• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.9 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam

Menurut Lynch dan Harwell (2002) terdapat empat tipe rezim hak kepemilikan (property rights) sumberdaya alam yaitu sebagai berikut:

1. Akses terbuka (open access) adalah tidak ada hak pengusaan/kepemilikan atas sumberdaya, sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun, tidak ada regulasi yang mengatur serta hak kepemilikan tidak didefinisikan dengan jelas.

2. Milik pribadi (private property) adalah sumberdaya bukan milik negara melainkan dimiliki oleh organisasi atau individu, ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam, manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik, dan hak pemilikan dapat dipindah-tangankan.

3. Milik kelompok masyarakat (common property) adalah sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota punya kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan, pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan, hak pemilikan tidak bersifat eksklusif dapat dipindah-tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama, dan aturan pemanfaatan mengikat anggota kelompok.

4. Milik negara (state property) adalah hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah yang memutuskan tentang akses serta tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam.

Rezim hak kepemilikan mempunyai fungsi dan peranan masing-masing dalam mengelola sumberdaya alam yang dimiliki, tetapi terdapat kelemahan dari masing-masing tipe rezim hak kepemilikan tersebut. Seperti yang dijelasakan

menurut Garret Hardyn (1968) kelemahan dalam setiap tipe rezim hak kepemilikan sumberdaya alam sebagai berikut:

1. Kelemahan rezim akses terbuka adalah terjadinya tragedy of the commons, ketika sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya dimanfaatkan semua orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkan secara intensif, dan berakibat kelimpahan sumberdaya alam menurun serta semua pihak merugi.

2. Kelemahan rezim milik pribadi adalah lemahnya komitmen pada kelestariaan sumberdaya alam, menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat, dan kesenjangan ekonomi.

3. Kelemahan rezim milik kelompok masyarakat adalah pertimabangan saintifik rendah, bersifat lokal dan spesifik, serta institusionalisasi rumit. 4. Kelemahan rezim milik negara adalah transaction cost yang tinggi,

ketidaksesuaian antara aturan dengan kondisi lapang, lambat dalam merespon kejadian permasalahan di lapang, keterlambatan pelaksanaan aturan, kesulitan penegakan hukum, dan masalah koordinasi serta konflik kewenangan.

Salah satu cara penyelesaiaan konflik pengelolaan sumberdaya alam yaitu dengan rezim manajemen kolaborasi, suatu konsep untuk menunjukkan kombinasi derajat intensitas keterlibatan antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Tadjudin (2000) menyatakan bahwa manajemen kolaboratif sebagai bentuk manjemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh

stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai ensitas yang sederajat sesuai dengaan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Mitchell (2000) menyatakan manajemen kolaboratif adalah sebagai salah satu bentuk kemitraan dimana pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan benar-benar diterapkan. Pihak-pihak yang terlibat saling mempertukarkan informasi, dana, dan tenaga untuk mencapai tujuan yang diterima oleh semua pihak. Menurut Tadjudin (2000) manajemen kolaborasi mempunyai tahapan-tahapan manajerial seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan. Tahapan tersebut ditempatkan pada dalam dua konteks, yaitu bahwa seluruh tahapan itu dipandang sebagai siklus perbaikan yang mengakomdasikan adanya feedback loop dan setiap introduksi tahapan tersebut ditempatkan dalam konteks pengembangan masyarakat yang mengandung komponen pembelajaran sosial, pemberdayaan kelmabgaan, dan aksi kloketif. 2.1.10 Struktur Agraria

Wiradi (2009), memberikan definisi bahwa struktur agraria merupakan tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah, namun menyangkut juga hubungan sosial manusia dengan manusia. Ini berarti akan mencakup hubungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dengan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani,

hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dengan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya.

Lebih lanjut Wiradi (2009) mengungkapkan bahwa hakikat struktur agraria adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Terdapat dua istilah penting dalam hal ini yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure berarti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Sedangkan land tenancy menunjuk kepada pendekatan ekonomi. Artinya penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Obyek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Dalam pengertian struktur agraria ini perlu dibedakan antara istilah

pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk

kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah

yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Untuk kata “pengusahaan”

menunjuk kepada bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. 2.2 Kerangka Konseptual

Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Rumahtangga petani dalam memaksimumkan ekonomi dan kebutuhan hidupnya dilakukan dengan berbagai cara yang tidak hanya memfokuskan pada satu unit pekerjaan tertentu, melainkan dengan beragam strategi nafkah yang dilakukan. Startegi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan keberlangsungan hidup dengan memperoleh sumber pendapatan yang berasal dari sektor on farm, sektor off farm, dan sektor non farm.

Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran Strategi Nafkah

Sumber Pendapatan Strategi Nafkah

Rumahtangga Petani