• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA

PETANI PESERTA PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN

BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI BOGOREJO

ANANDITA ROSTU PRASETYA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Anandita Rostu Prasetya

(4)

ABSTRAK

ANANDITA ROSTU PRASETYA. Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN.

Penelitian ini dilakukan karena adanya kerjasama antara pihak Pemerintah Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dengan masyarakat di sekitar Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program PHBM tersebut merupakan salah satu cara mengembalikan fungsi hutan secara optimal dan keberlanjutan ekologi dengan melibatkan partsispatif masyarakat di sekitar kawasan hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kajian pada strategi nafkah rumahtangga petani terhadap sumber pendapatan yang diperoleh dari PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non-pertanian. Sementara itu juga bertujuan untuk melihat bentuk akses rumah tangga petani terhadap kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman melalui program PHBM. Sampel penelitian adalah rumahtangga petani yang mengikuti program PHBM di Dusun III, Desa Bogorejo yang berprofesi sebagai petani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei menggunakan kuisioner dan pendekatan kualitatif, studi kasus dan observasi sebagai penunjang data-data kuantitatif. Hasil penelitian ini mengetahui akses dan sejarah rumahtangga petani terhadap kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, struktur nafkah rumahtangga petani, strategi-strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani terhadap sumber pendapatan yang diperoleh, dan melihat kontribusi struktur nafkah rumahtangga petani terhadap tingkat kemiskinan

.

Kata kunci: PHBM, strategi nafkah, tingkat kemiskinan

ABSTRACT

ANANDITA ROSTU PRASETYA. Livelihood Structure and Strategies of Farm Household involved in Community Based Forest Management (CBFM) in Bogorejo.

Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN.

This research is conducted in the location where the cooperation between the Forest Office of Lampung Province and communities who lives around Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman through Community Based Forest Management (CBFM). The CBFM program is a way to restore the sustainability of forest ecology via community participation in forest area. The purpose of this study is to analyze the farm household livelihood strategies with their sources of income from CBFM, on-farm, and non-farm. This research is also to understand the form of farm households access to regional Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman through CBFM program. The sample of this research is farm household who registered as a member of CBFM program in Dusun III, Desa Bogorejo. The method used in this study is survey research using questionnaires and qualitative approaches, case studies and observations as supporting quantitative data. The result of this study is tells the access and the history of farm household to regional Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, structure of farm household income, household livelihood strategies of farmers to resource income, and the contribution of farm household income to poverty alleviation.

(5)

STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA

PETANI PESERTA PROGRAM PHBM (PENGELOLAAN HUTAN

BERSAMA MASYARAKAT) DI BOGOREJO

ANANDITA ROSTU PRASETYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo Nama : Anandita Rostu Prasetya

NIM : I34090028

Disetujui oleh

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya tulis yang dimulai sejak bulan April 2013 ini berjudul Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Bogorejo

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan. MSc. Agr selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi selama proses penulisan karya tulis ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh warga Dusun III, DesaBogorejo. Tidak lupa penulis menyampaikan hormat dan rasa terima kasih kepada keluarga tercinta, Ibunda Hastuti Prayitno, Ayahanda Suroso, dan adik-adikku Prianggara Rostu Prayoga serta M. Rozzaq Rostu Narendra yang dengan segenap jiwa dan raganya selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis.

Terima kasih kepada Kakak KPM 45 Yusuf Tirta, M. Rizky Pratama, M. Agung Hidayah, M. Galih Wicaksono, dan Ahamd Fauzi yang senantiasa membantu penulis dalam mengembangkan ide-ide baru. Terima kasih kepada teman sekaligus tutor yang sangat luar biasa Rizka Amalia dan Novia Fridyanti atas bantuannya dalam penyelesaian karya tulis ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabatku di KPM 46 Lulu Hanifah, Indra Setiadi, Faris Budiman Annas, Rizka Andini, Hamdani Pramono, Ai Nurasiah Zhakiyah, Bahari Ilmawan, Oki Wanarijki, Fadil Afrianto, Nadia Zabila, M. Iyos Rosyid, Ajeng Intan, Yandra Azhari, Syifa Selvia Sulistyoningrum, Fajrina Nissa Utami, Siska Oktavia, Dian Nurdianti, Elbie Yudha Pratama, Arif Rachman, Ratu Sarah Indah, Lidya Agustina, Iqbaludin Akbar atas persahabatan luar biasa yang kalian berikan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuanganku Tyas Widyastini dan Ayu Januarty atas bantuan dan motivasinya selama ini. Serta untuk Wida Edwina Arifin, untuk selalu memotivasi, mendukung, dan mendengarkan keluh kesah penulis.

Terima kasih sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Keluarga Besar BEM FEMA 2011-2012, yang selalu memacu penulis untuk memunculkan ide-ide baru dan menularkan semangat baru. Keluarga Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 46 yang dengan segala kemurahan hatinya selalu bisa menerima penulis apa adanya menjadi bagian dari mereka. Serta semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan, dan kerja samanya selama ini.

Penulis berharap skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2013

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Masalah Penelitian 3

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Kegunaan Penelitian 5

BAB II PENDEKATAN TEORETIS 7

2.1. Tinjauan Pustaka 7

2.1.1 Hutan Rakyat 7

2.1.2 Pengelolaan Hutan Rakyat 8

2.1.3 Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat 9

2.1.4 Pengelolaan Hutan Melalui Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

10

2.1.5. Strategi Nafkah 11

2.1.6. Sumber Pendapatan Rumahtangga 13

2.1.7. Rumahtangga Petani (RTP) 14

2.1.8. Kemiskinan 15

2.1.9. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam 16

2.1.10. Struktur Agraria 18

2.2. Kerangka Konseptual 18

2.3. Definisi Konseptual 19

2.4. Kerangka Pemikiran 19

2.5. Hipotesis 20

2.6. Definisi Operasional 21

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 23

(12)

