• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hortikultura Di Kawasan Bencana Letusan Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hortikultura Di Kawasan Bencana Letusan Gunung Sinabung"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

APRIYANI SELVIANTI I34110080

RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI HORTIKULTURA DI KAWASAN

BENCANA LETUSAN GUNUNG SINABUNG

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hortikultura Di Kawasan Bencana Letusan Gunung Sinabung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 8 Juni 2015

(3)

ABSTRAK

APRIYANI SELVIANTI. Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hortikultura Di Kawasan Bencana Letusan Gunung Sinabung. Di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN

Penelitian ini dilakukan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya, Kabupaten Karo yang terkena dampak akibat letusan Gunung Sinabung di tahun 2014-2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan livelihood asset, strategi dan struktur nafkah rumahtangga. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh pemanfaatan livelihood asset terhadap resiliensi rumahtangga petani hortikultura. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan penggunaan instrumen berupa kuesioner dan pendekatan kualititatif melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa pemanfaatan livelihood asset dapat mempengaruhi resiliensi rumahtangga. Berdasarkan tiga aspek pembentuk strategi nafkah, kedua desa masih didominasi pekerjaan di bidang pertanian dengan komoditas hortikultura.

Kata kunci : Livelihood asset, resiliensi, rumahtangga petani hortikultura, strategi nafkah.

ABSTRACT

APRIYANI SELVIANTI. Livelihood Resilience of Horticulture Farm Households in Eruption Areas of Mount Sinabung. Supervised of ARYA HADI DHARMAWAN

This study is conducted in two places i.e., Perteguhen village and Jeraya village. These villages belong to Karo regency that are affected by the eruption of Mount Sinabung in 2014-2015. The purpose of this study is to examine the use of livelihood asset, to investigate the livelihood strategies, and the income structure of the horticulture farm households. The aim of this study is also to see the effect of using households livelihood asset to build resilience of livelihood. This study used quantitative method via using some questionnaires as a tool of data collection and qualitative method via indepth interviews. The results of this study indicates that livelihood asset affect significantly the livelihood resilience of the farm households. Livelihood strategies of the farm households are dominated by agricultural economy with horticulture commodities as major source of income.

(4)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat APRIYANI SELVIANTI

(5)
(6)

melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hortikultura di Kawasan Bencana Letusan Gunung Sinabung”. Tulisan ini memaparkan bagaimana strategi yang dibangun oleh rumahtangga petani di kawan bencana letusan Gunung Sinabung untuk tetap bertahan hidup.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baiok karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada:

1. Bapak Model Ginting dan Mamak Rehulina br Surbakti yang telah membesarkan, memberikan yang terbaik kepada penulis serta selalu memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Adik-adikku Iska Kristiani, Rima Anggreni, Renata Mery Christi dan Haikal Primsa yang menjadi motivasi dan semangat untuk dapat sukses.

3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr sebagai pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

4. Masyarakat Desa Perteguhen dan Desa Jeraya yang telah menerima dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk keramahan dan keterbukaannya selama penulis melakukan penelitian.

5. Sahabat-sahabatku Hilmi, Nata, Lydia, Balqis, Rika yang selalu memberikan dukungan dan semangat, serta teman-teman satu dosen pembimbing Zahra, Radha,Tomi, Putri, Desi dan Nafiah yang bersama-sama berjuang dan saling mendukung untuk mendapatkan gelar S.kpm.

6. Pengurus permata serta Perwira 52 Mely, kak Vitis, Ina, Fero, Evi, Febri, kak Vera dan sahabatku Ima Ulina, Bernike M Ayu, Arinda dan Iaule lainya yang menjadi tempat curahan hati penulis.

7. Jonni Presli Sitoruspane, orang yang selalu memberikan semangat, pelajaran hidup dan menjadi tempat berdiskusi mengenai semua hal

8. Woman’s Internastional Club yang membantu meringankan biaya pendidikan penulis selama kuliah dan memberikan pengalaman-pengalaman untuk bekal

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Bogor, Juni 2015

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran 10

Hipotesis Penelitian 11

Definisi Operasional 12

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Teknik Pengumpulan Data 17

PROFIL MASYARAKAT 19

Kondisi Geografis dan Demografis 19

Kondisi Alam dan Fisik 20

Kondisi Sosial dan Ekonomi 21

Sejarah Letusan Gunung Sinabung 23

PEMANFAATAN LIVELIHOOD ASSET 27

Livelihood Asset Wilayah Tidak Gagal Panen 27

Livelihood Asset Wilayah Gagal Panen 31

Pemanfaatan Livelihood Asset di Dua Komunitas 34

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI HORTIKULTURA 47

On-Farm 47

Off-Farm 49

Non-Farm 50

Bentuk-bentuk Strategi Nafkah 51

TINGKAT PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI HORTIKULTURA

55

Tingkat Pendapatan Hortikultura 55

Tingkat Pendapatan Non-Hortikultura 56

Total Tingkat Pendapatan Pertanian 57

(8)

RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI HORTIKULTURA

67

Cara Penyesuaian Rumahtangga Pada Saat Terjadi Krisis 67 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Nafkah 71

Pengaruh Pemanfaatan Modal Terhadap Resiliensi 73

SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 81

(9)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin dan garis kemiskinan tahun 2011-2013 menurut BPS 2013

1

2 Teknik pengumpulan data 16

3 Kondisi geografis dan demografis Desa Perteguhen dan Desa Jeraya 19 4 Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah desa/kelurahan,

tahun 2013 (Ha)

20

5 Banyaknya tenaga kerja yang bekerja menurut lapangan pekerjaan dan desa/kelurahan tahun 2013

22

6 Kronologis letusan Gunung Sinabung menurut periode waktu 23 7 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di Desa

Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2015

34

8 Jumlah dan presentase responden menurut pola penguasaan lahan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2015

35

9 Jumlah dan persentase responden menurut alokasi tenaga kerja di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2015

37

10 Jumlah dan persentase responden menurut keterampilan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2015

38

11 Jumlah dan persentase responden menurut penggunaan tenaga kerja di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2015

39

12 Jumlah dan persentase responden menurut kepemilikan asset rumahtangga petani di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

40

13 Jumlah dan persentase reponden menurut kepemilikan asset pertanian petani di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

40

14 Jumlah dan persentase responden menurut organisasi/assosiasi di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

41

15 Jumlah dan persentase responden menurut keberfungsian organisasi/assosiasi di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

42

16 Jumlah dan persentase responden menurut kepercayaan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

43

17 Jumlah dan persentase responden menurut modal finansial di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

44

18 Jenis pekerjaan sektor non-farm di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

50

19 Total rata-rata pendapatan pertanian berdasarkan lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

57

20 Total rata-rata pendapatan rumahtangga petani hortikultura berdasarkan lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

(10)

22 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi nafkah rumahtangga petani hortikultura di wilayah gagal panen (Desa Jeraya) tahun 2014 -2015

72

23 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal nafkah dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak gagal panen tahun (Desa Perteguhen) tahun 2014-2015

73

24 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal nafkah dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah gagal panen tahun (Jeraya) tahun 2014-2015

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Konsep Segilima Pentagon (Modal) Ellis (2000) 9

2 Kerangka Analisis Penelitian 11

3 Pemanfaatan modal nafkah oleh lapisan rumahtangga petani di wilayah tidak gagal panen, Desa Perteguhen tahun 2014 - 2015

27

4 Pemanfaatan modal nafkah oleh lapisan rumahtangga petani di wilayah gagal panen, Desa Jeraya tahun 2014 – 2015

31

5 Jumlah responden menurut tingkat pendidikan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2015

36

6 Perbandingan skor tingkat livelihood asset oleh rumahtangga di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

45

7 Pendapatan Rata-Rata rumahtangga petani dari sektor pertanian hortikultura menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya Tahun 2014-2015

55

8 Pendapatan Rata-Rata rumahtangga petani dari sektor pertanian non-hortikultura menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya Tahun 2014-2015

56

9 Persentase kontribusi sektor pertanian hortikultura dan pertanian non-hortikultura menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

58

10 Pendapatan rata-rata rumahtangga petani hortikultura dari sektor non-pertanian menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

59

11 Persentase kontribusi sektor pertanian hortikultura, pertanian non-hortikultura dan sektor non pertanian menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya.

