• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA

PETANI HUTAN RAKYAT

(Studi Kasus Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non

SVLK), Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Provinsi

Jawa Tengah)

TOMI AS’AD GINANJAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat (Studi Kasus Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.

Bogor, Maret 2016

Tomi As’ad Ginanjar

(4)

ABSTRAK

TOMI AS’AD GINANJAR. Analisis Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, khususnya di Desa Kalimendong dan Desa Besani, Kecamatan Leksono. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana struktur dan strategi nafkah rumahtangga petani. Penelitian ini juga menganalisis modal nafkah yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani terhadap resiliensi rumahtangga petani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan didukung dengan metode kualitatif. Metode kuantitatif melakukan pendekatan survei dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan untuk metode kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam. Pendekatan lain yang digunakan adalah melalui obervasi lapang di lokasi penelititan. Hasil penelitian menunjukan bagaimana struktur, strategi nafkah rumahtangga petani, pengaruh modal nafkah terhadap tingkat resiliensi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi rumahtangga petani di kedua desa. Faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi di Desa Kalimendong yaitu modal sosial, modal finansial (tingkat pinjaman dan pendapatan kayu), modal fisik (asset produksi dan asset non produksi). Sedangkan faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi rumahtangga petani di Desa Besani yaitu modal manusia, modal sosial, dan modal fisik (asset produksi). Kata kunci: struktur nafkah, strategi nafkah, modal nafkah, dan resiliensi

ABSTRACT

TOMI AS’AD GINANJAR. Analysis of Resilience of Household Livelihood Farmers Community Forest. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN. This study was carried out in Wonosobo, Central Java, in Kalimendong village and Besani Village, Leksono Subdistrict. The iam of research is to observe how is the structure and household farmers livelihood. It also analyzing the livelihood capital owned and used by farmers households. The method in this research is quantitative method supported by qualitative method. Quantitative research used by survey approach with questioner. While qualitative research use indepth interview. The other approach is observing in the location research. The result is the structure, household farmers livelihood, the influence of livelihood to level of resilience, drivers affecting level of resilience of farmers household both of village. The factors affecting level of resilience in Kalimendong Village is social asset, financial asset (level of loans and income from wood), physic asset (like production and non-production asset). While the factors affecting level of resilience in Besani Village is human asset, social asset, and physic asset like production and non-production.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA

PETANI HUTAN RAKYAT

(Studi Kasus Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah)

TOMI AS’AD GINANJAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunianya dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul Analisis Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Kawasan Hutan Rakyat (Studi Kasus Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Lekosno, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah). Selain itu penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan proposal penelitian ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak yang terlibat hingga penyelesaian makalah proposal ini, sebagai berikut:

1. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. yang telah membimbing, mendukung dan memberikan inspirasi yang luar biasa dalam penyusunan skripsi.

2. Terima kasih kepada pemerintah dan masyarkat Kabupaten Wonosobo, yang mendukung penelitian ini, khususnya kepada Desa Kalimendong dan Desa Besani.

3. Terima kasih kepada almarhum Ayahanda Drs. H T Achmad Boestomi, dan Ibunda Elis Sulaefah S.Pd yang selalu mendukung dan memberikan doanya sehingga penulis dapat sampai pada tahap ini, juga kepada orang yang selalu memberikan bimbingan, doa, dan inspirasi terhadap penulis, yaitu, Ayahanda Nana Soepena Sastramiharja S.Sos yang tiada habisnya memberikan inspirasi yang luar biasa disetiap langkah penyusunan skripsi.

4. Terima kasih kepada saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan yang luar biasa.

5. Terima kasih kepada Tyas Noormalasari H S.KH yang selalu mendengarkan keluh, kesah, memberikan doa, dan dukungan terhadap penulis.

6. Terima kasih kepada seluruh sahabat penulis, khususnya Pendofo 55 (Parid, Tito, Anwar, dan Imam), Andika Rachman S.Kpm dan KPM Futsal Club yang tiada habisnya memberikan semangat dan inspirasi.

7. Rekan-rekan KPM angkatan 48 yang telah memberikan kebersamaan dan kesan mendalam selama menjalani pembelajaran di departemen SKPM. 8. Rekan-rekan BEM FEMA 2012-2013 yang sangat membantu dalam

pengembangan wawasan dan pengalaman.

9. Terima kasih kepada rekan satu bimbingan (Desi Purnamasari S.Kpm, Tri Putri Ginting S.Kpm, Apriani Selvianti Ginting S.Kpm, dan Nafiah Kurniasih S.Kpm) yang memberikan motivasi yang luar biasa dalam penulisan proposal ini.

10.Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan, dan doa kepada penulis selama ini.

Bogor, Maret 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran 13

Hipotesis Penelitian 15

PENDEKATAN LAPANGAN 21

Metode Penelitian 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Teknik Sampling 21

Teknik Pengumpulan Data 22

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 22

PROFIL MASYARAKAT DESA KALIMENDONG (SVLK) DAN

DESA BESANI (Non SVLK) 25

Kondisi Geografis dan Demografis 25

Kondisi Alam dan Fisik 25

Kondisi Sosial dan Ekonomi 26

MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI HUTAN RAKYAT di DESA KALIMENDONG (SVLK) DAN DESA BESANI (Non

SVLK) 29

Pemanfaatan Modal nafkah Rumahtangga Petani di Desa

Kalimendong (SVLK), Kecamatan Leksono 29

Pemanfaatan Modal nafkah Rumahtangga Petani di Desa Besani

(Non SVLK), Kecamatan Leksono 34

Analisis Modal Nafkah di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa

Besani (Non SVLK) 38

Ikhtisar 43

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DESA

KALIMENDONG (SVLK) dan DESA BESANI (NON SVLK) 45

Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Kalimendong

(10)

Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Besani (Non SVLK) 49 Struktur Pengeluaran dan SavingCapacity Rumahtangga Petani di

Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 54 Pendapatan Kayu Rumahtangga Petani di Desa Kalimendong

(SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 56

Posisi Rumahtangga Petani di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa

Besani (Non SVLK) Terhadap Garis Kemiskinan 58

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI di DESA

KALIMENDONG (SVLK) dan DESA BESANI (NON SVLK) 61

Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Kalimendong (SVLK) 61

On-farm 61

Off-Farm 63

Non-farm 63

Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Besani (Non SVLK) 65

On-farm 65

Off-farm 66

Non-farm 67

Bentuk-Bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa

Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 68

RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DESA

KALIMENDONG (SVLK) DAN DESA BESANI (Non SVLK) 73

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Rumahtangga Petani

di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 73 Resiliensi Rumahtangga Petani di Desa Kalimendong (SVLK) 82 Dampak Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap

Rumahtangga Petani di Desa Kalimendong 87

Resiliensi Rumahtangga Petani di Desa Besani (Non SVLK) 88 Peranan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Terhadap Sistem

Nafkah di Kedua Desa. 93

SIMPULAN DAN SARAN 97

Simpulan 97

Saran 98

DAFTAR PUSTAKA 99

LAMPIRAN 102

(11)

DAFTAR TABEL

1. Metode Pengumpulan Data 22

2. Kondisi demografi Desa Kalimendong dan Desa Besani tahun 2015 25 3. Luas penggunaan lahan Desa Kalimendong dan Desa Besani tahun