3.2. Teknik Pengumpulan Data 23

3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 24

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27

4.1 Gambaran Umum Tahura Wan Abdul Rachman (TahuraWAR)

27

4.1.1 Kondisi Geografis 27

4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi 28

4.2. SumberdayaHutan 30

4.2.1 Pembagian Wilayah Kerja 30

4.2.2 Pembagian Wilayah Berdasarkan Tujuan Pengelolaan 30

4.3 Gambaran Umum Desa Bogorejo 34

4.3.1 Kondisi Geografis 34

4.3.2 Pendudukdan Mata Pencaharian 34

4.3.3 Pendidikan 35

4.3.4 Sarana dan Prasarana 36

4.3.5 Karakteristik Responden 36

BAB V PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN

39

5.1 Landasan dan Aturan Program PHBM 39

5.1.1 Landasan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 39 5.1.2 Landasan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 40 5.1.3 Landasan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 41 5.2 Program Pengelolaan Hutan BersamaMasyarakat (PHBM) 42

5.3 Organisasi Kerjasama dalam PHBM 45

5.4 Perubahan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Hutan 46

5.5 Ikhtisar 49

BAB VI AKSES MASYARAKAT DALAM PROGRAM

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA

MASYARAKAT (PHBM)

51

6.1 Struktur Agraria di Desa Bogorejo 51

6.1.1 Pola Pemilikan Lahan 52

6.1.2 Pola Penguasaan Lahan 52

6.1.3 Pola Pengusahaan Lahan 53

(13)

6.3 Keterlibatan dan Peran dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kawasan Tahura WAR

59 6.4 Manfaat dan Permasalahan Program PHBM di Kawasan

Tahura WAR

62

6.5 Ikhtisar 64

BAB VII STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 67

7.1 Strategi Ekstensifikasi Lahan Pertanian 67

7.2 Strategi Pola Nafkah Ganda (Diversifikasi) 69

7.3 Strategi Bermitra dengan Tahura WAR 75

7.4 Strategi Migrasi 75

7.5 Ikhtisar 76

BAB VIII STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 77

8.1 Sumber Pendapatan Rumahtangga Petani 77

8.1.1 Pendapatan dari PHBM (Hutan Rakyat) 77

8.1.2 Pendapatan dari Sektor Pertanian 79

8.1.3 Pendapatan dari Sektor Non-Pertanian 80

8.2 Total Pendapatan Rumahtangga Petani 82

8.3 Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Petani 85

8.4 Ikhtisar 90

BAB IX PENUTUP 93

9.1 Kesimpulan 93

9.2 Saran 94

DAFTAR PUSTAKA 99

LAMPIRAN 101

(14)

DAFTAR TABEL

1 Sebaran penduduk di sekitar kawasan hutan Tahura WAR 28 2 Persentase mata pencaharian masyarakat di sekitar Tahura

WAR

29 3 Persentase tingkat pendidikan masyarakat di sekitar Hutan Tahura

WAR

29

4 Hasil pemaparan pelaksanaan tugas dan perencanaan kegiatan di kawasan Tahura WAR Tahun 2013

30

5 Pembagian blok pengelolaan di kawasan Tahura WAR Tahun 2006-2012

31

6 Pola penggunaan lahan di sekitar kawasan Tahura WAR 33 7 Mata pencaharian di sekitar kawasan Tahura WAR 33 8 Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Bogorejo, Kecamatan

Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran Tahun 2012

36

9 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok usia di Dusun III, Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran Tahun 2013

36

10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di Dusun III, Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran Tahun 2013

37

11 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan dalam rumah tangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran tahun 2013

37

12 Sejarah akses masyarakat terhadap kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program PHBM

58

13 Penjelasan tahapan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di kawasan Tahura WAR

60 16 Jumlah dan persentase responden menurut kepemilikan hewan

ternak di Dusun III, Desa Bogorejo Tahun 2012

70 17 Karakteristik responden yang memiliki strategi pola nafkah ganda di

Dusun III, Desa Bogorejo Tahun 2012

71 18 Sumbangan sumber pendapatan PHBM (hutan rakyat), pertanian,

dan non-pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap lapisan pendapatan Tahun 2012

(15)

19 Persentase kontribusi sumbangan sumber pendapatan dari PHBM (hutan rakyat), pertanian, dan non-pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap lapisan pendapatan Tahun 2012

84

20 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga petani menurut lapisan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan PHBM (hutan rakyat), pertanian, dan non-pertanian pada Tahun 2012

86

21 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga petani menurut lapisan pendapatan per hari berdasarkan sumber pendapatan PHBM (hutan rakyat), pertanian, dan non-pertanian pada Tahun 2012

87

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan Alur Pemikiran Strategi Nafkah 18

2 Kerangka Pemikiran 20

3 Persentase keadaan vegetasi kawasan Tahura Wan Abdul Rachman 27 4 Persentase mata pencaharian penduduk Desa Bogorejo 35 5 Rata-rata pendapatan rumahtangga petani per tahun dari PHBM

(hutan rakyat) menurut lapisan pendapatan Tahun 2012

78 6 Rata-rata pendapatan rumahtangga petani per tahun dari sektor

pertanian menurut lapisan pendapatan Tahun 2012

80

7 Rata-rata pendapatan rumahtangga petani per tahun dari sektor non-pertanian menurut lapisan pendapatan Tahun 2012

81 8 Struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap lapisan pendapatan

Tahun 2012

82 9 Persentase sumbangan sumber pendapatan terhadap struktur nafkah

rumahtangga petani pada setiap lapisan pendapatan Tahun 2012

84 10 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga petani menurut

lapisan pendapatan per tahun berdasarkan sumber pendapatan pada Tahun 2012

86

11 Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga petani menurut lapisan pendapatan per hari berdasarkan sumber pendapatan PHBM (hutan rakyat), pertanian, dan non-pertanian pada Tahun 2012

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Denah Lokasi Penelitian 102

2 Rencana Kegiatan Penelitian 103

3 Metode Pengumpulan Data 104

4 Kerangka Sampling 105

5 Kuesioner Penelitian 106

6 DokumentasiPenelitian 113

7 Hasil Pengolahan Data dengan Tabel Frekuensi 115

8 Catatan Harian 117

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Tahura : Taman Hutan Raya WAR : Wan Abdul Rachman

UPTD : Unit Pelaksana Teknis Daerah

PHBM : Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

UU : Undang-Undang

PP : Peraturan Pemerintah KSA : Kawasan Suaka Alam KPA : Kawasan Pelestarian Alam

(17)
(18)
(19)
(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan memberikan manfaat yang semakin lama semakin dapat kita rasakan, baik dilihat dari fungsi produk, sosial maupun lingkungan (Hardjanto 2003). Hutan memiliki fungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem, perlindungan kehidupan, proteksi daerah aliran, penyimpanan cadangan, pemelihara kesuburan tanah dan penyerap CO2 dan pengahasil O2.