60

12 Persentase kontribusi sektor pertanian hortikultura, pertanian non-hortikultura dan sektor non pertanian di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya.

61

13 Total pengeluaran rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya tahun 2014-2015

62

14 Perbandingan pendapatan pengeluaran rata-rata rumahtangga petani per tahun menurut lapisan di Desa Perteguhen dan Desa Jerayatahun 2014-2015

16 Jumlah rumahtangga petani hortikultura Desa Perteguhen berdasarkan cara penyesuaian pada saat terjadi krisis 2014-2015

69

17 Jumlah rumahtangga petani hortikultura Desa Jeraya berdasarkan cara penyesuaian pada saat terjadi krisis 2014-2015

(12)

Kabupaten Karo

2 Jadwal rencana pelaksanaan penelitian 85

3 Uji regresi linier 86

4 Kuesioner 88

5 Kerangka sampling 99

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang berarti hampir sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Beragam jenis komoditas yang melimpah seperti komoditas tanaman hortikultura, tanaman pangan, perkebunan dan peternakan merupakan usaha yang sudah lama menjadi sumber pangan serta pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia sangat berperan dalam mendukung perkembangan keseluruhan sistem perekonomian negara. Pertanian dengan tanaman hortikultura merupakan salah salah satu sumber pertumbuhan pembangunan pertanian yang cukup penting dalam pembangunan jangka panjang. Pada umumnya tanaman hortikultura dinilai baik oleh petani karena selain sesuai dengan lahan pertanian di Indonesia dan menjadi komoditas yang banyak tersebar di berbagai wilayah, pergiliran tanaman-tanaman hortikultura dapat dilakukan setiap tahunnya sesuai permintaan pasar yang sering sekali berubah-ubah (Ditjen hortikultura 2012).

Namun, pertanian di Indonesia masih sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, tidak terkecuali pada pertanian hortikultura. Menurut BPS (2013), persentase penduduk miskin negara Indonesia pada tahun 2013 adalah 11.37 % yang terdiri dari 8.39 % di perkotaan dan 14.32 % di pedesaan sehingga dapat disimpulkan bahwa persentase masyarakat miskin di pedesaan lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat miskin di perkotaan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat miskin adalah petani karena di pedesaan umumnya masyarakat menggeluti pekerjaan di bidang pertanian.

Tabel 1 Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin dan garis kemiskinan tahun 2011-2013 menurut BPS 2013

Tahun Jumlah Penduduk

Sumber : Data Sekunder (BPS 2013)

(14)

ini diakibatkan karena keadaan alam yang tidak dapat di prediksi seperti adanya bencana alam. Bencana alam ini dapat berwujud pada kekeringan, banjir, letusan gunung berapi, serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan kegagalan panen produk pertanian. Salah satu contoh kasus kerugian yang muncul dari bencana terjadi di daerah Indramayu. 1Banjir di Indramayu telah merendam 48 742 hektar sawah dengan 33 938 hektar dipastikan puso. Selain itu masih ada puluhan atau bahkan ratusan hektare lahan sawah yang terendam sepanjang Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah. Contoh lainnya adalah 2musim kemarau panjang yang membuat puluhan hektare tanaman padi dan jagung di Banjarnegara Jawa Tengah mati. Petani pun gagal panen dan merugi mencapai puluhan juta rupiah.

Menghadapi keadaan alam yang tidak menentu tersebut, petani biasanya memiliki strategi dalam menjaga keberlangsungan hidupnya. Strategi yang yang diterapkan oleh rumah tangga petani tergantung dari sumberdaya yang dimiliki baik berupa modal alam, modal fisik, modal finansial, modal sosial, dan modal SDM (Conway dan Chambers dalam Ellis 2000). Selain itu, untuk menghadapi risiko yang mungkin terjadi, rumah tangga petani biasanya mengelola struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan risiko tergantung pada sumberdaya yang dimiliki dan melakukan berbagai cara yang terwujud dalam strategi nafkah untuk mampu bertahan hidup dan kembali ke dalam keadaan normal.

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tercatat 22 gunung berapi yang berstatus di atas normal. Salah satunya adalah Gunung Sinabung yang terletak di Kabupeten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Meletusnya Gunung Sinabung memberikan dampak besar pada beberapa aspek kehidupan masyarakat khususnya yang berada di sekitar gunung tersebut. Hingga saat ini efek tersebut telah dirasakan masyarakatnya sejak Oktober 2010 silam. Masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, gagal panen, tanah terkontaminasi belerang yang jumlah kerugiannya belum bisa ditaksir hingga sekarang ini. Dua lokasi yang menjadi korban Letusan gunung Sinabung adalah Desa Perteguhen dan Desa Jeraya, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo yang masing-masing berjarak 7 km dan 6.5 km dari kawah Gunung Sinabung. Berdasarkan pemaparan tersebut, menjadi penting bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh mengenai resiliensi nafkah rumahtangga petani di kawasan bencana letusan Gunung Sinabung di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

(15)

Masalah Penelitian

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia umumnya terjadi pada kalangan petani di pedesaan. Petani sekaligus merupakan orang yang paling mudah mengalami kerentanan dalam usahanya akibat ketergantungan yang tinggi terhadap alam. Hal tersebut tidak terkecuali terjadi pada petani yang menanam tanaman hortikultura. Alasan penanaman tanaman hortikultura yang dapat dilakukan secara bergilir tidak menutup kemungkinan petani hortikultura ini terbebas dari ancaman kemiskinan. Keadaan dengan kondisi yang normal pun sebetulnya petani sudah mengalami ancaman kerentanan, apalagi pada kondisi tidak normal. Kondisi tidak normal tersebut dapat berwujud pada adanya bencana alam seperti kekeringan, letusan gunung berapi, kebanjiran dan serangan hama dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Hal ini mengingat bahwa keadaan tersebut tidak dapat di prediksi oleh siapa pun sehingga para petani juga memiliki keterbatasan dalam mengelola dampak yang ditimbulkan dari hasil kerentanan tersebut. Apabila hal ini terus terjadi, maka akan mengancam seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat yang akhirmya akan dapat menimbulkan kemiskinan.

Desa Perteguhen dan Desa Jeraya Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo merupakan dua desa yang menjadi korban bencana letusan Gunung Sinabung yang sudah terjadi dari Oktober 2010 silam. Sebagian pertanian hortikultura di desa ini dipastikan terancam akibat debu vulkanik yang merusak tanaman pertanian. Terancamnya pertanian yang merupakan mata pencaharian utama penduduk di Kabupaten Karo ini mengindikasikan juga bahwa keberlangsungan hidup rumahtangga ikut terancam. Hal ini membuat masyarakat harus memiliki beragam cara dan strategi agar tetap bertahan hidup di kondisi yang sangat kritis.

Salah satu pendekatan yang diperlukan dalam memahami kemiskinan dan kerentanan adalah strategi nafkah. Menurut Dharmawan (2006) strategi nafkah tidak hanya terbatas pada mata pencaharian tetapi lebih ke strategi penghidupan. Sumber nafkah rumah tangga juga sangat beragam, karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Selain itu strategi nafkah selalu berhubungan dengan 5 modal yaitu modal alam, modal fisik, modal SDM, modal finansial, dan modal social (Chambers dan Conway 1992 dalam Ellis 2000) yang dapat berupa berupa tangible dan intangible assets. Keterbatasan modal rumah tangga petani akan membatasi strategi nafkah yang akan dilakukan. Oleh karena itu menarik untuk diteliti :

1. Bagaimana pemanfaatan livelihood asset yang dilakukan oleh rumahtangga petani hortikultura?

2. Bagaimana bentuk struktur dan strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani hortikultura di dua komunitas?

(16)

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pemanfaatan livelihood asset yang dilakukan oleh rumahtangga petani hortikultura.

2. Menganalisis bentuk struktur nafkah dan strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani hortikultura di dua komunitas.