2014 26

4. Tingkat pendidikan penduduk Desa Kalimendong dan Desa Besani

tahun 2014 27

5. Sebaran pekerjaan penduduk Desa Kalimendong dan Desa Besani 2014 28 6. Jumlah dan persentase perbandingan modal manusia rumahtangga

petani di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 40 7. Jumlah dan persentase perbandingan modal alam rumahtangga petani di

Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 40 8. Jumlah dan persentase perbandingan modal sosial rumahtangga petani

di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 41 9. Jumlah perbandingan rata-rata modal finansial rumahtangga petani di

Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 41 10. Jumlah dan persentase perbandingan modal fisik rumahtangga petani di

Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) 42 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi nafkah

rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK), Kecamatan

Leksono, tahun 2014-2015 74

12. Jumlah dan persentase modal sosial terhadap resiliensi rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK), Kecamatan Leksono, tahun

2014-2015 75

13. Jumlah dan persentase modal finansial (tingkat pinjaman) terhadap resiliensi rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK),

Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 76

14. Jumlah dan persentase modal finansial pendapatan kayu terhadap resiliensi rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK),

Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 76

15. Jumlah dan persentase modal fisik aset produksi terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK),

Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 77

16. Jumlah dan persentase modal fisik non produksi ternak terhadap tingkat resiliensi di Desa Kalimendong (SVLK), Kecamatan Leksono, tahun

2014-2015 78

17. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi nafkah rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono,

tahun 2014-2015 79

18. Jumlah dan persentase modal manusia terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono,

tahun 2014-2015 80

19. Jumlah dan persentase modal sosial terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono,

(12)

20. Jumlah dan persentase modal fisik aset produksi terhadap resiliensi rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono,

tahun 2014-2015 81

21. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah terhadap tingkat pendapatan rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK) dalam

waktu satu tahun 2014-2015 83

22. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah dengan tingkat pengeluaran rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK) dalam

satu tahun 2014-2015 84

23. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah terhadap tingkat saving capacity rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK) dalam

waktu satu tahun 2014-2015 85

24. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah terhadap tingkat modal nafkah rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK) dalam waktu

satu tahun 2014-2015 86

25. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah terhadap tingkat pendapatan rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK) dalam

waktu satu tahun 2014-2015 89

26. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi terhadap tingkat pengeluaran rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK) dalam waktu satu

tahun 2014-2015 90

27. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah terhadap saving capacity rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK) dalam waktu

satu tahun 2014-2015 91

28. Jumlah dan persentase tingkat resiliensi nafkah dengan tingkat modal nafkah rumahtangga petani di Desa Besani (Non SVLK) dalam waktu

satu tahun 2014-2015 91

DAFTAR GAMBAR

1. Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000) 13

2. Kerangka Pemikiran 14

3. Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK), Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 30 4. Pemanfaatan Modal nafkah berdasarkan lapisan rumahtangga petani di

Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 34 5. Modal nafkah rumahtangga petani di Desa Kalimendong (SVLK) dan

Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo,

tahun 2014-2015 39

6. Persentase pendapatan pada setiap lapisan di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) tahun 2014-2015 45 7. Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata pertahun dalam rupiah

menurut lapisan di Dusun Kalimendong (SVLK), Kecamatan Leksono

tahun 2014-2015 47

8. Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun dalam rupiah menurut lapisan di Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono

(13)

9. Perbandingan struktur pendapatan rata-rata dan struktur pengeluaran rata-rata rumahtangga petani pertahun dalam rupiah di Desa Kalimendong, Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 54 10. Perbandingan struktur pendapatan rata-rata dan struktur pengeluaran

rata-rata rumahtangga petani pertahun dalam rupiah di Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan Leksono, tahun 2014-2015 55 11. Pendapatan rumahtangga rata-rata per tahun dari sektor kayu di Desa

Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK), Kecamatan

Leksono, tahun 2014-2015 57

12. Posisi pendapatan per kapita per tahun berdasarkan lapisan rumahtangga di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK) terhadap garis kemiskinan WorldBank pertahun 2014-2015 58 13. Jenis dan jumlah penyebaran strategi nafkah yang digunakan anggota

rumahtangga di Desa Kalimendong (SVLK) tahun 2014-2015 62 14. Jenis dan jumlah penyebaran strategi nafkah yang digunakan anggota

rumahtangga di Desa Besani (Non SVLK) tahun 2014-2015 65 15. Jumlah kehilangan kayu di RPH Leksono, tahun 2005-2015 93

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah 103

2. Jadwal kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi 103

3. Hasil Uji Regresi 104

4. Kuesioner 106

5. Panduan Wawancara Mendalam 115

6. Kerangka Sampling dan Daftar Responden 116

7. Dokumentasi 123

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang penelitian ini berisi hal yang menjadi alasan penulis dalam pemilihan topik penelitian. Masalah penelitian merupakan penjabaran masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Tujuan penelitian berisi jawaban dari setiap penjabaran masalah penelitian, dan kegunaan penelitian menjelaskan kegunaan penelitian ini untuk berbagai pihak yang terkait dengan penelitian. Berikut uraian dari masing-masing bagian.

.

Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, negara dengan kekayaan alam yang sangat melimpah dan beragam. Di sektor kehutanan salah satunya, Indonesia memiliki kawasan hutan sekitar 130 juta hektar. Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati, yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Wijiadi (2007) menyebutkan bahwa jika kita melihat dari fungsi dibangunnya, hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang sangat mempertimbangkan aspek kelestarian hasil dan aspek konservasi, namun tetap memberikan peluang untuk meningkatkan hasil tanaman pangan, peningkatan pendapatan, dan memperbaiki kesejahteraan petani. Suryatmojo (2004) hutan memiliki tujuan untuk dapat memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya, dengan didukung UU No. 41 Tahun 1999 salah satu penyelenggaraan hutan yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.

Pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk melestarikan sumberdaya hutan agar tetap terjamin keseimbangan dan kesinambungan persediaan di masa yang akan datang. Marwoto (2012). Hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan milik, hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas lahan yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik atau hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat baik secara perorangan maupun bersama-sama atau badan hukum Departemen Kehutanan (2012).

Mengacu pada Dharmawan (2001) menyebutkan bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Sumber nafkah merupakan aset sumberdaya yang dimiliki rumahtangga dalam mencapai tujuan nafkah rumahtangga, maka Ellis (2000)

(16)

pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian. Dan ketiga, sumber nafkah (Non-farm) pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian.

