun jika dihubungkan dengan sifatnya yang multi bitter (menusuk dan menghisap darah berulang kali) selama masa hidup sampai 3 hari masih memungkinkan nyamuk tetap dapat berperan sebagai penular virus dengue.

Kejadian resisten pada beberapa isolat Ae. aegypti disebabkan karena penggunaan malation pada kegiatan fogging telah berlangsung dalam waktu yang lama dan frekuensi yang tinggi. WHO (1975) penggunaan insektisida secara terus menerus dengan waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya resistensi pada serangga. Kemungkinan lain penyebab menurunnya kerentanan terhadap malation adalah meningkatnya enzim esterase dan menurunnya titik tangkap insektisida yang dikenal dengan metabolic resistance (Brogdon dan McAllister 1998).

Penurunan kepekaan titik tangkap Ae. aegypti terjadi pada 20 generasi nyamuk yang secara terus menerus di paparkan dengan temefos, bahwa LC50 akan

semakin meningkat dengan bertambahnya generasi (Gunandini 2002). Resistensi karena peningkatan enzim estarase dengan mekanisme detoksifikasi dalam tubuh nyamuk terjadi pada Culex quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus (Karunaratne dan Hemingway 2001). Ae. aegypti yang dipaparkan dengan malation terjadi kenaikan nilai RR pada generasi ke-45 sebesar 3.24 kali dari generasi awal (Hidayati et al. 2011). Resistensi yang disebabkan karena aktivitas enzim terjadi akibat enzim menghalangi senyawa insektisida untuk mencapai targetnya.

Walaupun hampir semua isolat telah resisten, tetapi masih terdapat 5 isolat Ae. aegypti dengan status toleran (Lamteumen Timur, Doy, Lambhuk, Lampaseh Kota dan Batoh). Kemungkinan hal ini diduga karena adanya pergantian malation ke sipermetrin. Sejak tahun 2010 pada setiap kegiatan fogging focus di Kota Banda Aceh sudah menggunakan sipermetrin. Resistensi akibat penggunaan insektisida, spesifik atau mungkin cross resistance tergolong tipe resistensi reversible (dapat pulih seperti semula) ketika pemakaian insektisida dihentikan, akan tetapi nilai kerentanan tidak dapat kembali ke nilai sebelumnya dan menurun dengan cepat manakala penggunaan insektisida dimulai (Pradani et al. 2011). Penelitian di DKI Jakarta meskipun semua Ae. aegypti berstatus resisten terhadap malation 0.8% namun terdapat perbedaan persentase kematian nyamuk uji. Pada tahun 2006 persentase kematian nyamuk uji asal Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat masing-masing 2%, 16% dan 16% (Shinta et al. 2008) dan pada tahun 2016 persentase kematian meningkat menjadi 53%, 72% dan 33%. (Prasetyowati et al. 2016a).

(31)

16

Status Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Sipermetrin

Hasil pengujian 18 isolat Ae. aegypti menunjukkan semua isolat telah resisten terhadap sipermetrin (Tabel 3). Hal tersebut dapat terlihat pada rentang persentase kematian nyamuk yang berada dibawah 80%. Persentase kematian Ae. aegypti tertinggi berasal dari isolat Punge Blang Cut sebesar 68%. Terdapat 3 isolat (isolat Blang Oi, Lhoong Raya dan Ateuk Pahlawan) tidak ada kematian nyamuk setelah pengamatan 24 jam. Temuan pada penelitian ini dengan menggunakan sipermetrin 0.05%

Nilai LT adalah waktu yang diperlukan untuk dapat membunuh nyamuk uji setelah kontak 1 jam dengan insektisida selama 24 jam pengamatan. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk mematikan 95% populasi populasi Ae. aegypti dengan sebesar 150.15 jam (6 hari) dari isolat Bandar Baru, sehingga walaupun nyamuk akan mati pada hari ke 6 namun sebelum waktu tersebut nyamuk sempat bertelur sehingga memungkinkan populasi vektor tetap tidak berkurang bahkan bertambah.