3. Menganalisis resiliensi rumahtangga petani hortikultura dalam kondisi krisis di dua komunitas.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut :

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan literatur mengenai topik yang terkait.

2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran mengenai kondisi desa, serta memaparkan berbagai usaha yang dilakukan oleh masing-masing rumahtangga lainnya untuk membangun strategi penghidupannya dengan potensi yang dimiliki.

(17)

PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Strategi Nafkah

Dalam rangka bertahan hidup dan meningkatkan status sosial ekonomi, setiap rumahtangga petani membangun mekanisme nafkah. Menurut Dharmawan (2007) strategi merupakan keseluruhan cara, taktik, mekanisme serta manipulasi yang dibangun individu atau kelompok (rumahtangga) dalam mempertahankan kehidupan (survival strategy) dan jika memungkinkan melakukan konsolidasi atau meningkatkan derajat sosio ekonomi kehidupan mereka (consolidating or accumulating startegy). Scoones (1998) menggolongkan strategi nafkah setidaknya menjadi tiga golongan besar yaitu (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang merupakan usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda yang merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari cara pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi nafkah); (3) rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/ perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi) dalam rangka mencari sumber nafkah (livelihood sources) di tempat lain.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanto (2009) yang mengemukakan variasi strategi yang dilakukan petani tembakau di Dua Desa Temanggung. Strategi tersebut diantaranya adalah strategi solidaritas vertikal (strategi kinship genealogis, sistem nitip), strategi solidaritas horizontal (sistem royongan dan gabung hasil panen), strategi berhutang, strategi patronase (Maro), strategi akumulasi komoditas, strategi migrasi temporer, strategi srabutan dan strategi produksi. Namun dari bebeberapa penelitian seperti pada penelitian Sylsilia (2014), Sumarti (2007), Turasih (2011), Marzali (2003) masih menggunakan pandangan Scoones yang menggolongkan strategi nafkah menjadi tiga golongan besar dan rata-rata masyarakat melakukan strategi nafkah ganda.

Menurut Dharmawan melalui sudut pandang Mazhab Barat, dalam setting dinamika sosio-ekologis suatu ekosistem memungkinkan tersedianya pilihan-pilihan strategi nafkah yang akan sangat ditentukan oleh bagaimana petani dan rumahtangganya “memainkan” kombinasi-kombinasi sumberdaya nafkah (livelihood resources) yang tersedia bagi mereka. Menurut Chambers dan Conway dalam Ellis (2000) terdapat lima jenis livelihood resources yang tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk bertahan hidup atau sekedar untuk menghadapi krisis ekonomi serta mengembangkan derajat kesejahteraan rumahtangga petani, yaitu :

(1) Financial capital yaitu berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan konsumsi dan produksi.

(2) Physical capital yaitu modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti gedung, jalan dan sebagainya.

(18)

(4) Human capital yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya.

(5) Social capital yaitu berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seseorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya. Secara keseluruhan Dharmawan (2006) memberikan statement of belief yang menjadi kesimpulan umum dalam penelitiannya yaitu :

1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumahtangga selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara bertahan hidup melalui manipulasi sumber-sumber penghidupan yang tersedia di hadapannya.

2. Setiap individu membangun mekanisme-mekanisme survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosio-budaya-eko-geografi dan lokalitas dimana individu tersebut berada.

3. Ada kekuatan infrastruktur dan kekuatan supra-struktur serta struktur sosial yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh individu maupun kelompok individu tidak selalu seragam di setiap lokalitas.

4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan rumahtangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumahtangga.

Struktur Nafkah

(19)

menyebutkan bahwa kontribusi sektor non pertanian kedua dusun mendominasi dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Pada Dusun Lempong Pucung, kontribusi sektor non pertanian mencapai 80 persen, hal ini tampak dari mayoritas rumahtangga petani di dusun tersebut berprofesi sebagai buruh tani, serta kepemilikan luas lahan yang relatif sempit. Sedangkan di Dusun Klaces, sekitar 60 persen rumahtangga petani memperoleh penghasilan dari sektor non-pertanian, seperti membuka warung, menjual kambing, kayu, batu, pasir dan sebagainya.

Berbeda dengan penelitian Fridayanti (2013) yang meneliti petani di kawasan hutan Desa Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini menyebutkan bahwa petani dengan golongan pendapatan rendah dan sedang lebih banyak memperoleh penerimaan dari sektor pertanian, meskipun tidak jauh berbeda dari penerimaannya di sektor non-pertanian. Sedangkan sebaliknya pada golongan pendapatan tinggi, pendapatannya justru lebih banyak diperoleh dari sektor non-pertanian. Pada golongan pendapatan tinggi, lebih dari 50 persen dari total pemasukannya berasal dari pendapatan non-pertanian. Sebaliknya pada golongan pendapatan sedang dan rendah, hanya sekitar 30 sampai 40 persen dari total pemasukannya yang berasal dari sektor non-pertanian. Sisanya, pendapatan mereka berasal dari sektor pertanian. Bila dianalisis secara umum, memang penerimaan dari sektor non-pertanian cukup besar bila menilik basis nafkah utama masyarakat yang dasarnya sebagai petani. Masyarakat petani di desa ini melakukan bermacam-macam kegiatan non-pertanian untuk menutupi pendapatan mereka dari sektor pertanian yang terbilang kecil.

Vulnerability

Menurut Mc Carthy et al. (2001) dalam Adger (2006) kerentanan biasanya digambarkan dalam istilah negatif yaitu kerugian dari kerentanan itu sendiri. Ide sentral dari definisi IPCC adalah bahwa kerentanan merupakan sejauh mana sistem rentan dan tidak mampu mengatasi efek samping (perubahan iklim). Menurut Kasperson (1998) dalam Suryawati (2012) kerentanan yaitu kecenderungan sistem kompleks adaptif yang mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan. Dengan demikian, penelitian kerentanan dan riset ketahanan memiliki elemen umum seperti guncangan dan tekanan yang dialami oleh sistem sosial ekologi, respon sistem, dan kapasitas adaptasi.

Tinjauan lain mengenai kerentanan adalah pada tradisi intelektual Cutter (1996) dan Cutter et al. (2003) dalam Adger (2006) yang mengklasifikasikan kerentanan menjadi 3 bagian yaitu :

1. Kerentanan karena risiko (kondisi yang membuat orang mengalami kerentanan terhadap bahaya).

2. Kerentanan sosial sebagai kondisi (ukuran resiliensi terhadap bahaya).

3. Integrasi potensi eksposur dan resiliensi sosial dengan fokus khusus pada tempat-tempat atau daerah tertentu.

(20)

telah diringkas menunjukkan bahwa petani merupakan individu yang sangat potensial mengalami kerentanan. Jenis kerentanan yang ditunjukkan beragam seperti pada penelitian Widiyanto (2009) yang menunjukkan kerentanan petani tembakau terhadap fluktuasi harga dan perubahan cuaca dan iklim. Penelitian Sembiring (2014) yang menunjukkan kerentanan petani terhadap bencan rob yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Selain itu penelitian Sumarti (2007) mengemukakan kerentanan petani perkebunan terhadap tekanan intervensi pasar dan fluktuasi harga. Kemudian penelitian Turasih (2011) mengidentifikasikan kerentanan pada petani kentang di Dataran Dieng yang berupa ancaman kebakaran lahan dan menurunnya kualitas tanah pada lahan pertanian. Berbeda dengan penelitain yang lain, Sumitro (1986) meneliti bahwa kerentanan yang mengancam masyarakat pedesaan adalah pertambahan penduduk yang semakin meningkat dan penurunan tingkat kematian.