Menurut Dharmawan (2007) Strategi nafkah akan dilakukan oleh sesorang sepanjang hidup mereka. Pada saat seseorang atau suatu rumahtangga mengalami krisis atau guncangan posisi mereka akan mengalami kegoyahan, dalam hal ini mereka akan berusaha untuk bertahan dan mengembalikan ke posisi semula. Kemampuan tersebut disebut dengan kelentingan atau resiliensi nafkah. Strategi nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga akan berbeda saat kondisi normal dengan kondisi krisis. Kondisi krisis akan memaksa untuk berbuat lebih agar bisa menghadapi krisis tersebut.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2014) menuturkan bahwa rumahtangga di Desa Selomerto dan Desa Sejati memiliki kemampuan bertahan hidup jika dilanda krisis atau guncangan ekonomi. Tidak ada rumahtangga yang terpuruk atau mengalami kelaparan jika terjadi krisis dan guncangan dalam hidupnya. Hal ini disebabkan oleh rumahtangga tidak hanya memiliki sumber pendapatan dari satu sektor saja, umumnya rumahtangga dikedua desa memiliki strategi pola nafkah ganda. Rumahtangga petani di kedua desa memiliki bentuk-bentuk resiliensi yang cukup beragam dalam mempertahankan kehidupan rumahtangganya, yaitu penggunaan tabungan, pemanfaatan modal sosial, pemanfaatan remitan, pemanfaatan akses pekerjaan, penjualan ternak, penjualan barang berharga, dan penjualan kayu. Peran hutan rakyat dalam menopang resiliensi nafkah rumahtangga adalah pendapatan dari kayu, tanaman pangan, dan empon-empon. Pendapatan kayu dirasa sebagai penopang rumahtangga pada saat memerlukan uang dalam jumlah besar.

Hutan rakyat telah memberikan manfaat secara ekonomis yaitu sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Hal tersebut juga dipaparkan oleh Wardhana (2008) bahwa penerapan hutan rakyat dan pengelolaan kepada masyarakat juga mampu mendorong suatu perubahan tingkat sosial yang cukup besar di sekitar daerah atau areal hutan tersebut. Hutan rakyat menyebabkan masyarakat dapat merasakan manfaatnya, di antaranya tersedianya peluang kerja yang cukup besar sehingga masyarakat dapat terlibat terutama pada saat adanya pemanenan kayu. Namun, dengan keluarnya permenhut no P.38/Menhut-II/ 2009 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengolahan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak. Tujuannya agar para pemegang izin tau pada hutan hak memiliki tata kelola kehutanan dengan baik, melakukan penegakan hokum terhadap administrasi kayu, dan mempromosikan kayu legal. Hal ini didukung oleh pemenhut no P.38/Menhut-II/2009 pada pasal 1 ayat 10 dimana standar verifikasi legalitas kayu sebagai persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator,

verifier, meetode verifikasi, dan norma penilaian.

(17)

Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang memiliki kawasan hutan rakyat seluas 1.228.652 Ha. Kondisi sosial di Kecamatan Leksono memperlihatkan bahwa mayoritas penduduknya mengantungkan kehidupannya dari pengolahan lahan baik sebagai petani maupun buruh petani. Para petani rawan akan mengalami gagal panen karena rawan akan serangan hama tikus dan gangguan cuaca (angin). Lahan-lahan petani banyak ditanami dengan tanaman kayu seperti sengon sekitar 452.474 pohon, mahoni sekitar 30.409, pohon dan kelapa sekitar 25.632 pohon, dan suren sekitar 18.265 pohon.

Terdapat kendala yang dihadapi oleh rumahtangga untuk menghadapi hidup yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor guncangan ekonomi seperti kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat. Setiap rumahtangga memiliki resiliensi untuk tetap bertahan hidup. Resiliensi dipandang sebagai kemampuan rumahtangga untuk dapat bertahan hidup dengan menstabilkan kembali posisi rumahtangganya pada kondisi normal yang disebabkan oleh krisis. Maka berdasarkan paparan tersebut fokus penelitian adalah bagaimana resiliensi nafkah yang digunakan rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat dalam bertahan hidup di Kecamatan Leksono, Desa Kalimendong (SVLK), dan Desa Besani (Non SVLK). Kajian dalam fokus penelitian ini ditunjang dengan mengidentifikasi apa saja modal nafkah yang dimiliki oleh rumahtangga, bagaimana strategi nafkah, dan bagaimana struktur nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat.

Masalah Penelitian

Mayoritas mata pencaharian penduduk Indonesia berusaha di sektor pertanian. Usaha pada sektor pertanian merupakan usaha yang sangat rentan, hal ini terjadi karena tergantung akan kondisi alam. Alam tidak dapat diprediksi dan cenderung tidak menentu. Ketergantungan ini yang menyebabkan kerentanan dalam kehidupan petani. Pada kondisi normal (tidak ada bencana) usaha dalam bidang pertanian adalah usaha yang rentan, karena dapat terdampak pertumbuhan dan penurunan kondisi ekonomi, apalagi jika ditambah dengan adanyya bencana yang dapat memperparah keadaan petani.

Keadaan sumberdaya sangat mempengaruhi pilihan strategi nafkah yang dilakukan oleh seseorang. Ellis (2000) mengutarakan bahwa terdapat lima modal atau yang sering disebut livelihood assets, yakni yang terdiri dari modal manusia, modal alam, modal sosial, modal finansial, dan modal fisik. Rumahtangga akan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dengan semaksimal mungkin untuk mendukung kehidupan anggota rumahtangganya. Berbanding terbalik apabila rumahtangga tidak memiliki atau terbatasnya peluang rumahtangga dalam memanfaatkan modal nafkah, sehingga dapat berpengaruh terhadap kondisi kehidupannya menjadi rentan akan gangguan yang dapat menerpa rumahtangganya.

(18)

ketersediaan teknologi pendukung, natural extraction activities, dan pengurangan jatah makanan. Secara garis besar bahwa resiliensi suatu rumahtangga dapat dipengaruhi oleh modal apa saja bergantung pada modal yang dimiliki oleh rumahtangga tersebut. Modal tersebut selanjutnya akan dimanfaatkan oleh rumahtangga dalam melakukan strategi nafkahnya agar menjadi suatu hal yang dapat berguna secara maksimal sehingga dapat berpengaruh pada kelentingannya. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti:

1. Berapa dan bagaimana struktur nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat?

2. Bagaimana penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat?

3. Bagaimana modal nafkah dapat mempengaruhi tingkat resiliensi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pemasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, antara lain:

1. Untuk menganalisis berapa besar dan bagaimana struktur nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat.

2. Untuk menganalisis strategi nafkah yang diterapkan rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat.

3. Untuk mengidentifikasi modal nafkah yang dimiliki rumahtangga petani terhadap resiliensi di kawasan hutan rakyat.

Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi peneliti dan kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan bagi khasanah keilmuan yang berkaitan dengan resileinsi, livelihood studies, pedesaan, dan pada bidang kehutanan.

2. Bagi pemerintah dan dinas terkait, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk merumuskan suatu kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan, perdaganagan sumberdaya hutan, dan sebagai bahan untuk pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan keadaan kondisi masyarakat.

(19)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Rumahtangga Petani (RTP)

Pengertian Rumahtangga Petani (RTP) dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi (Nakajima 1986). RTP dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi RTP akan memaksimalkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku RTP dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan sampai berorientasi ke pasar.

Nakajima (1986) mengatakan bahwa pertanian sebagai suatu industri memiliki karakteristik yang dapat diklarisifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Karakteristik teknologi dan produksi pertanian.

2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai satu kesatuan unit ekonomi (produksi pertanian sebagian besar di bawah kontrol rumahtangga petani). 3. Karakteristik dari komoditas pertanian.