Undang-undang No.41 Tahun 1999 mengatakan bahwa salah satu penyelenggraan hutan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam memiliki status public property yang bermanfaat bagi kemakmuran kemakmuaran rakyat, sehingga perlu adanya kerjasama dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Berdasarkan kepemilikannya, hutan dibedakan menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas lahan yang tidak dibebani oleh hak milik, sedangkan hutan milik atau hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perseorangan maupun bersama-sama atau badan hukum.

Data dari Departemen Kehutanan (2012) mengatakan bahwa luas kawasan hutan Indonesia tahun 2012 mencapai 120.61 juta ha, kawasan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (21.17 juta ha), kawasan hutan lindung (32.06 juta ha), kawasan hutan produksi terbatas (22.82 juta ha), kawasan hutan produksi (33.68 juta ha), dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi (20.88 juta ha). Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 0.45 persen (542 745 ribu ha) dari jumlah total luas hutan Indonesia.

Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi, dan lainnya. Faktor-faktor penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis yaitu pembalakan liar, kebakaran hutan, okupasi lahan, dan alih fungsi lahan sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan (Dephut 2012). Kementerian Kehutanan telah berupaya dengan menetapkan program-program untuk mengatasi kerusakan hutan dan meluasnya lahan kritis, antara lain: pemberantasan illegal loging, revitalisasi sektor kehutanan, rehabilitasi, dan konservasi sumberdaya hutan serta pemberdayaan masyrakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

(21)

dan lahan kritis di Provinsi Lampung yaitu rusaknya deaerah tangkapan air, okupasi lahan, maraknya perambahan liar dan konflik kawasan hutan serta penzonaan kawasan hutan yang belum maksimal (Dephut 2012). Kerusakan hutan dan lahan kritis disebabkan pengelolaan hutan di Provinsi Lampung hanya dikelola oleh pihak pemerintah tanpa melibatkan keikutsertaan masyarakat, sehingga pengelolaan hutan masih bersifat top down.

Menurut Hardjanto (2003) kementerian kehutanan menetapkan program-program untuk mengatasi meluasnya lahan kritis seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Social Forestry (Pengembangan hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa), dan Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan (Rotan, Madu, Sutera Alam). Selain itu, menurut Purnomo (2006) salah satu pola rehabilitasi lahan kritis secara vegetasi dan partisipatif bagi masyarakat adalah membangun hutan dengan pola PHBM, karena melalui pembangunan tersebut akan meningkatkan produktivitas lahan serta menunjang konservasi tanah dan air. Keberhasilan pola PHBM diperlukan keterlibatan aktor-aktor yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Tadjudin (2000) merumuskan dalam pengelolaan hutan terdapat aktor-aktor yang berkepentingan yaitu pemerintah, swasta dan, masyarakat. Pemerintah mendefiniskan hutan sebagai karunia tuhan yang pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat. Swasta mengartikan hutan sebagai bisnis yang menguntungkan dan menghasilkan uang yang besar. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga terciptanya keharmonisan antara lingkungan hutan dan lingkungan manusia.

Pengelolaan hutan melalui pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) merupakan salah satu usaha untuk merehabilitasi di lokasi lahan kritis dan kawasan tidak produktif. Pelaksanaan PHBM dilakukan oleh pihak Perhutani dengan melibatkan partispasi aktif masyarakat desa di sekitar kawasan hutan, agar masyarakat tidak merambah hutan dengan ilegal serta mencegah kerusakan ekosistem hutan (Purnomo 2006). Pola PHBM yang diterapkan kepada masyarakat yaitu dengan melakukan tanam tumpang sari atau banjar harian, penetapan pola tanam, optimalisasi ruang, maupun pengembangan usaha produktif. Jangka pendek dengan adanya pola PHBM bagi masyarakat desa sekitar kawasan hutan adalah mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan. Tujuan pengelolaan hutan melalui pola PHBM untuk pemeliharaan hutan dan mendapatkan tegakan yang berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi pada akhir daur. Kegiatan pemeliharaan hutan meliputi penyiangan, wiwil (pembersihan tunas air), pruning (pemangkasan cabang), penjarangan, pencegahan terhadap hama dan penyakit, pencegahan gangguan penggembalan dan perlindungan hutan lainnya (Purnomo 2006).

(22)

hasil hutan, meliputi: pencurian pohon, okupasi lahan, pembalakan liar, kebakaran hutan, dan bencana alam (Hidayah 2012). Cara yang dilakukan dalam upaya pengamanan hutan dilakukan secara preemtif, persuasif, preventif, dan represif kepada masyarakat desa sekitar hutan melalui sistem PHBM yang aktif dan partisipatif (Hidayah 2012).

Pengelolaan hutan melalui pola PHBM terdapat di Provinsi Lampung yaitu Tahura (Taman Hutan Raya) Wan Abdul Rachman merupakan bagian integral dari pembangunan daerah Provinsi Lampung dalam rangka pendayagunaan hutan sebagai modal dasar pembangunan dan sistem penyangga kehidupan untuk kesejahteraan masyarakat saat kini dan masa yang akan datang. Tahura Wan Abdul Rachman merupakan inisiatif dalam mendukung pengelolaan hutan sumberdaya berbasis masyarakat (Kemenhut 2011). Pengelolaan hutan rakyat melalui pola PHBM memberikan dampak terhadap pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan, dikarenakan dari pihak pemerintah khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Lampung memberikan kebijakan dengan memberi peluang kepada masyarakat di kawasan hutan untuk dapat mengelola hutan dan tetap menjaga fungsi hutan, sedangkan dari pihak masyarakat memandang penting atas kebijakan hutan melalui pola PHBM dalam memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat mengelola kawasan hutan, mengambil manfaat hutan, dan menjaga kelestarian kawasan hutan (Kemenhut 2011).

Tahura Wan Abdul Rachman merupakan sumber sistem penghidupan bagi masyarakat desa di sekitar kawasan hutan, karena masyarakat bisa mendapatkan pangan untuk hidup sehari-hari, memperoleh makanan untuk pangan ternak, kayu bakar untuk keperluan masak, bekerja dari sektor kehutanan sebagai mata pencahariaan, dan untuk obat-obatan/ramuan tradisional bagi kesehatan masyarakat (Kurniawan 2009). Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melihat hutan sebagai sumber penghidupan, cadangan bagi perluasan lahan usaha pertanian, dan untuk menjaga kerawanan struktural, seperti pertumbuhan penduduk yang begitu cepat.

Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dimanfaatkan oleh masyarakat desa sebagai mata pencaharian baik dari sektor pertanian, sektor kehutanan dan sektor non pertanian (buruh, berdagang, tukang kayu, tukang batu, tukang ojek, dan wiraswasta). Keadaan ini menunjukan bahwa usaha di bidang pertanian dengan menfaatkan potensi hutan di Tahura sebagai salah satu upaya untuk menjamin keperluan hidup keluarga. Hadirnya pengelolaan hutan rakyat melalui pola PHBM seperti Tahura Wan Abdul Rachman memberikan potensi tenaga kerja yang beragam bagi masyarakat pedesaan, sehingga pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan melalui distribusi tugas rumahtangga antar suami, istri, dan anak-anak (Kurniawan 2009).

1.2 Masalah Penelitian

(23)

kawasan. Masyarakat pedesaan sangat tergantung dengan adanya kawasan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai sumber pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Masyarakat pedesaan mengandalkan sektor pertanian, sektor kehutanan, dan sektor non-pertanian dari kawasan hutan tersebut sebagai sumber nafkah. Hal ini menunjukkan keterkaitan masyarakat dengan lahan di kawasan hutan sangat tinggi. Bertambahnya jumlah penduduk di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yang berasal dari Pulau Jawa menyebabkan terbatasnya lahan garapan, sehingga membuat masyarakat dalam memanfaatkan hutan tersebut menjadi tidak optimal (Kurniawan 2009). Terbatasnya lahan garapan membuat kegiatan usaha masyarakat dalam menjamin keperluan hidup rumahtangga hanya sebatas produksi secara subsisten. Diversifikasi merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan kegitan produksi dari lahan garapan tidak hanya sebagai untuk pemenuhan hidup (subsisten) tetapi bisa untuk tabungan atau investasi jangka panjang (Kurniawan 2009).

Kementerian Kehutanan (2011) menyatakan bahwa hutan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program PHBM merupakan salah satu program pemerintah Provinsi Lampung untuk melestarikan lingkungan, seperti reboisasi, mencegah erosi, dan pemabalakan liar. Program tersebut erat kaitannya dengan efek pemanasan global, dimana hutan bisa mengurangi kadar CO2 di udara dan

memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Program tersebut dapat memberikan kontribusi dalam penurunan gas rumah kaca secara signifikan. Selama ini persepsi masyarakat tentang memahami kawasan Tahura Wan Abdul Rachman berbeda dengan pemerintah antara lain mencegah banjir, sumber pendapatan, untuk mencukupi kebutuhan manusia, dan kesejahteraan manusia. Perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat lebih mengutamakan kepentingan masing-masing, akan tetapi perspesi, perilaku, dan sikap masyarakat cenderung eksploitatif dalam memanfaatkan hutan seperti perambahan liar dan perburuan liar, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan. Akibat dari eksploitatif membuat sistem ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar dan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman berkurang dan terganggu, hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat menjadikan hutan sebagai areal perladangan dengan tidak mereboisasinya kembali dan semakin banyaknya pembalakan liar serta tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah dalam memahami arti fungsi hutan sebenarnya (Kemenhut 2011).

(24)

diperoleh dengan cara menjual hasil produksi. Pola produksi subsisten memberikan dampak pada pola perilaku masyarakat yang baru mau berusaha bertani, ketika pendapatan yang diperoleh hampir habis. Selama pendapatan yang ada belum habis, maka masyarakat di Tahura Wan Abdul Rachman tidak berusaha melakukan kegiatan lain untuk menambah pendapatan.

Masyarakat di kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman memiliki sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sektor pertanian, sektor kehutanan, dan sektor non-pertanian. Permasalahan pertumbuhan penduduk yang meningkat, belum paham dan masih rendahnya pendidikan masyarakat tentang memahami fungsi hutan, dan pola adaptasi dengan produksi subsisten menyebabkan sumber pendapatan keluarga menjadi fluktuatif. Berdasarkan uraian tersebut rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk akses masyarakat desa sekitar hutan dalam program PHBM di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran?

2. Bagaimana strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran?

3. Bagaimana struktur nafkah rumah tangga petani di Desa Bogorejo dari sumber pendapatan di sektor PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non-pertanian? Seperti apa perbandingan sumber pendapatan diantara ketiganya? 4. Seberapa besar kontribusi struktur nafkah rumahtangga petani di Desa

Bogorejo dari sumber pendapatan di sektor PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non-pertanian terhadap tingkat kemiskinan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis bentuk akses masyarakat desa sekitar hutan dalam program PHBM di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. 2. Menganalisis bentuk strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo,

Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran.

3. Menganalisis struktur nafkah rumah tangga petani dari sumber pendapatan di sektor PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non-pertanian serta perandingan ketiganya.

4. Menganalisis kontribusi struktur nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo dari sumber pendapatan di sektor PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non-pertanian terhadap tingkat kemiskinan

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi beberapa pihak, yakni:

1. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan hutan dengan program PHBM memberi peluang kepada masyarakat di kawasan hutan untuk dapat mengelola hutan dan tetap menjaga fungsi hutan.

(25)
(26)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Hutan Rakyat

Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 mengatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, dengan penutupan tajuk dominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50 persen), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Awang 2001). Hardjanto (2003) mengatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik. Walaupun hutan rakyat di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total hutan, namun tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan masyarakat juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya. Hutan rakyat juga didefinisikan sebagai penghijauan suatu daerah untuk diperuntukan bagi masyarakat dan hutan rakyat dapat diartikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat, baik secara perseorangan, kelompok, maupun suatu badan hukum atau koperasi (Nurwanto dan Prakoso 1979).

Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan oleh masyarakat desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dirasakan adalah kayu yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Masyarakat pedesaan dapat memperoleh tambahan pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat baik dalam bentuk pohon berdiri maupun dalam bentuk bahan bakar. Penjualan kayu hasil hutan rakyat ini biasanya dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan keuangan yang ada kurang mampu mencukupi (Suharjito 2000). Kebutuhan yang mendesak dan keuangan yang tidak mencukupi diartikan sebagai mekanisme tebang butuh yaitu sifat pengelolaan hutan rakyat secara subsisten, tetapi petani menebang hanya pada saat mereka membutuhkan uang tunai untuk keperluan kebutuhan keluarga, seperti untuk biaya sekolah, hajatan, dan memenuhi kebutuhan untuk konstruksi rumah sendiri (Hindra 2005).

Jaffar (1993) mengatakan bahwa pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk:

1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau area yang tidak produktif secara optimal dan lestari.

2. Membantu keanekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat. 3. Membantu dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku kayu

industri serta bahan bakar.

4. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di pedesaan.

(27)

Fauziah dan Diniyati (2008) mengatakan bahwa terdapat jenis tanaman yang ditanam di hutan rakyat terdiri dari jenis tanaman kayu dan MPTS (Multi Purpose Tree Species), jenis-jenis tanaman kayu yaitu seperti mahoni (Swietenia

sp), sengon (Paraserianthes falcataria), pala (Myristrica fragrans), afrika (Maesopsis eminii), sungkai (Peronema canescens), suren (Toona sureni), jati (Tectona grandis), dan sebagainya. Pohon-pohon MPTS atau pohon serbaguna adalah jenis pohon yang memiliki beragam kegunaan, selain dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan lain-lain, pohon ini memiliki manfaat lain sebagai makanan (buah, biji, daun, atau kulitnya), pakan ternak bahkan dapat dijadikan obat-obatan. Kemudian dari sisi ekologis pohon ini juga dapat berfungsi sebagai penahan angin, konservasi tanah, pagar hidup, fiksasi nitrogen, pupuk, dan sebagainya. Pohon-pohon MPTS yang ditanam di lahan masyarakat akan memberikan penghasilan tambahan yang bisa lebih sering dirasakan manfaatnya dibanding tanaman kayu. Jenis-jenis MPTs diantaranya yaitu alpukat (Persea americana), nangka (Arthocarpus heterophyllus), duku (Lansium domesticum), petai (Parkia speciosa), rambutan (Nephelium lappecum), manggis (Garcinia mangostana), dan lain-lain.

2.1.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Hardjanto (2003) mengatakan bahwa terdapat dua jenis pengelolaan hutan rakyat yaitu hutan rakyat swadaya/tradisional dan hutan rakyat kemitraan/inpres. Pengelolaan swadaya dibagi lagi menjadi dua berdasarkan kedekatan jarak pemilik dengan lokasi hutan rakyat yakni pemilik memiliki jarak dekat dan jauh dari lokasi hutan rakyat. Hutan rakyat pengelolaan kemmitraan dengan pemerintah digolongkan kepada jenis hutan rakyat inpres, meskipun hutan rakyat inpres tidak ada lagi programnya sekarang ini, kegiatan ini termasuk inpres karena semua bantuan yang diberikan berasal dari pemerintah dan tidak perlu dikembalikan lagi dana yang digulirkan kepada petani.

Mustofa et.al (2011) mengatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat perbedaan dengan pengelolaan hutan secara umum, dimana pengelolaan dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0.25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 persen serta dikembangkan sesuai kondisi dan situasi sosial budaya setempat. Usaha hutan rakyat adalah usaha pengelolaan hutan rakyat dalam satuan unit manajemen yang didasarkan pada azas ekonomi dan kelestarian lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah, berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah berupa sertifikat hak milik atau Leter C, sertifikat hak pakai, dan surat lainnya yang diakui sebagai bukti pengusaan tanah. Hasil hutan rakyat disebut kayu rakyat, kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas lahan masyarakat.

(28)

kelestarian sumberdaya hutan. Kegiatan usaha dilaksanakan di kawasan hutan alam dan produksi yang dikonversi menjadi hutan tanaman, yakni kawasan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak atau perizinan lainnya. Pengelolaan usaha dilakasanakan melalui tahapan dimana masayarakat di dalam dan di sekitar hutan membentuk koperasi yang dapat mengelola paling luas 700 ha dan perorangan paling luas 15 ha, dengan dukungan pendanaan dari pusat melalui pembiayaan pembangunan hutan untuk kredit dengan bunga ringan.

3. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya diajukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat;

izin diberikan kepada “Kelompok Masyarakat Setempat”. Areal kerja hutan

kemasyarakatan adalah suatu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari, sedangkan penyelengaraan hutan kemasyarakatan yaitu untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat untuk persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.

2.1.3 Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Indonesia telah dibangun dalam skala besar sejak zaman kolonial Belanda baik melalui swadaya masyarakat maupun program bantuan penghiajauan. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarakan inisiatif masyarakat, pembangunan hutan rakyat diarahkan untuk mengembalikan produktivitas lahan kritis, konversi lahan, perlindungan hutan, dan pengentasan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Hardjanto (2003) mengemukakan istilah dan bentuk-bentuk pengelolaan hutan rakyat yaitu: (1) Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari suatu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur; (2) Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran; dan (3) Hutan rakyat dengan sistem agroforetry adalah hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usaha tani lainnya seperi perkebunan, pertanian, perternakan, dan lain-lain secara terpadu pada suatu lokasi. Hutan rakyat agroforestry berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan secara ideal, baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Fandeli (1995) mengatakan bahwa

agrofrestry adalah suatu sistem pertanaman yang merupakan bentuk kegiatan kehutanan, pertanian dan atau perikanan, ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Agroforestry merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pertanian, bentuk lapangan penggembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan (Satjapradaja 1983).

(29)

hak kepemilikan lahan menjadi empat macam yaitu: (1) Private property, yaitu suatu kepemilikan oleh swasta dimana hak akses, pemanfaatan, pengelolaan dan lain-lain yang melekat dengan barang atau komoditas tersebut sepenuhnya menjadi hak swasta. Swasta disini bisa bersifat perorangan atau badan hukum; (2) Kepemilikan oleh negara, dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara. Negara pula yang berhak mentransfer hak atas barang/komoditas tersebut kepada pihak lain; (3) Kepemilikan kolektif, dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas, misalnya anggota kelompok, koperasi atau organisasi tertentu. Artinya, hak-hak tersebut hanya melekat pada sejumlah orang yang telah terdefinisikan secara jelas; dan (4) Kepemilikan terbuka (open access) pada hakekatnya kepemilikan terbuka bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut. Lautan lepas atau hutan belantara umumnya merupakan kepemilikan terbuka karena tidak ada yang mengklaim sebagai pemiliknya. 2.1.4 Pengelolaan Hutan melalui Program PHBM (Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat)

Purnomo (2006) mengatakan bahwa pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu pola atau sistem pengelolaan sumberdaya hutan. Hal tersebut sesuai dengan azaz kemitraan dan prinsip untuk menyeleraskan pola kepentingan antara pemangku kepentingan/stakeholders. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ini dimaksudkan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proposional dan profesional. PHBM bertujuan untuk meningkatkan peran dan tangung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. Pola pengelolaan hutan PHBM memiliki perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan social forestry. PHBM dicanangkan oleh Perum Perhutani sebagai tonggak transformasi Perusahaan kehutanan milik negara menuju yang berorientasi kepada masyarakat. Pengelolaan hutan Perum Perhutani tidak lagi berorientasi kepada produk kayu saja, melainkan kepada semua komponen sumberdaya hutan. Pola manajemen yang dulunya state based forest management berubah menjadi community based forest management, artinya proses pengelolaan hutan Perum Perhutani dilaksanakan bersama masyarakat dengan prinsip saling berbagi, kesetaraan dan keterbukaan.

(30)

Tahun 2002. Dalam surat keputusan ini, masyarakat akan memperoleh pembagian hasil dari tanaman pokok sebesar 25 persen, sementara Perum Perhutani memperoleh sebesar 75 persen.

Prinsip kesetaraan yang dimaksud adalah implementasi sistem PHBM meliputi proses sosial dan proses fisik yang meliputi tahapan kegiatan yaitu: (1) sosialisasi sistem PHBM kepada pihak internal dan eksternal; (2) pemetaan wilayah hutan menjadi wilayah-wilayah Hutan Pangkuan Desa (HPD) serta inventarisasi potensi desa dan potensi hutan; (3) pembentukan kelembagaan desa (Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)); (4) penyusunan rencana dan strategi pengelolaan hutan antara LMDH dan Perum Perhutani; (5) penandatanganan Perjanjian kerja sama (PKS) PHBM antara LMDH dengan Perum Perhutani; dan (6) monitoring dan evaluasi Pelaksanaan PHBM. Prinsip keterbukaan yang dimaksud adalah berjalannya sistem partisipatif pada masyarakat dalam memberikan sumbangsih aturan main terhadap konsep PHBM.

Berdasarkan penelitian Hidayah (2012) konsep PHBM memberikan pola-pola kerjasama kepada masyarakat, seperti pola-pola pesanggem banjar harian dan tumpang sari. Pesanggem atau petani yang menggarap lahan hutan Perhutani mempunyai dua pilihan dalam memanfaatkan lahan PHBM. Pilihan tersebut adalah pola banjar harian dan tumpang sari. Banjar harian adalah pesanggem

yang bekerja di lahan Perhutani untuk melakukan pembersihan atau pembabatan sebelum dilakukan penanaman jati. Pola tumpang sari adalah pesanggem yang ikut mengolah lahan untuk ditanami tanaman sela. Letak perbedaannya adalah

pesanggem pada pola banjar harian diberikan upah untuk melakukan pembersihan dan pembabatan lahan. Sementara pesanggem pada pola tumpang sari tidak diberikan. Pesanggem mendapatkan upah sesuai jenis pekerjaan dan lama waktu kerja. Pesanggem banjar harian dibutuhkan apabila tidak ada atau minim keinginan masyarakat untuk mengolah lahan hutan. Lahan yang dapat diolah tersedia, namun tidak ada masyarakat yang ingin mengolahnya. Hal tersebut dapat dilihat ketika lahan bekas tebangan setahun sebelumnya tetapi masyarakat tidak ada yang mengajukan untuk bisa mengolahnya. Menurut pihak Perhutani dengan pola banjar harian atau tumpang sari dapat menyelaraskan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan Perhutani, seperti dalam pola banjar harian, Perhutani mengeluarkan biaya modal produksi dengan model seperti ini. Perhutani memanfaatkan pesanggem atau masyarakat membersihkan lahan yang akan ditebang atau sebelum penanaman ulang tanaman jati, berbeda dengan pola tumpang sari yang sedikit lebih menghemat biaya karena pesanggem yang akan menanam tanaman akan sekaligus membersihkan lahan yang akan ditanam kayu jati kembali. Hal ini juga menjadi sebuah simbiosis mutualisme antara Perhutani dan masyarakat, Perhutani mendapatkan hasil dari pembersihan lahan tersebut dan masyarakat dapat mengambil lahan hutan milik Perhutani.

2.1.5 Strategi Nafkah Rumahtangga

(31)

bertahan hidup, di mana sebuah nafkah terdiri dari aset, (alam, fisik, manusia, modal keuangan, dan sosial) kegiatan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumah tangga. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumahtangga yaitu dengan menyususun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan (Iqbal 2004).

Chambers (1992) membagi strategi nafkah rumah tangga ke dalam tiga tahap, yaitu: desperation, vulnerbility, dan, independence. Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Tahap pertama yaitu Desperation, tujuannya adalah bertahan hidup (survival), cara yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan common property, migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua yaitu Vulnerability,

jaminan keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan berhutang. Tahap ketiga yaitu Independence,

kehormatan diri, misalnya: berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patronklien, melunasi hutang, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki.

Scoones (1998) mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat mempertahankan hidup. Strategi nafkah (livelihood strategy) diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori, yaitu: (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan; dan (3) rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan.

White (1990) mengatakan bahwa dapat dibedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non pertanian. Kedua,

(32)

penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Rumahtangga golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).

2.1.6 Sumber Pendapatan Rumahtangga

Mengacu pada Dharmawan (2001) yang menyebutkan bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Menurut Purnomo (2006) sumber nafkah merupakan aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga untuk dapat digunakan dalam pencapaian tujuan nafkah rumahtangga. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga.

Menurut Ellis (2000) pendapatan dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, pendapatan pertanian (on-farm), yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan sendiri seperti lahan milik sendiri atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Kedua, pendapatan off-farm, yakni pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian termasuk upah dalam bentuk pemberian barang seperti padi dan bentuk upah kerja yang lain. Ketiga, pendapatan non pertanian (non-farm), yakni pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam kategori yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian atau pendapatan bisnis; (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa); (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan pensiunan dan (6) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.