Resiliensi

Menurut Adger (2006) dalam konteks sistem sosial-ekologis, resiliensi mengacu pada besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum perubahan sistem secara radikal serta kapasitas untuk mengatur dirinya sendiri dan kapasitas untuk adaptasi dengan keadaan yang muncul. Hampir sama dengan pendapat Adger (2006), konsep resiliensi sosial diartikan oleh Jansen (2007) dalam Cote dan Nightingale (2012) sebagai kemampuan kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan. Palmer (1997) dalam Praptiwi (2009) membagi resiliensi menjadi empat tipe, yaitu:

1. Anomic survival; orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan 2. Regenerative resilience; dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan

kompetensi dari mekanisme coping

3. Adaptive resilience; periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan dan strategi coping

4. Flourishing resilience; penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping

(21)

Menurut Davies (1996) dalam Scoones (1998) ketahanan dalam menghadapi tekanan dan guncangan adalah kunci untuk adaptasi livelihood dan coping. Mereka yang tidak mampu mengatasi (penyesuaian sementara dalam menghadapi perubahan) atau beradaptasi (pergeseran jangka panjang dalam strategi penghidupan) tidak akan mungkin mencapai kehidupan yang berkelanjutan. Resiliensi selalu dikaitkan dengan kemampuan individu dalam mengelola lima tipe modal untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Ellis (2000) mendeskripsikan lima modal tersebut pada konsep segilima pentagon.

Gambar 1 Konsep Segilima Pentagon (Modal) Ellis (2000) Sumber: Data Sekunder (Ellis 2000)

Gambar 1 menunjukkan pengertian penguasaan kelima modal yang masuk ke dalam kategori sempurna dimana setiap modal memiliki nilai yang tinggi. Berdasarkan beberapa pustaka, resiliensi dapat dilihat dari kemampuan beradaptasi dengan tekanan dan guncangan dan mampu menemukan/ membuat peluang-peluang strategi nafkah (Widiyanto 2009), resiliensi sesuai dengan lamanya petani kembali ke kondisi semula (Sembiring 2014), resiliensi adalah bagaimana masyarakat bisa mengalamai kondisi normal ketika terjadi ancaman kerentanan (Sumarti 2007) dan penelitian Azzahra (2015) mengukur resiliensi dari lamanya waktu recovery dan banyaknya penyesuaian yang dilakukan rumahtangga pada saat terjadi krisis.

Bencana Alam di Sektor Pertanian

Di dalam UU nomor 24/2007 Pasal 1 dinyatakan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau non alam, maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Menurut Hadianto et al. (2009) terkait dengan definisi bencana tersebut, di sektor pertanian (pangan/hortikultura maupun perikanan tangkap dan budidaya) bencana yang

Modal Manusia

Modal Alamiah

Modal Finansial Modal Fisik

(22)

dimaksud mencakup bencana alam maupun non alam. Bencana alam mencakup bencana yang diakibatkan oleh peristiwa alam atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti: banjir, kekeringan, eksplosif hama/penyakit (pertanian tanaman pangan/hortikultur); angin topan dan gelombang pasang (perikanan/nelayan). Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam seperti gagal tekhnologi atau gagal modernisasi seperti kegagalan teknologi transgenik, limbah tumpahan minyak, limbah kimia pabrik dipermukaan laut. Disamping bencana yang terjadi, dikenal pula ancaman bencana (Hazard), merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan bencana. Kondisi demikian harus dicermati oleh para pihak baik dari sisi kondisi (potensi) lingkungan (alam) maupun aspek sosiobudaya dan tekhnologi, sejauhmana kerentanannya dari ancaman bencana. Penelitian Suryawati (2012) dalam Sembiring (2014) menunjukkan ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap alam baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Setiap tahunnya, Kampung Laut direndam air laut yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi penduduk sekitar, terutama di sektor pertanian. Kerugian yang ditimbulkan dari banjir Rob pada Tahun 2007 di Kampung Laut mencapai ratusan juta rupiah dan mengakibatkan kerusakan tanaman padi di areal seluas 95 ha. Setiap tahunnya setidaknya ada 200 KK di Kecamatan Kampung Laut yang rumahnya terancam pasang (Sembiring 2014). Hasil penelitian Hastuti (2006) menjelaskan mengenai peristiwa letusan Gunung Merapi yang menyebabkan masyarakat di sekitar lereng gunung mengalami kerentanan yang mengancam keterpurukan ekonomi rumahtangga karena terhambatnya mata pencaharian masyarakat yang berimplikasi pada tingkat pendapatan masyarakat. Daya dukung lingkungan yang semakin berkurang, kebakaran lahan dan menurunnya kualitas lahan di Dataran Tinggi Dieng juga memberi konsekuensi bagi petani, dalam hal ini petani kentang dituntut untuk mencari sumber penghasilan lain demi memenuhi kebutuhan hidup (Turasih 2011).

Kerangka Pemikiran

(23)

Livelihood Asset (Xn)

Gambar 2 Kerangka Analisis Penelitian Keterangan :

: Mempengaruhi --- : Deskriptif _____________ : Berkaitan

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Diduga tingkat pemanfaatan modal alam mempengaruhi tingkat resiliensi dalam kondisi krisis

Yn = f (X1)

2. Diduga tingkat pemanfaatan modal manusia mempengaruhi tingkat resiliensi dalam kondisi krisis

Yn = f (X2.1, X2.2, X2.3, X2.4 )

3. Diduga tingkat pemanfaatan modal finansial mempengaruhi tingkat resiliensi dalam kondisi krisis

 Banyaknya cara penyesuaian pada saat kondisi krisis (Y2)

X2 Modal Manusia

X5.3 Tingkat kepercayaan

X1 Modal Alam

Tingkat Kepemilikan Lahan X3 Modal Finansial Tingkat pinjaman dan tabungan

Tingkat Pendapatan:

 Tingkat pendapatan pertanian hortikultura  Tingkat pendapatan pertanian non hortikultura  Tingkat pendapatan non pertanian

(24)

Yn = f (X3)

4. Diduga tingkat pemanfaatan modal fisik mempengaruhi tingkat resiliensi dalam kondisi krisis

Yn = f (X4.1, X4.2)

5. Diduga tingkat pemanfaatan modal sosial mempengauhi tingkat resiliensi dalam kondisi krisis

Yn = f (X5.1, X5.2, X5.3)

Definisi Operasional dan Model Penelitian

1. Tingkat modal alam adalah luas kepemilikan lahan pertanian oleh rumahtangga petani. Kategori variabel tingkat modal alam termasuk dalam jenis data ordinal. Indikator yang digunakan untuk pengkategorian luas lahan yang dimiliki akan disesuaikan dengan data di lapang (emik).

2. Tingkat modal manusia dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat alokasi tenaga kerja, tingkat keterampilan dan tingkat penggunaan tenaga kerja. Berikut ini merupakan pemaparan dari masing-masing variabel :

a) Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dijalani. Tingkat pendidikan termasuk ke dalam jenis data ordinal, dengan kategori :

a. Rendah, apabila tidak/ lulus SD b. Sedang, apabila lulus SMP

c. Tinggi, apabila lulus SMA/ Perguruaan tinggi

b) Tingkat alokasi tenaga kerja adalah jumlah anggota keluarga yang memiliki pekerjaan. Tingkat alokasi kerja termasuk ke dalam jenis data ordinal. Pengkategorian variabel ini sebagai berikut :

a. Rendah, apabila hanya satu anggota keluarga yang bekerja b. Sedang, apabila dua anggota keluarga yang bekerja

c. Tinggi, apabila tiga anggota keluarga yang bekerja

c) Tingkat penggunaan tenaga kerja adalah jumlah orang yang dipekerjakan dan intensitas mempekerjakan orang lain dalam usahatani yang dijalankan. Tingkat penggunaan tenaga kerja masuk ke dalam jenis data ordinal dengan kategori :

a. Rendah, apabila tidak menggunakan orang lain

b. Sedang, apabila mempekerjakan satu orang atau lebih tetapi tidak kontinyu

c. Tinggi, apabila menggunakan satu orang atau lebih dan kontinyu

d) Keterampilan adalah keahlian khusus selain bertani yang dimiliki oleh anggota rumahtangga baik dari lahir atau melalui pelatihan. Tingkat keterampilan terbagi menjadi:

a. Rendah, jika tidak mempunyai keterampilan b. Sedang, jika punya satu keterampilan

c. Tinggi, jika mempunyai dua atau lebih keterampilan

(25)

3. Tingkat modal finansial adalah saluran keuangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola sumber daya dalam memenuhi kebutuhan hidup, yakni dapat berupa tingkat tabungan dan pinjaman. Jenis data adalah data ordinal.