Laporan Dinas Kesehatan Kota Banda, penggunaan sipermetrin sudah digunakan sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang pada setiap penyemprotan fogging focus sebagai pengganti malation. Frekuensi pemakaian sipermetrin pada penyemprotan fogging focus sebanyak 2-10 kali per desa. Meskipun pemakaian sipermetrin baru sekitar 6 tahun, hasil pengujian status kerentanan menunjukkan semua isolat Ae. aegypti telah resisten. Penurunan kerentanan terjadi lebih cepat, hal ini diduga terjadi karena penggunaan sipermetrin secara terus menerus dan frekuensi penggunaan yang tinggi.

Tabel 3 Status kerentanan Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Kota Banda Aceh, 2015 *Status kerentanan: Kematian > 97% (rentan), 80-97% (toleran), < 80% (resisten)

**LT50 = waktu yang dibutuhkan untuk membunuh 50% sampel nyamuk dewasa, 95% Cofindent Level

(32)

17 Kemungkinan lain yang menyebabkan semua isolat Ae. aegypti resisten adalah adanya resistensi silang (cross resistance) akibat dari pemakaian insektisida rumah tangga, karena sebagian besar insektisida rumah tangga berbahan aktif piretroid sintetik, merupakan satu golongan dengan sipermetrin. Penggunaan insektisida pada pengendalian populasi nyamuk, menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan mekanisme berbeda (WHO 1975).

Ae. aegypti yang telah resisten dapat menurunkan gen resisten kepada keturunannya. Mekanisme dasar yang berperan dalam proses terjadinya perubahan status kerentanan nyamuk terhadap insektisida piretroid sintetik karena proses detoksifikasi insektisida oleh enzim mixed function oxidase dan insensitivitas tempat target yang berhubungan dengan gen kdr (Astari dan Ahmad 2005). Laporan di Kolombia, Ae. aegypti dari penangkapan lapangan dengan pengujian skala laboratorium, pengujian awal persentase kematian sebesar 100% (rentan) selanjutnya dipaparkan secara bertahap dengan lamdasihalotrin sampai generasi ketujuh menunjukkan persentase kematian sebesar 35% dan terjadi resistensi silang dengan permetrin (Rodriguez et al. 2012).

Penyemprotan fogging focus merupakan kegitan rutin sebelum dan sesudah terjadinya kasus DBD dan telah meluas digunakan sehingga memicu perkembangan kekebalan Ae. aegypti pada daerah endemis DBD. Menurut Hadi (2016) kegiatan fogging focus ditujukan untuk mematikan Ae. aegypti dewasa di daerah kasus melalui kontak dengan partikel insektisida di udara. Partikel insektisida di udara hanya bertahan beberapa jam, sehingga fogging tersebut tidak mengatasi masalah DBD secara efektif dan banyak dilakukan tidak tepat sasaran seperti di selokan-selokan di luar rumah. Pengendalian secara kimiawi yang tidak didasari pada pengetahuan tentang resistensi vektor, perilaku vektor, jenis dan dosis insektisida yang tidak tepat, dapat menyebabkan gagalnya usaha pengendalian dan menyebabkan populasi Ae. aegypti menjadi resisten (Widiarti et al. 2012).

(33)

18

Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti

Posisi geografis titik koordinat pengambilan sampel dalam penelitian ini sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Titik koordinat pengambilan sampel telur Ae. aegypti di Kota Banda Aceh, 2015

Lokasi Koordinat Lokasi Koordinat

LU BT LU BT

Keterangan : LU = Lintang Utara, BT = Bujur Timur

Wilayah sebaran isolat Ae. aegypti terhadap malation (Gambar 2). Tiga belas dari 18 isolat telah resisten diberi tanda warna merah dan 5 isolat berstatus toleran diberi tanda warna kuning. Wilayah sebaran isolat Ae. aegypti terhadap sipermetrin sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3. Delapan belas isolat Ae. aegypti telah resisten dan diberi tanda warna merah.

Resistensi Ae. aegypti terhadap malation hampir menyeluruh pada semua desa penelitian hanya dari Desa Lampaseh Kota, Lamteumeun Timur, Batoh dan Lambhuk yang menunjukkan toleran. Hal ini karena penggunaan malatioan sudah beralih ke sipermetrin sejak enam tahun yang lalu.