Nakajima (1986) memberikan defenisi RTP (farm household) sebagai satu kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm), rumahtangga pekerja dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and consumer’s

household) dengan prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas. Produktivitas pertanian sangat ditentukan oleh keberadaan RTP dan lingkungan sekitarnya. Secara spesifik, RTP merupakan satu unit kelembagaan yang setiap saat memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan reproduksi. Pola perilaku RTP mempunyai karakteristik semikomersial, sebagian hasil produksi dijual ke pasar dan sebagian dikonsumsi rumahtangga sendiri, membayar atau membeli sebagian input seperti pupuk, obat-obatan, dan sewa tenaga kerja. Tetapi juga dapat menjual atau mempergunakan input pertanian milik keluarga sendiri.

Pengertian Hutan Rakyat

Yumi (2011) dalam Saraswati (2014) mendefenisikan hutan secara singkat dan sederhana yaitu suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon. Namun lebih lanjut dan mendalam menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya hutan terdiri atas hutan hak dan hutan negara. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani ha katas tanah. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah yang sering disebut sebagai hutan rakyat.

(20)

penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50% (Kemenhut, 2006). Dalam Undang-Undang no 41 Tahun 1999 dijelaskan mengenai hutan rakyat yang didekati dengan pengertian hutan rakyat yaitu hutan yang dibebani hak keatas tanah. Istilah hutan rakyat oleh berbagai pihak diungkapkan dengan istilah hutan kemasyarakatan, kebun rakyat, hutan milik. (Nidyaningsih, 2011)

Hardjanto (2000) menjelaskan bahwa mengenai hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Membatasi hutan rakyat sebagai hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya yang secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Winarto (2006) menuturkan bahwa potensi hutan adalah jumlah pohon jenis niagawi tiap menurut kelas diameter pada suatu lokasi hutan tertentu yang dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pohon pada suatu tegakan hutan. Wijiadi (2007) menyebutkan bahwa jika dilihat dari fungus dibangunnya hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang sangat mempertimbangkan aspek kelestarian hasil dan aspek konservasi namun tetap memberikan peluang untuk meningkatkan hasil tanaman pangan, peningkatan pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan petani. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.04/Menhut-V/2004:III-2, proyek hutan rakyat adalah suatu proyek pembinaan hutan di luar kawasan hutan yang sesuai dengan kondisi dan situasi sosial budaya daerah setempat, dengan sasaran lokasi lahan milik rakyat, tanah adat atau lahan di luar kawasan hutan yang memiliki potensi untuk pengembangan.

Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merumuskan, membina, mengembangkan, menilai serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengelolaan hasil dan pemasaran secara berencana dan berkesinambungan. Pola dalam mengembangkan hutan rakyat Silalahi (2010). Yaitu:

a. Pola swadaya: hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.

b. Pola subsidi: (modal hutan rakyat) ialah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberilan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

(21)

hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat.

Pola penanaman di hutan rakyat menurut Yumi (2011) dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu: menaman tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya hanya di sepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan; menaman tanaman keras di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; dan menanam tanaman keras di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah serta di antara pohon-pohon tersebut ditanam tanaman pangan dan sayur-sayuran. Secara garis besar dilihat dari susunan dan jenisnya, pola tanam hutan rakyat dibagi menjadi:

a. Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada kelompok ini cenderung tidak ada tanaman pangan dan tanaman buah-buahan. b. Hutan rakyat campuran yang memiliki 3-5 jenis tanaman

keras. Pada kelompok ini dapat dijumpai tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Menurut Suharjito dalam Marwoto (2012) pola hutan rakyat campuran ini masih dibagi menjadi menjadi:

a. Hutan rakyat campuran (polyculture) dengan 2-5 jenis tanaman hutan yang dikembangkan dan diusahakan. Cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel.

b. Hutan rakyat campuran dengan sistem agroforestry/wanatani. Pola ini merupakan kombinasi usaha tanaman kehutanan dengan cabang usaha lainnya, seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis.

Manfaat hutan rakyat

Hutan rakyat nyatanya telah banyak memberi keuntungan untuk berbagai pihak. Departemen Kehutanan dalam Handoko (2007) menyebutkan bahwa keuntungan yang diperoleh masyarakat dengan adanya usaha hutan rakyat adalah memperoleh manfaat secara ekonomi, mendapat keterampilan untuk mengelola areal, dan memperoleh kesempatan dalam kegiatan tumpang sari. Sedangkan keuntungan bagi pemerintah sendiri adalah adanya penerimaan negara dari pajak dan lain-lain dari kegiatan pengusahaan hutan rakyat, meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga dapat mengurangi beban pemerintah, dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan. Namun lebih dari itu, Aryadi (2012) menyatakan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan hutan bukan semata-mata merupakan persoalan teknis, tetapi lebih menjadi persoalan sosial yang berpangkal dari pemenuhan kebutuhan dasar dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Interpretasi masyarakat terhadap program hutan rakyat digolongkan ke tiga aspek:

(22)

prospek ke depan, menciptakan lapangan kerja di desa, menyediakan kayu bangunan rumah dan dijual.

b. Sosial budaya: meningkatkan kerjasama, meningkatkan etos kerja masyarakat, mengenal bibit unggul, pengaturan jarak penanaman, dan pembakaran lahan secara izin, merubah peladang berpindah menjadi menetap, masyarakat mandiri, masyarakat menetap di desa, menguatkan sifat kegotong-royongan, meningkatkan derajat keluarga, membuat desa dan masyarakat tentram.

c. Ekologi: mengurangi ancaman dan serangan hama, mencegah kebakaran hutan dan lahan, memanfaatkan lahan kosong, menghijaukan desa, menyediakan air yang cukup meskipun kemarau, memberi ruang kehidupan bagi makhluk Tuhan lainnya.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

Dikutip dari Susilawati (2013), sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam peraturan menteri seperti disebutkan sebelumnya, skema SVLK wajib dilaksanakan oleh semua pemegang izin usaha kehutanan baik pengelolaan dan pemanfaatan hutan maupun pengolahan hasil hutan kayu. Pemegang izin pemanfaatan hasil hutan kayu alam, hutan tanaman, restorasi ekosistem, hutan desa, hutan kemasyarkatan, hutan hak, hutan tanaman rakyat dan industri pengolahan kayu terkena kewajiban untuk melakukan verifikasi atas hasil kayu yang diproduksi dan diolah dan memperoleh sertifikat legalitas sebagai pertanda produk kayu yang telah diproduksi secara legal.

Standar verifikasi SVLK memuat prinsip, kriteria dan indikator verifikasi legalitas kayu, yang berbeda untuk setiap pelaku usaha. Setiap prinsip dijabarkan ke dalam satu atau lebih kriteria yang memastikan bahwa prinsip telah dipenuhidan masing-masing kriteria kemudian dijabarkan ke dalam satu atau lebih indikator yang memastikan suatu kriteria telah dipenuhi. Masing-masing indikator diindikasikan oleh satu atau lebih verifier. Masing-masing verifier dilengkapi dengan metode dan norma penilaian untuk memverifikasi kelengkapan dan/atau keabsahannya. Hasil verifikasi akan menentukan terpenuhinya suatu prinsip legalitas kayu. Standar legalitas untuk kayu-kayu yang dipanen dari usaha pemanfaatan hasil hutan kayu alam kayu hutan alam, hutan tanaman didasarkan pada lima prinsip, yaitu:

a. Kepastian areal dan hak pemanfaatan

b. Memenuhi sistem dan prosedur penebangan yang sah c. Keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu bulat

d. Pemenuhan aspek lingkungan dan sosial yang terkait dengan penebangan.

e. Pemenuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan

(23)

dalam rangka tukar menukar kawasan, maka pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK) diwajibkan memenuhi dua prinsip, yaitu mereka harus memiliki izin yang sah untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan harus melakukan penebangan dan pengangkutan kayu sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan.