Ellis (2000) mengatakan bahwa teradapat lima ketegori modal utama sebagai basis nafkah yaitu sebagai berikut:

1. Modal alam mengacu pada sumberdaya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan hidup mereka;

2. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi;

3. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi;

4. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit; dan 5. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang

berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka.

(33)

barang konsumsi antara rumahtangga dalam komunitas desa atau antara rumahtangga dengan desa dan kota.

Upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup, rumahtangga petani tidak hanya menerapkan salah satu strategi nafkah tetapi dengan mengkombinasikan dari berbagai bentuk strategi nafkah. Masitoh (2005) mengatakan bahwa terdapat enam bentuk strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani yaitu sebagai berikut:

1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan saat-saat tertentu/peristiwa tertentu yang terjadi;

2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing;

3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian secara maksimal;

4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga;

5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara menganekaragamkan nafkah; dan

6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi.

2.1.7 Rumahtangga Petani (RTP)

Pengertian Rumhtangga Petani (RTP) dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi (Nakajima 1986). RTP dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi RTP akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku RTP dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar (Ellis 1988).

Nakajima (1986) mengatakan bahwa pertanian sebagai suatu industri memiliki karakteristik yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Karakteristik teknologi dan produksi pertanian

2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai satu kesatuan unit ekonomi (produksi pertanian sebagian besar di bawah kontrol rumahtangga petani) 3. Karakteristik dari komoditas pertanian

Nakajima (1986) memberikan definisi RTP (farm household) sebagai satu kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm), rumahtangga pekerja dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and consumer’s

(34)

dan sebagian dikonsumsi rumahtangga sendiri, membayar atau membeli sebagian input seperti pupuk, obat-obatan dan sewa tenaga kerja, tetapi juga dapat menjual atau mempergunakan input pertanian milik keluarga sendiri (Sadoulet and Janvry 1995).

2.1.8 Kemisikinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan.

Urip (2008) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang). Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup krentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka (Dharmawan et al. 2010).

Menurut (Chambers 1996 dalam Surachman 2011) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: (1) Kemiskinan (proper); (2) Ketidakberdayaan (powerless); (3) Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency); (4) Ketergantungan (dependence); dan (5) Ketersaingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu Muttaqien (2006) memaparkan enam jenis kemiskinan yaitu: (1) Kemiskinan Subsistensi; (2) Kemiskinan perindungan; (3) Kemiskinan pemahaman; (4) Kemiskinan partisipasi; (5) Kemiskinan identitas; dan (6) Kemiskinan kebebasan.

Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin yaitu:

1. Rata-rata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, perlatan kerja, dan keterampilan.

2. Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah.

3. Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal).

4. Kebanyakan berada di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area).

5. Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas, komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

(35)

diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum needs) dan konsep satuan pengukuran (unit measure) (Schiller 2008).

Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan makanan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energy sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makan adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya (Urip 2008).

Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercemin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller 2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah $2 per hari.

2.1.9 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam

Menurut Lynch dan Harwell (2002) terdapat empat tipe rezim hak kepemilikan (property rights) sumberdaya alam yaitu sebagai berikut:

1. Akses terbuka (open access) adalah tidak ada hak pengusaan/kepemilikan atas sumberdaya, sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun, tidak ada regulasi yang mengatur serta hak kepemilikan tidak didefinisikan dengan jelas.

2. Milik pribadi (private property) adalah sumberdaya bukan milik negara melainkan dimiliki oleh organisasi atau individu, ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam, manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik, dan hak pemilikan dapat dipindah-tangankan.

3. Milik kelompok masyarakat (common property) adalah sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota punya kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan, pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan, hak pemilikan tidak bersifat eksklusif dapat dipindah-tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama, dan aturan pemanfaatan mengikat anggota kelompok.

4. Milik negara (state property) adalah hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah yang memutuskan tentang akses serta tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam.

(36)

menurut Garret Hardyn (1968) kelemahan dalam setiap tipe rezim hak kepemilikan sumberdaya alam sebagai berikut:

1. Kelemahan rezim akses terbuka adalah terjadinya tragedy of the commons, ketika sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya dimanfaatkan semua orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkan secara intensif, dan berakibat kelimpahan sumberdaya alam menurun serta semua pihak merugi.

2. Kelemahan rezim milik pribadi adalah lemahnya komitmen pada kelestariaan sumberdaya alam, menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat, dan kesenjangan ekonomi.

3. Kelemahan rezim milik kelompok masyarakat adalah pertimabangan saintifik rendah, bersifat lokal dan spesifik, serta institusionalisasi rumit. 4. Kelemahan rezim milik negara adalah transaction cost yang tinggi,

ketidaksesuaian antara aturan dengan kondisi lapang, lambat dalam merespon kejadian permasalahan di lapang, keterlambatan pelaksanaan aturan, kesulitan penegakan hukum, dan masalah koordinasi serta konflik kewenangan.

Salah satu cara penyelesaiaan konflik pengelolaan sumberdaya alam yaitu dengan rezim manajemen kolaborasi, suatu konsep untuk menunjukkan kombinasi derajat intensitas keterlibatan antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Tadjudin (2000) menyatakan bahwa manajemen kolaboratif sebagai bentuk manjemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh

stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai ensitas yang sederajat sesuai dengaan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Mitchell (2000) menyatakan manajemen kolaboratif adalah sebagai salah satu bentuk kemitraan dimana pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan benar-benar diterapkan. Pihak-pihak yang terlibat saling mempertukarkan informasi, dana, dan tenaga untuk mencapai tujuan yang diterima oleh semua pihak. Menurut Tadjudin (2000) manajemen kolaborasi mempunyai tahapan-tahapan manajerial seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan. Tahapan tersebut ditempatkan pada dalam dua konteks, yaitu bahwa seluruh tahapan itu dipandang sebagai siklus perbaikan yang mengakomdasikan adanya feedback loop dan setiap introduksi tahapan tersebut ditempatkan dalam konteks pengembangan masyarakat yang mengandung komponen pembelajaran sosial, pemberdayaan kelmabgaan, dan aksi kloketif. 2.1.10 Struktur Agraria

(37)

hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dengan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya.