Tingkat tabungan akan dilihat berdasarkan kepemilikan tabungan dan pinjaman, seperti berikut :

a. Rendah, apabila tabungan bernilai negatif (tidak memiliki) dan rumah tangga memiliki pinjaman

b. Sedang, apabila tabungan bernilai positif (memiliki) dan rumah tangga memiliki pinjaman atau tabungan bernilai negatif (tidak memiliki) dan rumahtangga tidak memiliki pinjaman

c. Tinggi, apabila tabungan bernilai positif (memiliki) dan tidak memiliki pinjaman

Pengskoran untuk tingkat tabungan adalah sebagai berikut: rendah (3), sedang (4), tinggi (6)

4. Modal fisik adalah berbagai asset produksi yang digunakan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani. Tingkat modal fisik termasuk dalam jenis data ordinal.

a) Tingkat kepemilikan asset rumahtangga (non pertanian) adalah berbagai asset yang dimiliki rumahtangga seperti alat transportasi, alat komunikasi dan peralatan rumahtangga. Berikut penggolongannya

a. Rendah, jika rumahtangga memiliki 1-4 asset b. Sedang, jika rumahtangga memiliki 5-8 asset c. Tinggi, jika rumahtangga memiliki 9-13 asset

b) Tingkat kepemilikan asset pertanian adalah berbagai asset yang dimiliki rumahtangga untuk mendukung aktifitas nafkah di sektor pertanian.

a. Rendah, jika rumahtangga memiliki 1-3 asset b. Sedang, jika rumahtangga memiliki 4-7 asset c. Tinggi, jika rumahtangga memiliki 8-11 asset

Pengskoran untuk tingkat kepemilikan modal fisik adalah sebagai berikut: rendah (24– 31), sedang (32 – 40), tinggi (41– 48)

5. Tingkat modal sosial dilihat berdasarkan tiga aspek yaitu jumlah organisasi, tingkat keberfungsian organisasi dan tingkat kepercayaan. Rincian ketiga aspek tersebut adalah:

a) Jumlah keanggotaan dalam organisasi adalah jumlah organisasi dan asosiasi yang diikuti oleh individu dan rumahtangga secara aktif. Penggolongan kategori disesuaikan dengan data di lapang

b) Tingkat keberfungsian organisasi/assosiasi adalah solidaritas organisasi dalam keberhasilan individu dihitung dari seringnya mendapat bantuan dari organisasi saat terjadi krisis. Skor rendah (5-6), sedang (7-8), tinggi (9– 10) c) Tingkat kepercayaan meliputi kepercayaan pada keluarga, tetangga, orang

dari kelas yang berbeda dan pada aparat pemerintah. Skor rendah (4), sedang (5-6), tinggi (7-8)

Jenis data dari modal manusia dalah ordinal.

(26)

share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain dalam bidang pertanian hortikultura. Tingkat pendapatan pertanian hortikultura disesuaikan dengan data yang diperoleh dilapangan. Berikut penggolongannya :

a.Pendapatan tinggi jika ≥ x + ½ sd b.Pendapatan rendah jika ≤ - ½ sd

c.Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd

7. Tingkat pendapatan pertanian non hortikultura adalah total uang yang diterima oleh rumah tangga dari bekerja di sektor pertanian seperti bertani, beternak, buruh pertanian di bidang non hortikultura dan menangkap ikan. Tingkat pendapatan pertanian disesuaikan dengan data yang diperoleh dilapangan. Berikut penggolongannya :

a.Pendapatan rendah jika ≤ - ½ sd

b.Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd c.Pendapatan tinggi jika ≥ x + ½ sd

8. Tingkat pendapatan non pertanian yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 6 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian; (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri (6) bantuan dari pemerintah. Tingkat pendapatan pertanian disesuai dengan data yang diperoleh dilapangan. Berikut penggolongannya :

a.Pendapatan rendah jika ≤ - ½ sd

b.Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd c.Pendapatan tinggi jika ≥ x + ½ sd

9. Tingkat resiliensi nafkah adalah kemampuan rumahtangga petani untuk kembali ke keadaan normal. Variabel tingkat resiliensi nafkah termasuk nafkah termasuk dalam jenis data ordinal. Resiliensi dapat dikukur dengan: a) Lama waktu dan jumlah yang dibutuhkan oleh rumahtangga untuk

recovery ketika terjadi krisis. Penggolongan kategori waktu akan disesuaikan dengan data di lapang (emik)

(27)

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan dipilihnya lokasi tersebut dengan mempertimbangkan jarak lokasi Desa Perteguhen dari Gunung Sinabung yaitu radius 7 km dan Desa Jeraya radius 6.5 km. Hal tersebut menunjukkan Desa Perteguhen dan Desa Jeraya dapat dipastikan adalah penerima dampak letusan Gunung Sinabung. Masyarakat Desa Perteguhen dan Desa Jeraya mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani. Komoditas pertanian yang diusahakan umumnya adalah komoditas hortikultura (BPS Kecamatan Simpang Kabupaten Karo Dalam Angka 2012). Komoditas hortikultura yang diusahakan mencakup jeruk, kol, cabe, tomat, dll. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Karo adanya letusan Gunung Sinabung menyebabkan aktivitas nafkah masyarakat terganggu, kualitas panen yang menurun dan pertumbuhan komoditas terganggu sampai menyebabkan gagal panen.

Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan penelusuran literatur maupun narasumber yang terkait dengan lokasi penelitian. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data di lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi dan perbaikan laporan penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data dan informasi di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat penggumpul data (Singarimbun dan Efendi 2008). Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan. Metode lain yang digunakan adalah melalui obeservasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena aktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti monografi desa.

Populasi sasaran dalam penelitain ini adalah seluruh petani hortikultura di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Dalam pendekatan kuantitatif responden dipilih untuk menjadi target survei. Unit analisis data penelitian ini adalah rumahtangga petani hortikultura. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan stratified random sampling yang diklasifikasikan menurut luas kepemilikan lahan. Jumlah responden setiap desa sebanyak 30 responden. Jumlah responden diperoleh berdasarkan besaran persentase rumahtangga di kedua desa yang menguasai lahan yang diperoleh dari keterangan tokoh masyarakat yaitu kepala desa di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya. Berdasarkan hal tersebut maka penentuan jumlah responden Desa Perteguhen sebagai berikut:

(28)

Maka jumlah responden lapisan menengah 33/100x30= 10 orang c. Rumahtangga yang memiliki lahan ≤0.5 hektar sebesar 53 %

Maka jumlah responden lapisan bawah 53/100x30=16 orang Penentuan jumlah responden Desa Jeraya sebagai berikut:

a. Rumahtangga yang memiliki lahan >1.5 hektar sebesar 4 % Maka jumlah responden lapisan atas 4/100x30= 1 orang

b. Rumahtangga yang memiliki lahan 0.6-1.5 hektar sebesar 26 % Maka jumlah responden lapisan menengah 26/100x30= 8 orang c. Rumahtangga yang memiliki lahan ≤0.5 hektar sebesar 70 %

Maka jumlah responden lapisan bawah 70/100x30=21 orang Lebih lanjut tentang pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data Data yang Dikumpulkan

Kuesioner  Karateristik responden

 Penguasaan livelihood asset  Tingkat pendapatan dan

pengeluaran

 Struktur nafkah

 Tingkat resiliensi rumahtangga petani

 Cara penyesuaian pada saat terjadi krisis

Wawancara mendalam

Observasi lapang dan analisis dokumen

 Pengaruh bencana kehidupan petani

 Strategi nafkah petani

 Cara petani menghadapi kondisi krisis

 Aktivitas yang dilakukan oleh petani

(29)

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(30)
(31)

PROFIL DESA PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai kondisi umum Desa Perteguhen dan Desa Jeraya. Kondisi umum ini mencakup kondisi geografis dan demografis Kecamatan Simpang Empat, kondisi geografis Desa Perteguhen dan Desa Jeraya, kondisi alam dan fisik Desa Perteguhen dengan Desa Jeraya, kondisi sosial ekonomi Desa Perteguhen dan Desa Jeraya. Selain itu, akan dibahas juga sejarah letusan Gunung Sinabung secara umum.

Kedua desa berada pada satu kecamatan yaitu Kecamatan Simpang Empat. perbedaan kedua desa adalah jarak dari Gunung Sinabung, masing-masing 7 km dan 6.5 km. Perbedaan jarak mempengaruhi perbedaan kondisi yang diterima masing-masing desa pada saat terjadi letusan Gunung Sinabung.

Kondisi Geografis dan Demografis

Kecamatan Simpang Empat adalah salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan ibukota di desa Ndokum Siroga yang berjarak 7 km dari Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten dan 84 km dari Medan ibukota provinsi. Kecamatan Simpang Empat dengan luas ±93.48 km² berada pada ketinggian rata-rata 700-1 420 m di atas permukaan laut dengan temperatur 16ºC-17ºC dengan batas wilayah yaitu sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe dan Berastagi, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Payung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Naman Teran dan Kecamatan Merdeka, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe. Kecamatan Simpang Empat terdiri dari 17 desa. Desa yang menjadi fokus penelitian adalah Desa Perteguhen dan Desa Jeraya.

Tabel 3 Kondisi geografis dan demografis Desa Perteguhen dan Desa Jeraya

No. Indikator Desa Perteguhen Desa Jeraya

1. Jarak dari ibu kota

1.0 Km 3.5 Km

2. Ketinggian dari permukaan laut

1239.0 M 1238.0 M

3. Jumlah penduduk

809.0 Orang 559.0 Orang

4. Laki-laki 398.0 Orang 283.0 Orang Perempuan 411.0 Orang 276.0 Orang 5. Kepadatan

Penduduk

272.0 Jiwa/km² 198.0 Jiwa/km²

6. Jumlah rumahtangga

213.0 Rumahtangga 164.0 Rumahtangga

(32)

Kondisi Alam dan Fisik

Luas wilayah Desa Perteguhen adalah 2.97 km² dan Desa Jeraya 2.83 km². Keadaan fisik di kedua desa masih di dominasi oleh lahan pertanian dalam bentuk lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah di kedua desa umumnya berbentuk tegalan/ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman komoditas hortikultura. Penggunaan lahan lainnya adalah lahan bukan pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah desa/kelurahan, tahun 2013 (Ha)

No. Penggunaan Tanah Perteguhen Jeraya

1 Lahan bukan sawah 295 278

2 Lahan sawah 0 0

3. Lahan bukan pertanian 4 5

Jumlah 299 283

Sumber : Diolah dari data monografi Desa Jeraya dan Desa Perteguhen tahun 2013

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa penggunaan lahan didominasi lahan bukan sawah dalam bentuk tegalan/ladang yang umumnya ditanami tanaman hortikultura seperti tomat, buncis, jeruk, jipang, cabe, terong, sayur putih, kol dan lainnya. Tanaman ini semakin marak dikembangkan sejak terjadinya letusan Gunung Sinabung. Alasannya karena modal untuk budidaya tanaman hortikultura ini lebih sedikit dan merupakan tanaman berumur pendek sehingga apabila sewaktu-waktu Gunung Sinabung meletus lagi, risiko kerugian tidak terlalu banyak. Selain itu masyarakat mulai merasakan dampak positif adanya letusan Gunung Sinabung yaitu tanah yang semakin subur. Menurut pemaparan Ibu BS (39 Tahun):

“Dulu, tomat dan cabe hampir tidak pernah berhasil jika ditanam, seandainya jadi pun tidak seperti sekarang bagusnya. Oleh karena itu semakin banyak yang menanam tomat dan cabe. Selain karena memang bagus pertumbuhannya, modal yang dikeluarkan tidak terlalu banyak dan panennya beberapa kali dalam sebulan. Jadi apabila gunung meletus lagi, sudah ada uang yang bisa dibawa lari dan ruginya juga tidak terlalu banyak seperti jeruk”

Hanya sedikit tegalan yang ditanami tanaman pangan seperti jagung dan ubi. Selain itu perkebunan di Desa Perteguhen dan Desa Jeraya didominasi oleh tanaman kopi. Biasanya setiap rumahtangga menanam kopi di pinggir lahan pertanian sehingga cukup untuk menambah sedikit pemasukan mereka. Hanya sedikit yang menanam kopi di seluruh lahan tanpa tumpangsari dengan tanaman lainnya.

(33)

diaspal, sedangkan Desa Jeraya dapat dikatakan belum baik karena baik jalan penghubung dengan Desa Perteguhen sebagai satu-satunya jalan yang ditempuh untuk dapat ke kecamatan maupun ibukota kabupaten serta jalan menuju lahan pertanian masih tanah berbatu dan belum ada yang di aspal.

Sarana dan prasarana yang terdapat di kedua desa dapat dikatakan belum cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sarana pendidikan di Desa Perteguhen hanya ada satu sekolah yaitu Sekolah Dasar, sehingga masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan SMP atau SMA harus menempuh perjalanan ke kecamatan atau ke kota. Ketersediaan sarana angkutan umum berupa minibus sudah lancar di desa ini untuk menghubungkan ke desa lain atau ke kota. Akses air bersih belum masuk ke masing-masih rumah, sehingga apabila masyarakat membutuhkan air, masyarakat harus ke tempat penyaluran atau penampungan air yang mereka sebut dengan pancur/tapin. Sedangkan di Desa Jeraya tidak memiliki sama sekali sarana pendidikan sehingga rata-rata bersekolah di SD Perteguhen dan melanjutkan SMP dan SMA ke kecamatan ataupun ke kota. Ketersediaan sarana angkutan umum masih sangat jarang di desa ini sehingga biasanya masyarakat menggunakan becak untuk sampai ke Desa Perteguhen kemudian menggunakan angkutan umum dari Desa Perteguhen. Akses air bersih sudah masuk ke desa ini melalui program PNPM yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Kondisi Sosial dan Ekonomi

(34)

Tabel 5 Banyaknya tenaga kerja yang bekerja menurut lapangan pekerjaan dan desa/kelurahan tahun 2013

No. Lapangan Pekerjaan Perteguhen Jeraya

1 Pertanian 517 183

2 Industri Rumah Tangga 0 0

3 PNS/ABRI 13 6

4 Lainnya 10 0

Jumlah 540 189

Sumber : diolah dari data monografi Desa Jeraya dan Desa Perteguhen tahun 2013

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat di kedua desa memiliki pekerjaan utama di bidang pertanian baik sebagai petani maupun sebagai buruh tani/ aron. Salah satu faktor banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah tidak adanya keterampilan di bidang lain dan masih rendahnya tingkat pendidikan sehingga enggan untuk mengambil risiko. Hal ini menunjukkan pendapatan yang mereka peroleh sebagaian besar bertumpu pada bidang pertanian. Hanya beberapa masyarakat yang memiliki pekerjaan utama sebagai PNS/ABRI di kedua desa, namun pada umumnya beberapa masyarakat yang bekerja sebagai PNS/ABRI tetap mengandalkan pendapatan tambahan dari sektor pertaniian. Beberapa pekerjaan utama lainnya seperti usaha bengkel, tengkulak, usaha penyalur pupuk, tukang keranjang dan sebagainya dilakukan oleh masyarakat Desa Perteguhen sedangkan Desa Jeraya tidak ada pekerjaan lainnya. Masyarakat Desa Jeraya sebenarnya memiliki pekerjaan lain seperti membuka warung, usaha penyalur pupuk, usaha kontrakan dan lainnya. Namun pekerjaan ini hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan saja sebagai tambahan pendapatan.

(35)

Sejarah Letusan Gunung Sinabung

Gunung sinabung berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara tepatnya di Kabupaten Karo, berada pada daerah administratif Kecamatan Naman Teran. Gunung Sinabung mempunyai ketinggian 2 460 meter di atas permukaan laut dan gunung ini tidak kelihatan aktif selama ratusan tahun. Berikut kronologis letusan Gunung Sinabung berdasarkan penelitian Badan Nasional Penanggulangan Bencana Kabupaten Karo.

Tabel 6 Kronologis letusan Gunung Sinabung menurut periode waktu Sebelum tahun 2010 Gunung Sinabung dikategorikan sebagai

gunung tipe B yaitu gunung yang tidak mempunyai karakteristik letusan magmatik.

Oktober, tahun 2010 Terjadi letusan dahsyat sehingga Gunung Sinabung dikategorikan gunung tipe A yaitu gunung yang memiliki karateristik letusan magmatik dan sejak itu mulai menjadi gunung api yang aktif. Setelah letusan besar pada tahun 2010, sempat terhenti aktifitasnya selama beberapa tahun.

September, tahun 2013 Gunung Sinabung kembali meletus yang mengakibatkan adanya exodus penduduk yang berasal dari beberapa desa di Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Payung, Kecamatan Tiga Nderket dan Kecamatan Simpang Empat ke wilayah Kecamatan Berastagi, Kecamatan Kabanjahe dan kecamatan lainnya.

Februari, tahun 2014 Erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan 17 jiwa meninggal dunia akibat terkena awan panas.

September, tahun 2014 Status Gunung Sinabung dari waspada menjadi siaga

November, tahun 2014 Status Gunung Sinabung dinaikkan statusnya dari waspada menjadi awas

April, tahun 2014 – sekarang Status Gunung Sinabung diturunkan dari awas menjadi siaga sampai dengan sekarang. Namun letusan Gunung Sinabung masih terjadi sampai sekarang yang intensitasnya cukup tinggi

Sumber: Diolah dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo tahun 2014

(36)

tidak sempat mengungsi, sedangkan Desa Jeraya sempat mengungsi dan kembali ke desa pada tanggal 22 Februari tahun 2014. Letusan Gunung Sinabung mengakibatkan lahan pertanian sebagai tumpuan mata pencaharian sebagian besar masyarakat mengalami kerusakan. Perbedaan di kedua desa adalah, Desa Perteguhen hanya mengalami kerusakan lahan tetapi tidak sampai gagal panen/ puso. Namun demikian Desa Perteguhen tetap mengalami kesulitan karena terhambatnya beraktivitas dan penurunan produktivitas pertanian yang tinggi. Hal ini dituturkan oleh salah satu masyarakat Desa Perteguhen, yaitu Bapak RG (47 tahun) :

Memang tanaman kami tidak sampai puso, tetapi produktivitasnya sangat menurun drastis. Biasanya ketika panen kopi sampai 300 kg bobotnya, namun karena ada letusan Gunung Sinabung turun menjadi 100 kg. Sebagian buahnya gosong sehingga tidak bisa dijual lagi. Sebelumnya pekerjaan kami lebih stabil, tidak ada gangguan dan kehidupan kami lebih sejahtera. Sekarang bagaimana dikatakan sejahtera kalau sayur saja sudah harus dibeli padahal dulu tidak pernah membeli. Pengeluaran pun semakin bertambah karena tanaman harus diberi penambahan pupuk dan obat, harus disiram apalagi kemarau, kemudian seng rumah harus diganti karena rusak akibat abu vulkanik Gunung Sinabung”

Berbeda dengan Desa Perteguhen, Desa Jeraya terdaftar sebagai salah satu desa yang mengalami gagal panen/puso. Sebagian besar tanaman yang gagal panen adalah tanaman komoditas hortikultura. Menurut dinas pertanian Kabupaten Karo, luas lahan puso di Desa Jeraya pada tanaman pangan seluas 28.50 ha, tanaman hortikultura seluas 155.31 ha dan tanaman perkebunan seluas 18.20 ha. Dengan semikian luas keseluruhan lahan yang gagal panen adalah 202.01 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerugian yang dialami masyarakat Desa Jeraya cukup besar. Dilihat dari jumlah keseluruhan lahan pertanian yang mencapai 278 ha, maka total kerusakan yang diakibatkan letusan Gunung Sinabung mencapai 72.6 persen. Hal ini menyebabkan masyarakakat harus memulai kembali dari awal usaha pertanian mereka sehingga kehidupan masyarakat pada fase letusan Gunung Sinabung tergolong krisis. Berikut penuturan salah satu masyarakat Desa Jeraya Ibu AS (30 Tahun):

“Karena Gunung Sinabung, cabe yang kami tanam sebanyak 7000 batang mati total. Padahal modalnya pun belum kembali. Oleh karena itu sekarang kami harus minjam ke bank untuk modal supaya bisa bercocok tanam kembali dan bekerja sebagai buruh tani untuk menambah pendapatan menunggu tanaman cabe, tomat dan kopi panen. Kerugiannya pun tidak bisa kami tafsirkan lebih rinci, intinya minimal 5 juta kami sudah rugi akibat Gunung Sinabung ini.”

(37)

Ikhtisar

(38)
(39)

PEMANFAATAN LIVELIHOOD ASSET RUMAHTANGGA PETANI HORTIKULTURA

Bab ini membahas mengenai pemanfaatan livelihood asset yang dimiliki oleh rumahtangga petani hortikultura. Livelihood asset terdiri dari modal alam, modal manusia, modal fisik, modal sosial dan modal finansial di dua desa yaitu Desa Perteguhen dan Desa Jeraya. Desa Perteguhen merupakan desa yang tidak mengalami gagal panen namun berada pada wilayah yang dekat dengan Gunung Sinabung dan Desa Jeraya dengan kondisi mengalami gagal panen akibat letusan Gunung Sinabung.

Pemanfaatan livelihood asset ini juga dilihat dari lapisan rumahtangga petani yang terdiri dari lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Penentuan lapisan di dalam masyarakat ini dilihat dari luas kepemilikan lahan rumahtangga. Berikut pemaparan mengenai pemanfaatan livelihood asset rumahtangga petani hortikultura.

Pemanfaatan Livelihood Asset Rumahtangga Petani di Wilayah Tidak Gagal Panen (Desa Perteguhen)

Rumahtangga di Desa Perteguhen yang merupakan wilayah yang tidak gagal panen dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Desa Perteguhen memang tidak sempat mengalami gagal panen, namun pertanian mereka juga terganggu karena abu vulkanik dan kemarau panjang yang terjadi di desa ini. Pemanfaatan modal nafkah ini tentunya memiliki pengaruh terhadap kemampuan rumahtangga untuk bertahan ketika terjadi letusan Gunung Sinabung yang belum berujung sampai sekarang. Pemanfaatan modal nafkah oleh masing masing rumahtangga dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

(40)

Modal alam

Modal alam yang dilihat dari kepemilikan lahan merupakan dasar untuk menentukan lapisan. Rumahtangga yang memiliki lahan ≤ 0.5 ha disebut dengan lapisan bawah, rumahtangga yang memiliki lahan 0.6-1.5 ha merupakan lapisan menengah dan rumahtangga yang memiliki lahan >1.5 ha merupakan lapisan atas. Oleh karena itu lapisan bawah memiliki modal alam yang rendah, lapisan menengah memiliki modal alam yang sedang dan lapisan atas memiliki modal alam yang tinggi. Modal alam yang dimiliki lapisan atas tergolong tinggi. Rumahtangga lapisan atas biasanya memiliki pekerjaan di sektor non-farm seperti PNS atau berdagang dan pertanian hanya sebagai pendukung perekonomian sehingga pada saat terjadi bencana alam yang membuat lahan pertanian rusak, rumahtangga masih memiliki sumber pendapatan lain di luar sektor pertanian. Rumahtangga lapisan atas juga menggunakan tenaga kerja setiap hari secara kontinyu.

Modal alam yang dimiliki lapisan menengah tergolong sedang. Rumahtangga pada lapisan menengah bekerja sebagai petani dan hanya beberapa yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh tani dan memanfatkan pendapatan dari bidang non-farm. Rumahtangga lapisan menengah biasanya menggunakan tenaga kerja tetapi tidak kontinyu, hanya pada saat perlu dan keuangan memadai saja. Modal alam rumahtangga lapisan bawah bernilai rendah. Biasanya mereka memiliki pekerjaan sebagai buruh tani, petani di lahannya sendiri dan bekerja pada sektor non-farm.