Kontribusi kayu dalam pendapatan rumahtangga

Rumahtangga sekitar hutan memiliki sumber-sumber pendapatan yang tidak hanya bersumber dari sektor pertanian seperti hasil jual panen atau hasil jual ternak namun juga pendapatan dari hutan rakyat berupa penjualan kayu. Pengaruh hutan rakyat pada pengembangan tanaman campuran seperti tanaman kayu dan empon-empon dapat meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan penelitian Handoko (2007), kontribusi pendapatan hutan rakyat rumahtangga petani di Kecamatan Jatirogo hanya 6,12% terhadap pendapatan total rumahtangga. Hasil tersebut memberikan bukti bahwa petani tidak menebang dan menjual hasil hutannya secara besar-besaran. Pengambilan hasil dari hutan rakyat dilakukan apabila sumber-sumber lain tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu atau yang disebut dengan “daur butuh”.

Hasil berbeda terlihat dari penelitian Wijiadi (2007) di Kecamatan Sambirejo. Pendapatan hutan menyumbang 20% dari total pendapatan rumahtangga. Walaupun begitu kesamaan dari keduanya adalah bahwa pendapatan dari hutan rakyat khususnya kayu bukan merupakan pendapatan utama bagi rumahtangga. Pengusahaan hutan rakyat hanya dijadikan sebagai pekerjaan tambahan atau pekerjaan di waktu luang. Mereka lebih mengandalkan pekerjaan di sektor pertanian dan non pertanian sebagai penghasil pendapatan. Hal ini dikarenakan kayu mempunyai tegakan yang lama sehingga tidak dapat memberi hasil yang cepat dan rutin. Hutan rakyat digunakan untuk kebutuhan mendesak dan tabungan masa depan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hardjanto

dalam Marwoto (2012) pendapatan dari hutan rakyat adalah pendapatan tambahan dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan petani.

Konsep Resiliensi

Konsep resiliensi sosial diperkenalkan oleh Jensen (2007) dalam Cote (2012) sebagai kemampuan kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan. Menurut Cote (2012) permasalahan dalam mendefenisikan konsep resiliensi dalam sistem sosial lingkungan adalah keterbatasan menganalisis trade-off dan keputusan manajemen aspek tata kelola dalam bingkai sempit model prioritas sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk memahami resiliensi, perlunya pendekatan yang digunakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan

normative untuk menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang melibatkan stakeholder pada berbagai skala, dengan beberapa pendekatan untuk penilaian sumberdaya dan kepemimpinan yang berbeda, dan hubungan jaringan sosial heterogen yang mendasari dan membentuk praktem manajeman yang membentuk resiliensi tersebut.

(24)

Walker et al. (2004) dikutip Hanazaki et al. (2012), resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan reorganisasi sementara ketika mengalami perubahan sehingga masih mempertahankan fungsi, struktur, identitas, dan umpan balik, yang pada dasarnya sama. Ketahanan adalah kapasitas sistem ekologi sosial untuk terus berubah dan beradaptasi, dan namun tetap dalam ambang batas kritis (Gunderson dan Holling 2002) dikutip (Hanazaki et al. 2012). Oleh karena itu, resiliensi menjadi ciri sistem kemampuan untuk menghadapi perubahan. Adaptasi, sebagai bagian dari ketahanan, adalah kemampuan untuk menyesuaikan tanggapan terhadap perubahan eksternal (misalnya, globalisasi, kebijakan pemerintah) dan proses internal (misalnya, peningkatan populasi, migrasi keluar), dan dengan demikian memungkinkan untuk pengembangan sepanjang lintasan saat ini (stabilitas domain). Transformability, sebaliknya, adalah kemampuan untuk menyeberangi batas ke lintasan baru (Gunderson dan Holling 2002 dalam Hanazaki et al. 2012).

Menurut Adger (2000), resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan (vurnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan merespon dalam situasi krisis,konflik,darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Resiliensi termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan mengimplementasikan back-up system, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006 dalam Praptiwi 2009).

Palmer (1997) dalam Praptiwi (2009) mendeskrispsikan empat tipe resiliensi, yaitu:

a. Anomic survival; orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan.

b. Regenerative resilience; dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan kompetnsi dari mekanisme coping.

c. Adaptive resilience; periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan dan strategi coping.

d. Flourishing resilience; penerapan yang luas dari perilaku dan strategi

coping.

Michalski & Watson dalam Praptiwi (2009) memaparkan berbagai karakteristik rumahtangga yang memiliki resiliensi, yakni:

a. Kompeten dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan dalam mengambil keputusan.

b. Adanya pembagian tugas dalam rumahtangga.

c. Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi untuk mencapai tujuan. d. Kemampuan komunikasi yang baik.

e. Mempunyai hubungan yang konsisten dengan sesama.

Struktur Nafkah

(25)

oleh seluruh anggota rumahtangga. Pendapatan mengacu pada keuntungan (reward, advantages) yang dapat diperoleh rumahtangga dari aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga. Ellis (2000) mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang tunai (in cash) atau bentuk kontribusi lain (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan memenuhi nafkah. Pendapatan tersebut berasal dari:

a. Berasal dari on-farm atau sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dll) yang terlibat secara langsung dalam produksi.

b. Berasal dari off-farm masih dalam sektor pertanian namun lebih mengacu berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil, dan sebagainya.

c. Berasal dari non-farm yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian.

Dalam melaksanakan strategi nafkah, faktor yang mempengaruhi adalah ketersediaan sumber daya dan kemampuan dalam mengakses sumber daya tersebut. Dharmawan (2001) dalam Turasih (2011), sumber daya nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak bisa memenuhi kebutuhannya jika hanya bergantung pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah saja. Terdapat lima bentuk modal atau biasa disebut

livelihood asset dalam Ellis (2000), yaitu:

a. Modal sumber daya alam (Natural capital): modal yang diperoleh dari alam atau lingkungan baik sumber daya yang dapat diperbaharui ataupun tidak dapat diperbaharui. Contoh: air, tanah, kayu atau sumber daya mineral seperti minyak, emas, dan lain sebagainya.

b. Modal fisik (Physical capital): modal yang dapat diciptakan oleh manusia yang berbentuk infrastruktur. Contoh: sistem irigasi, jalan, dan lain sebagainya. c. Modal manusia (Human capital): modal yang dimiliki atau ada dalam diri

manusia, yaitu tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan.

d. Modal finansial (Financial capital and subtitutes): Modal yang berupa uang yang dapat digunakan untuk modal pencarian nafkah. Contoh: berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman.

e. Modal sosial (Social capital): modal ini berupa kepercayaan (trust), jaringan kerja (networking), oraganisasi dan segala bentuk hubungan untuk bekerja sama serta memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi.

Strategi Nafkah Rumahtangga

(26)

nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumahtangga yaitu menyusun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis tetangga Iqbal (2004) dalam Prasetya (2013).

Chambers dan Conway (1992) dalam Ellis (2000) membagi strategi nafkah rumahtangga kedalam tiga tahap yaitu despertion, vulnerability, dan independence.

Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Tahap pertama yaitu Despertion, tujuannya adalah bertahan hidup

(survival), cara yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan

common proverty, migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua yaitu Vulnerability, jaminan keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan berhutang. Tahap ketiga yaitu

Independence, kehormatan diri, misalnya berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patron-klien, melunasi hutan, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki.

Scoones (1998) mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga petani memanfaaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk mempertahankan hidup. Strategi nafkah (livelihood strategy)

diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori, yaitu (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan; dan (3) rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan. White (1990) dalam

Prasetya (2013) mengatakan bahwa dibedakan rumahtangga petani kedalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Kedua,

(27)

yang rendah kedalam kegiatan luar pertanian. Rumahtangga golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).

Sistem kehidupan (livelihood system) keluarga petani pada setiap lapisan atau strata sosial ekonomi akan berbeda. Pada keluarga petani lapisan bawah petani gurem (miskin) penghasilan dari usahatani dan buruh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka akan mengalokasikan tenaga kerja ke sektor non-pertanian sebagai strategi bertahan hidup. Dalam Ellis (2000) pada konsep segilima pentagon, ada lima tipe modal yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh keluarga untuk pencapaian sistem kehidupannya yaitu modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal alam, dan modal sosial. Konsep ini menjadi aset utama bagi orang miskin dalam kehidupannya. Kelima modal ini perlu untuk dikelola secara berkelanjutan, agar faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan, interaksi antara faktor, serta keberlanjutan untuk menyambung hidup. Rumahtangga petani tidak bertanah (miskin) umunnya menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategi).

Gambar 1 Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000)

Gambar 1. Untuk mempermudah memahami seberapa besar akses keluarga dari setiap tipologi aktivitas nafkah terhadap setiap jenis modal, kami berusaha memvisualisasi grafik pentagon dalam dua dimensi, yaitu (1) Tanda negatif (arah panah mengarah ke dalam) di dalam komponen setiap modal yang menjadi sumber menandakan masalah yang perlu penanganan, (2) Tanda positif (arah panah mengarah ke luar) menunjukan modal yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Perbandingan antara tanda plus dan minus akan menentukan arah panah yang berada dalam pentagon. Bila tanda minus lebih banyak dari pada tanda plus, maka panah dalam pentagon akan mengarah ke dalam, begitupun sebaliknya.

Kerangka Pemikiran

Rumahtangga petani bisa dipandang sebagai suatu unit ekonomi, yang memiliki tujuan yang harus dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, sebagai unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya, dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.

Rumahtangga petani disekitar hutan memiliki sumberdaya yaitu berupa hutan itu sendiri, dan juga memiliki sumberdaya lain yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas nafkah sehingga memiliki resiliensi. Sumberdaya tersebut akan mempengaruhi bagaimana rumahtangga melakukan strategi nafkah. Rumahtangga petani di kawasan hutan pada umumnya menunjukan sedikit minat untuk memanen kayu dan hanya melakukannya jika menghadapi keadaan yang

(-) (+) Modal Manusia

Modal Alamiah

Modal Finansial Modal Fisik

(28)

sifatnya situasional dan aset jangka panjang, contohnya ada anggota keluarga yang sakit, keluarga yang melanjutkan pendidikan, dll.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Usaha dalam pertanian merupakan usaha yang rentan. Hal ini bisa saja di akibatkan keterbatasan petani terhadap berbagai hal seperti akses terhadap informasi, teknologi dan sebagainya. Kerentanan pada petani dengan adanya ketergantungan terhadap alam yang sangat tinggi dalam menggantungkan kehidupannya, sementara alam memiliki sifat yang tidak dapat diprediksi dan tidak menentu. Usaha yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan, petani dapat menerapkan berbagai strategi untuk dapat tetap bertahan hidup. Beragam strategi dapat diterapkan oleh petani sesuai dengan kondisi alam dan karakteristiknya. Salah satunya dengan mengelola dan memanfaatkan livelihood asset berupa modal fisik, alam, finansial, sosial, dan manusia. Dengan tujuan rumahtangga petani dapat bertahan hidup.

Keterangan : : Bepengaruh

: Dianalisis secara deskriptif : Berhubungan

Rumahtangga Petani

Livelihood Asset (X)

Modal Manusia (X1):

1. Tingkat alokasi pekerja (X1.1)

2. Tingkat pendidikan (X1.2)

3. Tingkat ketermpilan (X1.3)

Modal Alam (X2):

1. Kepemilikan kayu (X2.1)

2. Luas lahan/kebun (X2.2)

3. Kelimpahan (X2.3)

Modal Sosial (X3):

1. Keikutsertaan di lembaga formal (X3.1)

2. Keikutsertaan dilembaga non formal (X3.2)

Modal Finansial (X4):

1. Tingkat pendapatan on-farm (X4.1)

2. Tingkat pendapatan off farm (X4.2)

3. Tingkat pendapatan Non-farm (X4.3)

4. Tingkat pendapatan kayu (X4.4)

5. Tingkat tabungan (X4.5)

6. Jumlah pinjaman (X4.6)

7. Remitansi (X4.7) Modal Fisik (X5):

1. Tingkat asset produksi (X5.1)

2. Tingkat asset berharga (X5.2)

TINGKAT RESILIENSI: (Y)

1. Waktu recovery saat krisis (Y1.1)

2. Banyaknya pilihan sumber nafkah(Y1.2)

Struktur Nafkah Rumahtangga: 1. Pendapatan On-farm 2. Pendapatan Off Farm 3. Pendapatan Non-farm

Strategi Nafkah (Scoones, 1998): 1. Rekayasa sumber nafkah pertanian 2. Pola nafkah ganda

(29)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini yaitu:

Modal Nafkah (X):

X1 = (x1.1, x1.2, x1.3)

X2 = (x2.1, x2.2, x2.3)

X3 = (x3.1, x3.2)

X4 = (x4.1, x4.2, x4.3, x4.4,x4.5, x4.6, x4.7)

X5 = (x5.1, x5.2) Sehingga:

Keterangan:

Y: Variabel terpengaruh X: Variabel pengaruh

Diduga terdapat pengaruh antara tingkat pemanfaatan livelihood asset yang terdiri dari modal manusia, alam, fisik, finansial dan sosial yang dilakukan rumahtangga terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani dengan rincian sebagai berikut:

1. Diduga terdapat pengaruh antara pemanfaatan modal manusia yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat dengan tingkat resiliensi pada saat kondisi krisis. Yn = f (X1.1,X1.2,X1.3).

2. Diduga terdapat pengaruh antara pemanfaatan modal alam yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kawasan hutan rakyatdengan tingkat resiliensi pada saat kondisi krisis. Yn = f (X2.1,X2.2,X2.3).

3. Diduga terdapat pengaruh antara pemanfaatan modal sosial yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kawasan hutan rakyatdengan tingkat resiliensi pada saat kondisi krisis. Yn= f (X3.1,X3.2).

4. Diduga terdapat pengaruh antara pemanfaatan modal finansial yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat dengan tingkat resiliensi pada saat kondisi krisis. Yn = f (X4.1,X4.2,X4.3,X4.4,X4.5,X4.6, X4.7).