Lebih lanjut Wiradi (2009) mengungkapkan bahwa hakikat struktur agraria adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Terdapat dua istilah penting dalam hal ini yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure berarti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Sedangkan land tenancy menunjuk kepada pendekatan ekonomi. Artinya penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Obyek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Dalam pengertian struktur agraria ini perlu dibedakan antara istilah

pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk

kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah

yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Untuk kata “pengusahaan”

menunjuk kepada bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. 2.2 Kerangka Konseptual

Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Rumahtangga petani dalam memaksimumkan ekonomi dan kebutuhan hidupnya dilakukan dengan berbagai cara yang tidak hanya memfokuskan pada satu unit pekerjaan tertentu, melainkan dengan beragam strategi nafkah yang dilakukan. Startegi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan keberlangsungan hidup dengan memperoleh sumber pendapatan yang berasal dari sektor on farm, sektor off farm, dan sektor non farm.

Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran Strategi Nafkah

Sumber Pendapatan Strategi Nafkah

(38)

2.3Definisi Konseptual

1. Strategi nafkah menurut Dharmawan (2007) adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku.

2. Mengacu pada Dharmawan (2001) yang menyebutkan bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Ellis (2000) menjelaskan sumber pendapatan rumahtangga petani dibagi menjadi tiga kategori yaitu: a. Sektor on farm income: strategi ini menunjuk pada nafkah yang

berasal dari pertanian dalam arti luas. Pendapatan dari sektor ini didapat dari lahan pertanian milik sendiri, baik yang diusahakan oleh pemilik tanah maupun diakses melalui sewa menyewa ataupun bagi hasil.

b. Sektor off farm income: pendapatan dari sektor ini didapat dari hasil di luar sektor pertanian tetapi masih dalam lingkup pertanian. Penghasilan yang didapat bisa berasal dari upah tenaga kerja, sistem bagi hasil, maupun kontrak upah tenaga kerja non-upah.

c. Sektor non-farm income: sektor ini mengacu pada pendapatan yang bukan berasal dari pertanian, seperti pendapatan atau gaji pensiun, pendapatan dari usaha pribadi, dan sebagainya.

3. Rumahtangga petani adalah satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi. Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki.

a. Rumahtangga Petani PHBM adalah rumahtangga yang memiliki dan memanfaatkan lahan PHBM sebagai sumber pendapatan.

b. Rumahtangga Petani Non-PHBM adalah rumahtangga yang memiliki dan memanfaatkan lahan Non-PHBM sebagai sumber pendapatan.

2.4 Kerangka Pemikiran

Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi, dan lainnya. Faktor-faktor penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis yaitu pembalakan liar, kebakaran hutan, okupasi lahan,

(39)

secara terpadu serta untuk mengembalikan fungsi hutan sesuai dengan ekosisitem aslinya.

Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Lampung merupakan salah satu hutan yang dikelola melalui program PHBM dengan melibatkan rumahtangga petani dalam pengelolaannya, meskipun tidak semua rumahtangga petani di kawasan tersebut yang terlibat dalam mengakses dan mengelola hutan melalui program PHBM. Hal tersebut membuat rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga berbagai taktik dan aksi yang dilakukan rumahtangga petani menciptakan variatif strategi nafkah untuk memperoleh sumber pendapatan dalam mempertahankan kehidupan mereka. Strategi nafkah yang dilakukan berasal dari sumber pendapatan PHBM (hutan rakyat) yang dilihat dari lapisan pendapatan PHBM (hutan rakyat), sumber pendapatan pertanian (bertani,berkebun, buruh tani) yang dilihat dari lapisan pendapatan pertanian dan sumber pendapatan non-pertanian (dagang warung, buruh bangunan, supir truk) yang dilihat dari lapisan pendapatan non-pertanian di sekitar kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Sumber pendapatan yang diperoleh rumahtangga petani akan melihat kontribusi pendapatannya terhadap tingkat kemiskinan yang dapat dilihat dari pendapatan per kapita per hari.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran 2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual dan pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara sumber pendapatan terhadap tingkat kemiskinan rumahtangga petani di Tahura Wan Abdul Rachman.

Keterangan:

Hubungan

Sumber Pendapatan Non-Pertanian  Lapisan

Pendapatan Non-Pertanian

Sumber Pendapatan PHBM  Lapisan

Pendapatan PHBM

Sumber Pendapatan Pertanian

 Lapisan Pendapatan Pertanian

Tingkat Kemiskinan  Pendapatan per

Gambar

Gambar 2  Kerangka Pemikiran
Tabel 1  Sebaran penduduk di sekitar kawasan hutan Tahura WAR
Gambar 4  Persentase mata pencaharian penduduk Desa Bogorejo
Tabel 13  Penjelasan tahapan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di kawasan Tahura WAR
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 6 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dari sektor pertanian yang diperoleh rumahtangga petani di Dusun Klaces lebih tinggi dibandingkan dengan

“Dingin” (“ tiis ”) adalah istilah yang diberikan Pak Suh untuk menjelaskan kondisi tanah yang berair dan lembab di sekitar mata air. Air mata air tidak baik untuk mengairi

Strategi nafkah yang dipilih (dibangun) oleh rumahtangga petani miskin di Desa Sukorahayu pada saat fase normal adalah diversifikasi modal nafkah (sektor pertanian, sektor pertanian

Tabel 1 menunjukkan, pendapatan rumahtangga petani di Desa Sukamaju dari sektor pertanian disumbangkan pendapatan dari usahatani karet dan pendapatan dari usahatani kelapa

Penggunaan sumberdaya alam lokal yang digunakan sebagai sumber nafkah penting bagi rumahtangga petani di desa Mantangai Hilir adalah bersumber dari hasil perkebunan

Pada kegiatan pelaksanaan, partisipasi yang diukur adalah petani menanam tanaman pokok dan tanaman semusim pada lahan garapan, sedangkan dalam kegiatan evaluasi adalah

Data persentase keberhasilan hidup dari pohon yang ditanam dalam program PHBM merupakan variabel terikat/dependent variable (Y); umur responden, pendapatan keluarga,

Nilai P-value yang terlihat pada Tabel 14 menunjukkan bahwa persentase konsumsi pangan rumahtangga petani berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel pendapatan