Modal Manusia

Modal manusia dilihat dari alokasi tenaga kerja, tingkat pendidikan, jumlah keterampilan dan penggunaan tenaga kerja. Modal manusia pada rumahtangga lapisan atas bernilai tinggi. Rata-rata rumahtangga lapisan atas memiliki tingkat pendidikan yang tinggi yaitu tamat pendidikan setara diploma dan sarjana. Selain itu penggunaan tenaga kerja yang relatif kontinyu karena pada umumnya rumahtangga melakukan pola nafkah ganda, sehingga keterampilan mereka tidak hanya sebatas pertanian. Biasanya sektor pertanian hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan dan sektor non-farm sebagai pekerjaan utama.

Modal manusia pada lapisan menengah bernilai sedang. Rumahtangga lapisan menengah memiliki komponen pendidikan yang bernilai tinggi. Pada komponen alokasi tenaga kerja, biasanya rumahtangga lapisan menengah memanfaatkan dua anggota rumahtangga untuk mencari nafkah. Dua anggota rumahtangga ini terdiri dari suami dan istri. Kemudian, pada komponen keterampilan rata-rata hanya memiliki satu keterampilan diluar bidang pertanian. Namun, sektor pertanian tetap menjadi pekerjaan utama. Selain itu, rumahtangga lapisan menengah menggunakan tenaga kerja hanya pada saat-saat tertentu seperti proses penanaman dan panen yang tidak bersifat kontinyu.

(41)

buruh tani. Selain itu rumahtangga lapisan bawah tidak menggunakan tenaga kerja secara kontinyu, namun hanya pada saat- saat tertentu seperti waktu panen dan waktu tanam, dan sebagian sama sekali tidak pernah menggunakan tenaga kerja lain.

Modal Fisik

Modal fisik dilihat dari kepemilikan rumahtangga terhadap asset pertanian dan asset rumahtangga termasuk didalamnya alat komunikasi, alat transportasi, emas dll. Modal fisik pada lapisan atas tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan asset pertanian dan asset rumahtangga sudah termasuk memadai. Selain itu faktor perekonomian yang sudah baik membuat rumahtangga lapisan atas memiliki asset yang cukup mewah. Rumahtangga lapisan atas biasanya memiliki ternak sebagai tabungan apabila suatu saat diperlukan.

Modal fisik pada rumahtangga lapisan menengah bernilai sedang. Kepemilikan asset rumahtangga bersifat seperlunya karena beberapa harus dijual akibat terjadinya Letusan Gunung Sinabung yang mengganggu pekerjaan mereka. Namun, asset pertanian termasuk memadai karena asset tersebut merupakan alat yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan utama yang kebanyakan bekerja sebagai petani. Modal fisik pada rumahtangga lapisan bawah bernilai sedang. Kepemilikan asset rumahtangga dan asset pertanian seadanya dan seperlunya. Hal ini dikarenakan faktor finansial yang kurang memadai. Kebanyakan rumah mereka juga beralaskan semen dan dinding kayu dan beberapa masih berupa rumah panggung.

Modal Sosial

Pemanfaatan modal sosial dilihat dari banyaknya organisasi/assosiasi yang diikuti rumahtangga, tingkat keberfungsian organisasi dan tingkat kepercayaan. Modal sosial yang dimiliki oleh rumahtangga baik lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah bernilai sedang. Rata-rata rumahtangga merupakan anggota dari 2 organisasi atau lebih, namun keberfungsian organisasi tergolong sedang. Organisasi seperti CU (Credit Union), PKK sudah lama mengalami kemacetan dalam pemberian dana tunai atau pinjaman kepada rumahtangga. Hanya organisasi keagamaan yang aktif diikuti oleh setiap rumahtangga. Pada kategori kepercayaan masih tergolong tinggi. Rumahtangga satu dengan yang lainnya masih merupakan kerabat baik kerabat dekat maupun jauh yang dilihat dari kepemilikan marga .

Modal Finansial

Modal finansial rumahtangga lapisan atas pada wilayah yang tidak gagal panen bernilai tinggi. Rumahtangga lapisan atas rata-rata memiliki tabungan baik berupa uang yang disimpan di rumah dan di bank, ternak, dan barang berharga lainnya seperti perhiasan atau asset rumahtangga sebagai investasi jangka panjang. Selain itu rumahtangga lapisan atas tidak memiliki pinjaman karena keuangan sudah mencukupi.

(42)

keuangan lainnya. Adanya pinjaman dikarenakan rumahtangga membutuhkan modal yang besar untuk memperbaiki tanaman pertanian mereka karena adanya letusan Gunung Sinabung dan kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan tanaman mereka rendah produktivitasnya sehingga memerlukan input yang lebih besar lagi. Beberapa dari mereka juga tidak memiliki tabungan dan tidak memiliki pinjaman sehingga pendapatan yang diperoleh hari ini akan habis hari ini juga.

(43)

Pemanfaatan Livelihood Asset Rumahtangga Petani Di Wilayah Gagal Panen (Desa Jeraya)

Rumahtangga Desa Jeraya merupakan rumahtangga yang menjadi salah satu korban letusan Gunung Sinabung. Bencana ini menyebabkan lahan pertanian rusak sampai terjadi gagal panen. Keadaan tersebut akan mempengaruhi pemanfaatan modal nafkah. Pemanfaatan modal nafkah ini akan berbeda setiap lapisan rumahtangga petani. Desa Jeraya dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan atas, lapisan menengah, lapisan bawah. Pembagian lapisan ini berdasarkan luas lahan yang dimiliki oleh setiap rumahtangga. Pemanfaatan modal nafkah setiap lapisan dapat di lihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4 Pemanfaatan modal nafkah oleh lapisan rumahtangga petani di wilayah gagal panen, Desa Jeraya tahun 2014 - 2015

Modal Alam

Sama seperti Desa Perteguhen, dasar modal alam di Desa Jeraya juga dilihat dari luas kepemilikan lahan untuk menentukan lapisan. Rumahtangga yang memiliki lahan ≤ 0.5 ha disebut dengan lapisan bawah, rumahtangga yang memiliki lahan 0.6-1.5 ha merupakan lapisan menengah dan rumahtangga yang memiliki lahan >1.5 ha merupakan lapisan atas. Oleh karena itu lapisan bawah memiliki modal alam yang rendah, lapisan menengah memiliki modal alam yang sedang dan lapisan atas memiliki modal alam yang tinggi.

Gambar

Tabel 1 Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin dan garis
Gambar 1 Konsep Segilima Pentagon (Modal) Ellis (2000)
Gambar 2 Kerangka Analisis Penelitian
Tabel 2 Teknik Pengumpulan Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Total biaya pengadaan bahan baku per tahun yang dikeluarkan oleh industri mebel skala kecil anggota KSU Sekar Jati rata-rata adalah Rp.. Berdasarkan penghitungan dengan model EOQ,

Herminarto Sofiian rozin,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa energi metabolis dalam pakan domba Garut jantan fase pertumbuhan di peternakan Lesan Putra telah mencukupi kebutuhannya namun pemanfaatan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan organization

Terkait dengan hal tersebut maka perlu untuk mengkaji pengaruh bakteri dalam silase dan asam organik terhadap performan dan histopatologi usus halus pada broiler umur 1 minggu

Penelitian ini dilakukan dalam 3 proses, yaitu proses pengukusan umbi bit yang akan didapatkan puree bit, proses ekstraksi pigmen bunga telang dan aplikasi pada

(T/F) Jika perusahaan asuransi dihadapkan dengan konsumen yang memiliki probabilitas kecelakaan berbeda, maka akan menguntungkan mereka jika mereka dapat menemukan

Hasil penelitian ini menjelaskan hasil wawancara dari beberapa narasumber yang menjadi objek penelitian. Pendapat dalam Implementasi Kurikulum 2013 Pada Mata