5. Diduga terdapat pengaruh antara pemanfaatan modal sosial yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kawasan hutan rakyatdengan tingkat resiliensi pada saat kondisi krisis. Yn= f (X5.1,X5.2,X5.3).

6. Diduga pendapatan kayu, mempengaruhi secara signifikan tingkat resiliensi nafkah petani. Yn = f (X4.7).

Y= y1 + y2

Y = f (X1, X2 ,X3, X4, X5)

(30)

Defenisi Operasional

No Nama Variabel Definisi Operasional

(1) (2) (3) (4)

Variabel Terpengaruh

1 Tingkat Resiliensi (Y)

Kecepatan Pulih dari

Shock(y1)

Lamanya waktu yang dibutuhkan rumahtangga petani untuk pulih ke keadaan stabil setelah menghadapi perubahan dalam lingkungannya.

1. Resiliensi rendah, jika > 5

2. Resiliensi sedang,

jika 4 ≤ x ≤5

3. Resiliensi tinggi, jika < 4

Banyaknya pilihan sumber nafkah (y2)

Jenis dan jumlah berbagai alternatif cara yang dilakukan rumahtangga petani dalam menyesuaikan diri ketika menghadapi perubahan dalam lingkungannya.

Variabel Berpengaruh

1 Modal Manusia (X1)

Tingkat alokasi pekerja (x1.1)

Jumlah anggota keluarga yang memiliki pekerjaan.

1. Rendah, apabila hanya kepala keluarga yang bekerja.

2. Sedang, apabila kepala keluarga dan 1

anggota keluarga lain yang bekerja.

3. Tinggi, apabila seluruh anggota keluarga dengan usia produktif ikut bekerja. Tingkat

Pendidikan (x1.2)

Jenjang pendidikan formal yang terakhir dijalani.

1. Rendah, tidak bersekolah SD atau SD tetapi tidak tamat. 2. Sedang, tamat SD dan

SMP.

3. Tinggi, tamat SMA dan D3/S1.

Tingkat Keterampilan (x1.3)

Keahlian khusus selain bertani yang dimiliki oleh seseorang baik dari lahir atau melalui pelatihan.

1. Rendah, tidak memiliki keterampilan. 2. Tinggi, memiliki

keterampilan dan dimanfaatkan mencari nafkah.

2 Modal Alam (X2)

Kepemilikan Kayu (x2.1)

Banyaknya stok kayu yang dimiliki oleh rumahtangga baik yang masih dihutan atau disimpan.

1. Rendah, jika memliki < 20 batang pohon kayu.

(31)

>50 batang pohon kayu.

Luas lahan / Kebun (x2.2)

Luas tanah produktif yang dimiliki oleh rumahtangga.

1. Rendah, rumahtangga menguasai lahan dengan luas < 0,5 hektar.

2. Sedang, rumahtangga menguasai lahan dengan luas 0, 5 hingga 1 hektar. 3. Tinggi, rumahtangga

menguasai lahan dengan luas > 1 hektar.

Kelimpahan (x2.3)

Banyaknya sumberdaya alam yang dapat diakses dan dimanfaatkan rumahtangga untuk menghasilkan pendapatan.

1. Rendah, jika hanya memiliki 1

sumberdaya yang diakses dan dimanfaatkan. 2. Sedang, jika hanya

memiliki 2 sumberdaya yang diakses dan dimanfaatkan. 3. Tinggi, jika hanya

memiliki > 2 sumberdaya yang diakses dan dimanfaatkan. 3 Modal

Sosial (X3)

Keikutsertaan di lembaga formal (x3.1)

Kemampuan, kesempatan petani dalam berturut serta dan memperoleh manfaat dalam sebuah organisasi formal, seperti organisasi berupa koperasi, kelompok tani, dll.

1. Rendah, jika rumahtangga petani hanya mengikuti 1 organisasi formal. 2. Sedang, jika

rumahtangga

mengikuti 2 organisasi formal.

3. Tinggi, jika rumahtangga mengikuti > 2 organisasi formal. Keikutsertaan

di lembaga non formal (x3.2)

Kemampuan, kesempatan petani dalam berturut serta dan memperoleh manfaat dalam sebuah organisasi non formal, seperti kelompok pengajian, dll.

1. Rendah, jika rumahtangga petani hanya mengikuti 1 organisasi formal. 2. Sedang, jika

rumahtangga

(32)

formal. 3. Tinggi, jika

rumahtangga mengikuti > 2 organisasi formal. 4 Modal

finansial (X4)

Pendapatan

On-Farm

Jumlah uang yang diterima rumahtangga petani dari sektor pertanian dalam arti luas, dalam penelitian ini mencakup pertanian.

1. Rendah, jika pendapatan

rumahtangga < Rp. 5.715.683

2. Sedang, jika pendapatan rumahtangga Rp. 5.715.683 < x< Rp. 60.415.057

3. Tinggi, jika pendapatan

rumahtangga > Rp. 60.415.057

Pendapatan

Off-farm

Jumlah uang yang diterima rumahtangga petani dari upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (share cropping system), kontrak upah tenaga kerja non upah dll.

1. Rendah, jika pendapatan

rumahtangga < Rp. 3.819.100

2. Sedang, jika pendapatan rumahtangga Rp. 3.819.100 < x< Rp. 19.860.899

3. Tinggi, jika pendapatan

rumahtangga > Rp. 19.860.899

Pendapatan

Non-farm

Jumlah uang yang diterima rumahtangga petani dari luar kegiatan pertanian, misalnya: menenun, berdagang, guide, supir,

transfer payment)

1. Rendah, jika pendapatan

rumahtangga < Rp. 2.057.511

2. Sedang, jika pendapatan rumahtangga Rp. 2.057.511< x< Rp. 51.978.788

3. Tinggi, jika pendapatan

rumahtangga > Rp. 51.978.788

Tingkat Tabungan

Jumlah uang yang dikumpulkan, untuk

pemulihan dan

(33)

pembangunan kembali mata pencaharian

2. Sedang, jika dapat menyisihkan pendapatan namun tidak rutin.

3. Tinggi, jika dapat menyisihkan pendapatan rutin. Skor rendah jika 3-4, sedang 5-6, dan tinggi 7-8. Pinjaman

Desa Besani (x4.5)

Jumlah uang yang dipinjam oleh anggota rumahtangga pada lembaga maupun kerabat, untuk menjaga kestabilan kehiduopan

1. Rendah, jika

memanfaatkan 1 akses pinjaman.

2. Sedang, jika

memanfaatkan 2 akses pinjaman.

3. Tinggi, jika memanfaatkan > 2 akses pinjaman. Skor rendah jika 5-6, sedang 7-8, dan tinggi 9-10.

Remitansi Desa Besani (x4.6)

Jumlah uang yang diterima oleh rumahtangga dari anggota rumahtangga yang bekerja di dalam atau di luar kota.

1. Rendah, jika tidak menerima remitan. 2. Sedang, jika menerima

remitan namun tidak rutin.

3. Tinggi, jika menerima remitan secara rutin. 5 Modal Fisik

(X5)

Asset Produksi (x5.1)

Banyaknya asset atau harta yang dimiliki petani yang menunjang struktur nafkah. Asset ini seperti rumah, sawah, ladang, kolam, dan kebun. Kepemilikan asset lebih dari satu, dan kondisi asset.