(34)

19

Gambar 3 Peta sebaran status kerentanan Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Kota Banda Aceh, 2015

Sementara itu desa-desa yang berstatus toleran berada di bagian selatan dan tenggara Kota Banda Aceh merupakan daerah perbatasan dengan wilayah Kabupaten Aceh Besar yang termasuk daerah sub urban, kemungkinan populasi

Ae. aegypti masih berstatus rentan. Migrasi dan penyebaran Ae. aegypti dapat

mempengaruhi kecepatan terjadinya kerentanan di suatu wilayah. Apabila suatu wilayah telah terjadi resistensi pada saat yang bersamaan dimasuki oleh Ae. aegypti rentan dan terjadi perkawinan sehingga dapat meningkatkan status kerentanan.

Resistensi terhadap sipermetrin ditemukan pada semua desa penelitian hal ini disebabkan penggunaan sipermetrin pada kegiatan fogging setiap ada kasus dan telah digunakan lebih dari enam tahun dan resistensi tersebut dapat bersifat terlokalisir. Rodriguez et al. (2014) melaporkan bahwa populasi Ae. aegypti di Kuba telah resisten terhadap deltametrin terbukti dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Penggunaan Insektisida Rumah Tangga di Permukiman

Karakteristik Responden

(35)

20

Tabel 5 Karakteristik responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh, 2015

Karakteristik Responden

N %

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

Kelompok umur 17-25

26-35

*) SDTT = Sekolah dasar tidak tamat

Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar responden adalah perempuan, hal ini disebabkan kepala keluarga (laki-laki) tidak berada di tempat pada saat penelitian dilakukan (sebagian besar ibu rumah tangga). Sementara ada beberapa responden meskipun terdapat kepala keluarga di rumah, namun wawancara tetap dilakukan dengan ibu rumah tangga karena segala keperluan dan kebutuhan rumah tangga dikelola dan diatur oleh ibu rumah tangga termasuk penggunaan insektisida.

Umur merupakan karakteristik individu yang mempengaruhi fungsi biologi, psikologis dan sosiologis. Responden harus memenuhi persyaratan diantaranya berumur 17 tahun ke atas, mengerti dan memahami terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan serta mengetahui tentang penggunaan insektisida di rumah tangga. Umur responden tertinggi 65 tahun dan terendah 21 tahun dengan umur rata-rata 39 tahun, sebagian besar responden berada pada kelompok usia produktif (17-55 tahun).

(36)

21

Pengguna Insektisida Rumah Tangga

Hampir seluruh (98.89%) responden adalah pengguna insektisida rumah tangga (Gambar 4). Tingkat penggunaan insektisida oleh responden adalah termasuk tinggi ini disebabkan beberapa hal diantaranya responden sudah terbiasa memakai insektisida, berdasarkan pengalaman, kekhawatiran terhadap gigitan dan gangguan kehadiran nyamuk. Kemungkinan lain penyebab tingginya penggunaan insektisida adalah tersedianya informasi tentang insektisida melalui media cetak dan elektronik serta pengalaman orang lain sehingga memudahkan masyarakat memilih insektisida sesuai dengan keperluannya.

Masyarakat menggunakan insektisida rumah tangga merupakan salah satu upaya untuk melindungi diri dan keluarga dari gigitan dan gangguan nyamuk. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh melaporkan bahwa setiap tahun kasus DBD masih terjadi dan termasuk daerah endemis DBD meskipun terjadi penurunan namun kasus-kasus tersebut sangat berkaitan dengan keberadaan vektor nyamuk dengan daya dukung lingkungan seperti masih tersedia tempat-tempat perkembangbiakan vektor di sekitar tempat tinggal. Asmadi et al. (2011) melaporkan bahwa masih tingginya angka keberadaan vektor di lokasi kasus disebabkan padatnya perumahan penduduk dengan jarak antar rumah sangat dekat dan terdapat kontainer tidak tertutup.

Saowanee et al. (2012) melaporkan di Ubonrachathani, Thailand sebagian besar responden (73.10%) menggunakan insektisida rumah tangga untuk mengatasi permasalahan hama permukiman seperti nyamuk, semut dan kecoa. Wiganti dan Susanti (2012) melaporkan di Kelurahan Kutowinangun Kota Salatiga 72% responden menggunakan insektisida rumah tangga karena nyamuk cukup banyak dan sudah terbiasa memakai insektisida anti nyamuk. Masyarakat di Desa Pangandaran Kabupaten Pangandaran 82% menggunakan insektisida rumah tangga karena keberadaan vektor DBD dan malaria (Kusumastuti 2014). Sementara penggunaan insektisida pada daerah endemis DBD di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah dari 300 responden sebanyak 259 (86.33%) menggunakan insektisida rumah tangga untuk mengusir dan membunuh nyamuk serta serangga lainnya (Sunaryo et al. 2015).

Gambar 4 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh, 2015

Ya 98,89 Tidak

(37)

22

Formulasi dan Cara Pemakaian Insektisida Rumah Tangga

Jenis formulasi insektisida rumah tangga yang digunakan oleh sebagian besar responden (40.45%) berbentuk aerosol dan terendah (3.37%) menggunakan kertas bakar (Gambar 5A). Cara pemakaian insektisida rumah tangga dengan mengunakan cara semprot (spray) sebesar 46.63% dan terendah (9.55%) dengan cara oles (repelen) (Gambar 5B).

Berbagai formulasi insektisida rumah tangga yang tersedia memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya masing-masing. Formulasi insektisida rumah tangga yang digunakan sebagian besar adalah aerosol, yang merupakan formulasi yang sangat praktis dan mudah dipakai serta memiliki efektifitas yang baik dibandingkan formulasi yang lain.

Formulasi aerosol diaplikasikan dengan cara penyemprotan ruangan (space spray). Pemilihan formulasi insektisida sangat penting untuk memastikan masuknya bahan aktif ke dalam tubuh serangga. Formulasi aerosol mempunyai efek kerja lebih cepat, ukuran partikel bahan aktif ini dibuat sangat kecil (menyerupai gas) sehingga mudah menembus celah-celah kecil. Formulasi ini digunakan dalam jumlah sedikit, sehingga dosisnya sangat aman bagi manusia (Pemba dan Kadangwe 2012).

Cara pemakaian insektisida rumah tangga dikelompokkan atas empat kelompok, diantaranya dengan cara dibakar (coil dan kertas), pemanasan listrik (vaporizer liquid dan vaporizer mat), menggunakan tekanan (aerosol dan cair) dan olesan (repelen). Menurut Wirawan (2006) dalam pengendalian hama permukiman, aplikasi insektisida dapat dibagi dalam empat kelompok sehubungan dengan jenis dan perilaku serangga yaitu penyemprotan ruangan (space spray) untuk serangga terbang, penyemprotan permukaan (surface spray) untuk serangga merayap, fumigasi dan pengumpanan (bait).

Gambar 5 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh sesuai dengan (A) formulasi dan (B) cara pemakaiannya, 2015

Aerosol 40,45

Coil 25,84 VM

10,67 Lotion

9,55 Cair 6,18

VL 3,93

Kertas 3,37

Semprot 46,63

Bakar 29,21 Listrik

14,61 Oles 9,55

(38)

23 Cara pemakaian (aplikasi) insektisida hampir semua space spray dengan mekanisme pelepasan molekul-molekul insektisida ke udara dan diharapkan droplet berada di udara dalam waktu yang cukup untuk kontak dengan serangga secara maksimal. Penggunaan insektisida rumah tangga formulasi aerosol sesuai dengan serangga sasaran yaitu stadium dewasa Ae. aegypti dan nyamuk lainnya.

Sebagian besar masyarakat (70.90%) di Ubborachathani Thailand menggunakan insektisida dengan cara aplikasi spray (Saowanee et al. 2012). Demikian juga laporan Prasetyowati et al. (2016b) di Jakarta Timur masyarakat dari tiga wilayah puskesmas (Matraman, Duren Sawit dan Jatinegara) menggunakan formulasi aerosol masing-masing sebesar 31.62%, 15.12% dan 15.89% dan Yuliani et al. (2011) di DKI Jakarta sebagian besar masyarakat (50.92%) menggunakan insektisida spray. Namun berbeda di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah di daerah endemis DBD sebagian besar masyarakat (84.56%) menggunakan formulasi keping dan kertas (Sunaryo et al. 2015). Hal ini dikaitkan dengan daya beli masyarakat pengguna, karena harga insektisida keping dan kertas yang lebih murah.

Waktu Penggunaan Insektisida Rumah Tangga

Waktu penggunaan insektisida hampir sebagian besar responden (37.08%) menggunakan insektisida pada malam hari. Sebesar 14.61% menggunakan insektisida pada sore hari dan 10.67% menggunakan insektisida empat kali sehari yaitu pagi, siang, sore dan malam (Gambar 6).

Sebagian besar responden menyatakan menggunakan insektisida pada malam hari dengan alasan bahwa pada malam hari terdapat lebih banyak nyamuk dibandingkan pada siang hari. Disamping itu responden beralasan bahwa cenderung menggunakan insektisida pada malam hari, karena ingin beristirahat secara tenang dan bebas dari gangguan nyamuk. Penggunaan insektisida pada malam hari, kurang tepat jika tujuannya untuk pengendalian populasi Ae. aegypti karena puncak aktifitas menghisap darah nyamuk ini terjadi pada pagi dan sore hari, walaupun beberapa laporan menyebutkan adanya perubahan perilaku Ae. aegypti yaitu aktifitasnya ditemukan pada malam hari (Hadi 2016).

Gambar 6 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh, sesuai dengan waktu penggunaanya, 2015

Siang 0,56

Sore 14,61

Malam 37,08

Pagi, Sore 11,24 Sore,

Malam 12,92 Pagi, Sore,

Malam 11,80 Siang, Sore, Malam

1,12

Pagi, Siang, Sore, Malam

(39)

24

Frekuensi Penggunaan Insektisida Rumah Tangga

Frekuensi penggunaan insektisida oleh responden setiap hari sebesar 71.91% dan 28.09% menggunakan insektisida tidak setiap hari (Gambar 7). Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan responden terhadap insektisida sangat tinggi. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida karena adanya gangguan dari nyamuk berupa gigitan, suara bising sehingga menganggu kenyamanan serta kekhawatiran terhadap penyakit yang dapat ditimbulkan. Penggunaan insektisida dengan frekuensi yang tinggi, menunjukkan bahwa tingkat keterpaparan serangga dan individu anggota keluarga dengan bahan aktif insektisida semakin besar karena semakin sering masyarakat menggunakan insektisida maka semakin besar masyarakat dan serangga terpapar dengan bahan aktif insektisida rumah tangga.

Dampak penggunaan insektisida yang frekuen terhadap nyamuk adalah terjadinya penurunan kerentanan (resisten). Menurut WHO (2013) perkembangan kekebalan dapat terjadi akibat penggunaan insektisida pada penyemprotan fogging pada wilayah dengan KLB DBD secara kontinyu. Sementara dampak penggunaan insektisida terhadap individu anggota keluarga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan antara lain keracunan dan penyakit kronis lainnya. Yuliani et al. (2011) melaporkan di DKI Jakarta akibat penggunaan insektisida dapat menyebabkan keracunan dengan gejala seperti sesak nafas, pusing, gatal, mual dan muntah serta pingsan.

Pada penelitian ini sebagian besar responden menggunakan insektisida dengan frekuensi setiap hari. Hal yang sama dilaporkan oleh Yuliani et al. (2011) bahwa di DKI Jakarta sebagian besar responden (75.51%) menggunakan insektisida setiap hari. Di daerah endemis DBD Kabupaten Grobogan Jawa Tengah sebesar 85.40% responden menggunakan insektisida setiap hari (Sunaryo et al. 2015). Responden dari 3 wilayah puskesmas di Jakarta Timur (Matraman, Duren Sawit dan Jatinegara) menggunakann insektisida dengan frekuensi 7 kali per minggu (setiap hari) masing-masing sebesar 41.12%, 56.38% dan 36.54% (Prasetyowati et al. 2016b).

Gambar 7 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh, sesuai dengan frekuensi penggunaan insektisida, 2015

71,91 28,09

(40)

25

Pemakaian Ruangan Setelah Aplikasi Insektisida Rumah Tangga

Sebagian besar responden (39.33%) memakai ruangan setelah satu jam aplikasi insektisida selesai, sedangkan 30.34% responden memakai ruangan tidak tentu dan 12.36% responden memakai ruangan kurang dari satu jam (Gambar 8).

Gambar 8 Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di Kota Banda Aceh, sesuai dengan pemakaian ruangan setelah aplikasi insektisida, 2015

Penggunaan insektisida dapat menimbulkan dampak secara langsung terhadap kesehatan pengguna dan orang-orang di sekitanya dalam satu lingkungan rumah tangga. Paparan insektisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi (pernafasan) dan dermal (kulit). Paparan inhalasi terjadi pada insektisida

vaporizer, keping, cair dan aerosol. Pajanan dermal terjadi melalui absorbsi oleh

kulit dan mata pada insektisida cair dan aerosol dan lotion. Insektisida tersebut akan berakumulasi di dalam tubuh jika paparan berlangsung secara terus menerus.

Keracunan insektisida piretroid sintetik menurut Schulze dalam Raini (2009) ditandai iritasi kulit (pedih, rasa terbakar, gatal-gatal, rasa geli hingga mati rasa), inkoordinasi, tremor, salivasi, muntah. Beberapa jenis piretroid dapat mengganggu sistem endokrin yang berdampak pada reproduksi, mengganggu sistem imun dan menyebabkan kanker payudara. Yuliani et al. (2011) melaporkan di DKI Jakarta, akibat penggunaan pestisida sebagian besar responden (44.54%) mengalami gejala keracunan sesak nafas dan pusing (25%), mual (muntah) dan gatal (12.50%) serta pingsan (5.36%). Dalam kaitan antara formulasi insektisida dan kejadian keracunan yang dialami responden dilaporkan bahwa 20.25% responden menggunakan insektisida spray dan aerosol dan mengalami keracunan sedangkan keracunan sebesar 6.33%, 0.63% masing-masing dialami oleh pengguna insektisida keping, oles serta elektrik dan fogging.

Lama Penggunaan Insektisida Rumah Tangga

Lama penggunaan insektisida oleh responden lebih dari satu tahun sebesar 87.64% dan 12.36% menggunakan insektisida kurang dari satu tahun seperti ditampilkan pada Gambar 9. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa penggunaan insektisida oleh masyarakat sudah berlangsung sangat lama.

12,36

39,33

17,98 30,34

Gambar

Gambaran Umum Lokasi Penelitian
grafik. Analisis Kaitan Status Kerentanan Dengan Penggunaan Insektisida
Gambar 1  Peta adminitrasi pemerintahan Kota Banda Aceh Provinsi Aceh,
Tabel 1 Indek ovitrap dan jumlah telur Ae. aegypty yang terdapat pada ovitrap di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Sistem informasi manajemen perkantoran yang menggunakan sistem tersebut bisa kita sebut sebagai pengguna sistem diantaranya adalah pengelola Sistem, sumber informasi

Rahman Hakim (2006) Perbandingan Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Metode EVA, ROA, dan Pengaruhnya Terhadap Return Saham Pada Perusahaan yang Tergabung Dalam Indeks

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua jenis vektor tersebut tidak hanya aktif menghisap darah di siang hari tetapi juga di malam hari. UCAPAN

Hasil pemeriksaan pada Tabel 4.2 dari 54 sampel yang diteliti 5 siswa (9,25%) laki- laki dan 11 siswa (20,37%) perempuan dengan jumlah 16 siswa (29,62%) yang tergolong

kritis antar tepi pada papan komposit dengan resin polyester diperkuat serat pandan wangi. Tabel 2 Perhitungan To ways Analysis of Variances Uji Fastening (Jarak kritis fastener

V-Legal merupakan bagian dari ekolabel yang ditujukan untuk menyampaikan pada konsumen akhir bahwasanya produk furnitur tersebut menggunakan bahan baku yang sah

Dilihat dari nilai koefisien regresi sebesar -0,551 dengan tingkat signifikansi 5 persen menunjukkan bahwa variabel bebas mempunyai pengaruh yang negatif terhadap

diketahui bahwa leading sector di Provinsi Jawa Timur adalah sektor industri pengolahan, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial serta sektor listrik dan gas