1. Rendah, jika kepemilikan asset produksi memiliki skor 6-7

2. Sedang, jika kepemilikan asset produksi memiliki skor 8-10

3. Tinggi, jika kepemilikan asset produksi memiliki skor 11-12

Asset Non Produksi (x5.2)

Banyaknya asset atau harta yang dimiliki petani. Asset ini seperti ternak, barang elektronik, alat komunikasi, dan alat transportasi.

Asset non produksi terdiri dari kepemilikan hewan ternak dan kepemilikan kendaraan bermotor. a) Kepemilikan hewan

(34)

1. Rendah : jika tidak memiliki hewan ternak 2. Sedang : jika

memiliki 1 sapi atau maksimal 5 kambing

3. Tinggi : jika memiliki lebih dari 1 sapi atau 5 kambing

b) Kepemilikan

kendaraan bermotor adalah banyaknya kendaraan bermotor (mobil, motor, dan truk) yang dimiliki rumahtangga.

1. Rendah, jika tidak memiliki

kendaraan bermotor.

2. Sedang, jika memiliki 1 motor. 3. Tinggi, jika

(35)

PENDEKATAN LAPANGAN

Bab ini berisi metode penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik sampling, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan dan analisis data. Metode penelitian berisi metode penelitian yang digunakan. Lokasi dan waktu penelitian menjabarkan dimana lokasi dan lama waktu penelitian yang dilaksanakan. Teknik sampling berisi metode yang digunakan dalam penarikan responden yang diteliti. Teknik pengumpulan data berisi jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian. Serta teknik pengolahan dan analisis data yang berisi tentang tata cara mengolah data dan alat bantu yang dibutuhkan dalam mengolah data. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini mengenai analisis strategi dan resiliensi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat Wonosobo, Jawa Tengah dengan menggunakan metode kuantitatif, pendekatan penelitian survei, dan didukung oleh metode kualitatif. Penelitian kuantitatif berorientasi pada survei yang berasal dari data sampel dilapangan. Sampel diambil untuk mewakili keseluruhan populasi. Pendekatan lapang pun dilakukan untuk mendapatkan informasi dari responden dengan kuesioner dan wawancara mendalam. Kerangka sampling penelitian ini adalah desa yang berada pada wilayah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dan desa yang berada pada wilayah Non Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (Non SVLK) dengan unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang menjadikan sektor pertanian sebagai sumber nafkah utamanya dalam strategi nafkah dalam bertahan hidup.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua desa yang berada di Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah tepatnya di Desa Kalimendong dan Desa Besani. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan kondisi rumahtangga petani di kawasan hutan rakyat yang masih menggantungkan penghidupan dari hutan rakyat tersebut dan masih cukup berkembang di daerah tersebut. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Desember 2014, sedangkan proses penelitian di lapangan dilakukan selama dua bulan, yaitu pada akhir bulan Februari hingga Maret 2015. (Lampiran 1. Peta Potensi Pertanian Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo).

Teknik Sampling

(36)

yang akan dijadikan responden di setiap desa pada kawasan SVLK dan Non SVLK berjumlah tiga puluh rumahtangga, sehingga total responden pada penelitian ini adalah 60 rumahtangga. Pengambilan sample dilakukan secara acak berdasarkan data yang diberikan oleh pemerintah desa, mengingat karena penelitian ini dilakukan dalam lingkup desa yang tidak memiliki data tertulis terkait daftar rumahtangga petani. Jumlah responden tersebut dirasa cukup untuk memenuhi standar minimum untuk pengolahan data statistik.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara pada responden dan informan yang berada di lokasi penelitian. Lebih lanjut dalam pengambilan dan pengumpulan data dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Metode Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan Kuesioner  Karakteristik responden

 Strategi nafkah rumahtangga petani

 Profil aktivitas

 Taraf jidup rumahtangga petani

 Tingkat Pemanfaatan Livelihood Assets  Tingkat resiliensi rumahtangga petani Wawancara

Mendalam

 Bagaimana petani menggunakan livelihood asset

dalam kehidupannya.

 Bentuk resiliensi petani

Observasi Lapang  Aktivitas yang dilakukan petani

Analisis Dokumen  Gambaran umum desa melalui data monografi

Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti kepala dusun, stakeholder lain yang terkait dan hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil desa, nama dan jumlah rumahtangga yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(37)

versi 22 untuk mempermudah pengolahan data. Uji statistik yang digunakan yakni uji regresi untuk mengukur pengaruh antara lebih dari satu variabel bebas terhadap variabel terikat. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis untuk disajikan dalam bentuk tabulasi silang, teks naratif, matriks, bagan dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

Rumus Uji Regresi Linear Berganda:

Keterangan :

Y = Variabel terikat a = Konstanta

b1 = Koefisien regresi X1 = Variabel bebas

(38)
(39)

PROFIL MASYARAKAT DESA KALIMENDONG (SVLK)

DAN DESA BESANI (Non SVLK)

Pada bab ini, memaparkan seputar Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo. Selain itu, dipaparkan juga mengenai sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), serta bagaimana kondisi sosial ekonomi dan fisik masyarakat di Desa Kalimendong (SVLK) dan Desa Besani (Non SVLK).

Kondisi Geografis dan Demografis

Kecamatan Leksono merupakan kecamatan yang berada di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kecamatan Leksono berada diketinggian 512 MDPL, dengan luas wilayah 4.407 Ha, tanah sawah 878 Ha, dan tanah bukan sawah 3.529 Ha. Iklim di Kecamatan Leksono adalah iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau. Kondisi di Kecamatan Leksono cocok untuk usaha di bidang pertanian yang di dominasi oleh tanaman pangan, buah-buahan, di bidang peternakan, di bidang perkebunan yang di dominasi kelapa, salak, dan pohon tegakan sengon.

Luas wilayah Kecamatan Leksono yang mencapai 4.407 Ha dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Watumalang, wilayah sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wonosobo dan Kecamatan Selomerto, disebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kaliwiro, dan disebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kecamatan Sukoharjo. Kecamatan Leksono terdiri atas 14 Desa, dan yang menjadi fokus penelitian adalah Desa Kalimendong dan Desa Besani.

Tabel 2 Kondisi demografi Desa Kalimendong dan Desa Besani tahun 2015

No Indikator Kalimendong Besani

1. Jumlah dus

Gambar

Gambar 1 Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000)
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Tabel 5 Sebaran pekerjaan penduduk Desa Kalimendong dan Desa Besani 2014
Gambar 3 Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan rumahtangga petani di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 9 Persentase sumbangan sumber pendapatan terhadap struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap lapisan pendapatan Tahun 2012 Berdasarkan Tabel 19 dan Gambar 9 di

Modal sosial petani lapisan atas tidak jauh berbeda dengan petani lapisan bawah dan menengah karena jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani yaitu jaringan pada kelompok

kepemilikan tanah oleh rumahtangga petani. Semakin rendah lahan tanah yang dimiliki oleh rumahtangga petani maka tingkat kepekaan atau sensitinitasnya semakin

Skripsi dengan judul “ Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara,

Modal sosial petani lapisan atas tidak jauh berbeda dengan petani lapisan bawah dan menengah karena jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani yaitu jaringan pada

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa tingkat resiliensi di kedua dusun berbeda, Dusun Klaces memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten